Anda di halaman 1dari 18

STILISTIKA:

BAGAIMANA MENILAI GAYA CERITA?

Irsyad Ridho

Mengapa seseorang menulis karya sastra? Karena bahasa sehari-hari tidak cukup
mengena untuk mengungkapkan pengalamannya. Jawaban semacam ini adalah jawaban
yang khas dari teori stilistika. Jadi, teori stilistika berasumsi bahwa pengalaman dan
bahasa adalah dua hal yang terpisah. Ada pengalaman di satu sisi dan ada bahasa
sebagai alat untuk mengungkapkan pengalaman itu di sisi lain. Menurut asumsi teori
ini, bahasa sehari-hari hanya bisa untuk mengungkapkan pengalaman praktis dan teknis
saja dari kehidupan sehari-hari manusia. Namun, bahasa sehari-hari itu tidak mampu
untuk mengungkapkan pengalaman yang unik, halus, rumit, dan abstrak yang dirasakan
oleh seseorang. Karena itu, orang kemudian berpindah ke bahasa sastra untuk
mengungkapkan pengalaman khusus ini. Dibandingkan dengan bahasa sehari-hari,
bahasa sastra dianggap lebih bergaya. Karena itu, stilistika juga dipahami sebagai ilmu
tentang gaya dalam sastra dan di dalam gaya itulah keindahan sastra itu sendiri dapat
dirasakan. Dalam bab ini kita akan membahas secara khusus bagaimana kita menilai
gaya cerita dengan pendekatan stilistika. Kita akan menggunakan kembali dua cerpen
roman pada bab sebelumnya (“Kopi” dan “Teman Terbaik”) sebagai contoh ditambah
dengan satu cerpen roman lain, yaitu “Travelogue” karya Seno Gumira Adjidarma.
Selain itu, kita juga akan menggunakan fiksi mini “Halte” dari Agus Noor yang
sebelumnya sudah pernah kita bahas ketika kita membicarakan tentang kronotop.

1. Stilistika Cerita
Pada bab sebelumnya kita sudah membahas analisis struktural atas cerita atau
naratologi, yaitu kajian cerita yang bertujuan untuk mendeskripsikan struktur atau
kaidah cerita. Meskipun tujuan naratologi berbeda dengan stilistika, hasil temuan
naratologi itu sangat bermanfaat bagi stilistika untuk membangun penilaian tentang
suatu karya prosa fiksi atau cerita. Karena bertujuan untuk menilai karya, stilistika

1
cenderung tidak mengkaji gejala umum dari karya sastra atau prosa fiksi, tetapi lebih
berfokus pada karya tertentu yang spesifik untuk dibandingkan dengan karya spesifik
yang lain. Karena itu, yang penting dalam stilistika adalah seberapa spesifik ranah gaya
yang hendak dinilai. Jadi, misalnya, kritikus yang menggunakan pendekatan stilistika
akan merasa lebih proporsional untuk menilai sebuah novel dari seorang pengarang
tertentu untuk dibandingkan dengan novel-novel lain yang pernah dibuat oleh
pengarang tersebut. Jika dia ingin memperluas ranah penilaiannya, maka dia akan
melakukannya secara bertahap, yaitu setelah membandingkannya dengan novel-novel
dari pengarang yang bersangkutan, dia akan berpindah membandingkannya dengan
novel-novel dari pengarang yang berbeda tetapi yang sama-sama berada dalam aliran
novel tertentu, atau zaman tertentu, atau genre tertentu, dan seterusnya. Semakin luas
ranah penilaian, semakin rumit aspek perbandingan yang harus dipertimbangkan dan
semakin sulit penilaian yang proporsional dapat diambil dan dipertanggung-jawabkan.
Dalam bab ini kita hanya akan membandingkan tiga cerpen dari pengarang yang
berbeda, tetapi dari ranah gaya yang sama dari segi genre, yaitu cerita roman/percintaan,
demi mempermudah contoh analisis.
Sebelum kita membandingkan secara langsung ketiga cerpen tersebut, perlu kita
bahas lebih dulu apa asumsi atau prinsip analisis dalam stilistika cerita. Pada dasarnya,
persoalan gaya cerita menyangkut tentang bagaimana peristiwa cerita dituturkan, bukan
tentang apa peristiwa ceritanya itu sendiri; bagaimana tokoh diceritakan, bukan semata-
mata siapa tokohnya; bagaimana waktu dan tempat cerita dideskripsikan, bukan
semata-mata di mana dan kapan begitu saja. Dalam konteks cerita roman, kita tahu
bahwa semua cerita roman pasti berisi peristiwa tentang tokoh-tokoh yang jatuh cinta.
Apakah cintanya terbalas atau tidak, itu soal lain, yang jelas cerita roman tentu saja
adalah cerita tentang cinta. Yang diperhatikan oleh stilistika adalah bagaimana peristiwa
cinta itu dituturkan/diceritakan karena di sinilah terletak pilihan-pilihan teknik
artistiknya atau pilihan estetisnya dalam bercerita. Karena itu, pembedaan tiga tataran
cerita, seperti yang dikemukakan oleh para ahli naratologi, merupakan hal yang penting
bagi stilistika sebab dapat memberikan pembagian yang sistematis tentang struktur
cerita. Dari sudut pandang stilistika, ketiga tataran tersebut akan diperlakukan sebagai
bagian dari ranah gaya yang mengandung pilihan-pilihan estetis dari pengarangnya yang

2
dapat dibayangkan mempunyai efek estetis tertentu. Efek estetis itu dapat dirasakan oleh
pembacanya, dapat pula tidak, tergantung pada kejelian pembaca karya itu sendiri.
Pilihan estetis yang diharapkan berefek estetis itu dibangun melalui bagaimana berbagai
perangkat bahasa dan segala aspek struktur cerita dipadukan sehingga menjadi karya
prosa fiksi yang kemudian dirasakan oleh pembaca sebagai karya yang indah, bagus,
atau bermutu tinggi. Ke arah itulah stilistika atau kajian gaya itu dilakukan. Karena itu,
secara khusus, gaya cerita di sini dapat didefinisikan sebagai cara penggunaan bahasa
dalam cerita yang merupakan hasil memilih dari pelbagai kemungkinan yang diberikan
oleh khazanah bahasa dan cerita sehingga pilihan itu sendiri membentuk ranah gaya
yang berdampak pada fungsi estetik.1
Sebagai ringkasan, hubungan antara naratologi dan stilistika cerita itu dapat
digambarkan seperti bagan di bawah ini.

Untuk memperjelas apa yang saya kemukakan di atas, saya akan menunjukkan
bagaimana prinsip stilistika tersebut diterapkan untuk mengkaji salah satu jenis cerita,
yaitu fiksi mini karya Agus Noor, yaitu “Halte”, yang sudah pernah kita bahas dalam

1 Geoffrey Leech dan Mick Short, Style in Fiction, Second Edition (Harlow: Pearson Education Limited, 2007);
Irsyad Ridho, Kajian Cerita: dari Roman ke Horor (Yogyakarta: JBS, 2019).

3
bab tentang analisis kronotop. Untuk memudahkan, saya kutipkan kembali fiksi mini
“Halte” itu di sini:

Halte

Terkantuk-kantuk kau duduk di halte menunggu angkot yang akan


membawamu pulang. Begitulah, setiap hari, kau selalu pulang kerja selarut ini.

Angkot datang. Kau segera masuk. Ketika angkot itu kembali melaju, kau
menengok ke jalanan sepi di belakangmu. Kau melihat dirimu yang tengah
terkantuk-kantuk menunggu di halte itu.

Apakah ini fiksi mini yang bagus? Jika ya, di mana letak bagusnya? Pertanyaan
seperti inilah yang diajukan oleh teori stilistika. Untuk membangun argumentasi tentang
penilaian berdasarkan teori stilistika terhadap fiksi mini ini, pertama-tama kita harus
membatasi argumentasi pada aspek mana dari struktur cerita yang sangat ditonjolkan
dalam “Halte” ini. Dari sanalah kita kemudian menentukan beberapa kemungkinan
pilihan estetis yang dapat diperbandingkan dengan pilihan estetis yang diambil oleh
Agus Noor dalam karyanya ini. Berdasarkan perbandingan itu barulah kita dapat
menilai seberapa besar efek estetis yang ditimbulkan oleh pilihan tersebut.
Aspek struktur cerita yang ditonjolkan dalam “Halte” adalah teknik penceritaan.
Pihak yang disebut “kau” dalam cerita ini merupakan tokoh cerita sekaligus pecerita
(narati) yang disapa atau diceritakan terus-menerus dalam penuturan si pencerita
(narator), namun si penceritanya sendiri tidak memunculkan dirinya melalui sapaan
(kata ganti diri) tertentu. Dalam struktur komunikasi cerita, kita tahu bahwa kata ganti
“aku” mengacu pada pihak yang menceritakan atau menuturkan cerita, kata ganti “kau”
(“kamu”) mengacu pada pihak yang diceritai, sedangkan kata ganti “dia” mengacu pada
pihak yang diceritakan. Jadi, “aku” menceritakan tentang “dia” kepada “kau”. Namun,
struktur terpisah seperti ini tidak selalu terjadi karena dapat saja pihak “aku” atau “kau”
masuk ke dalam posisi “dia” sehingga menjadi pihak yang diceritakan sekaligus
Berdasarkan pengetahuan naratologi, kita dapat mengatakan bahwa setidaknya
terdapat tiga kemungkinan pola penceritaan yang dapat dipilih oleh fiksi mini ini.
Perhatikan bagan berikut ini.

4
Dalam penceritaan alternatif I, dunia tokoh (area abu-abu) dan dunia pencerita/
pecerita terpisah dengan tegas karena berbeda tataran. Pencerita tidak memasuki dunia
tokoh secara langsung, hanya menceritakan saja dan si pencerita juga seperti
mendengarkan saja tuturan pencerita, tanpa memberikan tanggapan apa-apa, bahkan
tanpa ada tanda-tanda kehadirannya. Kita sebagai pembaca merasakan bahwa seolah-
olah dunia tokoh hadir dengan sendirinya sebagai peristiwa demi peristiwa. Biasanya
alternatif I ini disebut juga dengan istilah ‘narator dia-an’ (istilah teknisnya
‘ekstradiagesis’, kita sudah belajar tentang ini). Jika fiksi mini Agus Noor di atas diubah
seperti teks di bawah ini, maka penceritaannya sudah berganti menjadi penceritaan
alternatf I.

Terkantuk-kantuk dia duduk di halte menunggu angkot yang akan


membawanya pulang. Begitulah, setiap hari, dia selalu pulang kerja selarut ini.

Angkot datang. Dia segera masuk. Ketika angkot itu kembali melaju, dia
menengok ke jalanan sepi di belakangnya. Dia melihat dirinya yang tengah
terkantuk-kantuk menunggu di halte itu.

Fiksi mini Agus Noor yang asli sebenarnya menggunakan penceritaan alternatif
II karena pencerita, yaitu “kau”, berpindah memasuki dunia tokoh sehingga “kau”
adalah “dia” itu sendiri. Dengan kata lain, pecerita sudah sekaligus menjadi tokoh
cerita. Adapun naratornya tetap berada di luar dunia tokoh tersebut, hanya menjadi
pengamat yang menceritakan apa yang terjadi dengan tokoh. Lantas, bagaimana jika si

5
pencerita (narator) berpindah memasuki juga dunia tokoh dan menjadikan dirinya
sebagai salah satu tokoh dalam cerita itu? Coba perhatikan teks fiksi mini Halte yang
sudah ditambahi kalimat yang bergaris bawah berikut ini:

Terkantuk-kantuk kau duduk di halte menunggu angkot yang akan


membawamu pulang. Begitulah, setiap hari, kau selalu pulang kerja selarut ini.
Biasanya aku menemanimu pulang, tapi hari ini aku tidak masuk kerja. Sakit.

Angkot datang. Kau segera masuk. Ketika angkot itu kembali melaju, kau
menengok ke jalanan sepi di belakangmu. Kau melihat dirimu yang tengah
terkantuk-kantuk menunggu di halte itu.

Contoh di atas menggunakan pola penceritaan alternatif III yang meluruhkan


batas-batas dunia tokoh dan dunia pencerita/pecerita. Namun, di sana narator masih
tidak sepenuhnya memasuki dunia tokoh karena dia hanya menjadi tokoh sampingan
yang tidak mengalami peristiwa secara langsung, sedangkan si pecerita mengalami
langsung peristiwanya karena dialah tokoh utamanya. Dalam konteks seperti contoh
teks perubahan di atas, kita mungkin bertanya-tanya: bagaimana mungkin si aku tahu
apa yang terjadi dengan si kau, padahal dia sendiri tidak ada di halte itu karena sedang
sakit? Di sinilah kita berhadapan dengan paradoks penceritaan, yaitu bahwa narator
dapat saja menjadi tetap serba tahu meskipun dia berlagak tidak tahu-menahu.
Tiga alternatif penceritaan di atas membawa kaidah yang berbeda dalam pola
penceritaan dan tentu saja ada berbagai alternatif penceritaan yang lain selain tiga pola
di atas, tergantung pada kreativitas pengarangnya. Apapun pilihan pola penceritaannya,
posisi atau sikap naratornya dapat diketahui atau ditafsirkan dari pola tersebut, misalnya
sejauh mana kedekatan narator terhadap tokoh, bagaimana sikap narator terhadap
penceritanya, dan bagaimana narator mengambil sikap atas dirinya sendiri (penceritaan
yang sadar-diri). Dalam kasus Halte di atas, narator diposisikan dalam hubungan yang
dekat dengan tokoh karena tokoh adalah pihak pencerita sekaligus, tetapi narator juga
tetap mengambil jarak, yaitu dengan tidak memasuki dunia tokoh terlalu jauh. Narator
seperti mengambil sikap berjarak yang akrab terhadap tokoh/peceritanya.

6
Dari analisis naratologi di atas, sekarang kita berpindah ke analisis stilistika.
Telah dikatakan bahwa terdapat beberapa pilihan atau alternatif pola penceritaan yang
merupakan bagian dari khazanah pola cerita yang ada. Dari khazanah ini, pengarangnya
—yaitu Agus Noor—memilih alternatif II. Pilihan spesifik inilah yang merupakan
bagian dari teknik atau gaya cerita ini. Selanjutnya, kita bisa bertanya: apakah pilihan
spesifik ini mengandung fungsi estetis tertentu? Atau, apa efek estetis dari pilihan
tersebut? Pertanyaan seperti ini merupakan ajakan untuk menafsir dan menilai karena
fungsi atau efek estetis itu pada dasarnya hanya dapat disimpulkan melalui proses
penafsiran dan penilaian. Sebagaimana semua bentuk kerja akademis/ilmiah, penafsiran
dan penilaian estetis pun harus didasarkan pada alasan atau penalaran yang sahih.
Stilistika pada dasarnya berupaya memberikan landasan bagi penalaran sahih itu.
Untuk menguji seberapa besar fungsi/efek estetis yang dikandung dalam pilihan
gaya penceritaan fiksi mini “Halte” tersebut, kita perlu membandingkan pilihan tersebut
dengan alternatif pola penceritaan yang lain. Untuk mempermudah penjelasan,
setidaknya terdapat tiga alternatif penceritaan yang dapat diperbandingkan (meskipun
sebenarnya terdapat lebih dari tiga alternatif jika kita mengacu pada seluruh khazanah
pola penceritaan yang ada). Ketiga alternatif itu dapat dilihat dalam tabel perbandingan
berikut ini.

Alternatif I Alternatif II Alternatif III

Terkantuk-kantuk dia duduk di Terkantuk-kantuk kau duduk di Terkantuk-kantuk kau duduk di


halte menunggu angkot yang halte menunggu angkot yang halte menunggu angkot yang
akan membawanya pulang. akan membawamu pulang. akan membawamu pulang.
Begitulah, setiap hari, dia selalu Begitulah, setiap hari, kau Begitulah, setiap hari, kau
pulang kerja selarut ini.
selalu pulang kerja selarut ini.
selalu pulang kerja selarut ini.
Biasanya aku menemanimu
Angkot datang. Dia segera Angkot datang. Kau segera pulang, tapi hari ini aku tidak
masuk. Ketika angkot itu masuk. Ketika angkot itu masuk kerja. Sakit.

kembali melaju, dia menengok kembali melaju, kau menengok


ke jalanan sepi di belakangnya. ke jalanan sepi di belakangmu. Angkot datang. Kau segera
Dia melihat dirinya yang tengah Kau melihat dirimu yang tengah masuk. Ketika angkot itu
terkantuk-kantuk menunggu di terkantuk-kantuk menunggu di kembali melaju, kau menengok
halte itu. halte itu. ke jalanan sepi di belakangmu.
Kau melihat dirimu yang tengah
terkantuk-kantuk menunggu di
halte itu.

7
Manakah dari tiga alternatif penceritaan di atas yang mengandung fungsi estetis
yang lebih tinggi sehingga kita dapat memberikan penilaian bahwa alternatif itulah yang
terbaik secara estetis? Menurut saya, alternatif II, yaitu yang dipilih oleh Agus Noor
sendiri, memang merupakan pilihan yang terbaik. Mengapa? Pertama-tama, kita harus
menyadari bahwa cerita ini merupakan genre khusus, yaitu fiksi mini. Dalam genre
seperti ini, tantangan estetis utamanya adalah bagaimana caranya bercerita secara sangat
singkat, tetapi tetap memberikan efek kejutan yang memadai di akhir cerita. Alternatif I
memang masih memberikan efek kejutan itu, tetapi efeknya tidak sebesar alternatif II
karena tokohnya, yaitu dia, dibuat tetap berjarak dari si pencerita dan pecerita.
Penjarakan tersebut membuat pembaca juga berjarak dari posisi si tokoh. Kejutan tetap
dapat dirasakan, tetapi dirasakan hanya sebagai kejutan yang dialami tokoh. Alternatif II
justru mengatasi kelemahan estetis ini dengan membuat pecerita menjadi tokoh
sehingga pembaca terkondisi untuk berada di posisi tokoh sebab pembaca seolah-olah
disapa oleh narator cerita ini sekaligus dia menjadi tokoh yang sedang diceritakan.
Pembaca seperti merasakan ilusi realitas yang lebih dekat sehingga efek kejutan di akhir
cerita itu akan terasa lebih kuat dibandingkan dengan alternatif I.
Lantas, bagaimana dengan alternatif III? Meskipun mempertahankan efek
kejutan yang juga dimiliki oleh alternatif II, tetapi perubahan posisi narator yang turut
memasuki dunia tokoh itu sebenarnya membuat efek permainan jarak jauh-dekat yang
menjadi inti cerita ini justru menjadi runtuh. Sebab, sasaran utama cerita ini adalah
proses kesadaran diri yang hanya mungkin dengan permainan jarak jauh-dekat, yaitu
narator menjauh dari dunia tokoh, sedangkan pecerita mendekat ke dunia tokoh
(perhatikan lagi baik-baik bagan pola penceritaan di atas). Selain itu, penambahan
informasi tentang narator—yaitu pada kalimat “Biasanya aku menemanimu pulang, tapi
hari ini aku tidak masuk kerja. Sakit.“—justru menimbulkan efek penundaan (delay)
bagi kejutan di akhir cerita. Penundaan semacam ini mungkin efektif bagi cerita yang
lebih panjang (cerpen, misalnya), tetapi tentu saja akan tidak efektif dan berlebihan bagi
genre fiksi mini yang sangat mementingkan cara bercerita yang sependek mungkin.
Demikianlah ilustrasi tentang bagaimana membangun argumentasi dalam
penilaian terhadap gaya cerita. Dalam contoh proses penilaian di atas, kita baru

8
mempertimbangkan salah satu aspek analisis stilistika cerita, yaitu teknik penceritaan.
Dalam suatu pertanggung-jawaban keputusan penilaian estetis yang lebih sahih, tentu
saja aspek-aspek yang lain perlu dipertimbangkan pula. Dengan begitu, salah satu
kriteria estetis yang penting, yaitu keutuhan cerita, dapat dipenuhi dalam pertimbangan
penilaian. Di samping itu, kesahihan penilaian juga ditentukan oleh seberapa luas
khazanah karya prosa fiksi atau cerita yang sudah diketahui dan dipahami oleh si penilai
itu sendiri. Semakin luas khazanahnya, semakin mungkin dia melakukan perbandingan
yang komprehensif dan proporsional. Dalam contoh di atas, kita hanya
mempertimbangkan tiga alternatif perbandingan, tentu saja itu khazanah perbandingan
yang sangat terbatas. Dengan kata lain, ranah gayanya masih sangat terbatas.
Karena itu, mengkaji cerita dengan pendekatan stilistika membutuhkan
pengalaman membaca karya sastra dan apresiasi sastra yang juga memadai. Jika tidak,
penilaian estetisnya sulit untuk dapat diterima secara ilmiah. Meskipun demikian, tentu
saja kita tetap dapat berlatih melakukan penilaian esetetis secara bertahap seiring
dengan proses perluasan khazanah sastra kita sendiri. Untuk itu, mari kita mencoba
melakukan analisis dan penilaian terhadap tiga cerpen berikut ini untuk memahami dan
mengalami penerapan stilistika cerita yang menuntut pertimbangan yang lebih lengkap
dan rumit daripada contoh analisis fiksi mini di atas.

2. Gaya Cerita: Tegangan antara Konvensi dan Inovasi


Jika kita ingin menilai sebuah karya sastra secara ilmiah, kita harus meletakkan karya
tersebut dalam konteks intertekstualitasnya dengan karya lain yang berada dalam genre
yang relatif sama atau berdekatan. Sungguh tidak proporsional jika kita
membandingkan novel detektif dengan novel roman, misalnya, atau novel horor dengan
novel spionase. Meskipun kombinasi antar-genre dapat saja terjadi sehingga
memunculkan kategori genre yang baru, tetapi penilaian terhadap satu karya tertentu
pada prinsipnya harus mempertimbangkan kriteria kesesuaian dalam genre.
Prinsip ini penting untuk diacu karena kaidah genre tertentu akan membatasi
aspek-aspek cerita yang menjadi ranah stilistika cerita. Efek estetis akan berlangsung
dalam aspek tertentu dalam cerita yang membatasi sekaligus memungkinkan pilihan-
pilihan gaya bercerita. Dalam genre cerita roman, misalnya, seorang pengarang tidak

9
bisa begitu saja memasukkan peristiwa tentang munculnya sosok hantu atau agen
rahasia atau pembunuh berantai yang sakit jiwa karena tokoh-tokoh tersebut sudah
menjadi bagian dari kaidah genre yang lain. Karena itu, memaksakan masuknya tokoh-
tokoh tersebut akan menghancurkan keutuhan estetis dari cerita roman.
Di samping itu, kaidah genre cerita pada dasarnya juga merupakan konvensi
dalam kehidupan sastra yang diserap oleh pengarang dan pembaca sehingga komunikasi
melalui karya sastra dapat berlangsung dengan baik. Seorang pembaca yang tidak
terbiasa membaca genre spionase mungkin akan terkecoh memahaminya sebagai cerita
detektif. Terdapat kode-kode sosiologis dan kode-kode struktur teks yang spesifik yang
harus dia miliki agar dia dapat memahami genre tersebut dengan tepat. Berdasarkan
pemahaman atas konteks konvensi genre itulah kita baru dapat menangkap arti penting
dari inovasi atau kreativitas yang ditawarkan pengarang melalui pilihan gaya
berceritanya. Inovasi adalah penyimpangan dari konvensi. Inovasi atau keunikan karya
tidak dapat dipahami jika kita tidak mengerti konvensi mana yang sedang disimpangkan
oleh karya tersebut. Pada dasarnya, fungsi estetis dalam kehidupan sastra lahir dari
tegangan antara konvensi dan inovasi itu.
Untuk memahami hal ini lebih jauh, dalam bagian ini kita akan menganalisis
secara khusus genre roman dan bagaimana tiga cerpen yang menjadi contoh analisis di
sini menawarkan pilihan gaya bercerita yang berbeda di dalam konvensi genre yang
sama. Untuk itu, kita perlu memulai analisis dengan mengacu pada hasil deskripsi
kaidah genre cerita roman yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya, yaitu:

(1) Tokoh A memendam asmara pada tokoh B yang tidak dikenalnya.


(2) Tokoh A dan tokoh B mulai saling mengenal dan menjadi dekat.
(3) Tokoh A merasakan kemesraan yang ambigu.
(4) Tokoh B mengakui bahwa dia mencintai orang lain.
(5) Tokoh A kembali memendam asmaranya kepada tokoh B.

Analisis struktural sudah membuktikan bahwa cerpen “Kopi” dan “Teman


Terbaik” mengikuti kaidah tersebut dalam struktur ceritanya masing-masing. Namun,

10
manakah dari kedua cerpen tersebut yang menawarkan fungsi/efek estetis yang lebih
tinggi? Dengan kata lain, cerpen mana yang lebih bagus?
Agar keputusan penilaian kita didukung dengan penalaran stilistika yang sahih,
kita perlu merinci pilihan gaya yang relevan dengan aspek-aspek naratif dalam genre
tersebut. Jika mengacu pada kaidah genre di atas, maka kita dapat mengajukan
persoalan stilsitis yang lebih spesifik, yaitu:
(1) Cerpen mana yang lebih estetis dalam menggambarkan perasaan cinta terpendam
pada awal cerita?
(2) Cerpen mana yang lebih estetis dalam menggambarkan proses perkenalan dan
pendekatan?
(3) Cerpen mana yang lebih estetis dalam menggambarkan ambiguitas kemesraan?
(4) Cerpen mana yang lebih estetis dalam menggambarkan pengakuan?
(5) Cerpen mana yang lebih estetis dalam menggambarkan perasaan cinta terpendam
pada akhir cerita?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih spesifik dan membantu kita untuk


memfokuskan diri pada aspek naratif tertentu yang hendak dianalisis. Dengan demikian,
kita dapat melakukan perbandingan dengan lebih proporsional atas pilihan-pilihan gaya
ceritanya. Perhatikanlah tabel perbandingan berikut ini.

11
Perbandingan Perasaan Cinta Terpendam pada Awal Cerita

Cerpen “Kopi” Cerpen “Teman Terbaik”

Bulan purnama terlihat lebih anggun malam Beberapa bulan terakhir ini, aku memiliki
ini. Mungkin hanya perasaanku, atau sinarnya kebiasaan baru. Jika sebelumnya mengawasi
memang berbeda? Di sana, pada bagian outdoor karyawan di Book Cafe ini terasa begitu
kafe ini, sinar bulan itu membias menyirami membosankan, sebaliknya, kini aku selalu
kalian. Kalian yang sedang asyik menanti saat-saat itu.

bercengkerama. Kalian yang sedang bahagia Ini semua karena pria asing itu. Pria asing
dalam percakapan interpersonal berdua. Kalian yang selalu datang ke kafe ini setiap pukul tujuh
yang selalu datang ke kafe ini, setia dalam malam. Pria asing yang selalu memesan kopi
damba dan saling mencinta.
yang sama. Pria asing yang selalu memilih
Sementara aku?
bangku di sudut jendela dengan pandangan
Tidak perlu terburu-buru mengetahui siapa menerawang entah ke mana. Pria asing dengan
aku. Malam masih muda, obrolan kalian masih rambut pirang yang warnanya sangat kontras
panjang. Dan aku masih ingin terus jadi dengan cat dinding kafe ini. Pria asing yang
pengamat di balik meja bar, sebelum kuberi tahu meskipun namanya tak kuketahui, tapi mampu
siapa diriku.
menyita seluruh perhatianku.

Satu cappuccino dan satu coffee and cream yang Jam di dinding hampir menunjukkan pukul
kalian berdua pesan telah kubuatkan. Siap untuk 7.00 malam. Tanpa alasan yang jelas, jantungku
diantar ke meja kalian. Khusus untukmu, wanita mulai berdebar tak beraturan. Aku tak lagi fokus
dengan rambut keriting sebahu. mengawasi para karyawan kafe ini. Mataku
hanya tertuju pada pintu masuk, menanti-nanti
kedatangan sosok asing itu. Malu rasanya
dengan sikapku yang seperti anak SMA yang
baru jatuh cinta ini, mengingat umurku sudah 25
tahun.

Jika kita bandingkan kedua teks dalam tabel di atas, terdapat pilihan gaya yang
berbeda dalam menggambarkan perasaan cinta terpendam pada awal ceritanya. Cerpen
“Kopi” memilih untuk langsung menggambarkan adegan di kafe, sedangkan cerpen
“Teman Terbaik” baru penggambaran adegan langsung pada paragraf ke-3 karena dua
sebelumnya berisi infomasi tentang kejadian iteratif lebih dulu. Pilihan gaya yang mana
yang lebih estetis? Tentu saja kita tidak dapat memberikan jawabannya karena pilihan
semacam ini merupakan sesuatu yang umum dan netral saja dalam pembuatan cerita.
Tetapi, kita baru dapat memberikan penilaian estetis setelah pilihan ini dihubungkan
dengan aspek gaya yang lain yang mampu memberikan efek estetis pada pilihan
tersebut.
Karena itu, salah satu aspek yang perlu kita hubungkan adalah bagaimana
perasaan cinta terpendamnya itu sendiri diinformasikan. Dalam cerpen “Kopi”, kita
mendapatkan informasi tidak langsung tentang perasaan cinta tokoh “aku” terhadap
tokoh yang disebutnya “wanita dengan rambut keriting sebahu”. Ketidaklangsungan itu

12
diungkapkan melalui pilihan gaya metafora, yaitu metafora sinar bulan yang
memberikan suasana yang anggun. Kita dapat menafsirkan bahwa keanggunan sinar
bulan ini tentu mengacu pada keanggunan tokoh wanita dengan rambut keriting sebahu
itu. Namun, kutipan teks cerpen “Kopi” dalam tabel di atas juga memberikan perasaan
cemburu yang tersirat dari tokoh “aku” karena dalam adegan awal itu si wanita
diinformasikan sedang asyik bercengkerama dengan pasangannya. Jadi, dalam teks awal
ini saja cerpen “Kopi” sudah sangat efektif menggunakan gaya ironis melalui
kontradiksi perasaan cinta (melalui metafora keanggunan) dan cemburu (melalui
penggambaran adegan langsung). Dengan kata lain, metafora sinar bulan di situ bukan
semata-mata untuk menggambarkan romantisnya suasana kafe, tetapi lebih dari itu,
yaitu untuk mengungkapkan situasi ironis yang sedang dihadapi oleh tokoh “aku”. Jadi,
dengan teknik seperti ini, cerpen “Kopi” sudah terhindar dari teknik klise tentang
penggambaran suasana kafe.
Sekarang mari kita berpindah ke cerpen “Teman Terbaik”. Dari teks kutipan di
tabel di atas, terlihat bahwa cerpen terjebak dalam klise ketika menggambarkan
perasaan cinta, yaitu pilihan kalimat ini: “Tanpa alasan yang jelas, jantungku mulai
berdebar tak beraturan.” Padahal, kalimat ini tidak perlu digunakan lagi karena kita
sebagai pembaca juga sudah diberi informasi pada paragraf sebelumnya (melalui teknik
iteratif) bahwa tokoh “aku” memang jatuh cinta pada pria asing itu. Jadi, tentu saja
alasannya sudah jelas, yaitu karena perasaan jatuh cinta. Kalimat klise memang
seringkali menjebak para pengarang sehingga mengabaikan logika peristiwa. Kita tahu
bahwa klise pada dasarnya merupakan bagian dari konvensi yang sebenarnya tidak
fungsional lagi tetapi masih digunakan.
Pengarang cerpen ini juga kurang akurat dalam mempertimbangkan waktu
iteratifnya. Di dalam teks tersebut disebutkan bahwa tokoh “aku” mulai merasakan jatuh
cinta itu selama beberapa bulan terakhir. Kita dapat menyimpulkan bahwa “beberapa
bulan” di sini setidaknya tiga bulan (waktu tiga bulan ini kemudian dipertegas di bagian
selanjutnya dalam cerpen ini). Namun, di dalam teks di atas dikatakan juga bahwa pria
asing yang dicintainya itu datang ke kafe setiap malam pada pukul 7. Dari sini kita
dapat merasakan sesuatu yang janggal, yaitu jika memang mendapat kesempatan

13
bertemu setiap malam, maka waktu tiga bulan untuk menyatakan cinta adalah waktu
yang terlalu lama, apalagi untuk konvensi cerita roman seperti ini.
Terlepas dari kelemahan logis dalam waktu iteratif dan klise dari cerpen ini, kita
perlu mengamati teknik stilistis yang penting yang digunakan dalam teks di atas, yaitu
dalam paragraf yang menggambarkan sosok pria asing yang dicintai oleh tokoh “aku”.
Paragraf tersebut menggunakan gaya repetisi, yaitu terus-menerus mengulang kata “pria
asing” dalam kalimat-kalimatnya. Sebenarnya dalam paragraf biasa, kata tersebut dapat
ditukar dengan kata ganti orang ketiga, yaitu “dia”, tetapi karena di sini kita sedang
berhadapan dengan teks sastra, teknik repetisi ini sebenarnya memang disengaja karena
dimaksudkan sebagai pilihan gaya. Namun, seberapa jauh pilihan tersebut memang
membawa fungsi/efek esetetis dalam konteks ini? Dalam analisis stilistika, teknik
repetisi biasanya dipahami sebagai cara untuk mengungkapkan intensitas dari suatu
perasaan atau keadaan, yaitu bahwa perasaan atau keadaan tersebut terasa sangat kuat
dan terus-menerus dialami. Dalam konteks bagian cerpen yang kita analisis ini, kita
dapat menafsirkan bahwa repetisi tersebut hendak menggambarkan bahwa perasaan
cinta tokoh “aku” kepada pria asing itu sangat kuat dan terus-menerus. Namun, kita
dapat mempertanyakan: jika memang intensitas cintanya begitu kuat, mengapa harus
menunggu sampai tiga bulan untuk mengungkapkannya? Di sini kita dapat menilai
bahwa cerpen “Teman Terbaik” telah terjebak kembali dalam ketidaklogisan dalam
pilihan gaya estetiknya.
Dari keseluruhan uraian di atas, kita dapat mengambil keputusan penilaian
bahwa dari segi cara penggambaran perasaan cinta terpendam pada awal cerita, cerpen
“Kopi” lebih bagus daripada cerpen “Teman Terbaik”. Asmara memang perasaan yang
seringkali tidak masuk akal, tetapi sebuah cerita tentang cinta asmara harus tetap tidak
boleh jatuh pada klise dalam pemilihan gaya dan ketidaklogisan peristiwa. J i k a p a d a
uraian di atas kita mencoba untuk menganalisis teks cerpen pada bagian awal cerita,
maka sekarang kita perlu melakukan perbandingan tentang cara penggambaran perasaan
cinta terpendam pada akhir cerpennya. Perhatikan kutipan teksnya pada tabel di bawah
ini.

14
Perbandingan Perasaan Cinta Terpendam pada Akhir Cerita

Cerpen “Kopi” Cerpen “Teman Terbaik”

Bulan purnama terlihat lebih anggun Aku masih tak percaya dengan yang kualami
malam ini. Mungkin hanya perasaanku, atau hari ini. Pikiranku kosong, tidak merasakan apa-apa,
sinarnya memang berbeda? Di sana, pada tapi hatiku ingin sekali menangis sekencang-
bagian outdoor dari kafe ini, sinar bulan itu kencangnya. Sepulangnya dari pameran lukisan itu,
membias menyirami kalian. Kalian yang aku hanya duduk termangu di pelataran teras rumah
sedang asyik bercengkerama. Kalian yang Alvian. Kuceritakan semua yang terjadi di ruang
sedang bahagia dalam percakapan istirahat itu kepada Alvian.

interpersonal berdua. Kalian yang selalu “Bukannya kamu masih punya harapan Fai?
datang ke kafe ini, setia dalam damba dan Kamu sama Davin akan tetap berkomunikasi kan?
saling mencinta.
Dan, nggak menutup kemungkinan dia akan sesekali
Sementara aku?
datang ke sini,” ujar Alvian.

Aku yang mencintaimu di balik meja bar. Aku hanya menggeleng mendengar perkataan
Kuat mendamba tanpa mengungkapkan Alvian itu. “Nggak, Al. Aku bisa ngerasain, nggak
apa-apa. Aku yang telah mencinta tanpa ada tempat istimewa buatku di hati Davin.
ragu kehilangan cinta. Yang kini sadar jika Selamanya, aku nggak akan pernah lebih dari temen
rasa itu masih tumbuh meski perlahan-lahan, untuk Davin,” lanjutku.

pada akhirnya hanya akan berganti sisi. Ulah Alvian tidak berkata apa-apa, hanya diam di
petak umpet malam dan siang. Gelap sampingku sambil menatap langit, seakan ia dapat
terangnya matahari dan bulan.
melihat bintang-bintang di malam yang mendung itu.

Malam masih muda, obrolan kalian masih “Tapi Al, selama aku tahu dia bahagia, aku
panjang. Dan, aku masih ingin terus jadi nggak apa-apa meski cuma jadi temen. Mungkin
pengamat di balik meja bar, setelah tadi kamu nggak ngerti perasaan melankolis khas cewek
kuberi tahu siapa sebenarnya aku.
gini ya,” ujarku sambil terkekeh.

Satu cappuccino dan satu coffee and cream Alvian mengalihkan pandangannya kepadaku,
yang kalian berdua pesan telah kubuatkan. cukup lama sampai aku merasa aneh. “Ngerti, kok,”
Siap untuk diantar ke meja kalian. Khusus
ujar Alvian. “Makanya aku tahu kamu lagi sok tegar
untukmu, wanita dengan rambut keriting
padahal man nangis . Tipikal!” lanjut Alvian ketus
sebahu. Tiap kali datang ke kafe ini, kamu
selalu akan memesan cream lebih banyak sambil mendekatkan bahunya ke bahuku. “Nih!
dalam kopimu. Namun, siapa yang mampu Khusus hari ini aja aku pinjemin bahuku secara
menahan kecintaanmu pada creamer itu. gratis. Kamu boleh nangis sepuasnya. Aku janji
Kamu adalah pelanggan, dan aku barista nggak akan ngejek atau komen secuil pun.”

yang akan mengiyakan segala macam Hari itu, dinaungi langit malam yang mendung,
permintaan. untuk kali pertama aku menangis sejadi-jadinya di
bahu sahabat terbaikku yang terkadang
menyebalkan ini.

Bagian akhir cerpen ini memberikan informasi tentang apa yang dirasakan oleh
tokoh “aku” setelah dia tahu bahwa cintanya ternyata bertepuk sebelah tangan. Tokoh
yang dicintainya ternyata mencintai orang lain. Dalam hal ini, cerpen “Kopi”
menggunakan gaya repetisi yang mengulang kembali adegan pada awal cerita, namun
dengan penambahan informasi tentang kejelasan perasaan cintanya yang tak terbalas.
Selain itu, teknik ironi yang sudah ada (yaitu tentang metafora bulan dan kecemburuan)
kini dilipatgandakan dengan mempertegas hubungan barista dan pelanggan, dalam arti
meskipun cintanya tidak terbalas, tokoh “aku” yang barista akan tetap melayani
permintaan si wanita sebagai pelanggan kafe. Dengan cara ini, efek ironi dari perasaan

15
jatuh cinta diam-diam semakin diperkuat sehingga menimbulkan efek perasaan
kesendirian yang perih yang makin dalam.
Sebaliknya, cerpen “Teman Terbaik” memilih untuk tidak menekankan suasana
kesendirian yang perih itu di akhir ceritanya. Gaya yang digunakan adalah dengan
mengungkapkan perasaan melankolis akibat patah hati itu secara langsung melalui
dialog tokoh “aku” dengan tokoh Alvin, sahabatnya. Dengan cara itu, kesedihan tokoh
“aku” menjadi tidak terasa intensif karena sebagiannya sudah dapat diredakan melalui
dialognya (curhatnya) kepada sahabatnya itu. Bahkan, dalam kalimat terakhirnya,
meskipun diberikan tambahan metafora tentang langit malam yang mendung, kesedihan
tokoh “aku” masih sempat dipatahkan lagi dengan munculnya informasi tentang sifat
sahabatnya yang menyebalkan. Perhatikan kalimat ini: “Hari itu, dinaungi langit malam
yang mendung, untuk kali pertama aku menangis sejadi-jadinya di bahu sahabat
terbaikku yang terkadang menyebalkan ini.” Karena itu, pemilihan gaya pada akhir
cerita “Teman Terbaik” ini dapat dinilai sebagai pemilihan yang tidak hati-hati atau
tidak strategis karena justru mengurangi efek estetis dari perasaan jatuh cinta diam-diam
itu sendiri.
Dalam hal ini, cerpen “Kopi” justru lebih strategis karena juga
mempertimbangkan efek estetis dari pilihan pola penceritaan yang tetap dipertahankan
sampai akhir cerita, yaitu membuat peceritanya (“kau”) menjadi tokoh (si wanita yang
dicintai pencerita sekaligus tokoh “aku”). Pilihan pola penceritaan seperti ini sangat
fungsional dalam konteks cerpen ini karena perasaan cinta justru diungkapkan atau
diakui seolah-olah langsung kepada orang yang dicintainya (“kau”) meskipun
sebenarnya tokoh “kau” sendiri tentu tidak mendengarnya. Dengan kata lain, pilihan
penceritaan seperti ini memberikan efek paradoks yang esetetis, semacam solilokui.
Sebaliknya, cerpen “Teman Terbaik” mengakui perasaan cintanya itu melalui
penceritaan kepada tokoh lain, sahabat tokoh “aku” sehingga efek paradoks dalam
situasi jatuh cinta cinta diam-diam menjadi tidak terasa.
Demikianlah cara menganalisis cerita dengan pendekatan stilistika untuk
mengambil keputusan penilaian estetis. Perbandingan antara karya yang satu dengan
karya yang lain sangat penting dalam analisis ini karena itu akan membuat penilaian
kita tetap proporsional, lebih konkret, dan dapat didukung dengan pertimbangan alasan

16
yang kuat. Dalam contoh analisis ini, hanya sebagian dari kaidah genre cerita roman
yang sempat diuraikan dengan harapan bahwa Anda dapat meneruskan analisis terhadap
bagian kaidah yang lain.
Sebagai tambahan untuk memberi inspirasi analisis sekaligus menutup bab ini,
silakan baca cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Travelogue”.2 Genre cerpen
ini sama dengan genre dari dua cerpen yang sudah kita bahas di atas, tetapi gayanya
sangat berbeda. Cerpen ini juga mengangkat persoalan patah hati karena cinta meskipun
bukan asmara terpendam. Sekuennya sangat sederhana dan konvensional saja seperti
pada umumnya cerita asmara tentang patah hati. Tokoh “aku” dan tokoh “dia” mulanya
saling mencintai, kemudian tokoh “dia” memutus hubungan cinta mereka, dan tokoh
“aku” patah hati karenanya. Namun, sekuen tersebut tidak penting dalam cerpen ini
karena bukan peristiwa demi peristiwa tentang itu yang ingin diceritakannya. Sekuen
cerita itu sendiri sudah jelas sebagaimana konvensi genre kebanyakan cerita roman.
Yang justru hendak diceritakan oleh cerpen ini adalah perasaan melankoli yang
ditinggalkannya beserta segala suasana alam dan perenungan filosofis yang menyertai
perasaan itu. Oleh karena itu, berbeda dengan dua cerpen sebelumnya, dalam cerpen
“Travelogue” ini kita tidak diberi informasi yang jelas tentang tokoh-tokohnya, apa
yang mereka lakukan, dan mengapa mereka putus. Karena itu, seluruh penuturan dalam
cerpen ini merupakan ekplorasi gaya bercerita dengan memanfaatkan banyak teknik
bahasa yang estetis. Tidak perlu kita bahas satu per satu tekniknya di sini, tetapi cukup
Anda perhatikan satu kalimat panjang yang membentuk satu paragraf utuh di
penghujung cerpen ini. Apa yang dapat Anda rasakan?

Bagaimana mungkin aku tidak membayangkan sepasang mata terindah yang


bermata tajam yang menatap dengan penuh cinta yang berkata hatiku milikmu
tubuhku milikmu hidupku milikmu setiap kali aku berada di pantai itu di
mana pun asal pantai itu berangin dan berpasir asal pasirnya basah dan berkilau
asal kilaunya mengertap dan berkeredap ketika senja dan ombaknya
menghempas dengan lidah-lidah ombak yang dengan halusnya mendesıs
seperti membisikkan segala kisah meskipun hanya pada bagian yang senduu
dan tiada lain selain sendu bagaikan tiada lagi yang bisa lebih sendu darı
perpisahan terindah yang begitu pedih yang semakin indah semakin pedih
begitu pedih bagaikan tiada lagi yang bisa lebih pedih seperti hati yang

2 Seno Gumira Ajidarma, “Travelogue” dalam Transit: Urban Stories (Jakarta: Gramedia, 2019).

17
tercabik tapi tak pernah terpisahkan sehingga darah pada luka itu masih selalu
menitik pada pasir pada gelombang yang masih saja menghempas dengan
rintihan menyayat sebelum terserap dan menguap seperti masa yang meskipun
hilang tetap saja menjelma dalam hampa udara ketika senja dan hanya senja
membuat langit dan bumi di pantai seluruhnya menjadi jingga.

18

Anda mungkin juga menyukai