Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas kelompok dalam Mata Kuliah
Kajian Wacana yang diampu oleh Dr. Masrin, M.Pd.
Disusun oleh:
1. Nur’aini (20187179022)
Fakultas Pascasarjana
2020
PENDAHULUAN
Jika kita berbicara tentang wacana berarti kita bicara bukan hanya soal kata-
kata yang dihasilkan dari lisan, tetapi juga yang dihasilkan dari tulisan. Sebab wacana
memiliki makna yang sangat luas bukan hanya berbicara sepatah kata, tetapi juga
berbicara cara lebih kompleks dari itu yaitu selain berbicara kata juga berbicara
kalimat, selain berbicara kalimat juga berbicara paragraf, selain berbicara paragraf
juga berbicara tentang sebuah teks. Dalam sebuah kajian wacana selagi konstituen
bahasa tersebut memiliki makna dan juga memiliki maksud atau tujuan maka
konstitusi tersebut dapat dikatakan sebuah wacana.
Seperti yang dikatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima
bahwa sebuah wacana adalah komunikasi verbal; percakapan; keseluruhan tutur yang
merupakan suatu kesatuan; satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam
bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah;
kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses
memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat; pertukaran ide secara verbal.
Dari definisi tersebut dapat ditangkap sebuah informasi seperti apa yang sudah
disampaikan di awal paragraf bahwa wacana bukan hanya soal tentang verbal dari
lisan atau tulisan, melainkan verbal yang berkaitan baik secara lisan maupun tulisan
serta memiliki makna atau tujuan dari segi komunikasi yang dipahami oleh si penutur
juga si penerima tuturan jika wacana tersebut secara lisan dan si penulis juga si
pembaca jika wacana tersebut secara tulisan.
Keunikan dan keragaman yang ada dalam wacana dapat menarik orang yang
mencintai dunia bahasa pada khususnya untuk mengkaji lebih dalam dengan maksud
atau tujuan memahami dan menggali ilmu wacana itu sendiri. Tentu ketika kita ingin
mengkaji sesuatu kita harus memiliki alat untuk mengkajinya kita harus memahami
bagaimana cara atau metodenya seperti kita analogikan ketika ingin mengupas sebuah
mangga maka kita harus memiliki pisau yang tajam agar dengan mudahnya kita
mengupas kulit demi kulit dari mangga tersebut. Pun demikian halnya ketika kita
ingin menggali ilmu atau informasi yang berkaitan dengan wacana, kita perlu
memahami terlebih dahulu bagaimana metode untuk menganalisis sebuah wacana.
Paparan kali ini akan membahas tentang metode analisis wacana. Dalam
paparan ini akan dibahas langkah-langkah atau hal apa saja yang dapat kita analisis
dari wacana yang kita gunakan sebagai objek kajiannya.
PEMBAHASAN
Wacana merupakan satuan kebahasaan terlengkap dengan cangkupan yang paling luas
lebih lengkap dari klausa dan kalimat bahkan wacana lebih besar dari paragraf karena sebuah
wacana bisa terdiri atas sejumlah paragraf. Oleh karena itu, analisis wacana merujuk pada
upaya mengkaji aturan satuan–satuan bahasa yang lebih lengkap dan luas, seperti percakapan
ataupun wacana tulis. Analisis wacana memperhatikan pemakaian bahasa dalam konteks
sosial, terutama interaksi diantara para penutur (Stubbs, 1983:1).
Secara hierarkis wacana dimulai dari tataran yang lingkupnya paling kecil menuju
tataran yang cakupan paling besar yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan wacana.
Oleh karena itu, analisisnya bisa dimulai secara berurutan yakni dari analisis fonologi (bunyi
bahasa) sebagai kajian awal bahasa, kajian morfologi (tentang bentuk dan tata kalimat),
kajian semantik (tentang makna dan perubahan makna), kajian pragmatik (tentang pemakian
bahasa berkitan dengan konteknya), dan kajian wacana (kajian tentang kata,kalimat,
pemakaian wacana dan interpretasi )kajian wacana dianggap sebagai kajian bahasa yang
terlengkap karena mencakup kajian bahasa yang ada dibawahnya urutannya sebagai berikut :
Keterangan:
Fonologi merupakan kajian awal awal bahasa, dilanjutkan dengan kajian sintaksis, semantik
dan, pragmatik lalu kajian yang terlengkap.
Wacana dapat dianalisis dengan teknik analisis dengan teknik analilsis internal dan
eksternal meliputi:
a. Analisis Internal meliputi analisis teks teks dan konteks, tema, topik, judul, aspek
keutuhan wacana leksikal, gramatikal, dan semantik
b. Analisis Eksternal meliputi inferensi, presuposisi, (pranggapan, implikatur dan
pemahaman yang dalam tentang konteks yang menjadi latar belakang terjadinya
wacana.
Tinggi rendahnya kualitas suatu analisis wacana sama sekali tidak berkaitan dengan
sedikit banyaknya unit yang dianalis. Kualitas analisis itu sangat dipengaruhi oleh
kemampuan lingustik analisis serta teknik dan metode analisis yang digunakan.
Cara memahami wacana memerlukan pengetahuan “tentang dunianya wacana itu” selain
itu perlu memahami pula prinsip penafsiran lokal dan prinsip analogi.
Pemahaman lokal atas apa yang ditemukan di sekitar konteks juga dapat digunakan
untuk menginterpretasi isi wacana misalnya judul sebuah rubrik “Anggota DPR main api
dengan Tanjung Api-api?” mungkin muncul banyak pertanyaan misalnya apa Tanjung
Api-api di mana letaknya dan lain sebagainya dan pertanyaan lainnya apa yang dimaksud
dengan main api dan siapa saja anggota DPR yang main api pertanyaan itu dapat dijawab
jika pembaca itu memliki pengetahuan yang memadai mengenai Tanjung Api-api dan apa
yang terjadi di sana berkaitan dengan anggota DPR.
Jika sebuah wacana hadir lewat konteks tuturan lisan, pendengar atau yang berbicara
harus melihat konteks yang terdekat dengan hadirnya wacana itu.
B. Dengan Analogi
Prinsip analogi adalah prinsip memahami wacana yang mengajurkan kepada siapapun
yang ingin memahami wacana (tulis maupun lisan) agar memiliki bekal pengetahuan
umum (pengetahuan dunia) yang memadai atau pengetahuan yang luas tentang dunia
karena wacana merupkan aspek kristalisasi dan penyederhanaan dari itu disusun rapi,
menyatu, komprehensif, dan lengkap.
Prinsip analogi mampu menjelasakan gejala bahasa yang ada di sekitarnya jika hanya
dengan analisi sintaksis tentu akan dapat penjelasanya dengan baik. Contoh pecah bearti
membeli, tulisan ini bertujuan mengingatkan pembeli untuk berhati-hati.
Secara sintaksis kalimat itu terdiri subjek : pecah dan perdikat berarti membeli. Hanya
itu hasilnya tak ada yang lain. Akan tetapi dengan beranalogi pada kenyataan jika barang
keramak itu pecah harus mengganti pada penjualnya. Ternyata pengetahuan dan
pengalaman dunia telah mengajarkan hal yangn terbaik kepada kita sebagai wacana
tulisan singkat itu tentu tidak tertulis di sembarang toko misalnya di tolo kain atau toko
baju.
Wacana memang unik banyak aspek yang mencangkupnya yang sering tidak tampak
tetapi aspeknya benar adanya. Sebuah wacana tidak mungkin begitu saja muncul di dalam
masyarakat tanpa latar belakang dan sebab yang jelas wacana tidak hadir di ruang hampa,
di dalam masyarakat yang santun dan bertoleransi tinggi mengapa dari mereka lahir
wacana senada mengancam contohnya:
Dapat dipahami kalimat peringatan tersebut bukan prinsip analogi. Secara sosial
(ngetrek berarti melakukan kebut-kebutan atau balap liar) menjadi kebiasan buruk sebagian
remaja kota dan desa karena suara bising motor menggangu ketenangan orang lain. Muncul
wacana tersebut karena peringatan warga tidak digubris. Begitupula dengan dengan contoh
yang lain semuanya berupa peringatan.
Dalam teks bahasa Inggris penganalisis wacana dapat menggunakan asas analogi yang
akan memberikan kerangka penafsiran yang cukup pasti kepada pendengar dan penganalisis.
contohnya :
Asas anaologi adalah salah salah satu heuristik fundamental atau mendasar yang dianut
oleh pengedar dan penganalisis untuk menentukan tafsiran–tafsiran dengan
mempertimbangkan konteks.
Analisis wacana dapat berhasil dengan baik apabila dilakukan dengan teknik dan metode
yang sesuai dan memadai serta didasari oleh pengetahuan dan kemampuan yang memadai
juga beberapa metode subtantif yang sering digunakan untuk menganalisis wacana antara lain
metode deskrifsif, metode distribusional, metode analisis isi (analisis konten), dan metode
pragmalingustik. Berikut ini penjelasan mengenai metode tersebut.
A. Metode Deskriptif
Metode ini digunakan untuk meneliti misalnya surat kabar ataupun majalah, beberapa
penelitian wacana surat kabar ataupun majalah, kemudian jenis wacana ini dijadikan
objek penelitian. Langkah analisis deskritif wacana surat kabar anatara lain sebagai
berikut:
1. Pilih dan tentukan wacana yang akan diteliti
2. Tentukan unit analisis, pilah dan tentukan satuan data apa dan yang akan dijadikan
dasar analisis bagi wacana yang dijadikan objek penelitian.
3. Analisis dan deskripsikan satuan data kalimat yang terpilih diklasifikasikan dan
direduksi untuk mendapatkan data yangn valid dan terpercaya, kalimat pengacuan
yang memiliki persamaan pola dikelompokkan lalu dianalis secara deskriptif .
B. Metode Distribusional
Metode analisis konten wacana dipakai untuk menganalisis isi wacana, peneliti
wacana dengan kajian analis konten wacana juga dapat mebuat inferensi (simpulan) yang
bisa ditiru dan disahih dengan memperhatikan konteks. analisis konten wacana bisa
digunakan untuk menyusun interprestasi penelitian yanng sesuai dan koferhensif. oleh
karena itu analisis ini dapat digunakan untuk memproses bentuk–bentuk simbolik,
penelitian bisa memberi makna pada data berupa kalimat, paragraf atau seluruh wacana
dengan mempertimbangkan dan memformulasikan semua itu pada konteks (tempat,
waktu, situasi ketika peristiwa terjadi).
2. Mereduksi data
3. Inferensi (menyimpulkan)
4. Analisis
Analisis konten untuk mendeskripsikan struktur dan isi wacana agar bisa menyimpulkan
dan mengetahui akibat pemakaian wacana.
D. Metode Pragmalingustik
Merupakan gabungan metode analisis pragmatik dan lingustik (struktural ) metode ini
melihat wacana sebagai satuan lingual (sebagai struktur bahasa), tetapi lebih
mementingkan aspek pemakaian bahasa secara langsung (pragmatik).
Metode ini mengkaji bagaimana para partisipan dapat bertutur dan dapat memahami
isi tuturan sesuai dengan konteks situasi yang tepat. Jadi, pragmatik menelaah makna
eksternal bahasa. Misalnya tuturan berikut :
Masih banyak makna dari tuturan lain asalkan interpretasi sesuai dengan konteksnya.
Jadi, sejumlah makna dapat lahir dari tuturan tertentu karena makna tuturan amat relatif,
bergantung pada konteks yang melingkupinya.
Pragmatik sejalan dengan performance pemakaian bahasa Chomsky atau la parole (de
Saussure) yang berorientasi pada bahasa lisan. Oleh karena itu, pendekatan pragmatik
terhadap wacana harus mempertimbangkan faktor nonverbal, seperti:
Selain itu, ada empat hal penting lainnya perlu dipelajari pragmatik, yaitu deiksis,
tindak ujar, praanggapan, dan implikatur. Berikut penjelasannya:
a. Deikisis
Dalam KBBI (1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk
sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya. Deiksis adalah
kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6).
Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu
ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut
makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa,
proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam
hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara
atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).
Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis
apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi
pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat
pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk
kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan
(1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah
diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup
anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah
disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah
penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk
mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang
berikut, yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh.
a. “Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya”. (anafora)
Dari kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (a) mengacu ke
paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (b) mengacu ke mangga
yang disebut kemudian.
b. Tindak Ujar
Tindak ujar merupakan fungsi bahasa yang menjadi sarana untuk melakukan sesuatu.
Setiap tuturan yang diucapkan oleh penutur sebenarnya mengandung fungsi komunikasi
tertentu. Sebuah tuturan tentu tidak asal saja hadir, tetapi pasti mengandung makna
ataupun maksud tertentu. Fungsi itulah yang menyebabkan para penutur melakukan suatu
tindakan. Misalnya, ketika merasa kegerahan di kelas, ibu guru berkata kepada salah
seorang muridnya yang duduk tidak jauh dari jendela.
Tuturan tersebut bukan sekadar pertanyaan tetapi ibu guru meminta Lia melakukan
suatu tindakan yaitu membuka jendela untuknya.
Dalam percakapan sehari-hari, tuturan seperti itu banyak terjadi dan dapat berjalan
dengan lancar karena para peserta tuturan berada dalam suasana yang kira-kira sama
sehingga mereka sudah saling mengerti maksud tuturan.
Hal yang bisa dilakukan tindakan di dalam suatu percakapan, sebagai fungsi
komunikasi (Kaswanti Purwo, 1990: 20) antara lain ialah:
a. permintaan,
b. perintah,
c. ajakan,
d. tawaran, dan
e. penerimaan tawaran.
Tindak ujaran dalam kajian pragmatik terbagi menjadi tindak lokusi, ilokusi, dan
perlokusi. Lokusi dari suatu tuturan ialah makna dasar dan referensi dari tuturan itu.
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang bersifat ideasional. Tuturan lokusi
dipandang sebagai proposisi yang mengandung subjek atau topik dan predikat atau
komen.
Ilokusi suatu tuturan adalah daya yang ditimbulkan oleh pemakaian tuturan itu,
misalnya sebagai perintah, ejekan, keluhan, yang merupakan tindak ujar akibat dari
tuturan ilokusif. Komunikasi ilokusi bersifat interpersonal, tetapi isinya mengandung
tindakan. Misalnya tindak bahasa pertanyaan, pernyataan, tawaran, janji, dan lain-lain.
Tindak perlokusi berupa hasil yang ditimbulkan tuturan terhadap pendengar atau
pembaca. Tuturan perlokusi mengandung maksud yang diinginkan oleh penutur agar
keinginannya tampak wujudnya dalam tindakan. Singkatnya, lokusi berkaitan dengan
makna referensi tuturan, ilokusi berkaitan dengan daya tuturan, dan perlokusi merupakan
hasil tuturan.
Kesalahan membuat praanggapan efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain,
praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang
diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihpotesiskan, makin tinggi nilai
komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Menurut Chaika (1982:76), dalam
beberapa hal, maka wacana dapat dicari melalui praanggapan. Ia mengacu pada makna
yang tidak dinyatakan secara eksplisit.
Contoh:
Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memcahkan
persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.
Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud
oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah Brown
dan Yule (1983:1. Sebagai contoh, kalau ada ujaran panas disini bukan? Maka secara
implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin di hidupkan atau jendela dibuka.
Makna tersirat (implied meaning) atau implikatur adalah makna atau pesan yang
tersirat dalam ungkapan lisan dan atau wacana tulis. Kata lain implikatur adalah
ungkapan secara tidak langsung yakni makna ungkapan tidak tercermin dalam kosa kata
secara literal (Ihsan, 2011:93)
Menurut Grice (dikutif Rani, Arifin dan Martutik, 2004:171), dalam pemakaian
bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang
ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’.
Contoh:
Pada contoh tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri
(pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Palembang), tetapi bentuk ungkapan
yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau
individu itu dimaksud orang Palembang dan tidak pemberani, implikaturnya yang keliru
tetapi ujaran tidak salah.
Keruntutan alur maknanya untuk maenganalisis pola keruntutan itu gunanaya untuk
teknik permutasi (pembalikan ) dan teknik subtasional (penggantian).
A. Teknik Permutasi
Misal :
B. Teknik Substitusi
Teknis substitusi atau teknik pergantian digunakan untuk mengaanalisis kalimat atau
rangkaian kalimat dengan cara mengganti bagian atau unsur kalimat tertentu dengan
unsur lainnya diluar kalimat itu. Teknik ini untuk menguji serasi tidaknya tauatan makna
suatu unsur dengan konteks internalnya.
Misal:
Kami berhak mengubah isi tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah tulisan Anda.
Frasa tulisan Anda tidak bisa diubah dengan tulisan itu atau tulisan demikian. Kata
demikian sendiri pun tidak dapat diubah dengan demikian itu. Sebab setiap kata yang
berdiri sendiri memiliki makna dan dapat berubah makna jika disandingkan dengan kata
lain dan membentuk frasa. Oleh karena itu, teknik substitusi ini dapat digunakan dalam
menganalisis suatu wacana dari segi keberterimaan makna.
PENUTUP
Wacana dapat dianalisis dengan teknik analisis internal yakni dari dalam kalimat
yang membangun suatu makna itu sendiri maupun eksternal yakni faktor dari luar yang dapat
berupa konteks. Cara menafsirkan wacana dengan berbagai cara diantaranya yaitu penafsiran
local dan analogi. Langkah-langkah atau metode yang dapat dilakukan oleh penganalisis
wacana antara lain adalah metode analisis wacana yang di dalamnya ada metode deskritif,
metode distibusional, metode analisis isi, dan metode pragmatiklingustik yang di dalamnya
terbagi lagi beberapa hal seperti deiksis, tindak ujar, presupposisi atau praanggapan, dan
implikatur, serta yang terakhir adalah teknik analisis keruntutan yang di dalamnya ada dua
teknik lagi yaitu teknik permutasi dan teknik substitusi.
Dapat disimpulkan jadi, begitu banyak langkah, cara, metode, maupun teknik yang
ditawarkan oleh para ahli untuk menganalisis sebuah wacana atau lebih. Tentu metode atu
teknik-teknik tersebut disesuaikan dengan wacana yang menjadi objek analisisnya dan tujuan
dari analisis tersebut apa yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, E. Zaenal. Dkk. 2015. Wacana: Transaksional dan Interaksional dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pustaka Mandiri.
Ihsan, Dimroh. 2011. Pragmatik, Anasilisis Wacana, dan Guru Bahasa. Palembang:
Universitas Sriwiwjaya.
Rani, A. Arifin, B. dan Martutik. 2004. Analisis Wancana Sebuah Kajian Bahasa
dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.