Anda di halaman 1dari 214

Kritik Sastra Indonesia Modern

PENGANTAR PEMAHAMAN TEORI DAN PENERAPANNYA

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
1
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
2 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
HERI SUWIGNYO

Kritik Sastra
Indonesia Modern
P E N G A N TA R P E M A H A M A N T E O R I
D A N P E N E R A PA N N Y A

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
3
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya

Heri Suwignyo

Layout dan Cover


Indro Basuki

Penerbit
A3 (Asih Asah Asuh)
Anggota IKAPI No. 040/JTI
Jln. Ciliwung II No. 21
Malang - Jawa Timur
Tlp. (0341) 493322

Jumlah: x + 204 hlm.


Ukuran: 14 x 21 cm

Cetakan 3, Edisi Revisi, Januari 2013

ISBN: 978-979-520-590-6

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penulis.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


4 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Kata Pengantar
Cetakan Ketiga

T
idak ada kata lain selain syukur Alhamdullilah yang
layak penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha
berilmu dan berpengetahuan. Hanya berkat bim-
bingan-Nya semata buku teks berjudul Kritik Sastra Indone-
sia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
ini dapat penulis selesaikan.
Kehadiran buku teks ini diharapkan dapat memberikan
informasi awal tentang kajian konseptual, prinsip, prosedur
serta penerapan kritik sastra Indonesia modern. Memang in-
formasi yang dituangkan dalam buku ini merupakan pengem-
bangan dari buku penulis terdahulu, yakni Catatan Kecil ten-
tang Kritik Sastra (l993) ditambah satu bab tentang model
kritik sastra (puisi dan cerita). Khusus pada bab model kritik
sastra, penulis menyampaikan terima kasih kepada dua saha-
bat penulis, yakni Dr. Muakibatul Hasannah dan Prof. Dr.
Wahyudi Siswanto yang memperkenankan hasil penelitiannya
dijadikan model kritik dalam buku teks ini.
Dalam cetakan ketiga ini, proporsi antara teori dan
praktik masih empat dibanding satu. Dalam bab satu diurai-
kan hakikat kritik sastra dengan fokus bahasan konsep dasar,
variabel, serta posisi dan fungsi kritik sastra. Paradigma kritik
sastra Indonesia modern ditampilkan di bab dua. Di dalamnya
dibahas persoalan bentuk, jenis, dan koordinat kritik sastra.
Dianalogikan dengan ‘hutan belantara,’ pembahasan menge-
nai paradigma kritik sastra diharapkan dapat dijadikan road
map atau peta perjalanan bagi mahasiswa sastra agar tidak
kebingungan dan sesat konsep dalam pemahaman tentang
keberagaman kritik sastra kita dewasa ini.
Dalam bab tiga dan bab empat dibahas kriteria penilaian
dan epistemologi kritik sastra dengan fokus bahasan tentang

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
5
metode kritik sastra Indonesia modern, yakni metode kritik
realisme sosialis, metode kritik Ganzheit, metode kritik peng-
udaran naskah, dan metode kritik aliran Rawamangun. Keem-
pat metode kritik tersebut pernah ‘meramaikan’ sejarah kritik
sastra Indonesia di era 60 hingga 70-an.
Di ujung pemahaman teori kritik adalah penerapannya
dalam karya sastra konkret. Untuk itu, di bab lima ditampil-
kan model kritik semiotik, struktural, psikologis, dan sosio-
logis. Yang membedakan cetakan ketiga ini dengan cetakan
kedua adalah dalam setiap bab dilengkapi dengan panduan
pertanyaan, bahan diskusi, dan khusus di bab lima dilengkapi
dengan latihan-latihan.
Demikianlah, buku ini hadir dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. Oleh sebab itu, kritik dan saran per-
baikan sangat terbuka lebar. Penulis berharap, terutama untuk
mahasiswa S1, mudah-mudahan isi buku teks ini dapat mem-
berikan dasar-dasar yang kokoh terhadap pemahaman awal
teori kritik sastra Indonesia modern serta penerapannya.
Semoga.

Malang, Januari 2013

Penulis

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


6 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ........................................................... v


DAFTAR ISI ....................................................................... vii
DAFTAR BAGAN ............................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................. xi

BAB I HAKIKAT KRITIK SATRA ..................................... 1


1.1 Konsep Dasar Kritik Sastra .............................. 1
1.2 Variabel Kritik Sastra ...................................... 6
1.3 Posisi Kritik Sastra .......................................... 17
1.4 Fungsi Kritik Sastra ......................................... 19

BAB II PARADIGMA KRITIK SASTRA ............................. 23


2.1 Bentuk Kritik Sastra ........................................ 23
2.2 Jenis Kritik Sastra ............................................ 28
2.3 Koordinat Kritik Sastra .................................... 41

BAB III PENILAIAN DALAM KRITIK SASTRA ................. 61


3.1 Trikotomi Penilaian Kritik Sastra ..................... 61
3.2 Kriteria dan Syarat-syarat Penilaian Kritik
Sastra .............................................................. 66

BAB IV EPISTEMOLOGI KRITIK SASTRA ........................ 75


4.1 Kriteria Penerapan Teori Kritik Sastra .............. 75
4.2 Metode Kritik Realisme Sosialis ...................... 77
4.3 Metode Kritik Ganzheit ................................... 82
4.4 Metode Kritik Pengudaran Naskah ................... 86
4.5 Metode Kritik Aliran Rawamangun ................. 94

BAB V MODEL KRITIK SASTRA ..................................... 103


5.1 Model Kritik Struktural ................................... 103
5.2 Model Kritik Semiotik .................................... 120
5.3 Model Kritik Psikologis ................................... 139
5.4 Model Kritik Sosiologis ................................... 167

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
7
DAFTAR RUJUKAN ............................................................ 197
INDEKS .............................................................................. 201
TENTANG PENULIS .......................................................... 203

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


8 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Daftar Bagan

1.1 Proses Hubungan Antarkomponen Variabel


Kritik Sastra .............................................................. 16
5.1 Pola Hubungan Antarunsur dalam Puisi Zawawi
Imron ........................................................................ 119
5.2 Model Semiotik Peirce .............................................. 123

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
9
Daftar Tabel

5.1 Karakteristik Struktural Puisi Muhammad .................. 109


5.2 Hubungan Struktural Unsur Bunyi, Diksi, dan
Majas ........................................................................ 114
5.3 Hubungan Struktural Diksi, Majas, dan Citraan ......... 116
5.4 Hubungan Struktural Citraan, diksi, dan Majas .......... 117

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


10 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 1

Hakikat Kritik Sastra

1.1 KONSEP DASAR KRITIK SASTRA


Hakikat kritik sastra mencakup konsep dasar, variabel,
posisi, dan fungsi kritik sastra dalam dunia sastra. Istilah kritik
(Ind.); criticism (Ing.); critique (Pr.) secara etimologis berasal
dari kata Yunani krites yang berarti hakim, krinein menghakimi,
sedangkan kritikos berarti hakim karya sastra (Wellek, 1971:22;
Bradbury dalam Estern, 1987:11). Dalam glosarium sastra,
kritik dinyatakan sebagai kegiatan pengkajian dan evaluasi
terhadap karya sastra dari berbagai segi dan penuh pertim-
bangan. Segi dimaksud tidak hanya segi estetika melainkan
segi etika, logika, bahkan metafisika. Kritik tidak hanya mencari
kesalahan dan kelemahan, kritik yang sehat dapat menunjukkan
keunggulan dan kelemahan nilai-nilai suatu karya sastra, mem-
pertimbangkannya dengan kriteria yang jelas, kemudian mem-
berikan penilaian dengan dasar yang mantap (periksa Sudjiman,
1986:43).
Dalam sastra Indonesia istilah kritik pernah dicoba dihin-
dari pemakaiannya karena istilah tersebut memiliki atau
dianggap memiliki konotasi negatif, seperti: cemooh, kecaman,
cacian, makian dan sebagainya (bandingkan dengan Tarigan,
1986:186). Untuk itu dicarilah padanannya, seperti pengkajian,
telaah, pembahasan, sorotan, ulasan, penyelidikan dan
sebagainya. Sungguhpun banyak pilihan kata yang dapat digu-
nakan, dan memang pernah digunakan, akhirnya istilah kritik
lebih dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi etimologis
maupun dari segi ketepatan konsep yang dikandungnya. H.B.
Jassin dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
1
Esai (sampai 5 jilid) adalah pelopor penggunaan istilah kritik
dalam studi sastra Indonesia modern.
Berbagai batasan atau pengertian tentang kritik sastra
dapat di jumpai dalam berbagai referensi. H.B. Jassin, misalnya,
mengemukakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik
buruknya suatu hasil karya sastra. Lebih jauh, Jassin mengemu-
kakan bahwa pertimbangan itu tentu dengan memberikan
alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusasteraan yang
dikritik. Isi dimaksud antara lain menyangkut ide atau gagasan,
serta pesan-pesan kemanusiaan yang disampaikan dalam karya
sastra. Adapun bentuk berkaitan dengan kreativitas penggarapan
unsur fiksi, misalnya penokohan, pengaluran, pelataran, penyu-
dutpandangan, dan sebagainya.
Oleh karena isi kesusastraan adalah seluruh kehidupan,
maka perlu seseorang yang berkeinginan menjadi kritikus (i)
mengenal berbagai segi kehidupan tersebut dengan lebih baik
di samping (ii) memiliki modal pengalaman kehidupan kemanu-
siaan yang kaya. Modal demikian menjadikan kritikus tidak
berat sebelah dalam memberikan pertimbangan baik buruknya
suatu karya sastra. (periksa Jassin, 1959:44).
Terlepas dari persyaratan untuk menjadi kritikus yang
baik, rumusan kritik sastra yang disodorkan Jassin masih dapat
dipertanyakan. Misalnya, (a) apakah benar, kritik hanya ber-
henti pada pertimbangan baik dan buruknya karya sastra? (b)
Apakah benar pertimbangan terhadap hasil kesusasteraan hanya
berupa tanggapan, komentar, dan penilaian tanpa memasukkan
wawasan, alternatif serta pemikiran-pemikiran lain? Menya-
takan bahwa sebuah karya sastra baik atau buruk tidak terlepas
dari beberan bukti dan argumentasi. Meskipun barangkali seo-
rang kritikus mengukur kualitas sebuah karya dari ukuran
keharuan yang menggugah segenap perasaan kemanusiaannya.
Pada dasarnya kegiatan kritik adalah menjabarkan, menjurus-
kan, bahkan menalarkan intuisi sang kritikus.
Lebih jauh, pengertian kritik sastra di atas dapat diban-
dingkan dengan pengertian yang diberikan oleh Richards

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


2 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
(1970:vii), “Kritik seperti yang kuketahui adalah usaha untuk
membeda-bedakan pengalaman (jiwa) dan memberikan peni-
laian kepadanya (sastra).” Kritik sastra tidaklah semata-mata
memberikan penilaian atau judgment (bandingkan dengan
Darma, 1950:2), melainkan masih disertai dengan kegiatan
lain. Kritik sastra adalah studi sastra yang berhubungan dengan
kegiatan (i) mengidentifikasi, (ii) mengklasifikasi, (iii) mengana-
lisis, dan (iv) mengevaluasi karya sastra (Abrams, 1981:35).
Jadi, evaluasi hanya salah satu bagian dari rangkaian kegiatan
kritik sastra.
Bertolak dari pengertian kritik sastra yang diberikan
Abrams, maka suatu karya sastra yang dijadikan objek materia
kritik, terlebih dahulu mesti diidentifikasi, diselidiki, dan dipe-
riksa satu per satu, dianalisis unsur-unsurnya atau norma-
normanya kemudian ditentukan nilainya berdasarkan teori-
teori penilaian karya sastra. Dengan mempertimbangkan peni-
laian seluruh unsur sebagai satu kesatuan (unity) atau kebulatan
(wholeness), seorang kritikus dapat menentukan karya tersebut
bernilai tinggi, cukup, kurang atau tidak bernilai sama sekali.
Sehubungan dengan penilaian dimaksud, terdapat tiga kriteria
penilaian yang biasa digunakan, yakni, (1) kriteria estetis, yang
menekankan pencapaian rasa keindahan suatu karya sastra (este-
tika), (2) kriteria epistemis, yang menekankan pencapaian nilai
kebenaran dalam sastra (logika), dan (3) kriteria normatif, yang
menekankan atau menyangkut kepentingan, keagungan, dan
kedalaman suatu karya (etika) (periksa, Semi, 1985:16).
Sejalan dengan pernyataan tersebut, dalam kritik sastra
dijumpai dikotomi antara aliran aristotelian dan aliran platonik.
Kaum Aristotelian menganggap kegiatan kritik sastra sebagai
kegiatan formal, logis dan yudisial. Mereka cenderung menge-
mukakan nilai-nilai karya sastra berdasarkan karya sastra seba-
gai kreasi seni (bandingkan dengan pandangan yang menyata-
kan bahwa eksistensi sastra adalah otonom-world-in-itself,
dunia yang ada dalam dirinya sendiri). Sebaliknya kaum Pla-
tonik (Platonian) cenderung mengemukakan nilai suatu karya

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
3
sastra dikaitkan dengan kegunaan, manfaat atau tujuan-tujuan
lain nonseni (bandingkan dengan pandangan yang menyatakan
bahwa eksistensi sastra adalah “substansi” yang relasional, yang
selalu terkait dengan kehidupan di luarnya, seperti agama, filsa-
fat, psikologi, biografi, sosiologi, dan sebagainya). Pada intinya
dikotomi aristotelian-platonik ialah pemisahan konsep intrinsik
dan ekstrinsik (lihat Wellek, 1989:77—155).
Tanpa mempersoalkan dari mana suatu nilai karya sastra
diperoleh, Hardjana (1981:xi) mendefinisikan kritik sastra seba-
gai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai
hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik
yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Selanjutnya dijelaskan
Hardjana, kata pembaca digunakan dengan sengaja untuk me-
nunjukkan bahwa kritik sastra bukanlah hasil kerja yang luar
biasa dan dengan sendirinya melekat dalam pengalaman sastra.
Seorang pembaca sastra dapat membuat sebuah kritik sastra
yang baik, apabila dia betul-betul menaruh minat pada sastra,
terlatih kepekaan ciptanya (nalar) dan mendalami serta menilai
tinggi pengalaman manusiawinya. Yang dimaksud dengan
“mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawi” adalah
sikap yang menunjukkan kerelaan jiwa untuk menyelami dunia
karya sastra, kemampuan membeda-bedakan pengalaman se-
cara mendasar, dan kejernihan budi (pikiran) untuk menentukan
macam-macam nilai.
Menggarisbawahi pernyataan Hardjana, memang patut
diakui bahwa profesi sebagai pengarang atau kritikus adalah
profesi yang terbuka. Persyaratan untuk menjadi pengarang
atau penyair adalah kemampuan dan kepekaan menghayati reali-
tas kehidupan atau transformasi kehidupan. Dengan demikian
“siapa pun” tanpa terikat oleh pangkat, dan pendidikan dapat
menjadi kritikus, pengarang, penyair, dan dramawan. Sebagai
bukti, bohemian Chairil Anwar, dokter hewan Taufik Ismail,
doktor sastra Sapardi Djoko Damono, arsitek merangkap roha-
niman Y.B. Mangunwijaya dapat menjadi pengarang, sarjana

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


4 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
hukum Putu Wijaya, begitu juga penyanyi populer Dewi Lestari
dalam serial karyanya Supernova. Bahkan Serial novel Laskar
Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov ditulis
oleh Andrea Hirata, seorang sarjana ekonomi telekomunikasi.
Profesionalisme dalam kritik sastra juga bersifat terbuka
karena kritik sastra dalam pengertian tradisional maupun pe-
ngertian luas juga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan. Mere-
ka yang mampu menangkap abstraksi kehidupan yang dikemas
dalam sastra akan dapat bergerak dalam dunia kritik sastra.
Sebagai contoh sosiolog Harsya W. Bachtiar, novelis Putu
Wijaya, penyair Abdul Hadi W.M., ahli sejarah Jacob Soemar-
djo, ahli sastra Umar Yunus, Subagio Sastrowardoyo, teoritikus
Rene Wellek, linguis Ferdinand de Saussure, Noam Chomsky
dapat mengulas sastra dengan jitu.
Tampaknya penjajaran pengertian kritik sastra jika dite-
ruskan tidak akan pernah habis, seperti halnya kalau kita akan
mengulas pengertian tentang kebudayaan pada umumnya. Oleh
sebab itu, yang penting adalah menetapkan sebuah titik tertentu
untuk mengawali sebuah konsep atau pengertian, kemudian
mempertahankannya. Berdasarkan pengertian kritik sastra yang
telah diuraikan, maka konsep dasar kritik sastra dapat disusun
sebagai berikut. Bahwa kritik sastra adalah upaya menentukan
nilai hakiki karya sastra tertentu, melalui kegiatan identifikasi,
analisis, klasifikasi, dan evaluasi (judgment) serta penafsiran
sistematik yang diformulasikan dalam bentuk tertentu.
Secara taksonomis konsep dasar kritik sastra dapat dija-
barkan atas (1) objek materia, yakni karya sastra tertentu, (2)
proses kerjanya, yakni dengan (a) identifikasi, (b) analisis, (c)
klasifikasi, (d) penafsiran sistematis, serta (e) evaluasi, dan (3)
formulasi hasil kritik dalam bentuk tertentu, misalnya (a)
resensi, (b) skripsi, (c) artikel di media massa, atau (d) buku
kritik.

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
5
JAWABLAH PERTANYAAN BERIKUT INI!
1. Sebutkan tiga pengertian kritik sastra!
2. Susunlah sebuah konsep dasar kritik sastra berdasarkan
pengertian kritik sastra!
3. Jelaskan unsur-unsur yang terangkum dalam konsep dasar
kritik sastra yang telah Anda susun itu!

BAHAN DISKUSI
1. Upaya menjawab kritik sastra dengan batasan, definisi
selalu menimbulkan perbedaan dan keragaman.
(a) Mengapa selalu terjadi keragaman dalam pemberian
batasan/definisi kritik sastra?
(b) Bagaimanakah cara mengatasinya, berikan ilustrasi,
bukti atau contoh!
2. Formulasi hasil kritik sastra tidak hanya dalam bentuk
buku kritik sastra, misalnya skripsi, tesis yang dibuat oleh
calon sarjana/sarjana; tetapi bisa juga dalam bentuk resensi
buku, timbangan buku, artikel atau polemik di media
massa.
(a) Sependapatkah Anda dengan pernyataan tersebut?
(b) Jika sependapat berikan bukti dengan argumentasi,
jika tidak sependapat berikan alasan dan pemikiran
alternatif.
(c) Formulasi hasil kritik sastra apakah selalu diaksen-
tuasikan dalam bentuk tulis?
(d) Jika ya, komponen-komponen apa saja yang harus
disajikan? Jika tidak selalu, tunjukkan contohnya!

1.2 VARIABEL KRITIK SASTRA


Variabel adalah suatu trait atau attribute yang dimiliki
secara bervariasi oleh subjek. Kritik sastra merupakan sebuah
“subjek” atau pusat kajian yang menunjukkan gejala yang

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


6 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
kompleks. Pembicaraan mengenai kritik sastra selalu terkait
dengan komponen-komponen lain, yakni: (1) kritikus, (2)
karya sastra, (3) wilayah studi sastra, dan (4) penikmat, pem-
baca atau masyarakat sastra pada umumnya.

(1) Kritikus
Memperbincangkan kritik sastra tidak dapat mening-
galkan kritikus. Seperti halnya hubungan karya sastra dan pe-
ngarang, hubungan kritik sastra dan kritikus bersifat kausalitas.
Kehadiran kritik sastra disebabkan oleh adanya kritikus.
Mensitir pernyataan Descartes, “Karena Aku berpikir maka
Aku ada.” Sebagaimana juga, karena kritikus sastra ada maka
karya kritik ada, atau sebaliknya karena kritikus sastra tidak
ada maka karya kritik tidak akan ada. Itulah sebabnya dapat
dipahami bahwa kualitas kritik sastra amat ditentukan oleh
kualitas pribadi sang kritikus.
Berkaitan dengan kualitas diri kritikus, Darma (l988)
mencandra ciri-ciri pemikir sastra (termasuk di dalamnya kri-
tikus dan teoretikus) berikut ini.

a) Mencintai sastra
Ciri ini ditandai dengan keterlibatan kritikus untuk
mengikuti terus-menerus karya sastra, pemikiran-pemikiran
mengenai sastra, bahkan pekerja-pekerja sastra. Melalui
bacaannya, kritikus mengetahui benar ciri masing-masing
pengarang, kritikus, teoretikus dan ciri-ciri pemikir sastra yang
lain. Dengan demikian, kritikus mengenal kesamaan dan
benang-benang halus yang menghubungkan semua pekerja
sastra.

b) Menguasai sastra
Dengan mengenal sastra secara baik, kritikus menguasai
sastra secara baik pula. Dia menguasai wajah sastra, dan juga

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
7
peta sastra. Pengetahuannya mengenal sastra tidak hanya kom-
prehensif tetapi juga terperinci. Kritikus mengetahui langkah
demi langkah masing-masing karya sastra di antara sekian ba-
nyak karya sastra (kolektif). Sementara itu kritikus juga menge-
tahui dengan baik detail penting pemikiran setiap pekerja sas-
tra.

c) Mencintai ilmu-ilmu lain dan pengetahuan umum


Kecuali mencintai sastra, kritikus juga senang menyimak
ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, agama,
filsafat, dll. meskipun tidak perlu mendalam. Paling tidak seo-
rang kritikus sanggup merasakan kelebatan pikiran banyak
ilmuwan secara komprehensif. Seorang kritikus juga senang
membaca majalah dan koran. Perkembangan berita dari waktu
ke waktu selalu dia ikuti, meskipun kalau perlu hanya garis-
garis besarnya saja. Dengan demikian seorang kritikus tidak
pernah ketinggalan. Dalam kepalanya selalu tersimpan sekian
banyak informasi. Semua informasi langsung/tidak disadari/
tidak dipergunakan untuk menunjang penguasaannya terhadap
sastra. Dalam soal umum kritikus adalah seorang generalis,
dan begitu memasuki sastra krikikus menjadi seorang spesialis
yang menguasai seluk beluk sastra.

d) Mempunyai wawasan dan artikulasi


Kritikus tidak hanya menguasai sastra, tetapi juga memi-
liki pandangan terhadap sastra. Pandangan inilah yang disebut
wawasan. Kecuali memiliki wawasan, seorang kritikus juga
mampu menjabarkan wawasannya itu dengan artikulasi yang
baik, khususnya dalam bentuk tulis.

c) Mencintai percobaan
Acapkali kritikus membanding-bandingkan, mengkaji,
mencocok-cocokkan segala yang dikuasai. Kritikus mengang-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


8 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
gap sastra sebagai barang hidup, dan karena itu, sastra selalu
menawarkan dimensi baru. Dengan demikian wawasannya ter-
hadap sastra juga selalu berkembang. Melalui percobaan-perco-
baannya, kritikus sanggup menghayati pola-pola pikiran yang
terjadi di dalam sastra.

f) Menganggap sastra sebagai proses


Kritikus sanggup menghayati bahwa sastra serta ilmu
lain selalu berkembang. Baginya, sastra serta ilmu-ilmu lain
bukan sekadar kumpulan pengetahuan, tetapi juga dinamika
pengetahuan. Karena itu, kritikus juga selalu menemukan pemi-
kiran-pemikiran baru, meskipun objek materianya mungkin
masih sama.

g) Menyandarkan objektivitas pada hati nurani


Karya sastra tidak lain adalah ekspresi nilai-nilai, dan
sejak semula sudah mengandung simpati, antipati, dan empati.
Dalam berhadapan dengan fakta, seseorang bisa bersifat netral.
Apabila sudah berhubungan dengan nilai-nilai, seperti dalam
ilmu-ilmu sosial dan penerapan ilmu eksakta, seseorang tidak
mungkin netral. Kritikus memihak pada nilai-nilai yang berlaku
atau diperkirakan akan berlaku. Dengan wawasannya, seorang
kritikus dapat memperhitungkan nilai-nilai yang akan berlaku
di masa depan. Juga dengan wawasannya kritikus sanggup mem-
perhitungkan apa yang akan terjadi.
Melalui simpati, antipati, dan empati, dalam karya sastra,
seseorang diharapkan memihak atau tidak memihak. Novel-
novel zaman Balai Pustaka mengundang kita untuk tidak me-
mihak hukum adat, khususnya kawin paksa. Meskipun demi-
kian dalam menghadapi karya sastra, kritikus juga mempunyai
hak untuk menentukan sikap sendiri. Sikap ini juga sama halnya
dengan sikap-sikap dalam ilmu sosial dan penerapan ilmu ek-
sakta, akhirnya kembali kepada hati nurani. Sementara itu,

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
9
hati nurani banyak ditentukan oleh akal sehat, dan akal sehat
seseorang (kritikus) banyak ditentukan oleh wawasannya. Khu-
sus mengenai rasa simpati terhadap novel Sutan Takdir Alihs-
yahbana Kalah dan Menang, antara lain Budi Darma menulis
sebagai berikut.

Sastra yang bertanggung jawab adalah sastra yang mengang-


kat harkat, martabat, dan derajat manusia. Dalam “Kalah
dan Menang” ternyata STA terlalu memihak dan bukan
kepada kebenaran.

Kebaikan Jepang terhadap Hidayat dalam penjara sangat


mencolok, sementara orang-orang Indonesia lain yang disik-
sa habis-habisan dalam penjara dianggap enteng belaka, seo-
lah derajat mereka semua sama dengan derajat pencuri bela-
ka, dan karena itu mereka pantas digebuki. Perawan-pera-
wan yang diganyang oleh Jepang, sekian banyak romusha
yang jauh diperlakukan lebih buruk daripada binatang, dan
sekian banyak rakyat yang sengsara dan terlunta-lunta di-
biarkan STA berlalu begitu saja.

Masalah STA dalam menciptakan sastra yang bertanggung


jawab tidak semata-mata terletak pada simpati pembaca
yang tertarik untuk memihak Jepang, bukan itu. Dan masa-
lah STA yang sebenarnya terletak pada pertanggungjawaban
yang tidak benar terhadap sejarah. Ingat, pihak-memihak
dan objektivitas dalam sastra bukan semata sudut pandang
atau point of view. Pertanggungjawaban yang tidak benar
tidak semata terjadi karena sudut pandang dalam “Kalah
dan Menang” adalah sudut pandang orang Jepang. Meskipun
Y.B. Mangunwijaya dalam “Burung-burung Manyar” mem-
pergunakan sudut seorang NICA, dia tetap mempertang-
gungjawabkan sejarah. Tetapi tokoh STA bukan semata seo-
rang sastrawan. Sebagai pemikir dia selalu memandang ke-
giatan ke masa depan, dan pemikir memang mesti demikian.
Sebagai pemikir yang juga sastrawan, dalam menilai keka-
lahan dan kemenangan Jepang selama Perang Dunia II

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


10 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
mungkin juga dia melihat ke depan. Mungkin dia melihat
Jepang bukan semata melihat Jepang, tetapi sebagai potensi
dunia (Darma, 1988:78).

h) Menjadi pemikir (kritikus) dan mungkin sekaligus men-


jadi seorang penulis kreatif
Kenyataannya, apa yang sebenarnya terjadi, tidak selama-
nya sejalan dengan apa yang seharusnya terjadi. Dalam kenya-
taannya, banyak pemikir (kritikus) sastra menjadi penulis krea-
tif, sebaliknya banyak juga penulis kreatif yang menjadi pemikir
(kritikus) sastra.
Penulis kreatif dapat merangkap sebagai kritikus sastra,
karena penulis kreatif tidak hanya bergerak dalam dunia pemi-
kiran, tetapi juga bergerak dalam dunia penghayatan. Pengarang
dalam melihat sastra tidak semata-mata dari luar saja tetapi
sekaligus menciptakannya. Penulis kreatif juga memiliki ke-
mampuan menilai setidak-tidaknya menilai karyanya sendiri.
Tanpa diberi tahu siapa pun, penulis kreatif tahu apakah karya-
nya cukup baik atau tidak, perlu direvisi atau tidak, perlu diter-
bitkan atau dimusnahkan. Sebelum karya diterbitkan, pengarang
mempunyai kewenangan untuk menentukan apa yang harus
terjadi pada naskahnya.
Pendapat lain menyatakan, kedua fungsi, yaitu penulis
kreatif dan kritikus, perlu dipisah. Meskipun tidak mengharap
karyanya sendiri, penulis kreatif dapat menjadi subjektif apabila
harus tampil sebagai pemikir (kritikus). Bandingkanlah bagai-
mana jika seorang pemain sepak bola harus merangkap wasit.
Akan tetapi sebenarnya titik berat pendapat ini bukan pada
kemampuan, melainkan pada kewenangan.

(2) Karya Sastra


Kehadiran karya sastra mutlak diperlukan dalam kritik
sastra karena pada hakikatnya kritik sastra bersifat reaktif-re-
kreatif. Reaktif maksudnya kritik sastra merupakan reaksi atau

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
11
tanggapan terhadap dunia karya sastra. Rekreatif karena kritik
sastra diciptakan berdasarkan karya sastra yang bersifat kreatif.
Dengan kata lain tidak pernah ada kritik yang disusun berdasar-
kan kreasi kritikus sendiri, tanpa mendasarkan pada poetika
pengarang dalam karyanya. Jika ada, kritik yang demikian ada-
lah kritik yang terlepas dari konteks objeknya. Kenyataan-
kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hubungan kritik sastra
dan karya sastra bersifat determinatif. Maksudnya adalah hu-
bungan yang saling menentukan. Kritik sastra menentukan dan
ditentukan oleh karya sastra yang dikritik.
Dibandingkan dengan karya sastra, kritik sastra lebih
terikat pada zamannya. Karya sastra yang benar-benar hebat
akan mengatasi ruang dan waktu, sementara perkembangan
zaman akan menimbulkan sikap yang berbeda terhadap dunia
karya sastra. Dengan demikian, tanggapan terhadap dunia karya
sastra akan sangat bergantung pada keadaan zaman. Begitu
zaman berubah dan dunia sastra masih hidup, dunia sastra ter-
sebut akan ditanggapi dengan pandangan yang sudah berubah.
Dari waktu ke waktu karya sastra yang kokoh akan memancing
sekian banyak kritik sastra yang mungkin tidak terhitung jum-
lahnya. Hamlet hanya satu, Divina Comedia hanya satu, Beleng-
gu hanya satu, tetapi kritik atasnya bisa berlapis-lapis, tidak
terbatasi.
Berkaitan dengan kekokohan karya sastra ini, Soekito
(l991) secara ekstrem berpendapat, bahwa besar atau kecilnya
kritikus sastra bergantung kepada besar kecilnya karya sastra
yang dikritik. Kemasyhuran H.B. Jassin sebagai seorang kritikus
sastra bergantung atau ditentukan—meskipun tidak mutlak—
oleh Chairil Anwar sebagai penyair besar seperti tecermin dalam
karya-karyanya. Kemasyhuran Lucas sebagai kritikus sastra,
bergantung kepada Thomas Man (1875—955) sebagai seorang
novelis besar (Soekito, 1990:2). Tentu saja hal ini tidak berarti
bahwa setiap kritikus yang mengulas karya sastra yang besar/
hebat dengan sendirinya menjadikan kritikus yang besar atau
hebat pula.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


12 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
(3) Wilayah Studi Sastra: Teori Sastra, Sejarah Sastra, dan
Sastra Bandingan
Wellek membedakan tiga wilayah studi sastra, yakni teori
sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra (Wellek, 1989:38). Budi
Darma bahkan membuat taksonomi sastra menjadi dua saja,
yaitu karya sastra dan kritik sastra, karena segala sesuatu yang
bersifat evaluasi tidak lain adalah kritik sastra.
Teori sastra timbul, misalnya karena kritik sastra memer-
lukan metode. Misalnya, teori formalis menggarap sebuah kar-
ya sastra sebagai bentuk ekspresi estetis. Sementara itu, teori
moral menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk untuk
memperjuangkan nilai-nilai etika tertentu. Lalu teori sosiologi
sastra berpendapat, bahwa karya sastra tidak lain adalah kesa-
daran kolektif suatu masyarakat. Dengan demikian, semua teori
bersifat evaluasi, sedangkan evaluasi adalah ciri menonjol kritik
sastra.
Pengendapan masalah sastra yang kemudian menjadi seja-
rah sastra juga tersaring melalui proses evaluasi. Evaluasi terjadi
karena ada serangkaian kritik sastra. Historiografi mengenai
tokoh, aliran pemikiran dalam sejarah sastra merupakan hasil
pengendapan kritik sastra juga.
Sastra perbandingan muncul karena adanya evaluasi. Me-
lalui proses evaluasi akan ditemukan rambu-rambu mengenai
aspek-aspek apa yang perlu diperbandingkan. Sementara itu,
memperbandingkan adalah mengevaluasi, adanya juga kritik
sastra (Darma, 1990:3).
Dalam kenyataannya hubungan antara kritik sastra, teori
sastra, dan sejarah sastra, dan sastra bandingan bersifat interde-
pendensi atau saling tergantung. Teori sastra hanya dapat disu-
sun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra. Kriteria,
kategori, skema teori tidak mungkin diciptakan secara in vacuo/
tanpa pijakan. Sebaliknya tidak mungkin ada kritik sastra atau
sejarah sastra tanpa satu set pertanyaan suatu sistem pemikiran,
acuan, dan generalisasi.

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
13
Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa sejarah sastra sangat
penting bagi kritik sastra, kalau kritik tidak sekadar persoalan
like and dislike. Seorang kritikus yang tidak peduli pada sejarah
akan meleset penilaiannya. Ia tidak akan tahu suatu karya asli
atau jiplakan. Dan karena buta sejarah, ia cenderung membuat
tebakan yang sembrono, atau hanya asyik bertualang di antara
mahakarya (Wellek, 1986:46).
Di sisi lain kegiatan kritik yang berhubungan dengan
penilaian, penjelasan, dan penghakiman karya sastra dapat dike-
mukakan berikut ini. Bahwa penilaian hanya dapat dilakukan
oleh kritikus yang memiliki konsep tentang nilai baik dan buruk
(etika), indah atau tidak indah/estetika (lingkup teori sastra).
Penjelasan tentang suatu karya sastra hanya dapat dilakukan,
jika kritikus mengetahui seluk beluk karya sastra tersebut. Dan
penghakiman terhadap suatu karya sastra hanya dapat dilaku-
kan oleh kritikus yang mampu memanfaatkan berbagai penge-
tahuan tentang nilai dan seluk beluk karya sastra untuk menem-
patkan kedudukan suatu karya di antara sekian banyak karya
sastra sejenis. Kegiatan tersebut menunjukkan betapa penting-
nya peranan teori dan sejarah sastra dalam studi kritik sastra.
Penerapan teori sastra dalam kerja kritik memang berbeda-beda
dalam gaya dan teknik penyajiannya, misalnya dalam kritik
sastra kreatif (kritik yang dibuat oleh penulis kreatif), dan kritik
sastra akademik (ditulis oleh para akademisi). Y.B. Mangun-
wijaya misalnya, dalam buku kritiknya Sastra dan Religiusitas
tidak memformulasikan teori sastra yang digunakan secara eks-
plisit, melainkan memadukannya dengan intuisi. Antara intuisi
aksiomatis dengan intuisi menalar, antara merasakan sekaligus
menjabarkannya. Sebagai pembaca, kita tidak merasakan bahwa
Y.B. Mangunwijaya sedang menjabarkan, menganalisis, dan
membeberkan argumentasi-argumentasinya. Yang dilakukan
oleh Y.B. Mangunwijaya ini merupakan karakteristik jiwa kritik
kreatif.
Sebaliknya, pada waktu kita membaca kritik akademik,
yakni kritik yang mengandalkan dan memformulasikan teori

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


14 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
sastra secara eksplisit, kita sadar bahwa kritikus sedang tidak
bermain-main, melainkan dalam keadaan benar-benar menalar,
dan membuktikan. Bandingkan, misalnya kritik sastra Dami
N. Toda Novel Baru Iwan Simatupang dengan kritik-kritik
yang dilakukan oleh H.B. Jassin. Terlepas dari cara menerapkan-
nya, teori sastra memang penting dalam kritik sastra.
Selanjutnya, kritik sastra memandang penting juga sastra
perbandingan, jika kritikus berupaya mencari hubungan antara
dua karya atau lebih. Di dalamnya tercakup persoalan pengaruh,
sumber, reputasi, dan ketenaran. Misalnya, kelompok ilmuwan
Perancis yang dipimpin oleh Fernand Balden Spenger. Mereka
mengulas soal reputasi, pengaruh, dan ketenaran Goethe di
Perancis dan Inggris serta ketenaran Ossian, Carlyle, dan Schil-
ler di Perancis. Demikian juga studi pengaruh Poe pada Bau-
delaire, dan studi pengaruh Dryaan pada Pope (Wellek, 1989:
50).

4) Penikmat, Pembaca atau Masyarakat Sastra


Hubungan antara kritik sastra dengan penikmat, pembaca
atau masyarakat sastra bersifat fungsional. Kehadiran kritik
sastra dapat difungsikan sebagai penghubung antara pengarang
dan pembaca, penikmat (Jassin, 1965:84; Shipley, 1962:83).
Kritik sastra dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-perta-
nyaan yang mungkin timbul dari diri pembaca setelah menik-
mati suatu karya sastra. Bagi kalangan pembaca yang masih
kurang baik daya apresiasinya, kritik dapat berfungsi sebagai
pembimbing, pengarah, sekaligus pemandu. Dalam fungsinya
yang ideal kritik sastra haruslah inspiratif.
Sehubungan dengan itu Damono berpendapat bahwa kri-
tik yang baik adalah semacam kesan-kesan pribadi (kritikus)
yang memberi isyarat kepada pembaca lain untuk bangkit ke
rak buku yang sedang dibicarakan itu, untuk kemudian mem-
bacanya, mengulang bacanya. Kritik yang baik tidak berpura-
pura mencampuri percakapan yang mungkin terjadi di antara

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
15
sebuah karya sastra dengan pembacanya. Ia tidak menghiasi
sebuah karya agar lebih menyenangkan. Juga tidak mengotori-
nya. Semacam pembangkit rasa ingin tahu. Kritik yang baik
mampu menggoda pembaca untuk kembali pada karya yang
hilang karena tersapu debu waktu (periksa Damono, 1975:
299).
Berikut ini, digambarkan proses hubungan antar-kom-
ponen variabel kritik sastra.

Teori Sastra

Kritikus Karya Sastra Penikmat, pembaca

Sejarah Sastra Sastra Bandingan

Bagan 1: Proses Hubungan Antarkomponen Variabel Kritik


Sastra
Keterangan:
: hubungan langsung
: hubungan tidak langsung

JAWABLAH PETANYAAN BERIKUT INI!


1. Apakah yang dimaksud dengan kritik sastra dengan bahasa
Anda sendiri!
2. Jelaskan peranan atau fungsi masing-masing komponen
dalam variabel kritik sastra!
3. Jelaskan interrelasi antarkomponen variabel kritik sastra
dengan memberikan skema atau bagan!

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


16 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAHAN DISKUSI
1. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa, “Seorang
sejarawan sastra harus menjadi kritikus sebelum menjadi
sejarawan”, atau the literary historian must be critic even
in order to be an historian. Bagaimanakah pendapat Anda
terhadap pendapat ini, tunjukkan dengan bukti (kalau ada)
hal ini dalam kritik sastra Indonesia!
2. Di antara komponen-komponen variabel kritik sastra ma-
nakah menurut Anda yang paling penting, mengapa, beri-
kan alasan dan bukti!
3. Dalam teori sastra dikenal istilah sastra picisan dan sastra
besar atau mahakarya. Setujukah Anda dengan istilah-isti-
lah tersebut, mengapa, jelaskan! Jika ada karya sastra besar
atau masterpiece, adakah kriterianya?

1.3 POSISI KRITIK SASTRA


Karya sastra ada karena manusia adalah homo ludens,
yakni makhluk yang suka bermain, suka bercerita (homo fabu-
lans), suka berimajinasi dan berkreasi. Ketika kebudayaan baca
tulis muncul, permainan kelompok ini mendapat wadah lain
yang dikelola oleh sekelompok pecinta sastra (literati) dalam
kebudayaan Yunani-Romawi dan kebudayaan besar lainnya
(Parera, 1988:40). Karena perkembangan teknologi percetakan
dan penyebarluasan sistem pendidikan sekolah, maka permain-
an ini tersebar ke seluruh dunia. Permainan litere ini juga masuk
dan berkembang di Indonesia. (Bandingkan dengan pernyataan
bahwa tradisi sastra kita baru muncul sekitar tahun 1920-an,
juga konvensi di bidang teknik penulisan dan genre yang meng-
ambil bahan baku dari sastra Barat).
Di sisi lain, hakikat manusia sebagai homo sapiens
(makhluk yang berpikir), makhluk yang suka mempertimbang-
kan, membandingkan dan menilai melahirkan kritik sastra,
sebab kritik adalah dunia pemikiran. Manusia mempunyai

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
17
naluri untuk tidak membiarkan segala sesuatu berjalan dengan
sendirinya tanpa evaluasi. Termasuk pemikiran dan evaluasi
terhadap fenomena sastra.
Peta dunia sastra secara garis besar dapat dipilah menjadi
dua, yakni dunia kreasi (dunia penciptaan) dan dunia pemikiran
(studi, penelitian, dsb.). Kritik termasuk dalam dunia pemi-
kiran. Jauh sebelum orang memikirkan hakikat, nilai-nilai, dan
fungsi karya sastra, karya sastra telah diciptakan. Kritik sastra
baru ada setelah orang mempertanyakan apa dan di mana nilai
hakiki suatu karya sastra (periksa, Semi, 1995:16).
Hukum sastra menunjukkan bahwa pertama, kritik sastra
memang berjalan di belakang karya sastra. Kritik sastra Yunani
Purba, misalnya baru bangkit setelah para pengarang karya
sastra runtuh. Sementara itu, diketahui bahwa ada kalanya keja-
yaan karya sastra sejajar dengan kejayaan kritik sastra, seperti
yang terjadi di Eropa pada abad XVIII. Dalam tahap perkem-
bangannya kritik sastra memang mula-mula sangat bergantung
pada karya sastra. Kritik sastra adalah reaksi terhadap karya
sastra (seperti sinyalemen terhadap eksistensi kritik sastra Indo-
nesia Modern dewasa ini).
Kedua, kemandirian atau keotonaman kritik sastra. Sebe-
narnya kritik sastra akan lebih bermartabat apabila sudah dapat
melepaskan diri dari kehadiran karya sastra. Kritik sastra yang
mandiri/otomom akan menjadikan kegiatan kritik sebagai
kegiatan intelektual. Dalam tahap kedua ini, tumpuan kritik
sastra sudah tidak lagi pada keberadaan karya sastra konkret.
Kehadiran kritik sastra ditentukan oleh kritik sastra itu sendiri
dan pemikiran sastra lainnya. Tahap ini telah dicapai kesusas-
traan Inggris. Dalam tradisi kritik sastra Inggris telah terbiasa
ditemukan kritik sastra yang berlapis-lapis. Kritik atas karya
sastra tertentu dikritik lagi dan seterusnya sehingga akan dite-
mukan fenomena kritik atas kritik, atas kritik atas kritik. Ban-
dingkan dengan tradisi kritik sastra kita, bila H.B. Jassin mem-
buat kritik atas buku Atheis tidak ditemukan lagi kritik atas

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


18 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
kritik itu. (Bandingkan dengan pernyataan Goenawan Moe-
hamad tentang counter elitism dalam kritik sastra kita, bahwa
H.B. Jassin bukan satu-satunya acuan untuk menentukan siapa
yang akan dijadikan elit sastra (Moehamad, 1988:57).
Ketiga, berkaitan dengan dua posisi kritik sastra tersebut,
maka sebenarnya antara kritik sastra dengan karya sastra dan
komponen sastra yang lain dapat bersinergi atau bekerja sama
saling menguntungkan atau sinergi simbiosis mutualistis. Da-
lam sinergi itu tidak hanya kritik sastra bergantung saja pada
karya sastra, tetapi karya sastra juga memerlukan inspirasi dari
kritik sastra. Kritik sastra yang baik akan mampu bertindak
sebagai rambu-rambu mengenai bagaimana sebenarnya karya
sastra yang baik itu atau sebaliknya karya sastra yang buruk.
Kritik sastra yang inspiratif akan mempunyai pengaruh signi-
fikan terhadap perkembangan karya sastra dan tidak menger-
dilkan atau bahkan membunuh kehidupan karya sastra.

1.4 FUNGSI KRITIK SASTRA


Posisi atau kedudukan kritik sastra bersifat statis. Dina-
mika kritik sastra dapat ditelusuri pada bagaimana kritik sastra
difungsikan untuk mendukung kepentingan-kepentingan ter-
tentu baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Berdasarkan
tiga posisi kritik sastra tersebut, kehadiran kritik sastra wajib
ada atau eksis untuk kehidupan sastra yang sehat. Semi (1985:
24-25) menunjukkan 3 peranan atau fungsi kritik sastra sebagai-
mana diuraikan berikut ini.

1) Untuk pembinaan dan pengembangan sastra


Fungsi utama kritik sastra adalah memelihara dan menye-
lamatkan, serta mengembangkan pengalaman manusiawi yang
termanifestasikan dalam seni sastra. Kritikus mendudukkan
seni sastra sebagai struktur dunia imajinatif yang bermakna.
Melalui kritiknya, kritikus memberikan penilaian, menunjuk-

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
19
kan segi-segi kekuatan dan kelemahan nilai-nilai tertentu yang
terdapat dalam suatu karya sastra. Juga kritikus dapat menun-
jukkan dimensi lain yang membangun suatu karya sastra agar
lebih berkualitas.

2) Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni


Dari sisi ini, kritik sastra berfungsi membina tradisi kebu-
dayaan, memberikan tempat berpijak, memberikan cita rasa
yang benar, melatih kesadaran, dan secara sadar pula mengarah-
kan pembaca kepada pembinaan pengertian dan apresiasi makna
dan nilai-nilai kehidupan dalam karya sastra. Melalui kritiknya
kritikus menunjukkan daerah-daerah gelap yang terdapat da-
lam suatu karya sastra sehingga pembaca dapat menikmati sas-
tra secara lebih intensif dan lebih mendalam. Sasaran akhirnya
adalah agar pembaca meningkat daya apresiasinya. Hal ini di-
mungkinkan karena kritikus menganalisis struktur karya sastra,
memberikan komentar dan interpretasi, menerangkan unsur-
unsurnya, serta menunjukkan makna yang tersirat dari semua
yang tersurat.

3) Untuk menunjang ilmu sastra


Kritik sastra berguna untuk pembinaan dan teori sastra.
Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisis
struktur cerita, gaya bahasa, teknik penceritaan, dsb. Dengan
demikian kritik sastra memberikan sumbangan besar terhadap
para ahli sastra dalam mengembangkan teori sastra. Tentu tidak
dapat dimungkiri pula bahwa para ahli teori sastra memberikan
sumbangan pula kepada kritikus sastra. Melalui kritik sastra
kritikus juga membuka daerah baru yang belum dijelajahi oleh
posisi pengarang. Dengan demikian, secara nyata kritik sastra
memberikan sumbangan pula dalam meningkatkan mutu karya
sastrawan. Mereka (para sastrawan) dapat belajar melalui kritik
sastra untuk meningkatkan kecakapannya, memperluas hori-
zon pandangan dan daerah garapan. Dengan begitu karya cipta

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


20 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
pengarang dapat lebih berkembang, baik corak, gaya, maupun
mutunya. Hal tersebut pada gilirannya akan mengembangkan
mutu kritik sastra.
Sementara itu sumbangan kritik sastra terhadap sejarah
sastra tidak dapat dikesampingkan. Dalam menyusun sejarah
sastra tentu tidak dapat diabaikan usaha untuk memberikan
ciri sastra dan penilaian karya sastra. Tidak semua karya sastra
dapat dimasukkan ke dalam rangkaian perkembangan sastra
bila tidak menunjukkan nilai sastra, sedangkan aktivitas peni-
laian merupakan aktivitas kritik sastra. Oleh sebab itu, sejarah
sastra memerlukan bantuan kritik sastra (periksa Semi, 1985:
25—26).
Berbeda dengan cara pandang Semi, Yudiono (1986:27)
menyatakan fungsi kritik sastra dalam versi yang lain sebagai
berikut.
(1) Memberikan penilaian atas karya sastra tertentu berdasar-
kan teori dan sejarah sastra.
(2) Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi
penyusunan atau pengembangan teori sastra.
(3) Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi
penyusun sejarah sastra.
(4) Memberikan petunjuk kepada kebanyakan pembaca ten-
tang karya sastra yang baik dan yang tidak baik, yang asli
dan yang tidak asli.
(5) Memberikan sumbangan pendapat atau pertimbangan ke-
pada pengarang tentang karyanya sehingga pengarang yang
memanfaatkan kritik sastra akan dapat mengembangkan
atau meningkatkan mutu hasil karyanya.

JAWABLAH PERTANYAAN BERIKUT INI!


1. Rumuskanlah dengan kalimat Anda sendiri posisi kritik
sastra dalam dunia sastra!
2. Jelaskanlah peranan atau fungsi kritik sastra secara substan-
sial (sesuai dengan hakikat kritik sastra)!

BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
21
3. Jelaskanlah peranan atau fungsi instrumental (dimanfaat-
kan sebagai alat) kritik sastra!

BAHAN DISKUSI
1. Pembicaraan tentang posisi dan peranan kritik sastra sebe-
narnya identik dengan permasalahan kedudukan dan fungsi
kritik sastra. Kembangkanlah soal kedudukan dan fungsi
sastra dikaitkan dengan variabel kritik sastra!
2. Jika dalam sastra dikenal adanya sastra yang berkualitas
dan yang tidak berkualitas, dalam kritik sastra dikenal juga
kritik sastra yang berkualitas/bermutu dan kritik sastra
yang tidak berkualitas/tidak bermutu. Menurut pendapat
Anda syarat-syarat apa sajakah yang harus dipenuhi untuk
memperoleh predikat kritik sastra yang berkualitas/ber-
mutu itu? Sebutkan, jelaskan, dan berikan contoh!
3. Susunlah peta konsep hakikat kritik sastra secara lengkap
dan utuh yang mencakup konsep dasar, variabel, posisi,
dan fungsinya!

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


22 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 2

Paradigma Kritik Sastra

2.1 BENTUK KRITIK SASTRA


Paradigma kritik sastra mencakup bentuk, jenis, dan
koordinat kritik dalam empat sumbu pemikiran terhadap karya
sastra konkret. Ulasan tentang bentuk kritik sastra beragam.
Keberagaman bentuk kritik sastra dapat ditelusuri dari sudut
pandang yang digunakan.
Pertama, bentuk kritik sastra dianalogikan dengan bentuk
karya sastra, yakni karya sastra lisan dan tulis. Dengan analog
tersebut, bentuk kritik sastra juga dapat berbentuk lisan dan
tulis. Wujudnya adalah pembicaraan atau tulisan yang mem-
banding-bandingkan, menganalisis, menafsirkan, dan menilai
karya sastra (Sudjiman, 1986:44). Kritik sastra memang dapat
dilakukan secara lisan dan tulis, tetapi yang dituntut adalah
adanya artikulasi, formulasi, argumentasi, dan intuisi (Darma,
1990:8). Pada kenyataannya, perkembangan masyarakat mo-
dern banyak menuntut bentuk kritik sastra secara tertulis, yang
tentu saja memiliki waktu serta pengaruh yang lebih besar.
Kondisi semacam ini tidak berarti mengharamkan kehidupan
kritik sastra secara lisan, misalnya kebiasaan berdiskusi, meng-
ulas, memperbincangkan cipta sastra tertentu seperti pernah
dilakukan oleh para seniman Malioboro sekitar tahun ‘70-an.
Sayang, tradisi mengulas dan membincangkan karya sastra sam-
bil minum teh, minum kopi jarang dilakukan.
Bentuk kritik sastra yang paling sederhana ialah seperti
yang dialami oleh seorang pembaca (penikmat) sastra. Kritikus
membaca beberapa halaman dari sebuah karya sastra, kemudian
meletakkannya kembali di atas rak atau di atas meja untuk

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
23
kemudian tidak disentuhnya lagi. Atau membacanya langsung
sampai tamat tanpa memedulikan waktu makannya. Sebuah
karya sastra bisa membosankan atau sebaliknya menyenangkan
bagi seorang kritikus. Kalau menarik akan dibacanya sampai
tamat tanpa melepaskan barang sekejap, sebaliknya jika tidak
menarik tidak akan dibacanya lagi.
Pada tahap selanjutnya biasanya dilanjutkan dengan pem-
bicaraan, pembahasan, tentang yang dibenci atau disukai. Belum
jelas kriteria yang digunakan, kecuali rasa senang. Akan tetapi,
kegiatan seperti ini bisa mendorong untuk terjadinya pema-
haman yang lebih mendalam dan bisa pula mendorong orang
lain untuk membaca sebuah karya sastra. Meskipun motivasi
untuk membaca hanyalah sekadar mencari hiburan, namun
kegiatan tersebut dapat dikembangkan ke arah pengomunika-
sian karya-karya sastra secara lebih memasyarakat.
Berkaitan dengan bentuk kritik lisan atau tertulis, perta-
nyaan yang relevan diajukan ialah, “Apakah bentuk kritik lisan
dan tulis tersebut telah menyodorkan pemikiran, membuka
kesadaran, menambah wawasan, serta memberikan alternatif
dan kemungkinan-kemungkinan lain?.” Segala pembicaraan
mengenai sastra baik lisan maupun tertulis harus terdiri dari 4
komponen, yakni (i) data atau fakta, (ii) analisis, (iii) inference
atau kesimpulan, dan (iv) judgment atau penilaian. Makin
banyak pembicaraan tersebut memberikan data mentah semata,
makin kecil kemungkinannya untuk memberikan wawasan.
Makin mantap judgment atau penilaian suatu pembicaraan
sastra, makin besar kemungkinannya untuk menambah wa-
wasan.
Karya sastra yang tidak berkualitas hanya sanggup me-
nyajikan cerita. Demikian pula kritik sastra yang tidak ber-
kualitas hanya sebatas meringkas kembali cerita karya sastra,
meringkas kembali teori dengan judgment yang sangat lemah.
Judgment dapat menjadi lemah karena wawasan kritikusnya
sendiri tidak kuat. Sebab itu kualitas kritik sastra apa pun ben-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


24 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
tuknya sangat ditentukan oleh kualitas kritikus (lihat variabel
kritik sastra di bab I).
Kedua, bentuk kritik sastra berdasarkan aliran sastra yang
berkembang. Luxemburg (l984) mengemukakan empat bentuk
kritik sastra dengan didasarkan atas aliran-aliran sastra yang
berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Empat bentuk kritik
yang dimaksud ialah (1) new criticism, (2) merlyn, (3) nouvelle
critique, dan (4) poststructuralism atau dekonstruksi (van Lux-
emburg, dkk.1984:52—59).
Ketiga, bentuk kritik sastra berdasarkan tingkatan atau
gradasinya, yakni proses komunikasi antara karya sastra dengan
masyarakat atau publiknya. Tingkatan/gradasi pertama, berlang-
sung secara diam-diam (dengan reaksi menolak atau menye-
nangi), atau membicarakannya secara lisan, melarang atau me-
nyensor, sampai kepada menjadikan karya sastra tertentu seba-
gai referensi nilai-nilai moral untuk kepentingan pendidikan.
Tingkatan/gradasi kedua, kritik sastra dipandang sebagai suatu
kajian tersendiri yang tidak terbatas hanya kepada penghakim-
an, penilaian baik dan buruk, tetapi juga memberikan interpre-
tasi dan menjelaskannya di dalam alternatif-alternatif pemikiran
berdasarkan suatu sistem dan teori tertentu (periksa Esten,
1987:13).
Keempat, bentuk kritik sastra yang bersifat like and dis-
like. Bentuk kritik ini biasa diintervensi atau ada ‘campur ta-
ngan’ kekuasaan dalam bentuk sensor atau larangan. Dalam
Sastra Melayu Klasik pelarangan dan pembakaran syair-syair
Nuruddin ar Raniri tidak semata-mata karena kandungan seja-
rah mistik literernya, melainkan berkaitan dengan ajaran dan
perebutan pengaruh dengan Hamzah Fansuri. Begitu juga ben-
tuk kebijakan sastra pasca Manikebu (era Sastra Orde Baru),
karya-karya sastra produk Lekra, dilarang, misalnya larangan
keras terhadap karangan-karangan Pramudya Ananta Toer (tan-
pa memilih karyanya yang mana, dengan kriteria-kriteria yang
bersifat nonliterer).

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
25
Kelima, bentuk kritik sastra di lingkungan pendidikan.
Biasanya dilakukan oleh para guru bahasa dan sastra di sekolah
untuk mengulas sebuah cipta sastra tertentu di depan murid-
muridnya. Para pendidik itu biasanya menerapkan dua pende-
katan untuk mengulas sastra, yaitu pendekatan normatif dan
paedagogis. Karya-karya sastra yang dibicarakan berdasarkan
norma-norma yang sudah ada dan pada saat mengulas soal isi
lebih banyak dibicarakan atau ditekankan pada masalah nilai-
nilai susila, moral, serta nilai-nilai pendidikan yang terkandung
di dalam karya sastra tertentu. Bentuk kritik semacam ini me-
mang lebih bersifat instrumental sehingga suatu tinjauan yang
bertolak dari hakikat karya sastra jarang dilakukan (banding-
kan, jika ada tata bahasa pendidikan, kenapa tidak ada kritik
sastra pendidikan?)
Keenam, bentuk kritik sastra yang ditulis oleh sastrawan
yang disebut kritik sastra kreatif. Kritik sastra kreatif dilakukan
oleh sastrawan sendiri, misalnya Y.B. Mangunwijaya menulis
kritik Sastra dan Religiusitas, Subagio Sastrawardoyo menulis
kritik Sosok Pribadi dalam Sajak, Sapardi Djoko Damono
menulis kritik Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang. Ciri
kritik sastra kreatif adalah sistematika penyajiannya yang bera-
gam serta penerapan teori sastra serta wawasan ilmu sastranya
secara implisit (lihat bab I).
Ketujuh, bentuk kritik sastra yang ditulis pakar atau aka-
demisi yang disebut kritik sastra akademik. Kritik sastra aka-
demik biasanya dilakukan oleh kalangan akademisi: para sarjana
sastra, ahli sastra atau para calon sarjana sastra. Hasil kritik
akademik ini biasanya berbentuk skripsi, tesis, disertasi, atau
buku kritik serta laporan hasil penelitian. Sejarah kritik sastra
Indonesia pernah marak dengan bentuk-bentuk kritik yang di-
buat oleh para calon sarjana sastra Universitas Indonesia, yang
dikenal kritik sastra aliran Rawamangun.
Dalam sejarah kritik sastra Indonesia tercatat banyak kar-
ya kritik yang ditulis oleh para pakar sastra. Misalnya, Bentuk
lakon dalam Sastra Indonesia (Boen S. Oemarjati), Novel Baru

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


26 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Iwan Simatupang (Dami N, Toda), Fiksi Indonesia Dewasa
Ini (Jakob Sumardjo), W.S. Rendra Penyair dan Imajinasinya
(Anton Y. Lake), Tergantung Pada Kata (A. Teeuw), Chairil
Anwar Sebuah Pertemuan (Asrief Budiman), dan Sastra Indo-
nesia dalam Enam Pertanyaan (Ignas Kleden).
Kedelapan, bentuk kritik yang dimuat di media massa
yang disebut kritik sastra jurnalistik. Kritik sastra jurnalistik
karena ulasan, pengkajian suatu cipta sastra dimuat dalam
media massa serta majalah sastra. Sesuai dengan konteksnya,
bentuk kritik ini biasanya tidak mendalam, umum, serta pen-
dek-pendek. Misalnya, kritik-kritik H.B. Jassin terhadap karya-
karya Nugroho Noto Susanto yang dimuat di harian Suara
Karya, Pembicaraan atas sajak-sajak Toety Heraty Noerhadi,
Ulasan Linus Suryadi A.G. tentang penyair Kirdjo Mulyo di
majalah Basis, Tanggapan F. Rahardi tentang “Cacat Latar yang
Fatal dari Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari” yang dimuat
Horison dsb.
Bahwa bentuk kritik sastra lahir akibat reaksi atau adanya
tanggapan dari pembaca atau penikmat terhadap karya sastra
konkret. Apapun bentuknya, kritik sastra yang baik memfokus-
kan ulasannya pada apa dan bagaimana sebuah karya sastra
memiliki kelebihan/kelemahan, mengapa sebuah karya sastra
memiliki kelebihan/kelemahan seperti itu. Kritik sastra tersebut
secara teoretis haruslah terfokus pada: (1) concerning the true
correction and edition, (2) concerning the exposition and ex-
plication, (3) concerning the time, which and many cases give
great light to true interpretation, (4) concerning the syntax
and disposition for studies (Bradbury dalam Esten, 1987:13).

JAWABLAH PERTANYAAN BERIKUT INI!


1. Jelaskan pengertian bentuk kritik sastra menurut rumusan
kalimat Anda sendiri!
2. Sebutkan landasan atau dasar yang dipakai untuk menentu-
kan bentuk kritik sastra!
3. Jelaskan bentuk-bentuk kritik sastra!

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
27
BAHAN DISKUSI
1. Identifikasilah rubrik-rubrik di majalah sastra, misalnya
Basis dan Horison atau di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo
dsb yang mengandung unsur-unsur kritik sastra. Berikan
penjelasan mengapa Anda memasukkan rubrik-rubrik ter-
sebut ke dalam kritik sastra!
2. Carilah contoh konkret bentuk kritik sastra akademik,
dan bentuk kritik sastra kreatif, bandingkanlah:
a) sistematika penyajiannya (dilihat dari data, analisis,
inference, dan judgment),
b) proporsi antara data, analisis, inference, dan judg-
ment.
3. Bagaimanakah pendapat Anda tentang bentuk kritik sastra
pendidikan?
a) Apakah perlu dikembangkan menjadi sebuah disiplin
ilmu?
b) Apakah kira-kira kelebihannya dan kekurangannya?
4. Diskusikan dasar penentuan bentuk kritik sastra ditinjau
dari
a) medium pemaparan,
b) tingkatan tanggapan,
c) formulasi hasil, dan
d) aliran/paham yang melandasinya.

2.2 JENIS KRITIK SASTRA


Jenis kritik sastra memiliki cakupan arti yang lebih luas
daripada bentuk kritik sastra. Penjenisan kritik sastra didasarkan
pada (1) bentuk penilaian, (2) tujuan penilaian, dan (3) pende-
katan terhadap aspek tertentu yang dinilai dari karya sastra.
Dasar penjenisan seperti itulah yang mengakibatkan jenis-jenis
kritik sastra semakin rumit. Guntur Tarigan mengidentifikasi
adanya 25 jenis kritik sastra yang dirangkum dari 5 sumber,
yakni: (1) kritik induktif, (2) kritik yudisial, (3) impresionistik,

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


28 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
(4) kritik historis, (5) kritik filosofis, (6) kritik formalis, (7)
kritik sosiokultural, (8) kritik psikologis, (9) kritik mitopoeik,
(10) kritik relativistik, (11) kritik absolutistik, (12) kritik inter-
pretatif, (13) kritik tekstual, (14) kritik linguistik, (15) kritik
biografis, (16) kritik komparatif, (17) kritik etis, (18) kritik
perspektif, (19), kritik pragmatik, (20) kritik elusidatori, (21)
kritik praktis, (22) kritik baru, (23) kritik teoretis, (24) kritik
internal, (25) kritik eksternal (Tarigan, 1986:204). Dua puluh
lima jenis kritik tersebut diharapkan dapat dijadikan wawasan
umum tentang terminologi jenis kritik sastra.
Pertama, jenis kritik sastra berdasarkan bentuk penilaian.
Berdasarkan bentuk penilaiannya, kritik sastra dipisahkan atas
kritik relatif dan kritik absolut. Kritik relatif diartikan sebagai
bentuk kritik yang mempunyai aturan-aturan yang dapat dija-
dikan sebagai pegangan dalam upaya menguraikan ‘nilai’ atau
menjelaskan hakikat nilai karya sastra. Kritik absolut adalah
kritik sastra yang tidak percaya akan adanya suatu prosedur
dan perangkat aturan yang dapat diandalkan untuk dijadikan
patokan dalam melakukan kritik atau memberikan penilaian
karya sastra (periksa Semi, 1985:13).
Kedua, jenis kritik sastra berdasarkan tujuan kritik, dibe-
dakan menjadi 3 jenis, yaitu: (1) kritik judisial (judicial cri-
ticsm), (2) kritik induktif (inductive criticsm), dan (3) kritik
impresionistik (impresionistic criticsm). Kritik judisial adalah
jenis kritik sastra yang bertujuan memberikan penilaian atau
penghakiman terhadap karya sastra dengan mendasarkan diri
pada standar, norma atau ukuran teknik penulisan atau tujuan
penulisan tertentu yang ditetapkan lebih dahulu. Ukuran peni-
laian itu, misalnya karya sastra yang baik harus menunjukkan
kerumitan, ketegangan, dan keluasan (intricacy, tension,
widht); karya sastra yang baik harus menunjukkan sesuatu yang
baru, sesuatu yang aneh (making it new, making it strange);
sastra yang baik harus memiliki kesatuan dan kerumitan (unity
and complexity). Kritik judisial ini menggunakan ukuran-ukur-

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
29
an atau prinsip-prinsip yang dianggap objektif sehingga sering
disebut kritik objektif.
Kritik induktif adalah kritik sastra yang bertujuan meng-
kaji nilai karya sastra semata, misalnya tentang bagaimana karya
itu disusun kemudian menyusun patokan atau pola bahwa kar-
ya sastra yang dikaji itu telah disusun dengan menggunakan
metode atau teknik tertentu atau telah disusun menurut meka-
nisme tertentu. Demikianlah kritik sastra induktif tidak meng-
gunakan ukuran atau standar penilaian tertentu karena kritik
jenis ini memang tidak bermaksud memberikan penghakiman
atau penilaian terhadap karya sastra yang dikaji. Kritik induktif
dalam cara kerjanya mencontoh metode induksi dalam ilmu
pengetahuan, yakni dengan mengambil kesimpulan dari bukti
atau fakta-fakta khusus. Kritik induktif disebut juga kritik
subjektif.
Kritik impresionistik adalah kritik sastra yang bertujuan
menunjukkan kualitas suatu karya dan mengungkapkan respons
atau impresi/kesan kritikus yang muncul secara langsung. Kritik
impresionistik juga menghubungkan pengalaman sastrawan de-
ngan hasil karyanya. Tarigan (l986) menyatakan bahwa hasil
kritik impresionistik dapat menjadi penghubung antara para
pembaca yang belum/kurang berpengalaman dengan sejumlah
karya sastra. Kritikus dalam hal ini dapat bertindak sebagai
pembimbing dan penghubung, lebih-lebih lagi kalau kritikus
impresionistik ini sangat sensitif (peka) terhadap efek-efek sas-
tra. Dengan demikian ia dapat memperkaya pengalaman pem-
baca, terutama pengalaman imajinatif.
Ketiga, jenis kritik sastra berdasarkan pendekatan. Dalam
buku A Handbook of Critical Approaches to Literature dibe-
dakan 4 pendekatan terhadap aspek tertentu yang dinilai ter-
hadap karya sastra sehingga menghasilkan 4 jenis kritik sastra,
yakni, (1) pendekatan tradisional, yang ditandai dengan kritik
yang mengutamakan pengkajian pada aspek-aspek historis-
biografis (kesejarahan-riwayat hidup) serta moral filosofis, (2)
pendekatan formalistik ditandai dengan praktik kritik sastra

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


30 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
yang mengutamakan analisisnya pada bentuk dan struktur
karya sastra, (3) pendekatan psikologis merupakan usaha meng-
aplikasikan teori-teori kejiwaan dalam pembicaraan karya sas-
tra, dan (4) pendekatan sosiologis dalam kritik karya sastra
memusatkan perhatian pada aspek-aspek sosiologis sastra, atau
mengkaji “hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat.”
Pendekatan tradisional untuk jenis kritik historis-biogra-
fis. Kritik historis-biografis berpangkal pada anggapan bahwa
sastra merupakan refleksi dari kehidupan dan zaman yang di-
alami pengarang atau tokoh-tokoh yang dikisahkan dalam kar-
ya sastra. Oleh karena itu, kritik jenis ini dapat diaplikasikan
pada sastra yang memiliki implikasi historis atau sastra yang
mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehi-
dupan dan zaman pengarangnya. Di samping itu juga dapat
dikenakan pada sastra yang memiliki latar belakang peristiwa
sejarah yang hebat, misalnya peristiwa perang kemerdekaan,
kudeta dsb. Dalam hal ini penampilan karakter tokoh dalam
karya sastra dipengaruhi bahkan dibentuk oleh peristiwa-
peristiwa sejarah tersebut. Sebagai contoh, novel Surabaya, kar-
ya Idrus, Senja di Jakarta karangan Mochtar Lubis atau Pada
Titik Kulminasi karangan Satyagraha Hoerip Supraba. Memang
kita setuju bahwa sastra sebagaimana telah disebutkan di atas
dapat dipahami dan diapresiasi tanpa melibatkan latar belakang
historis dan biografisnya. Akan tetapi kita juga mengakui bahwa
hampir setiap karya sastra hadir bersama sejumlah fakta atau
peristiwa luar yang dapat disingkapkan sehingga memberikan
makna tambah (Soedjijono, 1988:4).
Pendekatan tradisional untuk jenis kritik moral-filosofis.
Kritik jenis ini didasari oleh anggapan bahwa sastra berfungsi
mengajar moralitas, maupun yang diorientasikan pada ajaran-
ajaran religi maupun falsafah. Dalam bukunya Republik teruta-
ma bab 3, Plato menekankan digunakannya pertimbangan moral
dalam menilai tema-tema yang digarap penyair. Adalah tidak
bermoral jika dewa-dewa digambarkan sebagai makhluk-makh-

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
31
luk yang suka berkelahi atau suka berbuat dosa, pahlawan-
pahlawan yang gagah berani dilukiskan sebagai manusia yang
rakus dan penuh pamrih. Karya-karya sastra yang demikian
tentu akan meracuni jiwa para warga negara yang baik yang
bakal menempati sebuah republik utopia di bawah pimpinan
para filosof (cf. Hall, 1963:1-5 dalam Soedjijono, 1988:4).
Selanjutnya, dalam kritik jenis ini kritikus harus berupaya
untuk menegaskan atau menerangkan apakah yang diajarkan
merupakan sesuatu yang primer, sementara itu pertimbangan-
pertimbangan estetik murni atau bentuk sebagai sesuatu yang
sekunder. Misalnya, roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya
Buya Hamka, atau Harimau-Harimau karya Mochtar Lubis.
Kelemahan kritik jenis di atas ialah apabila kritikus mem-
berikan suatu interpretasi yang berlebihan (overinterpretation).
Artinya kritikus telah menafsirkan suatu karya sastra tertentu
memiliki kadar filosofis tertentu, padahal sebenarnya tidak (ban-
dingkan sinyalemen A. Teeuw dalam bukunya Membaca dan
Menilai Sastra). Itulah sebabnya kritik jenis ini tidak diterapkan
secara isolatif, melainkan akan menjadi lebih baik jika digabung-
kan dengan kritik historis-biografis.
Pendekatan formalisitik untuk jenis kritik formalistik.
Kritik ini didasarkan kepada gagasan bahwa bentuk (form) me-
rupakan sesuatu yang penting bagi pemahaman yang sebenar-
nya dari karya sastra. Jadi permasalahan yang utama bukanlah
pertimbangan-pertimbangan yang ekstraliterer seperti kehidup-
an dan zaman pengarang atau fenomena sosiologis, melainkan
sebagai bentuk, efek, serta terjadinya karya sastra (Guerin et.al.
966:45 dalam Soedjijono hal. 5). Tujuan dari kritik formalistik
adalah kajian terhadap sastra agar mencapai taraf ilmiah (scien-
tific). Untuk mencapai taraf itulah maka diperlukan sifat-sifat
yang universal atau sesuatu yang general dari karya sastra.
Bagi Jacobson prinsip-prinsip konstruktif (yang bersifat
membangun) atau alat-alat sastra yang membuat sebuah teks
menjadi karya seni, merupakan objek yang tepat untuk dikaji
oleh kritikus sastra formalis. Elemen-elemen atau faktor-faktor

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


32 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
dari alat sastra ini dapat diabstraksikan dari teks sastra dan
kemudian dapat ditelaah secara terpisah dari teks dan konteks-
nya.
Demikianlah, sebuah bentuk (form) baru akan menghasil-
kan isi baru, dan bahwa isi dikondisi oleh bentuk, dengan kata
lain ada kaidah bahwa bentuk yang berbeda harus memiliki
arti yang berbeda. Pada sinonim arti yang sama didistribusikan
pada dua kata/lebih, sedangkan pada homonim 2 arti dikombi-
nasikan dalam 1 kata. Demikian pula isi tidak mungkin dibica-
rakan tanpa bentuk sehingga seseorang tidak mungkin melaku-
kan parafrase terhadap karya sastra, misalnya puisi yang dikaji
(Fokkema, 1977:11—13).
Tampaknya antara pandangan bahwa alat sastra dapat
diabstraksi dan larangan untuk melakukan parafrase terjadi
kontradiksi. Untuk menjembatani perbedaan tersebut perlu
dipahami konsep fungsi, bagaimana alat-alat atau prinsip-prin-
sip konstruktif tertentu membuat teks menjadi sebuah keselu-
ruhan yang organis. Hal tersebut akan mengarah pada konsep
tentang sistem sastra, dan akhirnya mengarah pada konsep
tentang struktur. Selain itu, juga dikembangkan “konsep domi-
nan, ciri menonjol atau utama, … aspek bahasa tertentu secara
dominan menentukan ciri-ciri khas hasil sastra yang bersang-
kutan, misalnya rima, matra, atau aspek apa pun sehingga da-
lam analisis dan interpretasi karya sastra aspek dominan itulah
yang harus ditekankan, sedangkan aspek-aspek lain sering
menyangga hal yang dominan itu.” (Teeuw, 1984:130—131).
Memperbandingkan unsur-unsur dominan dari puisi-puisi
Sutadji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, dan Amir Hamzah
yang dilakukan oleh kritikus formalis tidak berarti lalu menia-
dakan unsur-unsur lainnya. Persoalannya hanya terletak pada
aksentuasi kajiannya.
Dalam fiksi, plot merupakan faktor konstruktif sentral.
Plot tidak semata-mata struktur penceritaan (Wellek, 1956:
216—2170; Shipley, 1960:310; Montague & Henshaw, 1966:
11). Kemudian plot dipandang sebagai sebab akibat logis dari

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
33
beberapa unsur secara kompleks, yaitu sebab akibat yang logis
dari insiden (Worsfold, 1951:26; Oemarjati, 1962:94; Daiches,
1964:75), sebab akibat yang logis dari konflik (batin) para
pelakunya (Summers & Whan, 1960:13; Thrall & Hibbard,
356-357), struktur gerak para pelakunya (Brook & Warren,
1959:77; Knicker-bocker & Reninger, 1963:90), dipandang
sebagai sebab akibat logis dari pikiran-pikiran (thoughts). Yang
terang bahwa unsur-unsur tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri
melainkan tumbuh jalin-menjalin membentuk plot fiksi. Dengan
kata lain plot sebagai faktor konstruktif sentral fiksi, tidak
hanya tumbuh dari sebab akibat yang logis dari insiden dan
atau perwatakan, tetapi juga sebagai sebab akibat lebih lanjut
dari salah satu atau kedua unsur itu bersama-sama sehingga
menumbuhkan sebab akibat gerak pelaku, konflik batin para
pelaku, atau kombinasi dari sebab akibat itu lebih lanjut
(Sukada, 1987:93). Sementara itu, faktor konstruktif puisi
terletak pada ritme (rhythm). Sebab itu, kata-kata dalam puisi
menampakkan 2 rangkaian, yaitu ritme dan arti. Itulah sebabnya
kata-kata dalam puisi mempunyai peranan yang dinamis dalam
keberlangsungan ujaran puitis, dan letaknya dalam baris-baris
puisi juga memiliki efek semantis. (Bandingkan pernyataan
Moehamad tentang kecemasannya apabila puisi-puisinya salah
cetak).
Pada umumnya kebanyakan orang sepakat bahwa kritik
formalis telah memberikan dasar bagi perkembangan ilmu sastra
modern. Namun demikian, keberatan umum yang biasa dike-
luhkan ialah bahwa kritik jenis ini kurang memberikan perha-
tian terhadap tema dan isi sastra, kurangnya perhatian terhadap
syarat-syarat yang memungkinkan tumbuhnya suatu karya sas-
tra, mengabaikan segi-segi psikologis dan sosial historis, serta
relativitas estetis bahasa sastra, karena bisa saja pada periode
berikutnya tidak lagi bernilai literer.
Pendekatan psikologis untuk jenis kritik psikologis. Kri-
tik jenis ini mencoba mendalami aspek/segi-segi kejiwaan suatu
karya sastra. Wellek (1962:81) menjelaskan bahwa ada 4 aspek

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


34 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
yang berkaitan dengan psikologis sastra, masing-masing (1)
studi psikologis terhadap pengarang sebagai tipe dan individu,
(2) studi mengenal proses kreativitas, (3) studi mengenal tipe
atau hukum-hukum karya sastra, dan (4) studi mengenai efek
sastra terhadap pembacanya. Kalau diperhatikan, hanya aspek
ketiga saja yang termasuk dalam studi sastra. Tetapi selanjutnya
ditegaskan oleh Wellek bahwa psikologis diperlukan suatu
maksud-maksud pemahaman mengenai tipe-tipe perwatakan
dan hukum kausalitas plot.
Untuk mencapai kelengkapan analisis, kritikus psikologis
dapat mengkaji empat aspek di atas, yakni: (1) kajian psikologis
pengarang sebagai tipe atau individu, (2) kajian terhadap proses
kreatifnya, (3) kajian terhadap karya sastra, (4) kajian yang
berkenaan dengan efek sastra terhadap pembacanya.
Kajian psikologis pengarang dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu: (i) dengan alur sastra-pengarang-sastra dan (ii)
dokumen-dokumen pribadi nonlieter-kepribadian pengarang-
sastra. Cara pertama, kritikus mempelajari karya sastra tertentu.
Dari kajian itu dapat ditarik kesimpulan tentang kepribadian
pengarang. Berdasarkan kesimpulan tentang kejiwaan penga-
rang itu kritikus menggunakannya untuk menafsirkan sastra
lainnya atau seluruh karya sastra pengarang tersebut. Ringkas-
nya sastra dianggap sebagai refleksi dan proyeksi penulisnya.
Untuk itu perhatikan kritik-kritik Subagio Sastro Wardoyo ten-
tang sajak-sajak Chairil Anwar, Toto Soedarto Bachtiar, Sitor
Situmorang, dan W.S. Rendra yang terkumpul dalam buku
Sosok Pribadi dalam Sajak.
Adapun cara kedua, kritikus mulai dengan mengkaji do-
kumen-dokumen pribadi, riwayat hidup serta segala pendapat
dan pikiran pengarang lewat tulisan-tulisannya yang bersifat
nonliterer. Dari penelaahan itu dapat ditarik kesimpulan ten-
tang pribadi pengarangnya. Kesimpulan tersebut kemudian
digunakan untuk mengapresiasi karya sastra pengarang yang
bersangkutan: macam-macam perang batin, pertentangan jiwa,
frustrasi, kekecewaan dan harapan, pengalaman-pengalaman

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
35
yang merawankan, dan neurosis. Teori kepribadian ini kemu-
dian dipergunakan untuk menyoroti dan memahami beberapa
karya tertentu dari pengarang yang bersangkutan. Itulah sebab-
nya riwayat hidup, surat-surat, dan catatan seorang pengarang
kerap mendapatkan perhatian khusus sehingga sering dikum-
pulkan, disimpan rapi, bahkan diterbitkan (Hardjana, 1981:64).
Kajian terhadap proses kreatif pengarang. Pembahasan
terhadap pribadi pengarang ataupun proses penciptaan sastra
memang menarik dan ada kalanya menunjukkan manfaat
paedagogis dalam studi sastra (perhatikan buku Proses Kreatif
I, II yang dieditori Pamusuk Eneste, ia memiliki manfaat praktis
bagi mahasiswa sastra). Akan tetapi, dalam hubungan ini, perlu
kiranya selalu diingatkan akan adanya bahaya sesatan genetik
(the genetic fallacy), yakni kecenderungan untuk menilai karya
sastra tersebut. Dengan kata lain, kiranya perlu diingat bahwa
nilai karya sastra bebas dan tidak tergantung pada proses pen-
ciptaan maupun penciptanya sendiri. Kajian terhadap kejiwaan
dan proses kreatif pengarang hanyalah mengarahkan pandangan
pada aspek genetik sebuah karya: mengapa karya sastra ini
mempunyai wujud dan isi sebagaimana adanya sekarang ini.
Berkaitan dengan proses penciptaan ini, kritikus dapat
berusaha menunjukkan bagaimana pengalaman serta pribadi
penulis dapat menentukan majas, diksi, tema, serta gambaran
para tokoh-tokoh ceritanya. Misalnya, perwatakan serba aneh
dalam kumpulan cerpen Budi Darma Orang-orang Blooming-
ton, dapat disingkap latar belakang konsepsionalnya yang
mengakari munculnya berbagai gejala keanehan karakter tokoh-
tokoh dalam Orang-orang Bloomington. Antara lain Budi Dar-
ma menulis

Meskipun saya tidak suka menyamaratakan orang, saya


melihat orang yang pada dasarnya ‘aneh’. Orang tidak mau
melihat potret karena dirinya tidak terpacak di situ, orang
melayat tidak untuk berbela sungkawa, tetapi untuk meng-
hindari percakapan buruk orang mengenai dirinya, orang

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


36 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
berusaha mengugurkan kandungan karena tidak dapat me-
nahan nafsu adalah bukan gejala luar biasa. Gejala ini tidak
‘aneh’, akan tetapi menjadi ‘aneh’ bila kita merenungkannya
(Budi Darma, 1984:53).

Selanjutnya seorang kritikus dapat juga menjelaskan


bagaimana dan mengapa pengarang terdorong menciptakan
suatu karya tertentu, atau bahkan mencoba merekonstruksikan
tahap-tahap kreasi yang beraneka ragam itu, di mana bahan-
bahan mentah dari kehidupan dijelmakan menjadi karya seni,
atau ditransformasikan dalam kreasi seni sastra. Dengan mela-
kukan kajian tersebut seorang kritikus menjadi mengerti akan
proses penciptaan suatu karya serta pengalaman pribadi penga-
rang yang biasanya ‘unik’ itu bermanfaat bagi orang lain.
Dalam menggarap karya itu sendiri, kritikus psikologis
lebih erat berhubungan dengan prosedur-prosedur yang diper-
gunakan oleh kritikus formalis. Sang kritikus dapat mengesam-
pingkan segala hal yang berkaitan dengan diri pengarang terha-
dap kreasinya yang berupa karya sastra tertentu. Dalam meng-
analisis perwatakan, misalnya telaah psikologis dapat meman-
faatkan prinsip-prinsip psikoanalisis Freud atau teori-teori
psikologi yang lain. Dengan demikian tokoh-tokoh dalam karya
sastra disikapi sebagai pribadi yang bereksistensi tokoh dising-
kap melalui ekspresi verbal, melalui kata-kata dialog, ekspresi
motoris/kinestetis melalui perbuatan, tindakan, gerakan. Perlu
ditambahkan bahwa kajian yang memanfaatkan prinsip psiko-
analisis tidak hanya menarik untuk fiksi dan drama, bahkan
persona dalam puisi pun dapat dilakukan. Sebagai contoh, M.S.
Hutagalung (1963:43-51) membicarakan novel Mochtar Lubis
Jalan Tak Ada Ujung dari sudut ilmu jiwa dalam Freud. Begitu
juga Jassin (1967:153-154) pada bahan pembicaraan mengenai
pengarang Utuy Tatang Sontani menyinggung Freudianisme.
Moehamad (1980:1—14), menanggapi pendapat Aveling ten-
tang peranan aktor seks dalam sastra Indonesia (a.1. sajak-

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
37
sajak Sitor Situmorang) yang tidak terlepas dari masalah psi-
kologis.
Kajian terhadap efek sastra terhadap pembacanya. Tuju-
an utama kajian ini ialah menyelami dan menjelaskan daya tarik
suatu karya terhadap pembaca perseorangan (Tarigan, 1986:
14). Di sini kritikus berusaha menemukan bagaimana caranya
pengalaman pribadi pembawa dibawa memasuki dunia sastra.
Juga responsi serta bagaimana pengidentifikasian diri pembaca
terhadap karya sastra yang dibaca. Dalam hal ini, karena tidak
ada pengalaman manusia yang seluruhnya ‘unik’ atau terbeda-
kan sama sekali dari yang lain, tetapi tentu ada sangkut pautnya
dengan orang lain, misalnya soal waktu, tempat, konteks, maka
kajian bidang ini banyak kesamaannya dengan kritik sosiokul-
tural. Sehubungan dengan ini kita bisa mempertanyakan menga-
pa Pengakuan Pariyem kurang memberikan pengaruh bagi
pembaca yang hidup di lingkungan ronggeng dan bukan ledek.
Untuk itu relevan dikutip salah satu prinsip kritik sosiokultural
berikut ini, “Bahwa setiap karya sastra yang bertahan pada
dasarnya adalah mengandung nilai moral yang dalam, baik da-
lam hubungannya dengan kebudayaan tempatnya muncul mau-
pun pada pembaca perseorangan.”
Pendekatan sosiologis untuk jenis kritik sosiologis.
Asumsi yang harus dipegang sebagai pangkal tolak kritik sastra
aliran sosiologi ialah bahwa karya sastra tidaklah lahir dari
kekosongan sosial (social vacuum). Ini sebenarnya bukanlah
suatu asumsi yang berlebihan, meskipun kita juga harus selalu
ingat bahwa karya sastra adalah hasil dari daya khayal atau
imajinasi. Secara langsung atau tidak imajinasi pengarang dipe-
ngaruhi, tidak ditentukan oleh pengalaman manusiawi dalam
lingkungan hidupnya, termasuk di dalamnya adalah sumber-
sumber bacaan (Hardjana, 1981:71). Mitologi atau cerita dewa-
dewi sangat erat hubungannya dengan suatu masyarakat dan
pengalamannya. Masyarakat wayang seperti masyarakat petani
Jawa akan sulit atau bahkan mustahil menghayati mitos Her-
kules atau mitos Sisipus atau Ahasveros. Semuanya akan dinilai

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


38 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
absurd alias tak dapat dipahami oleh jiwa dan perasaan. Tetapi
apabila pembaca seorang atau kelompok terpelajar, mitos-mitos
yang dibacanya itu dapat merupakan pengalaman kejiwaan dan
memperluas pengalamannya.
Kritikus sosiologis dapat mengkaji hubungan antara
pengarang sebagai individu atau tipe dikaitkan dengan keadaan
yang khas dari era kultural tempat pengarang/para pengarang
itu hidup dan menulis; hubungan antara karya sastra dengan
masyarakat yang digambarkannya atau yang dituju. Seperti
yang telah dikatakan Abrams telaah sosiologis hanya dibatasi
pada cara pengarang dipengaruhi oleh status kelas dan ideologi-
nya, kondisi ekonominya, serta pembaca yang dituju. Mengenai
telaah sosiologis ini selengkapnya sbb., “the writings of critics
and historians whose primary interest is the ways an author is
affected by his class status, his social and other ideology, the
economic conditions of his progression, and the kind of audi-
ence to whinh he addresses himself (Abrams, 1981:178). Ca-
kupan kajian tampaknya sempit, padahal hubungan antara sas-
tra dan masyarakat menunjukkan berbagai macam permasalahan
yang kompleks.
Wellek tampak lebih memberi kemungkinan telaah yang
lebih luas wilayahnya. Menurut keduanya telaah sosiologis ter-
hadap karya sastra dapat berupa:
a) sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial,
ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut diri penga-
rang sebagai pencipta sastra;
b) sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu
sendiri, yang menjadi pokok kajiannya ialah apa yang tersi-
rat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya;
c) sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh
sosial karya sastra (lihat Damono, 1978:3).

Sementara itu, menurut Umar Junus, telaah sosiologi


sastra dapat berupa:

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
39
a) telaah terhadap karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial
budaya;
b) penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya
sastra;
c) penelitian mengenai penerimaan masyarakat terhadap
(sebuah)
d) karya sastra pengarang tertentu, dan menjelaskan sebab-
sebabnya;
e) pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra
(lihat Junus, 1986:3 dalam Soedjijono:12).

Perlu ditambahkan bahwa hubungan antara ilmu sosio-


logi dan kritik sastra pada dasarnya mirip dengan hubungan
antara ilmu psikologi dan kritik sastra. Yang pertama terpusat
pada unsur luar sebagai latar belakang kemasyarakatan diri
pengarang dan karyanya, yang kedua menitikberatkan pada
unsur dalam sebagai latar belakang diri pengarang dan karyanya.
Kecenderungan-kecenderungan kritik sastra yang menggan-
tungkan diri pada hubungan tersebut juga sama, yakni menon-
jolkan unsur luar dan unsur dalam itu sebagai faktor genetik.
Secara prinsipal kritik sosiologis mengkaji serta membeberkan
bahwa masyarakat menentukan apa yang harus ditulis oleh
pengarang, bagaimana menulisnya, dan untuk siapa karya
sastra itu ditulis, serta apa maksud dan tujuannya karya sastra
tersebut diciptakan (bandingkan kehadiran majalah Pujangga
Baru sekitar tahun 30-an yang sirkulasinya begitu kecil, namun
masih bertahan hidup).

JAWABLAH PERTANYAAN BERIKUT INI!


1. Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri pengertian jenis
kritik sastra!
2. Jelaskan dasar atau landasan penjenisan kritik sastra, dengan
disertai contoh dan bukti!

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


40 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
3. Tunjukkan ciri-ciri kritik (a) formalistik, (b) psikologis
dan (c) sosiologis ditinjau dari: (1) asumsinya, (2) objek
kajiannya, (3) teknik kajiannya, dan (4) tujuannya.
4. Tunjukkan contoh hasil kritik sastra Indonesia Modern
(a) kritik historis biografis 3 buah,
(b) kritik moral-filosofis 3 buah,
(c) kritik sosiologis 2 buah,
(d) kritik psikologis 3 buah!

BAHAN DISKUSI
1. Kebanyakan novel Indonesia masih bertumpu pada realisme
formal maka sebuah novel selalu berlangsung di suatu ma-
syarakat tertentu. Kehidupan yang diceritakan dalam novel
merupakan gambaran sosial masyarakatnya. Diskusikan
perkembangan penggambaran sosial dalam sejarah novel
Indonesia pada dekade 1920-an dan 1930-an!
2. Diskusikan tentang pandangan ilmu jiwa dalam untuk
memahami novel “Jalan Tak Ada Ujung” (karya Mochtar
Lubis) oleh M.S. Hutagalung, terutama pemahaman ten-
tang kehidupan kejiwaan tokoh-tokohnya!

2.3 KOORDINAT KRITIK SASTRA


Oleh Abrams (1953) dengan sangat baik dan tepat diper-
lihatkan perkembangan ilmu sastra sepanjang masa. Atas dasar
model yang sederhana: dalam menghadapi karya sastra secara
ilmiah pada prinsipnya dapat dimanfaatkan pendekatan yang
secara langsung dapat dijabarkan dari situasi karya sastra secara
menyeluruh (the total situation of work of art), dengan aspek
atau fungsinya yang terkemuka; pendekatan itu masing-masing
menonjolkan:
a) peranan penulis karya sastra, sebagai penciptanya (ekspre-
sif);

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
41
b) peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat (prag-
matik);
c) aspek referensial, acuan karya sastra, dengan nyata (mime-
tik);
d) karya sastra sebagai struktur yang otonom, dengan kohe-
rensi intern (objektif) (Teeuw, 1983:59—60).

Keempat pendekatan model Abrams inilah yang dimak-


sud dengan koordinat kritik sastra. Di sisi lain penulis berpen-
dapat bahwa bermacam-macam teori sastra dapat diklasifi-
kasikan berdasarkan empat pendekatan sastra yang dirumuskan
Abrams tersebut.
Masalah mimetik sepanjang sejarah ilmu sastra, mulai
dari Aristoteles, menyibukkan peneliti sastra Barat: seberapa
intens karya seni membayangkan dunia nyata, mencerminkan
kenyataan sosial-ekonomi-politik. Masalah itu antara lain ilmu
sastra aliran Marxis, mulai dengan Marx sendiri sampai seka-
rang ini (Fokkema and Kunne-Ibsch, 1977:Bab 4).
Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis, terje-
mahannya dalam bahasa Inggris berbeda-beda: imitation, repre-
sentation, artinya peneladanan, peniruan atau pembayangan.
Konsep tersebut pada mulanya dikemukakan oleh Plato, kemu-
dian diungkapkan pula oleh Aristoteles. Plato berpendapat
bahwa seni hanyalah tiruan alam (imitasi) yang nilainya jauh
lebih rendah daripada kenyataan serta ide. Secara lebih lengkap
jalan pikiran Plato sbb.: dalam kenyataan yang dapat kita amati
setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap
benda mencerminkan ide yang asli (gambar induk); terdapat
aneka bentuk ranjang dan meja, tetapi itu semua berasal dari
ide atau gambar induk mengenai sebuah ranjang dan sebuah
meja. Bila seseorang tukang membuat sebuah ranjang ia men-
jiplak ranjang seperti terdapat dalam dunia ide-ide jiplakan atau
copy itu selalu tidak memadai aslinya; kenyataan yang dapat
kita amati dengan pancaindra selalu kalah dengan dunia ide.
Tetapi seorang tukang lebih dekat dengan kebenaran daripada

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


42 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
seorang pelukis atau penyair. Mereka menjiplak kenyataan yang
dapat disentuh dengan pancaindra, atau dengan kata lain: mere-
ka menjiplak suatu jiplakan, membuat copy dari sebuah copy.
Jiplakan mereka tidak bermutu. Ringkasnya, menurut Plato
seni kurang begitu penting, karena hanya menyajikan suatu
ilusi (khayalan) tentang kenyataan dan tetap jauh dari “kebe-
naran.”
Sementara itu, teori mimesis Plato berbeda dengan teori
mimesis Aristoteles. Menurut Aristoteles kenampakan kenya-
taan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain; dalam
setiap objek yang kita amati di dalam kenyataan terkandung
idenya dan tidak dapat dilepaskan dari objeknya itu. Bagi Aris-
toteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melain-
kan sebuah proses kreatif; penyair sambil bertitik pangkal pada
kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan bermimesis
penyair menciptakan kembali kenyataan, adapun bahannya ialah
barang-barang seperti adanya atau barang-barang seperti pernah
ada, atau seperti yang kita bayangkan, atau ada seperti pendapat
orang, atau yang seperti seharusnya ada, yaitu fakta dari masa
kini atau masa silam, keyakinan, dan cita-cita. Pendek kata,
Aristoteles tidak lagi memandang sastra sebagai suatu copy
atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu
ungkapan atau perwujudan mengenai “universalia” (konsep-
konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri seba-
gai sejumlah unsur yang kacau balau, penyair memilih beberapa
unsur, lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita mengerti,
yang menampilkan “kodrat manusia yang langgeng”, atau
dengan lain perkataan kebenaran universal yang berlaku di
mana-mana dan pada segala zaman. Inilah sebabnya mengapa
Aristoteles menilai sastra lebih tinggi daripada penulisan sejarah.
Dalam sejarah ditampilkan sebuah peristiwa yang hanya satu
kali terjadi, sebuah fakta, tetapi dalam sastra lewat sebuah peris-
tiwa konkret, dibeberkan suatu pemandangan yang umum dan
luas (Luxemburg, 1984:16).

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
43
Akhirnya, dapat dikemukakan bahwa meskipun ada ba-
nyak teori mimesis, tetapi persoalan utama sebenarnya memper-
soalkan hubungan antara sastra dan kenyataan antara gambar
dan apa yang digambarkan. Tolok ukur estetik pertama ialah
sejauh mana gambar itu (sastra) sesuai dengan kenyataan. Apa-
kah kenyataan itu merupakan dunia ide, dunia yang universal,
atau dunia yang khas, itu tidak begitu penting.
Termasuk dalam pendekatan mimetik, kritik sosiologis:
yang mempersoalkan hubungan antara sastra dan masyarakat,
kritik sosio-kultural, dan yang paling menonjol adalah kritik
sastra aliran Marxis. Dalam kritik sosiologis, misalnya sastra
dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra ditulis pada
suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-
norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang menggubah kar-
yanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca
yang sama dengan dia selaku warga masyarakat tersebut. De-
ngan kisahnya tentang Gubuk Paman Tom Harriet Beecher-
Stowe membuka mata masyarakat terhadap nasib kaum budak
belian di Amerika Serikat. Hal ini sama dengan yang diperbuat
Turgenyev di Rusia dengan Kisah-kisah Pemburu. Multatuli
dengan Max Havelarnya memengaruhi diskusi mengenai sistem
kolonial Belanda. Gerard Reve, pengarang Belanda zaman seka-
rang, Ebrani menulis novel-novel dengan tema-tema homoseks
yang sebelumnya tabu dibicarakan, dan dengan demikian
memengaruhi timbulnya “permissive society” (apa saja boleh).
Kritik sastra Marxis berdasarkan filsafat Marx, khusus-
nya teorinya mengenai materialisme historis dan dialektika.
Menurut Marx susunan masyarakat dalam bidang ekonomi
dinamakan bangunan bawah, menentukan kehidupan sosial,
politik, intelektual, dan kultural (termasuk sastra) pada hubung-
an atas. Bagi Marx, sastra sama dengan gejala-gejala kebudayaan
lainnya yang mencerminkan hubungan ekonomi; sebuah karya
sastra hanya dapat dimengerti kalau itu dikaitkan dengan
hubungan-hubungan tersebut; maksudnya hubungan-hubungan
ekonomi menimbulkan berbagai kelas yang saling bermusuhan,

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


44 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
ini mengakibatkan pertentangan kelas yang akhirnya dimenang-
kan oleh kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru seterus-
nya menimbulkan kelas baru yang melawan kelas yang sedang
berkuasa.
Selanjutnya Lenin dapat dipandang sebagai peletak dasar
bagi kritik sastra Marxis. Pandangannya bahwa sastra (dan seni
pada umumnya) merupakan sarana penting dalam perjuangan
proletariat melawan kapitalisme. Dari Marx, Lenin meminjam
pandangan, bahwa sastra terikat akan kelas-kelas yang ada
dalam masyarakat bahwa sastra mencerminkan kenyataan
sebagai ungkapan pertentangan kelas. Lebih jauh Lenin mene-
tapkan 3 syarat sastra, yakni: (1) sastra harus mempunyai suatu
fungsi sosial, (2) sastra harus mengabdi pada rakyat banyak,
dan (3) sastra harus merupakan bagian dalam kegiatan partai
komunis. Dengan demikian sastra dijadikan suatu bagian di
dalam mekanisme sosial demokratik yang digerakkan oleh
gugus depan segenap kelas kaum pekerja yang sadar akan poli-
tik, sebuah unsur organik dan sebuah senjata ampuh dalam
perjuangan sosialistik (van Luxemburg, 1984:26).
Masih dalam cakupan kritik sastra Marxis, aliran realis-
me sosialis mengandalkan adanya suatu hubungan dialektik
antara sastra dan kenyataan. Di satu pihak kenyataan tecermin
dalam sastra sehingga sastra dianggap menyajikan suatu tafsiran
yang tepat mengenai hubungan-hubungan di dalam masyarakat
(realisme). Di pihak lain sastra juga memengaruhi kenyataan
dalam upaya mencapai masyarakat sosialistik. Pendeknya sastra
dibebani 2 tugas yang berbeda-beda: sastra hendaknya melukis-
kan kenyataan yang selaras dengan kebenaran, tetapi sekaligus
kenyataan itu ingin diubahnya.
Akhirnya, perlu disimpulkan bahwa dalam kritik sastra
Marxis maupun Neo Marxis yang dibicarakan di atas segi yang
dipentingkan ialah implikasi sosial dan kemasyarakatan yang
terkandung di dalam karya seorang pengarang. Kritik sastra
Marxis menafsirkan sastra sebagai suatu gambar mengenai suatu
kenyataan sosial atau sebagai sesuatu yang menjadikan pembaca

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
45
sadar mengenai kenyataan masyarakat itu atau kekurangannya.
Sejauh sastra berhasil mencapai sasaran tersebut, maka ditentu-
kan pula penilaian positif terhadap karya sastra yang bersang-
kutan. (Di Indonesia kritik sastra Marxis pernah dilakukan
oleh para kritikus yang tergabung dalam panji-panji Lekra,
yang mendasarkan diri pada paham realisme sosialis.)
Kedua, pendekatan ekspresif. Dalam abad ke-19 di dunia
Barat pendekatan ekspresif menjadi dominan, menguasai ilmu
sastra: diri penyair, jiwanya, daya ciptanya, dan lain-lain diton-
jolkan, sesuai dengan aliran romantik yang juga dalam karya
kreatifnya menonjolkan si aku seorang pengarang. Tidaklah
kebetulan bahwa dalam sastra abad ke-19 ini maupun dalam
pendekatan ilmiahnya, puisi lirik secara khusus diperhatikan.
Gerakan ini masih bisa kita telusuri bekasnya dalam pendekatan
pada masa Pujangga Baru, baik sebagai penyair maupun sebagai
kritikus (terutama J.E. Tatengkeng). Minat untuk diri si penulis
sering digabungkan dengan pendekatan historis: yang diteliti
khususnya asal usul sebuah karya, bentuk purba, terjadinya
dan penyebaran motif-motif, dan lain-lain. Hal ini pun dapat
dikaitkan dengan aliran romantik yang juga sangat tertarik oleh
masa lampau, masa purba, manusia asli, primitif, dan lain-lain
(Teeuw, 1983:60).
Berkaitan dengan pendekatan ekspresif ini, maka bebe-
rapa jenis kritik dapat dimasukkan ke dalamnya, antara lain:
kritik historis-biografis, kritik psikologis terutama perhatian
yang berkenaan dengan faktor genetik karya sastra, yaitu kepri-
badian pengarang dan proses kreatifnya. Jenis kritik yang lain
ialah kritik perspektif, yaitu kritik yang menggarap “author
after life” beserta bagian-bagian yang terpenting dari keberha-
silannya yang telah atau patut menerima penghargaan dan patut
diabadikan. Kritik ini erat berhubungan dengan kritik biografis
karena salah satu kajiannya ialah “biografi kesastraan” yang
mencakup masalah interpretasi dan evaluasi terhadap penga-
rang beserta karyanya, seperti yang tecermin dalam kalbu dan

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


46 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
hati para pembacanya baik secara kontemporer maupun setelah
meninggalnya sang pengarang (Tarigan, 1986:220).
Ketiga, pendekatan objektif. Di sekitar tahun 1920 minat
dan tekanan secara berangsur-angsur bergeser ke arah karya
sastra sebagai struktur yang otonom, yang harus kita pahami
secara intrinsik, lepas dari latar belakang sejarahnya, lepas pula
dari diri dan niat penulis (the intentional fallacy, Wimsatt and
Beardsley,1946), lepas dari latar belakang sosial dan efeknya
pada pembaca (the effective fallacy), Wimsatt and Beardsley,
1949). Pendekatan ini secara singkat dapat dikatakan gerakan
otonomi karya sastra (Maatje, 1970:bab 2) dapat kita lihat
berkembang di mana-mana, sudah barang tentu dengan segala
variasinya serta perbedaan penekanan: formalis Rusia (1915-
1930), disusul strukturalisme di Praha dan Eropa Barat, kemu-
dian diimpor ke Amerika Serikat, antara lain oleh Jacobson
dan Wellek; tetapi pendekatan ini juga terwujud dalam New
Criticism sebagai perkembangan di Amerika yang otokhton,
walaupun sebagiannya diilhami dan dipelopori oleh kritikus
terkemuka di Inggris, seperti T.S. Eliot. Di Perancis Claude
Levi Strauss dan Roland Barthes menjadi tokoh terkemuka
pendekatan struktural, masing-masing dengan ciri khasnya.
Pendekatan struktural dari segi tertentu membawa hasil
yang gilang-gemilang; usaha untuk memahami dan mengupas
karya sastra atas dasar strukturnya memaksa peneliti sastra
untuk membebaskan diri dari konsep metode dan teknik yang
sebenarnya berada di luar jangkauan sebagai ahli (kritikus sastra,
seperti psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat, paedogogi dan lain-
lain; dan kemudian mengembalikannya pada tugas utamanya,
yaitu meneliti sastra). Malahan dapat dikatakan bahwa bagi
setiap peneliti sastra analisis struktur karya sastra yang ingin
diteliti dari segi mana pun merupakan tugas prioritas, pekerjaan
pendahuluan; sebab karya sastra sebagai “dunia dalam kata”
(Dresden, 1965) mempunyai kebulatan makna intrinsik yang
hanya dapat kita gali dari karya sastra. Dalam arti ini kita “ter-
gantung pada kata” (Teeuw,1980). Makna unsur-unsur karya

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
47
sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuh-penuhnya atas
dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keselu-
ruhan karya sastra. Jadi, kalau boleh dikatakan bahwa analisis
struktur adalah suatu tahap dalam penelitian sastra yang sukar
dihindari, sebab analisis semacam itu baru memungkinkan
pengertian yang optimal-persis seperti dalam ilmu bahasa di
mana pengetahuan tentang struktur bahasa juga merupakan
syarat mutlak untuk penelitian sosio-linguistik, psikolinguistik,
ilmu sejarah, perbandingan bahasa dan lain-lain.
Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa analisis struktur
adalah tugas utama ataupun tujuan terakhir penelitian sebuah
karya sastra. Strukturalisme yang hanya menekankan pada oto-
nomi karya sastra mempunyai 2 kelemahan pokok, yakni: (a)
melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra, dan (b) (ben-
tuk) mengasingkan karya sastra dari rangka sosial-budayanya.
Untuk mengatasi kelemahan itu, perlu dilihat perkembangan
baru dalam ilmu sastra, yakni pergeseran minat dari karya sastra
sebagai struktur otonom ke arah pembaca; dengan menekankan
peranan pembaca sebagai pemberi makna karya sastra tersebut.
Perkembangan ini tidak berarti penolakan terhadap strukturalis-
me secara tuntas, malahan sebaliknya, pendekatan struktural
sering dipadukan dengan pendekatan lain, misalnya pendekatan
strukturalisme dinamik yang dikembangkan oleh Jan Muka-
rovsky dan muridnya Felix Vodicka. Mereka memadukannya
dengan konsepsi semiotik: bahwa untuk dapat memahami sepe-
nuh-penuhnya seni (baca sastra) sebagai struktur, kita harus
menginsafi ciri khasnya sebagai tanda atau sign. Justru tanda
itu baru mendapat makna sepenuhnya lewat persepsi seorang
pembaca (Jacobson, 1960).
Berkaitan dengan pendapat objektif/struktural, beberapa
jenis kritik dapat dikelompokkan ke dalamnya, yaitu: (a) kritik
formalis, (b) kritik linguistik, (c) kritik tekstual, dan (d) kritik
strukturalistis. Berikut ini dipaparkan sekelumit prinsip-prinsip
kritik strukturalisme.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


48 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Strukturalisme sebenarnya bukanlah monopoli kritik
sastra, sebab istilah tersebut dipergunakan pula di pelbagai bi-
dang, seperti antropologi, linguistik, filsafat, ilmu jiwa, bahkan
teori sastra sendiri. Kalau dirunut paham atau aliran struktural-
isme muncul dalam bidang antropologi yang ditokohi Claude
Levi Strauss, kemudian dikembangkan dalam bidang linguistik
oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam bukunya Cours
de Linguistique Generale (1916) diperkenalkan istilah signifiant
dan signifie dan atau langage dan parole dan langue.
Ada banyak strukturalisme dalam kritik sastra sehingga
tidak aneh kalau terjumpai keberagaman. Secara historis struk-
turalisme berkembang untuk pertama kali di Cekoslovakia de-
ngan munculnya Mazhab Praha, dengan tokoh-tokohnya Jacob-
son, Mukarovsky, serta Vodicka (Berens, 1985:404). Di Peran-
cis strukturalisme dikembangkan oleh dua tokoh terkenal, yaitu
Barthes dan Todorov. Di Amerika strukturalisme berkembang
dengan tokoh-tokohnya, yakni Daiches, Richard, Wellek,
Ranson, Tate, Warren, Brook, dan lain-lain (lihat Teeuw, 1984:
133—134).
Piaget mengemukakan 3 gagasan utama tentang struktur
karya sastra, yakni: (i) the idea of wholeness, (ii) the idea of
transformation, and (iii) the idea of self regulation. Keselu-
ruhan berarti memiliki koherensi internal, susunannya lengkap
diri, bagian-bagiannya menyesuaikan diri dengan seperangkat
kaidah intrinsik yang menentukan sifat keseluruhan serta
bagian-bagiannya. Transformasional berarti struktur itu tidaklah
statis. Kaidah-kaidah yang mengaturnya bergerak sedemikian
rupa sehingga membuatnya tidak semata-mata distrukturkan
tetapi juga menstrukturkan. Dengan prosedur transformasional
maka bahan-bahan yang baru dapat diproses. Aturan diri berarti
bahwa struktur suatu karya sastra tidak memerlukan sesuatu
di luar dirinya, dalam rangka mengesahkan prosedur transfor-
masionalnya (Hawkes, 1978:16 dalam Soedjijono:7).
Sejalan dengan Piaget, Mukarovsky mengatakan bahwa
sebuah struktur lebih daripada jumlah keseluruhan bagian-

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
49
bagiannya. Keseluruhan struktur berarti masing-masing bagian-
nya dan sebaliknya masing-masing bagian ini berarti keseluruh-
an tersebut, dan bukan keseluruhan yang lain. Itu sebabnya
ciri khas sebuah struktur bersifat energetik dan dinamis, dise-
babkan oleh kenyataan bahwa setiap elemen memiliki fungsi
khas dikaitkan dengan keseluruhan, dan bahwa fungsi-fungsi
tersebut dan saling hubungannya, dibawa ke suatu proses peru-
bahan. Demikianlah struktur sebagai keseluruhan berada di
dalam gerak yang permanen.
Selanjutnya, Barthes mengemukakan empat ciri struk-
turalisme yang agak berbeda dengan Jean Piaget di atas, yakni
(i) perhatian tertuju kepada keseluruhan (totalitas) unsur-un-
surnya, (ii) perhatian tidak hanya tertuju pada struktur permu-
kaan, melainkan juga struktur batin, (iii) bersifat antisejarah,
sesuatu yang sinkronis dan tidak diakronis, (iv) bersifat
antikausal, maka tidak mengaitkan karya sastra dengan sesuatu
yang lain (Damono, 1979:40—49). Berkaitan dengan hal terse-
but Propp menambahkan bahwa ada hubungan yang bersifat
timbal balik antara struktur yang satu dengan unsur lainnya
dalam keseluruhan struktur (Teeuw, 1984:64). Jika pada puisi
struktur haruslah dilihat aspek keterjalinan antara struktur fisik
antara lain: diksi, kata konkret, majas, versifikasi; dengan struk-
tur batinnya, antara lain: tema, perasaan, nada, dan amanat.
Berdasarkan konsep-konsep tersebut maka dapatlah
disebutkan bahwa tujuan dari telaah strukturalistis adalah
“membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, sedetil, dan
sedalam-dalamnya keterkaitan dan keterjalinan semua unsur
dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh, analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-
unsur itu ... (yang penting adalah sumbangan yang diberikan
oleh gejala semacam ini pada keseluruhan makna, dalam keter-
kaitan dan keterjalinannya dalam tataran: fonik, morfologis,
sintaksis, dan semantik) .... Setiap karya sastra memerlukan
metode analisis yang sesuai dalam sifat dan strukturnya ....

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


50 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Analisis struktur mestilah diarahkan oleh ciri khas karya sastra
yang hendak dianalisis (Teeuw, 1984:135—137).
Keempat, pendekatan pragmatik. Sejak Perang Dunia
Kedua, khususnya sesudah tahun 1960, perkembangan baru
dalam ilmu sastra terjadi pergeseran minat karya sastra sebagai
struktur ke arah peranan pembaca sebagai pemberi makna. Isti-
lah pragmatik menunjukkan pada efek komunikasi yang sering
dirumuskan dalam istilah Horatio: seniman bertugas untuk
docere dan delectere, memberi ajaran dan kenikmatan, acapkali
ditambahkan movere, menggerakkan pembaca dan kegiatan
yang bertanggung jawab; seni (sastra) menggabungkan sifat
utile dan dulce, bermanfaat dan manis. Pembaca kena, dipenga-
ruhi, digerakkan untuk bertindak oleh karya seni (sastra) yang
baik. Berkaitan dengan pendekatan pragmatik ini berturut-turut
dibicarakan kritik semiotik dan kritik resepsi estetik.
Kritik semiotik. Kritik ini bertolak dari anggapan bahwa
sastra merupakan salah satu sistem tanda yang bermakna dengan
memanfaatkan medium bahasa, sedangkan bahasa juga meru-
pakan sistem tanda atau lambang yang bermakna. Itulah sebab-
nya sastra dapat dikatakan sebagai “sistem tanda sekunder”
sedangkan bahasa sebagai “sistem tanda primer”.
Semiotik dan semiologi adalah ilmu yang secara sistema-
tik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistemnya
serta proses perlambangnya (van Luxemburg, 1984:44). Filsuf
Amerika Charles Peirce (1839-1914) mengklasifikasikan 3 jenis
tanda dalam telaah model semiotik (dikenal semiotik ala Pierce)
sbb.: (1) ikonitas, menunjuk sifat hubungan yang inheren antara
penanda dan petandanya, misalnya hubungan antara potret dan
orangnya; (2) indeks, menunjukkan hubungan kausal antara
penanda dan petandanya, seperti penunjuk arah angin menan-
dai arah angin; (3) simbol ialah tanda yang dibentuk oleh janji
atau konvensi sosial, untuk itu sistem bahasa dan sebagian besar
merupakan sistem simbol konvensional. Dalam puisi tipografi,
susunan kalimat dan susunan teks dapat menggambarkan isi
teks, suatu gagasan yang berbelit-belit, dapat diungkapkan

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
51
dapat struktur sintaktik yang berbelit-belit juga (Luxemburg,
1984:46).
Sebagai bandingan dikemukakan semiotik ala Lotman.
Untuk sebagian semiotik Soviet berakar dalam formalisme, teta-
pi ada pengaruh juga dari mazhab Praha dan Ukan dari struk-
turalisme Perancis. Menurut Joeri Lotman (tokoh semiotik
sastra Rusia) perbedaan antara bahasa sehari-hari dan bahasa
sastra terletak pada fungsi ikonisitas dalam sastra. Seperti setiap
bentuk seni yang lain sastra merupakan sistem sekunder. Sastra
mempergunakan sistem tanda primer seperti dalam bahasa
alami, tetapi tidak terbatas pada tanda-tanda primer. Dalam
seni bahasa (sastra) terdapat kaitan-kaitan paradigmatik dan
sintagmatik (Luxemburg, 1984:47). Sastra tidak membuat copy
dari kenyataan, tetapi mengenakan sebuah modul pada kenya-
taan, atau mengungkapkan menyatakan lewat modul-modul.
Sayangnya istilah sistem sekunder pembuatan modul yang
demikian penting, tidak pernah dijelaskan secara tuntas oleh
Lotman.
“Di dalam rangka sebuah sistem lambang kita mengar-
tikan gejala-gejala tertentu (gerak-gerik, kiasan, kata-kata, kali-
mat, dst.) berdasarkan sebuah kaidah atau sejumlah kaidah.
Kaidah-kaidah itu merupakan sebuah kode, yaitu alasan atau
dasar mengapa kita mengartikan suatu gejala begini atau begitu
sehingga gejala itu menjadi suatu tanda (van Luxemburg, 1984:
45). Dengan bahan yang diambil dari bahasa alami, seorang
sastrawan dapat membuat struktur artistik yang rumit dan ber-
belit-belit. Untuk itu ia dapat mempergunakan berbagai kode
sekaligus, misalnya kode bahasa, kode metrum, kode sintaktik,
kode gaya dst.
Bagi Lotman analisis teks tidak semata-mata intrateks-
tual, melainkan juga ekstratekstual. Analisis intratekstual seper-
ti: metrum, ritme, tahap fonologi, morfologi, morfo-sintaksis,
tahap semantik, diletakkan dalam kerangka mekanisme antar-
hubungan dan tidak secara terpisah sendiri-sendiri. Gagasannya
yang perlu mendapat perhatian ialah tentang semantisasi dan

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


52 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
ikonis antara unsur-unsur formal dan unsur-unsur semantik.
Hubungan antara teks dengan di luar teks atau hubungan ekstra-
tekstual dapat diadakan dengan pengalaman hidup pengarang,
dengan keadaan zaman ketika karya itu ditulis, dan dengan
kenyataan yang tecermin dalam karya tersebut, bahkan perlu
juga menurut Lotman mempelajari bagaimana pembaca mene-
rima dan menyerap sebuah karya sastra tertentu.
Berkaitan dengan hubungan intra dan ekstratekstual ini,
menurut Teeuw kode-kode penting yang perlu diketahui pem-
baca untuk menyingkap makna karya sastra ialah: kode bahasa,
kode budaya, dan kode sastra karena pada kenyataannya ketiga
kode tersebut terekam dalam keberadaan karya sastra (Teeuw,
1983:12-35).
Dalam memahami sastra dengan pendekatan semiotik,
hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa arti yang dapat diung-
kapkan dari sastra bukan semata-mata datang dari konvensi
bahasa tetapi terlebih-lebih juga dari konvensi sastra. Hal ini
disebabkan adanya kecenderungan beberapa perfomansi sastra
justru melakukan penyimpangan atau deviasi, pembaharuan
atau inovasi bahkan pemberontakan terhadap konvensi bahasa.
Contoh terkuat untuk kecenderungan terakhir adalah kredo
Soetardji Calzoum Bachri untuk membebaskan kata dari “ja-
jahan” makna. Konvensi bahasa harus dibuang, khususnya kon-
vensi yang paling banyak menghalangi kebebasan bergerak,
yaitu konvensi makna.
Akhirnya, sebagai simpulan dinyatakan bahwa analisis
model semiotik adalah sebagai berikut: (1) menjelaskan kaitan
antara pengarang, realitas, karya sastra, dan pembaca, (2) men-
jelaskan karya sastra sebagai struktur berdasarkan unsur-unsur
atau elemen yang membentuknya.
Kritik resepsi estetik. Rezeptionesthetik mungkin diterje-
mahkan sebagai ‘resepsi sastra’ (bandingkan Teeuw, 1983) yang
dapat disamakan dengan literary response (Norman Holland,
1975). Ia mungkin juga diterjemahkan ‘penerimaan estetik’

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
53
sesuai dapat aesthetic of reception. Untuk kepentingan tulisan
ini digunakanlah istilah resepsi estetik.
Resepsi estetik dimaksudkan sebagaimana ‘pembaca’
memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya se-
hingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya.
Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang
pembaca dapat memahami karya itu atau dapat melihat hakikat
estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif,
yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Oleh karena itu, penger-
tian resepsi estetika mempunyai lapangan yang luas, dengan
berbagai kemungkinan penggunaannya (Junus, 1985:1—2).
Perkembangan resepsi estetik diberi semangat baru oleh
pikiran-pikiran Jausz dan Iser. Mereka berdua dianggap sebagai
perumus dasar teoretis dan metodologinya. Sebagai ilustrasi,
inilah tiga unsur resepsi estetik yang terlibat langsung dengan
pelaksanaan kritik sastra, yaitu (i) pembaca, (ii) legetica dan
poetica, dan (iii) horison penerimaan, serta (iv) konkretisasi.
Berturut-turut keempatnya dibahas berikut ini.
Pertama, pembaca. Kedudukan pembaca dalam resepsi
estetik dibedakan atas pembaca biasa, pembaca ideal, pembaca
yang implisit, dan pembaca yang eksplisit. Pembaca biasa adalah
pembaca dalam arti yang sebenarnya, yaitu yang membaca karya
sastra sebagai karya sastra, bukan sebagai bahan penelitian.
Perhatian dapat ditekankan kepada bagaimana ‘reaksi’ mereka
terhadap karya sastra yang dibaca baik secara sinkronis maupun
secara diakronis. Dalam hal ini kritikus dapat memanfaatkan
bahan-bahan yang relevan seperti resensi, surat-surat, buku-
buku, catatan harian dan lain-lain (lihat Junus, 1985:52).
Pembaca ideal memang sukar dirumuskan dan Segers
menggunakan definisi Armand van Assche yang diterjemahkan
sebagai berikut, “pembaca ideal ialah pembaca yang dibentuk
atau diciptakan oleh penulis atau peneliti (baca kritikus) bisa
berdasarkan variasi tanggapan mereka, kompetensi sastra me-
reka yang putus-putus, atau berbagai variabel lain yang meng-
ganggu. Pembaca yang diciptakan ini mungkin berada di dalam

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


54 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
atau di luar teks, dan dapat dipergunakan peneliti (kritikus)
untuk meneliti peranan pembaca dalam lukisan rasional”. De-
ngan demikian “kesalahan” pemahaman bukanlah kesalahan,
tetapi merupakan sesuatu yang wajar. Ini jelas berbeda dengan
pandangan yang bertolak dari penulis yang beranggapan bahwa
sesuatu yang berbeda dari pandangan penulisnya adalah suatu
kesalahan. Sebagai catatan, dapat diberikan pengertian pembaca
ideal menurut Fish (1972) adalah pembaca yang berpengeta-
huan, ia menguasai bahasa yang dipergunakan dalam karya
sastra tertentu dengan segala kemungkinannya, di samping itu
juga memang seorang yang kompeten dalam sastra (baca kode
sastra).
Dalam teks sastra ada dua macam pembaca, yaitu yang
implisit dan yang eksplisit. Pembaca implisit dirumuskan Iser
sebagai berikut, “… pembaca implisit memainkan peranan
bagaimana suatu teks dapat dibaca (Segers, l971:22). Banding-
kan dengan superreader atau archilecteur dari Riffaterre, 1971:
137–139). Pembaca yang eksplisit adalah pembaca kepada siapa
suatu teks diucapkan atau ditujukan. Pembaca itu mungkin
dinyatakan secara langsung atau tidak.
Kedua, legetica dan poetica. Dua istilah ini berasal dari
Segers. Legetica: suatu teori bagaimana proses pembacaan dari
seorang pembaca diterangkan dan bagaimana semestinya suatu
penerimaan dalam suatu proses pembacaan. Poetica: teori ten-
tang cara suatu teks dapat dilukiskan sesuai sastra perspektif
karya itu (Segers, dalam Junus hlm. 54).
Berkaitan dengan legetica ini, Norbert Groeben memberi-
kan tujuh cara yang bisa dipilih pembaca dalam rangka mema-
hami karya sastra. Tujuh cara tersebut ialah: (1) parafrase, (2)
analisis isi, (3) penentu bagian teks yang relevan, (4) asosiasi
bebas, (5) perbedaan semantik, (6) “cloze procedure”, dan (7)
“free card sorting”. Sebaliknya poetica merupakan lukisan teks
yang bersifat intersubjektif, yang memungkinkan kita meru-
muskan secara semantik suatu kemungkinan arti dari suatu

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
55
teks. Dan ini merupakan suatu reaksi subjektif dari seorang
pembaca.
Ketiga dan keempat, horison penerimaan dan konkreti-
sasi. Horison penerimaan pembaca terhadap karya berkaitan
dengan lima aspek, yakni (1) aspek estetika sastra, (2) aspek
variabel seputar pembaca, (3) aspek kompetensi bahasa dan
kompetensi sastra pembaca, (4) aspek pengalaman pembaca
dalam merespons dan menganalisis karya sastra, dan (5) aspek
situasi penerimaan pembaca.
Aspek pertama adalah aspek estetika sastra. Teeuw (l982)
menengarai adanya dua estetika sastra, yakni estetika harmoni
atau estetika keselarasan, dan estetika deviasi atau estetika
penyimpangan. Dalam estetika harmoni karya sastra yang baik
dan ‘berterima’ adalah karya sastra yang memenuhi keseim-
bangan antara isi dan bentuk, antara unsur estetis dan nones-
tetis. Sebaliknya dalam estetika deviasi, karya sastra yang me-
nyimpang dari kelaziman sehingga menjadi aneh dan unik ada-
lah karya sastra yang berhasil.
Aspek kedua adalah variabel seputar pembaca. Di dalam-
nya dicakup variabel (a) seks atau jender, (b) pekerjaan, (c)
pendidikan, (d) tempat tinggal, dan (e) agama. Pertanyaan
pokoknya adalah bagaimanakah seorang pembaca dapat mene-
rima atau menolak suatu karya sastra sesuai dengan ‘skemata
budaya’ dirinya. Misalnya, dapatkah seorang muslim menerima
kendaraan Nabi Muhammad Bourouq bertubrukan dengan
sputnik Rusia (baca kembali heboh sastra 1968, kasus Langit
Makin Mendung) atau kasus Novel Ayat-ayat Setan karya Sal-
man Rusdie. Bagaimanakah penerimaan pembaca perempuan
terhadap hegemoni tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan.
Bagaimanakah horison harapan pembaca perempuan terhadap
cerita ibu tiri yang baik hati? Bagaimakah respons pembaca
pesisir terhadap karya sastra dengan tema pesisir. Misalnya,
bagaimanakah responsi pembaca di kawasan Bangka-Belitung
terhadap novel Laskar Pelangi dan seterusnya.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


56 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Aspek ketiga, kompetensi bahasa dan kompetensi sastra
pembaca. Karya sastra adalah karya kreatif. Oleh karena itu,
penggunaan bahasa dalam karya sastra juga bersifat kreatif.
Penggunaan bahasa dalam bentuk majas, kias, dan metafora
menjadi salah satu ciri esensial. Adapun kompetensi sastra pem-
baca ditandai oleh kemampuan pembaca memberikan penilaian
karya sastra atas dasar keterikatan karya sastra pada konvensi
dan kemampuan sastrawan memberikan inovasi.
Aspek keempat, pengalaman analisis pembaca yang me-
mungkinkan mempertanyakan teks, dan aspek kelima situasi
penerimaan seorang pembaca. Pengalaman membaca karya sas-
tra memang menentukan daya kritis pembacaan. Tingkat kese-
ringan dan keintenan (intensitas) membaca karya sastra berban-
ding lurus dengan daya kritis memahami nilai-nilai yang terkan-
dung dalam karya sastra yang dibacanya. Adapun situasi peneri-
maan pembaca dapat bersifat fisik dan psikis. Sebab itu, kenya-
manan, keamaman, dan keleluasaan memengaruhi penerimaan
nilai-nilai karya sastra (bandingkan situasi penerimaan pembaca
zaman Jepang dan zaman agresi militer Belanda).
Di sisi lain, persoalan horison penerimaan pembaca dapat
dilakukan terhadap hakikat ketidakpastian makna. Dinyatakan
demikian karena makna suatu teks (sastra) dikonkretkan mela-
lui suatu horison penerimaan tertentu. Bahwa ada hubungan
antara ketidakpastian makna dengan horison penerimaan
pembaca. Untuk memperkecil keluasan kemungkinan arti suatu
teks sastra, pembaca dapat membatasinya pada masa, tempat,
dan genre tertentu saja.
Hasil penelitian Viehoff (l976) menunjukkan adanya lima
horison penerimaan pembaca terhadap karya Sastra Jerman.
Kelima horison penerimaan tersebut adalah (1) penerimaan—
yang berupa suatu harapan—yang bersifat realistis yang opti-
mistis dan progresif, (2) harapan tentang faktor intelektual
terhadap karya sastra yang mencerdaskan, (3) harapan tentang
faktor emosi terhadap karya sastra yang menghaluskan jiwa,
(4) harapan tentang adanya faktor orisinalitas terhadap karya

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
57
sastra yang bersifat genial dan autentik, dan (5) penerimaan
yang bersifat realistis namun bersifat pesimistis dan konservatif
yang ditandai oleh hadirnya unsur kesedihan.
Jelaslah kini bahwa horison penerimaan sastra berkaitan
dengan horison penerimaan sosio-budaya dan pengalaman sese-
orang. Horison penerimaan sosio-budaya dari seorang pembaca
adalah hasil dari pengalaman seorang individu dan dari penga-
laman bahasanya. Pengalaman individu, misalnya pengalaman
emosional, sosio-budaya, dan psikologi komunikasi. Penga-
laman bahasa ialah pengalaman yang berhubungan dengan
penguasaan bahasa (yang natural). Dan horison penerimaan
sastra dihasilkan melalui pengalaman pembacaan teks-teks, ter-
utama teks sastra. Ini meliputi pengalaman stilistika, retorika,
interpretasi, evaluasi, dan pengenalan genre.

JAWABLAH PERTANYAAN DI BAWAH INI!


1. Jelaskan maksud koordinat kritik sastra!
2. Jelaskan pengertian kritik sastra mimetik!
3. Identifikasikan beberapa jenis kritik sastra ke dalam pende-
katan mimetik!
4. Jelaskan pengertian kritik objektif/struktural!
5. Kelompokkan beberapa jenis kritik sastra ke dalam pende-
katan objektif/struktural!
6. Jelaskan pengertian kritik ekspresif!
7. Kelompokkan beberapa jenis kritik sastra ke dalam pende-
katan ekspresif!
8. Jelaskan pengertian kritik pragmatik!
9. Kelompokkan beberapa jenis kritik sastra ke dalam pende-
katan pragmatik!

BAHAN DISKUSI
1. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra ada-
lah hubungan dialektik: mimesis tidak mungkin tanpa

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


58 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran
dan perkaitan antara kedua-duanya dapat berbeda-beda
menurut kebudayaannya, jenis sastranya, zaman, kepriba-
dian pengarang dan sebagainya. Tunjukkan hal tersebut
pada sastra Indonesia pra 1945 dan pasca 1945.
2. Untuk memahami sebuah karya sastra pembaca harus me-
nguasai berbagai sistem kode, baik kode bahasa, kode bu-
daya maupun kode bersastra yang khas. Jelaskan apa yang
dimaksud dengan tiga kode tersebut, beserta contohnya!
3. Buatlah model komunikasi antara teks sastra dan pembaca!
4. Susunlah peta konsep paradigma kritik sastra secara leng-
kap dan utuh mencakup bentuk, jenis, dan koordinat kritik
sastra!

BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
59
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
60 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 3

Penilaian
dalam Kritik Sastra

3.1 TRIKOTOMI PENILAIAN


Seperti telah dibentangkan dalam bab terdahulu kritik
sastra sebagai sebuah studi di dalamnya mengandung empat
unsur yang secara proporsional harus ada, yakni unsur (i) data
(berupa karya sastra tertentu yang dikaji), (ii) kegiatan meng-
analisis, (iii) inference atau kesimpulan, serta (iv) judgment
atau penilaian. Khusus tentang kegiatan penilaian akan dipa-
parkan berikut ini.
Dalam sejarah kesusastraan pernah terjadi pertentangan
paham seni untuk seni (l’art pour l’art) dengan paham seni
untuk masyarakat atau seni bertujuan atau seni bertendensi.
Pertentangan ini bersumber dari perbedaan pandangan tentang
fungsi dan hakikat sastra. Kaum l’art pour l’art mempertahan-
kan bahwa kesenian atau kesusastraan harus murni, jangan
dicampuri unsur nonliterer, misalnya politik, propaganda, ling-
kungan hidup dsb. Sebaliknya, kaum seniman (sastrawan) yang
berpahamkan seni untuk masyarakat atau seni bertujuan meno-
lak penciptaan karya sastra yang hanya bertujuan demi “kein-
dahan.” Suatu karya sastra haruslah memuat isi atau pesan
yang dengan sengaja ditujukan kepada masyarakat (penonton,
pendengar, pembaca). Seni yang tidak ditujukan pada masya-
rakat tidak berharga. Dalam sastra Indonesia pertentangan
paham ini pernah terjadi pada masa Pujangga Baru dan juga
pada masa 60-an.

BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
61
Pada dasarnya ada tiga perspektif penilaian yang penting
dalam kritik sastra, yakni perspektif penilaian (a) relativisme,
(b) absolutisme, dan (c) perspektivisme.
Penilaian relativisme ialah penilaian yang dilakukan ber-
dasarkan konteks tempat dan zaman diterbitkannnya suatu kar-
ya sastra. Asumsi dasar penilaian relativisme adalah karya sastra
yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat
dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah diang-
gap bernilai pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbe-
da. Penilaian relativisme memang mengandaikan transferabiltas
kualitas suatu karya sastra. Kaum relativis berkeyakinan bahwa,
karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada
konteks tempat dan zaman tertentu tidak memerlukan penilaian
lagi (Periksa Pradopo, 1988:59).
Dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipan-
dang memiliki nilai literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat
tersebut tentu saja untuk konteks masyarakat Melayu dan pada
saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan penilaian zaman
sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer
lagi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu
sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin
dianggap tidak bernilai literer sama sekali. Meskipun demikian,
kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si Miskin
haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan
tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan di mana pun
(tempat/lokus). Jadi, penilaian relativisme yang diberberlakukan
pada suatu tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku pula
secara umum di segala tempat dan zaman lain yang berbeda.
Di sisi lain, seperti juga kritik jenis induktif atau induc-
tive criticsm, kritikus memandang karya sastra tertentu terlepas
dari karya sastra yang lain. Suatu karya yang dikaji dianggap
memiliki struktur norma-normanya sendiri. Oleh sebab itu,
penilaian dengan memperbandingkan karya sastra satu dengan
karya sastra lain dihindari. Dinyatakan bahwa nilai suatu karya
sastra sudah melekat atau “built in” pada struktur norma karya

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


62 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
itu sendiri. Demikian pula kaum fenomenologis. Mereka meng-
analisis karya sastra tanpa menghubungkan dengan kriteria
penilaian tertentu. Diyakini oleh kaum fenomenologis bahwa
nilai karya sastra sudah bersatu dengan norma-norma karya
sastra. Dengan demikian, dalam suatu karya sastra tidak usah
diadakan penilaian. Pandangan demikian adalah pandangan
yang relatif (Periksa Pradopo, 1988:60).
Perspektif penilaian yang kedua adalah paham absolutis-
me. Paham penilaian ini menilai karya sastra berdasarkan
paham-paham atau aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, mo-
ral, filosofis, pedagogis atau berdasarkan ukuran-ukuran yang
sifatnya dogmatis. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan
humanis baru, Marxis dan Neo Thomis yang memberikan
penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan ukuran-
ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui
adanya hukum-hukum tertentu, standar-standar (ukuran baku)
tertentu untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra
tertentu. Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus
judisial menggunakan standar penilaian karya-karya Yunani
Klasik serta Sastra Latin terhadap kajian karya sastra tertentu
sehingga sifat penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional.
Cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan penilaian yang
sifatnya mutlak atau absolut (periksa Pradopo, 1988:61).
Di samping itu, juga para kritikus modern yang memakai
hukum-hukum drama klasik sebagai standar penilaian drama-
drama modern (yang baru). Misalnya, Addington yang me-
makai standar drama klasik untuk menilai drama Shakespeare
dan Epic Aeneid untuk menilai “Paradise Lost” ciptaan Milton.
Begitu juga Leo Tolstoy yang memakai standar agama sebagai
penilaian mutlak untuk menilai baik buruknya karya sastra.
Bagi Tolstoy karya seni (sastra) yang baik adalah yang selaras,
yang cocok, yang dekat dengan apa-apa yang diidealkan oleh
agama. Sebaliknya karya seni atau sastra menjadi buruk apabila
menjauhkan orang dari nilai-nilai ideal agama. Padahal, banyak

BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
63
seni atau sastra yang diakui besar tetapi di dalamnya tidak
berhubungan dengan nilai-nilai ideal keagamaan.
Perspektif yang ketiga adalah paham penilaian perspek-
tivisme. Paham ini menilai karya sastra dari berbagai perspektif,
atau sudut pandang, yakni menilai suatu karya sastra pada wak-
tu terbitnya, dan bagaimana nilai karya sastra tersebut untuk
masa-masa berikutnya, bahkan menilai karya sastra tersebut
pada masa sekarang. Anggapan dasarnya bahwa karya sastra
bersifat abadi dan historisis sekaligus. Abadi artinya memelihara
satu ciri atau konvensi, misalnya karya sastra yang terbit pada
masa melayu lama, mestilah karya tersebut menunjukkan ciri-
ciri atau konvensi serta sastra Melayu Lama Historis artinya
karya tersebut telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut
jejaknya, misalnya suatu karya sastra itu telah mengalami (mele-
wati) masa kesusastraan romantik, realisme, dan sebagainya.
Dengan pengertian itu paham perspektivisme mengakui adanya
satu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa,
berkembang, berubah, penuh kemungkinan. Karya sastra itu
strukturnya dinamis melalui penafsirnya sepanjang masa.
Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektivis-
me mengakui adanya pengaruh zaman dan subjek dalam peni-
laian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang
kini dianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu dire-
mehkan. Hamlet karya Shakespeare oleh Voltaire dianggap tu-
lisan seorang yang sedang mabuk, tetapi lima puluh tahun
kemudian Victor Hugo menilai karya Shakespeare itu lebih
tinggi daripada karangan-karangan Racine “dewa” drama Peran-
cis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 peni-
laian yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus.
Perubahan-perubahan dalam penilaian tentu saja berkait-
an dengan perubahan kondisi sosial-historis masyarakat umum
serta perubahan-perubahan pandangan tentang seni sastra itu
sendiri. Aliran romantik menolak soneta-soneta Shakespeare
tersusun dengan cukup berbelit-belit. Juga pada fiksionalitas

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


64 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
sebagai norma sastra, maka karya-karya realistik tidak akan
dinilai tinggi. Kritikus yang menjunjung tinggi kesatuan logis
dalam sebuah karya sastra pasti tidak menghargai tinggi pada
prosa atau puisi yang eksperimental. Ringkasnya, perubahan-
perubahan penilaian terhadap suatu karya tertentu dapat dise-
babkan oleh pengaruh zaman yang berbeda, keyakinan pribadi,
sosial, religius, politik serta ideologi berkesenian.
Akhirnya, dapat dipilih sekarang paham penilaian mana
yang sesuai dengan fungsi dan hakikat sastra. Paham relativisme
yang menilai karya sastra hanya berdasarkan waktu terbitnya
atau “yang sudah tidak menghendaki penilaian karya sastra,”
tentulah tidak dapat diterima bila kita hendak menilai karya
sastra secara objektif berdasarkan metode literer. Demikian juga
paham absolutisme yang menilai karya sastra hanya berdasarkan
paham-paham, aliran-aliran politik, dan pertimbangan-pertim-
bangan di luar karya sastra, tentu tidak dapat diterima karena
tidak menilai menurut hakikat sastra, juga tidak berdasarkan
metode literer. Maka berdasarkan kenyataan tersebut, paham
penilaian perspektivismelah yang cocok untuk dipilih dalam
menilai karya sastra, karena penilaiannya berdasarkan pada
hakikat dan fungsi sastra dengan menggunakan metode literer.

JAWABLAH PERTANYAAN BERIKUT INI!


1. Sebutkan 3 perspektif penilaian dalam kritik sastra!
2. Berikan masing-masing satu contoh kritik sastra yang me-
nerapkan paham penilaian: (a) relativisme, (b) absolutisme,
dan (c) perspektivisme.
3. Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri pengertian paham
penilaian relativisme, absolutisme, dan perspektivisme
dalam kritik sastra!
4. Pilihlah paham penilaian yang relevan atau cocok dengan
hakikat dan fungsi sastra, berikan penalarannya!

BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
65
BAHAN DISKUSI
1. Diskusikan tentang konsep-konsep penerimaan (resepsi),
penafsiran (interpretasi), serta penilaian (evaluasi) dalam
kegiatan kritik sastra!
2. Tunjukkan tahap-tahap penafsiran (interpretasi) dalam sua-
tu teks sastra!
3. Berikan uraian mengenai hakikat dan fungsi sastra!

3.2 KRITERIA DAN SYARAT-SYARAT PENILAIAN


Suatu penilaian selalu menimbulkan dua pertanyaan,
yakni (a) kriteria mana yang dipergunakan kritikus untuk meni-
lai suatu karya sastra, dan (b) alasan-alasan mana yang dapat
digunakan untuk mendukung penilaiannya itu. Persoalan perlu
tidaknya kritik sastra dengan kriteria penilaian pernah mengun-
dang diskusi panjang antara M.S. Hutagalung dengan Arief
Budiman. M.S. Hutagalung berpendapat bahwa dalam suatu
kritik sastra diperlukan adanya ukuran-ukuran, sedangkan
Budiman beranggapan bahwa kritik yang tanpa ukuran dan
prinsiplah yang dapat memahami seni modern (bandingkan
istilah kriteria ini dengan istilah ukuran) tentu dua pandangan
tersebut memiliki unsur kebenaran. Kriteria atau ukuran serta
prinsip penilaian tidak diperlukan apabila justru akan mema-
sung, mengukung serta menjebak kritikus dalam melakukan
proses analisis, dan penarikan kesimpulan atas suatu karya seni
yang berkecondongan longgar atau bebas. Sementara itu perlu
digarisbawahi bahwa kritik sastra tidak hanya berhenti pada
penikmatan, tetapi sangat membutuhkan “judgment, evaluasi,
penilaian. Dalam melakukan penilaian itu amat diperlukan ada-
nya rambu-rambu, atau kriteria penilaian yang dapat diperguna-
kan sebagai pegangan. Tentu saja kriteria serta prinsip-prinsip
penilaian ini bersifat luwes atau fleksibel, sebab sistem nilai
juga sering berubah menurut tempat, zaman serta subjeknya
(ingat paham penilaian perspektivisme).

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


66 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Kritik sastra dengan kriteria, ukuran, serta prinsip peni-
laian yang luwes ini diharapkan dapat mengemban fungsinya
secara baik dan bertanggung jawab. Kritik yang demikian pa-
ling tidak akan mampu menunjukkan nilai-nilai suatu kritik
sastra baik yang tersurat, maupun yang tersirat maupun yang
tersorot, mampu menerangi lorong-lorong gelap sastra, bahkan
mampu meniadakan persoalan-persoalan pelik dan rumit dalam
suatu kritik sastra menjadi cair dan mudah dicerna. Dalam
kenyataannya memang sering suatu karya sastra disambut de-
ngan “tidak ramah”. Ketidakramahan itu barangkali disebabkan
oleh ketidaksanggupan berkomunikasi lewat idiom-idiom yang
digunakannya. Dalam kondisi demikian itu, apabila seorang
kritikus: dengan keluasan pengalaman literernya, keluasan
wawasan pengetahuannya, juga ketajaman intuisinya mampu
menerangjelaskan, membeberkan makna serta nilai terselubung
dalam karya sastra tersebut, bukan tidak mungkin para penik-
mat menjadi hakim, percaya, paham dan akhirnya senang serta
menghargai karenanya.
Penerapan kriteria dalam penilaian sering tidak dikemu-
kakan secara eksplisit, namun kadang-kadang masih dapat dila-
cak kriteria penilaian mana yang dipergunakan. Penilaian terha-
dap suatu karya sastra juga sangat dipengaruhi oleh pandangan
seseorang mengenai fungsi sastra. Fungsi yang berlainan juga
menimbulkan kriteria lain atau bahkan memengaruhi hierarki
kriteria mana yang paling dipentingkan (Luxemburg, 1984:70).
Pertama, kriteria ekspresivitas. Suatu karya sastra dinilai
baik apabila ekspresi pribadi dan emosi pengarang diungkapkan
dalam karya sastra dengan nyata. Diukur dari kriteria intensi
sebuah karya sastra dinyatakan baik apabila intensi (maksud)
pengarang atau penyair diungkapkan dengan baik atau selaras
dengan norma-normanya (ingat kembali tentang norma-norma
sastra). Bila fungsi sastra dipusatkan pada pengungkapan emosi
sebagaimana dilakukan oleh kaum romantikus, maka kriteria
ekspresivitas akan dipentingkan dalam menilai kualitas suatu
karya sastra.

BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
67
Kriteria yang diangkat dari ekspresivitas adalah keaslian
(orisinalitas) dan kejujuran. Yang dimaksud dengan keaslian
di sini ialah suatu penampilan kembali dalam bentuk yang lebih
segar dan menarik dengan suatu pendekatan baru, serta penam-
pakan warna sendiri yang khas dari karya sastra yang dihasil-
kan. Penyair besar Chairil Anwar boleh terpengaruh Marsman,
Slauerhof, Edu Peron atau siapa saja, tetapi dengan daya eks-
presinya Chairil mampu menyuarakan sajak-sajaknya seperti
suara sendiri, dengan jiwa khas Chairil (perhatikan sajak ‘Kra-
wang Bekasi” yang ternyata saduran dari sajak yang berjudul
“The Joung Soldier” karya Sir Achibold Mac Leis). Juga bebe-
rapa sajaknya yang lain.
Masalah kejujuran, merupakan kriteria lain yang dapat
dipergunakan. Kejujuran di sini adalah kesungguhan dan penda-
laman pikiran dalam menyatakan suatu konsep. Kritikus hen-
daknya memperlihatkan kepada pembaca bahwa apa yang di-
tampilkan melalui tokoh-tokoh ceritanya adalah hasil pemi-
kiran yang matang dan tidak berkesan main-main.
Kedua, kriteria mimesis. Kaum mimetikus berkeyakinan
bahwa sebuah karya sastra bernilai baik apabila suatu kenyataan,
misalnya kenyataan sosial, budaya, alam, lingkungan hidup
dsb. dinyatakan atau diungkapkan dengan tepat, lengkap atau
secara unik sehingga memiliki daya pesona. Bila seorang kri-
tikus mengharapkan dari sastra supaya kenyataan diperjelas,
maka kriteria inilah yang dipergunakan atau diutamakan. Pen-
dapat seperti ini pernah dikemukakan Goenawan Moehamad
bahwa tugas sastrawan dan seniman pada umumnya adalah
membuat penghayatan terhadap kehidupan menjadi lebih in-
tens. Dengan kata lain karya sastra atau karya seni yang baik
hendaknya mempunyai intensitas terhadap realitas, bukan
sekadar meletakkan kembali realitas tersebut (Moehamad,
1988:53).
Ketiga, kriteria pragmatis. Baik buruknya karya sastra
ditentukan oleh pemaknaan kritikus selaku pembaca terhadap
karya sastra. Seorang kritikus dapat mempergunakan kriteria

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


68 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
politis, religius atau moral. Misalnya saja sebuah karya dinilai
baik bila karya itu mengambil sikap yang diharapkan oleh kri-
tikus, atau bila karya itu menyoroti situasi-situasi yang dianggap
penting oleh kritikus, sekalipun itu tidak ditekankan oleh pe-
ngarangnya sendiri. Kriteria itu dijunjung tinggi bila fungsi
sastra ditempatkan dalam pendidikan atau emansipasi, ataupun
bila diharapkan agar sastra mengambil sikap yang tegas terhadap
keadaan-keadaan tertentu, melibatkan diri dalam situasi itu
(bandingkan dengan paham sastra terlibat. Rendra pernah
mengkritik para penyair salon yang bersajak tentang anggur
dan rembulan di tengah-tengah jerit kehidupan).
Tercakup dalam kriteria pragmatis ialah kriteria (a) kese-
nangan (pleasure), (b) kemudahan pemahaman (intelligibility),
(c) permasalahannya berada di luar pengetahuan atau penga-
laman pembaca (kritikus) yang disebut novelty, dan (d) famil-
iarity, yaitu permasalahan berada dalam pengetahuan dan pe-
ngalaman sehari-hari pembaca atau kritikus, dan (e) kriteria
emotivitas. Tentang kriteria emotivitas, Goenawan Mohamad
mengatakan, “… Saya sendiri menilai sebuah karya sastra ber-
dasarkan sejauh mana karya itu dapat mengharukan diri saya,
dan merasa suatu karya dinyatakan secara jujur dan setulus-
tulusnya.” Tentu ini harus disertai kemampuan teknis, tetapi
dasar pertama adalah rapport antara pembaca dalam hal ini
rapport antara kritikus dengan pengarang, sekaligus dengan
karyanya. Dalam kondisi demikian relasi antara kritikus dengan
pengarang dan karyanya berlangsung secara dinamis dan ter-
buka.
Keempat, kriteria struktural. Yang dimaksud kriteria
struktur ialah ketika kritikus terfokus memperhatikan: susunan,
keberkaitan, dan kesatuan (atau terpecah-pecahnya unsur)
karya sastra. Kecenderungan untuk mengutamakan kriteria ini
didukung oleh suatu pendekatan terhadap sastra yang menitik-
beratkan pada karya itu sendiri yang lebih mengutamakan “ba-
gaimananya” daripada “apanya.” Jadi, kaum strukturalis men-
dekati dan mengkaji karya sastra secara estetis.

BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
69
Kelima, kriteria tradisi menilai sebuah karya sastra
menurut daya pembaharuan atau justru sebaliknya, sejauh karya
itu setia kepada tradisi dalam hal gaya dan modus. Kriteria ini
ditonjolkan oleh kaum kritikus tradisional yang memusatkan
perhatiannya kepada unsur-unsur literer di dalam sastra. Menu-
rut A. Teeuw salah satu konvensi sastra adalah tegangan antara
kemapanan dan pembaharuan atau inovasi secara terus-mene-
rus. Sejarah sastra mencatat bahwa karya yang baik biasanya
karya yang menyimpang atau mendobrak kemapanan/tradisi
sastra.
Keenam, kriteria paedagogis/pendidikan. Karya sastra
dinilai baik apabila dapat memberikan pengaruh positif terhadap
pembinaan moral dan kepribadian, bahkan diharapkan dapat
meningkatkan kecerdasan pembaca. Keberatan terhadap kriteria
ini seperti dikatakan oleh Marlies K. Danziger dan W. Stacy
Johnson sbb., “… jika masyarakat ingin meninggikan moral
dan intelektualismenya jalan terbaik adalah membaca buku filsa-
fat dan bukan membaca sastra.” Bila kriteria didaktik yang
digunakan maka beberapa karya besar Shakespeare, Antony
and Cleopatra misalnya yang melukiskan perzinaan tentu tidak
dapat menyandang karya besar atau mahakarya.
Ketujuh, kriteria kebenaran. Kriteria kebenaran juga bisa
dipakai untuk penilaian karya sastra. Pertanyaan mengenai
kebenaran sastra tentu saja sulit, sesulit perjuangan Mikhail
Solokov yang baru dapat menyelesaikan novelnya Tanah Pera-
wan Terbalik dalam waktu tiga puluh tahun. Selama tiga puluh
tahun itu pengarang mengalami jatuh bangun untuk mencapai
kebenaran sastra. Lalu apa kebenaran sastra itu? Kebenaran ini
dapat terjadi apabila pengarang dapat melukiskan hakikat hidup
dalam karyanya dengan cara yang sublim, tetapi apa hakikat
hidup dan juga apa arti sublim itu sulit dijawab, bahkan memper-
sulit persoalan untuk menjadi orang yang sangat terhormat.
Sebetulnya ia ingin menjadi tentara, akan tetapi satu-satunya
jalan untuk mencapai kedudukan dengan kembalinya dinasti
Bourbon adalah menjadi pendeta, dia terpaksa menjadi pendeta.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


70 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Demikianlah seterusnya: dia selalu tidak cocok untuk ling-
kungannya, dan karena itu dia selalu dalam proses bertanya
dan menghadapi dilema.
Dalam novel Hemingway The Old Man and The Sea,
pelaut tua sadar bahwa dia menipu dirinya sendiri, sampai akhir-
nya dia tidak tahu siapa dirinya dan apakah dia jujur atau tidak
terhadap dirinya. Demikianlah, hakikat hidup selalu digambar-
kan melalui proses. Dan semua proses tidak mudah. Akan tetapi
kalau kita ingin simplistis, hakikat hidup selalu menyangkut
masalah ketidakberartian, kesengsaraan, kebahagiaan, dan se-
macam itu.
Setelah dibicarakan tujuh kriteria penilaian dalam kritik
sastra, pertanyaan kedua yang perlu dijawab ialah persoalan
syarat-syarat dalam penilaian serta beberan argumentasinya.
Seperti telah dibentangkan terdahulu penilaian terhadap suatu
karya dipengaruhi oleh pandangan seseorang mengenai fungsi
karya sastra. Karena tidak ada kata sepakat mengenai fungsi
sastra maupun mengenai hubungan antara unsur-unsur dalam
karya sastra dan penilaian tentang karya, maka jarang terdapat
kesepakatan dalam evaluasi sekalipun demikian, banyak peni-
laian terhadap karya sastra yang cukup meyakinkan bahkan
sangat meyakinkan. Seorang kritikus yang berhaluan struktural
dengan cukup jelas dapat menunjukkan bahwa sarana bahasa
yang dipergunakan oleh penulis cerita detektif Frederic Dard
dapat Le Bourreau Pleure (Algojo Menangis) lebih bersifat kon-
vensional daripada bahasa yang dipergunakan Patricia High-
smith dalam Edith’s Diary dan bahwa Frederic lebih sering
memakai metafora dan perumpamaan yang usang. Tetapi seo-
rang kritikus yang menganut aliran mimetik ( dan ini sekaligus
dapat dianut oleh kritikus di atas tadi) dapat menambahkan,
bahwa novel Dard yang umum dipuji sebagai suatu karya yang
realistis sering terlampau mudah mengajak pembaca untuk
demikian percaya saja akan peristiwa-peristiwa yang dikisah-
kannya, sedangkan karya Highsmith berani mengkritik keadaan
dalam masyarakat. Bila memperpadukan argumentasi

BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
71
struktural, realistik dan moral, maka ini membantu kita untuk
sementara menilai karya Dard sebagai “sastra picisan”, sedang-
kan tulisan Highsmith dapat dinilai “berbau sastra”. Tetapi
pada dasarnya pembagian ini mengandaikan norma-norma serta
harapan akan jenis-jenis sastra. Mungkin juga sementara orang
justru lebih menyukai suatu dunia impian dengan tokoh-tokoh
yang masing-masing tahu tempatnya.
Akhirnya, dapat disebut beberapa syarat yang seharusnya
dipenuhi oleh sebuah laporan evaluasi atau karya kritik sastra
yang ideal.
(a) Sang kritikus harus menunjukkan, entah dalam kritiknya,
entah dalam suatu uraian umum, fungsi mana yang diha-
rapkan dari sastra dan kriteria penilaian yang dipergunakan.
(b) Kritikus harus menjelaskan kriteria kritik yang digunakan
dengan memberikan contoh-contoh. Kriteria “orisinalitas”
hendaknya diperjelas, misalnya orisinal bila dibandingkan
dengan apa; sebuah penilaian seperti “memikat” harus dito-
lak karena tidak dapat dikontrol.
(c) Kritik harus dapat dibuktikan dengan mengajukan data
dari unit tekstual karya sastra yang dikaji.
(d) Sedapat mungkin hendaknya dipergunakan berbagai kri-
teria yang saling melengkapi. Sebuah penilaian negatif yang
menitikberatkan pada moral, seyogyanya diperkuat dengan
argumentasi struktural, misalnya dengan mengamati
pemakaian bahasanya.
(e) Setiap kritik hendaknya selalu memperhatikan argumentasi
struktural: bentuk karya seni yang disebut sastra itu me-
nuntut agar isi dengan sadar dituangkan ke dalam bentuk
tertentu.
(f) Kritik terhadap karya hendaknya didukung dengan me-
nempatkan karya itu di dalam keseluruhan karya-karya
pengarang yang sama, ataupun di dalam suatu jenis sastra
tertentu aliran tertentu (Luxemburg, 1984:73).

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


72 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Bila sebuah kritik tidak memenuhi syarat-syarat tersebut
maka karya kritik itu masih dapat bernilai dokumenter, yakni
hanya sebagai laporan resepsi. Selain itu, pribadi kritikus dapat
menjamin, bahwa penilaiannya masuk akal dan berdasarkan
argumentasi otoritas atau wibawa, dan dalam kritik sastra hal
yang demikian dihindari (H.B.Jassin diperlakukan sebagai Paus
Sastra Indonesia).

JAWABLAH PERTANYAAN BERIKUT INI!


1. Jelaskan peranan kriteria penilaian dalam studi kritik sas-
tra!
2. Jelaskan kriteria penilaian yang mendasarkan pada kriteria
ekpresitivitas!
3. Jelaskan kriteria penilaian yang mendasarkan pada segi
mimesis karya!
4. Jelaskan kriteria penilaian yang mendasarkan pada argu-
mentasi struktural karya!
5. Jelaskan kriteria penilaian yang didasarkan atas segi prag-
matik (sudut) kepentingan pembaca!
6. Jelaskan syarat-syarat penilaian karya sastra yang ideal!

BAHAN DISKUSI
1. Diskusikan dan tunjukkan contohnya dalam sastra Indo-
nesia konsep tentang: (a) orisinalitas dalam karya, (b) keju-
juran, dan (c) kebenaran sastra.
2. Beberkan contoh-contohnya secara lengkap tentang paham
seni untuk seni dan seni untuk masyarakat.
3. Diskusikan tentang pengertian sastra picisan, sastra popu-
ler dan sastra serius. Lengkapilah dengan bukti dan contoh!
4. Susunlah peta konsep penilaian dalam kritik sastra secara
lengkap dan utuh yang mencakup trikotomi penilaian, kri-
teria dan syarat penilaian dalam sastra!

BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
73
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
74 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 4

Epistemologi
Kritik Sastra

4.1 KRITERIA PENERAPAN TEORI KRITIK


Secara epistemologis, sebuah metode dalam kritik sastra
mestilah diturunkan dari landasan teori kritik tertentu. Sebagai
contoh, analisis bukanlah metode kritik sastra karena dalam
kegiatan analisis belum membayangkan atau mengisyaratkan
latar belakang teori kritik yang digunakan sebagai pijakannya.
Sementara itu, telah diketahui bahwa ada banyak teori sastra
yang bisa dimanfaatkan untuk kritik sastra, termasuk di dalam-
nya berbagai metode kritik sastra. Tetapi, yang terpenting ada-
lah bahwa kritikus haruslah tetap bersikap kritis dengan mem-
pertanyakan syarat-syarat yang paling mendasar dan paling
fundamental bagi perolehan teori yang ilmiah, yakni dengan
penelaahan pada kriteria yang umum yang dirumuskan dalam
metodologi yang umum pula, yang berlaku bagi segala macam
ilmu. Termasuk di dalamnya ilmu sastra.
Enam kriteria teori kritik yang ilmiah ialah sebagai beri-
kut.
(a) Bersifat umum/general: sebuah teori (kritik) haruslah bisa
berlaku pada sejumlah gejala atau fenomena kesastraan
yang relatif banyak dan sanggup menerangkannya, kalau
mungkin malah meramalkannya.
(b) Eksplisit: perumusan teori (kritik) haruslah dapat diuji
semua pertaliannya dengan sejumlah unsur pembangunnya
yang disebut secara eksplisit dalam proposisi-proposisi,

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
75
dengan kata lain teori (kritik) tidaklah begitu saja menye-
rahkan penafsirannya kepada intuisi pemakainya/penggu-
nanya.
(c) Falsifikasi: sebuah teori (kritik) kebenarannya tidaklah
mutlak sehingga dapat dibantah dan ditunjukkan kele-
mahan/kekeliruan atau kesalahannya.
(d) Koherensi: sebuah teori (kritik) haruslah memiliki pernya-
taan yang berkaitan secara logis dan padu, artinya pernya-
taan-pernyataan atau proposisi yang disusun tidak saling
bertentangan.
(e) Bersifat sahaja: artinya teori (kritik) haruslah menguraikan
gejala-gejala kesastraan dengan sesedikit mungkin menggu-
nakan aturan-aturan, unsur-unsur, dan lambang-lambang
yang rumit.
(f) Bersifat empiris: artinya pernyataan atau proposisi dan
teori (kritik) haruslah didasarkan pada kenyataan yang ber-
sifat sensori-indrawi, yang dibatasi secara jelas dan dite-
rangkan secara tepat (Dijk dalam Wardoyo, 1988:24).

Kriteria tersebut dapat digunakan sebagai pegangan


untuk (i) pencapaian pendapat ilmiah, dan (ii) penjaminan per-
nyataan ilmiah tentang sastra. Akan tetapi, jika diamati secara
teliti, kritik sastra dan penelitian sastra dalam perkembangan-
nya (sejak semula) terbentur pada masalah-masalah epistemologi
yang kurang lebih berada di luar kriteria umum tersebut.
Khusus menghadapi fenomena sastra, muncul perta-
nyaan-pertanyaan yang timbul dari hakikat sastra. Pertanyaan-
pertanyaan itu adalah: di antara sekian banyak segi atau dimensi
sastra, (a) manakah sebenarnya objek materia sastra yang hendak
dikaji, sastra sebagai karya kreatif-imajinatif mungkinkah dapat
dikaji secara ilmiah sehingga menghasilkan deskripsi yang rela-
tif objektif, (b) manakah yang sahih (yang valid) sastra didekati
secara internal atau eksternal, misalnya secara lebih jauh cukup-
lah dihasilkan analisis sastra secara formal saja dengan menga-
baikan wawasan yang humanistis terhadap karya sastra yang

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


76 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
dikritik, misalnya wawasan psikologi, sosiologi, dan historis?
(periksa Wardoyo, 1990:2).
Jawab atas pertanyaan tersebut bisa bermacam-macam.
Tidak berbeda dengan kriteria penilaian dalam kritik sastra,
soal metodologi kritik sastra sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain (a) latar belakang teori, (b) pendekatan, (c)
aliran-aliran kritik sastra, misalnya aliran New Criticsm yang
sangat berpengaruh di Amerika Serikat sekitar tahun 1930
hingga tahun 1960-an, (d) perspektif keilmuan kritikus, dan
(e) terlebih lagi persoalan falsafah kritik yang dianut kritikus.
Tulisan ini tidak berpretensi mengupas berbagai latar
belakang tersebut, tetapi sekadar mengarahkan pada kerangka
berpikir bagaimana menyikapi gejala sastra secara ilmiah, yakni
dengan menggunakan: pendekatan mimetik, pendekatan eks-
presif, pendekatan objektif, dan pendekatan pragmatik. Dari
teori pendekatan tersebut diupayakan dijabarkan metode kritik
sastra yang digunakan.

4.2 METODE KRITIK REALISME SOSIALIS


Metode ini bertolak dari pendekatan mimesis bahwa
sastra sebagaimana hasil seni yang lain, merupakan pencerminan
atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakan pemaduan
antara imajinasi pengarang atau hasil imajinasi pengarang yang
bertolak dari kenyataan. Menurut Aristoteles, mimesis lebih
tinggi daripada kenyataan, ia memberikan kebenaran yang lebih
universal.
Pendekatan ini lama sekali memengaruhi kehidupan kritik
sastra di Eropa. Bahkan di Rusia, pendekatan ini menjadi ajaran
resmi (Semi,1985:75). Dalam kritik sastra Indonesia pernah
berkembang kritik sastra Lekra pada permulaan tahun 50-an
sampai tahun 1965-an. Realisme sebagai sebuah paham terikat
pada tiga asumsi, yaitu (1) suatu karya sastra terikat pada dan
ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas sosial, (2) karya

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
77
sastra merupakan lukisan dari dan mengabdi pada suatu kelas
sosial tertentu yang tengah berkuasa dalam masyarakat. Secara
khusus, sastra realisme sosialis melukiskan kelas proletar yang
sedang berjuang dan memihak kepada kepentingan dan per-
juangan kelas proletar tersebut, (3) pelukisan kelas proletar
itu dengan sendirinya adalah suatu penafsiran sejarah dan kema-
syarakatan secara khusus, dengan menggunakan kaca mata
kelas proletar pula sehingga penghidangan sejarah dan kema-
syarakatan tersebut tidak perlu sesuai dengan peristiwa yang
nyata-nyata terjadi, tetapi yang menurut kepentingan kelas pro-
letar ditafsirkan sebagai telah terjadi, yakni yang sebaiknya telah
terjadi, dan seharusnya akan terjadi (Hardjana, 1983:75).
Aliran realisme sosialis, sesuai dengan pandangan Lenin,
aliran ini mengandaikan adanya suatu hubungan dialektik antara
sastra dan kenyataan. Dari satu pihak kenyataan tecermin dalam
sastra sehingga sastra dianggap menyajikan suatu tafsiran ten-
tang berbagai kompleks hubungan di dalam masyarakat atau
realisme, di lain pihak sastra juga memengaruhi kenyataan se-
hingga mempunyai tugas mendampingi partai komunis dalam
perjuangannya membangun suatu masyarakat baru yang lebih
baik (sosialistik). Realisme sosialis menuntut para pengarang
agar melukiskan kenyataan dalam perkembangan revolusioner-
nya, selaras dengan kebenaran dan fakta sejarah. Yang dimaksud
selaras dengan kebenaran adalah yang sesuai dengan semangat
partai, sebab itu karya non-partai yang tidak selaras dengan
semangat partai tidak mungkin menjadi karya seni dalam
pengertian sosialis. Di Indonesia hal itu dianut oleh sastra aliran
Lekra yang menjunjung tinggi panji-panji revolusi dan bersem-
boyankan, “politik sebagai panglima.”
Menurut Pramudya Ananta Tour, “Realisme sosialis ada-
lah mempraktikkan sosialisme di bidang kreasi sastra. Human-
ismenya adalah humanisme proletar sebagai lawan humanisme
Barat atau humanisme universal” (Horison,1982:XVII/246).
Dalam kritik sastra estetika menempati posisi terakhir, kritik
sastra terutama harus melihat ideologi yang dikandung oleh

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


78 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
suatu karya, bukan mutu artistiknya, sebab sastra hanya senjata
politik alat media propaganda.
Lekra memandang bahwa sastra sebagai media propa-
ganda, kebenaran atau ilhamnya telah disediakan oleh ideologi,
maka penamaan sosialis sebenarnya kurang tepat. Sastra Lekra
sebenarnya idealistis, bukan realistis, sebab kehidupan yang
dipancarkannya bukan kehidupan nyata, melainkan apa yang
seharusnya menjadi idealisme menurut komunis. (Bandingkan
kritik sastra Marxis yang didasarkan atas filsafat Marx, khusus-
nya teorinya mengenai materialisme historis dan dialektik).
Menurut Marx susunan masyarakat dalam bidang eko-
nomi yang dinamakan bangunan bawah, menentukan kehidup-
an sosial, politik, intelektual dan kultural yang disebut bangun-
an atas. Sejarah dipandangnya sebagai perkembangan terus-
menerus, daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progre-
sif semuanya menuju pada masyarakat ideal tanpa kelas. Evolusi
itu tidak berjalan dengan halus, tetapi secara tersendat-sendat.
Hubungan-hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas
yang saling bermusuhan, ini yang akhirnya menimbulkan per-
tentangan kelas yang akhirnya dimenangkan oleh kelas terten-
tu. Secara dialektik kelas yang menang akan ditentang oleh
atau melawan kelas yang berkuasa. Menurut doktrin Marx
pertentangan antara kaum borjuis dan proletar secara niscaya
menuju revolusi yang menghancurkan sistem kapitalis. Kaum
proletar yang jaya akan melaksanakan masyarakat tanpa kelas).
Bagi Marx sastra sama dengan gejala-gejala kebudayaan lainnya
yakni mencerminkan hubungan ekonomi; sebuah karya sastra
dapat dimengerti kalau itu dikaitkan dengan hubungan-hubung-
an tersebut ( Luxemburg, 1984:25).
Cara pengembangan sastra Lekra yang nota bene berpa-
ham realisme sosialis. Pertama, memperkuat kesadaran politik,
sebab musuh tidak akan tinggal diam dan akan terus mengisap
rakyat, yakni kaum humanis universal. Kedua, memberikan
pengaruh taktis yang terdiri atas: (a) menentukan garis yang
tepat dan yang salah, antara seni untuk rakyat dan seni untuk

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
79
seni; (b) meluas dan meninggi artinya meluaskan pengetahuan
kepada massa dan meninggikan mutu kreatif dan ideologi; (c)
politik adalah panglima, sebab tanpa politik kebudayaan dan
sastra tidak dapat menentukan haluan yang besar; (d) gerakan
turun ke bawah (turba) pengarang harus mengetahui dan biasa
pada penghidupan rakyat (Horison, 1982:XVII/246).
Bagaimanakah penerapan realisme sosialis itu dalam
karya sastra? Salah satu tema yang menonjol ialah tema anti,
misalnya anti-kolonial, anti-kapital, bahkan anti-muslim atau
anti-agama, karena agama bagi mereka merupakan penghalang
yang tidak kecil peranannya. Sebab itu, tidak kebetulan karya-
karya Utuy Tatang Sontani “Si Kampeng” dan Pramudya “Mi-
dah Si Manis Bergigi Emas”, para kiai dan haji digambarkan
sebagai tokoh penghisap rakyat.
Ilham karya sastra mereka terutama digali dari hasil kun-
jungan ke negeri-negeri sosialis, peristiwa yang menyangkut
buruh dan tani yang kemudian ditarik kepada tema pertentang-
an kelas. Buruh dan tani sedemikian rupa diromantisasi se-
hingga jauh dari kenyataan yang sebenarnya, sebab buruh dan
tani yang digambarkan itu tidak lain personifikasi gagasan to-
koh ideal mereka.
Hal lain yang tampak adalah sifatnya propagandis, seperti
tecermin pada judul-judul yang pretensius dan tendensius.
Misalnya, -bukunya “yang Bertanah Air tapi tak Bertanah Air”
karya S. Anantaguna, juga “Partai dalam Puisi” oleh pengarang
yang sama. Lebih tegas konsepnya tentang “sastra revolusioner”
dinyatakan “Sikap nasionalis, seperti mestinya setiap manipolis
di mana perlu dapat membelakangkan nilai-nilai artistik, apalagi
yang berasal dari alam kontra revolusi. Keperluan sosial-politik
yang harus didahulukan.
Jadi, tepat sekali perumusan Wimsatt dan Brooks (1959)
mengenai masalah realisme sosialis ini. Aliran ini menurut
Wimsatt berhubungan dengan gambaran luas tentang realitas
sosial. Ia harus merupakan dokumen sosial. Pengarang realisme
sosialis tidak berhak menampilkan lirik, hubungan pribadi dan

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


80 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
simbol-simbol rumit yang bersifat pribadi. Berkaitan dengan
sejumlah paham tentang realisme sosialis itu, bagaimana metode
para peneliti terhadap karya sastra?
Hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti
dengan beberapa cara bahkan berbagai cara berikut.
(1) Yang diteliti adalah faktor-faktor di luar teks sendiri, gejala
konteks sastra, teks sastra itu sendiri tidak ditinjau. Faktor-
faktor konteks seperti kedudukan pengarang dalam masya-
rakat, latar belakang biografi pengarang, ajaran serta etika
sosial yang dianutnya, terlebih-lebih soal ideologi politik
yang dianut pengarang, situasi pembaca termasuk juga ja-
ringan penerbitan serta penyebarannya dsb.
(2) Meneliti hubungan antara aspek-aspek sastra dan susunan
masyarakat. Pertanyaan yang selalu diajukan peneliti atau
kritikus ialah sejauh mana sistem masyarakat serta peru-
bahannya tecermin di dalam sastra.
(3) Menentukan tingkat konfirmasi hubungan langsung atau
tidak langsung antara karya sastra sebagai sistem simbol
dengan sistem sosial. Berkaitan dengan pandangan ini
dibedakan tingkat konfirmasi tersebut ialah: (a) sastra sim-
tomatik, jika sekadar melukiskan gejala-gejala sosial tanpa
sikap pada sistem sosial, (b) sastra diagnostik, jika mencoba
merekayasa masyarakat, (c) sastra dialektik, jika mencoba
menganalisis masyarakat dengan penuh perlawanan, lebih
jauh sastra ini mempertentangkan sastra sebagai sistem so-
sial, (d) sastra alternatif, yang mencoba membebaskan sastra
sebagai sistem simbol dari masyarakatnya, sastra yang men-
cari otonomi penuh dan berdiri sebagai sistem tandingan
(Kuntowijoyo, 1987:146).
(4) Menjadikan sastra sebagai sumber untuk menganalisis
masyarakat.
(5) Peneliti tidak hanya menentukan bagaimana pengarang me-
nampilkan jaringan sosial dalam karyanya, melainkan juga
menilai pandangan pengarangnya.

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
81
(6) Akhirnya, dapat dikatakan bahwa penilaian sastra, menu-
rut paham realisme sosialis tidak hanya berdasarkan nor-
ma-norma estetik, melainkan juga norma-norma politik
dan etik.

4.3 METODE KRITIK GANZHEIT


Metode kritik ini bertolak dari pendekatan ekspresif,
yaitu pendekatan yang menitikberatkan perhatian kepada upaya
pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam
karya sastra. Kemampuan pengarang menyampaikan pikiran
yang agung dan emosi yang kuat menjadi dua syarat utama
dari kriteria penilaian karya sastra yang baik/berhasil. Yang
menjadi objek kajian peneliti sastra (baca kritikus) ialah keji-
waan pengarang. Misalnya, esei Budiman tentang Chairil An-
war: Sebuah Pertemuan, sedikit banyak mengandung pende-
katan ini.
Budiman, misalnya tidak membicarakan sajak-sajak Chai-
ril Anwar dari segi bentuk dan isi, tetapi mencoba mendekatinya
secara filosofis. Budiman tidak berbicara tentang indah tidak
indahnya sajak-sajaknya Chairil Anwar sebagaimana terjelma
atau tertuang dalam sajak-sajaknya (Yudiono K.S., 1986:93).
Dalam hal landasan teori yang melatarbelakangi dinyatakan
sbb.:

Saya sendiri sudah tidak percaya lagi kepada konsepsi apa


yang disebut indah dan tidak indah. Sebab itu saya tidak
mau menggunakan kata tersebut, karena kekaburan artinya.
Saya melihat bahwa sebuah karya seni menjadi indah buat
seseorang karena sudah terjadi pertemuan yang otentik an-
tara seseorang dengan dunia yang diungkapkan oleh karya
seni (baca sastra) tersebut. Pertemuan itu bersifat pribadi,
tidak secara massal, sehingga apa yang disebut indah tidak
pernah bisa dirumuskan.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


82 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Seseorang yang menghayati sebuah karya seni (sastra) sebe-
narnya sedang melakukan sebuah pertemuan. Antara kedua-
nya saling terjadi perbauran yang dinamis sifatnya. Dari
perbauran inilah muncul sebuah nilai, nilai Ganzheit yang
terjadi akibat pertemuan subjek dengan objek. Nilai itu
bersifat unik dan tidak akan muncul kalau keduanya saling
terpisah (Budiman, 1986:8).

Secara lebih terperinci prinsip-prinsip kritik Ganzheit


adalah sbb.
(1) Seseorang yang menghayati karya seni sebenarnya sedang
melakukan pertemuan. Suatu partisipasi aktif dari kritikus
terhadap karya seni yang dihadapinya. Mula-mula tanpa
konsepsi apriori apa pun, sang kritikus membiarkan karya
seninya secara merdeka berbicara sendiri. Kemudian terjadi-
lah sebuah dialog, sebuah pertemuan sebuah interferensi
dinamis antara kedua subjek yang hidup dan merdeka itu.
(2) Memperlakukan karya seni (sastra) sama majemuknya de-
ngan kritikus sendiri. Itulah sebabnya karya seni tidak se-
mata-mata sebagai objek tetapi subjek. Dua unsur yang
berperanan dalam proses pertemuan itu ialah, kritikus
sebagai manusia penghayat yang memiliki segala macam
pengalaman pribadi dan latar belakang kebudayaannya yang
unik, di sisi lain karya seni (sastra) yang dihayati itu yang
merupakan hasil tanggapan si seniman penciptanya terha-
dap sesuatu, dia juga penuh dengan pengalaman-penga-
laman subjektif si pencipta. Bahkan memancarkan gam-
baran dunia atau “weltanschaung” si penyair.
(3) Nilai baru yang lahir akibat pertemuan, perbauran, inter-
ferensi dinamis kedua unsur di atas bersifat unik, karena
dia merupakan suatu perbauran yang dinamis dari dua
unsur yang setaraf. Dengan kata lain, nilai itu bukanlah
semata-mata subjektif dalam arti si subjek memaksakan
diri pada objeknya, juga tidak objektif sebab si subjek tidak
bersikap pasif dan hanya menerima nilai-nilai yang dipaksa-

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
83
kan oleh si objek (karena ini tidak mungkin). Nilai adalah
nilai bersama, nilai subjek di dalam objek, nilai objek di
dalam subjek.
(4) Proses refleksi dan analisis terjadi kemudian. Di sini ele-
men-elemen menjadi “terang dan jelas” dalam hubungan-
nya dengan penyatuan keseluruhan tersebut. Elemen yang
tadinya tanpa kaku-beku, setelah terjadi sebuah interferensi
dinamis, seakan-akan mencair dan menjadi hidup kembali
penuh warna-warni. Pada saat itu sang kritikus menuliskan
pengalaman-pengalamannya, maka lahirlah sebuah kritik
seni (sastra) sebagai hasil percintaan atau persengketaan
antara kritikus dan karya seni (sastra).
(5) Proses reflektif serta ungkapan pengalaman sebagai hasil
pertemuan, interferensi dinamis bersifat tentatif/hanya ter-
jadi suatu waktu. Pertemuan yang lain oleh orang-orang
lain terhadap sajak-sajak yang sama, tentu akan melahirkan
pengamatan yang lain atau berbeda pula. Dan ini sah, sa-
ngat diperlukan.
(6) Yang paling penting dalam kritik Ganzheit bukanlah benar
atau tidaknya pengamatan kritikus terhadap karya-karya
sastra, melainkan intens atau tidaknya penghayatan itu,
bukan keseragaman yang dicari, tetapi keauntetikan penga-
laman masing-masing (Budiman, 1976:9).

Penerapan kritik Ganzheit tampak dalam kritik yang di-


buat oleh Arief Budiman, Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan
(1976). Dalam buku itu Arief secara eksplisit menyatakan bah-
wa metode kritik yang digunakannya ialah metode sequence
analysis. Dalam psikologi, ternyata bahwa urutan munculnya
jawaban pada suatu pemeriksaan psikologis, juga punya arti
yang sangat penting. Karena itu dalam sequence analysis, keu-
tuhan urutan munculnya sajak-sajak dijadikan faktor yang pen-
ting. Dengan demikian tampak bahwa sajak Chairil Anwar di-
pandang serentetan proses psikologis Chairil, dan urutan pen-
ciptaan sajak-sajak itu mencerminkan atau membayangkan per-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


84 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
kembangan pemikiran, gagasan, pengalaman, dan riwayat
hidup Chairil Anwar. Dengan metode ini maka sajak Nisan
yang dianggap sebagai sajak Chairil Anwar yang pertama, me-
miliki kedudukan khas bahkan istimewa dalam telaah Arief
Budiman. Hal itu sangat jelas dalam tulisan Arief Budiman
berikut ini.

Barangkali, bukan suatu kebetulan, bila sajak pertama yang


ditulis Chairil Anwar berjudul Nisan. Ketika itu ia berumur
dua puluh tahun. Dia menghadapi neneknya yang mening-
gal. Tampaknya sang nenek begitu “ridla menerima segala
tiba”, begitu tenang atau lebih tepat lagi barangkali tidak
berdaya. Sementara sang nasib, begitu dingin tanpa kasihan,
perlahan-lahan menyeret umur si nenek.

Bagi seorang pemuda umur dua puluh tahun, yang sedang


lahap-lahapnya menghirup kehidupan, kenyataan ini ternya-
ta cukup membuat dia tertegun. “Bukan kematian benar
yang menusuk kalbu”, katanya. Kematian adalah sesuatu
yang pasti harus dihadapi oleh setiap manusia. Sehingga
dia menjadi rutin, sehingga ia kurang dihayati lagi, tidak
dikenal secara pribadi. Kematian menjadi sesuatu yang abs-
trak, sampai dia secara pribadi datang mendekat kepada
kita. Langsung kepada kita atau langsung kepada orang yang
sangat dekat kepada kita (Budiman,1976:11).

Beberapa sajak yang dipandang penting dan dijadikan


bahan pembicaraan Arief Budiman ialah: “Penghidupan”, “Di-
ponegoro”, “Tak Sepadan”, “Sia-sia”, “Ajakan”, “Sendiri”,
“Pelarian”, “Suatu Malam”, “Semangat”, “Hukum”, “Mereka”,
“Yang Terhempas”, “Yang Putus”, “Lagu Orang Usiran”, “Di
Mesjid”, “Doa”, “Sajak Putih”, dan “Sorga.”
Berdasarkan urutan penulisannya, dan didasarkan pada
anggapan bahwa sajak-sajak tersebut mencerminkan penga-
laman dunia batin Chairil Anwar, seorang penyair Indonesia
yang meninggal pada usia 27 tahun.

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
85
4.4 METODE PENGUDARAN NASKAH ATAU EXPLI-
CATION DE TEXTE
Ditinjau dari prinsip-prinsip kerjanya, metode pengu-
daran naskah bertolak dari pendekatan objektif, yaitu yang
memusatkan kajiannya pada karya sastra itu sendiri, terlepas
dari niat pengarang serta pengaruhnya bagi pembaca. Dalam
hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan
makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai
alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan me-
nelaah karya sastra dari segi intrinsiknya. Pendekatan ini meng-
hasilkan metode strukturalistik dalam kritik sastra. Di Indo-
nesia metode kritik tersebut pernah dilakukan oleh kelompok
Rawamangun sehingga dikenal kritik sastra aliran Rawama-
ngun.
Secara harfiah explication de texte berarti pengudaran
naskah karya. Oleh karena itu jelaslah bahwa dengan metode
ini seorang pembaca (baca kritikus) langsung berdialog dari
hati ke hati dengan karya sastra yang dihadapinya tanpa peran-
tara siapa pun. Ruang lingkupnya meliputi tiga hal yang secara
hakiki berkenaan dengan sebuah karya, yakni (1) pengarang:
bagaimana hubungan karya ini dengan karya-karyanya yang
lain, dengan hidup pengarang sendiri, dan dengan zaman kehi-
dupan pengarang itu, (2) pengamatan yang teliti dan terperinci
tentang naskah karya: bentuk susunan karya ini, gagasan atau
pemikiran pokoknya, dan pandangan dan penjelasan tentang
persoalan-persoalan bahasa yang dipergunakan, sindiran-sin-
diran, gambaran-gambaran, luapan hati, teknik penulisan dsb.,
(3) pengelompokan dan penggabungan pengamatan-penga-
matan secara terperinci lengkap dengan penafsirannya (Har-
djana,1983:52). Di sini perlu dicatat bahwa pengertian pan-
dangan yang analitis dan sintesis atau penggabungan berbagai
penafsiran tidaklah terpisah satu sama lain. Keduanya dapat
dikatakan saling mengisi dan saling melengkapi.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


86 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Sebagai sebuah metode kritik, explication de texte mem-
persyaratkan seorang kritikus yang memiliki daya tangkap yang
tajam lagi peka, serta rasa simpati yang mendalam. Daya tangkap
yang tajam lagi peka dengan sendirinya memerlukan pengertian,
kecermatan mencernakan, dan penentuan makna. Rasa simpati
yang mendalam memerlukan kemampuan untuk menerobos
sampai ke jantung hati pengarang/penyair. Sebagai seorang
peneliti (baca kritikus) dia akan terus mencari mengapa penga-
rang itu mempergunakan pengungkapan sedemikian untuk ga-
gasan atau ajaran ini atau luapan hati, mengapa pengarang me-
milih kata-kata dan ungkapan-ungkapan ini, mengapa ia mem-
pergunakan gambaran-gambaran ini dan ritme-ritme ini (jika
untuk menelaah puisi).
Tujuan metode kritik ini adalah untuk menemukan seka-
lian makna (intelektual, emosional, imajinatif, formal dsb.) yang
tersembunyi di dalam karya sastra, atau memang dengan sengaja
disamarkan oleh pengarangnya di dalam karya. Bagian terpen-
ting dari metode pengudaran naskah karya ialah pandangan
tentang struktur karya sastra sebagai suatu keseluruhan organ-
isme yang utuh dengan jalinan-jalinan yang rumit dan jamak.
Secara ringkas metode pengudaran naskah dapat dibagi menjadi
dua tingkatan. Pertama, tingkat analisis dan pandangan, dan
tingkat kedua, tingkatan sintesis dan penafsiran.

TINGKAT ANALISIS DAN PANDANGAN


A. Tentang Penulis Karya
(1) Mengumpulkan keterangan-keterangan tentang zaman dan
lingkungan karya (kalau perlu diperhatikan pula jarak
penulisan dan tahun penerbitan pertama).
(2) Mencari kemungkinan adanya hubungan antara karya
dengan sifat-sifat dan persoalan-persoalan zaman pada
umumnya. Di sini harus ditanyakan dengan apakah karya
itu bersifat konvensional atau pembaharuan. Adakah

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
87
sumber inspirasi atau pola-pola lama yang memengaruhi
karya itu?
(3) Mencari tempat dan hubungan antara karya tersebut de-
ngan karya-karyanya yang lain, baik yang ditulis sebelum
ataupun sesudahnya.
(4) Mencari apakah maksud pengarang yang hendak dikemu-
kakan dalam karya ini.

B. Tentang Karya Sastra secara Keseluruhan


(1) Mempelajari susunan dan jalinan dalam karya dan mem-
buat suatu gambaran yang jelas dan teliti. Kiranya ada man-
faat juga apabila dibuat suatu singkatan dari susunan isi
karya tersebut.
(2) Memeras gagasan pokok atau garis besar pemikiran dalam
karya itu menjadi satu kalimat yang padat dan sederhana.
(3) Membuat daftar kata dan ungkapan-ungkapan yang men-
jadi kunci dalam karya. Periksa juga perubahan atau pengga-
bungan arti kata atau ungkapan-ungkapan tersebut.
(4) Membuat catatan khususnya tentang perkembangan umum
dari pemikiran dalam karya itu.
(5) Menganalisis cara mengemukakan dan mengembangkan
pendapat, baik yang tersamar maupun yang jelas dan te-
rang-terangan. Apakah jalan pemikirannya runtut, meleset,
atau melambung tinggi? Apakah bukti dan penjelasannya
cukup memadai?

C. Tentang Bagian-Bagian Karya Sastra


(1) Membagi karya itu menjadi beberapa bagian baku/pokok.
(2) Mencari dan menentukan gagasan pokok dari setiap ba-
gian.
(3) Mencari dan mencatat bagaimana masing-masing bagian
itu berhubungan dengan karya secara keseluruhan (ban-
dingkan dengan teknik analisis-sintesis).

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


88 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
D. Tingkat Pemikiran Karya (sebagai tambahan dan
pelengkap bagian B dan C di atas).
(1) Apakah pengungkapan poetik dalam karya itu memperkuat
kesan akan kesetiaannya pada kebenaran? Atau, dengan
kata lain, apakah kekuatan musik, luapan rasa hati, daya
khayal yang dipergunakan dalam karya itu cukup cemer-
lang dan mengena secara tepat atas gagasan yang dikan-
dungnya?
(2) Apakah faedah dan makna karya itu bersumber pada peng-
ungkapan luapan rasa hati pribadinya, kebenaran, atau
pemikiran di balik luapan rasa hati itu?
(3) Andaipun karya itu sebuah lirik perasaan daripada pemi-
kiran, apakah sesuatu pemikiran yang terkandung cukup
jelas atau kabur? Apakah sesuatu pemikiran itu terlalu
kabur, terlalu metode mendalam, terlampau dikhususkan
pada kelompok tertentu? Apakah sesuatu pemikiran itu
sudah basi, atau segar, baru, mengagumkan, meragukan,
atau meyakinkan?
(4) Apakah di dalam karyanya pengarang memandang dan
menggauli dunia secara romantis, realistis, atau penuh
idealisme?

E. Tingkat Luapan Rasa Hati dalam Karya Sastra


(1) Gerakan yang luapan rasa hati atau rasa-rasa hati mana
yang merupakan unsur pokok? Adakah suatu luapan rasa
hati yang pokok dengan alunan nada yang meninggi dan
merendah? Atau, adakah campuran ataupun pertentangan
di antara luapan rasa-rasa hati itu?
(2) Apakah luapan rasa hati itu menimbulkan efek yang ber-
aneka ragam? Ataukah sempit dan mendatar saja?
(3) Apakah efek luapan rasa hati itu cukup mencekam ataukah
kendur, membosankan, prosais, dan lembek belaka?
(4) Apakah luapan rasa hati dalam karya sastra itu memiliki
dasar dan musabab yang kuat? Apakah karya sastra tersebut

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
89
bernada cengeng karena sentimentalisme, ataukah justru
dingin membatu?
(5) Apakah efek luapan rasa hati itu bersumber pada pembaha-
ruan yang segar, baik dalam hal pemikiran maupun peng-
ungkapannya? Ataukah bersumber pada gerakan tengah
populer di zamannya? Lagi, ataukah semata-mata bersum-
ber pada keseharian yang jujur ataukah dibuat-buat?
(6) Apakah luapan rasa hati pengarang itu murni ataukah ber-
pura-pura?
(7) Apakah luapan rasa hati itu penuh gairah hidup dan kuat
ataukah lembek dan merana?
(8) Apakah luapan rasa hati itu dikekang ataukah dilebih-lebih-
kan?
(9) Apakah luapan rasa hati itu sederhana, rumit, ataukah cam-
pur-baur?
(10)Apakah luapan rasa hati itu sama sekali bersifat perorangan
ataukah pada dasarnya bersifat universal?
(11)Apakah per se (sic.) menimbulkan rasa nyeri atau menye-
dihkan (misalnya, penuh nafsu, keji, rindu kepayang, di-
himbau kesangsian dan sejenisnya) ataukah sudah disalut
dengan unsur-unsur tragis atau bentuk-bentuk kesenian
lain (misalnya, penderitaan ataupun kejahatan dalam dra-
ma-drama klasik Yunani, karya-karya Shakespeare, atau
bahkan sajak-sajak Amir Hamzah, Chairil Anwar, W.S. Ren-
dra, atau Sapardi Djoko Damono?).

F. Tingkat Imajinasi Karya Sastra


(1) Adakah gambaran atau sejumlah gambaran yang baku da-
lam karya sastra itu? Mengapa?
(2) Apakah pengarang mempergunakan satu jenis gambaran
tertentu? Ataukah pengarang memperjelas dan menjernih-
kan pemikiran dan luapan rasa hatinya lewat serangkaian
gambaran?

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


90 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
(3) Apakah gambaran-gambaran itu tumbuh dari pemikiran
ataukah merupakan perenungan, sekadar hiasan belaka
bagi karya itu?
(4) Apakah hubungan antara gambaran-gambaran itu dengan
luapan rasa hati pengarang? Apakah pengarang menghi-
dangkan pada imajinasi kita apa yang telah membangkitkan
luapan rasa hatinya sendiri?
(5) Apakah gambaran-gambaran itu mencerminkan tempera-
men dan nada jiwa pengarangnya? Ataukah dihidangkan
saja secara objektif sebagaimana adanya?
(6) Apakah luapan rasa hati atau pemikiran merupakan unsur
yang baku dalam pembentukan gambaran-gambaran itu?
(7) Apakah persamaan-persamaan hanya bersifat pokok de-
ngan gambaran-gambaran luar serta kebetulan atau gam-
baran-gambaran dalam dan asasi?
(8) Apakah kejadian atau tokoh dalam karya sastra itu dilukis-
kan dengan gambaran secara panjang lebar meskipun se-
benarnya tidak perlu (tidak begitu diperlukan) karena tidak
ada sangkut pautnya? Ataukah dilukiskan hanya gambaran-
gambaran yang bersifat umum saja dan gambaran-gambaran
itu realistis ataukah idealistis adanya?
(9) Apakah gambaran-gambaran itu dicari-cari dan terlalu jauh
jangkauannya? Ataukah gambaran-gambaran itu asli, kuat
dan meyakinkan?
(10)Apakah gambaran-gambaran itu masih tergolong romantik
atau berlebihan?
(11)Sejauh mana efek yang ditimbulkan oleh kata-kata sifat
yang dimaksud untuk melukiskan itu?
(12)Aspek-aspek pengungkapan mana saja yang perlu dibicara-
kan dengan teliti?

G. Teknik Karya Sastra


(1) Kalau karya itu berupa sajak/puisi, pola metrik apa yang
dipergunakan?

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
91
(2) Apakah ada pelanggaran-pelanggaran yang disengaja untuk
memperjelas makna? Apakah perubahan-perubahan itu me-
nandakan adanya kelemahan ataukah justru menunjukkan
kekuatan penyairnya?
(3) Apakah tanda-tanda jeda mengikuti satu pola tertentu saja
ataukah penuh keragaman?
(4) Apa yang ditimbulkan oleh pola suara? Dan bagaimana
polanya?
(5) Apakah penggunaan kata-kata sebagai pengungkapan se-
derhana, lumrah, padat, keras, luhur, lembek, kuat, segar,
kuno, gelap, berlebihan, kaku, tegang, penuh semangat
jiwa, halus cemerlang? Buatlah perbedaan-perbedaan di
mana perlu!
(6) Semua kata bersayap yang memerlukan penafsiran dan
pembeberan hendaknya dibicarakan dengan cermat!
(7) Seandainya kalimat-kalimat itu disusun mengikuti pera-
turan tata bahasa bagaimana bunyinya? Dan di mana perbe-
daan kekuatannya?
(8) Apakah ungkapan-ungkapan yang sifatnya serba singkat
ini masih sanggup menjadi getaran luapan rasa hati penya-
irnya?
(9) Apakah karya ini merupakan sebuah sajak yang lengkap?
Apakah merupakan satu kesatuan yang bukan dalam hal
pengungkapan? Ataukah ada ketidaksesuaian dengan pera-
saan? Apakah penyair berhasil menguntaikan perasaan-
perasaan yang tampaknya tercerai-berai menjadi satu keu-
tuhan yang bulat dalam karya itu?
(10)Sejauh mana sindiran, ironi, atau paradoks memengaruhi
atau membentuk seluruh nada atau sikap pendirian dalam
karya ini?
(11)Apakah penyair mendramatisasi tema karyanya dengan
menghidangkan data-data secara konkret, langsung dan
aktif?

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


92 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
(12)Ungkapan-ungkapan menipu (allusion) yang tidak jelas arti
dan maknanya di dalam karya ini perlu dibicarakan secara
jelas!

H. Hasil Analisis: Data Khusus dan Data Umum


(1) Data khusus: semua pertanda dan petunjuk-petunjuk ten-
tang maksud pengarang, sikap, pendirian, gagasan, gam-
baran, luapan hati, pandangan, pencapaian dsb.
(2) Data umum: pengertian lengkap dan penghargaan terha-
dap temperamen, watak, personalitas, dan individualitas
(yakni dengan menghubungkan penelitian atas karya-karya
sebelumnya dengan karya pengarang yang kini ditelitinya.

TINGKAT SINTESIS DAN INTERPRETASI


Bagian ini memberikan keleluasaan dan kesempatan bagi
setiap peneliti (baca kritikus) sastra untuk mengemukakan pan-
dangan dan pendapatnya yang seasli-aslinya maupun sebaru-
barunya.
(1) Perlu ditekankan pengertian sintesis, sebagai lawan dari
analisis, dari semua data, baik khusus maupun yang umum.
(2) Mengemukakan pandangan dan pendapat atas karya sastra
tertentu sebagai satu kebulatan organis yang menemukan
adanya pemikiran, luapan rasa hati, dan lain-lain.
(3) Memandang karya sastra sebagai suatu ciptaan manusia
yang telah mencurahkan hidup, pikiran, perasaan, seni,
dsb. Di sini perlu diingat bahwa peneliti (kritikus) hendak-
nya tidak terjebak untuk mencurahkan tenaga dan jerih
payahnya untuk melukiskan pengarangnya secara panjang
lebar. Gambaran ini hendaknya dipakai sekadar dapat men-
jelaskan arti dan makna karya sastra yang dijadikan objek
kajiannya. Oleh karena itu, hendaknya bukan pengarang
yang dijadikan pusat penelitian/kajian tetapi karya sastra
sehingga pribadi pengarang hanya tecermin dalam karya-
nya.

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
93
(4) Mencatat dan mengemukakan aspek-aspek karena yang
kemungkinan besar akan lolos dari pengamatan peneliti
(kritikus) apabila bukan metode pengudaran naskah karya
ini yang dipergunakan. Hendaknya oleh peneliti ditunjuk-
kan secara tegas bagian-bagian karya yang memiliki arti
dan makna yang disebut abadi. Demikianlah uraian terinci
tentang langkah-langkah atau prosedur metode pengu-
daran naskah. Secara prinsipial metode ini mengarahkan
bahwa makna atau nilai karya sastra terletak pada karya
itu sendiri, sebab itu kecermatan, ketelitian, ketekunan,
kepekaan serta ketajaman pikir dari para peneliti atau para
kritikus amat diperlukan. Hal ini penting karena bukan
tidak mungkin tanpa terpenuhinya syarat-syarat itu, kajian/
telaah yang dilakukan menjadi spekulasi bahkan menyesat-
kan. (Perhatikan adanya bahaya sesatan genetic; the ge-
netic fallcy dalam kritik sastra; bahwa nilai dan makna
karya sastra bebas dan tidak tergantung pada proses pencip-
taan maupun penciptanya sendiri).

4.5 METODE KRITIK SASTRA ALIRAN RAWAMANGUN


Istilah metode Kritik Aliran Rawamangun atau Kritik
Rawamangun selalu dikaitkan dengan kampus Rawamangun,
tempat gagasan itu berasal. Kelompok sarjana sastra UI yang
dimotori antara lain oleh Saad, Ali, Effendi, dan Hutagulung
memperkenalkan metode analitik dalam kritik sastra, bersa-
maan dengan itu pula dipekenalkan pendekatan struktural
dalam karya sastra. Secara lengkap Saad (1967:114) menerang-
kan pengertian analisa (baca analisis) sbb.:

Analisis dimaksudkan untuk dapat memahami struktur


sedalam-dalamnya, tidak untuk merusak barang yang sudah
jadi. Analisis bukanlah pembedahan kejam dan tak berguna
ataupun perkosaan terhadap cipta sastra itu. Dari analisis
kita mengerti bagaimana susunan tiap-tiap bagian, pengaruh

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


94 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
apa yang tampak. Peneliti tidak usah takut dicibirkan sebagai
sarjana atau peneliti yang tidak punya cita rasa seni. Kerja
penelitian bukanlah sekadar interese saja. Karena antara
interese dan penilaian ada jarak yang harus ditempuh. Jarak
yang ditempuh ini berisi kaidah, kriterium (baca kriteria) dan
perbandingan.

Metode analisis dalam rangka memahami cerita rekaan,


puisi, dan drama disebut-sebut juga oleh Effendi. Tetapi istilah
metode diperkenalkan bersamaan dengan istilah pendekatan
struktural, dengan pengertian suatu pendekatan sastra yang
menekankan pada pemahaman terhadap struktur suatu ciptaan
(karya sastra) pada masa tertentu (Effendi,1967:153—154).
Dari berbagai prasaran yang diberikan oleh tokoh-tokoh
kampus Rawamangun tidak ditemukan istilah metode struk-
tural dalam kritik sastra, meskipun Hutagulung (1975:16—
19) menerangkan bahwa kritik sastra Rawamangun menerap-
kan strukturalisme. Sebab itu kita runut dahulu apa yang di-
maksud dengan metode struktural dan strukturalisme itu.
Metode struktural, populer di kalangan sarjana sastra
Indonesia sejak berlangsungnya Penataran Sastra I di Tugu,
Bogor, 7 September s.d. 5 November 1978 kemudian metode
struktural disebut-sebut secara eksplisit dalam beberapa kertas
kerja untuk Penataran Sastra III di tempat yang sama, 2-6
Oktober 1979.
Esten dalam kertas kerjanya yang berjudul “Beberapa
Catatan dari Kerja Penelitian (1979:5) menyatakan metode
struktural bertolak dari dasar pemikiran bahwa setiap karya
sastra memiliki struktur, dan struktur itulah yang membedakan
apakah suatu karya merupakan karya sastra atau bukan. Pema-
haman terhadap unsur-unsur struktur dan bagaimana hubungan
antara masing-masing unsur struktur berarti pemahaman
terhadap karya sastra itu sendiri.
Selanjutnya Zaimar dalam kertas kerja berjudul Penga-
laman Penerapan Beberapa Teori Metode Struktural (1979:3)

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
95
menyatakan bahwa metode struktural adalah suatu metode
yang menyelidiki makna karya sastra dengan mempelajari
unsur-unsur strukturnya dan hubungannya satu sama lain.
Baru setelah makna dipahami, dapat dibuat berbagai interpre-
tasi. Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip Becker
(1978:3—4) yang mengatakan bahwa strukturalisme memberi-
kan suatu cara berdisiplin untuk memulai dengan konteks da-
lam suatu karya sastra sebagai langkah pertama, dan hanya
sesudah analisis struktural itu kita bisa melangkah ke luar teks,
ke dunia alamiah atau dunia sosial-budaya yang merupakan
konteks yang lebih luas.
Sementara itu Prihatmi dalam kertas kerjanya yang berju-
dul “Beberapa Masalah dan Penelitian Kumpulan Cerpen “God-
lob” karya Danarto (1979:2) menyebut pemakaian metode
struktural karena penelitiannya memusatkan perhatian pada
salah satu unsur struktur dan kaitannya dengan unsur struktur
yang lain, bahkan ada pula yang menyangkut penilaian. Pri-
hatmi mengemukakan pandangannya mengenai strukturalisme
sbb.

Seperti juga strukturalisme dalam ilmu bahasa yang mene-


kankan aspek struktur, memandang bahasa sebagai sistem,
suatu kebulatan di mana unsur-unsur, baru dapat dipahami
dalam hubungannya dengan keseluruhan (Teeuw, 1978:10),
strukturalisme dalam sastra menekankan aspek struktur dan
menganggap karya sastra sebagai sistem; unified whole
(Teeuw, 1978:11). Dengan kata lain strukturalisme ialah
bentuk atau ilmu kondisi karya tersebut (Culler, 1975:118).
Meskipun demikian penelitian struktural tidak harus ber-
gerak kepada masing-masing unsur dengan sama rata, sebab
hal yang demikian sudah merupakan kegiatan rutin bagi
penelitian di Indonesia

Demikianlah, kalau diamati dengan cermat berbagai


pandangan tentang metode struktural dalam penelitian sastra
serta pandangan mengenai strukturalisme, semuanya bertumpu

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


96 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
pada tulisan-tulisan Teeuw dan Becker serta Damono. Pertama,
menurut Teeuw (1978:9—10) bahwa metode struktural yang
dikembangkan sejak pertengahan abad XX merupakan reaksi
terhadap studi sastra abad XIX yang (sejalan dengan studi
bahasa) bersifat historis-komparatif. Metode struktural lahir
dari strukturalisme yang merupakan reaksi terhadap eksisten-
sialiame sebagai aliran filsafat setelah usai Perang Dunia II,
terutama di Perancis. Strukturalisme yang berkembang di Pe-
rancis dari Amerika Serikat, melalui pertemuan ilmiah ahli
bahasa Roman Jacobson dan ahli Antropologi Claude Levi
Strauss. Dan sejak tahun 1965 telah melahirkan beberapa aliran
atau pendekatan, yaitu: (1) deskripsi teks berdasarkan analisis
bahasa Jacobson, (2) kritik sastra Roland Barthes, dan (3)
naratologi.
Dari tulisan Becker (1978:3—4) diperoleh gambaran
bahwa strukturalisme mengemukakan hubungan bagian dengan
bagian, dan hubungan bagian dengan keseluruhan dalam hie-
rarki linguistik suatu teks, dengan maksud untuk mengetahui
pola umum hubungan-hubungan tersebut. Di luar strukturalis-
me terdapat jenis-jenis hubungan antara pengarang dengan cip-
taannya, antara suatu teks dengan teks yang lain, antara teks
dengan dunia alamiah atau dunia sosial dan budaya yang dicer-
minkan maupun yang ditimbulkan oleh teks itu. Makna sebuah
teks ada hubungannya dengan konteksnya. Strukturalisme
memberikan suatu cara berdisiplin untuk memulai dengan
konteks dalam suatu karya sebagai langkah pertama, dan hanya
sesudah analisis struktural itulah, kita bisa melangkah ke luar
dari teks menuju dunia alamiah atau dunia sosial-budaya yang
merupakan konteks lebih laus (Yudiono:55).
Sebagai suatu metode, strukturalisme memiliki beberapa
ciri. Ciri yang paling utama adalah perhatiannya terhadap keu-
tuhan, terhadap totalitas. Kaum strukturalis percaya bahwa
totalitas lebih penting dari bagian-bagiannya. Totalitas dan ba-
gian-bagiannya dapat dijelaskan sebaik-baiknya hanya apabila
dipandang dari segi hubungan-hubungan yang ada antara

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
97
bagian-bagian totalitas itu. Jadi, yang menjadi dasar telaah
strukturalisme bukanlah bagian-bagian totalitas itu, tetapi jalin-
an hubungan yang ada antara bagian-bagian itu, yang menjadi-
kannya totalitas.
Ciri yang kedua, strukturalisme tidak menelaah struktur
pada permukaannya, tetapi struktur yang ada di bawah atau di
balik kenyataan empiris. Kaum strukturalis berpandangan bah-
wa yang terlihat dan terdengar, misalnya, bukanlah struktur
yang sebenarnya, tetapi hanya merupakan hasil atau bukti ada-
nya struktur.
Yang ketiga, analisis yang dilakukan oleh kaum struk-
turalis menyangkut struktur yang sinkronis, dan bukan diakro-
nis. Perhatiannya dipusatkan pada hubungan-hubungan yang
ada pada suatu saat, pada suatu waktu, dan bukan pada perja-
lanan waktu. Struktur sinkronis tidak dibentuk oleh atau diten-
tukan oleh proses historis, ia ditentukan oleh jaringan hu-
bungan struktural yang ada.
Ciri yang keempat, strukturalisme adalah metode
pendekatan antikausal. Dalam analisis kaum strukturalisme ini,
pengertian sebab akibat sama sekali tidak dipergunakan.
Mereka tidak percaya adanya hukum sebab akibat, mereka
hanya meyakini hukum perubahan bentuk (Damono, 1978:39).
Kalau diamati, sebenarnya keempat ciri itu bukanlah hal
baru dalam metode-metode yang ada sebelumnya, tetapi biasa-
nya diterapkan secara terpisah-pisah dalam metode yang ber-
beda-beda. Keistimeaan strukturalisme adalah penggabungan
keempat-empatnya dalam suatu metode. Sekarang, bagaimana
halnya jika metode-metode struktural itu dihubungkan dengan
kritik sastra aliran Rawamangun?
Tampaknya tidak diperoleh gambaran yang pasti tentang
strukturalisme manakah yang “menyentuh” atau “banyak me-
nyentuh” kritik sastra aliran Rawamangun. Hal ini mengingat
begitu banyak strukturalisme, misalnya strukturalisme ala
Barthes, Mukrovsky, Piaget, maupun Strauss dsb., meskipun

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


98 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
beberapa buku kritik sastra dari tokoh-tokoh kritik sastra
Rawamangun tidak menunjukkan latar belakang strukturalisme
dapat disisihkan begitu saja. Seperti ditegaskan oleh Teeuw
(1983:61) bahwa analisis struktur adalah suatu tahap dalam
penelitian sastra yang sukar dihindari, sebab analisis semacam
itu baru memungkinkan pengertian yang optimal--persis seperti
dalam ilmu bahasa, bahwa pengetahuan tentang struktur bahasa
juga merupakan syarat mutlak untuk penelitian sosiolinguistik,
psikolinguistik, ilmu sejarah, bandingan bahasa dan sebagainya.
Terlepas dari strukturalisme mana yang “mewarnai” kri-
tik sastra aliran Rawamangun bagi kita yang lebih penting adalah
seberapa besar sumbangan kritik sastra tersebut dapat mening-
katkan kualitas kehidupan sastra Indonesia.
Akhirnya, sebagai penegas dapatlah dikemukakan bahwa
metode kritik apa saja yang digunakan, misalnya metode kritik
Ganzheit, Realisme Sosialis, Explication De Texte dsb. Dalam
proses kritiknya seorang kritikus melewati atau melalui lima
langkah. Secara umum lima langkah itu ialah: (1) langkah eks-
plorasi/penjelajahan sastra dengan segala kemungkinannya, (2)
langkah identifikasi/penempatan diri kritikus terhadap karya
yang ditelaah, (3) langkah analisis, (4) langkah penarikan kesim-
pulan, dan (5) pemberian evaluasi atau “judgment”.
Pada tahap eksplorasi, seorang kritikus dengan sikap
“skeptis”, “curiosity” serba ingin tahu dan serba menanya, me-
lakukan penjelajahan sambil melkukan penikmatan. Misalnya
mengapa cerpen atau novel ini diawali dengan klimaks, apakah
secara kebetulan saja atau memang berkaitan dengan penataan
artistik, dsb. Kritikus lalu melakukan penafsiran-penafsiran
tidak secara fragmentaris, melainkan secara keseluruhan, serta
memadukannya dengan pengalaman membaca karya-karya cer-
pen atau novel yang lain. Dengan demikian pada tahap ini
kritikus tidak berangkat dari kekosongan.
Tahap identifikasi menuntut seorang kritikus untuk ber-
sedia menempatkan dirinya dalam karya sastra yang ditelaah.
Meskipun demikian tidak berarti kritikus “hanyut” dalam pui-

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
99
tika yang diciptakan pengarang. Kritikus yang baik akan mam-
pu menjaga jarak dengan objek kajiannya. Tahap ini amat bergu-
na bagi kritikus dalam memberikan penilaian dan kesimpulan.
Sukar dibayangkan tanpa kesediaan mengidentifikasi terhadap
karya yang ditelaah, hasil kritikannya dapat benar-benar akurat
atau lebih esensial dapat menyingkap/menerangjelaskan makna
serta nilai-nilai karya sastra yang dikaji.
Tahap analisis adalah tahap pembedahan karya sastra
sampai sekecil-kecilnya. Kritikus yang baik tidak akan memper-
kosa ciri khas karya sastra yang dibedah. Analisis bermaksud
menunjukkan segala unsur yang ada, relasi yang dibangun baik
intrinsik maupun ekstrinsik sebagai jaringan sistem. Dengan
wawasannya yang luas, dengan argumentasinya yang tajam
kritikus akan menerangkan bahwa setiap unsur yang ada dalam
suatu karya sastra tidaklah kebetulan. Misalnya, soal penggu-
naan kata ganti “ia” dan “dia” dalam novel Iwan Simatupang,
persoalan penamaan tokoh-tokoh dalam roman Atheis, bahkan
sampai pada ilustrasi “cover” sebuah roman atau novel.
Selanjutnya tahap kesimpulan, berarti kritikus akan
memberikan konklusi. Bahwa segala unsur yang ada dalam
karya sastra yang dianalisis ditentukan polanya, aspek tematik-
nya, kecenderungan penggunaan sarana retorikanya, atau
unsur-unsur lain sesuai dengan tujuan analisisnya.
Tahap evaluasi atau pemberian “judgment.” Seorang kri-
tikus akan memberikan penilaian tentang kualitas karya sastra
yang ditelaah. Dasar-dasar penilaian yang diberikan akan sangat
ditentukan oleh pendekatan kritik yang digunakan, kriteria
penilaian yang digunakan, studi sastra yang lain yang terkait
(teori sastra, sejarah sastra, sastra perbandingan) bahkan falsafah
kritik sastra yang dianut dan diyakini kebenaran ilmiahnya
oleh kritikus.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


100 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
JAWABLAH PERTANYAAN BERIKUT INI!
1. Sebutkan 5 langkah dalam proses kritik sastra yang
dilakukan oleh kritikus!
2. Sebutkan 3 jenis metode kritik sastra!
3. Jelaskanlah bagaimana prosedur kerja metode kritik “Ex-
plication De Texte”!
4. Jelaskan bagaimanakah prosedur kerja kritik Ganzheit!
5. Jelaskan bagaimanakah prosedur kerja metode kritik struk-
tural!

BAHAN DISKUSI
1. Diskusikan strukturalisme sebagai sebuah gagasan, sebuah
filsafat, sebuah pendekatan, dan sebuah metode dalam kri-
tik sastra!
2. Diskusikan bagaimanakah pandangan psikologi Gestalt
serta hubungannya dengan metode kritik Ganzheit!
3. Tidak ada metode kritik yang paling baik, sebaliknya juga
tidak ada metode kritik yang paling buruk. Setujukah Anda
dengan pendapat ini, tunjukkanlah bukti dan argumentasi
Anda!
4. Susunlah peta konsep Metode Kritik Realisme Sosialis
secara utuh dan lengkap!
5. Susunlah peta konsep Metode Kritik Ganzheit secara utuh
dan lengkap!
6. Susunlah peta konsep Metode Kritik Pengudaran Naskah
secara utuh dan lengkap!
7. Susunlah peta konsep Metode Kritik Aluran Rawamangun
secara utuh dan lengkap!

BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
101
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
102 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 5

Model Kritik Sastra

5.1 MODEL KRITIK STRUKTURAL


A. LANDASAN TEORI
Dalam ilmu sastra pengertian strukturalisme telah banyak
diberikan. Yang dimaksud dengan istilah struktur adalah kaitan-
kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala. Kaitan-kaitan
tersebut diadakan oleh seorang pengkaji berdasarkan observasi-
nya. Kebanyakan aliran strukturalis secara langsung atau tidak
langsung berkiblat pada strukturalisme ilmu bahasa yang dirintis
oleh de Saussure. Strukturalisme model de Saussure kemudian
dikembangkan oleh Roman Jakobson dalam mengkaji puisi.
Jakobson merupakan salah satu tokoh strukturalisme Ceko.
Strukturalisme Ceko berkembang pada tahun tiga puluhan.
Sama dengan aliran formalis, kaum strukturalis menentang
asumsi bahwa produk itu tetap sama dengan penyebabnya. Dari
sudut ini aliran strukturalis melawan positivisme. Sekalipun
demikian kaum strukturalis Ceko sangat mementingkan pene-
litian empiris. Bila dipandang dari sudut ini, strukturalisme
Ceko dapat dipandang sebagai suatu reaksi terhadap aliran anti-
positivistik yang mementingkan metafisika dan sejarah perkem-
bangan ide-ide.
Salah satu tokoh strukturalime Ceko ini adalah Jan
Mukarovsky. Mukarovsy menulis telaah-telaah sistematik
mengenai hubungan-hubungan antara seni (sastra) dan estetika,
dan mengenai hubungan-hubungan antara karya sastra, individu
pencipta, pembaca yang menerima, serta konteks sosial.

BAB 5
Model Kritik Sastra
103
Pengertian struktur pada pokoknya adalah bahwa sebuah
karya sastra atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu
keseluruhan karena ada relasi timbal balik di antara bagian-
bagiannya dan antara bagian dengan keseluruhan. Hubungan
itu tidak hanya bersifat positif, seperti kemiripan dan kesela-
rasan, melainkan juga negatif, seperti pertentangan dan konflik.
Selain itu, ditandaskan bahwa suatu kesatuan struktural men-
cakup setiap bagian dan sebaliknya bahwa setiap bagian menun-
jukkan kepada keseluruhan ini dan bukan yang lain. Pengertian
tentang struktur ini menyebabkan kaum strukturalis memen-
tingkan relasi-relasi yang terdapat antara berbagai aliran yang
kita dapati dalam karya sastra.
Asumsi yang mendasari pendekatan struktural adalah
bahwa karya sastra (puisi) merupakan sebuah struktur. Karya
sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang
unsur-unsurnya membentuk hubungan timbal balik (Pradopo,
1993:118). Tynjanov (dalam van Luxemburg, 1986:204)
memandang karya sastra sebagai sebuah sistem dan menekan-
kan fungsi berbagai unsur dalam sistem itu.
Pendekatan objektif yang didasarkan pada pandangan
strukturalisme menekankan pada hakikat karya sastra sebagai
struktur (dunia) yang otonom. Karya sastra dipandang sebagai
keseluruhan yang bagian-bagiannya saling bertalian. Sebagai
struktur yang otonom, puisi dipandang memiliki unsur-unsur
struktural yang meliputi tipografi, persajakan, citraan, diksi,
majas, dan gaya bahasa.
Tipografi berkaitan dengan aspek tata muka puisi seperti
penghurufan dan penataan larik/baris dan bait. Persajakan
berkaitan dengan bunyi atau ikonisitas, irama, rima, larik, bait,
dan pemadatan pernyataan. Citraan meliputi citraan visual,
selera, bau, panas, tekanan, pendengaran, dan warna. Diksi
berkaitan dengan pilihan kata, frasa, dan idiom. Majaz berkaitan
dengan penggunaan bahasa kias (figures of tought) seperti meta-
fora, personifikasi, dan metonimi. Gaya bahasa berkaitan de-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


104 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
ngan pemilihan kalimat dan sarana retorika (rethorical figures)
seperti paralelisme, tautologi, klimaks, dan sinonimi.
Analisis struktural dalam puisi adalah analisis yang me-
nyelidiki bahwa unsur-unsur dalam puisi saling berhubungan
dan saling menentukan secara fungsional. Puisi sebagai salah
satu bentuk karya sastra dalam pandangan strukturalisme orto-
dok dipandang sebagai objek yang otonom, lepas dari ikatan
konteks, ruang, dan waktu; serta tidak memiliki makna secara
intrinsik. Hal ini bertentangan dengan pandangan semiotik yang
melihat karya sastra sebagai gejala yang memiliki makna dan
nilai secara intrinsik (Aminuddin, 1990).
Pendekatan struktural diturunkan dari pandangan Ferdi-
nand de Saussure tentang bahasa (Teeuw, 1988). Berdasarkan
pandangan de Saussure puisi dapat dipandang sebagai sistem
sinkronik. Makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat
dipahami dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur lain. Seba-
gaimana sifat utama bahasa pada umumnya, sifat utama puisi
sebagai sistem tanda ialah sifat relasionalnya, yang berarti bah-
wa keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan
aspek-aspek harus dipahami lebih dahulu sebelum menelusuri
perubahannya.
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan me-
maparkan dengan cermat, teliti, detail, dan mendalam keter-
kaitan semua unsur yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh (Teeuw, 1988:135; Pradopo, 1993:120). Dalam
analisis struktural, analisis tidak berhenti pada identifikasi un-
sur-unsur yang terlepas. Lebih dari itu, analisis struktural harus
menjelaskan pula sumbangan setiap unsur dalam membentuk
keseluruhan makna. Misalnya, gejala bunyi disemantikkan, di-
beri makna melalui interelasinya dengan gejala makna kata dan
sebaliknya. Dalam hal ini tidak dibedakan antara bentuk dan
isi.

BAB 5
Model Kritik Sastra
105
B. TEKNIK ANALISIS
Analisis atau kajian dilakukan dengan teknik membaca
kritis dan membaca kreatif. Teknik tersebut diwujudkan dengan
membaca secara kritis-evaluatif puisi-puisi sampai mencapai
titik jenuh sehingga diperoleh pemahaman dan pemerian arti
yang mendalam. Secara operasional teknik itu diperinci dalam
prosedur berikut ini.
(1) Membaca puisi dengan intensif, sedikitnya 2 kali sampai
diperoleh pemahaman yang utuh terhadap keseluruhan
isi puisi.
(2) Mengidentifikasi, menandai, dan memberi kode kata, frasa,
atau larik-larik yang mengindikasikan muatan unsur dan
jenis diksi dengan (Dk) tertentu, majas dengan (Mj), citraan
dengan (Ct), dan sarana retorika dengan (SR).
(3) Menghubung-hubungkan unsur diksi, majas, citraan, dan
gaya bahasa yang sudah teridentifikasi untuk menemukan
hubungan antarunsur tersebut.

Prosedur analisis dilakukan secara hermeneutis. Analisis


puisi dilakukan secara melingkar (baca lingkaran hermeneutis),
yakni mula-mula dilakukan pemaknaan secara menyeluruh
kemudian dilakukan pemaknaan bagian demi bagian.
Selanjutnya hasilnya digunakan untuk memperbaiki pemaknaan
keseluruhan.

C. ANALISIS
1) Analisis Aspek Bunyi
Bunyi-bunyi dalam puisi dapat dipilah atas bunyi vokal
dan bunyi konsonan serta bunyi suprasegmental. Pembahasan
masalah pada butir ini dipaparkan dengan memanfaatkan puisi
“Muhammad” karya D. Zawawi Imron.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


106 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Muhammad
Muhammad itu
dengan lembut sahdu
dan bulu-bulu mata yang menggetarkan
kasih yang sangat besar
turun di jantung bumi

Ya, Muhammadlah itu


dunia yang sangat mesra
berayun
pada ujung lidahnya
segala umpat segala khianat
hanya menggeliat dan tersungkur
di hadapannya

Dengan ramahnya dibukanya


bagi segenap umat manusia
sebuah wilayah jiwa
yang tak pernah kematian cahaya

Muhammad ia
yang menunjukkan aneka keindahan sejati
hingga aku bisu di warna rindu

Kefasihanku
hanya bergema di hati
selalu
1966

Apabila diperhatikan, puisi yang berjudul “Muhammad”


selain menunjukkan pola bunyi-bunyi vokal juga menunjukkan
pola bunyi-bunyi konsonan. Meskipun demikian, pola bunyi
vokal lebih dominan. Mengutip kembali dua bait di antaranya,
pembahasan ciri penggunaan aspek bunyi vokal dalam puisi
tersebut, diawali melalui kutipan berikut.

BAB 5
Model Kritik Sastra
107
Ya, Muhammadlah itu
Dunia yang sangat mesra
berayun
pada ujung lidahnya
segala umpat segala khianat
hanya menggeliat dan tersungkur
di hadapannya

Muhammad ia
yang menunjukkan aneka keindahan sejati
hingga aku bisu di warna rindu

Berdasarkan kecermatan pengamatan pada larik per-


tama puisi di atas terdapat paduan bunyi (1) [a] pada larik
Dunia yang sangat mesra, (2) [u] pada larik hingga aku bisu
di warna rindu, (3) [e] pada larik yang menunjukkan aneka
keindahan sejati. Paduan bunyi [a] pada kata-kata Dunia, yang,
sangat, dan mesra ditemukan pada suku akhir. Paduan atau
pengulangan bunyi vokal yang diawali oleh konsonan yang
sama atau berbeda disebut asonansi. Ditinjau dari hubungan
bentuknya, asonansi lazim dibatasi pada satuan larik yang sama.
Apabila paduan bunyi seperti di atas diakhiri oleh bunyi kon-
sonan yang sama disebut rima. Menurut Cummings dan Si-
mon, “rima adalah pengulangan vokal yang diawali dengan
konsonan yang berbeda tetapi diakhiri dengan konsonan yang
sama.
Dianalisis lebih lanjut, pada dua bait puisi di atas dapat
ditemukan rima, yakni bunyi [t] pada larik segala umpat sega-
la khianat. Rima tersebut lebih tepatnya membentuk peru-
langan bunyi konsonan. Akan tetapi, paduan bunyi yang pa-
ling dominan adalah asonansi. Lebih lanjut pada larik tersebut
juga ditemukan perulangan bunyi pada tataran kata-kata. Per-
ulangan tersebut ditemukan pada kata segala dengan segala
pada larik segala umpat segala khianat. Perulangan bunyi ter-
sebut diistilahkan dengan repetisi. Umar Yunus menghubung-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


108 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
kan pengertian repetisi dengan berbagai bentuk perulangan
pada umumnya, baik ditinjau dari segi bunyi, kata, maupun
perulangan kata atau bentuk yang berbeda tetapi memiliki
acuan yang sama. Perulangan seperti di atas, sebagai bagian
dari repetisi, disebut sebagai repetisi dalam bentuk meso-
diplosis.
Secara umum, manipulasi bunyi selain menimbulkan efek
keindahan yang membentuk unsur musikalitas, juga berpenga-
ruh terhadap penciptaan keindahan diksi, penciptaan majaz,
dan penciptaan citraan, serta gaya bahasa atau sarana retorika.
Kata-kata yang mengandung paduan bunyi banyak berupa
kata-kata konotatif: kasih, jantung, dunia, mesra, berayun,
umpat, menggeliat, bisu, rindu, kefasihan, dan bergema. Peng-
gunaan kata konotatif dalam ungkapan majazi tampak pada
larik keempat—kelima, “kasih yang sangat besar/turun di jan-
tung bumi”/”dunia yang sangat mesra/berayun/pada ujung
lidahnya” pada larik ketujuh—kesembilan, dan “segala umpat
segala khianat/hanya menggeliat dan tersungkur/di hadapan-
nya” pada larik kesepuluh—kedua belas.
Kesemua ungkapan majasi tentang pribadi Muhammad
pada bait 2-4 dikontraskan dengan perilaku aku lirik pada bait
5. Pertentangan tersebut merupakan sarana retorika untuk
menciptakan citraan visual dan auditif yang menarik. Paparan
selengkapnya karakteristik struktural puisi “Muhammad”
dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut.

Tabel 5.1 Karakteristik Struktural Puisi “Muhammad”

Diksi Majas Citraan Gaya Bahasa


kasih, jantung metafora dinamik parafrastis
dunia,mesra berayun personifikasi dinamik parafrastis
umpat, menggeliat personifikasi dinamik parafrastis
bisu, rindu metafora dinamik parafrastis
kefasihan,bergema - auditif paradoks
Personifikasi auditif hiperbola

BAB 5
Model Kritik Sastra
109
Dalam kaitannya dengan bunyi suprasegmental, penan-
danya dalam puisi dapat dinyatakan melalui cara penulisan.
Penulisan huruf pada awal larik/bait dengan huruf besar, se-
mentara huruf awal pada larik/bait berikutnya juga menggu-
nakan huruf besar, dapat digunakan sebagai penanda jeda
yang diberikan pada hubungan antarlarik tersebut. Begitu
juga pemberian tanda koma, tanda titik, maupun pemberian
tanda hubung.
Unsur suprasegmental lain yang perlu diperhatikan ada-
lah penyendian. Manipulasi penyendian dan kemudian meng-
hilangkan salah satu suku katanya atau menggabungkan penu-
lisan kata-kata yang berbeda ke dalam satu kesatuan hingga
kata tersebut seakan tampil sebagai suku kata tampak misalnya
pada puisi berjudul “Sepisaupi”, karya Sutardji Calzoum Bachri.
Hal itu dapat dikaji lewat kutipan bait kedua puisi tersebut
sebagaimana dipaparkan di bawah ini.

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang sepi

Bertolak dari uraian di atas, disimpulkan bahwa penggu-


naan bunyi dalam karya sastra, khususnya puisi memiliki be-
berapa ciri antara lain:
(1) paduan bunyi vokal dari kata yang berbeda, baik itu diikuti
oleh konsonan yang sama atau berbeda dalam satuan larik
yang sama lazim disebut asonansi;
(2) perulangan satuan bunyi pembentuk kata dalam larik yang
sama lazim disebut mesodiplosis;
(3) paduan bunyi konsonan pada akhir kata dalam larik yang
sama, baik itu diawali oleh vokal yang sama atau berbeda
lazim disebut konsonansi;
(4) paduan bunyi konsonan pada awal kata dalam satuan
larik yang sama lazim disebut sebagai alterasi;

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


110 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
(5) paduan bunyi konsonan pada akhir larik yang berbeda
tetapi berurutan, dan diawali oleh vokal yang sama lazim
disebut sebagai rima;
(6) paduan bunyi vokal pada akhir larik yang berbeda tetapi
berurutan, dan diawali oleh konsonan yang sama atau
berbeda lazim disebut sebagai rima vokal;
(7) paduan bunyi vokal pada akhir larik yang berbeda tetapi
diselingi oleh larik yang diakhiri oleh bunyi vokal berbeda
disebut rima patah;
(8) bunyi suprasegmental yang ditandai lewat cara penulisan
dan tipografi. Bunyi suprasegmental itu misalnya penyen-
dian, penjedaan, tempo, dan intonasi.

2) Analisis Aspek Diksi


Pemilihan kata-kata atau diksi dalam puisi selain ber-
pusat pada kata-kata yang digunakan dalam teks puisi, secara
segmentatif juga memperhatikan hubungan kata-kata tersebut
dengan unsur lain dalam satuan teksnya. Oleh sebab itu, pem-
berian makna pada kata-kata tersebut secara bersamaan juga
perlu disertai dengan prediksi ciri hubungannya dengan unsur-
unsur lain dalam teksnya.
Pemahaman cara penggunaan kata-kata dalam teks puisi
perlu didasari pemahaman isi teks secara keseluruhan dan
pemahaman hubungan kata-kata dalam satuan teksnya secara
asosiatif. Pembahasan masalah tersebut pada butir ini dipapar-
kan dengan memanfaatkan puisi “Desaku” karya D. Zawawi
Imron.

Desaku
Di jembatan ini kudengar bisik sejarah
Aku tak tahu, siang ini manakah yang lebih berkobar
mataharikah atau darahku
yang menderaskan makna air sungai
sebelum tiba di gerbang muara?

BAB 5
Model Kritik Sastra
111
Selamat datang, tamu dari kota!
Jangan terkejut menjabat tanganku kasar
lantaran setiap hari mengolah zaman
Nanti sore kuantar engkau ke kebun
Nikmatilah buah-buahan yang ranum bersama mimpiku

Inilah sawahku, daunan kangkung sedang menghijau


Kecebong dan lele mundar mandir
di sela semanggi dan batang padi
Di sini kupetik sejuta kasih sayang, dan kutaburkan
ke mana bulan ngusapkan tangan
Seekor bangau hinggap di punggung kerbau
seakan mengajar kita dengan hakikat persahabatan
Kalau nanti hasil panen kuantarkan ke kota
yang kuminta padamu bukan tanda penghargaan
Namun setangkai bunga putih pengertian

Dari jembatan ini kulihat rahmat yang bermekaran


keemasan di hamparan tanah sejarah
Kucelut betis sukmaku
Disambut gemuruh di ubun mega:
Senyuman hari depan yang tak kuragu
Rogojampi, 1967

Dianalisis dari bentuknya, puisi di atas selain menggu-


nakan kata dasar juga menggunakan kata yang telah menga-
lami proses morfologis. Kata betis misalnya jelas merupakan
kata dasar. Sementara kata buah-buahan, keemasan, tanah
sejarah telah mengalami proses morfologis tertentu. Proses
morfologis pada kata-kata tersebut tentunya juga berimplikasi
pada aspek semantisnya. Pengimbuhan ke-an pada keemasan
dapat menuansakan makna kualitatif sedikit atau agak diban-
dingkan dengan penggunaan kata kuning. Begitu juga pengu-
langan pada tanah dan sejarah dapat memberikan gambaran
bahwa tanah sejarah bukan lagi merujuk pada tanah yang
bersejarah, melainkan pada acuan lain yang harus ditafsirkan
berdasarkan hubungan tekstualnya.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


112 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Pemilihan kata-kata tersebut dianalisis dari segi bentuk-
nya juga memperhatikan potensi kata yang dipilih dalam men-
ciptakan bunyi ritmik. Penggunaan kata keemasan yang me-
ngandung vokal [e] pada awalan ke misalnya tentunya juga
dilandasi pemikiran bahwa kata tersebut dapat membentuk
keseimbangan bunyi dengan kata sejarah yang mengandung
bunyi [e]. Pemilihan kata yang dilatarbelakangi potensi kata
tersebut dalam menciptakan ritme selain berlaku dalam hu-
bungan pada larik sebagaimana keemasan pada tanah sejarah
juga dapat berlaku dalam hubungan antarlarik. Penggunaan
kata kuragu yang diakhiri vokal [u] misalnya, bukan kata kuwas-
was paling tidak dilandasi pemikiran bahwa kata tersebut
dapat menciptakan paduan bunyi dengan salah satu kata pada
larik sebelumnya. Kata tersebut adalah sukmaku pada larik
kulecut betis sukmaku.
Selain dianalisis dari bentuk morfologisnya, aspek diksi
juga dapat dipahami dari pilahan yang berpasangan berdasarkan
makna yang dirujuk kata-kata yang dipilih, seperti kata konkret-
abstrak, kata denotatif-konotatif, dan kata umum-khusus. Le-
bih jauh kata-kata yang dipilih didasari oleh pemikiran tentang
potensi kata tersebut dalam menciptakan majaz dan citraan.
Asumsi tersebut dijelaskan dalam uraian berikut. Dalam
“Desaku” banyak digunakan kata-kata dalam makna konkret:
sejarah, darahku, gerbang, zaman, mimpi, kasih, bunga, rah-
mat, betis, dan ubun untuk mewujudkan ungkapan majazi.
Pada larik pertama digunakan cara penginsanan “sejarah”, “Di
jembatan ini kudengar bisik sejarah”. Penggunaan kata “da-
rahku” pada larik ketiga dan “gerbang muara” pada larik keli-
ma sebagai metafora. Hal yang sama juga terlihat pada ung-
kapan “mengolah zaman” larik kedelapan, “ranum bersama
mimpiku” larik kesepuluh, “Di sini kupetik sejuta kasih sa-
yang” pada larik keempat belas, “setangkai bunga putih pe-
ngertian” pada larik kedua puluh, “rahmat yang bermekaran”
pada larik kedua puluh satu, “kulecut betis sukmaku” larik
kedua puluh tiga, dan “Disambut gemuruh di ubun mega”

BAB 5
Model Kritik Sastra
113
larik kedua puluh. Dari 25 larik, 10 larik berisikan ungkapan
majazi.
Penciptaan citraan dimulai bait pertama, citraan taktil
dari “matahari yang berkobar” dan citraan dinamik dari “su-
ngai yang menderas”; bait ketiga citraan visual dari larik-
larik,

Inilah sawahku, daunan kangkung sedang menghijau


Kecebong dan lele mundar mandir
di sela semanggi dan batang padi

Bait keempat citraan dinamik dari larik “seekor bangau


hinggap di punggung kerbau”; bait kelima citraan visual dari
larik

Dari jembatan ini kulihat rahmat yang bermekaran


keemasan di hamparan tanah sejarah

Paparan selengkapnya hubungan struktural antara bunyi,


diksi, dan majas dalam puisi “Desaku” dapat dilihat pada tabel
5.2 berikut.

Tabel 5.2 Hubungan Struktural Unsur Bunyi-Diksi-Majas


Puisi “Desaku”

Diksi Majas Citraan


bisik, sejarah personifikasi auditif
darahku, deraskan personifikasi dinamik
gerbang, muara metafora visual
olah, zaman metafora dinamik
ranum, mimpi metafora visual
petik, kasih metafora dinamik
bunga, pengertian metafora visual
rahmat, mekar metafora visual
betis, sukmaku metafora dinamik
ubun, mega metafora visual

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


114 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
3) Analisis Aspek Majas
Menurut Aristoteles, majas atau bahasa kias diartikan
sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain
berdasarkan perbandingan ataupun analogi ciri semantis yang
umum dengan umum, yang umum dengan khusus, ataupun
yang khusus dengan khusus. Perbandingan atau analogi tersebut
berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu
memperlihatkan potensialitas kata-kata yang dipindahkan
dalam menggambarkan citraan maupun gagasan baru. Berikut
ini kajian aspek majaz dalam puisi “Bulan Tertusuk Lalang”
karya D. Zawawi Imron.

Bulan Tertusuk Lalang


bulan rebah
angin lelah di atas kandang
cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang

angin termangu di pohon asam


bulan tertusuk lalang
tapi malam yang penuh belas kasihan
menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian.

Di dalam puisi “Bulan Tertusuk Lalang” banyak diguna-


kan kata-kata konkret: “bulan, angin, malam”, dan “cicit”
untuk membentuk ungkapan majazi. Kata “bulan” dan
“angin” dalam ungkapan majazi dengan penginsanan “bulan
rebah”, “angin lelah di atas kandang”, dan “angin termangu
di pohon asam”. Kata “malam” diandaikan seperti seorang
ibu yang memiliki sifat “penuh belas kasihan”, dan “dengan
mesra menidurkannya”.

BAB 5
Model Kritik Sastra
115
Penggunaan ungkapan majasi tersebut membentuk se-
jumlah citraan taktil dan citraan auditif. Paparan selengkapnya
hubungan diksi-majaz-citraan dalam puisi “Bulan Tertusuk
Lalang” dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut.

Tabel 5.3 Hubungan Diksi-Majas-Citraan Puisi


“Bulan Tertusuk Lalang”

Diksi Majas Citraan


bulan, rebah personifikasi taktil
angin, lelah personifikasi taktil
angin, termangu personifikasi taktil
malam, belas kasih personifikasi taktil
menidurkan
cicit, himbau personifikasi auditif
bulan, tertusuk -- taktil

4) Analisis Aspek Citraan atau Imajeri


Analisis aspek citraan tidak dapat dipisahkan dari
analisis aspek diksi dan majas karena unsur citraan
merupakan produk yang terbentuk melalui penciptaan diksi
dan majas. Citraan di dalam puisi meliputi citraan visual,
selera, bau, panas, tekanan, pendengaran, dan warna. Berikut
ini contoh kajian aspek citraan dalam puisi “Nyanyian Gadis
Mandar” karya D. Zawawi Imron.

Nyanyian Gadis Mandar


Di sisi bulan dan kecapi
kutenun kasihmu, Abang!
Lembah selatan kabur diterpa hujan
menyanyikan rahmat yang biru
O, di jauh mana engkau berdebar
di laut apa peluhmu jadi garam?
Sebagai bukti kau anak Mandar
Petiklah kecapi, Abang!

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


116 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Tuk mengalahkan gelombang dalam diri
Awan putih akan hinggap di lehermu
mengalungkan setiaku yang membaca
lembar-lembar jejakmu dengan membisu

Kalau matahari
nanti tak terbit lagi di Tinambung
Meski tenunanku belum selesai
Kucari mayatmu ke gunung ombak
Di sana sajadah kuhampar
Sebagai bukti: dalam diri ada Mandar
1994

Di dalamnya digunakan kata-kata konkret: kasih, peluh,


gelombang, hujan, dan rahmat dalam ungkapan majazi. Pen-
ciptaan metafora tampak pada “kutenun kasihmu, Abang!”
di larik kedua. “Tuk mengalahkan gelombang dalam diri”
larik kesembilan, “kucari mayatmu ke gunung ombak”, “di
laut apa peluhmu jadi bara” Majaz penginsanan terdapat pada
“hujan/menyanyikan rahmat yang biru”, tetapi “rahmat yang
biru” juga merupakan bentuk metafora.
Penggunaan kata konkret “bulan” dan “kecapi” memun-
culkan citra suasana romantis. Kata konkret: “laut, garam,
Mandar, gelombang” dan “ombak” membentuk rangkaian
pernyataan yang berkisah tentang “laut”.

Tabel 5.4 Hubungan Citraan-Diksi-Majas Puisi


“Nyanyian Gadis Mandar”

Diksi Majas Citraan


kutenun, kasih metafora dinamik
bulan, kecapi -- visual
peluh, garam metafora taktil
gelombang, diri metafora dinamik
hujan, menyanyikan personifikasi auditif
rahmat, biru metafora Taktil

BAB 5
Model Kritik Sastra
117
Citraan yang terbentuk dari ungkapan majasi tersebut
meliputi citraan dinamik, auditif, visual, dan citraan taktil.
Paparan selengkapnya hubungan citraan, diksi, dan majas puisi
“Nyanyian Gadis Mandar” dapat dilihat pada tabel 5.4 di atas.

D. PENILAIAN
Berdasarkan hasil analisis dinilai bahwa Zawawi secara
berimbang memanfaatkan segala potensi alam yang meling-
kunginya untuk menciptakan majas. Hal itu dapat dipahami
jika dikaitkan dengan tempat tinggalnya. Zawawi adalah pe-
nyair yang tetap memilih desa sebagai tempat tinggalnya.
Tepatnya dia tinggal di Desa Jambangan Kecamatan Batang-
batang, sebuah desa terpencil, dua puluh kilometer dari Su-
menep yang terletak di ujung timur Pulau Madura. Daerah
ini terkenal tandus, kering, dan penuh dengan tanah perbu-
kitan berbatu. Lautnya terkenal ganas. Pohon yang banyak
tumbuh adalah pohon siwalan. Pada musim kemarau air sangat
sulit didapatkan.1)
Secara keseluruhan terungkap bahwa penggunaan kata
memberi kontribusi pada terciptanya majas dan penggunaan
majas dalam puisi-puisi D. Zawawi Imron selalu berpengaruh
terhadap citraan. Hal ini menunjukkan terjalinnya hubungan
antarunsur (unsur diksi, majas, gaya bahasa, dan citraan) dalam
puisi. Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan majas
yang dominan adalah metafora, disusul personifikasi dan si-
mile. Dari penggunaan ketiga jenis majas tersebut terbentuk
imajinasi Zamawi, yakni citraan taktil, visual, dinamik, dan
auditif.
Dari hasil analisis terungkap kecenderungan pengguna-
an majas metafora daripada majas personifikasi. Lebih domi-
nan dan kecenderungan penggunaan majas metafora dinilai
sebagai bentuk tingkat kematangan penyair dalam menuang-
kan gagasannya dengan menggunakan bahasa plastis. Dalam
proses awal pembentukan majas yang bercirikan adanya

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


118 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
hubungan perbandingan, lazimnya disebutkan secara lengkap
komponen-komponennya yang meliputi (1) sesuatu yang di-
bandingkan (A), (2) sifat/ciri yang dibandingkan (B), (3) pem-
banding (C), dan (4) alat penanda perbandingan (D). Jika
keempat komponen (A—D) tersebut digunakan, maka tercip-
talah simile; jika yang digunakan komponen A dan C (penyair
masih menyebutkan ciri), maka yang tercipta personifikasi,
depersonifikasi, atau animalisasi; jika yang digunakan kom-
ponen A dan B (penyair tidak perlu menyebutkan ciri, tetapi
langsung pada pembandingnya), maka terciptalah metafora.
Dengan demikian, penciptaan metafora lebih rumit prosesnya
karena penyair perlu menyederhanakan atau memadatkan
paparan kebahasaan dari ungkapan perbandingan yang pan-
jang.
Adapun jenis-jenis gaya bahasa yang diwujudkan dengan
penggunaan sarana retorika meliputi gaya deskriptif, para-
frastis, tutur langsung, dialogis, imperatif, interogatif, tanya
retoris, repetisi, hiperbola, inversi, paradoks, klimaks, sim-
bolik, dan ironi. Jenis yang dominan digunakan adalah gaya
deskriptif. Jika dikaitkan dengan tingginya frekuensi penggu-
naan citraan taktil dan citraan visual, maka dinilai bahwa
kecenderungan penggunaan gaya perian atau perincian meme-
ngaruhi terciptanya kedua jenis citraan tersebut. Dengan
demikian, hubungan keempat unsur puisi dapat digambarkan
sebagai berikut.

diksi

majas gaya bahasa

citraan

Gambar 5.1: Pola Hubungan Antarunsur dalam Puisi-puisi Karya


D. Zawawi Imron

BAB 5
Model Kritik Sastra
119
Dalam gambar tersebut terungkap bahwa diksi sebagai
unsur awal berkontribusi terhadap penciptaan majas dan gaya
bahasa. Dan kedua unsur terakhir turut menyumbang dalam
terciptanya citraan.
Berdasarkan paparan hasil analisis dinilai bahwa karak-
teristik struktural puisi-puisi karya D. Zawawi Imron ditandai
dengan (1) diksi yang digunakan meliputi kata-kata konkret
dan konotatif, (2) majas yang terbentuk diksi tersebut yang
terbanyak adalah metafora, diikuti personifikasi, dan sedikit
simile, (3) gaya bahasa yang digunakan adalah gaya deskriptif,
parafrastis, paradoks, simbolik, klimaks, dan ironi, (4) citra-
an yang terbentuk dari penggunaan majaz dan gaya bahasa
adalah citraan taktil, visual, dinamik, dan auditif. Dinilai bah-
wa diksi sebagai unsur awal berkontribusi terhadap pencip-
taan majas dan gaya bahasa. Dan kedua unsur terakhir turut
menyumbang dalam terciptanya citraan.

5.2 MODEL KRITIK SEMIOTIK


A. LANDASAN TEORI
Semiotik atau semiotika secara umum diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari tanda-tanda (Trabaut, 1996). Klaus
Buhr (dalam Trabaut, 1996) membatasi semiotik sebagai teori
umum mengenai tanda-tanda bahasa. Van Zoest (1992) men-
definisikan semiotik sebagai studi tentang tanda dan segala
yang berhubungan dengan tanda-tanda lain, pengirimannya,
dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotik ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-
tanda dan lambang-lambang, sistem lambang, dan proses per-
lambangan. Dalam pandangan semiotik, karya sastra merupa-
kan sistem tanda sekunder (van Luxemburg,1986:44; Pra-
dopo, 1993:122).
Semiotik dibedakan oleh van Zoest (1992) atas: semio-
tik sintaksis, semiotik semantik, dan semiotik pragmatik.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


120 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Semiotik sintaksis adalah semiotik yang memusatkan pada
penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda
lain, dan pada caranya bekerja sama dalam menjalankan fung-
sinya. Semiotik semantik adalah semiotik yang memusatkan
pada hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan dengan
interpretasi yang dihasilkannya. Semiotik pragmatik adalah
semiotik yang memusatkan hubungan antara tanda dengan
pengirim dan penerimaannya. Van Zoest menyarankan agar
dalam kajian ketiga jenis semiotik tersebut digunakan semua-
nya.
Menurut van Zoest, sebaiknya studi semiotika—dengan
fenomena apa pun—dimulai dengan penjelasan sintaksis,
kemudian dilanjutkan dengan pengkajian dari segi semantik
dan pragmatik. Tidaklah baik mempermasalahkan kajian segi
sintaksis—seperti yang telah dilakukan oleh kaum struktura-
lis—sebagai suatu kajian yang terlalu reduksionis. Jenis pe-
kerjaan seperti ini merupakan persiapan untuk pemikiran le-
bih lanjut. Akan tetapi juga kurang baik jika membatasi diri
pada semiotik sintaksis karena kajian semiotik pada akhirnya
harus berlanjut hingga semantik dan pragmatik. Tanpa ketiga
segi ini, kajian tidak akan membuahkan hasil dan tidak benar-
benar menarik perhatian.
Bapak semiotika modern, Pierce, telah menciptakan
semiotika agar dapat memecahkan masalah inferensi dengan
lebih baik. Akan tetapi, semiologi juga membahas masalah-
masalah “signifikansi” dan komunikasi. Semiotika membi-
carakan kedua hal ini sedemikian rupa sehingga batas antara
semiotika dan komunikasi tidak selalu jelas. Walaupun demi-
kian, antara kedua teori ini terdapat perbedaan teori dan
metode. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda.
Dengan demikian tidaklah mengherankan jika sebagian dari
teori komunikasi berasal dari semiotika. Akan tetapi, di satu
pihak ada tanda-tanda yang berfungsi di luar situasi komuni-
kasi, dan di lain pihak—berbeda dengan teori semiotika—
teori komunikasi menaruh perhatian pada kondisi penyam-

BAB 5
Model Kritik Sastra
121
paian signifikansi, yaitu pada saluran komunikasi yang de-
ngannya pesan dapat tersampaikan.
Berikut ini dipaparkan jenis hubungan antara tanda dan
represen-tasinya menurut Pierce.
(1) Ikon adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang serupa dengan bentuk objeknya (terlihat pada
gambar atau lukisan)
(2) Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang mengisyaratkan petandanya;
(3) Simbol adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang oleh kaidah secara konvensional telah lazim
digunakan dalam masyarakat.

Peirce lebih jauh menjelaskan bahwa tipe-tipe tanda


seperti ikon, indeks, dan simbol memiliki nuansa-nuansa yang
dapat dibedakan. Penggolongan yang berdasarkan pada hu-
bungan kenyataan dengan jenis dasarnya itu dilihat atas pelak-
sanaan fungsi sebagai tanda. Pada ikon kita dapatkan kesa-
maan yang tinggi antara yang diajukan sebagai penanda dan
yang diterima oleh pembaca sebagai hasil petandanya. Bentuk-
bentuk diagram, lukisan, gambar, sketsa, patung, kaligrafi,
ukir-ukiran, dan yang tampak sebagai tata wajah (grafika atau
tipografi dalam bentuk-bentuk puisi ikonis) merupakan con-
toh bagi tanda-tanda yang bersifat ikonis.
Dalam indeks, kita dapat menghubungkan antara tanda
sebagai penanda dan petandanya yang memiliki sifat-sifat:
nyata, bertata urut, musyabab, dan selalu mengisyaratkan se-
suatu. Misalnya, bunyi bel rumah merupakan indeksikal bagi
kehadiran tamu; gerak dedaunan pada pohon-pohon merupa-
kan indeksikal bagi adanya angin yang bertiup; asap yang
mengepul merupakan indeksikal bagi api yang menyala; dan
sebagainya.
Pada simbol ditampilkan hubungan antara penanda dan
petanda dalam sifatnya yang arbritrer. Kepada penafsir ditun-
tut untuk menemukan hubungan penandaan itu secara kreatif

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


122 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
dan dinamis. Tanda yang berubah menjadi simbol dengan sen-
dirinya akan dibubuhi sifat-sifat kultural, situasional, dan kon-
disional.
Menurut teori Peirce setiap tanda tentu memiliki dua
tataran, yaitu tataran kebahasaan dan tataran mitis. Tataran
kebahasaan disebut sebagai penanda primer yang penuh, yaitu
tanda yang telah penuh dikarenakan penandanya telah man-
tap acuan maknanya. Hal ini karena prestasi semiosis tataran
kebahasaan, yaitu kata sebagai tanda tipe simbol telah dikua-
sai secara kolektif oleh masyarakat pemakai bahasa. Dalam
hal ini kata atau bahasa tersebut sebagai penanda sekunder
atau pada tataran mitis, tanda yang telah penuh pada tataran
kebahasaan itu dituangkan ke dalam penanda kosong. Petanda
pada tataran mitis ini sesuatunya harus direbut kembali oleh
penafsir karena tataran mitis bukan lagi mengandung arti
denotatif, melainkan telah bermakna kias, majas, figuratif,
khusus, subjektif, dan makna-makna sertaan yang lain.
Secara skematis Pierce melukiskan dua tataran tanda
itu sebagai berikut.

K
1. 2. M
E Penanda Petanda i
B
A T
H 3. Tanda I
A
S I. PENANDA II. PETANDA? s
A
A
N
III. TANDA

Gambar 5.2 Model Semiotik Pierce: Penanda-Petanda-Tanda

Skema tersebut memerikan model penandaan primer


yang telah penuh makna acuannya, yakni tanda sudah dapat
dianggap penuh karena penandanya telah mantap acuan mak-

BAB 5
Model Kritik Sastra
123
nanya. Pada skema di atas, arti denotatif—arti yang menunjuk
pada arti kamus atau leksikal—mencakup: Penanda, Petanda,
dan Tanda. Wilayah denotatif menjadi tataran kebahasaan
karena bermakna lugas, objektif, dan apa adanya, yaitu seba-
gai model primer bahasa. Tanda dalam tataran kebahasaan
itu berubah menjadi PENANDA pada tataran mitis sehingga
PETANDA harus ditemukan sendiri oleh penafsir agar penan-
da itu dapat penuh acuan maknanya. Dengan ditemukannya
PETANDA oleh penafsir, maka jadi penuhlah TANDA sebagai
makna tataran mitis.
Secara sederhana diberikan contoh dalam susunan
kalimat-kalimat berikut.
(1) Pagi hari matahari terbit dari ufuk timur.
(2) Petang hari matahari terbenam di ufuk barat.
(3) Pagiku hilang sudah melayang.
(4) Aku lalai di hari pagi.
(5) Atur barisan di hari pagi.
(6) Sekarang petang datang membayang.

Pernyataan kalimat (1) dan (2) merupakan penanda ta-


taran kebahasaan. Dalam kata pagi dan petang dapat ditemu-
kan arti leksikalnya dalam kamus. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1989:635) kata pagi berarti: bagian awal
dari hari antara dini-hari dan siang-hari. Demikian juga arti
leksikal dari kata petang, berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989:679) adalah waktu sesudah tengah-hari (kira-
kira dari pukul tiga sampai matahari terbenam). Pada tataran
kebahasaan cukuplah kita menemukan arti itu sampai pada
arti denotatifnya.
Pada pernyataan kalimat (3), (4), (5), dan (6) yang
merupakan kalimat-kalimat puitis ciptaan Ali Hasymi dalam
puisinya “Menyesal”, kata-kata ada dalam kalimat-kalimat
(3), (4), (5), dan (6) itu bukan lagi bermakna denotatif seperti
leksikal dalam kamus, melainkan telah memiliki makna kono-
tatif atau makna-makna sertaan yang lain. Makna pada

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


124 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
tataran mitis ini harus dapat ditemukan sendiri oleh penafsir
(pembaca) secara kreatif dan dinamis.
Sebagaimana ditegaskan oleh Pierce bahwa hubungan
antara tanda dan acuannya dapat dibedakan atas tiga jenis
hubungan. Pertama, hubungan antara tanda dan acuannya
dapat berupa hubungan kemiripan; tanda itu disebut ikon.
Kedua, hubungan antara tanda dan acuannya timbul karena
ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut indeks. Ketiga,
hubungan antara tanda dan acuannya merupakan hubungan
yang sudah terbentuk secara konvensional; tanda itu disebut
simbol.
Kata-kata dan unsur-unsur kebahasaan pada umumnya,
pada prinsipnya semua merupakan simbol. Meskipun demi-
kian, beberapa di antaranya memiliki aspek ikon dan aspek
indeks. Kata cicak dengan cara tertentu mengemukakan
suatu persamaan dengan reptil yang diacu. Adapun kata-kata
deiksis—seperti di sini, ini, sekarang—berfungsi dalam hu-
bungan kedekatan dengan apa yang diacunya. Konstatasi ini
menunjukkan bahwa perbedaan antara ikon, indeks, dan
simbol tidak akan dapat dinyatakan dengan kejelasan yang
mutlak. Kata “cicak” pada prinsipnya adalah sebuah simbol.
Acuannya dinyatakan dalam simbol yang berbeda dalam bahasa
Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Penyebutan yang berbeda
ini berasal dari konvensi yang berbeda pula. Akan tetapi,
dibandingkan dengan kata-kata yang sama sekali tidak memiliki
hubungan kemiripan dengan acuan yang ditunjuknya, kata cicak
dapat dianggap sebagai tanda ikon. Ikonisitas kata tersebut
adalah masalah penonjolan, yakni penonjolan aspek kemi-
ripan. Penalaran yang sama dapat digunakan untuk kata-kata
deiksis untuk menjelaskan bahwa kata-kata ini merupakan
indeks.
Untuk Pierce, dari ketiga tipe semiotika yang telah dise-
butkan, tanda ikonlah yang paling utama. Ini disebabkan se-
mua yang diperlihatkan oleh realitas tampaknya memiliki ke-
mungkinan untuk dianggap sebagai tanda, baik itu merupakan

BAB 5
Model Kritik Sastra
125
objek konkret maupun suatu abstraksi. Hubungan itu harus
merupakan hubungan kemiripan karena tanda dan yang
mungkin menjadi acuannya itu memiliki sesuatu yang sama.
Bila antara tanda dan acuannya tidak memiliki kemiripan apa
pun, maka tidak dapat terjadi hubungan yang representatif.
Sekalipun demikian patut dicatat bahwa ikon yang murni tidak
pernah ada. Ikonisitas selalu tercakup dalam indeksitas dan/
atau dalam simbolitas. Apabila orang mengatakan bahwa tanda
itu suatu ikon, maka perlu dipahami bahwa tanda itu mengan-
dung penonjolan ikon; suatu tanda yang apabila dibandingkan
dengan tanda-tanda lain yang muncul dalam konteks, menun-
jukkan banyaknya ciri ikon.
Sekalipun demikian tidak berarti bahwa ikon merupakan
tanda yang paling penting. Sukar untuk menentukan tanda
yang mana yang paling penting. Simbol misalnya, merupakan
tanda yang paling canggih karena tanda ini terutama berfungsi
dalam penalaran dan pemikiran. Indeks terutama merupakan
tanda yang memiliki jangkauan yang paling eksistensial. Ikon
adalah tanda yang memiliki kekuatan Penggunaan “perayu”
yang melebihi tanda yang lain. Itulah sebabnya, para ahli teori
sastra tertuju pada hal ini—teks-teks sastra dan teks persuasif
yang menggunakan cara-cara sastra kaya dengan tanda-tanda
ikon.
Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa simbolisitas tidak
memegang peranan penting dalam teks-teks sastra. Sebaliknya,
soal-soal yang berkaitan dengan struktur argumentatif suatu
teks sastra perlu diteliti secara mendalam. Demikian pula
dengan masalah indeksitas suatu teks yang mengarah pada
masalah lain, seperti masalah fiksi dan nonfiksi, antara realita
fiktif dan realita sejarah. Dalam kajian seperti ini, konsep
Pierce sangat berguna. Untuk menunjukkan bagaimana semio-
tika Pierce dapat memberikan sumbangannya pada kajian ten-
tang sifat puitis dan efisiensi suatu teks sastra, maka pertama-
tama yang perlu dilakukan adalah menunjukkan kemung-
kinan-kemungkinan penerapan konsep ikonisitas.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


126 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Di dalam sebuah teks terdapat ikon apabila orang meli-
hat adanya persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya.
Persoalannya adalah mengetahui pada kondisi bagaimana da-
pat dibicarakan soal kemiripan. Untuk memecahkan masalah
ini, yang terbaik adalah mengonfrontasikan dua deskripsi:
deskripsi tanda dan deskripsi acuannya. Jika kedua deskripsi
mengandung predikat yang sama, maka dapat dikatakan ada
kemiripan. Sebagai contoh, dalam sajak Chairil yang berjudul
“Senja di Pelabuhan Kecil” unsur-unsur kebahasaan yang
membentuk sajak itu diatur sedemikian rupa sehingga meng-
gambarkan suasana senja di sebuah pelabuhan kecil. Hasil
pengamatan itu masuk dalam deskripsi sajak yang secara
keseluruhan mencakup unsur deskripsi yang sama. Memang
sajak dan acuannya menunjukkan perbedaan dalam banyak
hal dan deskripsi masing-masing akan menunjukkan hal itu.
Segala macam ciri dapat menuntun pembaca atau pe-
nonton untuk membuat interpretasi metaforis secara keselu-
ruhan. Ikon metafora juga terlihat dalam unsur-unsur teks
yang lebih kecil lagi. Kita mulai saja dengan contoh yang di-
pinjam dari bidang musik. Dalam Passion selon saint Mathieu
karya Bach, sang penginjil, setelah menceritakan pengingkaran
Santo Petrus, menyanyikan “Und alsbald krahete der Hahn”
(‘Segera ayam jantan berkokok’). Dalam fragmen tersebut
melodinya menirukan kokok ayam jantan: ia bersifat ikonis.
Hal yang sama dapat terjadi dalam puisi, yakni pada bagian
tempat irama kalimat menyatu dengan makna. Dalam Recueil-
lement ‘Renungan’ karya BeaudeLaire dapat dibaca: “Tu
réclamais le Soir: il descend: le voici.” ‘Kau menuntut datang-
nya malam: ia turun: inilah dia’. Penurunan irama bertepatan
dengan penggal yang kedua, ketika “malam turun”. Ikonisitas
ini pasti menunjang keindahan sajak itu.
Pembedaan antara ikon topologis, diagramatik, dan
metafora, sekali lagi, tidak mutlak. Hal ini menyangkut pe-
nonjolan saja. Untuk membuat pembedaan itu, kita cukup
melihat deskripsi yang menunjukkan kehadirannya. Jika

BAB 5
Model Kritik Sastra
127
dalam deskripsi itu digunakan istilah-istilah yang termasuk
wilayah makna spesialistis, disimpulkan adanya ikon topo-
grafis. Apabila termasuk wilayah makna relasional, yang ter-
dapat ikon diagramatik. Jika deskripsi yang dibuat untuk me-
nunjukkan adanya ikon mengharuskan dipakainya metafora
sebagai istilah (jika secara metafora dikatakan bahwa ada
“metafora”), maka yang terdapat ikon metafora. Untuk me-
mahami hal itu, kita lihat saja contoh-contoh yang telah dibe-
rikan di muka.
Mengapa kita tidak mengandalkan “kepekaan ikonis”
pembaca atau peneliti saja? Percayalah bahwa ikonisitas itu
muncul setiap kali pembaca menyadari bahwa suatu gejala
semiotik non-konvesional terlihat (jika, paling tidak, bukan
ikon yang telah melembaga). Pengaturan tipografis tanda-tanda
kebahasaan dalam puisi “konkret” Apollinaire merupakan
contoh yang tidak diragukan lagi tentang hal itu: secara gam-
blang ia merupakan tanda ikonis.
Sehubungan dengan hal itu dibuat perbandingan de-
ngan cara menemukan metafora dalam arti yang sebenarnya.
Kita membuat interpretasi tentang adanya gejala metafora
pada sebuah kata setelah mengamati bahwa ada pelanggaran
terhadap aturan pembatasan pilihan kata. Dalam kaidah kali-
mat yang dimulai dengan “Orang ini adalah …”, kaidah tata
bahasa mengharuskan kita menambahkan sebuah predikat
nominal yang memiliki komponen makna “manusiawi” (pem-
berani, pahlawan, dsb.). jika kita taruh di situ predikat yang
memiliki komponen makna “binatang” (misalnya “Orang itu
adalah seekor singa”), terjadi pelanggaran terhadap aturan
pembatasan pilihan kata. Maka tergugahlah “kepekaan meta-
foris” para pembaca: ia sadar bahwa ia berhadapan dengan
suatu majas, dalam hal ini suatu metafora. Ia tahu bahwa
kata “singa” dapat diinterpretasikan secara metaforis karena
ia tahu bahwa dalam bahasanya berfungsi berbagai metafora.
Penemuan tanda-tanda ikonis pun dilakukan dengan cara yang

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


128 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
sama: manakala orang tahu bahwa tanda-tanda itu ada, tanda-
tanda itu dicari.
Pradopo (1993:121) menjelaskan bahwa puisi sebagai
sistem semiotik (sistem tanda) harus dikaji dalam kerangka
semiotik pula. Dalam kerangka semiotik pengkaji (i) menghu-
bungkan puisi dengan penafsiran pembaca dan pengarang,
(ii) menghubungkan puisi sebagai lambang dengan sesuatu
yang dilambangkan, (iii) menghubungkan penafsiran pembaca
dan pengarang dengan sesuatu yang dilambangkan. Dalam
pandangan semiotik, puisi merupakan fakta yang mengan-
dung makna yang tidak dinyatakan secara langsung oleh
penyairnya (bandingkan Aminuddin, 1997:84).
Menurut Aminuddin (1997), wawasan semiotik dalam
kajian sastra memiliki tiga asumsi. Pertama, karya sastra me-
rupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang,
karya sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca. Kedua, karya
sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem lam-
bang yang memiliki struktur. Ketiga, karya sastra merupakan
fakta yang harus direkonstruksikan oleh pembaca sesuai de-
ngan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.
Dalam membuat analisis, diperlukan model kategori yaitu
klasifikasi masalah yang bertolak dari model generalisasi
simbolik. Penerapan model dalam kajian ini menurut Amin-
uddin (1997) merupakan perpaduan model kajian semiotik
dengan kajian strukturalisme puitik model Culler. Kategori
simboliknya meliputi: persona, deiksis, unsur pembentuk
struktur dan ciri relasi sintaksisnya, aspek semantis, dan unit
tematis, motivasi penutur serta naturalisasi. Model kategori
yang lain dikembangkan Roman Ingarden yang meliputi: la-
pis bunyi, lapis makna, gambaran objek, aspek pembentuk
teks, dan unit tematis. Atau model Richard yang meliputi:
sense, feeling, tone, subject matter, dan invention.

BAB 5
Model Kritik Sastra
129
B. TEKNIK ANALISIS
Analisis ini dilakukan dengan teknik membaca kritis
dan kreatif. Teknik tersebut diwujudkan dengan membaca
secara kritis-evaluatif puisi-puisi sampai mencapai titik jenuh
sehingga diperoleh pemahaman dan pemerian arti yang men-
dalam. Secara operasional teknik itu dirinci dalam prosedur
sebagai berikut.
(1) Mengidentifikasi, menandai, dan memberi kode kata,
frasa, atau larik-larik yang mengindikasikan muatan
unsur ikon, indeks, simbol, dan kategori simbolik yang
meliputi persona, deiksis, unsur sintaksis, aspek semantis,
dan unit-unit tematis.
(2) Memaknai unsur-unsur pada kategori simbolik yang
sudah teridentifikasi sehingga diperoleh karakteristik
semiotik yang meliputi: ikon, indeks, dan simbol pada
setiap puisi.

Analisis dikerjakan dengan menggunakan teknik pema-


haman arti secara hermeneutis. Analisis menurut asas herme-
neutik dilakukan secara melingkar, yakni mula-mula dilaku-
kan pemaknaan secara menyeluruh kemudian dilakukan
pemaknaan bagian demi bagian. Selanjutnya hasilnya digu-
nakan untuk memperbaiki pemaknaan keseluruhan.

C. ANALISIS
1) Analisis Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Puisi “Muham-
mad”
Pertanyaan yang muncul setelah membaca judul
“Muhammad” adalah, siapa Muhammad? Bagaimana ciri-
cirinya? Judul “Muhammad” dalam puisi tersebut merupakan
indeks bagi isi teks puisi. Ciri-ciri Muhammad terdes-
kripsikan dalam teks puisi. Ia memiliki tatapan yang lembut
tetapi menggetarkan,

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


130 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
dengan lembut sahdu
dan bulu-bulu mata yang menggetarkan

Tatapan yang demikian akan mendatangkan rasa kasih, rahmat,

kasih yang sangat besar


turun di jantung bumi

Tutur katanya lembut dan mulia,

dunia yang sangat mesra


berayun
pada ujung lidahnya
segala umpat segala khianat
hanya menggeliat dan tersungkur
di hadapannya

Ia pembuka pintu petunjuk,

Dengan ramahnya dibukanya


bagi segenap umat manusia
sebuah wilayah jiwa
yang tak pernah kematian cahaya

“Cahaya” merupakan simbol dari “kehidupan yang


benar”, cahaya juga menjadi indeks bagi “pembeda antara
yang benar dan yang salah”. Bukankah hanya dengan cahaya
orang dapat mengenali jalan yang benar sehingga dapat men-
jalani hidup tanpa tersesat.
Ia mencerminkan pribadi yang serba elok, serba indah,
sehingga aku lirik rindu ingin bertemu “yang menunjukkan
aneka/ keindahan sejati hingga aku bisu di warna rindu”.
Mengingat itu semua, “aku” lirik hanya mampu berbicara
fasih dalam hati,

BAB 5
Model Kritik Sastra
131
Kefasihanku
hanya bergema di hati
selalu

Jika dihubungkan dengan pernyataan metaforis pada


bait 1–4 dan efeknya pada citraan visual dan auditif yang
menarik, maka kesan mempesona pada ciri-ciri pribadi
Muhammad yang terdeskripsikan akan semakin kuat.

2) Analisis Bentuk Persona, Deiksis, Relasi Sintaksis, dan


Relasi Semantik dalam Puisi “Semerbak Mayang”

Semerbak Mayang
saat kau datang dalam hatiku
bumi berbisik selembut lagu
- di pangkuanku sejalur jalan
ke puncak gunung biru
restuku semerbak mayang
bila engkau dan dia
mau datang ke sana

kucinta engkau
gadis manis sedap garam
lantaran engkau
kasur busa yang lembut lunak
tempat jiwaku tertidur nyenyak
engkau tanah yang paling baik buat kubajak
tempatku menanam benih-benih anak
- aduhai, aduhai!
restuku semerbak mayang
bermimpilah!
tentang anakku tentang anakmu
anak kita berdua
ketika kau pangku dia
aku menciumnya
aduhai!

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


132 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
wajahmu yang menyimpan milikku
kasih keibuanmu yang biru
memanggilku selalu
- teruskan, teruskan!
restuku semerbak mayang
1966

Paparan yang bersifat deskriptif diperkuat dengan pe-


rincian terhadap gambaran situasi yang indah terlihat pada
rangkaian frasa nomina:

bunyi salmong
gadis manis
lenting keroncong
mayang yang lebat
bulan rembang
nyiur melambai
bulan dua
kerdip matanya

Perincian tersebut merupakan sarana retorika untuk


memperjelas suasana hati yang bahagia.

3) Analisis Bentuk Diksi, Majas, Citraan, dan Sarana


Retoris sebagai Tanda dalam Puisi “Dialog Bukit
Kamboja”

Dialog Bukit Kamboja


Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah

Seorang nenek, pandangnya tua memuat jarum cemburu


menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu

“aku anak almarhum,” jawabku dengan suara gelas jatuh


Pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu

BAB 5
Model Kritik Sastra
133
“Lewat berpuluh kemarau
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya merekah
seperti puisi mekar pada lembar bunga basah

“Anakku mati di medan laga, dahulu


saat Bung Tomo mengipas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”

Jauh di lembah membias rasa syukur


pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur

“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana


Tak ketemu. Tak ada yang tahu
Sedang aku ingin ziarah, menyampaikan terima kasih
atas gugurnya: mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”

“Tapi ayahku sepi pahlawan


Tutur orang terdekat, saat ia wafat
jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”

“Apa salahnya kalau sesekali


kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh”
Sore berangkat ke dalam remang
ke kelepak kelelawar

“Hormatku padamu nenek! Karena engkau


menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


134 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”

Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak


Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekadar untuk sebuah palu
1995

Setelah membaca judul “Dialog Bukit Kemboja” timbul


pertanyaan, siapa yang berdialog? Dialog tentang apa? Untuk
menjawab pertanyaan pertama dicari persona dalam teks
puisi. Persona yang pertama muncul adalah “seorang nenek”
(larik ketiga) diikuti persona “aku” (larik keempat),

Seorang nenek, pandangnya tua memuat jarum cemburu


menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu

Dengan gaya “dialog”, “aku” lirik mencoba mencerita-


kan kisah perjumpaannya dengan seorang nenek pada saat
dia berziarah ke kubur ayahnya. Dari 14 bait yang ada, 9
bait di antaranya merupakan petikan dialog. Isi dialog lebih
banyak mengungkapkan perasaan dan pengalaman sang
“nenek” tentang pencariannya untuk menemukan kubur
anaknya yang menurutnya mati di medan laga, dan sebagian
lainnya mengungkapkan kenangan aku lirik tentang ayahnya
yang sudah almarhum. Kedua persona menganggap kubur
yang sama sebagai kubur ayah si “aku” lirik dan kubur anak
si “nenek” dan keduanya tidak mempersoalkan yang benar
kubur siapa. Dengan demikian, terdapat ikon antara judul
dengan teks puisi. Selain itu teks puisi tersebut juga dapat

BAB 5
Model Kritik Sastra
135
dipandang sebagai “ikon” bagi fakta empirik. Keseluruhan
kata/frasa dalam teks puisi merupakan tanda yang meng-
gambarkan pengalaman dialogis antara “aku” lirik dengan si
“nenek”.
Kata “kemboja” merupakan indeks bagi “kuburan”,
tetapi juga merupakan simbol “kematian”. Kemboja memberi
latar pada isi teks puisi yang berbicara tentang makna kematian
seseorang dan makna ziarah bagi kedua persona. Kedua per-
sona mencoba memaknai secara objektif kematian orang-or-
ang dekatnya. Tidak ada metaforik yang mengisyaratkan
“sanjungan” atau penggunaan sarana retorika hiperbola. Si
“nenek” hanya menuturkan dengan memberi kata keterangan
mati “di medan laga”.

“Anakku mati di medan laga, dahulu


saat Bung Tomo mengipas bendera dengan takbir

Baris “Jauh di lembah membias rasa syukur/pada hijau


ladang sayur, karena laut bebas” merupakan bentuk ungkapan
syukur dan bahagia si nenek.
Persona “aku” lirik bahkan lebih “merendah” dalam
menyikapi keberadaan ayahnya saat meninggal. Itu terlihat
pada ungkapan metaforik “ayahku sepi pahlawan” dan “jasad-
nya hanya satu tingkat di atas ngengat”. Kata “sepi” pada
frasa “sepi pahlawan” secara denotatif mengacu pada bentuk
negasi dari “ramai”, tidak ada atau bukan siapa-siapa. Dengan
demikian ayah si “aku” lirik bukan pahlawan.
Secara denotatif kata “ngengat” mengacu pada “hewan
kecil yang memakan serat-serat kering pada kain atau ker-
tas”. Dengan demikian frasa “hanya satu tingkat di atas nge-
ngat” bermakna tidak jauh berbeda dengan hewan kecil nge-
ngat. Dengan kata lain, menurut pengakuan “aku” lirik jasad
ayah si “aku” lirik tidak lebih berharga dari seekor ngengat.
Kedua persona berusaha mengambil hikmah dari ke-
giatan “berziarah”. Bagi si “nenek”,

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


136 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh”

“Aku” lirik berusaha mengambil manfaat lain pertemu-


annya dengan si “nenek”,

“Hormatku padamu nenek! Karena engkau


menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”

Si nenek memberi jawaban diplomatis dengan mengatakan,

“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta


Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”

Kata “bambu runcing” dan “sembilu” merupakan in-


deks bagi “senjata tajam”. Akan tetapi keduanya sebagai sim-
bol dua hal yang berbeda. “Bambu runcing” adalah simbol
bagi “pahlawan terhadap musuh” sedangkan “sembilu” adalah
simbol bagi “penindas” atau “penindasan atas sesama”.

D. PENILAIAN
Berdasarkan kategorisasi hubungan tanda dan petanda,
hubungan teks dan kenyataan, dinilai bahwa (1) sebagian
besar teks puisi merupakan indeks bagi kenyataan empirik,
(2) sebagian kecil teks puisi merupakan ikon bagi kenyataan
empirik, (3) tidak terdapat teks puisi yang menjadi simbol
bagi kenyataan empirik.
Pada hubungan tanda dan petanda, hubungan judul (tan-
da) dan isi teks (petanda) diperoleh temuan (1) judul sebagai
indeks bagi keseluruhan teks, dan (2) judul sebagai ikon bagi
sebagian isi teks (kata/frasa/larik). Hubungan simbolik hanya
ditemukan pada tanda yang berwujud kata/frasa yang digu-
nakan dalam ungkapan metaforik. Tanda yang dimaksud ada-

BAB 5
Model Kritik Sastra
137
lah kata “cahaya” (puisi 1), “mayang” (puisi 2), “mayang”
(puisi 3), “hijau” (puisi 10), “ujung pita”, “daun gugur”, “air
telaga” (puisi 11), “Puisi” (puisi 15), “sapi”, “pena”, “per-
tapa” (puisi 16), “pipit”, “garuda”, “camar” (puisi 17), “alif ”,
“pedang”, “susuk”, “kompas”, “belut”, “cagak”, “linggis”
(puisi 18), “celurit emas”, “taring langit” (puisi 19), “badik”
(puisi 20), “bunga”, “api”, “hijauan”, “melati” (puisi 23),
“kemboja”, “ngengat” (puisi 25).
Berdasarkan kategorisasi simbolik ditemukan 4 kategori
satuan tematis. Keempat kategori yang dimaksud adalah (1)
tema hubungan aku lirik dengan Sang Pencipta atau yang ter-
kait, (2) tema hubungan aku lirik dengan orang lain atau ling-
kungan sosialnya, (3) tema hubungan aku lirik dengan ling-
kungan alamnya, dan (4) tema hubungan aku lirik dengan
sejarah serta tradisi yang berkembang di masyarakat.
Dinilai bahwa tema puisi-puisi D Zawawai Imron
merupakan wujud pilihan persoalan yang akrab dengan atau
dihadapi oleh penyair selaku pribadi. Tema pertama menun-
jukkan usaha, keinginan atau wujud kedekatan Zawawi ter-
hadap Tuhan. Tema kedua menunjukkan kepedulian Zawawi
terhadap kehidupan sosialnya seperti dengan orang-orang ter-
dekat, masyarakat, atau bahkan orang-orang yang baru dike-
nalnya. Tema ketiga menunjukkan upaya Zawawi untuk me-
nikmati dan mensyukuri keindahan atau rahmat yang tersem-
bunyi di balik ketidaknyamanan keadaan alam tempat tinggal-
nya yang dirasakannya. Tema keempat menunjukkan tinggi-
nya apresiasi Zawawi terhadap tokoh sejarah, perjuangannya,
serta tradisi di lingkungan tokoh tersebut berasal.
Karakteristik semiotik puisi-puisi karya D. Zawawi
Imron yang dianalisis berdasarkan kategorisasi hubungan
tanda dan petanda, hubungan teks dan kenyataan, diperoleh
temuan: (1) sebagian besar teks merupakan indeks bagi ke-
nyataan empirik, (2) sebagian kecil teks puisi merupakan ikon
bagi kenyataan empirik, dan (3) tidak terdapat teks puisi yang
menjadi simbol bagi kenyataan empirik. Pada hubungan tanda

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


138 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
dan petanda, hubungan judul (tanda) dan isi teks (petanda)
diperoleh temuan (1) judul sebagai indeks bagi keseluruhan
teks, dan (2) judul sebagai ikon bagi sebagian isi teks (kata/
frasa/larik). Hubungan simbolik hanya ditemukan pada tanda
yang berwujud kata/frasa yang digunakan dalam ungkapan
metaforik. Berdasarkan kategorisasi simbolik ditemukan 4
kategori tema, yakni hubungan aku lirik dengan (1) Sang
Pencipta atau yang terkait, (2) orang lain atau lingkungan
sosialnya, (3) lingkungan alamnya, dan (4) sejarah serta tradisi
yang berkembang di masyarakat. Keempat kategori tema ter-
sebut dinilai sebagai cerminan kepedulian dan pengenalan
D. Zawawi Imron terhadap Tuhan, lingkungan sosial, ling-
kungan alam, dan tradisi serta sejarah masyarakat yang me-
lingkupi dan melatarinya.

5.3 MODEL KRITIK PSIKOLOGIS


A. LANDASAN TEORI
Analisis psikologis terhadap karya sastra merupakan
analisis interdisipliner. Analisis psikologis memang memadu-
kan dua bidang keilmuan yang memiliki disiplin yang berbeda,
yakni disiplin sastra dan disiplin psikologi. Analisis objektif
terhadap tokoh serta karakternya dalam karya sastra dipadu-
kan dengan analisis berdasarkan kaidah atau teori psikologi,
karakter setiap tokoh dianalisis dan dipahami melalui prinsip-
prinsip psikologi.
Terdapat empat model analisis psikologi dalam karya
sastra (Wellek dan Warren, 1989). Dari keempat model ana-
lisis psikologi yang ditawarkan, telaah psikologi pengarang
dan analisis tipe-tipe psikologis tokoh yang bertautan dengan
telaah psikologi karya sastra (Soedjijono, 1989:9). Pengertian
ini sekaligus memberikan arah dan batasan yang jelas terhadap
analisis psikologi karya sastra yang akan diterapkan dalam
tulisan ini. Pemilihan dan pembatasan ini juga disesuaikan

BAB 5
Model Kritik Sastra
139
dengan bentuk karya sastra yang akan dianalisis, yaitu novel
“Rafilus”.
“Rafilus” merupakan novel karya Budi Darma sesudah
“Olenka”. “Rafilus”, menurut pengakuan Budi Darma, meru-
pakan abstraksi realitas kehidupan. Abstraksi dalam “Rafilus”
merupakan abstraksi yang khas Budi Darma, abstraksi yang
menjungkirbalikkan kehidupan. Dalam dunia jungkir balik
“Rafilus” dapat ditemukan berbagai unsur kehidupan masya-
rakat. Pembaca akan menemukan kondisi kampung yang luar
biasa kumuh, lingkungan yang sungguh tidak layak huni, peng-
aturan lalu lintas yang benar-benar tidak teratur, dan kondisi-
kondisi lain. Selain unsur sosial, pembaca juga dapat menemu-
kan unsur-unsur yang berkaitan dengan unsur-unsur psikologi
karena “Rafilus” menampilkan tokoh-tokoh dengan kepri-
badian yang unik, dengan tindakan-tindakan yang mengejut-
kan. Yang menarik dari tokoh-tokoh ini adalah kekhasan fisik-
nya, terutama fisik tokoh utamanya, yaitu Rafilus. Secara
umum, mereka cukup jujur dalam berbuat dan dalam menya-
takan keinginan-keinginan mereka. Setiap tokoh memiliki
kompleksitas pengalaman batin. Melalui tulisan ini, unsur-
unsur psikologi di atas dicoba diangkat ke permukaan. Secara
rinci masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini: (1) bagaimana-
kah gejala kejiwaan yang diperlihatkan karakter tokoh-tokoh
dalam novel Rafilus, (2) bagaimanakah hubungan gejala keji-
waan tokoh yang teridentifikasi dengan teori kepribadian,
dan (3) bagaimanakah tipe kepribadian tokoh dalam pandang-
an teori kepribadian?
Wellek dan Warren (1989:90) memberikan empat ke-
mungkinan analisis psikologis terhadap karya sastra. Pertama,
analisis terhadap psikologi pengarang. Kedua, analisis terha-
dap psikologi penciptaan karya sastra (proses kreatif). Ketiga,
analisis terhadap tipe-tipe dan kaidah-kaidah psikologi dalam
karya sastra. Keempat, analisis terhadap efek karya sastra
kepada pembaca (1989:90). Dari keempat model analisis psi-
kologi di atas, analisis pertama dan ketiga yang sebenarnya

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


140 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
banyak pertautannya dengan analisis terhadap psikologi karya
sastra (Soedjijono, 1989:9).
Studi psikologi pengarang lebih menekankan kajiannya
terhadap masalah bagaimana keadaan kejiwaan orang yang
berprofesi sebagai pengarang baik sebagai penyair maupun
sebagai novelis, yang membedakannya dengan keadaan jiwa
orang yang bukan pengarang.
Dari hasil analisis psikologi pengarang, muncul banyak
anggapan tentang diri pengarang. Anggapan itu misalnya, sas-
trawan adalah orang yang jenius, kejeniusan dianggap dise-
babkan oleh semacam kegilaan—dari tingkat neurotik sampai
psikosis. Ada pandangan bahwa gangguan emosi dan kompen-
sasi membedakan seniman dengan yang lain. Pengarang menu-
liskan kegelisahannya, menganggap kekurangan dan kesengsa-
raannya sebagai tema karya-karyanya. Freud menganggap pe-
ngarang seorang neurotik yang keras kepala. Melalui kerja
kreatifnya pengarang menjaga agar tidak menjadi gila tetapi
sekaligus juga agar tidak dapat disembuhkan (Wellek dan
Warren, 1989:90-97).
Analisis psikologis terhadap novel didasarkan pada ang-
gapan bahwa di dalam novel terdapat tokoh-tokoh atau pri-
badi-pribadi yang secara kejiwaan memiliki karakteristik
yang khas yang dapat dipahami melalui teori psikologi. Ber-
dasarkan asumsi tersebut, dalam menelaah karakter tokoh-
tokoh dalam novel “Rafilus” ini diperlukan landasan teori
psikologi. Akan menjadi salah bila telaah terhadap watak
tokoh tanpa memanfaatkan teori psikologi. Cara yang ditem-
puh adalah meman-faatkan salah satu dari teori-teori psiko-
logi.

Teori Kepribadian
Teori psikologi yang akan dimanfaatkan dalam telaah
ini adalah teori kepribadian yang dirumuskan oleh Sigmund
Freud. Kepribadian menurut Freud adalah “an structural mo-

BAB 5
Model Kritik Sastra
141
del” yang terdiri dari tiga unsur: id, ego, dan super ego. Dalam
diri seseorang yang normal, ketiga unsur ini merupakan suatu
susunan yang bersatu dan harmonis. Dengan kerjasama yang
teratur, ketiga unsur itu memungkinkan seorang individu
untuk bergerak secara efisien dan memuaskan dalam ling-
kungannya. Gerak-gerik ini bertujuan untuk memenuhi ke-
perluan dan keinginan manusia yang pokok. Sebaliknya, kalau
ketiga unsur kepribadian ini bertentangan satu dengan yang
lain, maka orang yang bersangkutan dinamakan orang yang
tidak dapat menyesuaikan diri. Ia tidak puas dengan dirinya
sendiri dan dengan lingkungannya (S. Hall, 1980:29).
Dalam pembagian ini, daya sentral terletak pada id dan
super ego. Id adalah bagian kepribadian yang paling primitif
(the most primitive part of the personality) (D. Nye, 1989:7).
Id adalah dorongan paling purba yang belum dibentuk dan
dipengaruhi kebudayaan. Id adalah dorongan hewani atau
perangsang biologis, keinginan, kebutuhan, atau dorongan
fisiologis lainnya untuk bertindak. Kesemuanya merupakan
sebagian warisan genetis individu (Cuzzort, 1985:8). Id juga
diartikan sebagai sumber segala agresi dan segala hasrat. Id
menentang norma, bersifat asosial, dan amoral (Guerin, 1979:
125). Diperkirakan bahwa dalam batas-batas tertentu, semua
orang lahir dengan dorongan hewani yang relatif sama.
Satu-satunya fungsi id adalah mengusahakan tersalur-
kannya kumpulan energi atau ketegangan yang dicurahkan
dalam jasad oleh rangsangan-rangsangan baik dari dalam mau-
pun dari luar. Fungsi id ini menunaikan prinsip kehidupan
yang asli atau pertama yang dinamakan prinsip kesenangan
(pleasure principle). Tujuannya adalah memuaskan semua do-
rongan primitif (Sarlito, 1978:7).
Kebalikan dari id adalah superego. Unsur ini sepe-
nuhnya dibentuk oleh kebudayaan. Superego mewakili aspek
moral manusia (the superego represents the moral aspect of
human) (D. Nye, 1989:7). Seorang anak, pada masa kecilnya
lazimnya mendapat pendidikan dari orang tua atau gurunya.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


142 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Melalui pendidikan itulah, ia mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan dan mana yang
dilarang, mana yang sesuai dengan norma dan mana yang
melanggar norma. Pada waktu anak itu menjadi dewasa, se-
gala norma yang diperoleh melalui pendidikan pada masa ke-
cilnya menjadi pengisi dan pembentuk unsur superego sehing-
ga superego berisi dorongan-dorongan untuk berbuat kebaik-
an, dorongan untuk mengikuti norma-norma yang hidup di
masyarakat (Sarlito,1978:178). Pernyataan ini sejalan dengan
pokok pemikiran Freud yang lain tentang watak dan kepri-
badian yang banyak dibentuk oleh masa-masa individu men-
jalani kehidupan masa kanak-kanaknya (Cuzzort, 1984:7).
Superego adalah produk masyarakat dan kepedulian
masyarakat. Dengan masuknya superego, individu menjadi
tunduk kepada “perintah” masyarakat. Tiap individu manusia
adalah makhluk sosial, di samping organisme yang merespons
tuntutan id. Jika ingin diterima di dalam masyarakat, individu
harus menemukan cara-cara untuk menyublimasikan kei-
nginan-keinginan dan kecenderungan id. Individu harus
mengolah bahan mentah dorongan-dorongan fisiologis men-
jadi bentuk-bentuk tingkah laku yang secara sosial dipandang
berharga (Cuzzort, 1984:9).
Di tengah-tengah konflik atau pertentangan yang terjadi
antara id dan superego muncullah unsur ketiga, yaitu ego.
Ego menurut Freud (Cuzzort, 1984:10) adalah unsur di anta-
ra kedua dorongan id dan superego. Ego adalah bagian dari
diri manusia yang langsung mengalami realitas dan mema-
nunggalkan tuntutan superego dan id yang saling berlawanan.
Fungsi ego adalah menjaga keseimbangan di antara kedua
unsur yang lain sehingga tidak terlalu banyak dorongan dari
id yang dimunculkan ke kesadaran, demikian sebaliknya,
tidak semua dorongan superego saja yang dipenuhi.
Sesuai dengan fungsinya, ego senantiasa realistis. Ego
harus beradaptasi dengan dorongan-dorongan id yang senan-
tiasa menginginkan kesenangan. Ego juga harus memper-

BAB 5
Model Kritik Sastra
143
hatikan sensor moral dari superego. Seseorang yang memiliki
ego yang kuat akan dapat menciptakan kompromi yang pa-
ling baik dan paling realistis antara tuntutan-tuntutan id dan
superego yang saling bertentangan. Ego yang lemah tidak
dapat menjaga keseimbangan antara superego dan id. Me-
nyerah pada id saja sama saja dengan memperturutkan ting-
kah laku kekanak-kanakan dan ketidakdewasaan yang cende-
rung primitif atau hewani. Kalau ego terlalu dikuasai oleh
dorongan-dorongan id saja, maka seseorang akan menjadi
psikopat, tidak memperhatikan norma dalam segala tindakan-
nya. Sebaliknya, sepenuhnya berada dalam kekuasaan super-
ego sama saja dengan bertindak kaku dan represif. Kalau
orang terlalu dikuasai superegonya, maka individu akan men-
jadi psikoneurosis—tidak dapat menyalurkan sebagian do-
rongan primitifnya. Di tengah-tengah dua tuntunan yang saling
berlawanan inilah, ego berjuang untuk mencari keseimbangan
(Sarlito, 1978:179).

B. ANALISIS
Deskripsi Karakter Tokoh
Novel “Rafilus” berhubungan dengan kehidupan ma-
syarakat, maka mudah ditebak jika di dalamnya dijumpai ba-
nyak tokoh. Tidak semua tokoh akan dianalisis karakternya,
dipilih beberapa tokoh saja. Pemilihan tokoh dilakukan de-
ngan pertimbangan pada peran yang dibawakan tokoh terse-
but. Selain tokoh utama, yaitu Rafilus, dipilih juga tokoh-
tokoh yang erat kaitannya dengan tokoh utama. Mereka terli-
bat atau dilibatkan dengan persoalan dan peristiwa yang diha-
dapi tokoh utama. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah Tiwar,
Pawestri, dan Van der Klooning.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


144 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Rafilus
Rafilus adalah lelaki muda yang memiliki sosok tubuh
yang “aneh”.

“Tubuhnya seperti terbuat dari besi. Kulitnya hitam mengkilat


seperti permukaan besi yang sering dipoles dan hampir tidak
pernah berhenti digosok.” 3

“Langkah-langkah kakinya menimbulkan derap bagaikan ken-


daraan berat. Terkesan kebal peluru.” 4

“Selanjutnya dituturkan oleh Tiwar, Tangan saya berantakan.


Dan pada waktu dia menepuk bahu saya, mau rasanya saya men-
jerit, karena engsel-engsel tulang saya terasa akan lepas. Sepertinya
dia terbuat dari bahan yang keliru. Dia sanggup dihantam apa
pun.”5

“Rambutnya juga ‘aneh’. Seminggu sekali dia menggarap ram-


butnya terlalu keras, kasar, dan sulit digunting. Beberapa tukang
cukur mengibaratkan rambutnya dengan kawat, enggan patah baik
digunting maupun ditekuk-tekuk. Sekarang dia bangga akan ram-
butnya, yaitu pendek, keras dan kasar.”6

Dia suka berbicara ringkas. Beberapa kali Tiwar mence-


ritakan kebiasaannya berbicara ringkas.

“Entah berapa lama mobil berhenti. Saya hanya ingat bahwa dia
menceritakan segala sesuatu dengan ringkas. Dia sanggup berkata
banyak dengan kata-kata yang sebenarnya tidak banyak.” 7

Demikian pula ketika dia bercerita tentang masa kanak-


kanaknya.

“Kemudian dengan serba ringkas dia bercerita mengenai masa


kanak-kanaknya, ketika dia masih tinggal di rumah yatim piatu.
Katanya pada waktu itu dia sering disiksa. Dia sering diikat, dipu-
kuli, disuruh berdiri, kemudian berjongkok bergantian seratus

BAB 5
Model Kritik Sastra
145
kali, dilarang tidur, dan disuruh berdiri sepanjang malam mengha-
dap tembok. Siksaan demi siksaan telah banyak ditelannya tanpa
hak untuk mengaduh dan mengeluh.”8

Perlakuan keras di masa kanak-kanak tersebut menye-


babkan Rafilus menjadi kebal pukul, bahkan pada akhirnya
semakin menjadi kebutuhan. Ini dibuktikannya dengan latih-
an yang dilakukannya dan keinginannya untuk memancang-
kan kepalanya pada tiang besi.

“… Rafilus sedang membentur-benturkan kepalanya ke tiang


listrik besar tegangan tinggi. Kadang-kadang, seperti domba Ku-
tub Utara beradu dengan musuh sesama domba, dia menerjangkan
kepalanya ke tiang listrik dengan lenguh-lenguh ganas. Tanpa am-
pun tiang listrik menjadi bengkok-bengkok.”9

“Kemudian dengan nada tidak acuh, dia menyatakan bahwa dia


sudah lama ingin memancung kepalanya sendiri dan memancang-
kannya pada sebuah tiang besi.”10

Dengan latihan demikian, tubuh Rafilus semakin perkasa.


Kerpekasaan ini menjadi daya tarik utama bagi dirinya. Wajar-
lah jika yang tertarik sebagian besar adalah wanita. Daya
tarik ini pula yang membuatya tergelincir untuk melakukan
sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkannya.

“Mengenai daya tarik tubuhnya sudah banyak dia mempunyai


bukti. Semua kenalannya sudah menyatakan betapa menarik tu-
buhnya. Sementara itu banyak perempuan datang sudah, dan te-
rang-terangan sangat berminat untuk menikmati tubuhnya.”11

Di balik itu, sebenarnya ada sisi lain yang lebih menarik


pada diri Rafilus, yaitu sikap yang ramah, melindungi, dan
keinginannya berbuat baik serta mempunyai anak.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


146 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
“Rafilus ramah dan tampak selalu ingin bersahabat. Perhatian
saya langsung tersedot.”12

“Seharusnya saya takut. Saya sadar bahwa saya sedang berhadapan


dengan setan. Ternayta saya justru merasa sejuk. Mata Rafilus
sangat garang, tapi sekaligus sangat teduh. Sikapnya menunjukkan
nafsu kerasnya untuk melindungi saya.”13

“Saya menginginkan anak sekolah saya menginginkan sebuah


benda, padahal seharusnya tidak demikian. Anak adalah hakikat,
saya tahu. Dan saya akan memperlakukan anak saya sebagai makh-
luk yang lebih penting daripada diri saya sendiri. Akan saya
junjung martabat dan harkat anak saya.”14

Akan tetapi keinginannya yang terakhir itu tidak mung-


kin dapat terwujudkan karena menurut pengakuannya kepada
Tiwar, ia tidak memiliki cinta kasih dan mandul.

“Tapi saya juga menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih hakiki
daripada anak, yaitu cinta kasih. Anak adalah sebuah akibat belaka.
Sementara itu saya tidak pernah mengenal cinta. Tidak pernah
saya mencintai, dan tidak pernah pula saya dicintai.” 15

“Keadaan tubuh saya memaksa saya untuk yakin bahwa saya tidak
akan mempunyai anak. Dan sering sudah saya membuktikannya.
… Saya benar-benar mandul. Seseorang yang tubuhnya kosong
hanya snggup menciptakan kekosongan.” 16

Tiwar
Tiwar adalah penutur cerita yang bodoh sekaligus
pintar. Kebodohannya terlihat pada ketidakmampuannya
menceritakan pengalaman atau cerita orang lain dengan kali-
mat langsung yang lazimnya berisi dialog hidup. Karena keti-
dakmampuannya ini, maka dia menceritakannya dengan gaya-
nya tersendiri, dengan kalimatnya sendiri. Tentu saja ini me-
merlukan kepintaran sendiri, yakni kepintaran mengolah

BAB 5
Model Kritik Sastra
147
cerita orang lain. Beberapa kali disebutkan Tiwar mengambil
alih penutur aslinya.

“Saya mengalami kesulitan besar mengikuti ceritanya. Karena


itu lebih baik saya mengambil oper kedudukannya. Saya akan
menuturkan kembali ceritanya dengan cara saya sendiri.” 17

Dia menjalin hubungan dengan Pawestri. Dia jatuh cinta


kepada Pawestri pada pandangan pertama. Menurut penga-
kuannya, dia memang mudah jatuh cinta.

“Pada saat itu saya merasa bahwa saya sudah jantu cinta kepa-
danya. Andaikata ia perempuan lain dan wajahnya tidak mema-
lukan, pasti saya sudah jatuh cinta. Memang saya mudah jatuh
cinta. Entah sudah berapa perempuan yang saya cintai, saya tidak
ingat.”18

Selanjutnya hubungannya dengan Pawestri semakin


jauh. Dia menginginkan anak dari Pawestri tetapi sebenarnya
dia tidak bisa memberikan keturunan. Karena keinginannya
untuk punya anak demikian besar, dia tidak memedulikan
kemungkinan yang nantinya terjadi pada istri yang diingin-
kannya, meskipun dia menyadari bahwa dirinya impoten. Yang
penting baginya punya anak.

“…, saya berkata bahwa saya memang gagah, tegap, dan per-
kasa, tapi sebetulnya bobrok. Saya tidak mempunyai tulang sum-
sum, dan seluruh tulang belakang saya sebetulnya bobrok. Kemu-
dian saya mengeluarkan jaminan bahwa dia akan tetap perawan
sampai mati kalau dia benar-benar menjadi istri saya. Tapi saya
juga menjamin bahwa saya menginginkan anak dari dia. Apa pun
yang diperbuatnya setelah kawin dengan saya terserah, asal dia
sanggup mempersembahkan barang satu atau dua anak keharibaan
saya.” 19

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


148 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Dari kutipan di atas juga terlihat bahwa Tiwar seorang
lelaki “perkasa” meskipun lemah. Keperkasaan inilah yang
membuat Pawestri menginginkan dirinya lebih dari sekadar
keinginan yang wajar.

Pawestri
Pawestri, dilihat dari namanya, mewakili sosok wanita
yang berperan sebagai istri. Pawestri adalah seorang wanita
muda yang tidak buruk. Dia berpikiran agak tradisional tetapi
memiliki keberanian wanita “modern”. Pikiran tradisionalnya
tampak pada kutipan berikut.

“Dua hari kemudian saya menerima balasan melalui surat kilat


khusus. Dia menyatakan andaikata dia laki-laki pasti dia sudah
mengunjungi saya. Tapi karena dia perempuan, demikian katanya,
lebih baik dia menunggu kedatangan saya. Dia siap menunggu
saya hari Minggu.” 20

Bertolak belakang dengan pikiran tersebut adalah kebe-


raniannya untuk mengambil inisiatif memulai kencan.
Dia sangat jujur. Dia jujur menceritakan keinginan-
keinginannya yang biasanya tersimpan rapat-rapat oleh pe-
rempuan. Beberapa kali dia menyatakan keinginan-keinginan
atau lebih tepat hasrat hewaninya secara jujur kepada Tiwar
melalui surat-suratnya yang panjang-panjang. Dengan jujur
dia menyatakan kepada Tiwar, bahwa hasratnya kepada lelaki
sangat besar, tetapi enggan kawin.

“Tetapi ketahuilah seperti yang sudah sering saya urai, cinta saya
sangat mudah meledak.” 21

“Saya sering jatuh cinta, tapi begitu saya dipinang, otak saya
maju. … Tapi begitu urusan kawin diajukan, saya tidak berbicara
dengan debar hati.” 22

BAB 5
Model Kritik Sastra
149
Akan tetapi setelah bertemu Tiwar, dia terpaksa mau
kawin karena dia sangat ingin punya anak.

“Saya juga harus mengaku terus terang, bahwa saya sering meng-
intip anak-anak kecil bermain-main. Ingin sekali rasanya menggen-
dongnya, menciumnya, dan meremas-remasnya.” 23

“Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak mempunyai anak tanpa


mempunyai suami. Dan saya yakin, bahwa untuk mempunyai
suami, saya harus mencintai suami saya.” 24

“(Tetapi), pengertian cinta bagi saya kurang mempunyai makna.


Bagi saya yang lebih mendesak adalah mempunyai anak.” 25

Dia hanya mau kawin dengan Tiwar. Meskipun demikian


dia juga menginginkan Rafilus. Keinginannya itu secara terus
terang diutarakannya kepada Tiwar.

“…, saya berjanji sekaligus bersumpah, bahwa cinta saya kepada


sampean adalah cinta terakhir. … Dan saya tidak akan mencintai
laki-laki lain kecuali sampean. Dan saya tidak akan membayang-
kan digarap laki-laki lain kecuali sampean, kecuali bila terpaksa.
Sampean adalah satu-satunya laki-laki yang akan menjadi suami
saya.” 26

“Saya tidak akan berpaling ke laki-laki lain, kecuali kalau benar-


benar perlu.” 27

Pernyataan “kecuali bila terpaksa” dan “kecuali kalau


benar-benar perlu” dijadikannya peluang untuk mencintai
Rafilus dengan tetap “setia” kepada Tiwar.

“Terpaksalah saya mengaku terus terang, bawha saya sudah jatuh


cinta kepadanya. “ 28

“Cinta saya tidak akan memengaruhi tindakan saya. Itu dulu.


Sekarang saya harus mengaku terus terang, bahwa dalam meng-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


150 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
hadapi laki-laki mirip besi ini saya tidak dapat mengelakkan diri
untuk tidak bertindak. Saya harus mendekati dia. Naluri binatang
saya meledak, dan tidak dapat saya tahan-tahan. … Karena itulah,
Tiwar, saya mohon bantuan sampean untuk menangkap dia. …,
saya tidak akan munafik, baik terhadap sampean maupun terhadap
diri saya sendiri. Saya akan tetap mencintai sampean, menjunjung
tinggi sampean, dan tenggelam bersama sampean.” 29

Sifatnya yang mudah jatuh cinta ini tampaknya yang


menyebabkan dia nyaris terpeleset.

“… Dan saya hampir-hampir saja terbaur antara terpeleset dan


memelesetkan diri. Tempat-tempat gelap sudah pernah saya kun-
jungi, tapi saya tidak pernah benar-benar terpeleset, meskipun
saya hampir benar-benar memelesetkan diri.” 30

Van der Klooning


Van der Klooning adalah Belanda hitam, orang asli Indo-
nesia yang menganggap dirinya benar-benar Belanda dan
meminta hak untuk diperlakukan menjadi Belanda tulen.

“Kulit mereka tidak putih, tapi hitam. Sementara itu rambut me-
reka tidak tidur, tidak pula tegak. Bahasa mereka bahasa Belanda,
dan nama mereka bukan pula nama Ambon, Menado atau Sunda.”31

Dia merasa kesepian meskipun sudah tiga kali kawin,


tetapi perkawinannya tidak ada yang bertahan lama, seba-
gaimana yang dituturkan opas pos melalui bahasa Tiwar.

“Ternyata penciuman saya benar. Sering dia bergeleparan menye-


sali mengapa dia tidak mempunyai orang lain selain dirinya.
Tetapi andaikata dia benar-benar memperoleh teman, demikianlah
firasat saya, raut wajahnya dan tindakan-tindakannya akan menye-
babkan temannya cepat enyah dari dia. Pada suatu hari dia ber-
cerita, bahwa sudah tiga kali dia kawin. Dari masing-masing istri,
dia tidak mempunyai anak. Istri pertama diceraikannya karena,

BAB 5
Model Kritik Sastra
151
katanya, mereka sudah sama-sama tidak suka. Setelah kawin de-
ngan istri kedua, sadarlah dia, bahwa ternyata telah bunting entah
dengan siapa. Dengan kemarahan terpendam dia menceraikan-
nya.” 32

“Maka tibalah saatnya dia kawin untuk ketiga kalinya. Begitu


selesai kawin, dia tidak pernah merasa senang tinggal di rumah.
Bagaikan anjing geladak, dia suka ngelayap, kadang-kadang sampai
berminggu-minggu. … Tahu-tahu istrinya sudah bunting, padahal
ia tidak merasa membuntinginya. Demi setan dan malaikat, istri-
nya berani mengangkat sumpah, bahwa bayi di dalam perutnya
tidak lain adalah anak Van der Klooning sendiri. Perasaan berang-
nya terendam lagi, kemudian istrinya minggat tanpa mau kembali
kepadanya lagi.” 33

“Dia mempunyai sifat yang agak aneh. Dia suka memerintah.


Bila ditolak dia marah, tapi bila dituruti dia kecewa. Pernah dia
memerintah saya minum bir. Dia tidak menyuruh apalagi me-
minta. Benar-benar dia memerintah, seolah martabat saya lebih
rendah dari martabat budak belian. Andaikata saya mempunyai
pembawaan sakit hati, tentu saya sudah sakit hati. Sikapnya me-
nunjukkan bahwa tidak punya hak untuk menolaknya. Saya tidak
mau minum. Dia diam. Matanya menyala, wajahnya membara.
Tapi andaikata saya menurutinya, pasti dia akan kecewa.” 34

Sifat itu jelas tidak disukai orang. Selain itu dia mem-
punyai kekuatan tersembunyi untuk menyebabkan orang lain
tidak menyenangi dia. Dia sanggup mengirim seseorang ke
liang kubur hanya dengan satu gebrakan. Dugaan ini oleh
opas pos dibuktikannya dengan apa yang pernah dilihatnya.

“Seumur hidup belum pernah saya melihat tangan seperti itu.


Tangannya tampak sangat kuat, sangat perkasa dan sangat kokoh.
Tapi bukan itu yang membuat saya terperanjat. Tangannya seolah
tidak terbuat dari daging, tapi dari besi. Barulah saya tahu mengapa
sekian banyak barang yang terpegang oleh Van der Klooning cepat
rusak. Sudah beberapa kali saya melihat gelas pesah setelah dipe-
gangnya. Bebrapa kali pula saya melihat botol mendadak pecah

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


152 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
ketika dia membuka tutupnya. Kemudian saya ingat, setiap kali
dia menitipkan surat untuk saya poskan, tulisan tangannya menim-
bulkan beberapa lubang pada amplop surat yang sangat tebal.
Tekanan tangannya bukan main hebat.” 35

Van der Klooning bapak Rafilus?


Banyak kesamaan ciri antara Rafilus dan Van der
Klooning. Keduanya memiliki fisik yang sama-sama perkasa
dan seakan-akan terbuat dari besi. Keduanya juga menyimpan
kekuatan yang sama-sama dahsyatnya. Baik opas pos maupun
Pawestri hampir-hampir menyamakan Van der Klooning dan
Rafilus. Apalagi jika dihubungkan dengan kehadiran Ra-
minten, gundik Van der Klooning, wanita sesudah istri yang
ketiga.36
Diceritakan bahwa sejak berhubungan dengan Van der
Klooning, Raminten merasa mengandung anak Van der
Klooning. Anak tersebut berbeda dengan anak-anaknya yang
lain. Meskipun masih dalam kandungan, sudah terasa bahwa
anak tersebut nantinya akan menjadi orang perkasa. Karena
keprekasaan bayinyalah dia dapat bertahan di samping Van
der Klooning.
Dari sini muncul dugaan bahwa Rafilus adalah anak Van
der Klooning. Dugaan ini dikuatkan dengan masa hidup kedua
tokoh tersebut. Van der Klooning hidup pada tahun lima
puluhan sedangkan Rafilus hidup pada tahun delapan puluhan.
Selain itu diceritakan pula bahwa kedua orangtua Rafilus
tidak diketahui, dia tinggal di rumah yatim piatu.

c. PENILAIAN
Penilaian Psikologis Tokoh dengan Teori Kepribadian
Bertolak dari deskripsi karakter tokoh dalam novel
Rafilus yang dihubungkan dengan ketiga unsur kepribadian
dalam psikologi, ditafsirkan dan dinilai bahwa keempat

BAB 5
Model Kritik Sastra
153
tokoh dalam “Rafilus” dikuasai oleh dorongan-dorongan id.
Karena kuatnya dorongan id, ego mejadi kehilangan daya do-
rongnya. Ego tidak mampu membendungnya. Ego tidak mam-
pu menjalankan fungsinya sebagai penjaga keseimbangan, se-
bagai pengontrol, dan sebagai pengendali. Perilaku Rafilus,
Van der Klooning, dan Pawestri menunjukkan kuatnya do-
rongan id dan lemahnya fungsi ego. Rafilus dengan tanpa be-
ban moral melayani keinginan wanita-wanita yang mende-
katinya. Dia tidak merasa berkepentingan untuk mengetahui
status wanita-wanita tersebut. Dia tidak berpikir siapa diri-
nya, dan apa hubungannya dengan wanita-wanita tersebut.
Keputusannya untuk tinggal di daerah terpencil yang tidak
layak huni menegaskan bahwa dia tidak peduli dengan masya-
rakat sekitarnya.
Van der Klooning dengan seenaknya memperlakukan
istri-istri dan gundiknya dengan naluri kebinatangannya yang
primitif. Dalam memperlakukan opas pos dia juga bertindak
hanya dengan menuruti naluri agresinya. Kuatnya dorongan
id inilah yang menyebabkan semua orang menghindari dan
menajuhinya termasuk istri-istrinya.
Pawestri dengan berani mengungkapkan hasrat primi-
tifnya dan tidak segan-segan mewujudkannya dalam bentuk
perilaku dengan Tiwar dan laki-laki yang dijumpainya dalam
kamar-kamar gelap, bahkan dia juga ingin mewujudkannya
dengan Rafilus.
Yang bisa dikecualikan sedikit adalah Tiwaar. Dia juga
memiliki dorongan id. Dengan status bujangnya dia mewujud-
kannya dengan Pawestri, namun gagal. Dalam hal ini dia lebih
banyak bersikap menerima. Kegagalan ini bukan karena ego-
nya yang kuat, namun karena keadaan fisiknya. Seandainya
dia normal, barangkali dia juga akan melakukan hal yang sama
yang dilakukan tokoh-tokoh lainnya.
Hal lain yang menyebabkan kuatnya dorongan id di
atas adalah obsesi tokoh tentang anak. Obsesi ini dialami
oleh keempat tokoh, kecuali Van der Klooning. Ketiganya

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


154 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
sangat mendambakan anak. Untuk mewujudkannyaa, dihalal-
kan segala cara sebagaimana terlihat dalam deskripsi sebe-
lumnya. Dalam kesadaran mereka, terlihat keinginan yang
menggebu-gebu, seakan-akan anak di atas segala-galanya.
Akan tetapi dalam alam bawah sadar, mereka sadar bahwa
anak bukanlah segala-galanya. Hal ini tecermin dalam pembe-
naran Rafilus dan Pawestri terhadap pendapat pemikir yang
mengatakan bahwa anak bukanlah segala-galanya.
Kenyataan di atas juga menunjukkan kekalahan super-
ego dalam diri tokoh-tokoh tersebut. Mereka nyaris tidak
memperhatikan norma. Ada tersisa sedikit kepedulian terha-
dap norma, karena dalam mewujudkan dorongan-dorongan
id, mereka tidak melakukannya di depan umum. Di luar itu
umumnya mereka bersikap acuh tak acuh terhadap lingkung-
an mereka. Ini dimungkinkan karena mereka tidak mendapat-
kan pendidikan moral dari orangtua mereka pada masa kanak-
kanak mereka. Rafilus diceritakan tidak mengenal orangtua-
nya, ayah Pawestri tidak pernah memperhatikan perkembang-
an pendidikan Pawestri, sedangkan Van der Klooning dengan
sengaja meninggalkan atau melepaskan diri dari lingkungan
masyarakatnya. Dia lebih suka menjadi Belanda dan enggan
tinggal dengan masyarakat pribumi sekalipun pada saat yang
sama orang-orang Belanda sudah banyak yang pulang ke ne-
geri mereka. Adapun Tiwar tidak pernah diungkapkan latar
belakang kehidupan masa kanak-kanaknya.
Dinilai dinamika kepribadian tokoh dalam novel ini
bahwa tuntutan id mengalahkan tuntutan masyarakat. Do-
rongan-dorongan id yang terlalu kuat menyebabkan hilang-
nya keinginan untuk diterima masyarakat yang sebenarnya
dalam kadar kecil dimiliki oleh Rafilus dan Pawestri sebagai
tokoh sentral yang pertama. Hilangnya keinginan untuk dite-
rima masyarakat ini membuat mereka tidak berusaha mencari
dan menemukan cara untuk menyublimasikan keinginan dan
kecenderungan id. Dari sini terlihat adanya kecenderungan
untuk mengutamakan kebutuhan pribadi daripada tuntutan

BAB 5
Model Kritik Sastra
155
masyarakat. Hal ini pada akhirnya bermuara pada upaya
mengasingkan dan mengesampingkan norma-norma.

D. PENGUKUHAN ATAS PENILAIAN


Sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya, novel Rafi-
lus tidak mungkin membebaskan diri dari peristiwa, meskipun
peristiwa itu terjabar dari abstraksi. Abstraksi dapat terangkat
dari peristiwa, dapat pula menjabar menjadi peristiwa. Dalam
proses kreatif, abstraksi dan peristiwa dapat membaur. Seo-
rang pengarang yang terobsesi oleh kehampaan hidup, mi-
salnya, dalam novelnya dengan sendirinya akan menjabar-
kan abstraksi ke dalam peristiwa-peristiwa yang mencermin-
kan kehampaan hidup. Novel ini ada karena sebuah obsesi.
Diduga kuat obsesi-obsesi tersebut mewakili obsesi
pribadi-pribadi dalam komunitas manusia modern, obsesi akan
kepuasan fisik (alih-alih kepuasan batin) atau obsesi akan
kehadiran anak untuk kelangsungan hidup dinasti manusia
modern. Bila kemungkinan ini benar, maka tokoh-tokoh da-
lam novel ini mewakili individu-individu dalam masyarakat.
Perilaku tokoh-tokoh lain terhadap Rafilus boleh jadi mewa-
kili kecenderungan yang muncul akhir-akhir ini, yakni orang-
orang yang kembali mendewakan keperkasaan fisik untuk
memuaskan kebutuhan primitif dengan membutakan diri
terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan akal budi.
Obsesi ketiga tokoh—Rafilus, Tiwar, dan Pawestri—terhadap
anak mencerminkan gejala yang mendudukkan anak pada
tempat yang tinggi.
Budi Darma selalu berurusan dengan jungkir balik kehi-
dupan dan “Rafilus” adalah radikalisasi urusan tersebut, maka
ditafsirkan dan dinilai bahwa Rafilus merupakan abstraksi
dari obsesinya terhadap kehidupan, obsesinya terhadap kemu-
nafikan, atau malah obsesinya terhadap kejujuran dalam hi-
dup. Dari obsesi itu muncullah tokoh-tokoh yang meng-
adakan pengakuan secara jujur, pengakuan tentang hasrat-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


156 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
hasrat, pengakuan tentang “kejahatan” yang pernah mereka
lakukan. Diduga kuat bahwa novel ini merupakan wujud pe-
lampiasan Budi Darma atas kekecewaannya terhadap kehi-
dupan yang penuh kepura-puraan dan basa-basi.
Melalui “Rafilus” dinilai bahwa Budi Darma meng-
ajarkan kepada kita untuk berani berterus terang kepada diri
sendiri. Menurutnya, seseorang tidak perlu menyembunyikan
kebutuhan nalurinya yang kuat. Seseorang tidak perlu menu-
tupi perilakunya yang menyimpang. Tentu saja, keterus-
terangan atau kejujuran semacam ini perlu dipertanyakan
kembali. Haruskah seseorang berbuat terus terang atau jujur
seperti itu? Bukankah dalam berbuat jujur pun seseorang ma-
lah berlaku tidak jujur?

CONTOH DIMENSI PSIKOLOGIS DALAM CERPEN


Bacalah cerpen berikut dengan kritis!

SEBUAH BUKU MERAH DAN KARBOL

“Asam sekali …..,” keluh Suwarto sambil meletakkan


segelas air jeruk yang berwarna oranye mencolok itu ke
atas meja.
Marwan masih tetap asyik dengan pikirannya sendiri.
Matanya tertancap pada tembok kayu di sebelah kirinya.
Semut-semut yang datang berbondong-bondong menuju sarang-
nya sambil membawa serpihan roti itu menarik perhatiannya.
Pasti mereka akan mengumpulkan makanan itu, lantas menik-
matinya bersama-sama, pikirnya. Tentunya juga, mereka akan
membagi sama rata apa yang mereka dapat.
Seekor semut tertatih-tatih membawa serpihan roti yang
agak besar. Beberapa ekor semut di belakangnya segera
mengelilingi semut itu dalam sekejap serpihan roti yang agak
besar itu telah terbagi menjadi empat. Mata Marwan terbelalak
kaget.

BAB 5
Model Kritik Sastra
157
“Kenapa?” tanya Suwarto ikut-ikutan kaget.
Marwan tidak menjawab. Matanya menyipit mengamati
kegiatan semut-semut itu. Itu tandanya ia sedang asyik dalam
dunianya sendiri. Suwarto menggigit bibirnya. Ia kesal. Tapi
tak berani mengganggu keasyikan Marwan. Lima belas menit
lagi, seharusnya ia berada di kamar gelap untuk menyelesaikan
beberapa potretnya yang akan dimuat untuk majalahnya nomor
depan. Akhirnya sambil berdehem, ia pura-pura menengok
arlojinya. Tak lupa ia mengerit-ngerit kaki kursinya. Ia tahu,
Marwan benci suara keritan kursi. Usahanya berhasil. Marwan
meliriknya dengan geram.
“Datang saja ke rumahku nanti malam. Sekarang pergilah,
kerjakan potretmu,” tukasnya pendek melihat kegelisahan Su-
warto.
“Tetapi, jika …..”
Marwan tidak mendengarkan jawaban Suwarto. Mata-
nya kembali terpancing oleh kegiatan semut-semut itu.
Marwan tak menggerakkan pantatnya ketika ia mendengar
dering bel pintu. Dinyalakannya rokoknya dan ketika bel ber-
dering lagi ia berteriak menyuruh orang itu masuk.
Suwarto membuka pintu depan perlahan. Yang pertama
kali ia cium adalah bau insektisida, semacam karbol yang
memenuhi ruangan. Mendadak saja perutnya terasa mual. Apa-
apaan ini, pikirnya sengit, apa dituangnya satu kaleng karbol
untuk seluruh ruang tamu ini?
“Masuklah, Suwarto!” teriak Marwan dari dalam.
Suwarto melangkah masuk ke ruang tengah. Marwan me-
ngerutkan keningnya melihat wajah Suwarto yang tidak beres.
“Ada apa?”
“Apa ada tikus mati?”
“Ha?”
“Itu … berapa kaleng karbol kau tumpahkan di ruang
muka?
Gila … boleh kubuka jendela?” Suwarto tidak menunggu
jawaban Marwan. Ia membuka kedua bilah jendela di samping
meja tulis tempat Marwan duduk. Marwan tidak bereaksi apa-
apa. Tetap asyik dengan rokoknya.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


158 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
“Di sini banyak kuman, Warto. Dan aku harus selalu
siap dengan karbol. Itulah satu-satunya alat yang bisa membas-
mi kuman.”
Suwarto memandang Marwan, pemimpin redaksinya, de-
ngan perasaan aneh. Marwan tentu sedang memikirkan kuman
yang istimewa. Bukan sekadar kuman-kuman penyebar penya-
kit yang dipelajari mahasiswa kedokteran di bawah mikroskop.
“Maksudmu …?”
Marwan menolak untuk menjelaskan. Itulah. Marwan
memang gemar membiarkan para wartawannya mati pena-
saran karena gemar membiarkan para wartawannya mati pena-
saran karena harus menebak apa yang dimaksudkannya. Jika
tidak sabar, anak buahnya bisa minum endrin karena keanehan
tuan pemred. Tetapi, Marwan tetap disukai karena kerendahan
hatinya. Karena kesediaannya duduk satu meja dengan sopir
kantor atau reporter harian sekalipun di kantin. Karena kemu-
rahan hatinya pada pelayan kantor. Karena idealismenya yang
tinggi, yang kadang-kadang … ya, kadang-kadang w menurut
Suwarto w tidak pada tempatnya. Dan satu hal lagi, karena
ketidaksediannya untuk dipanggil dengan embel-embel Bapak,
Mas di muka namanya.
Suwarto menghela napas dan mengangkat bahu tanda me-
nyerah.
“Kau memang malas berpikir, Suwarto. Kenapa aku selalu
mencuci tangan seusai mengetik, menulis surat, menyapu …?
Apa itu sekadar membantu tukang kebun dan tukang karbol
agar dagangannya laku?” Marwan melirik pada Suwarto yang
menggerak-gerakkan bibirnya. “Jika tidak ada yang sudi atau
merasa sanggup membersihkan hal-hal yang harus bersih, aku
siap untuk menyapu dan mengepel … meskipun itu tidak ber-
arti tidak ada resiko.”
Marwan mengisap rokoknya dalam-dalam,” Dan …
untuk itu aku harus pahit.”
Suwarto menelan ludahnya. Ia mengerti ke mana arah
pembicaraan Marwan. Ia ingin menunda topik pembicaraan
itu dengan jalan apa saja. Ia ingin agar Marwan terlupa oleh
pembicaraan yang menakutkan itu.

BAB 5
Model Kritik Sastra
159
“Kebunmu bagus sekali,” katanya melihat ke luar jendela.
“Kau yang atur sendiri?”
“Ya. Mau lihat-lihat?”
Suwarto mengangguk dengan antusias. Antusias karena
topik itu akan ditendangnya untuk sementara. Paling tidak
untuk sejam yang berharga.
Marwan mematikan rokoknya. Mereka mulai berjalan
perlahan menuju kebun belakang. Sangat rapi. Suwarto menyu-
kai tumbuhan kakerlak dan tanaman tanduk rusa yang
memenuhi tembok belakang. Di pojok-pojok terlihat beberapa
macam kembang sepatu yang segar. Sudah tentu Marwan
adalah seorang pecinta tanaman. Kalau tidak, bagaimana
kebunnya bisa serapi itu?
“Supaya engkau terhindar dari polusi,” katanya lirih.
Suwarto kembali berdebar-debar. Kenapa ia tidak bisa melu-
pakan topik pembicaraan itu barang sedetik saja, keluhnya
dalam hati.
“Yang di belakang itu kamar siapa?” tanyanya asal saja.
“Kamar pembantu dan dapur. Kamar kerjaku di pavilyun.
Mau masuk?”
Mereka berjalan melalui kebun dan memasuki sebuah
paviliun kecil yang terbuat dari bambu. Barang-barang di
dalamnya terbuat dari rotan. Beberapa lukisan batik terpancang
di dinding. Artistik sekali. Suwarto sangat menyukai suasana
yang tercipta di dalam ruang kerja Marwan. Sebuah lemari
besar satu-satunya benda yang tidak terbuat dari rotan ter-
bentang menutupi seluruh tembok kiri ruang itu. Hanya dalam
sekelebat, Suwarto sudah dapat menduga bahwa hampir semua
buku itu adalah buku-buku politik dan ilmu filsafat. Mungkin
juga beberapa buku sastra.
Tiba-tiba matanya tertancap pada sebuah buku yang bu-
kan main tebalnya bersampul merah jambu yang tergeletak di
atas meja Marwan. Dihampirinya meja kerja itu, disentuhnya
buku itu perlahan-lahan. Pada wajah buku itu tak tertulis apa-
apa. Polos dan merah. Dibukanya halaman pertama buku terse-
but. Ia mengerutkan keningnya. Kosong. Halaman berikutnya
kosong. Dan halaman-halaman berikutnya … putih bersih,
dan polos.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


160 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Bibir Suwarto bergerak-gerak. Marwan mengamati bibir
Suwarto dengan saksama. Ia ingin tahu pertanyaan macam
apa yang akan meluncur dari bibirnya.
“Dari mana kau dapat buku ini?”
Marwan terbahak-bahak. Tawanya yang Suwarto nantikan
sejak tiga minggu terakhir ini.
“Buku ini kudapat dari seorang teman pada hari ulang
tahunku yang kedua puluh satu. Ia seorang sastrawan. Ya, su-
dah puluhan tahun yang lalu. Tetapi, buku itu tetap terlihat
baru, tidak berubah sama sekali. Ia tetap berwarna merah
pada sampulnya, dan berhalaman putih bersih.”
Marwan mematikan rokoknya. Diambilnya sebatang ro-
kok baru dan disulutnya, “Kau lihat buku di sampingnya. Itu
adalah karyanya yang terkenal. Hampir semua orang telah
membacanya. Paling tidak anak-anak yang kuliah sastra harus
tahu. Nah, ia memberikan kedua buku itu padaku dengan
catatan: aku harus mengisi buku yang kosong itu setelah aku
merasakan apa arti hidup ini.”
Suwarto mengerutkan keningnya.
“Kalimat itu terlalu luas artinya.”
“Sewaktu ia memberikan kedua buku itu, ia berkata, ‘Mar-
wan, ini ada dua buku. Yang satu kosong, bersih dan putih.
Yang satu lagi telah tertulis olehku. Aku ingin kau menulis
sesuatu pada halaman-halaman kosong itu … bila kau telah
berbuat sesuatu yang berarti bagi dirimu dan bagi orang lain”.
“Dan buku ini masih kosong.”
“Untuk membuat suatu titik atau garis pun aku tak berani.
Aku masih belum apa-apa.”
Suwarto menutup buku itu. Dilihatnya Marwan yang se-
dang duduk sambil mengangkat kedua belah kakinya ke atas
meja. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya
menerawang entah ke mana. Suwarto duduk diam-diam di
hadapan Marwan dan menanti hingga Marwan bosan dengan
lamunannya.
“Baiklah,” Marwan mematikan rokoknya. “Kita ambil
jalan pendek saja dalam diskusi ini. Aku masih tetap pada
keputusanku.”

BAB 5
Model Kritik Sastra
161
Suwarto memandang Marwan dengan mata terbelalak,
“Wan … sudahkah kau pikirkan masak-masak?”
Marwan tersenyum dan mengangguk. “Jangan takut. Ka-
lian akan kujamin supaya terbebas dari urusan ini. Majalah
kita tidak akan dibredel.”
“Ah …”
“Kau tidak percaya padaku?”
Suwarto diam, tapi matanya mengatakan begitu.
“Laporan terakhir dari serial ini akan aku buat sendiri.
Mengerti? Katakan pada tim reporter, jika terjadi pengusutan,
itu semua bukan tanggung jawab mereka. Apa kalian lupa
kedudukanku di majalah ini?”
“Kami menyadari akan hal itu, Marwan. Tapi pengusutan
itu akan melibatkan semua yang ikut menyusun berita ini.”
“Mereka termasuk kau, hanya akan menjadi saksi. Aku
akan menjadi penanggung jawab. Kalau pemuatan berita-beri-
ta ini dianggap suatu tindakan subversif, akulah yang akan
dihukum.”
“Tapi itu tidak adil,” kata Suwarto dengan suara serak
seperti ingin menangis. Rasa haru menyelimuti hati Marwan.
Suwarto adalah wartawannya yang paling setia. Sejak majalah
berita itu berdiri dan beroplah sangat rendah, ia sudah ikut
dengannya. Kini majalahnya sudah menjadi pegangan segala
lapisan masyarakat. Suwarto sendiri, secara praktik, sudah
dianggap sebagai wakilnya. Marwan sudah memperhitungkan
kalau saja, dia sudah dinonaktifkan, maka…..
“Tidak dapatkah kau memikirkannya lebih matang lagi?”
Suwarto memotong lamunan Marwan.
“Kau telah mengenalku cukup baik, Suwarto. Aku selalu
berpikir sematang mungkin sebelum memutuskan sesuatu.”
“Ya, ya…”
“Jadi…” Marwan melirik dengan senyum ramah.
Hati Suwarto tertusuk-tusuk melihat senyum itu. Kenapa
masih ada orang yang idealismenya begitu jauh di atas awan.
Pikirnya pahit.
“Kau setuju akan keinginkanku?”
“Aku sangka …kau tak memerlukan persetujuanku lagi,”
sindir Suwarto tak tertahan.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


162 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Marwan tersenyum mendengar nada keluhan Suwarto,
“Kau jangan menjadi sinis, Suwarto. Aku memang keras ke-
pala. Tapi, puluhan tahun mengenyam hidup ini, menghirup
udara negara kita yang kata orang merdeka … aku kok tak
pernah bahagia. Aku tak pernah merasa bahwa aku telah ber-
buat sesuatu. Buku itu masih terus kosong. Dan, rumahku
harus terus-menerus kubersihkan dengan karbol.”
“Untuk mencoret sesuatu dalam buku kosong itu, tak
perlu menjadi pahlawan mendadak.”
Marwan menatap Suwarto dengan mata bersinar merah.
Kata-kata yang ingin ia muntahkan ditelannya kembali.
“Sesungguhnya … kau sudah mengisi buku itu sejak lama.
Tapi, kau tak pernah menghargai dirimu sendiri, karena kau
tak pernah merasa menjadi pahlawan. Kau masih terlalu obses
dengan kata-kata besar macam Pers Perjuangan dan segala tetek
bengek. Come on, Marwan, dengan perputaran ide-ide se-
macam itu sudah usang. Kita harus ikut menggelinding dan
menerjemahkan idealisme dengan cara yang tidak vulgar!”
Marwan masih tetap diam. Amarahnya yang sudah me-
luap ditahan sekuat tenaga. Ia hanya mampu meremas rokok
yang tidak disulutnya sejak tadi. Suwarto memandangnya de-
ngan mata berair. Kaki dan tangannya gemetar. Belum pernah
ia meluapkan emosinya sehebat itu.
“Maaf….,” ia berjalan dengan langkah terseok-seok menu-
ju meja tulis Marwan, “maaf….kau…kau adalah atasanku.
Tentu saja kau berhak melakukan apa yang kausukai … ter-
masuk membunuh dirimu. Termasuk membiarkan dirimu di-
seret mereka pada kepasifan. Kau sudah tahu segala akibatnya.
Kau akan dinonaktifkan. Bahkan tak mustahil kau dituntut di
muka pengadilan. Tapi … tadi kau menanyakan persetujuanku.
Kau menanyakan pendapatku ...” suara Suwarto menjadi serak.
“Carl Bernstein.” Suwarto mengeleng-gelengkan kepala-
nya dan tersenyum kecil, “Bob Woodward …” ia menghela
napas. “None of Indonesian Journalists can do such things.
You know that very well, buddy!”
Sekarang mata Marwan benar-benar menunjukkan ama-
rah, “Kamu menginginkan majalah kita menjadi isobberr,

BAB 5
Model Kritik Sastra
163
lembek, datar dan berbau priyayi macam koran-koran kapitalis
itu? Bah!”
Diambilnya mesin tik dalam selembar kertas polos putih
jari-jemarinya mulai asyik menari di atas mesin tik tersebut.
Suwarto sesenggukan dan berlutut. Tak percaya apa yang
baru saja dilihatnya. Marwan tetap memandang lurus pada
berita yang ditulisnya. Bunyi mesin yang teratur itu mengisi
kesunyian malam.
Pukul sebelas pagi Suwarto tengah mengenakan kaus kaki-
nya ketika telepon berdering. Suara Mimi, sekretaris Marwan
terengah-engah.
“Pak Marwan dipanggil, Pak. Bersama beberapa war-
tawan yang lain. Kami harus menghentikan kegiatan kami hari
ini. Cepatlah datang.”
Sambil menenteng sepatunya dan masih memakai sebelah
kaus kaki ia melarikan vespanya dengan kecepatan tinggi me-
nuju kantor. Ia menyumpah-nyumpah karena tertidur begitu
lama. Lama, pikirnya sinis. Ia sebenarnya cuma tidur sejak
subuh hingga pukul setengah sembilan. Pukul tiga pagi Marwan
baru saja menyelesaikan berita itu dan ia harus mengantarkan
ke percetakan pagi itu juga. Beberapa wartawan memandang
Suwarto dengan muka tidak percaya. Jadi berita itu akan di-
muat juga. Jadi … Suwarto tidak berhasil dengan misinya.
Jadi … majalah ini akan dibredel … jadi mereka tidak akan
makan bulan depan …? Suwarto tidak memedulikan wajah-
wajah para wartawan yang seakan-akan menyalahkan dirinya
yang gagal untuk menghalangi Marwan. Satu-satunya tekad
ialah untuk menjalankan apa kata Marwan. Itu saja. Ia menye-
rah.
Bulu tangan Suwarto merinding ketika memarkir Vespa-
nya di muka kantornya.
Di dalam semua mata memandangnya seketika. Beberapa
sekretaris terduduk lesu dan tak seorang wartawan pun terlihat.
“Di mana yang lain, Ton?” tanyanya pada pemuda yang
bekerja di bagian layout.
“Semua sudah dipanggil, Pak. Untuk diinterogasi …”
Ia menelan ludah, “Mereka menunggu Bapak, setengah jam
yang lalu.” Ia melirik takut dan berbisik, “Saya kira, mereka

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


164 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
terlalu berlebihan. Menyangka penulisan berita itu didalangi
oleh pihak eksternal.”
Suasana hening. Udara terasa amat panas. Mungkin AC
dimatikan. Suwarto melihat kain gorden yang melambai-lambai
ditiup angin.
Telepon berdering. Sebuah suara yang sopan memintanya
datang menyusul yang lain, untuk dimintai keterangan.
Suwarto tersenyum getir mendengar kelembutan suara itu.
SUWARTO memandang rumah itu dengan berbagai pera-
saan. Rumah itu tetap tenang, masih tetap seperti minggu-
minggu yang lalu. Damai dan resik. Pohon palem melambaikan
daunnya, beberapa tanaman kembang sepatu dan mawar ber-
sesakan di sudut dekat rumah Marwan. Suwarto melangkah
perlahan. Hari baru pukul sepuluh pagi.
Dihampirinya kolam ikan di sudut kiri. Airnya sangat
kotor. Tentu Marwan akan kecewa melihat kekotoran itu.
Akan disuruhnya Bik Mah menguras kolam. Ikan-ikan mas
yang berseliweran kesana kemari kelihatnya tidak punya kesu-
litan dunia. Mereka terlihat gemuk dan cantik. Ikan-ikan itu
juga harus diberi makan seperti biasa pikirnya.
Ia mengambil kunci duplikat dari kantongnya. Marwan
telah memberikannya seminggu yang lalu. Bersama semua
pesanannya yang akan dilaksanakannya hari itu.
Bik Mah terhenyak demi melihat Suwarto yang tiba-tiba
saja berdiri di belakangnya. Sapunya yang sedang dipegangnya
terlepas.
“Oh, eh, saya… tidak mendengar Tuan mengetuk atau
membunyikan bel …”
“Memang tidak. Saya punya kunci ….” Suwarto meng-
acungkan kuncinya. “Kau sudah sarapan, Bik Mah?”
“Sudah, Tuan …”
Suwarto menggerakkan kakinya menuju kamar kerja Mar-
wan.
“Tuan …”
“Ya?”
Suwarto melihat pancaran duka di mata pembantu tua
yang setia itu. Ia merogoh kantungnya.

BAB 5
Model Kritik Sastra
165
“Ini uang belanja untuk bulan ini. Saya rasa Marwan telah
memberitahukan padamu apa yang harus kau lakukan bukan?”
Bik Mah mengangguk lemah. Air matanya turun satu per
satu.
“Nah, belikan makanan untukku sebulan. Bulan depan
akan kuberi lagi. Kalau ada apa-apa, telepon saya. Nomor
ada di buku tebal itu. Kau dapat membaca, ‘kan?”
Bik Mah mengangguk lagi.
“Jangan lupa, beli keperluan-keperluan rumah ini seperti
biasa. Dan yang penting bersihkan seperti biasa. Sebersih-
bersihnya …”
“Kapan…Tuan Marwan …?”
“Tidak tahu, Bik.”
Suwarto melangkahkan kakinya, tetapi tiba-tiba saja ia
teringat sesuatu, “Bik …anu…belum dipel, ya?”
“Hari ini, belum Tuan. Baru saya mau pel habis menya-
pu.”
“Ngng …karbolnya kaukurangi sedikit saja.”
“Ha ?” Bik Mah Melongo.
“Saya cuma meneruskan perintah,” kata Suwarto sambil
berjalan menuju kamar kerja Marwan.
Kamar itu kini sudah bersih. Tidak seperti beberapa ming-
gu yang lalu, ketika Marwan mengetik berita keramat itu,
sementara Suwarto merasakan betapa pengapnya ruangan ter-
sebut. Adegan itu masih jelas terbayang di mata Suwarto. Buku-
buku Marwan yang berderet dibersihkan satu per satu. Ka-
sihan, pikir Suwarto … buku-buku itu akan menjadi dingin
dan kusam karena tak tersentuh. Yah, buku-buku itu tidak
akan tersentuh oleh jari-jari yang empunya selama enam tahun.
Enam tahun tentunya waktu yang cukup lama untuk dapat
mengubah ideologi seorang Marwan. Tentunya empat tembok
tak bernyawa itu akan menurunkan kaki-kaki Marwan ke tang-
ga idealisme yang lebih rendah.
Mata Suwarto terpacak pada buku tebal bersampul merah
di atas meja kerja Marwan. Ia masih tetap dingin dan angkuh.
Tidak ingin tersentuh. Suwarto tersenyum, tapi aku akan me-
nyentuhnya sekarang. Ia mengambil bolpoin hitam Marwan.
Dibukanya buku itu dengan tangan gemetar. Digoretkannya

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


166 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
sebuah garis panjang pada halaman putih bersih itu. Garis
yang amat panjang.
“Malam Terakhir,” Leila S. Chudlori

LATIHAN
1. Temukan gejala kejiwaan tokoh yang tergambar dalam
perilaku, pernyataan, dan kebiasaan dalam unit-unit teks-
tual cerpen “Sebuah Buku Merah dan Karbol” tersebut!
2. Temukan unsur psikologis tokoh, misalnya kecemasan,
ketakutan, harapan dalam cerpen Sebuah Buku Merah dan
Karbol tersebut!
3. Temukan teori psikologi yang relevan dengan gejala keji-
waaan tokoh yang teridentifikasi dalam cerpen tersebut!

5.4 MODEL KRITIK SOSIOLOGIS


A. LANDASAN TEORI
Kritik sosiologis terhadap karya sastra dapat dilakukan
dengan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan yang
menganggap karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya yang
mencerminkan zaman. Kedua, pendekatan yang melihat pene-
rimaan masyarakat terhadap karya sastra. Dan ketiga, pende-
katan yang melihat pengaruh sosio-budaya terhadap pencip-
taan karya sastra (Yunus:1986:3). Dari ketiga pendekatan di
atas, pendekatan pertamalah yang lebih banyak bertolak pada
karya sastra.
Dapat dikatakan bahwa sastra merupakan produk buda-
ya dan produk “masyarakat” yang memiliki keterikatan yang
erat dengan kehidupan sosial. Sastra “menyajikan kehidupan”
yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial (Wellek dan
Warren, 1989:109). Sekalipun sastra dikatakan sebagai karya
individual pengarangnya, tetapi pengarang adalah warga ma-
syarakat bukan manusia yang “terasing” dari lingkungannya.

BAB 5
Model Kritik Sastra
167
Sebagai potret sosial dan potret zaman, sastra menam-
pilkan substansi gagasannya dengan medium bahasa yang khas
sastra, bahasa stilistika. Kekhasan bahasa tersebut pada karya
prosa (novel atau cerpen) mewujud dalam bentuk unsur-un-
sur fiksional, yaitu: latar (setting), penokohan, perwatakan,
sudut pandang (point of view), alur, serta tema cerita. Oleh
karenanya untuk menemukan kehidupan sosial dalam sastra
diperlukan analisis terhadap unsur-unsur fiksional tersebut.
Selanjutnya pemahaman terhadap unsur-unsur fiksional akan
mengantarkan pada penafsiran dan penemuan pola-pola kehi-
dupan sosial yang terpapar lewat unsur-unsur fiksional
(Aminuddin, 1987).
Agar penemuan pola-pola kehidupan sosial dapat men-
dekati kehidupan sosial yang “sebenarnya”, diperlukan pema-
haman terhadap kehidupan sosial yang melatari terciptanya
karya sastra. Pemahaman terhadap latar sosial ini dapat diper-
kuat dengan memahami cara pengarang memahami kehidupan
sosial dan pandangannya terhadap kehidupan sosial.
Analisis “Unsur-unsur Sosiologis dalam Cerpen-cerpen
Leila S. Chudlori” ini bertujuan mengungkapkan kenyataan
sosial dengan beritik tolak dari pandangan teoretis di atas.
Selain merupakan analisis aplikatif dari teori sosiologi sastra,
kajian ini dimaksudkan untuk menemukan pola-pola kehi-
dupan sosial yang khas yang teridentifikasi pada saat analisis
terhadap cerpen-cerpen Leila yang dilakukan.
Selain pertimbangan di atas, kajian ini dilakukan meng-
ingat sedikit atau kurangnya kajian kualitatif terhadap karya
sastra terutama yang mengungkapkan aspek sosial karya sas-
tra. Kajian sejenis yang pernah dilakukan di antaranya adalah
kajian sosiopsikologis terhadap novel “Rafilus” yang dilaku-
kan Wahyudi Siswanto (1991). Dengan demikian, kajian ini
perlu dilakukan.
Analisis ini difokuskan pada masalah interaksi manusia
(tokoh dalam cerpen) dan proses perilaku manusia dalam
organisasi dan sistem sosio-budaya. Fokus kajian ini terletak

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


168 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
pada identifikasi realitas kehidupan sosial yang tecermin da-
lam cerpen-cerpen Leila S. Chudlori. Kajian ini bertujuan:
memerikan (1) kehidupan sosial yang tecermin dalam cerpen-
cerpen Leila S. Chudlori, (2) sikap atau tanggapan kejiwaan
Leila S. Chudlori terhadap kehidupan sosial yang tecermin
dalam cerpen-cerpennya.
Ruang lingkup analisis ini (1) kehidupan sosial yang
meliputi unsur (a) perwatakan yang bermuatan kehidupan
sosial, (b) latar (setting) yang bermuatan kehidupan sosial,
(c) nilai/pesan yang berkaitan dengan kehidupan sosial; (2)
sikap atau tanggapan kejiwaan pengarang sebagai pandangan
pribadi pengarang yang tecermin dalam cerpennya yang ditu-
runkan dari penafsiran terhadap ketiga unsur: perwatakan,
latar, dan nilai/pesan yang bermuatan kehidupan sosial.

Sosiologi Sastra
Dalam pendekatan sosiologis diasumsikan bahwa karya
sastra merupakan dokumen sosio-budaya yang mencermin-
kan zaman. Sebagai dokumen sosio-budaya di dalam karya
sastra tersimpan unsur-unsur kehidupan sosial. Salah satu
karya yang sarat dengan unsur-unsur sosiologis adalah cerpen-
cerpen Leila S. Chudlori.
Objek analisis sosiologis salah satunya berupa lembaga-
lembaga sosial dalam hubungan dengan segi-segi kehidupan
beserta perubahannya. Salah satu lembaga sosial adalah sas-
tra. Seperti yang dikemukakan Semi (1984:52), sastra adalah
lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium-
nya. Sastra merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gam-
baran kehidupan. Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi sas-
tra itu memperjuangkan masalah yang sama. Kedua-duanya
berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Perbedaan yang ada di antara keduanya adalah bahwa
sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan
sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial

BAB 5
Model Kritik Sastra
169
yang menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan perasaannya. Adanya analisis sosial yang objektif ini
menyebabkan bahwa seandainya ada dua orang sosiolog yang
mengadakan kajian atas satu masyarakat yang sama, hasil kajian
itu kemungkinan menunjukkan persamaan juga. Sedangkan
jika ada dua orang penulis menulis tentang suatu masyarakat
yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara ma-
nusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu ber-
beda-beda menurut pandangan orang seorang (Damono,
1984:7).
Usaha untuk mengatasi hal itu adalah dengan meng-
integrasikan disiplin ilmu pengetahuan lain dalam kajian sas-
tra, sosiologi misalnya. Damono menyatakan (1984:8), sosio-
logi dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang
sastra dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi
pemahaman kita tentang sastra belumlah lengkap.
Pendekatan sosiologis yang paling banyak dilakukan saat
ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter
sastra. Landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan
cermin langsung dari pelbagai struktur sosial, hubungan ke-
luarga, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas
sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-
tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaan
sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya yang
ada dalam karya sastra, yang bersifat pribadi itu, harus diubah
menjadi hal-hal yang sifatnya sosial (Damono, 1984:9).
Pendekatan sosiologi sastra juga didasarkan pada satu
asumsi seperti yang dikemukakan Hardjana (1985:70), bah-
wa tata kemasyarakatan bersifat normatif; maksudnya me-
ngandung unsur-unsur pengatur yang mau tidak mau harus
dipatuhi sehingga hubungan antarmanusia ditentukan atau
paling tidak dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan tersebut.
Dengan demikian, pandangan, sikap, dan nilai-nilai, termasuk
kebutuhan pengarang, ditimba dari tata-kemasyarakatan yang
ada dan berlaku. Dengan sendirinya, masyarakat merupakan

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


170 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
faktor yang menentukan apa yang harus ditulis orang, bagai-
mana menulisnya, dan untuk siapa karya sastra ditulis, serta
apa tujuan atau maksudnya.
Griffith (1982:73) menyatakan bahwa pendekatan
sosiologis memahami karya sastra sebagai cermin dari ling-
kungannya. Amir (1988:20) menambahkan sosiologi sastra
tertarik untuk mempelajari hubungan timbal balik antara sas-
tra dan masyarakat pembaca. Hanya saja yang perlu diperhati-
kan di sini adalah bahwa sastra merupakan cermin masyarakat
secara menyeluruh dan sebenarnya. Hal ini mengingat, perta-
ma, keterbatasan pengarang dan kerja pengarang. Seperti
yang diungkapkan Darma (1988:24), setiap sastrawan yang
baik mengangkat kehidupan yang dikenalnya benar, dan me-
mang tidak perlu mengangkat seluruh aspek kehidupan kare-
na pasti mengandung kegagalan. Kedua, berkaitan dengan
karya sastra yang merupakan karya fiksi, sebagai hasil dari
ekspresi pengarangnya dengan berbagai latar belakang, baik
latar belakang sosial maupun latar belakang psikologis penga-
rang.
Ada berbagai cara untuk menganalisis karya sastra dari
segi sosiologi. Sumardjo (1982:8) menyarankan dua cara, per-
tama, bertolak dari karya sastra yang lantas menguraikan
unsur-unsur sosialnya. Kedua, bertolak dari unsur-unsur di
luar sastra yang berpengaruh terhadap corak karya sastra,
yang bisa berupa penerbitannya, distribusinya, pendukung-
nya, penciptanya, keadaan zamannya, dll.
Hubungan di atas bisa berupa, pertama bagaimanakah
interaksi dan interelasi antara unsur-unsur masyarakat sastra
Indonesia. Kedua bagaimanakah hubungan sebab akibat an-
tara masyarakat sastra tadi dengan masyarakat luas sezaman-
nya. Di sini kita bicara soal pengaruh keadaan sosial pada
sastranya. Ketiga, bagaimanakah pengaruh sastra bagi bangsa,
masyarakat secara keseluruhan. Untuk menjelaskan ketiga
bentuk hubungan tersebut Griffith (1982:74) menyarankan
tiga hal. Pertama, mendapatkan gambaran situasi sosial karya

BAB 5
Model Kritik Sastra
171
sastra dan mengidentifikasi sikap pengarang terhadap situasi
sosial tersebut. Misalnya, apakah pengarang memiliki cara
pemecahan terhadap situasi sosial? Kedua, membandingkan
situasi kemasyarakatan di dalam karya sastra dengan situasi
nyata. Ketiga, dengan menggunakan teori ekonomi atau sosial
untuk menolong menjelaskan segi sosial pengarang yang ada
dalam karya sastra.
Wellek dan Warren (1989:111-112) membagi objek
kajian sastra menjadi tiga macam. Pertama, adalah sosiologi
pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah
yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra,
latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang
yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya
sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang
tersirat dalam karya sastra dan yang berkaitan dengan masa-
lah sosial. Ketiga, pemasalahan pembaca dan dampak sosial
karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung
pada latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial adalah
pertanyaan yang termasuk dalam ketiga permasalahan di atas,
yakni: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat so-
sial, dan dampak sastra terhadap masyarakat (1989:112).
Berbicara tentang sikap/tanggapan kejiwaan pengarang
terhadap kehidupan sosial tidak terlepas dari studi psikologi
pengarang. Studi psikologi pengarang lebih menekankan
kajiannya terhadap masalah bagaimana keadaan kejiwaan
orang yang berprofesi sebagai pengarang baik sebagai penyair
maupun sebagai novelis, yang membedakannya dengan keada-
an jiwa orang yang bukan pengarang.
Dari hasil analisis psikologi pengarang, muncul banyak
anggapan tentang diri pengarang. Anggapan itu misalnya,
sastrawan adalah orang yang jenius. Kejeniusan yang dianggap
disebabkan oleh semacam kegilaan—dari tingkat neurotik
sampai psikosis. Ada pandangan bahwa gangguan emosi dan
kompensasi membedakan seniman dengan yang lain. Penga-
rang menuliskan kegelisahannya, menganggap kekurangan

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


172 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
dan kesengsaraannya sebagai tema karya-karyanya. Freud
menganggap pengarang seorang neurotik yang keras kepala.
Melalui kerja kreatifnya pengarang menjaga agar tidak men-
jadi gila tetapi sekaligus juga agar tidak dapat disembuhkan
(Wellek dan Warren, 1989:90-97).

B. METODE ANALISIS
Analisis ini tergolong analisis dengan model interaksi
simbolik karena fokus kajian ini adalah masalah realitas kehi-
dupan sosial dan tanggapan pengarang terhadap realitas kehi-
dupan sosial dalam cerpen.
Sampel kajian adalah cerpen-cerpen Leila S. Chudlori
yang sarat dengan unsur-unsur sosial. Penentuan sampel ka-
jian ini didasarkan pada masalah kajian dan tujuan kajian.
Penarikan simpulan dari sampel, hanya berlaku atas cerpen-
cerpen yang diteliti. Berdasarkan studi pendahuluan, dari 19
cerpen Leila S. Chudlori yang terkumpul dalam kumpulan
cerpen “Malam Terakhir” hanya 4 cerpen yang secara repre-
sentatif dapat dipilih dan digunakan sebagai sampel kajian.
Kajian ini ditentukan berdasarkan pemahaman terhadap per-
watakan, latar, dan pemahaman terhadap nilai/pesan dalam
cerpen sampel.
Data dalam analisis ini, pertama berupa perian tentang
realitas kehidupan sosial yang diperoleh dari cerpen-cerpen
Leila S. Chudlori. Data ini diperoleh dengan cara menandai
(coding) dan merekam unsur-unsur intrinsik yang mengan-
dung kehidupan sosial. Data kedua berupa perian sikap
pengarang terhadap kehidupan sosial yang ditulisnya. Data
ini diperoleh dengan menandai dan merekam unsur-unsur
yang menyiratkan sikap pengarang.
Dalam analisis ini dikembangkan 2 format instrumen.
Instrumen I terdiri atas 4 subinstrumen yang meliputi instru-
men IA, IB, IC, dan ID. Instrumen IA berupa format perekam
data unsur perwatakan. Instrumen IB berupa format pere-

BAB 5
Model Kritik Sastra
173
kam data unsur latar. Instrumen IC berupa format perekam
data unsur nilai/pesan. Istrumen ID berupa format perekam
unsur-unsur kehidupan sosial. Instrumen II berupa format
perekam data sikap pengarang yang didasarkan pada rekaman
data dengan instrumen ID.
Pengumpulan dan analisis data dilakukan dengan prose-
dur: (1) memilih cerpen Leila S. Chudlori yang sarat dengan
unsur-unsur sosial; (2) menandai unsur-unsur intrinsik yang
menyimpan atau berhubungan langsung dengan unsur-unsur
kehidupan sosial. Unsur intrinsik yang dimaksud meliputi
latar, perwatakan, dan nilai/pesan; (3) menandai dan mere-
kam data yang berkaitan dengan unsur kehidupan sosial yang
tecermin dalam latar dengan menggunakan instrumen IA; (4)
menandai dan merekam data yang berkaitan dengan unsur
kehidupan sosial yang tecermin dalam perwatakan dengan
menggunakan instrumen IB; (5) menandai dan merekam data
yang berkaitan dengan unsur kehidupan sosial yang tecermin
dalam nilai/pesan dengan menggunakan instrumen IC; (6)
selanjutnya data yang terekam berdasarkan instrumen IA,
IB, dan IC dirangkum dan direkam dengan instrumen ID;
(7) berdasarkan rekaman data dengan format ID kemudian
ditandai dan direkam data yang berkaitan dengan unsur sikap
pengarang terhadap kehidupan sosial dengan instrumen II;
(8) berdasarkan rekaman data dari format ID dan format II
ditafsirkan unsur-unsur kehidupan sosial dan sikap tanggapan
kejiwaan pengarang yang kemudian disajikan dalam hasil
analisis data.

C. ANALISIS
Hasil analisis ini berupa unsur kehidupan sosial dalam
cerpen-cerpen Leila S. Chudlori yang tecermin dalam perwa-
takan, latar, dan nilai/pesan yang kemudian diinterpretasikan
pula sikap/tanggapan kejiwaan pengarang (Leila S. Chudlori)
terhadap kehidupan sosial dalam cerpen-cerpennya. Selanjut-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


174 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
nya disajikan secara berurutan: cerpen SBMDK, cerpen ASS,
cerpen SPH, dan cerpen TK.
Bertolak dari amanat cerita, Leila dalam cerpen
SBMDK berpesan agar dapat berbuat baik orang perlu
merasakan arti hidup dan tidak merasa sudah berbuat baik.
Merasa sudah banyak berbuat baik akan menyebabkan sese-
orang “berhenti” berbuat lebih baik. Dengan menokohkan
Marwan sebagai pemimpin redaksi majalah berita (warta-
wan). Leila berusaha menunjukkan bahwa wartawan yang
berani mempertahankan prinsip dengan sejujurnya mengata-
kan kebenaran—alih-alih kebrengsekan—terpaksa harus
mengorbankan diri dan mengorbankan penerbitannya karena
akan dikenai tuduhan melakukan tindakan subversif yang an-
caman hukumannya adalah penjara sepuluh tahun dan pembe-
rangusan penerbitannya. Banyak yang harus dikorbankan ter-
masuk kelangsungan hidup sekian wartawan yang menggan-
tungkan nafkahnya dari penerbitan itu. Dengan memfokuskan
kejujuran dalam majalah melalui tokoh-tokoh Suwarto—sa-
habat dan bawahan setia Marwan—yang mengikuti perubah-
an serta berusaha menerjemahkan idealisme dengan cara
yang tidak vulgar, Leila dengan cermat menggambarkan
pengetahuannya seputar dunia kewartawanan karena Leila
juga berprofesi sebagai wartawati yang memungkinkannya
untuk berbicara banyak tentang dunia kewartawanan.
Diilhami cerita klasik “Ramayana”, dalam cerpen ASS
Leila mengkritik pandangan masyarakat terhadap kesetiaan/
kesucian laki-laki dan wanita. Selama ini masyarakat meng-
anggap wajar jika laki-laki mempertanyakan kesucian wanita
yang tinggal di lingkungan Barat sebagaimana Rama mem-
pertanyakan kesucian Sita istrinya yang diculik Rahwana dan
lama tinggal di Alengka. Di pihak lain, masyarakat tidak mem-
beri kesempatan kepada pihak wanita untuk mempertanyakan
kesetiaan laki-laki/pasangannya, bahkan laki-laki “dimaaf-
kan” bila berlaku menyeleweng. Leila menganggap sikap ter-
sebut sebagai perlakuan yang tidak adil. Seharusnya masya-

BAB 5
Model Kritik Sastra
175
rakat “mengondisikan” agar laki-laki memberikan kesem-
patan kepada wanita untuk mempertanyakan kesetiaan laki-
laki sebab menurut pengakuan tokoh tunangan—dalam kon-
disi yang sama-sama memberi peluang untuk menyeleweng—
laki-laki lebih mudah berbuat menyeleweng sedangkan wanita
relatif lebih kuat. Mitos bahwa jika wanita menyeleweng du-
nia menangis sedangkan bila laki-laki menyeleweng dunia ma-
sih tersenyum perlu direnungkan kembali. Menurut agama—
Islam misalnya—sanksi hukum untuk laki-laki dan wanita
yang menyeleweng pada dasarnya sama berat, tidak berat
sebelah.
Dalam cerpen “Sehelai Pakaian Hitam” (SPH) Leila
berbicara tentang kejujuran dan kemunafikan yang menjang-
kiti orang-orang yang menjadi idola masyarakat (public fig-
ure). Hamdani, tokoh dalam cerpen ini, merupakan sosok
idola masyarakat yang penuh pengabdian. Karena masyarakat
memberi beban yang luar biasa, mengharapkan dirinya tampil
tanpa cela, maka Hamdani berusaha menutupi cela dirinya.
Ia disimbolkan mengenakan pakaian hitam dan putih secara
bergantian. Hamdani menjaga hubungannya dengan masya-
rakat dengan menyembunyikan kebiasaan buruknya mengun-
jungi tempat prostitusi. Leila secara tersirat menganggap bah-
wa masyarakat turut bersalah karena ikut andil dalam me-
ngondisikan seseorang untuk berbuat munafik, seperti Ham-
dani yang kemudian selama hidupnya menderita karena meng-
alami hidup dengan jiwa terbelah. Di sisi lain, Leila ingin
bertutur kepada individu untuk tidak bersikap munafik. Jika
sudah memilih hidup menjunjung kebenaran dan keadilan,
bersikap religius, maka seseorang harus menyatukan kata dan
perbuatannya sehingga tidak membohongi diri sendiri.
Cerpen “TK” (Topeng Kehidupan) ini mengungkapkan
keterasingan anak muda yang baru tamat sekolah di luar ne-
geri. Ella—nama tokoh wanita muda itu—menemukan orang-
orang banyak yang mengenakan topeng mulai dari pekerja,
pegawai kantor, guru-guru agama, sampai pada orang-orang

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


176 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
yang ada di jalan-jalan dan di pasar. Leila ingin mengatakan
bahwa untuk berhasil dalam kehidupan dan karier, orang ha-
rus pandai menyesuaikan diri sekalipun itu merupakan feno-
mena yang mau tidak mau harus diikuti, orang dipaksa untuk
mengikuti arus agar “berhasil” dalam kehidupan.

D. PENILAIAN
Dinilai bahwa realitas sosial yang diangkat dalam cer-
pen-cerpen Leila tersebut tidak jauh berbeda dengan realitas
sosial yang sebenarnya. Perbedaan yang ada lebih disebabkan
oleh sifat cerpen sebagai karya yang dipengaruhi subjektivitas
pengarangnya dalam berproses kreatif, dalam memindahkan
realitas sosial yang sesungguhnya ke dalam karya fiksinya.
Hal itu sesuai dengan pendapat Damono (1984:7), seandainya
dua orang novelis (termasuk cerpenis) menulis tentang masya-
rakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-
cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya
itu berbeda-beda menurut pandangan orang seorang. Pengha-
yatan Leila terhadap realitas sosial tampak pada penataan
unsur-unsur fiksional dalam cerpen-cerpennya, pada peng-
gambaran realitas, dan pada penyiratan nilai/pesan yang di-
sampaikan.
Sebagaimana gagasan bahwa sastra merupakan cermin
langsung dari pelbagai realitas sosial (Damono, 1984:9; Grif-
fith, 1982:73) maka pendekatan sosiologi yang dipilih dalam
kajian ini cukup tepat oleh karena tugas sosiologi sastra ada-
lah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh fiktif dan situa-
si penciptaan pengarang dengan keadaan masyarakat yang
merupakan asal-usul atau genetiknya.
Pernyataan Darma (1984:24) bahwa sastrawan yang
baik mengangkat kehidupan yang dikenalnya benar, tepat
dikenakan pada Leila. Profesinya sebagai wartawati majalah
TEMPO memungkinkannya berbicara banyak tentang dunia
penerbitan, dunia media massa cetak. Hal itu juga memung-

BAB 5
Model Kritik Sastra
177
kinkannya untuk dapat menggambarkan secara cermat penge-
tahuannya seputar dunia kewartaan, dunia penerbitan seba-
gaimana digambarkannya dalam cerpen SBMDK. Penga-
lamannya sebagai penulis sastra dan pergaulannya dengan
sesama penulis membuatnya dengan mudah mengangkat
masalah kemunafikan/ketidakjujuran yang menjangkiti orang-
orang yang menjadi idola masyarakat (public figure) dalam
cerpen SPH. Sekalipun tokoh/tema dalam cerpen-cerpen di
atas bersifat individual, tokoh/tema tersebut mewakili tokoh/
tema yang bersifat sosial oleh karena tokoh-tokoh di dalam-
nya cukup mewakili kelompoknya (periksa Damono, 1984:9).
Dengan mengacu pada pendapat Griffith (1982:74) ten-
tang identifikasi situasi sosial karya sastra dan identifikasi
sikap pengarang terhadap situasi sosial tersebut, misalnya
apakah pengarang memiliki cara pemecahan terhadap situasi
sosial, didapat temuan yang berarti. Dalam cerpen SBMDK,
Leila menyiratkan saran agar terbebas dari ancaman pembe-
rangusan, maka perubahan redaksional majalah hendaknya
selalu mengikuti perubahan zaman dan berusaha menerje-
mahkan idealisme dengan cara yang tidak vulgar. Di dalam
cerpen ASS, Leila mengajak masyarakat (pembaca) untuk
kembali merenungkan perlakuan tidak adil masyarakat ter-
hadap penyelewengan/kesetiaan yang dilakukan laki-laki dan
wanita dengan mendudukkan persoalan secara adil sejalan
dengan hukum yang berlaku secara universal.
Akan tetapi, di dalam cerpennya yang lain, Leila tidak
memberikan pemecahan masalah. Leila hanya melontarkan
masalah sosial kepada pembaca. Pembacalah yang diharapkan
menemukan sendiri cara pemecahannya. Ini terlihat pada
cerpen TK.
Objek analisis dalam kajian ini sejalan pula dengan
salah satu objek kajian yang diberikan Wellek dan Warren
(1983:111-112) tentang sosiologi pengarang dan profesi pe-
ngarang. Pernyataan di atas membuktikan bagaimana penga-
ruh latar belakang profesi pengarang dalam mewarnai karya-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


178 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
karyanya. Pijakan ini juga dimaksudkan untuk mengantisipasi
kecenderungan salah tafsir. Untuk itu pandangan sosial pe-
ngarang harus diperhitungkan.
Kemungkinan terbuktinya teori bahwa pengarang seperti
orang yang mengalami halusinasi, mencampuradukkan
kenyataan dengan khayalan (Wellek dan Warren, 1989:90–
97) dalam kajian ini terlihat pada cerpen ASS, melalui peng-
gambaran tokoh “wanita itu” yang mengalami penderitaan/
penyiksaan yang luar biasa. Berkali-kali tokoh “wanita itu”
didera ketakutan dan kecemasan akan perlakuan tunangan-
nya sebagaimana yang dialami oleh Sita yang diperlakukan
tidak adil oleh Rama (dalam lakon Ramayana). Berkali-kali
ia merasakan demam yang luar biasa jika membayangkan Sita
yang akhirnya harus membakar diri untuk membuktikan ke-
setiaannya kepada Rama. Tokoh “wanita itu” tidak mampu
membayangkan seandainya kejadian itu menimpa dirinya.

E. PENGUKUHAN ATAS PENILAIAN


Berdasarkan hasil analisis, ditarik dua penilaian. Per-
tama, unsur kehidupan sosial yang tecermin dalam keempat
cerpen Leila S. Chudlori yang dijadikan sampel/objek kajian
ini cukup kuat. Dari kelima cerpen tersebut, tiga di antaranya
dinilai memiliki kadar kehidupan sosial yang kuat. Ketiga
cerpen yang dimaksud adalah cerpen TK dan SPH yang me-
ngetengahkan pola kehidupan penuh kepura-puraan, kepal-
suan, dan kebohongan yang menggejala di masyarakat.
Dua cerpen lainnya, yakni SBMDK dan ASS dinilai
mencerminkan kehidupan sosial yang berbeda dari dua cer-
pen sebelumnya. Di dalam cerpen ASS, diketengahkan sikap
masyarakat terhadap penyelewengan yang dilakukan laki-laki
dan wanita dengan tidak adil. Laki-laki “dimaafkan” jika me-
nyeleweng sedangkan wanita “dikutuk”. Laki-laki dibenarkan
mempertanyakan kesucian wanita, sedangkan wanita tidak.
Masyarakat diharapkan merenungkan kembali sikap tersebut

BAB 5
Model Kritik Sastra
179
agar wanita tidak merasa diperlakukan secara tidak adil.
Kedua, dinilai bahwa sikap atau tanggapan kejiwaan
Leila S. Chudlori tecermin dalam keempat cerpennya sebagai-
mana terungkap berikut ini.
(1) Dalam cerpen SBMDK, Leila berpendapat bahwa “keju-
juran” dalam mengungkapkan berita kebrengsekan akan
mengancam berdirinya suatu penerbitan. Ada dua pilihan
bagi pengelola majalah/koran: menampilkan idealisme
dengan cara yang tidak vulgar atau mengedepankan
idealisme secara terang-terangan dengan ancaman pem-
berangusan. Tampaknya pengalaman pengarang sebagai
wartawati majalah mingguan terkenal mewarnai cerpen
SBMDK.
(2) Dalam cerpen ASS, Leila beranggapan bahwa sikap ma-
syarakat yang tidak adil terhadap wanita dalam memper-
tanyakan kesucian pasangannya perlu direnungkan kem-
bali.
(3) Dalam cerpen SPH, Leila berpendapat bahwa untuk men-
jadi diri sendiri seseorang harus jujur, tidak munafik ter-
hadap diri sendiri sekalipun bertentangan dengan keingin-
an masyarakat. Jika menginginkan keharmonisan dalam
berhubungan dengan masyarakat orang harus mengor-
bankan kepentingan diri sendiri.
(4) Dalam cerpen TK, Leila berpendapat bahwa di Indone-
sia, orang harus mempunyai keseimbangan antara men-
jadi makhluk bebas (individu) dan makhluk sosial. De-
ngan kata lain, orang harus pandai menyesuaikan diri.

CONTOH DIMENSI SOSIOLOGIS DALAM CERPEN:


Bacalah cerpen berikut dengan kritis!

PULANG DARI AMERIKA


Ketika Nyonyot baru saja menginjakkan kakinya di
Lapangan Udara Sukarno Hatta, bau busuk yang menyesakkan

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


180 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
menyerang hidungnya. Ia lupa di mana ia pernah mencium
bau seperti itu.
“Bau apa ini, Bu?”
“Bau?” ibunya mengerutkan kening heran.
“Ya, apakah ibunya tidak mencium bau sekeras ini?”
“Oooh …” tawa ibunya berderai, “masakan kau lupa bau
itu? Mungkin di rumah kau akan mengenalnya.”
Nyonyot mengerutkan kening.
Setiba di rumah, ketika baru saja ia berpelukan dengan
ayah dan mbah Kakung, bau itu kembali menyerang hidungnya.
“Brengsek. Kenapa sih aku selalu mencium bau busuk
ini?”
“Bau busuk mana, Nyot!” tanya bapaknya heran.
“Addduh!” Nyonyot memukul dahinya, “Ada apa dengan
penciuman kalian?” gerutunya dongkol.
“Sudah, sudah …” mbah Kakung menyabarkan, “Duduk
dulu, cerita-cerita dulu. Jangan pikirkan bau-bau itu. Wong
baru dateng kok sudah ribut-ribut.”
Karena bau busuk itu sudah tidak terlalu mengganggu
lagi, Nyonyot setuju untuk duduk-duduk di teras sambil ber-
bicara tentang Amerika yang megah. Sambil mengipas-ngipas
badannya karena kepanasan ia bercerita tentang New York
yang gedungnya tinggi-tinggi. Kehidupan sehari-hari yang ber-
putar begitu cepat. Kedisiplinan para mahasiswa dan profesor
untuk menyelesaikan sesuatu tepat pada waktunya.
“Bagaimana dengan makanannya? Apa ndak kangen sama
nasi?” tanya mbah Kakung.
“Wah, iya dong, mBah. Sebenarnya di Amerika juga ba-
nyak nasi, tapi karena saya tinggal di asrama, saya tak punya
pilihan. Kentang dan daging melulu. Kadang-kadang juga ma-
kanan Itali atau Hamburger sebagai selingan.’
“Wala … pantas gemuk. Makanannya banyak protein ya,”
komentar mbah Kakung lagi.
Nyonyot tersenyum menyambut komentar itu. Tiba-
tiba senyumnya membeku di udara. Bau itu kembali meng-
ganggu penciumannya.
“Kenapa?” tanya ibunya cemas.
“Bau…Bau itu….”

BAB 5
Model Kritik Sastra
181
Bau apa sih? Sejak tadi kok meributkan bau terus,” gerutu
bapaknya. “Aku tidak mencium bau apa-apa.”
Nyonyot mencoba untuk melupakan bau itu supaya tidak
mengecewakan bapaknya. Tiba-tiba matanya membelalak keti-
ka melihat sebuah benda hitam berbulu yang melesat di depan-
nya. Astaga … dia menahan napas.
“Apa itu Bu?” tanyanya ketakutan.
“Mana?”
“Yang tadi lewat …”
“O alaa … itu kan cuma tikus …” gerutu mbah Kakung.
“Sama tikus saja kok kayak menghadapi seekor harimau.”
Noynyot masih menahan napasnya, “Mungkin bau tadi
datangnya dari tikus keparat itu. Tuhan … lihatlah, begitu
banyaknya …” serunya ngeri.
Dan memang benar. Mula-mula dua ekor tikus mengintip
dari selokan dan berlari-larian mengelilingi tanaman pandan
ibu Nyonyot. Nyonyot terpesona melihat adegan itu. Seperti
adegan sepasang kekasih yang sedang bercinta-cintaan dalam
film-film India . Lantas tiga ekor tikus berbulu lebih lebat
dan hitam berlarian menyusul kedua tikus pertama. Sebelum
Nyonyot sempat mengomentari adegan itu, kelima tikus
tersebut sudah menghilang ke dalam lubang got.
Untuk lima menit pertama, Nyonyot tidak dapat menge-
luarkan suara dari tengorokannya. Seakan kagum dan setengah
tidak percaya ia menoleh pada ibunya yang tenang-tenang
meletakkan pisang goreng di atas meja. Karena begitu kaget,
pertanyaan-pertanyaan yang melilit dalam pikirannya tak bisa
dimuntahkan begitu saja.
“Makan pisangnya, Nyot. Kamu kan ndak dapet pisang
goreng di Amerika sana … hayo …” mbah Kakung menyo-
rongkan piring itu ke muka nyonyot.
Nyonyot masih terdiam. Ia masih tak bisa memercayai
penglihatannya.
KETIKA Gogon baru saja menyelesaikan sekolahnya di
Amerika tiga bulan yang lalu, ia mendapatkan tiga tawaran
pekerjaan yang menarik. Ketiganya menjanjikan gaji dan fasilitas
yang cukup besar untuk seorang pemula seperti Gogon yang
berijazah universitas Amerika itu.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


182 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Setelah berpikir masak-masak, Gogon akhirnya memilih
untuk bekerja di kantor X. Gogon diserahi mengelola satu
bagian yang cukup besar. Gogon menyambut tugas itu dengan
gegap gempita, karena itu, ia sudah mendatangi kantor tersebut
untuk mempelajari keadaan, meskipun ia diperintahkan untuk
memulai tugasnya minggu depan.
Hari itu, dengan dandanan yang rapi, celana sopan, kemeja
lengan panjang garis-garis berkerah kecil dan berdasi, Gogon
datang mengendarai taksi. Seorang pegawai yang mengetahui
Gogon anak Pak Salman–relasi dan pimpinan umum—buru-
buru membukakan pintu taksi.
“Aaaah, Pak Sugondo, mari masuk,” sambut Husein,
sekretaris pribadi Tuan Atmo, pimpinan umum kantor itu.
Gogon tersenyum.
“Apa mobil Pak Salman rusak?” Tanya Husein sambil
menyilakan Gogon duduk.
“Rusak?” tanya Gogon mengerutkan kening, “Setahuku
tidak. Kenapa?”
“Oh, oh, tidak,” Husein tertawa berderai-derai, “Saya
pikir rusak, sebab Anda naik taksi.”
“Oh, itu,” Gogon mengerti, “saya naik taksi karena belum
punya mobil.”
“Oh …iya,” Husein tertawa bingung mengingat bahwa
ia sendiri tak pernah hafal berapa jumlah mobil Pak Salman.
“Mau minum apa, Pak Sugondo?”
“Tidak, terima kasih. Saya sudah sarapan. Ada Pak Atmo
Winarto?”
“Ooooh, Pak Atmo hari begini belum datang, Pak” tawa
Husein berderai.
Gogon melirik pada arlojinya. Jam sepuluh. Husein me-
ngerti ekspresi muka Gogon yang penuh celaan itu.
“Maklum, kan tuan besar. Biasanya, pakai upacara dulu
dengan nyonya di rumah,” bisiknya hati-hati. Lantas disam-
bungkan dengan cekikiknya yang menjengkelkan Gogon.
Gogon mengangkat alisnya dan mendadak tawa Husein lenyap.
“Ehem, apa bisa saya Bantu, Pak Sugondo? Pak Atmo
memang sudah memberi tahu saya bahwa Bapak akan meng-
gantikan jabatan Pak Arsil minggu depan.”

BAB 5
Model Kritik Sastra
183
Gogon mengutarakan kesempatannnya berkeliling melihat
keadaan kantor itu. Dengan gembira Husein membukakan
pintu untuk Gogon dan mengantarkannya ke bagian yang akan
dipimpinnya.
“Ini bagian yang akan saya pimpin?”
“Ya ini bagian yang akan Bapak pimpin,” jawab Husein
dengan nada yang tidak enak.
Gogon menelan ludahnya. Ia hampir tidak dapat memer-
cayai pemandangan di mukanya. Beberapa karyawan sedang
duduk-duduk sambil mengangkat kakinya ke atas meja. Ruang-
an yang ber-AC itu penuh dengan asap rokok. Sementara itu
di pojok, Gogon melihat beberapa wanita asyik berdiskusi
dan tertawa-tawa.
Seorang laki-laki, sedikit lebih muda dari Husein, tiba-
tiba saja menyadari kehadiran mereka berdua. Dengan sigap
ia berdiri dan membentuk sebuah senyum yang meyakinkan.
Ia berdehem sekali dan dalam sekejap ruangan yang hiruk-
pikuk dengan kesibukan yang mengasyikkan itu berubah men-
jadi Hening. Beberapa kaki yang terangkat menghilang ke ba-
wah meja dan semua wanita sudah kembali ke belakang meja
masing-masing.
Gogon sungguh-sungguh tidak mengerti apakah dia harus
tersenyum bangga karena perubahan itu terjadi disebabkan
kedatangannya atau tetap berdiri kaku bagai orang tolol seperti
apa yang dilakukannya sekarang. Ia melirik pada Husein. Ter-
nyata, Husein sibuk memelototi laki-laki yang mengangkat
kaki tadi.
Akhirnya ia cuma mengangguk pada beberapa karyawan
yang sudah memasang senyumnya beberapa menit yang lalu.
“Tikus-tikus itu sudah bersarang di rumah ini sejak dulu.
Mereka bertempat tinggal di selokan-selokan air itu,” kata
ibu Nyonyot sambil meletakkan ikan mas goreng kesukaan
Nyonyot ke atas piringnya. Tetapi Nyonyot yang hilang selera
tidak menyentuh hidangan itu. Tikus-tikus gemuk berbulu hi-
tam masih terbayang-bayang di matanya. Moncong tikus merah
dan buntutnya yang tipis membuat bulu kuduknya merinding.
“Dulu-dulu kok tidak ada, Bu?”

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


184 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
“Ah, siapa bilang. Kamu saja yang tidak menyadari keha-
diran mereka. Tikus-tikus itu sudah ada sejak kamu belum
lahir.” Tukas bapaknya sambil mencomot ikan mas goreng
itu dari hadapannya.
“Kenapa tidak dibunuhi, Pak?”
“Lho, bagaimana mau dibunuh …” sela mbah Kakung
dengan nada mendongkol. “Wong jumlah mereka begitu
banyak. Mati satu tumbuh seribu. Percuma. Lebih baik
didiemkan saja, jadi jumlahnya akan tetap sama saja. Toh yang
tua akan mati ….”
Nyonyot mengerutkan keningnya. Heran belum pernah
dia menghadapi masalah yang sedemikian anehnya. Tikus-tikus
itu begitu menjijikkan di matanya, tetapi kenapa orang-orang
rumahnya bersikap seolah-olah mereka itu binatang piaraan?
Bahkan, kalau boleh dikatakan, mereka hampir dianggap
sebagai anggota keluarga.
“Tapi ‘kan obat racun zaman sekarang banyak yang man-
jur, Mbah. Masakan kalah sama tikus-tikus kecil seperti itu.”
“Kecil-kecil tapi berbobot, lho. Mereka gesit dan licin.
Tidak Mudah menangkapi dan membunuhi mereka dengan
obat racun modern macam apa pun. Dulu-dulu ibu sudah beli
bermacam-macam perangkap dan racun tikus. Ternyata hanya
satu atau dua tikus yang kena perangkap itu. Sisanya segera
mengerti siasat itu. Mereka tidak mau mendekati.”
Ibunya menyorongkan ikan mas goreng itu, “Ayo, makan.”
Nyonyot memotong ikan mas goreng itu dengan hati ter-
paksa. Kisah tikus-tikus ini benar-benar telah melumatkan
selera Nyonyot.
“Ayo makan Nyot. Ibumu sudah memasakkan makanan
kegemaranmu,” bapaknya mendorong piring makannya ke
muka Nyonyot yang larut dalam pikirannya. Nyonyot meman-
dang wajah ibunya yang agak kecewa karena ia tak menyentuh
hidangan itu. Dengan perasaan bersalah, Nyonyot mencoba
mengerahkan seleranya. Ia menyendokkan sayur asem ke
mangkuk dan ke piringnya. Wangi kemiri dan daun tangkil
dari sayur asam itu agaknya dapat menggugah selera Nyonyot.
Ia merendam ujung-ujung jarinya ke dalam kobokan dan mulai
menjumput sesuap nasi. Tapi jumputan itu mendadak berhenti

BAB 5
Model Kritik Sastra
185
di udara. Ibu Nyonyot terkejut melihat muka Nyonyot yang
meringis.
“Kenapa?”
Nyonyot menahan napasnya. Bau sialan itu kembali
menyerang hidungnya. Perutnya mendadak mual. Ia tak ingin
memuntahkan sarapannya ke meja makan. Maka ia pun mele-
sat ke kamar mandi dan memuaskan keinginan perutnya di
situ. Dia kembali dengan muka pucat dan mata berair. Ibu
Nnyonyot segera membuatkan teh panas dan mbah Kakung
memijit-mijit tengkuknya.
“Iya. Tadi si Toli yang barusan lewat meja makan. Baunya
memang lebih merangsang daripada anak-anak buahnya,” ko-
mentar bapaknya sambil terus menikmati makanannya.
“Siapa si Toli itu, Pak?”
“Oh, si Toli itu, ketua tikus-tikus itu. Badannya yang
paling besar dan baunya paling menyengat hidung. Kau dapat
mengenalnya dengan mudah jika ia sedang keluar dari lubang
selokan itu,” bapaknya menerangkan tanpa memperhatikan
betapa pucatnya wajah anaknya. “Lalu kita namakan si Toli,
he, he, he, habis lucu sih. Matanya yang kecil dan berbinar-
binar dan moncongnya mengendus-endus kalau sedang cari
makan ….”
Kepala Nyonyot berdenyut-denyut mendengar kisah itu.
Ibunya memperhatikan muka Nyonyot yang tidak beres. Ketika
bapak Nyonyot masih mengoceh tentang tikus-tikus itu, ibunya
memberi isyarat pada suaminya supaya berhenti.
“Lho, kenapa?” bapaknya protes. “Dia toh harus membia-
sakan diri untuk hidup dengan tikus-tikus itu. Sekarang kau
masih muntah-muntah, Nyot … lama-lama kau juga akan
terbiasa dengan bau itu ….”
“Lho Bapak, Ibu dan dan Mbah Kakung juga biasa dengan
bau-bauan ini, makanya kalian tidak pernah merasa mual?”
Mbah rasa gitu, Nyot. Tikus-tikus itu sudah seperti ang-
gota keluarga kita sendiri. Mereka bersliweran saben hari dan
kita diemkan saja. Kadang-kadang, malah kita ditontoni kalau
mereka sedang lari-larian di kebun.” Mbah Kakung menyo-
dorkan gelas teh panas ke muka Nyonyot, “Hayo, minum.”

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


186 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Nyonyot menyambut gelas itu tapi meletakkannya kem-
bali. Dengan ragu ia bertanya, “Apakah …apakah… tidak
mungkin tikus-tikus itu mengirim penyakit pes kepada kita
….”
Bapak Nyonyot mengangkat muka dari piringnya, “Ha?
Pes …? Ha, ha, ha…” ia terbahak-bahak begitu hebatnya hingga
keluar air mata, “Pes? Ha. Ha, ha … Nyot … Nyonyot.
Kamu sudah sarjana, lulusan Amerika lagi, kok masih
bisa berpikiran begitu goblok. Tikus itu kan cuma pengantar
penyakit pes. Bukannya sarang penyakit pes. Lagi pula penyakit
itu lebih mungkin berjangkit di daerah berhawa dingin. Ini
kan bukan Amerika, Nyot… ha, ha, ha…”
Nyonyot termenung memandangi air teh panas yang ma-
sih mengepul.
Gogon memasuki ruang kerja ayahnya tanpa mengetuk
pintu. Ayahnya menurunkan koran yang sedang dibacanya dan
menatap wajah Gogon dengan penuh tanda tanya. Napas
Gogon turun naik dan kedua bola matanya merah dan mem-
besar seperti mau copot. Dikeluarkannya sebuah amplop tebal
dari sakunya dan dilemparkan ke atas meja ayahnya.
“Ini betul-betul gila,” serunya sambil menunjuk-nunjuk
amplop putih itu.
Ayahnya menatap amplop putih itu dan sudah dapat
mengira isinya. Dengan sekejap, ia menebak apa yang tengah
terjadi di kantor anaknya.
“Duduklah Gon. Ceritakan persoalannya.”
Gogon duduk. Tetapi dia tidak dapat membuka mulutnya
dengan segera. Matanya masih memuncratkan kemarahan yang
meluap. Ayahnya menyorong gelas tehnya yang belum dimi-
num, tetapi Gogon tidak menyentuhnya.
“Dari mana kau dapat amplop ini?”
“Dari bangsat-bangsat …”
“Apa yang mereka harapkan ?”
“Supaya surat izin yang akan aku tanda tangani itu dapat
keluar tanpa persyaratan apa-apa.”
“Oh, kalau cuma itu sih….”
“Apa maksud Ayah dengan cuma itu? Itu adalah permin-
taan yang gila. Saya tidak mungkin mengeluarkan surat izin

BAB 5
Model Kritik Sastra
187
itu tanpa persyaratan apa-apa. Mereka belum memenuhi syarat
untuk menerbitkan sebuah majalah yang baik.”
“Mungkin mereka menyangka engkau mempersulit jalan
mereka”, ayahnya mencoba meredakan amarah anaknya.
“Mempersulit? Sama sekali tidak. Kalau mereka sudah
menjalankan apa yang mereka harus lakukan sebagai sebuah
badan penerbitan, saya akan memberi ACC tanpa banyak
bicara. Saya sih lurus-lurus saja. Tidak banyak cingcong. Jika
mereka memenuhi syarat, ok. Kalau tidak, maaf saja. Mereka
boleh kembali kalau semua sudah dilengkapi. Tapi tidak dengan
amplop sialan in!”
Ayahnya diam dan menyalakan rokoknya. Gogon melirik
dan dengan gemas dia berteriak, “Kenapa Ayah diam saja?
Apa hal-hal seperti ini Ayah anggap normal-normal saja?” Ayah-
nya menghela napas dan mencoba untuk menerangkan hal itu
dengan kata-kata yang tepat, “Mungkin kau bisa mengatakan-
nya begitu, Nak. Hal-hal yang kauanggap tak normal menjadi
begitu biasa dan membudaya di negara kita ini. Tak peduli di
mana engkau berpijak, engkau akan mendapatkan sikutan dari
kanan kirimu. Tinggal kau sendiri yang menentukan dan me-
milih. Ikut menyikut supaya bisa bertahan atau menying-
kirlah!”
“Tidakkah kita dapat menghentikan sikutan-sikutan itu
tanpa ikut-ikutan menyikut?”
“Oho …” ayahnya tertawa, “Kenapa kau tak bertahan
saja dengan jabatanmu, dan buktikan sendiri, apakah kau bisa
melakukan hal itu.”
“Kenapa tidak?” tantang Gogon, “Sejak pertama kali saya
masuk kerja saya sudah merasa risih dengan cara kerja mereka.
Begitu santai dan seenaknya. Pada akhir bulan, vitalitas kerja
mereka semakin merosot. Duduk-duduk dan cekakakan ma-
cam menang lotre saja. Pekerjaan begitu menumpuk, tapi gaya
hidup mereka seperti pengangguran. Lantas, saya tunjukkan
bahwa saya tidak menyukai kemalasan dan pembuangan waktu
seperti itu. Saya selalu datang tepat pada waktu dan bekerja
dengan buas dan tak mengenal lelah. Mereka malu sendiri.
Lantas, saya sudah melihat beberapa pegawai menerima am-
plop dari bangsat-bangsat itu, demi mulusnya jalannya pener-

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


188 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
bitan. Itu mengejutkan saya, tetapi, saya menyabarkan diri
dengan rencana bahwa ini harus saya bicarakan dalam suatu
rapat yang serius. Saya harus mampu menegakkan kedisiplinan.
Tetapi, belum lagi saya laksanakan itu, bangsat-bangsat itu
telah berani menghina saya dengan menyodorkan amplop ini.”
“Gogon, dengar. Bagaimanapun kautegakkan kedisplinan
pada pegawaimu untuk tidak menerima amplop, bangsat-bang-
sat itu akan menyogok mereka dengan jalan lain. Ini namanya
politik. Kau harus menyadari realitas itu. Bangsat-bangsat itu
amat gesit dan licin. Tidak mudah membasmi mereka dengan
cara apa pun. Dulu-dulu ayah sudah mencoba untuk menegak-
kan kedisiplinan semacam itu. Tetapi ternyata tidak mudah,
Gon. Kedisiplinan itu kelihatan begitu semu. Di balik itu se-
mua, toh masih banyak pegawai yang menerima uang suap.”
“Dan Ayah menyerah?”
“Tidak. Hanya, Ayah membiasakan diri dengan keadaan
seperti ini. Aku sangat mengerti perasaanmu. Anak yang baru
pulang dari luar negeri memang menjadi mudah untuk sakit
hati dan marah melihat kelemahan-kelemahan yang kita mi-
liki. Hal yang pertama kamu lakukan adalah perbandingan
sistem yang berlaku di negeri tempat kamu belajar dan di
tanah air. Lantas kamu mulai melihat segi-segi negatif yang
kita miliki yang sudah membudaya. Kemudian kamu bercita-
cita untuk mengubahnya. Tanpa ingin mematikan semangat
idealismemu, aku ingin mengingatkanmu agar bersiaplah
untuk kecewa. Saat ini kau masih marah dan gelisah melihat
hal-hal yang kau anggap tak normal. Lama-lama, kau akan
terbiasa sementara cita-citamu tetap terpajang di lemari kaca
tanpa tersentuh.”
Suara yang bergetar ketika ia mengucapkan kalimat ter-
akhir itu. Mendadak Gogon merasa tak berdaya.
“Apakah Ayah sudah terbiasa dengan penyelewengan
semacam ini, makanya Ayah tidak merasa sedih dan sakit hati
lagi?”
“Mungkin … kesedihan dan rasa sakit hati itu telah kusim-
pan bersama cita-cita idealisme yang aku junjung begitu tinggi
di masa mudaku. Kadang-kadang, malah Ayah harus duduk
dan menontoni orang-orang yang kelihatan gembira dengan

BAB 5
Model Kritik Sastra
189
apa yang mereka lakukan. Menyaksikan mereka begitu asyik
main suap dan sikut kanan kiri. Begitu seringnya itu terjadi
hingga aku harus percaya bahwa beban ini hampir merupakan
suatu tugas rutin sehari-hari yang harus dipikul. Ayah sudah
menghadapi itu semua …” ayah menyorong gelas teh itu ke
muka Gogon, “Minumlah….”
Gogon menyambut itu tetapi tidak segera meminumnya.
“SATU-satunya cara untuk dapat mengatasi rasa mualmu
dari bau tikus-tikus itu adalah dengan menghargai eksistensi
mereka. Mereka itu makhluk Tuhan juga. Meskipun mereka
pengantar penyakit pes dan bertampang menjijikkan seperti
katamu itu, tetapi cobalah untuk merenungi hikmah eksistensi
tikus-tikus itu. Coba, kenapa mereka tidak membunuh kami
kalau mereka berbahaya seperti katamu itu? Mereka cuma
hidup di sini dengan menumpang dalam selokan-selokan itu.
Mereka sering juga berkejar-kejaran di atas rumput dan mem-
buat mbah Kakung dan Ayah tertawa geli, karena kebun kita
seperti kebun binatang saja. Bulu-bulu mereka begitu menjijik-
kan katamu? Aah, itu karena kau tak tahan baunya. Kenapa
kau menyukai bulu-bulu kucing yang begitu halus dan lembut?
Karena kau pikir kucing itu binatang kesayangan Nabi. Karena
mereka kelihatan begitu jinak dan menyenangkan. Tetapi toh
mereka suka mencuri juga. Bulu-bulu mereka bisa bikin me-
reka bengek. Coba lihat, sebenarnya bulu-bulu tikus itu halus
seperti beludru. Sama sekali tidak menjijikkan. Moncongnya
merah dan bikin kau muntah? Ah, moncong kucing juga
berwarna merah. Semua moncong binatang kan merah. Kenapa
kau tak jijik pada moncong kucing? Atau moncong singa, mi-
salnya? Karena mereka kelihatan begitu besar, megah, dan
mengagumkan. Tapi kau tak menyadari kemampuan seekor
kucing untuk menyakar dan menggigitmu atau kebuasan
seekor singa untuk menghabiskan nyawamu. Sedangkan tikus-
tikus itu? Tidak, mereka tidak akan membunuhmu. Mereka
hanya menjengkelkan karena baunya. Mereka hanya mendong-
kolkan karena mereka sering membuat kita malu pada tamu-
tamu. Seolah-olah kita ini manusia-manusia jorok yang tak
mampu membersihkan rumah sendiri. Cicit-mericit suara
mereka sering membangunkan tidur kita dan membuat kita

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


190 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
ingin berteriak dan mengusir mereka pergi. Tapi… tidak. Itu
tidak dapat kaulakukan, Nyot. Kau harus mencoba membia-
sakan diri dengan situasi ini. Mencoba berkawan dengan kea-
daan.”
“TIDAK ada jalan untuk mengatasi kesedihan dan kema-
rahan ini selain mencoba untuk kuat dan mempertahankan
apa yang ada di balik dadamu. Tetapi mempertahankan prinsip-
mu bukannya berarti kau harus berkelahi dengan dan menen-
tang keadaan. Kau harus menyadari, mencoba untuk mengatasi
bahkan mengakrabi penyelewengan-penyelewengan tersebut,
dengan satu catatan bahwa ini adalah satu cara untuk menye-
suaikan keadaan. Bangsat-bangsat itu makhluk Tuhan juga.
Mereka perlu hidup dan ingin menerbitkan majalah atau koran
yang toh nantinya akan berfungsi untuk mencerdaskan anak-
anak kita. Meskipun caranya amat memualkan dan merupakan
suatu penghinaan bagimu, kau mesti mengerti kenapa mereka
melakukan itu. Kau mesti berpikir lebih panjang apa keuntung-
annya kalau toh izin itu kau keluarkan lebih dini dan lebih
mudah. Yang kau saksikan itu hanyalah penyelewengan kecil-
kecilan. Jangan terlalu marah. Kau toh tidak membutakan
diri waktu di Amerika sana, apa mereka tidak pernah melaku-
kan hal-hal yang lebih besar? Kenapa kau tak jijik dengan
perbuatan mereka? Karena mereka kelihatan lebih besar, me-
gah, dan mengagumkan. Tapi kau tak menyadari, di balik kebe-
saran dan kemegahan negara adikuasa itu tersimpan maksud-
maksud licin dan bulus terselubung. Mereka bisa membunuh-
mu dengan sekali tepuk. Tapi, penyelewengan kecil-kecilan
di kantormu itu tak mempunyai dampak apa-apa. Memang
sedikit memalukan bila kita menyadari apa yang terjadi. Juga,
kita merasa putus asa karena menjengkelkan seolah-olah kita
tak bisa menegakkan kedisiplinan dalam bangsa sendiri. Tapi
toh itu tidak akan membunuh kita. penyelewengan kecil itu
terpaksa dilakukan karena kebutuhan melicinkan jalan yang
berkelok-kelok. Kau harus mencoba untuk membiasakan diri
dengan situasi ini. Mencoba untuk berkawan dengan keadaan.”
TIKUS-tikus itu berkejar-kejaran mengelilingi tanaman
pandan ibu Nyonyot. Warna bulu mereka begitu hitam legam
dan berkilat ditimpa matahari sore. Nyonyot memandangi

BAB 5
Model Kritik Sastra
191
mereka dengan berbagai perasaan. Seekor yang paling besar—
mungkin si Toli– berhenti di muka Nyonyot dan menatap
wajah Nyonyot dengan mata berbinar-binar. Moncongnya yang
merah bergerak-gerak seperti ingin mengatakan sesuatu. Bun-
tutnya yang tipis panjang sesekali bergerak mengikuti langkah
kecil kaki belakangnya yang mungil. Entah ke mana perasaan
mual Nyonyot, ia sendiri tak mengerti. Ada perasaan aneh
menggerayang hati Nyonyot. Suatu perasaan yang sukar dilu-
kiskan. Antara perasaan haru karena keramahan si Toli, senang
dan juga sebersit pengertian. Ia berjongkok dan menatap wajah
si Toli. Lalu menyapanya dengan ramah.
GOGON masih diam dan tidak segera meletakkan kop
telepon itu. Ketika terdengar ketukan di pintu, ia menyerukan
sekretarisnya untuk masuk dan diletakkannya kop telepon itu.
Meta masuk dengan tiga buah map di tangannya.
“Tiga buah surat izin untuk penerbitan media A, B dan
C, Pak.”
Meta keluar lagi. Gogon masih memandangi map-map
itu dengan tatapan kosong. Memiliki sebuah rumah bagus di
perumahan Indah Permai memang suatu hal yang menarik.
Dan mungkin ia bisa bercerita pada teman-temannya di Ame-
rika tentang kesuksesannya itu. Dibukanya map pertama Media
A. Apakah ia akan melanggar prinsipnya sendiri untuk mem-
bubuhkan ACC dan tanda tangannya yang selama ini begitu
mahal? Sebegitu mudahkah ia akan menyelesaikan persoalan-
nya? Sebegitu mudahkah dia akan menumbangkan idealisme?
Ia membaca semua persyaratan yang dapat dipenuhi oleh
media tersebut. Kurang dua nomor. Hm…Gogon menyender-
kan punggungnya ke kursi. Hanya dua nomor. Dua nomor.
Hanya? Ah, dua nomor tidaklah banyak. Ia tersenyum. Di-
ambilnya pulpen hitamnya dan membubuhkan tanda tangannya
yang panjang. Sugondo. Lantas map itu ditutup. Ditulisnya
tiga huruf yang berarti di atas map itu: ACC

1989
“Malam Terakhir,” Leila S. Chudlori

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


192 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
LATIHAN
1. Temukan kehidupan sosial masyarakat tertentu yang ter-
gambar dalam perwatakan tokoh, adat, tradisi atau kebia-
saan dalam cerpen “Pulang dari Amerika”!
2. Temukan latar sosial dalam cerpen “Pulang dari Amerika”
berikut ini!
3. Temukan hubungan antara latar sosial dengan perkem-
bangan atau perubahan watak tokoh cerpen tersebut!
4. Temukan mode dan gaya hidup tokoh yang menggambar-
kan kehidupan masyarakat!
5. Temukan pesan sosial dalam cerpen tersebut!
6. Temukan sikap atau tanggapan sosiologis pengarang ter-
hadap cerpen “Pulang dari Amerika!”

BAB 5
Model Kritik Sastra
193
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
194 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 5
Model Kritik Sastra
195
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
196 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Daftar Rujukan

Abrams, M.H. l953. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory
and the Critical Tradition. New York: Holt, Rinehart and Win-
ston.
Abrams, M.H. l981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt
Rinehart and Winston.
Aminuddin 1990. Paradigma dalam Studi Kritik dan Penelitian Sastra.
Makalah disajikan dalam PILNAS III HISKI. Malang, 26-28
November 1990.
Aminuddin. 1987. Pengantar Memahami Puisi. Bandung: Sinar Baru.
Aminuddin. 1997. Stilistika. Semarang: IKIP Semarang Press.
Badrun, A. 1989. Teori Puisi. Jakarta: Dirjen Dikti.
Budiman, A. 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Damono, S.D. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Damono, S.D. 1975. Dibutuhkan Kritik Sastra. Dalam Publikasi
Ilmiah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, No. 2, hlm. 29—
30.
Darma, B.. 1988. Situasi Kritik Sastra Indonesia Sekarang. Dalam
Mursal Esten (Ed)., Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indo-
nesia yang Relevan, hlm.56—83. Bandung: Angkasa.
Darma, B. l990. Stagnasi Kritik Sastra Kita. Makalah disajikan dalam
Simposium Nasional Kritik Sastra Indonesia, 21—23 Juli l990,
Yogyakarta.
Depdikbud. 1983. Kritik Sastra: Modul Akta mengajar V-B. Jakarta:
Dep-dikbud.
Dresden, S. l965. Wereld in Weorden. Den Haag: Bent Bakker &
Danmen.
Esten, M. (Ed.). l988. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia
yang Relevan. Bandung: Angkasa.
Esten, M. 1987. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya.
Fokkema, D.W. & Elrud, K. I. 1977. Theories of Literature in the
Twentieth Centuty. London: C. Hurst & Co.
Geertz, C. 1991. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

BAB 5
Model Kritik Sastra
197
Hardjana, A. 1983. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Hasanah, M. 1992. Kajian Sosiologis Kumpulan Cerpen Lelyla S
Cudlori. MALANG: Puslit IKIP MALANG
Hasanah, M. l991. Kajian Struktural-Semiotik Kumpulan Puisi D.
Zawawi Imron. MALANG: Puslit IKIP MALANG.
Krippendoff, K. 1981 Content Analysis. California: Sage Publica-
tions.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta.
Mohamad, G. 1988. Sejarah Sastra Indonesia: Perkembangan Yang
Tak Pernah Mengejutkan. Dalam Prisma, No. 8 Th. XVII, hln.
52—58.
Parera, F.M. l988. Perkembangan Industri Novel Populer di Indone-
sia. Dalam Prisma, No. 8, Th. XVII, hlm. 21—29.
Pradopo, R. D. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: PD Lukman.
Pradopo, R. D. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Richards, I.A. l970. Practical Criticism: A Criticism: A Study of Lite-
rary Judgement. London: Toutladge & Jeegan Paul.
Ricour, P. 1976. Interpretation Theory: Discourse and The Surplus
Meaning. Texas: Texas Christian University Press.
Sastrawardoyo, S. 1988. Mencari Jejak Teori Susatra Sendiri: Renung-
an Seorang Awam. Dalam Mursal Esten (Ed.) Menjelang Teori
dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan, hlm. 11—25. Ban-
dung: Angkasa.
Semi , A. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Shipley, J. T. (Ed.). l962. Dictionary of World Literature. New York.
Little-Filed, Adams & Co.
Siswanto, W. I991. Kajian Psikologis Novel Rafilus. Malang: Puslit
IKIP MALANG.
Soedjijono. 1988. Telaah Sastra dan Pengajarannya. Makalah disajikan
pada Seminar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indone-
sia. Malang: FPBS.
Spradley, J. P. 1987. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sukada, M. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Denpasar: Kayu-
mas.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


198 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Suwignyo, H. 1993. Catatan Kecil tentang Kritik Sastra. Malang: OPF
IKIP MALANG.
Tarigan, H. G. 1986. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. l983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. l984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Gramedia.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Trabaut, J. 1996. Dasar-dasar Semiotik. Terjemahan Sally Pattina-
sarany. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
van Luxemburg, J.(Et Al.) 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta:
Gramedia.
van Zoest, A. 1992. Interpretasi dan Semiotika. Dalam Panuti Sudji-
man dan Aart van Zoest. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Grame-
dia.
Viehoff, R. 1976. Ueber einer Versuch, den Ervartungshorizont zu
objektivieren. Lili, 6: 96—124.
Wahab, A. 1992. Metafora Sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi.
Dalam Isu Linguistik. Surabaya: Erlangga.
Waluyo, H. J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, R. (Et. Al). l989. Teori Kesusastraan. Alih bahasa Melani
Budianto. Jakarta: Gramedia.
Wellek, R. dan Austin, W. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
(Terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Yudiono, Ks. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
Yunus, U. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

BAB 5
DAFTAR RUJUKAN
Model Kritik Sastra
199
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
200 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Indeks
A Explication de texte, 67, 68
Aristotelian, 3 Emosional, 69
Attributre, 4 Eksplorasi, 79
Antipati, 6 Ego, 97
Aksentuasi, 22
Absurd, 26 F
Abrams, 27 Formal, Formalistik, 21
Aesthetic of reception, 37 Free card sorting, 38
Archilectteur, 38 Fenomenologis, 41
Absolutisme, 41 Familiarity, 45
Analisis, 61, 62, 73 F. de Saussure, 67
Anti positivistik, 76
Asumsi, 80 G
Asonansi, 89, 96 Gubuk Paman Tom, 53, 54,56
Genetik, 61
B
Belenggu, 9 H
Biografi kesastraan, 31 Hamlet, 8
Built in, 41 Historiografi, 9
Budi Darma, 96 Homo ludens, 11
Homo fabulans, 11
C. Hikayat Si Miskin, 40
Critism, 1 Humanisme, 50
Counter elitism, 12 Hardjana, 56
Complexity, 20
Copy, 28,35 I
Inductive critism, 19
D Intricacy, 20
Darma, 4 Intersubjektif, 37
Divina comedia, 8 Inteligibility, 45
Dislike, 11, 20 Imajinasi, 59
Daerah-daerah gelap, 13 Interpretasi, 61
Daerah daerah baru, 13 Ikon, indeks, 82
Docere, delectare, 35 Id, 97
Dulce, 35
Damono, 119 J
Judgment, 2, 9, 15,
Jan Mukarovsky, 67
E
Evaluasi, 1, 2 K
Ekspresif, 31 Kritik, 1, 2, 4, 14.
Ekspresivitas, 33, 44 Kritria estetis, 2
Emotivitas, 56 Kriteria epistemologis, 2

BAB 5
Model Kritik Sastra
201
Kriteria normatif, 2 Pendekatan tradisional, 19
Konkretisasi, 45 Poetika, 9, 45
Kritikus, 7, 45 Psikologis, 23
Karya sastra, 9, 13, 14 Permissive society, 30
Kritik yudisial, 19 Pragmatik, 32
Kritik induktif, 19 Perspektivisme, 40,41
Klangenan, 20 Pleasure, 45
Kritik sastra pendidikan, 20 Peirce, 83
Kritik impresionistik, 20
Kritik historis-biografis, 21 R
Kritik formalistik, 21 Resepsi estetik, 37
kritik moral-filosofis, 21, 25 Renaissance, 41
Kritik psikologis, 23 Realisme sosialis, 50
Kritik sosiologis, 26 Rafilus, 97

L S
Like-dislike, 9 Sign, 33
Literati, Litere, 5 Strukturalisme dinamik, 35
Lenin, 30, 57 Semiotik, 35, 81
Langage, Langue, 37 Sequence analysis, 54
Literary response, 39 Struktural, 62
Legetica, 39 Siginifie, 81
L’art pour l’art, 40 Simbol, 82
Lekra, 50 Superego, 97
Leila S Cudlori, 117 Soedjijono, 97
Sosiologis, 117
M
Mahakarya, 9 T
Mangunwijaya, 9 Telaah, 1
Mimetik, mimesis, 28 The intensional fallacy, 32
Marxis, 29 The effective fallacy, 32
Movere, 35 The idea of wholnesss, 33
Metode analitik, 61 the idea of transformation, 33
Metode struktural, 62 The idea of self regualtion, 33
Tipografi, 35
N The genetic fallacy, 61
Nonliterer, 20 Teeuw, 65
Novelty, 45
New critism, 61 U
Utile, 35,42
O
Umar Junus, 117
Objektif, 32

P W
Pengarang, 3 Wellek dan Warren, 96,117
Penyair, 3

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


202 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Tentang Penulis

Heri Suwignyo lahir di Trenggalek, 21 Mei


1959. Tesis magisternya berjudul “Pembentuk-
an Keruntutan Karangan Siswa Kelas 5 Sekolah
Dasar dengan Strategi Proses Menulis.” (PPs
IKIP MALANG, l997), dan disertasi “Manifes-
tasi Tindak Tutur Pembelajaran Among dalam
Wacana Kelas: Kajian Etnografi Komunikasi
dan Pragmatik,” PPS Universitas Negeri Ma-
lang, 2009.
Sejak tahun 1988 hingga saat ini yang bersangkutan menjadi
dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang (UM). Pada program pascasarjana (PPs) yang bersangkutan
mengampu matakuliah Seminar Problematik Pembelajaran Bahasa
Indonesia Sekolah Dasar. Matakuliah lain yang pernah diampu adalah
Pembelajaran Terpadu, Perspektif Global, dan Simulasi Kreatif Anak.
Sat ini pada program sarjana yang bersangkutan mengampu mata-
kuliah Menulis Cerita dan Drama, serta Pembelajaran Sastra. Bebe-
rapa matakuliah kesastraan yang pernah diampunya antara lain Teori
Sastra, Teori dan Estetika Sastra, Sejarah Sastra, Kritik Sastra, Apre-
siasi Sastra, Analisis Bacaan Sastra, Penulisan Kreatif Sastra, dan
Evaluasi Pembelajaran Sastra.
Buku yang berjudul Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar
Pemahaman Teori dan Penerapannya ini merupakan pengembangan
buku Catatan Kecil tentang Kritik Sastra (1993). Beberapa artikel
tentang sastra telah dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah. Artikel
dimaksud antara lain Refleksi Dunia Batin Tiga Penyair Dewan Kese-
nian Surabaya (Bahasa dan Sastra). Pengembangan Apresiasi Prosa
Fiksi di Sekolah Menengah Atas (Vokal). Nilai Kultural Edukatif
Cerita Anak Tayangan Televisi Indonesia (Bahasa dan Seni). Kajian
Arketipal Legenda Reyog Ponorogo (Bahasa dan Seni). Pengembangan
Kemampuan Menulis Cerita Anak dengan Strategi Area Isi (Bahasa
dan Seni). Karakteristik Cerpen Indonesia Modern Karya Cerpenis
Jawa Timur (Bahasa dan Seni). Strategi Pengembangan Ekologi Sastra
Indonesia (Inovasi). Tuturan Tindak Komunikatif Subjek Diri Rasio-

BAB 5
Model Kritik Sastra
203
nal dalam Wacana Narasi Pulau Buru Pramudya Anantatoer (Bahasa
dan Seni).
Heri Suwignyo juga menulis beberapa buku nonsastra antara
lain. Bahasa Indonesia Ilmiah (LP3-UM). Bahasa Indonesia Keilmuan
Berbasis Area Isi Karya Keilmuan (UMM Press). Bahasa Indonesia
Terapan (STIBA MALANG). Dasar-dasar Pemahaman Bahasa Indone-
sia Baku dan Kaidah Penggunaannya (IKIP MALANG). Pengantar
Teori Komunikasi (STIBA MALANG). Saat ini Heri Suwignyo sedang
menyelesaikan penulisan buku ajar untuk matakuliah menulis cerita
dan drama (MCD). Bukunya mengenai WACANA KELAS: substansi,
modus, dan fungsi edukatif bahasa among telah diterbitkan oleh pe-
nerbit Refika Aditama Bandung.

KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


204 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya

Anda mungkin juga menyukai