PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kalimat merupakan primadona dalam kajian bahasa. Hal ini disebabkan
karena dengan perantara kalimatlah seseorang baru dapat menyampaikan
maksudnya secara lengkap dan jelas. Satuan bentuk bahasa yang sudah kita kenal
sebelum sampai pada tataran kalimat adalah kata (misalanya, tidak) dan frase atau
kelompok kata (missalnya, tidak tahu). Kata dan frase tidak dapat
menugungkapkan suatu maksud secara lengkap dan jelas, jika kata dan frase itu
sedang berperan sebagai kalimat minor. Untuk dapat berkalimat dengan baik perlu
kita pahami terlebih dahulu struktur dasar kalimat. Pada dewasa ini orang tidak
tahu cara membedakan anatara kata, frase, dan kalimat. Oleh karena itu, penulis
lewat makalah ini dapat memberikan gambaran tantang kalimat.
Kalimat adalah bagian ujaran yang memepunyai stuktur minimal subjek (S)
dan (P) dan intonasinya menujukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan
makna. Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik,
tanda tanya, atau tanda seru. Penetapan struktur bukanlah semata-mata gabungan
atau ragkaian kata yang tidak mempunyai kesatuan bentuk. Lengkap dengan
makna menunjukan sebuah kalimat harus mengandung pokok pikiran yang
lengkap sebagai pengungkap maksud penutur.
Sesungguhnya yang menetukan satuan kalimat bukan banyaknya kata yang
menjadi unsurnya, melainkan intonasinya. Setiap satuan kalimat dibatasi oleh
adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan,1996).
Dalam wujud tulisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras
lembut, di sela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh
kesenyapan yang mencegah terjadinya kesatuan asimilasi bunyi ataupun proses
fonologi lainnya. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru (Alwi,et. al 1998;
Kridalaksana, 1985).
1
Dari urain di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat
adalah satuan gramitikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai
nada akhir naik atau turun.
Kesulitan menganalisa kalimat dalam membedakana antara O, P, Pel, K
dalam sebuah kalimat, perlu menyiapkan konsep yang matang tentang toeri
kalimat. Oleh karena itu penulis membuat makalah ini untuk membantu rekan-
rekan pembaca dalam memantapkan konsep tentang kalimat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pemadu dan Frasa dalam Kalimat?
2. Bagaimanakah Intonasi dalam Kalimat?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pemadu dan Frasa dalam Kalimat.
2. Mengetahui Intonasi dalam Kalimat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Kelima-belas kalimat di atas itu dihubugkan yang satu dengan yang lain oleh
kata-kata seperti ketika, sementara, sambil, dan serta, sehingga merupakan
kesatuan pengertian yang luas.
Kalimat kedua demikia pula halnya, dan kita tiak melihatnya tersusun sebagai:
Ahmad/ dan/ ibunya/ sedang/ meuju/ ke/ pasar.
dan tidak pula sebagai:
Ahmad dan/ ibunya sedang/ menuju ke/ pasar.
atau sebagai:
Ahmad/ dan ibunya/ seang menuju ke/ pasar.
melainkan sebagai:
Ahmad dan ibunya/ sedang menuju ke pasar.
4
itu. Kelompk-kelompk kata sebelah kanan garis condong itu bersama
penggalannya ialah:
Mulai/ waktu pagi-pagi
Sedang menuju/ ke pasar
sedangkan diagram-diagram itu sebagai berikut:
(2) a. kalimat
mulai waktu
pagi-pagi
b. kalimat
Sedang menuju
ke pasar
Diagram (2,a) dan (2,b) itu merupakan sejarah derivasi daripada kalimat. Kalimat
(1,a) dan (1,b) dan masing-masing sejaah derivasi itu disebut Penanda-Frasa.
5
g. Peperangan itu/ telah/// membakar/// dunia ini// selama tiga tahun.
h. Ahmad/ murid sekolah dasar.
i. Ahmad/ tak pernah/// mendapat keterangan// dari gurunya.
j. Ibunya/ tak pernah// mengiraukan keadaan dunia.
k. Beberapa tembakan/ berdentum.
l. Ibu Ahmad/ terkejut.
m. Mukanya/ pucat sekali.
n. Ibu Ahmad/ segera// menahan langkahnya.
o. Ibu Ahmad/ memegang lengan anaknya.
6
menuju merupakan pemadu-pemadu, karena membentuk frasa sedang menuju
pada kalimat (1,b), tetapi ibunya dan sedang tidak merupakan pemadu-pemadu
yang dapat dilihat pada penanda-frasa (2,b).
Agaknya jelas, dengan keterangan di atas ini, bahwa sebuah morfem atau
lebih merupakan pemadu,jika hanya terdapat sebagai bagian suatu konstruksi.
Pemadu-pemadu seperti diterangkan di atas, yaitu yang secara langsung
membenntuk suatu konstruksi yang lebih besar, disebut pemadu mesra, seperti
pertempuran itu dan mulai waktu pagi-pagi adalah pemadu-pemadu mesra, dan
mulai dan waktu pagi-pagi adalah pemadu-pemadu mesra pula. Tetapi, frasa
pertempuran itu dan waktu pagi-pagi, biarpun keduanya merupakan bagian
kalimat (1,a) tidak dapat disebut pemadu-pemadu mesra. Keduanya memang
pemadu-pemadu kalimat itu, tetapi untuk membedakannya dari pemadu mesra,
kita sebulah kedua pemadu tersebut itu sebagai pemadu bebas, seperti juga frasa
Ahad dan ibunya dan ke pasar, serta peperangan itu dan selama tiga tahun pada
kalimat (1,g). Bila kalimat ini kita tempatkan pada suatu penanda-frasa, seperti:
(4) Kalimat
Pemadu A pemadu B
Pemadu 1
pemadu 2
Pemadu a pemadu b
akan kelhatan dengan jelas, bahwa frasa-frasa peperangan itu dan selama 3 tahun
tidak merupakan pemau-pemadu mesra, melainkan pemadu-pemadu bebas saja.
Kita dapat bertanya, apakah ciri-cirinya? Pemadu mesra selau dibawah secara
langsung oleh sebuah konstruksi, sedangkan emadu bebas tidak. Seperti tampak
pada (4) pemadu A dan pemadu B merupakan pemadu mesra, karena dibawahi
7
oleh kalimat; pemadu 1 dan pemadu 2 merupakan pemadu mesra pula, kaena
dibawahi oleh pemadu B dan begitu pula pemadu a dan pemadu b merupakan
pemadu mesra sebab dibawahi oleh pemadu 1. Pada penanda-frasa (4) itu tampak
juga, bahwa pemadu A dan pemadu 1 tidak merupakan pemadu mesra, melainkan
hanya pemadu bebas saja, dan demikian pula pemadu 2 dan pemadu a, karena
tidak dibawahi secara langsung oleh suatu konstruksi.
Untuk memudahkan analisis kalimat selanjutnya,kita akan memakai gagasan
Gaatra, yaitu satuan sintaksis bersama fungsinya yang merupakan pemadu. Untuk
membedakan gatra yang satu dari gatra yang lain yang merupakan pemadu-
pemadu suau kalimat, kita akan menyebut gatra itu menurut kata atau pokok frasa
yang membentuk gatra itu. Jadi gatra dapat terdiri atas sebuah kata atau lebih.
Frasa peperangan itu akan kita sebut gatra benda (disingkat GB), karena pokok
frasa tu ialah peperangan, sebuah kata benda. Frasa membakar duniakita sebut
gatra kerja (disingkat GK) karena pokok frasa itu ialah membakar, yaitu sebuah
kata kerja.demikian pula kita menyebut frasa pucat sekali (1,m) sebah gatra sifat
(disingkat GS), tetapi berdentum (1,k) juga sebuah gatra yaitu GK.
Tentulah gatra-gatra yang terdiri ataslebi dari sebuah kata dapat kita uraikan
pula atas pemadu-pemadunya. Seperti GB peperangan itumenjdi kata benda
B(=peperangan) dan kata penentu (atau petunjuk) Pen (=itu); GK telah membakar
dunia menjadi ASP (=telah) dan GK’ (GK aksen) yang terdiri atas kata kerja K
(=membakar) dan kata benda B (dunia). Dengan begitu kita dapat memperoleh
peanda-frasa bagi kalimat (1,g) yang lebih terperinci daripada (4), seperti:
(5) K(alimat)
GB GK
B Pen GK’
GKet
ASP GK’’
K B
8
Peperangan itu telah membakar dunia selama 3
tahun. Di dalam pembicaaan kita sampai ini sebuah pemadu yang sangat penting
tidak pernah kita sebutkan, yaitu ten tag intonasi. Untuk memberikan sekedar
gambaran tn tang intnasi sebagai pemadu yang penting, di bawah ini kami sajikan
barang kadarnya tentang intonsi, khususnya intonasi Bahasa Indonesia 2).
B. Intonasi
Penyelidikan intonasi menjadi sukar sekali apabila kita analisis sampai
kepada yang berkecil-kecil, dan tidak atau sukar sekali dipahami. Oleh karena
itu,penganalisisan intonasi hendaklah didasarkan kepada penandaan yang jauh
lebih sederhana, supaya mudah dipahami. Penandaan ini bisa didasarkan kepada
hasil analisis unsur-unsur prosodi, yaitu nada (=pitch,Ing.) dan persendian. Pada
bahasa-bahasa tertentu, yang mempunyai tekanan bagi fonenm prosodi, misalnya,
sudah ten tu dapat dilibatkan tekanan itu ke dalam analisisnya, namunn hal
ituakan menyebabkan penyajian intonasi bahasa itu menjadi rumit, sehingga pada
umumya tekanan itupun ditinggal saja.
Untuk menandai tinggi-renah suara kita sudah tentu dapat memakai berbagai
penandaan, seperti garis-garis yang menunjukkan ting-rendahnya lagu. Biarpun
begitu, penandaan garis-garis ini tidak memberikan gambaran pola-pola yan g
jelas tentang intonasi suatu bahasa, oleh karena itu biasanya hanya dipakai pada
tatabahasa-tatabahasa yang penulisnya ingin memberikan gambaran tentang
intonasi bahasa itu barang kadarnya, dan tidak menyeluruh. Cara yang lebih
mudah dipahami ialah penandaan dengan angka-angka, yaitu angka-angka 1
sampai dengan 4, yang menunjukkan tinggi-rendah nada secara hgaris besarnya,
sehingga pola-pola lagu kalimat dapat dilihat secra jauh lebih mudah pemalaiian
angka ini ada yang mengambil angka kecil untuk nada tinggi, yang lebih besar
nada rendah, dan seterusnya, tetapi ada pula yang sebaliiknya, yaitu menggunakan
angka 1 sebagai nada yang rendah, 2 sebagai nada yang sedang, 3 sebagai nada
yang tinggi, sedangkan 4 sebagai nada yang luar biasa tingginya. Kami akan
memakai cara yang terakhir ini bersama persendian untuk menyajikan beberapa
keteangan yang mengikuti intonasi.
9
Bahwa nada-nada itu membedakan ditunjukkan oleh kombinansi diantaranya,
yaitu /1/, /2/, /3/, dan /4/, dan besama fonem-fonenm segmental mempunyai
pengertian seperti contoh yang sangat muudah di bawah ini. Ambillah urutan
fonem BI/ /t a u/ ‘tahu’. Kombinasi nada-nada berikut memberikan pengertian
yang berlainan pada urutan itu, seperti:
(6) /32/ ‘Apa saudara tahu?’
/31/ ‘Saya tahu’
/23/ ‘Apa sudara betul-betul tahu?’
/41/ ‘Tentulah saya tahu’
/232/ ‘Entahlah’
Persendian ada empat macamnya yang kami pergunakan di sini yaitu apa
yang kami sebbut sendi-tambah, sendi-tunggal, sendi-rangkap, dan sendi-silang-
ragkap, yang masing-masing kami tandai dengan / + /, / / /, / // /, dan /#/. Sendi-
tambah menandai jeda di dalam kata, sedangkan sendi-sendi yang lain di luar
kata. Tiap-tiap sendi itu berbeda panjangnya, atau lebih tepat potensi panjangnya
berbeda, biarpun bagi masing-masing itu mungkin pula tidak sama. Sendi tambah
kira-kira kurang panjangnya sebuah fonem; sendi tunggal sepanjang satu fonem;
sendi-rangkap lebih panjang lagi, dan bisa panjang juga, umpamanya bila terdapat
keraguan pada pembicara; sendi-siang-angkap jelas panjang dan dapat panjang
sekali dan tidak terbatas.
10
akan lebih jelas kelihatan, bila ditambahkan penandaan nada-nadanya, sebagai
berikut :
(7) a. 23 22 31
#ini // t ə r a ŋ / bulan#
b. 23 23 11
#ini // təraŋ // b u l a n #
Secara potensil antara itu dan marah pada (8,b) terdapat sendi rangkap, dan
demikian pula antara ibu dan tertawa. Untuk menyederhanakan penyajian, di atas
itu kami telah tidak memakai sendi tambah, dan sendi tunggal, melainkan
keduanya kami buang. Dengan pengertian bahwa sendi tambah boleh dikatakan
“diwakili” oleh suku-suku kata, sedangkan sendi tunggal biasanya tidak
menyebabkan nada lenyap, atau tertahan, dan garis condong tunggal boleh
dikatakan kami ganti dengan “penggalan” tulisan biasa.
Sendi silang rangkap sebagai tanda jeda yang panjang dapat disertai dengan
nada naik atau nada turun. Untuk memudahkan pembedaan kedua macam sendi
11
silang rangkap itu, kami tambahkan tanda mata bawah anak panah pada bagian
atas untuk nada naik, / # /, dan pada bagian bawah untuk nada turun, / # /.
9. a. 2 2 2 3 3 1
#oraŋ itu marah # (kalimat berita)
b. 2 2 2 3 3 2
#oraŋ itu marah # (kalimat tanya)
Di dalam kata-kata yang bersuku dua, baik dengan maupun tanpa pepet,
dengan tambahan akhiran nya semua dialek itu menunjukkan pola intonasi yang
sama. Di dalam kata-kata yang bersuku dua dengan pepet pada suku pertama,
dengan tambahan akhiran lah, semua dialek itu menunjukkan pola intonasi yang
sama.
11. # 2 3 1# #3 2 1#
Bu ku nya ti dur lah
Ru mah nya ma kan lah
Kur si nya ba ngun lah
12
Na ma nya du duk lah
Ke las nya ba ca lah
Pada kata-kata bersuku tiga, baik memakai maupun tanpa pepet pada suku
yang kedua, dengan tambahan akhiran i atau kan, semua dialek itu menunjukkan
pola intonasi # 2 2 3 1#
12. # 2 2 3 1# #2 2 3 1#
Me nu li si me nu lis kan
Mem ba cai mem ba ca kan
Me ne mu i me ne mu kan
Me ra jai i me ra ja kan
Pola intonasi dari kata-kata yang bersuku tiga, memakai atau tanpa pepet
pada suku pertama, sama saja bagi semua dialek. Tetapi pola intonasi kata-kata
yang bersuku tiga, dengan pepet pada suku kedua dan suku pertama, sebagian
mempunyai pola.
13. # 2 3 1# # 2 2 3# # 3 2 1#
Agama segera bahtera
Budaya kemenyan ampera
Pidana makelar tambera
14. a. # 2 3 // 2 3 // 2 3 // 2 3 // 2 3 //
2 3 // 2 3 // 2 2 3 // 2 2 3 //
13
2 3 1#
b. # 3 1 #, # 3 1 #, # 3 1 #, # 2 3 #,
# 3 1 #, # 2 3 #, # 3 1 #,
# 2 3 1 #, # 2 3 1 #, # 2 3 1 #
15. a. 2 2 2 3 // 2 2 2 2 3 1
# orang itu membaca bukunya#
b. 2 [2] 2 3 // 2 [2] 2 3
# perempuan itu bekerja keras#
Sebagian pemakai BI hanya memakai sebuah pola dasar saja, yaitu (15,a),
biarpun suku satu sebelum akhir terdapat ada pepet, tetapi sebagian yang lain
mempunyai dua macam pola dasar, yaitu yang pertama apabila tidak terdapat
pepet pada suku satu sebelum akhir, sedangkan pola yang kedua apabila suku satu
sebelum akhir terdapat ada pepet. Dari kalimat-kalimat dasar ada kecenderungan
atau bersifat potensil untuk mengadakan jeda sesudah kata itu, sehingga dapatlah
diberikan sendi rangkap pada tempat itu.
16. (a) # [2] 2 3
(b) [2] 3 [1] #
Dengan ketentuan bahwa [2] dapat mewakili suku-suku kata yang mungkin
bisa tardapat sebelumnya, dan [1] merupakan alternative lain, yaitu bila kata
terakhir itu tidak mempunyai pepet pada suku sebuah sebelum akhir. Kalimat-
kalimat berita pokok terdiri atas pola-pola intonasi itu.
14
17. (a) 2 2 2 3 2 2 2 2 3 2
# orang itu membaca bukunya #
(b) 2 3 2 2 2 2 3 2 2 2 2 3 1
# di mana orang itu membaca bukunya? #
(c) 2 2 2 2 22 2 2 2 2 2 2 3
# apa perempuan itu bekerja keras? #
Jelas bahwa (16,a) dipakai pada (17,a), sedangkan (16,b) dipakai di dalam
(17,b,c). perbedaan antara (15,a) dan (17,a) terletak pada nada akhir dan sendi
silang rangkap. Oleh karena itu haruslah diadakan pemotongan [2] 3 2 # sebagai
bagian yang membedakan untuk pola intonasi kalimat Tanya.
Pada permulaan, sebelum suatu kalimat dasar atau pada akhir sesudah suatu
kalimat dasar diucapkan, sering pembaca menyebut nama atau sebutan orang yang
diajak berbicara. Sebutan semacam itu kami namakan tergur sapa.
20. (a) # 3 2 // 2 [2] 2 3 1 #
(b) # 2 [2] 3 1 // 2 3 #
15
Perhatikan perbedaan (20,a) dengan kalimat : amat makan dulu sebelum b e r
a n g k a t . “, yang mempunyai pola (16,a,b), yaitu # 2 3 // 2 [2] 2 3 1 #.
Sebagai suatu tambahan, tentulah pola itu bisa didapati pada kalimat-kalimat dasar
yang lain, yaitu pada kalimat berita dan kalimat tanya.
21. (a) # 2 3 2 // 2 3 2 [2] 2 3 1 #
(b) # 3 2 // 2 3 2 [2] 2 3 1 #
Tegur sapa itu dapat memperoleh nada tinggi luar biasa sebagai ganti nada
tinggi, sehingga dapatlah sebuah kalimat mempunyai pola seperti berikut : # 4
2 // 2 3 2 [2] 2 3 2 // 2 4 #. Tambahan yang lain berupa pemadu mansuka.
Sebagai contoh , kita ambil kalimat pokok “Anak itu membaca buku.”
22. (a) // 2 [2] 3 //
(b) // 2 3 2 # // 2 [2] 3 #
(c) // 2 [2] 1 #
Perbedaan pola ini dari pola intonasi bagian pertama suatu kalimat berita
dasar ialah pada sandi rangkap, yang selalu meberi jeda, sehingga terpaksa kami
sisihkan dan taruhkan ke dalam tambahan saja.
Apabila kita berika fokus kepada Gatra Kerja, yaitu “tidak balajar”, maka
pola kalimat dan susunan kata-kata akan berubah sebagai berikut : (tidak belajar
anak itu).
16
26. # 2 [2] 3 1 2 [2] 1 #
Contoh lain kami ambilkan sebuah kalimat : “Nelayan itu menangkap ikan
dengan jala”. Dengan pola intonasi kalinat berita.
17
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Morfem atau lebih merupakan pemadu,jika hanya terdapat sebagai bagian
suatu konstruksi. Pemadu-pemadu seperti diterangkan di atas, yaitu yang secara
langsung membenntuk suatu konstruksi yang lebih besar, disebut pemadu mesra,
seperti pertempuran itu dan mulai waktu pagi-pagi adalah pemadu-pemadu mesra,
dan mulai dan waktu pagi-pagi adalah pemadu-pemadu mesra pula. Tetapi, frasa
pertempuran itu dan waktu pagi-pagi, biarpun keduanya merupakan bagian
kalimat (1,a) tidak dapat disebut pemadu-pemadu mesra. Keduanya memang
pemadu-pemadu kalimat itu, tetapi untuk membedakannya dari pemadu mesra,
kita sebulah kedua pemadu tersebut itu sebagai pemadu bebas, seperti juga frasa
Ahad dan ibunya dan ke pasar, serta peperangan itu dan selama tiga tahun pada
kalimat (1,g).
Untuk menandai tinggi-renah suara kita sudah tentu dapat memakai berbagai
penandaan, seperti garis-garis yang menunjukkan ting-rendahnya lagu. Biarpun
begitu, penandaan garis-garis ini tidak memberikan gambaran pola-pola yan g
jelas tentang intonasi suatu bahasa, oleh karena itu biasanya hanya dipakai pada
tatabahasa-tatabahasa yang penulisnya ingin memberikan gambaran tentang
intonasi bahasa itu barang kadarnya, dan tidak menyeluruh.
18
DAFTAR PUSTAKA
19