Anda di halaman 1dari 16

METODE ANALISIS WACANA

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas kelompok dalam Mata Kuliah
Kajian Wacana yang diampu oleh Dr. Masrin, M.Pd.

Disusun oleh:

1. Nur’aini (20187179022)

2. Via Hapsari Indah (20187179063)

3. Siti Masithoh (20187179066)

Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

Fakultas Pascasarjana

Universita Indraprasta PGRI

2020
PENDAHULUAN

Jika kita berbicara tentang wacana berarti kita bicara bukan hanya soal kata-
kata yang dihasilkan dari lisan, tetapi juga yang dihasilkan dari tulisan. Sebab wacana
memiliki makna yang sangat luas bukan hanya berbicara sepatah kata, tetapi juga
berbicara cara lebih kompleks dari itu yaitu selain berbicara kata juga berbicara
kalimat, selain berbicara kalimat juga berbicara paragraf, selain berbicara paragraf
juga berbicara tentang sebuah teks. Dalam sebuah kajian wacana selagi konstituen
bahasa tersebut memiliki makna dan juga memiliki maksud atau tujuan maka
konstitusi tersebut dapat dikatakan sebuah wacana.
Seperti yang dikatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima
bahwa sebuah wacana adalah komunikasi verbal; percakapan; keseluruhan tutur yang
merupakan suatu kesatuan; satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam
bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah;
kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses
memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat; pertukaran ide secara verbal.
Dari definisi tersebut dapat ditangkap sebuah informasi seperti apa yang sudah
disampaikan di awal paragraf bahwa wacana bukan hanya soal tentang verbal dari
lisan atau tulisan, melainkan verbal yang berkaitan baik secara lisan maupun tulisan
serta memiliki makna atau tujuan dari segi komunikasi yang dipahami oleh si penutur
juga si penerima tuturan jika wacana tersebut secara lisan dan si penulis juga si
pembaca jika wacana tersebut secara tulisan.
Keunikan dan keragaman yang ada dalam wacana dapat menarik orang yang
mencintai dunia bahasa pada khususnya untuk mengkaji lebih dalam dengan maksud
atau tujuan memahami dan menggali ilmu wacana itu sendiri. Tentu ketika kita ingin
mengkaji sesuatu kita harus memiliki alat untuk mengkajinya kita harus memahami
bagaimana cara atau metodenya seperti kita analogikan ketika ingin mengupas sebuah
mangga maka kita harus memiliki pisau yang tajam agar dengan mudahnya kita
mengupas kulit demi kulit dari mangga tersebut. Pun demikian halnya ketika kita
ingin menggali ilmu atau informasi yang berkaitan dengan wacana, kita perlu
memahami terlebih dahulu bagaimana metode untuk menganalisis sebuah wacana.
Paparan kali ini akan membahas tentang metode analisis wacana. Dalam
paparan ini akan dibahas langkah-langkah atau hal apa saja yang dapat kita analisis
dari wacana yang kita gunakan sebagai objek kajiannya.
PEMBAHASAN

I. Analisis Wacana secara Hierarkis

Wacana merupakan satuan kebahasaan terlengkap dengan cangkupan yang paling luas
lebih lengkap dari klausa dan kalimat bahkan wacana lebih besar dari paragraf karena sebuah
wacana bisa terdiri atas sejumlah paragraf. Oleh karena itu, analisis wacana merujuk pada
upaya mengkaji aturan satuan–satuan bahasa yang lebih lengkap dan luas, seperti percakapan
ataupun wacana tulis. Analisis wacana memperhatikan pemakaian bahasa dalam konteks
sosial, terutama interaksi diantara para penutur (Stubbs, 1983:1).

Secara hierarkis wacana dimulai dari tataran yang lingkupnya paling kecil menuju
tataran yang cakupan paling besar yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan wacana.
Oleh karena itu, analisisnya bisa dimulai secara berurutan yakni dari analisis fonologi (bunyi
bahasa) sebagai kajian awal bahasa, kajian morfologi (tentang bentuk dan tata kalimat),
kajian semantik (tentang makna dan perubahan makna), kajian pragmatik (tentang pemakian
bahasa berkitan dengan konteknya), dan kajian wacana (kajian tentang kata,kalimat,
pemakaian wacana dan interpretasi )kajian wacana dianggap sebagai kajian bahasa yang
terlengkap karena mencakup kajian bahasa yang ada dibawahnya urutannya sebagai berikut :

Fonologi morfologi sintaksis--semantikpragmatikwacana

Keterangan:

Fonologi merupakan kajian awal awal bahasa, dilanjutkan dengan kajian sintaksis, semantik
dan, pragmatik lalu kajian yang terlengkap.

Wacana dapat dianalisis dengan teknik analisis dengan teknik analilsis internal dan
eksternal meliputi:

a. Analisis Internal meliputi analisis teks teks dan konteks, tema, topik, judul, aspek
keutuhan wacana leksikal, gramatikal, dan semantik
b. Analisis Eksternal meliputi inferensi, presuposisi, (pranggapan, implikatur dan
pemahaman yang dalam tentang konteks yang menjadi latar belakang terjadinya
wacana.
Tinggi rendahnya kualitas suatu analisis wacana sama sekali tidak berkaitan dengan
sedikit banyaknya unit yang dianalis. Kualitas analisis itu sangat dipengaruhi oleh
kemampuan lingustik analisis serta teknik dan metode analisis yang digunakan.

Analisis wacana berupaya menginterpretasi ujaran yang dihubungkan dengan konteks


tempat diucapkannya ujaran tersebut. Yang termasuk konteks ujaran adalah orang-orang yang
terlibat dalam interaksi, pengetahuan umum mereka mengenai dunia wacana itu, kebiasaan
dan adat istiadat yang berlaku, dan tempat ketika ujaran tersebut terjadi. Berikut adalah
paparan bagaimana menganalisis sebuah wacana:

II. Cara Memahami Wacana

Cara memahami wacana memerlukan pengetahuan “tentang dunianya wacana itu” selain
itu perlu memahami pula prinsip penafsiran lokal dan prinsip analogi.

A. Dengan Penafsiran Lokal

Di dalam analisis wacana yang komprehensif harus mempertimbangkan juga asas-


asas penafsiran yang disebut asas paenafsiran lokal. Penafsirkan lokal (interpretasi lokal)
menjadi dasar menginterpretasi wacana. Caranya mencari konteks yang melingkupi
wacana itu yaitu wilayah, area atau lokal tempat terciptanya wacana. Kontek lokal
wacana tulis misalnya konteks di sekitar media yang digunakan oleh wacana.

Pemahaman lokal atas apa yang ditemukan di sekitar konteks juga dapat digunakan
untuk menginterpretasi isi wacana misalnya judul sebuah rubrik “Anggota DPR main api
dengan Tanjung Api-api?” mungkin muncul banyak pertanyaan misalnya apa Tanjung
Api-api di mana letaknya dan lain sebagainya dan pertanyaan lainnya apa yang dimaksud
dengan main api dan siapa saja anggota DPR yang main api pertanyaan itu dapat dijawab
jika pembaca itu memliki pengetahuan yang memadai mengenai Tanjung Api-api dan apa
yang terjadi di sana berkaitan dengan anggota DPR.

Jika sebuah wacana hadir lewat konteks tuturan lisan, pendengar atau yang berbicara
harus melihat konteks yang terdekat dengan hadirnya wacana itu.
B. Dengan Analogi

Prinsip analogi adalah prinsip memahami wacana yang mengajurkan kepada siapapun
yang ingin memahami wacana (tulis maupun lisan) agar memiliki bekal pengetahuan
umum (pengetahuan dunia) yang memadai atau pengetahuan yang luas tentang dunia
karena wacana merupkan aspek kristalisasi dan penyederhanaan dari itu disusun rapi,
menyatu, komprehensif, dan lengkap.

Prinsip analogi mampu menjelasakan gejala bahasa yang ada di sekitarnya jika hanya
dengan analisi sintaksis tentu akan dapat penjelasanya dengan baik. Contoh pecah bearti
membeli, tulisan ini bertujuan mengingatkan pembeli untuk berhati-hati.

Secara sintaksis kalimat itu terdiri subjek : pecah dan perdikat berarti membeli. Hanya
itu hasilnya tak ada yang lain. Akan tetapi dengan beranalogi pada kenyataan jika barang
keramak itu pecah harus mengganti pada penjualnya. Ternyata pengetahuan dan
pengalaman dunia telah mengajarkan hal yangn terbaik kepada kita sebagai wacana
tulisan singkat itu tentu tidak tertulis di sembarang toko misalnya di tolo kain atau toko
baju.

Wacana memang unik banyak aspek yang mencangkupnya yang sering tidak tampak
tetapi aspeknya benar adanya. Sebuah wacana tidak mungkin begitu saja muncul di dalam
masyarakat tanpa latar belakang dan sebab yang jelas wacana tidak hadir di ruang hampa,
di dalam masyarakat yang santun dan bertoleransi tinggi mengapa dari mereka lahir
wacana senada mengancam contohnya:

a. Hati-hati, ngebut, benjut.


b. Dilarang kencing di sini kecuali anjing.
c. Hati-hati, senggol bacok!.
d. Hati–hati ngetrek, cekek!

Dapat dipahami kalimat peringatan tersebut bukan prinsip analogi. Secara sosial
(ngetrek berarti melakukan kebut-kebutan atau balap liar) menjadi kebiasan buruk sebagian
remaja kota dan desa karena suara bising motor menggangu ketenangan orang lain. Muncul
wacana tersebut karena peringatan warga tidak digubris. Begitupula dengan dengan contoh
yang lain semuanya berupa peringatan.
Dalam teks bahasa Inggris penganalisis wacana dapat menggunakan asas analogi yang
akan memberikan kerangka penafsiran yang cukup pasti kepada pendengar dan penganalisis.
contohnya :

There was a young girl of st bees

Who was stung on the nose bay a wasp

When asked “does it hurt”

She replied , yes it does,

But I’m glad it wasn’t a hornet.

Asas anaologi adalah salah salah satu heuristik fundamental atau mendasar yang dianut
oleh pengedar dan penganalisis untuk menentukan tafsiran–tafsiran dengan
mempertimbangkan konteks.

III. Metode Analisis Wacana

Analisis wacana dapat berhasil dengan baik apabila dilakukan dengan teknik dan metode
yang sesuai dan memadai serta didasari oleh pengetahuan dan kemampuan yang memadai
juga beberapa metode subtantif yang sering digunakan untuk menganalisis wacana antara lain
metode deskrifsif, metode distribusional, metode analisis isi (analisis konten), dan metode
pragmalingustik. Berikut ini penjelasan mengenai metode tersebut.

A. Metode Deskriptif

Metode deskripsif digunakan untuk memeriksa, menggambarakan, menguraikan dan


menjelasakan fenomena objek penelitian. Metode ini menjelasakan data atau objek secara
alami, objektif, dan apa adanya. Metode deskritif yang digunakan untuk meneliti wacana
pada umumnya dimulai dengan mengklasifikasi objek penelitian. Kemudian, hasil
klasifikasi dianalisis secara deskritif.

Metode ini digunakan untuk meneliti misalnya surat kabar ataupun majalah, beberapa
penelitian wacana surat kabar ataupun majalah, kemudian jenis wacana ini dijadikan
objek penelitian. Langkah analisis deskritif wacana surat kabar anatara lain sebagai
berikut:
1. Pilih dan tentukan wacana yang akan diteliti
2. Tentukan unit analisis, pilah dan tentukan satuan data apa dan yang akan dijadikan
dasar analisis bagi wacana yang dijadikan objek penelitian.
3. Analisis dan deskripsikan satuan data kalimat yang terpilih diklasifikasikan dan
direduksi untuk mendapatkan data yangn valid dan terpercaya, kalimat pengacuan
yang memiliki persamaan pola dikelompokkan lalu dianalis secara deskriptif .

B. Metode Distribusional

Metode distribusional digunakan untuk menganalisis struktur internal wacana,


analisis ini sering mengabaiakan unsur eksternal wacana (konteks wacana) karena yang
penting ialah bagaimana memehami struktur wacana sebagai satuan lingual yang tidak
berkaitan dengan konteks situasional.

Metode distribusional digunakan untuk menganalisis struktur internal wacana, metode


distribusional berawal dari anggapan gramatikal dibangun oleh satuan lingual. Aspek
gramatikal itu perlu diuraikan proses paembentukan dan perubahannya apabila susunan
struktur agamatikal mengalami mobilisasi dan perubahan. Analisis distribusional cocok
untuk mendeskripsikan wacana sintaksis bebas konteks.

C. Metode Analisis Isi

Metode analisis konten wacana dipakai untuk menganalisis isi wacana, peneliti
wacana dengan kajian analis konten wacana juga dapat mebuat inferensi (simpulan) yang
bisa ditiru dan disahih dengan memperhatikan konteks. analisis konten wacana bisa
digunakan untuk menyusun interprestasi penelitian yanng sesuai dan koferhensif. oleh
karena itu analisis ini dapat digunakan untuk memproses bentuk–bentuk simbolik,
penelitian bisa memberi makna pada data berupa kalimat, paragraf atau seluruh wacana
dengan mempertimbangkan dan memformulasikan semua itu pada konteks (tempat,
waktu, situasi ketika peristiwa terjadi).

Digunakan untuk menganalisis wacana, meneliti wacana dengan kajian analisis


konten wacana juga dapat membuat wacana juga bisa maebuat interferensi (simpulan).
Langkah penelitian dengan metode analos konten sebagai berikut :
1. Data :
a. Manentukan satuan (unit analisis)
b. Menentukan sample
c. Metekam dan mencatat

2. Mereduksi data
3. Inferensi (menyimpulkan)
4. Analisis

Analisis konten untuk mendeskripsikan struktur dan isi wacana agar bisa menyimpulkan
dan mengetahui akibat pemakaian wacana.

D. Metode Pragmalingustik

Merupakan gabungan metode analisis pragmatik dan lingustik (struktural ) metode ini
melihat wacana sebagai satuan lingual (sebagai struktur bahasa), tetapi lebih
mementingkan aspek pemakaian bahasa secara langsung (pragmatik).

Metode ini mengkaji bagaimana para partisipan dapat bertutur dan dapat memahami
isi tuturan sesuai dengan konteks situasi yang tepat. Jadi, pragmatik menelaah makna
eksternal bahasa. Misalnya tuturan berikut :

“Aduh, banyak asap!”

Makna bagi tuturan bisa sebagai berikut :

1. Awas hati-hati berbahaya banyak asap (diucapakan saat ada kebakaran )


2. Pemberitahuan bahwa sesuatu ada yang terbakar (kalau tidak mungkin tidak ada asap)
3. Pemerintah membukakan pintu (diucapakan dalam ruangan agar tidak kemasukan
asap)

Masih banyak makna dari tuturan lain asalkan interpretasi sesuai dengan konteksnya.
Jadi, sejumlah makna dapat lahir dari tuturan tertentu karena makna tuturan amat relatif,
bergantung pada konteks yang melingkupinya.
Pragmatik sejalan dengan performance pemakaian bahasa Chomsky atau la parole (de
Saussure) yang berorientasi pada bahasa lisan. Oleh karena itu, pendekatan pragmatik
terhadap wacana harus mempertimbangkan faktor nonverbal, seperti:

a. Unsur suprasegmental (intonasi, nada, pelan, keras, dsb.);

b. Gerak tubuh ketika berkomunikasi, termasuk gerak mata (kinesik);

c. Jarak antarpenutur (akrab-tidak akrab, proksemik);

d. Pemanfaatan waktu ketika berinteraksi.

Selain itu, ada empat hal penting lainnya perlu dipelajari pragmatik, yaitu deiksis,
tindak ujar, praanggapan, dan implikatur. Berikut penjelasannya:

a. Deikisis

Merupakan fungsi menunjuk sesuatu diluar bahasa (Kridalaksana1984:36). Kata-kata


yang bermakna persona, bermakna tempat (seperti depan belakang, atas, bawah,
samping, sana, sini, situ), dan bermakna waktu (seperti sekarang, nanti, besok) adalah
kata-kata yang deiktis karena tidak memiliki tunjukan (referensi) tetap.

Dalam KBBI (1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk
sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya. Deiksis adalah
kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6).
Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu
ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut
makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.

Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa,
proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam
hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara
atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).

Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis
apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi
pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat
pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk
kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan
(1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).

Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah
diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup
anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah
disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah
penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk
mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang
berikut, yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh.

a. “Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya”. (anafora)

b. “Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli”. (katafora)

Dari kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (a) mengacu ke
paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (b) mengacu ke mangga
yang disebut kemudian.

b. Tindak Ujar

Tindak ujar merupakan fungsi bahasa yang menjadi sarana untuk melakukan sesuatu.
Setiap tuturan yang diucapkan oleh penutur sebenarnya mengandung fungsi komunikasi
tertentu. Sebuah tuturan tentu tidak asal saja hadir, tetapi pasti mengandung makna
ataupun maksud tertentu. Fungsi itulah yang menyebabkan para penutur melakukan suatu
tindakan. Misalnya, ketika merasa kegerahan di kelas, ibu guru berkata kepada salah
seorang muridnya yang duduk tidak jauh dari jendela.

Ibu guru : Lia, jendela itu bisa dibuka ya?

Lia : Bisa. Ibu kegerahan ya?

Tuturan tersebut bukan sekadar pertanyaan tetapi ibu guru meminta Lia melakukan
suatu tindakan yaitu membuka jendela untuknya.

Dalam percakapan sehari-hari, tuturan seperti itu banyak terjadi dan dapat berjalan
dengan lancar karena para peserta tuturan berada dalam suasana yang kira-kira sama
sehingga mereka sudah saling mengerti maksud tuturan.
Hal yang bisa dilakukan tindakan di dalam suatu percakapan, sebagai fungsi
komunikasi (Kaswanti Purwo, 1990: 20) antara lain ialah:

a. permintaan,
b. perintah,
c. ajakan,
d. tawaran, dan
e. penerimaan tawaran.

Tindak ujaran dalam kajian pragmatik terbagi menjadi tindak lokusi, ilokusi, dan
perlokusi. Lokusi dari suatu tuturan ialah makna dasar dan referensi dari tuturan itu.
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang bersifat ideasional. Tuturan lokusi
dipandang sebagai proposisi yang mengandung subjek atau topik dan predikat atau
komen.

Ilokusi suatu tuturan adalah daya yang ditimbulkan oleh pemakaian tuturan itu,
misalnya sebagai perintah, ejekan, keluhan, yang merupakan tindak ujar akibat dari
tuturan ilokusif. Komunikasi ilokusi bersifat interpersonal, tetapi isinya mengandung
tindakan. Misalnya tindak bahasa pertanyaan, pernyataan, tawaran, janji, dan lain-lain.

Tindak perlokusi berupa hasil yang ditimbulkan tuturan terhadap pendengar atau
pembaca. Tuturan perlokusi mengandung maksud yang diinginkan oleh penutur agar
keinginannya tampak wujudnya dalam tindakan. Singkatnya, lokusi berkaitan dengan
makna referensi tuturan, ilokusi berkaitan dengan daya tuturan, dan perlokusi merupakan
hasil tuturan.

c. Presupposisi (Praanggapan) dan Implikatur

Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa


Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum
pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya
tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan.

Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya


adalah: Levinson (dikutif Nababan, 1987:48) memberikan konsep praanggapan yang
disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau
pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan
mempunyai makna. George Yule (2006:43) menyatakan bahwa praanggapan atau
presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum
menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat.
Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau
inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan
(1987:46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar
mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk
bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa
itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat
dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.

Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan


adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang
akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan
contoh berikut :

a : “Aku sudah membeli bukunya Pak Udin kemarin”

b : “Dapat potongan 30 persen kan?

Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur (A) memiliki


praanggapan bahwa B mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis.

Kesalahan membuat praanggapan efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain,
praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang
diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihpotesiskan, makin tinggi nilai
komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Menurut Chaika (1982:76), dalam
beberapa hal, maka wacana dapat dicari melalui praanggapan. Ia mengacu pada makna
yang tidak dinyatakan secara eksplisit.

Contoh:

“Ayah saya datang dari Surabaya”.

“Minuman nya sudah selesai”.


Dari contoh (a) praanggapan adalah: (1) saya mempunyai ayah; (2) Ayah ada di
Surabaya. Pada contoh (a) praanggapannya adalah silahkan diminum. Oleh karena itu,
fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respons orang terhadap
penafsiran suatu ujaran.

Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memcahkan
persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.
Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud
oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah Brown
dan Yule (1983:1. Sebagai contoh, kalau ada ujaran panas disini bukan? Maka secara
implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin di hidupkan atau jendela dibuka.

Makna tersirat (implied meaning) atau implikatur adalah makna atau pesan yang
tersirat dalam ungkapan lisan dan atau wacana tulis. Kata lain implikatur adalah
ungkapan secara tidak langsung yakni makna ungkapan tidak tercermin dalam kosa kata
secara literal (Ihsan, 2011:93)

Menurut Grice (dikutif Rani, Arifin dan Martutik, 2004:171), dalam pemakaian
bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang
ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’.

Contoh:

Dia orang Palembang karena itu dia pemberani.

Pada contoh tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri
(pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Palembang), tetapi bentuk ungkapan
yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau
individu itu dimaksud orang Palembang dan tidak pemberani, implikaturnya yang keliru
tetapi ujaran tidak salah.

IV. Teknik Analisis Keruntutan

Keruntutan alur maknanya untuk maenganalisis pola keruntutan itu gunanaya untuk
teknik permutasi (pembalikan ) dan teknik subtasional (penggantian).
A. Teknik Permutasi

Teknik Permutasi (pembalikan) digunakan untuk menguji kaeasejajaran atau atau


kelancaran makna dalam merangkangkaian kalimat dan maenguji ketegaran letak suatu
unsur dalam susunan beruntun. Teknik pembalikan dilakukan dengan memindahkan
wujud satuan lingual sebagai satu kesatuan.

Misal :

a. Kepada para penumpang harap membayar dengan uang pas.


b. Harap membayar dengan uang pas kepada para penumpang.

Kalimat b mengalami permutasian sehingga memberikan kesan makna yang berbeda


dengan yang a. Makna kalimat a serupa dengan kalimat berikut ini para penumpang
harap membayar dengan uang pas.

Jadi, permutasi (pembalikan) kalimat boleh saja dilakukan dengan memerhatikan


keserupaan makna yang dituturkan oleh pengujar kalimat pertama.

B. Teknik Substitusi

Teknis substitusi atau teknik pergantian digunakan untuk mengaanalisis kalimat atau
rangkaian kalimat dengan cara mengganti bagian atau unsur kalimat tertentu dengan
unsur lainnya diluar kalimat itu. Teknik ini untuk menguji serasi tidaknya tauatan makna
suatu unsur dengan konteks internalnya.

Misal:

Kami berhak mengubah isi tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah tulisan Anda.

Frasa tulisan Anda tidak bisa diubah dengan tulisan itu atau tulisan demikian. Kata
demikian sendiri pun tidak dapat diubah dengan demikian itu. Sebab setiap kata yang
berdiri sendiri memiliki makna dan dapat berubah makna jika disandingkan dengan kata
lain dan membentuk frasa. Oleh karena itu, teknik substitusi ini dapat digunakan dalam
menganalisis suatu wacana dari segi keberterimaan makna.
PENUTUP

Wacana merupakan satuan kebahasaan terlengkap dengan cangkupan paling luas.


Secara hierarkis wacana dimulai dari tataran yang rendah yaitu fonologi dan morfologi
merupakan kajian awal bahasa dilanjutkan dengan kajian sintaksis, semantik, pragmatic, dan
yang terlengkap wacana.

Wacana dapat dianalisis dengan teknik analisis internal yakni dari dalam kalimat
yang membangun suatu makna itu sendiri maupun eksternal yakni faktor dari luar yang dapat
berupa konteks. Cara menafsirkan wacana dengan berbagai cara diantaranya yaitu penafsiran
local dan analogi. Langkah-langkah atau metode yang dapat dilakukan oleh penganalisis
wacana antara lain adalah metode analisis wacana yang di dalamnya ada metode deskritif,
metode distibusional, metode analisis isi, dan metode pragmatiklingustik yang di dalamnya
terbagi lagi beberapa hal seperti deiksis, tindak ujar, presupposisi atau praanggapan, dan
implikatur, serta yang terakhir adalah teknik analisis keruntutan yang di dalamnya ada dua
teknik lagi yaitu teknik permutasi dan teknik substitusi.

Dapat disimpulkan jadi, begitu banyak langkah, cara, metode, maupun teknik yang
ditawarkan oleh para ahli untuk menganalisis sebuah wacana atau lebih. Tentu metode atu
teknik-teknik tersebut disesuaikan dengan wacana yang menjadi objek analisisnya dan tujuan
dari analisis tersebut apa yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, E. Zaenal. Dkk. 2015. Wacana: Transaksional dan Interaksional dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pustaka Mandiri.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak


Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.

Nababan, P.W.J.1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Remeja


Rusdakarya.

George, Yuli. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ihsan, Dimroh. 2011. Pragmatik, Anasilisis Wacana, dan Guru Bahasa. Palembang:
Universitas Sriwiwjaya.

Rani, A. Arifin, B. dan Martutik. 2004. Analisis Wancana Sebuah Kajian Bahasa
dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.

Anda mungkin juga menyukai