Anda di halaman 1dari 12

HAND OUT JURDIKSATRASIA FBPS UPI PRODI PEND.

BAHASA & SASTRA INDONESIA

Tanggal Berlaku: Tanggal Revisi:

Versi/Revisi: Kode Dok.:

1. Identitas Mata Kuliah Nama Mata Kuliah/Kode Jumlah SKS Semester Kelompok Mata Kuliah Status Mata Kuliah Prasyarat Dosen/Kode : Semantik Bahasa Indonesia/IN105 : 2 SKS :4 : MKDA : Wajib : Lulus Mata Kuliah Linguistik Umum, Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis : Mahmud Fasya, S.Pd., M.A./2319

2. Pokok Bahasan Setiap Pertemuan No. 1. Pertemuan ke1 Materi Pengantar perkuliahan; pengertian semantik; jenis-jenis semantik Perkembangan semantik; hubungan semantik dengan ilmu lain Aspek-aspek semantik yang meliputi tanda dan lambang, konsep Penamaan Pengertian makna; aspek makna Kajian makna Medan makna Ujian Tengah Semester Komponen makna Kesesuaian semantis dan gramatis Jenis makna: makna leksikal dan sejumlah makna lain yang tercakup di dalamnya Jenis makna: makna kontekstual dan sejumlah makna lain yang tercakup di dalamnya Relasi makna Perubahan makna Ungkapan tabu Ujian Akhir Semester

2.

3.

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

3. Isi Pokok Bahasan 3.1 Pokok Bahasan Pertemuan ke-1 Istilah semantik berasal dari bahasa Yunani semainein yang berarti bermakna. Semantik adalah ilmu yang mengkaji makna bahasa. Dengan demikian, yang menjadi bahan kajian semantik adalah makna-makna yang terdapat dalam satuan-satuan bahasa, seperti kata, frasa, kalimat, atau wacana.

Ada beberapa jenis semantik. Pengklasifikasian jenis-jenis semantik dilakukan berdasarkan objek kajian semantik. Jika yang menjadi objek kajiannya satuan bahasa yang berupa leksikon, jenis semantiknya disebut semantik leksikal. Jika yang menjadi objek kajiannya satuan-satuan bahasa yang ada dalam tataran gramatika (morfologi dan sintaksis), jenis semantiknya disebut semantik gramatikal. Jika yang menjadi objek kajiannya satuan-satuan bahasa yang ada dalam tataran wacana, jenis semantiknya disebut semantik wacana. 3.2 Pokok Bahasan Pertemuan ke-2 Dilihat dari sejarah perkembangannya, semantik merupakan cabang linguistik yang paling tertinggal. Semantik dinyatakan secara tegas sebagai ilmu makna, baru pada tahun 1900-an, yaitu sejak munculnya Essai de Semantique karya Breal yang kemudian pada periode berikutnya disusul oleh karya Stern (1931). Akan tetapi, sebelum lahirnya karya Stern, di Jeneva telah terbit Cours de Linguistique Generale karya Saussure. Sejak munculnya karya Saussure, pandangan semantik berbeda dengan pandangan sebelumnya. Semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena melibatkan unsurunsur struktur dan fungsi bahasa yang berkaitan erat dengan psikologi, filsafat, antropologi, dan sosiologi. Antropologi berkepentingan dalam bidang semantik karena analisis makna di dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasi budaya pemakai bahasa secara praktis. Filsafat berhubungan erat dengan semantik karena ada persoalan makna tertentu yang dapat dijelaskan secara filosofis, misalnya makna ungkapan dan peribahasa. Psikologi berhubungan erat dengan semantik karena psikologi memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampillkan manusia secara verbal atau nonverbal. Sosiologi memiliki kepentingan dengan semantik karena ungkapan atau ekspresi tertentu dapat menandai kelompok sosial atau identitas sosial tertentu. 3.3 Pokok Bahasan Pertemuan ke-3 Di dunia ini banyak sekali tanda. Ada tanda yang dihasilkan oleh alam, binatang, dan manusia. Ada tanda yang bersifat auditif, visual, dan audiovisual. Akan tetapi, teori tanda baru dikembangkan pada abad ke-18 yang kemudian dipertegas dengan hadirnya buku The Meaning of Meaning: A Study of the Influence of Language upon Thought and of the Science of Symbolism. Tanda ada yang memiliki hubungan langsung dengan kenyataan, ada pula yang tidak. Tanda lalu lintas adalah tanda yang berhubungan langsung dengan kenyataan, sedangkan tanda jalan berkelok tidak memiliki hubungan langsung dengan kenyataan. Tanda seperti ini sering pula dinamakan lambang atau simbol. Lambang atau simbol biasanya terdiri atas dua unsur dasar, yaitu signifiant (signifier) dan signifie (signified). Signifiant atau signifier adalah yang menandai. Wujudnya berupa bunyibunyi bahasa. Signifie atau signified adalah yang ditandai. Wujudnya berupa makna atau pengertian yang ada dalam pikiran. Menurut Odgen & Richard, kedua unsur tadi memiliki hubungan dengan acuan (referent). Mereka menggambarkan hubungan itu melalui semantic triangle (segitiga makna). Menurut teori segitiga makna, ada hubungan timbal balik antara lambang (simbol) dengan konsep (makna). Hubungan antara konsep dengan acuan bersifat searah, sedangkan hubungan antara lambang (simbol) dengan acuan bersifat arbitrer (manasuka). Teori segitiga makna dikritik oleh Ullmann. Ia menganggap teori ini terlalu luas karena masuknya acuan. Menurutnya, acuan berada di luar bahasa

(ekstralingual). Ia menyarankan agar hubungan antara lambang (simbol) bunyi dengan makna (konsep) diwujudkan dalam istilah nama (n) dan makna (m). 3.4 Pokok Bahasan Pertemuan ke-4 Penamaan ternyata telah menimbulkan berbagai pendapat. Socrates berpendapat bahwa nama harus sesuai dengan sifat acuan yang diberi nama; Plato berpendapat bahwa ada hubungan hayati antara nama dan benda; Aristoteles berpendapat bahwa pemberian nama hanyalah soal perjanjian atau konvensi. Walaupun terdapat berbagai pendapat tentang proses penamaan, kita masih dapat menelusuri asal-usul, sebab-sebab, atau peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi pemberian nama terhadap sejumlah leksikon dalam bahasa Indonesia. Nama suatu benda ada yang dibentuk berdasarkan peniruan bunyi, penyebutan bagian, penyebutan sifat khas, nama si penemu atau pembuat, tempat asal, bahan, keserupaan, dan pemendekan. 3.5 Pokok Bahasan Pertemuan ke-5 Banyak sekali pengertian yang dirumuskan untuk membatasi istilah makna. Makna antara lain dapat diartikan sebagai 1) citra mental (mental image) si penutur dari subjek yang dituturkannya; 2) hubungan langsung antara simbol-simbol bahasa dengan acuannya; 3) maksud yang akan disampaikan oleh penutur kepada penanggap tutur melalui penggunaan seperangkat lambang bunyi bahasa sesuai dengan aturan kebahasaan dan aturan sosial kebahasaan; 4) hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakai bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa makna hampir sama dengan arti, informasi, atau maksud. Anggapan bahwa makna bersinonim dengan informasi dan maksud disanggah oleh Verhaar. Menurutnya, ada perbedaan di antara ketiga istilah tersebut, yaitu 1) makna merupakan gejala dalam ujaran (utterance internal phenomenon) yang menyangkut segi lingual (bahasa) itu sendiri; 2) informasi merupakan gejala luar ujaran (utterance external phenomenon) yang menyangkut segi objek atau segi apa yang dibicarakan; 3) maksud merupakan gejala luar ujaran (utterance external phenomenon) yang menyangkut segi subjek atau segi si penutur (pengujar). Makna sebagai bagian dari ujaran manusia terdiri atas empat aspek, yaitu pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan maksud (intention). Pengertian atau sense sama dengan tema. Pengertian akan dicapai apabila ada kesamaan bahasa antara si penutur (pembicara atau penulis) dengan si penanggap tutur (pendengar atau pembaca). Perasaan atau feeling berkaitan dengan sikap pembicara terhadap objek atau apa yang sedang dibicarakan dan situasi pembicaraan. Nada atau tone adalah sikap pembicara kepada lawan atau kawan bicara. Nada atau tone lebih banyak dinyatakan dalam bentuk hubungan antara pembicara atau penulis dengan pendengar atau pembaca. Aspek nada berkaitan dengan aspek perasaan. Sikap seseorang pada saat sedih berbeda dengan pada saat gembira. Maksud atau intention merupakan hal yang mendorong pembicara atau penulis untuk mengungkapkan satuan-satuan bahasa. Maksud biasanya tersirat di balik susunan satuan-satuan bahasa atau di balik tema yang diungkapkan. Maksud pengungkapan satuan-satuan bahasa itu memiliki sifat yang

bervariasi, antara lain deklaratif, persuasif, imperatif, naratif, politis, dan pedagogis. Keenam sifat pengungkapan ini melibatkan lima fungsi bahasa dalam kegiatan komunikasi, yaitu informasional, ekspresif, direktif, fatik dan estetis. Fungsi bahasa informasional dapat diidentifikasi dari pokok pembicaraan (subject-matter), fungsi ekspresif dari pembicara atau penulis (speaker/writen), fungsi direktif dan pendengar atau pembaca (listener/reader), fungsi fatik dan saluran komunikasi (channel of communication), dan fungsi estetis dari pesan (message). 3.6 Pokok Bahasan Pertemuan ke-6 Ada tiga pandangan tentang hubungan antara makna dengan dunia luar, yaitu pandangan realisme, nominalisme, dan konseptualisme. Pandangan realisme peranggapan bahwa terhadap wujud dunia luar manusia selalu memiliki jalan pikiran tertentu. Makna kata dengan wujud yang dimaknai selalu memiliki hubungan yang hakiki. Menurut pandangan nominalisme, hubungan antara makna kata dan dunia luar bersifat manasuka atau arbitrer, tetapi dilatari konvensi (kesepakatan). Oleh karena itu, penunjukan makna kata tidak bersifat perseorangan, melainkan bersifat kolektif (memiliki kebersamaan). Menurut pandangan konseptualisme, pemaknaan sepenuhnya ditentukan oleh adanya asosiasi dan konseptualisasi pemakai bahasa, terlepas dari dunia luar yang diacunya. Ketiga pandangan filosofis di atas turut melahirkan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami makna. Pandangan realisme melahirkan pendekatan referensial dan struktural, pandangan konseptualisme melahirkan pendekatan ideasional, dan pandangan nominalisme melahirkan pendekatan behavioral. Pendekatan referensial dan struktural berpijak pada fungsi bahasa sebagai wakil realitas yang menyertai proses berpikir manusia. Dalam pendekatan referensial dan struktural, makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk merujuk (menunjuk) dunia luar. Makna hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan simpulan yang keseluruhannya berlangsung, baik secara objektif maupun subjektif. Dengan demikian, pendekatan ini mengaitkan makna dengan masalah nilai serta proses berpikir manusia dalam memahami realitas melalui bahasa secara benar. Hal ini terjadi karena manusia adalah makhluk berpikir dan pencari makna mengolah makna suatu realitas. Misalnya, berdasarkan kesadaran pengamatan dan penarikan simpulan, kata hujan tidak hanya merujuk pada air yang turun dari langit, tetapi juga merujuk pada rahmat, kegagalan, atau hambatan. Pendekatan ideasional berpijak pada fungsi bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dan menerima informasi. Dalam pendekatan ini makna diartikan sebagai gambaran gagasan dan suatu bentuk kebahasaan yang bersifat sewenangwenang, tetapi memiliki konvensi sehingga dapat saling dimengerti. Dengan demikian, pendekatan ini mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan menyampaikan gagasan melalui bahasa (bagaimana menyampaikan makna melalui struktur kebahasaan tanpa mengabaikan keselarasan hubungannya dengan realitas). Gambaran kesatuan hubungan antara makna dengan bentuk kebahasaan adalah X berarti P dan X memaknakan P seperti yang dimiliki oleh P

Menurut pendekatan ini, katamemiliki potensialitas makna yang bermacam-macam setelah berada dalam komunikasi (X has meaning NN if it used in communication). Pendekatan behavioral berpijak pada fungsi bahasa sebagai fakta sosial yang mampu menciptakan berbagai bentuk komunikasi. Pendekatan ini mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangung dalam situasi tertentu (speech situation). Dengan demikian, pendekatan ini mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dalam konteks sosio-situasional. 3.7 Pokok Bahasan Pertemuan ke-7 Secara alami banyak kata yang membentuk kelompok-kelompok tertentu. Pengelompokan kata tersebut terbentuk karena adanya kesamaan makna. Kelompok kata yang memiliki kesamaan makna tersebut dapat disebut berada dalam satu medan makna. Medan makna merupakan bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya medan makna binatang (sapi, kuda, harimau, kambing), medan makna alat transportasi (mobil, bis, kereta api, pesawat terbang, kapal laut, motor, becak), medan makna ilmu pengetahuan (astronomi, biologi, fisika, kimia, antropologi, meteorologi), atau medan makna warna (hitam, putih, merah, ungu, biru, abu-abu, coklat, kuning, hijau). Kata-kata atau unsur-unsur leksikal yang berada dalam satu medan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu kolokasi dan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik karena bersifat linier. Kata-kata atau unsur-unsur leksikal yang berada dalam suatu kolokasi tidak dapat saling menggantikan. Misalnya, walaupun kata tampan, cantik, dan indah memiliki makna yang hampir sama, ketiga kata tersebut tidak dapat saling menggantikan jika berpasangan dengan kata lain. Kata tampan hanya berkolokasi dengan kata pemuda, tidak dapat digantikan atau disubstitusiskan dengan kata cantik atau indah. Sebaliknya, kata cantik hanya berkolokasi dengan kata gadis, tidak dapat digantikan atau disubstitusikan dengan kata tampan atau indah. Set menunjuk pada hubungan paradigmatik karena katakata atau unsur-unsur leksikal yang berada dalam suatu set dapat saling menggantikan. Contoh kata-kata atau unsur-unsur leksikal yang berada dalam satu set antara lain bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua. 3.8 Pokok Bahasan Pertemuan ke-8 Ujian Tengah Semester 3.9 Pokok Bahasan Pertemuan ke-9 Setiap kata atau unsur leksikal terdiri atas satu atau beberapa komponen yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Analisis komponen makna yang terkandung dalam suatu kata atau unsur leksikal dapat digunakan untuk membedakan makna kata atau unsur leksikal tersebut. Misalnya, kata ayah memiliki komponen makna [+insan], [+dewasa], [+jantan], [+kawin]; kata ibu memiliki komponen makna [+insan], [+dewasa], [-jantan], [+kawin]. Berdasarkan komponen-komponen makna tersebut, kita dapat membedakan makna kata ayah dan ibu. Kata ayah memiliki komponen makna [+jantan], sedangkan kata ibu memiliki komponen makna [-jantan].

Konsep analisis di atas disebut analisis biner. Ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner tersebut, yaitu 1) ada pasangan kata yang satu di antaranya lebih bersifat netral, yang lain bersifat khusus, misalnya kata putra dan putri; siswa dan siswi; 2) ada kata yang sulit dicari pasangannya karena mungkin tidak ada atau karena memiliki pasangan lebih dari satu, misalnya kata yang berkaitan dengan warna; 3) sukar mengatur ciri-ciri semantis secara bertingkat, mana yang lebih umum dan mana yang lebih khusus, misalnya kata jantan dan dewasa. 3.10 Pokok Bahasan Pertemuan ke-10 Pemakaian kata-kata atau unsur-unsur leksikal tidak hanya memperhatikan aspek gramatis, tetapi juga memperhatikan aspek semantis. Oleh karena itu, keberterimaan pemakaian satuan-satuan bahasa (kata-kata yang membentuk kalimat) tidak hanya dilihat dari segi gramatikal, tetapi juga dari segi semantik. Dengan kata lain, pemakaian satuan-satuan bahasa harus memperhatikan kesejajaran antara struktur lahir dan struktur batin. Secara gramatis kalimat Ayah mengandung berterima karena telah memenuhi aturan gramatikal. Kata ayah berfungsi sebagai subjek, kata mengandung berfungsi sebagai predikat. Namun, secara semantis kalimat tersebut tidak berterima karena komponen makna [+mengandung] hanya dimiliki oleh kata ibu, tidak dimiliki oleh kata ayah. 3.11 Pokok Bahasan Pertemuan ke-11 Jenis makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif. Berdasarkan ketepatan maknanya dapat dibedakan adanya makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Selain pembagian tersebut, jenis makna dapat pula digo longkan ke dalam dua jenis, yaitu (a) makna leksikal dan (b) makna kontekstual. Makna leksikal (leksical meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna kata yang berdiri sendiri baik dalam bentuk dasar maupun dalam bentuk kompleks (turunan) dan makna yang ada tetap seperti apa yang dapat kita lihat dalam kamus. Makna leksikal dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu (a) makna konseptual yang meliputi makna konotatif, makna afektif, makna stilistik, makna kolokatif, dan makna idiomatik. 3.12 Pokok Bahasan Pertemuan ke-12 Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Makna konseptual disebut pula makna denotatif, makna referensial, makna kogninitif, atau makna deskriptif. Makna konseptual dianggap sebagai faktor utama dalam setiap komunikasi. Makna generik adalah makna konseptual yang luas, umum, yang mencakup beberapa makna konseptual yang khusus atau sempit. Misalnya, kata sekolah dalam kalimat Sekolah kami menang, bukan saja mencakup gedungnya, melainkan guruguru, siswa-siswa, dan pegawai tata usaha sekolah bersangkutan. Makna spesifik adalah makna konseptual yang khusus, khas, dan sempit. Misalnya, jika berkata ahli bahasa, yang dimaksud bukan semua ahli, melainkan

seseorang yang mengahlikan dirinya dalam bidang bahasa. Makna asosiatif disebut juga makna kiasan (transfered meaning, figurative meaning) atau pemakaian kata yang tidak sebenarnya. Makna asosiatif adalah makna yang dimilki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata bunglon berasosiasi dengan makna orang yang tidak berpendirian tetap. Makna konotatif (conotative meaning) muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap kata yang diucapkan atau didengar. Makna konotasi adalah makna yang digunakan untuk mengacu bentuk atau makna lain yang terdapat di luar makna leksikalnya. Makna afektif (affective meaning) merupakan makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan bahasa. Oleh karena itu, makna afektif berhubungan dengan gaya bahasa. Makna stilistika berhubungan dengan pemakaian bahasa yang menimbulkan efek terutama kepada pembaca. Makna stilistika lebih dirasakan di dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra akan mendapat tempat tersendiri bagi kita karena kata yang digunakan mengandung makna stilistika. Makna stilistika lebih banyak ditampilkan melalui gaya bahasa. Makna kolokatif adalah makna yang berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di dalam lingkungan yang sama. Misalnya, kata ikan, gurame, sayur, tomat, dan cabe tentunya akan muncul di lingkungan dapur. Ada tiga keterbatasan kata jika dihubungkan dengan makna kolokatif, yaitu (a) makna dibatasi oleh unsur yang membentuk kata atau gabungan kata; (b) makna dibatasi oleh tingkat kecocokan kata; (c) makna dibatasi oleh ketepatan. Makna idiomatik atau makna idiomatikal adalah makna yang ada dalam idiom, makna yang menyimpang dari makna konseptual dan gramatikal unsur pembentuknya. Dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk idiom, yaitu (a) idiom penuh dan (b) idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Idiom sebagian adalah idiom yang di dalamnya masih terdapat unsur yang masih memiliki makna leksikal. Makna kontekstual (contextual meaning, situasional meaning) muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan situasi. Makna kontekstual disebut juga makna struktural karena proses dan satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan. Makna gramatikal (gramatical meaning, functional meaning, structural meaning, internal meaning) adalah makna yang muncul sebagai akibat digabungkannya sebuah kata dalam suatu kalimat. Makna gramatikal dapat pula timbul sebagai akibat dari proses gramatika seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Makna tematikal adalah makna yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis, baik melalui urutan kata-kata, fokus pembicaraan, maupun penekanan pembicaraan. 3.13 Pokok Bahasan Pertemuan ke-13 Relasi makna adalah hubungan makna antara kata yang satu dengan kata yang lainnya. Misalnya, hubungan kata tinggi dengan kata rendah yang menyatakan hubungan perlawanan. Pada dasarnya prinsip relasi makna ada empat jenis, yaitu (a) prinsip kontiguitas, yakni prinsip yang menggambarkan bahwa dalam beberapa kata dapat memiliki makna yang sama, misalnya kata-kata beta, saya, aku, hamba; (b) prinsip komplementasi, yakni prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang satu berlawanan dengan

makna kata yang lain, misalnya tinggi - rendah, baik - buruk; (c) prinsip overlaping, yakni prinsip yang menjelaskan bahwa kata-kata yang sama memiliki makna yang berbeda atau satu kata memiliki beberapa makna, misalnya 1 karang, 2 karang, 3 karang, 4 karang merupakan kata-kata yang sama, tetapi artinya berbeda; kata kepala dapat mempunyai berbagai makna, prinsip ini dapat menimbulkan kata yang homonimi dan polisemi; (d) prinsip inklusi, yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna satu kata dapat mencakup beberapa makna yang lain, misalnya mawar, ros, melati, anggrek merupakan hiponim dari bunga. Relasi makna kata dalam bahasa Indonesia mencakup paling sedikit lima relasi makna kata, yaitu (a) sinonimi, (b) antonimi, (c) homonimi, (d) hiponimi, (e) polisemi. Sinonimi mengandung pengertian (a) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama, (b) keadaan yang menunjukkan dua kata atau lebih memiliki makna yang sama, (c) nama lain untuk benda yang sama. Adanya sinonimi dalam sebuah bahasa dapat ditimbulkan oleh (a) peminjaman atau penyerapan katakata asing, (b) penyerapan kata-kata daerah, dan (c) perbedaan makna atau nilai emotif dan evaluatifnya. Antonimi merupakan relasi antarmakna yang wujud logisnya bertentangan atau sangat berbeda. Antonimi adalah kata (ungkapan, dan sebagainya) yang dianggap bermakna kebalikan dari kata (ungkapan, dan sebagainya) yang lain. Antonimi berdasarkan oposisinya dapat dibedakan atas enam macam, yaitu (a) oposisi kembar, (b) oposisi gradual, (c) oposisi relasional, (d) oposisi hierarkis, (e) oposisi majemuk, dan (f) oposisi inversi. Homonimi adalah dua kata atau lebih yang memiliki bentuk yang sama. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kata-kata homonim, yaitu (a) kata-kata yang berhomonim itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan, misalnya kata bisa yang berarti racun ular berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa Jawa; (b) kata-kata yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologis, misalnya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur berhomonim dengan kata mengukur dalam kalimat Petugas agraria itu mengukur luas kebun kami. Kata mengukur yang pertama sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kukur (me + kukur menjadi mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me- + ukur menjadi mengukur). Homonimi dalam bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu (a) homonimi yang homograf dan homofon, misalnya kata bisa yang berarti sanggup, dapat dan kata bisa yang berarti racun ular; (b) homonimi yang tidak homograf tetapi homofon, misalnya kata sangsi yang berarti ragu, bimbang dan kata sanksi yang berarti akibat, konsekuensi; (c) homonim yang homograf tidak homofon, misalnya kata teras yang berarti hati kayu atau bagian dalam kayu dan kata teras (tras) yang berarti bidang tanah datar yang miring lebih tinggi dari yang lain. Polisemi adalah relasi makna satu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda, tetapi masih dalam satu aluran arti. Polisemi sangat dekat dengan istilah lain, yaitu homonimi. Untuk membedakan apakah suatu bentuk merupakan polisemi atau homonimi memang tidak mudah. Untuk itu, terdapat cara-cara yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan kata polisemi atau homonimi. Pertama, melihat etimologi atau pertalian historisnya, misalnya kata buku adalah homonim karena buku yang berarti tulang sendi merupakan kata asli Indonesia dan kata buku yang berarti kitab, pustaka, kertas bertulisan yang dijilid berasal dai bahasa Belanda. Kedua, menggunakan prinsip perluasan makna dari makna dasar,

salah satu di antaranya ialah metafora, misalnya referen primer kata-kata mulut, mata, kepala, kaki, tangan adalah bagian-bagian tubuh manusia, sedangkan referen sekundernya adalah sesuatu yang bentuk atau fungsinya seperti referen primernya. Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Kelas atas mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil, sedangkan kelas bawah merupakan komponenkomponen yang tercakup dalam kelas atas. Kelas atas disebut superordinate (hipernim) dan kelas bawah disebut subordinate (hiponim). 3.14 Pokok Bahasan Pertemuan ke-14 Secara diakronis makna kata dapat berubah. Sebuah kata yang zaman dahulu bermakna A pada waktu sekarang dapat bermakna B dan pada suatu waktu kelak mungkin bermakna C atau D. Perubahan makna dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain (1) perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, misalnya kata berlayar pada mulanya bermakna perjalanan di laut (air) dengan menggunakan perahu atau kapal yang digunakan dengan menggunakan tenaga layar berubah maknanya menjadi sebuah tindakan mengarungi lautan atau perairan dengan menggunakan kapal bertenaga mesin bahkan bertenaga nuklir; (2) perkembangan sosial dan budaya, misalnya kata sarjana dulu menurut bahasa Jawa kuno berarti orang pandai atau cendekiawan berubah maknanya menjadi orang yang sudah lulus perguruan tinggi; (3) perbedaan bidang pemakaian, misalnya kata menggarap yang berasal dari bidang pertanian sekarang banyak digunakan dalam bidang-bidang lain dengan makna mengerjakan; (4) adanya asosiasi, misalnya kata amplop yang berasal dari bidang administrasi atau suratmenyurat sekarang digunakan dengan maksud yang lain; (5) adanya pertukaran tanggapan, misalnya rasa pedas seharusnya ditanggap oleh alat indera perasa pada lidah tertukar menjadi ditanggap oleh alat indera pendengaran seperti tampak dalam kalimat kata-katanya cukup pedas; (6) adanya perbedaan tanggapan, misalnya kata bini sekarang dianggap memiliki nilai yang rendah, sedangkan kata isteri dianggap memiliki nilai rasa yang tinggi; (7) adanya penyingkatan, misalnya meninggal dunia menjadi meninggal, dokter menjadi dok; (8) adanya pengembangan istilah, misalnya kata papan semula memiliki makna lempengan kayu tipis, sekarang dianggkat menjadi istilah untuk makna perumahan. Dalam bahasa Indonesia ada beberapa jenis perubahan makna, yaitu (1) meluas, yakni gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain; misalnya, kata saudara yang pada mulanya bermakna seperut atau sekandungan, sekarang berkembang maknanya menjadi siapa saja yang sepertalian darah, bahkan semua orang yang sama derajatnya disebut saudara; kata kakak yang sebenarnya bermakna saudara sekandung yang lebih tua meluas maknanya menjadi siapa saja yang pantas dianggap atau disebut sebagai saudara sekandung yang lebih tua; (2) menyempit, yaitu gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas kemudian berubah terbatas hanya pada sebuah makna saja, misalnya kata sarjana dulu dipakai untuk semua orang

cendekiawan sekarang hanya berarti orang yang lulus perguruan tinggi, kata pendeta dulu bermakna orang yang berilmu sekarang berubah maknanya menjadi guru agama Kristen; (3) amelioratif, yaitu suatu proses perubahan makna yang pada mulanya memiliki makna lebih rendah daripada makna sekarang, misalnya kata wanita sekarang maknanya dirasakan lebih tinggi daripada kata perempuan, kata suami sekarang maknanya dirasakan lebih baik, lebih hormat daripada kata laki; (4) peyoratif, yaitu perubahan makna yang mengakibatkan sebuah kata atau ungkapan menggambarkan sasuatu yang kurang baik atau kurang enak dibandingkan dengan makna semula, misalnya kata perempuan sekarang maknanya mengandung nilai yang kurang baik, kata gelandangan sekarang maknanya mengandung nilai yang kurang baik; (5) perubahan total, yaitu berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya, misalnya kata seni pada mulanya selalu dihubungkan dengan air seni atau kencing, sekarang diartikan sebagai karya atau ciptaan; (6) penghalusan, yaitu gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk kata yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan daripada kata-kata yang digantikannya, misalnya frasa pembantu rumah tangga mengganti kata babu, frasa wanita tunasusila mengganti kata pelacur; (7) pengasaran, yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar, misalnya ungkapan masuk kotak mengganti kata kalah, kata mendepak mengganti kata mengeluarkan; (8) asosiasi, yaitu perubahan makna yang terjadi karena adanya persamaan sifat, sehingga suatu kata atau istilah dapat dipakai untuk pengertian yang lain, misalnya kata biang keladi dipakai untuk menyebut orang yang menjadi penyebab atau pemimpin suatu perbuatan jahat, kata lintah darat dipakai untuk menyebut orang yang mempunyai sifat seperti lintah, yaitu menghisap harta benda orang lain; (9) sinestesia, yaitu perubahan makna akibat adanya kecenderungan untuk mengubah tanggapan dengan tujuan untuk menegaskan maksud, misalnya kata pedas yang seharusnya ditanggap oleh alat indera perasa lidah tertukar menjadi ditanggap oleh alat indera pendengaran seperti dalam kalimat Katakatanya sangat pedas, kata manis yang seharusnya ditanggap oleh alat indera perasa lidah tertukar menjadi ditanggap oleh alat indera penglihatan seperti dalam kalimat Anak itu wajahnya cukup manis. 3.15 Pokok Bahasan Pertemuan ke-15 Kata atau ungkapan tabu adalah kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang tidak boleh digunakan dalam suasana tertentu terutama dalam hubungannya dengan kepercayaan. Larangan itu muncul karena anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan memercayai bahwa kata atau ungkapan yang dimaksud dapat menimbulkan bahaya. Akibatnya, masyarakat mencoba untuk mencari ungkapanungkapan pengganti atau mengubah bunyi ungkapan-ungkapan bersangkutan. Ada tiga jenis tabu yang hadir dalam kehidupan manusia, yakni tabu yang berkaitan dengan sesuatu yang menakutkan (taboo of fear), tabu yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak mengenakkan (taboo of delicacy), dan tabu yang berkaitan dengan ketidakpantasan (taboo of propriety). Dalam komunikasi verbal, ketiga jenis tabu tersebut direpresentasikan melalui bentuk lingual yang disebut ungkapan tabu.

Dengan demikian, setidaknya ada tiga jenis ungkapan tabu yang biasa dikenal dalam aktivitas harian manusia, yaitu (1) ungkapan tabu yang berkaitan dengan sesuatu yang menakutkan, (2) ungkapan tabu yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak mengenakkan, dan (3) ungkapan tabu yang berkaitan dengan ketidakpantasan. Selain berdasarkan penjenisan di atas, ungkapan tabu untuk tipe (2) dan (3) biasanya disebut juga kelompok ungkapan disfemia. Disfemia adalah ungkapan atau nilai rasa yang sifatnya memperkasar perasaan. Ungkapan ini dilakukan untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang bermakna kasar. Hal ini biasanya terjadi pada situasi yang tidak menyenangkan atau dalam keadaan perasaan jengkel atau marah. Penutur bahasa Indonesia biasanya mengganti ungkapan tabu tersebut dengan bentuk eufemismenya. Eufemisme berasal dari bahasa Yunani eufemia yang artinya penggunaan kata yang baik. Eufemia dalam masyarakat tidak semata-mata berhubungan dengan kehidupan keagamaan atau kepercayaan, yaitu penggantian katakata dalam upacara keagamaan yang dianggap mempunyai daya untuk membangkitkan bahaya. Eufemisme juga berhubungan dengan beberapa bidang yang lain, yaitu sosial dan tata krama (sopan santun). Ada delapan cara untuk menghindari pemakaian kata-kata atau ungkapanungkapan tabu dalam bahasa Indonesia, yaitu (a) mengganti bunyi kata atau ungkapan tabu, misalnya kata anjing menjadi anjir atau anjrit; (b) menyebut kata atau ungkapan tabu dengan singkatan, misalnya wanita pelacur menjadi wanita P; (c) menggunakan gaya bahasa metafora atau kiasan, misalnya ular disebut akar; (d) menggunakan kata lain berdasarkan kata yang sudah ada, misalnya digeser atau dihentikan dari pekerjaan diganti dengan diremajakan; (e) menyebut kata atau ungkapan tabu dengan kata asing, misalnya kata pantat diganti oleh kata Arab zubur; (f) menciptakan kata baru untuk mengganti kata atau ungkapan tabu yang dipandang tidak sesuai, misalnya tunanetra untuk mengganti kata buta; (g) menggunakan kata lain yang dianggap lebih sesuai dengan suasana zaman, misalnya pekerja untuk mengganti kata kuli; (h) menggunakan ungkapan lain yang memberikan kesan dan pandangan yang baik, misalnya kembali ke pangkuan ibu pertiwi untuk mengganti kata menyerah. 3.16 Pokok Bahasan Pertemuan ke-16 Ujian Akhir Semester 4. Referensi 1) Aminudin. 1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru. 2) Chaer, A. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 3) Djajasudarma, T. F. 1993. Semantik 1 dan 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Eresco. 4) Feisal, J. A. 1991. Masalah Semantik dan Implikasi Pedagogisnya. Bandung: University Press IKIP Bandung. 5) Katz, J. J. 1972. Semantic Theory. New York: Harper & Row. 6) Leech, G. 1974. Semantic. New York: Penguin Books Ltd. 7) Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman.

8) Lyons, J. 1968. Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. 9) Lyons, J. 1979. Semantics Volume 1. Cambridge: Cambridge University Press. 10) Palmer, F. R. 1976. Semantics: A New Outline. Cambridge: Cambridge University Press. 11) Parera, J. D. 1990. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga. 12) Pateda, M. 1986. Semantik Leksikal. Ende-Flores: Nusa Indah. 13) Sitaresmi, N. & Fasya, M. 2011. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Bandung: UPI Press. 14) Slametmuljana. 1964. Semantik: Ilmu Makna. Jakarta: Penerbit Jambatan. 15) Tarigan, H. G. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. 16) Titus, H. H. 1959. Living Issues in Philosophy: An Introductory Textbook. New York: American Book Company. 17) Ullmann, S. 1972. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basic Blackwell. 18) Verhaar, J. W. M. 1987. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 19) Wijana, I D. P. 2008. Kata-kata Kasar dalam Bahasa Jawa dalam Jurnal Humaniora Volume 20, Nomor 3. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. 20) Wijana, I D. P. 2010. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dibuat oleh

Diperiksa oleh Ketua Program Studi Dik,

Disahkan oleh Ketua Jurusan Diksatrasia,

Mahmud Fasya, S.Pd., M.A.

Dr. Hj. Isah Cahyani, M.Pd.

Dr. Sumiyadi, M.Hum.

Anda mungkin juga menyukai