Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH GAYA DAN TEMA KARYA PROSA FIKSI

MATA KULIAH PENGKAJIAN PROSA FIKSI

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Yang dibina oleh Ibu Dra. Siti Sumarsilah, M. Pd

OLEH:

IMAM MUSA ALFAROZI NPM (2191000310063)

IKIP BUDI UTOMO MALANG

Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial dan Humaniora

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Desember 2020
PEMBAHASAN

A. GAYA

Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus yang mengandung arti
leksikal ‘ alat untuk menulis’. Istilah gaya dalam karya sastra mengandung pengertian “cara pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu
menuansakan makna dan suasana yang dapat mneyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Scharbach menyebut gaya “ sebagai hiasan, sebagai sesuatu yang
suci, sebagai sesuatu yang indah dan lemah gemulai serta perwujudan manusia itu sendiri”. Dari beberapa
pengertian gaya tersebut di atas, jelaslah bahwa gaya dalam karya fiksi adalah sebuah kekuatan atau
kemampuan pengarang untuk menyampaikan perasaannya lewat kreasi cipta tulis untuk menyentuh
perasaan pembaca.
Sekalipun pengarang berangkat dari satu ide yang sama, terdapat juga perbedaan karena pengarang
mengungkapkan gagasannya dalam wacana ilmiah yang menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas,
dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung makna konotatif. Sedangkan pengarang
dengan wacana sastra justru akan menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif,
asosiatif, konotatif, serta variasi dan keharmonisan kalimat sehingga mampu menuansakan keindahan.
Gaya bahasa yang efektif dalam karya fiksi adalah bahasa yang dapat mengungkapkan pesan atau
informasi secara tepat sesuai dengan maksud yang ingin di kemukakan oleh penulis dengan itu pembaca
dengan mudah memahaminya.

Unsur gaya dalam karya fiksi adalah bagian yang tak dapat terlupakan oleh para pengarang agar
ciptaannya dapat menggugah perasaan pembaca. Dalam membaca beberapa karya fiksi mari kita
mengutip dan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam tiap-tiap kaya fiksi tersebut,
diantaranya:
1. Pilihan kata dari tiap pengarang,
2. Penataan kata dan kalimatnya, dan
3. Nuansa makna serta suasana penuturan yang ditampilkannya.

Dalam penulisan karya fiksi pengarang mempergunakan pemilihan kata yang berbeda-beda tetapi harus
tetap mempergunakan bahasa yang efektif secara menyeluruh pada setiap unsur, baik yang menyangkut
pemakaian ejaan, pengimbuhan, pemilihan kata, pengalimatan, dan pengalineaannya. Setiap pengarang
punya gaya bahasa tersendiri yang sesuai dengan jiwanya, emosi, apresiasi bahasanya, pengarang harus
merasa bebas mempergunakan bahasa untuk ciptaannya. Susunan kalimat, pilihan kata, dan penggunaan
titik koma adalah hak penuh bagi pengarang. Yang harus diperhatikan lagi, bahwa pengarang tidak
terlepas dari perbendaharaan kata.
Unsur-unsur gaya yang terdapat dalam karya fiksi sangatlah beragam sesuai dengan apa yang akan
disampaikan pengarang dan ciri khas pengarang itu sendiri. Dari banyaknya pengarang juga terdapat
perbedaan-perbedaan pilihan kata dan kalimat seperti cerpen yang berjudul “Retak-retak Waduk Raksasa”
karangan Rohyati Salihin, cerpen yang berjudul “Nostalgia” Karangan Danarto, novel yang berjudul
“Kering” oleh Almarhum Iwan Simatupang. Masih banyak lagi karangan-karangan yang dapat kita kutip
kemudian dipelajari untuk mengetahui unsur gaya yang terdapat pada masing-masing karya fiksi tersebut.

Setelah mengapresiasi dari ketiga contoh karya fiksi di atas, maka terdapat unsur-unsur gaya yang
masing-masing berbeda. Unsur-unsur gaya yang terdapat dalam karya fiksi atau cipta sastra yakni :

1. Unsur-unsur Kebahasaan berupa kata dan kalimat, dan


a. Pemilihan dan penataan kata istimewa

 pada kutipan cerpen berjudul “Retak-retak Waduk Raksasa”, hampir tidak dijumpai
pemilihan kata-kata istimewa,

 pada kutipan cerpen berjudul “Nostalgia”, dijumpai pilihan kata dalam penataan yang
istimewa, sedangkan

 pada kutipan novel berjudul “Kering”, banyak dijumpai pemilihan kata yang istimewa pula.

b. Pemilihan dan penataan kalimat istimewa

 pada kutipan cerpen berjudul “Retak-retak Waduk Raksasa”, sama sekali tidak menunjukkan
variasi kalimat panjang dan pendek. Maka pada saat membaca karya seperti itu tidak jauh
bedanya kita membaca koran.

 pada kutipan cerpen berjudul “Nostalgia”, terdapat variasi kalimat panjang dan pendek,
sedangkan

 pada kutipan novel berjudul “Kering”, telah kita jumpai adanya kalimat-kalimat panjang dan
pendek selain menunjukkan unsur-unsur yang istimewa, baik dalam hal pemilihan kata
maupun kalimat-kalimatnya serta telah dijumpai pula gaya bahasa seperti repetisi, oratorik,
dan klimaks. Kata dan kalimatnya pun banyak yang bermakna gelap sehingga pembaca
terkadang kesulitan dalam memaknai apa yang telah dibacanya. Berbeda dengan kutipan-
kutipan lainnya.

2. Alat gaya yang melibatkan masalah khiasan, seperti metafor, metonimi, simbolik, dan majas.
Gaya pada dasarnya berhubungan erat dengan cara seorang pengarang dalam menampilkan gagasannya.
Penampilan atau pengekspresian gagasan itu lebih lanjut terwujud dalam bentuk gaya bahasa dengan
segala aneka ragamnya. Jika dibagankan, hubungan gaya dan ekspresi itu dapat digambarkan.

B. TEMA

Hakikat Tema
Pengertian tema sebagai salah satu unsur karya sastra, maupun untuk mendeskripsikan pernyataan
tema yang dikandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita novel. Kedua hal itu memang berkaitan.
Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan pendeskripsian pernyataan tema sebuah
karya fiksi. Tema (theme), menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966: 88), adalah makna yang
dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-
persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 142). Tema menjadi dasar
pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Pengertian tema
menurut Staton (1965: 21) yaitu yang mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus
menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih
dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).
 Permasalahan Tema Dan Kaitannya Dengan Unsur Cerita Yang Lain.
Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya
itulah pengarang menawarkan makna kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan
menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu
sebagaimana ia memandangannya. Oleh karena itu, banyak pengarang memilih dan mengangkat berbagai
masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan
pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Pemilihan tema-tema tertentu ke
dalam sebuah karya, sekali lagi, bersifat subjektif: masalah kehidupan manakah yang paling menarik
perhatian pengarang sehingga merasa terdorong untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya. Atau
pengarang menganggap masalah itu penting, mengharukan, sehingga ia merasa perlu untuk
mendialogkannya ke dalam karya sebagai sarana mengajak pembaca untuk ikut merenungkannya.
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur
pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Tema sebuah
cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan hanya secara implisit melalui cerita.
Unsur-unsur ceria yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta cerita-tokoh,
plot, latar-yang bertugas mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan pelataran), dan
cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika di ikat oleh sebuah tema. Tema bersifat memberi
koherensi dan makna terhadap ke empat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Plot
dipihak lain, berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh
tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialami tokoh (Kenny, 1966: 95). Plot merupakan penyajian
secara linear tentang berbagai hal yang berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman kita terhadap cerita
amatditentukan oleh plot. Latar merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah tempat
tokoh melakukan dan dikenai sesuatu kejadian. Latar bersifat memberikan aturan permainan terhadap
tokoh. Latar akan mempengaruhi tingkah laku dan cara berpikir tokoh, dan karenanya akan
mempengaruhi pemilihan tema. Atau sebaliknya, tema yang (sudah) dipilih akan menuntut pemilihan
latar (dan tokoh) yang sesuai dan mampu mendukung.
Penggolongan Tema
a.       Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya itu-itu saja, dalam
arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Tema-
tema tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ad kaitannya dengan masalah kebenaran
dan kejahatan (Meredth & Fitzgerald, 1972: 66). Pada umumnya tema-tema tradisional merupakan tema
yang digemari orang dengan status sosial apa pun, di manapun, dan kapanpun. Hal itu disebabkan pada
dasarnya setiap orang cinta akan kebenaran dan membenci sesuatu yang sebaliknya, (bahkan mungkin)
termasuk orang yang sebenarnya tak tergolong baik sekalipun.
Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang
tidal lazim, katakan sasuatu yang bersifat nontradisional. Karena sifatnya yang nontradisional, tema yang
demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan
boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.
b.      Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat : makna cerita.
Makna cerita dalam sebuah fiksi-novel, mungkin saja lebih dari satu, atau lebih tepatnya lebih dari satu
interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita untuk menentukan tema pokok cerita,
atau tema mayor (artinya : makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu).
Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih,
mempertimbangkan, dan menilai, diantara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya
yang bersangkutan.
Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam kesekuruhan cerita
bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna yang hanya terdapat
pada bagian –bagian tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna-
makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan, atau tema minor. Dengan
demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat
ditafsirkan dari sebuah cerita novel. Penafsiran makna itu pun haruslah dibatasi pada makna-makna yang
terlihat menonjol, disamping mempunyai bukti-bukti konkrit yang terdapat pada karya itu yang dapat
dijadikan dasar untuk mempertanggungjawabkannya. Artinya, penunjuk kan dan atau penafsiran sebuah
makna tertentu pada sebuah karya itu bukannya dilakukan secara ngawur saja.
Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World literature (1962: 417), mengartikan tema sebagai subjek wacana,
topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema-tema
karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan
pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk
hidup, ke tinggkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema
tersebut sebagai berikut.
1. Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul.
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya
aktifitas fisik dari pada kejiwaan.Ia lebih menekankan mobilitas fisik dari pada konflik kejiwaan
tokoh cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam novel dengan penonjolan tema tingkat ini
pendapat penekanan.
2. Tema tingkat organik, manusia sebagai ( atau dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as
protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan
masalah seksualitas- suatu aktifitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai
persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel yang bersifat
menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan penghianatan suami istri, atau skandal-
skandak seksual yang lain.
3. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat,
yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam,
mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian
tema.masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan,
kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan dan berbagai
masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
4. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping sebagai
makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut”
pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia
pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia
terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individu itu antara lain berupa
masalah egoisitas, martabat, harga diri atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada
umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Masalah individualitas
biasanya menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian sesearang.
Penafsiran Tema
Penafsiran tema sebuah novel memang bukan pekerjaan yang mudah. Walau betul penulisan sebuah
novel didasarkan pada tema atau ide tertentu, pernyataan tema itu sendiri pada umumnya tidak
dikemukakan secara eksplisit. Tema hadir dan berpadu dengan unsur-unsur struktural yang lain sehingga
yang kita jumpai dalam sebuah novel adalah (hanya) cerita dan kedudukan tema tersembunyi dibalik
cerita itu. Penafsiran tema terhadap suatu karya sastra atau fiksi haruslah dilakukan berdasarkan fakta-
fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Kita haruslah mulai dengan memahami
cerita itu, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa-konflik, dan latar. Para tokoh utama
biasanya dibebani tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu. Secara lebih khusus
dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat di ikuti  dalam
penafsiran tema seperti berikut :
 penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol.
Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil yang
menonjol (atau ditonjolkan) itulah yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh masalah-konflik
utama pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan.
 penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita.
Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan,
kebenaran, ide, gagasan, sikap dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong
unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan.
 penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak
dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan.
 penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara
langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.
PENUTUP
Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya lewat media sehingga mewujudkan
bahasa yang indah dan harmonis. Adapun pendapat mengatakan bahwa gaya adalah orangnya atau
pengarangnya karena lewat gaya kita dapat mengenal bgaimana sikap dan endapan pengetahuan,
pengalaman, dan gagasan pengarangnya. Demikianlah uraian tentang masalah unsur gaya dalan karya
fiksi, pada dasarnya kita telah mengkaji masalah-masalah yang penting dalam makalah ini tentang unsur
gaya dalam karya fiksi.
tema merupakan suatu pokok / inti persoalan yang mendasari suatu cerita. Tema biasanya diangkat
dari masalah kehidupan. Tema dalam sebuah karya sastra hanya berupa makna atau gagasan dasar umum
suatu cerita. Dengan demikian, tema akan menjadi sebuah makna cerita jika terdapat keterkaitannya
dengan unsur-unsur cerita lainnya. Tema dapat digolongkan menjadi 3 kelompok:
 Penggolongan tema yang bersifat tradisional dan tema nontradisional.
 Penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley.
 Penggolongan dari tingkat keutamaannya.
Penafsiran tema terhadap suatu karya sastra atau fiksi hendaknya dilakukan berdasarkan fakta-fakta
yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Seperti, dengan memahami cerita itu, mencari
kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa-konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya dibebani
tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan seperti demikian itu.

DAFTAR PUSTAKA
 Endraswara, Suwardi.2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:CAPS
 Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

Anda mungkin juga menyukai