Anda di halaman 1dari 2

ANALISIS WACANA

Istilah wacana digunakan oleh para linguis Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa
Inggris discourse. Dari istilah wacana itu lahirlah istilah analisis wacana (discourse
analysis).Pengertian analisis wacana dikemukakan oleh beberapa ahli. Pada umumnya para
ahi mengemukakan, pengertian analisis wacana melalui cara membandingkan dengan
batasan wacana. Beberapa ahli menyebutkan bahwa batasan pengertian analisis wacana
adalah analisis atas bahasa yang digunakan atau bahasa dalam konteks sosial pemakaian
bahasa.Stubbs di dalam Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural
Language (1984:1) mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana, sebagaimana
berikut ini.

“ (Analisis wacana) merujuk pada upaya mengkaji pengaturan bahasa di atas klausa dan
kalimat, dan karenanya juga mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas. Seperti
pertukaran percakapan atau bahasa tulu\is. Konsekuensinya, analisis wacana juga
memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, khususnya interaksi
antarpenutur”.Selanjutnya Stubbs (1984: 7) menyatakan “However, it has become
increasingly clear that a coherent view of language, ingluding syntax must take account of
discourse phenomena”. Analisis wacana menggunakan aturan-aturan atau batasan-batasan
bahasa. Aturan-aturan itu termasuk sintaksis atau tata kalimat dan harus memperhatikan
fenomena dari wacana.

Senada dengan yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown seperti yang dikutip ulang oleh
Sarwiji (2008: 146) bahwa komunikasi sulit kita laksanakan tanpa adanya hubungan-
hubungan wacana yang merupakan hubungan antarkalimat dan suprakalimat
(suprasentensial) dan tanpa adanya konteks.

Sejarah Analisis Wacana

Sejarah analisis wacana dalam tulisan ini mengambil intisari dari paparan yang
dikemukakan Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2008), Mulyana (2005) dan Sri
Utari Subyakto Nababan (2000). Berdasarkan uraian yang telah mereka kemukakan, dapat
diketahui bahwa hingga akhir tahun 1960-an, pada umumnya kajian bahasa masih
berorientasi pada kawasan mikrolinguistik, yaitu kajian bahasa yang menelaah masalah
bahasa secara internal bahasa, yakni kajian tentang tata kalimat (sintaksis); morfologi, dan
tata bunyi (fonologi).

Dalam sejarah perkembangannya, seorang linguis kenamaan bernama Zellig S. Harris


menyatakan ketidak puasannya terhadap “tata bahasa kalimat”. Selanjutnya artikel
“Discourse Analysis” yang dimuat di majalah Language nomor 28:1-3 dan 474-
494 dipublikasikannya. Dalam tulisannya itu, Harris mengemukakan argumentasi tentang
perlunya mengkaji bahasa secara komprehensif, tidak hanya berhenti pada aspek internal-
struktural semata tetapi aspek eksternal bahasa juga perlu dikaji untuk mendapatkan
informasi yang lebih jelas.
Seperti yang diungkapkan oleh Dede Oetomo, pernyataan Harris tersebut agak melawan arus
aliran linguistik yang berkembang di Amerika yaitu aliran strukturalisme buah pikiran
Bloomfield (1887-1949) yang dengan tegas memisahkan kajian sintaksis dari semantik dan
hal-hal lain di luar kalimat (dalam Mulyana, 2005:67).

Awal tahun 1970-an mulai berkembang kajian bahasa yang menitikberatkan pada bidang
makrolinguistik, yaitu telaah bahasa di atas tataran kalimat atau klausa. Dalam kajian
makrolinguistik, orang akan mempermasalahkan bagaimana kalimat satu berhubungan
dengan kalimat lain secara kohesif dan koheren untuk membentuk satuan kebahasaan yang
lebih besar. Salah satu bentuk kajian makrolinguistik adalah analisis wacana (discourse
analysis).

TOTO RIZKI DWIMUJI

186061

Anda mungkin juga menyukai