BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
1
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
2 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
HERI SUWIGNYO
Kritik Sastra
Indonesia Modern
P E N G A N TA R P E M A H A M A N T E O R I
D A N P E N E R A PA N N Y A
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
3
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Heri Suwignyo
Penerbit
A3 (Asih Asah Asuh)
Anggota IKAPI No. 040/JTI
Jln. Ciliwung II No. 21
Malang - Jawa Timur
Tlp. (0341) 493322
ISBN: 978-979-520-590-6
T
idak ada kata lain selain syukur Alhamdullilah yang
layak penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha
berilmu dan berpengetahuan. Hanya berkat bim-
bingan-Nya semata buku teks berjudul Kritik Sastra Indone-
sia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
ini dapat penulis selesaikan.
Kehadiran buku teks ini diharapkan dapat memberikan
informasi awal tentang kajian konseptual, prinsip, prosedur
serta penerapan kritik sastra Indonesia modern. Memang in-
formasi yang dituangkan dalam buku ini merupakan pengem-
bangan dari buku penulis terdahulu, yakni Catatan Kecil ten-
tang Kritik Sastra (l993) ditambah satu bab tentang model
kritik sastra (puisi dan cerita). Khusus pada bab model kritik
sastra, penulis menyampaikan terima kasih kepada dua saha-
bat penulis, yakni Dr. Muakibatul Hasannah dan Prof. Dr.
Wahyudi Siswanto yang memperkenankan hasil penelitiannya
dijadikan model kritik dalam buku teks ini.
Dalam cetakan ketiga ini, proporsi antara teori dan
praktik masih empat dibanding satu. Dalam bab satu diurai-
kan hakikat kritik sastra dengan fokus bahasan konsep dasar,
variabel, serta posisi dan fungsi kritik sastra. Paradigma kritik
sastra Indonesia modern ditampilkan di bab dua. Di dalamnya
dibahas persoalan bentuk, jenis, dan koordinat kritik sastra.
Dianalogikan dengan ‘hutan belantara,’ pembahasan menge-
nai paradigma kritik sastra diharapkan dapat dijadikan road
map atau peta perjalanan bagi mahasiswa sastra agar tidak
kebingungan dan sesat konsep dalam pemahaman tentang
keberagaman kritik sastra kita dewasa ini.
Dalam bab tiga dan bab empat dibahas kriteria penilaian
dan epistemologi kritik sastra dengan fokus bahasan tentang
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
5
metode kritik sastra Indonesia modern, yakni metode kritik
realisme sosialis, metode kritik Ganzheit, metode kritik peng-
udaran naskah, dan metode kritik aliran Rawamangun. Keem-
pat metode kritik tersebut pernah ‘meramaikan’ sejarah kritik
sastra Indonesia di era 60 hingga 70-an.
Di ujung pemahaman teori kritik adalah penerapannya
dalam karya sastra konkret. Untuk itu, di bab lima ditampil-
kan model kritik semiotik, struktural, psikologis, dan sosio-
logis. Yang membedakan cetakan ketiga ini dengan cetakan
kedua adalah dalam setiap bab dilengkapi dengan panduan
pertanyaan, bahan diskusi, dan khusus di bab lima dilengkapi
dengan latihan-latihan.
Demikianlah, buku ini hadir dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. Oleh sebab itu, kritik dan saran per-
baikan sangat terbuka lebar. Penulis berharap, terutama untuk
mahasiswa S1, mudah-mudahan isi buku teks ini dapat mem-
berikan dasar-dasar yang kokoh terhadap pemahaman awal
teori kritik sastra Indonesia modern serta penerapannya.
Semoga.
Penulis
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
7
DAFTAR RUJUKAN ............................................................ 197
INDEKS .............................................................................. 201
TENTANG PENULIS .......................................................... 203
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
9
Daftar Tabel
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
1
Esai (sampai 5 jilid) adalah pelopor penggunaan istilah kritik
dalam studi sastra Indonesia modern.
Berbagai batasan atau pengertian tentang kritik sastra
dapat di jumpai dalam berbagai referensi. H.B. Jassin, misalnya,
mengemukakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik
buruknya suatu hasil karya sastra. Lebih jauh, Jassin mengemu-
kakan bahwa pertimbangan itu tentu dengan memberikan
alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusasteraan yang
dikritik. Isi dimaksud antara lain menyangkut ide atau gagasan,
serta pesan-pesan kemanusiaan yang disampaikan dalam karya
sastra. Adapun bentuk berkaitan dengan kreativitas penggarapan
unsur fiksi, misalnya penokohan, pengaluran, pelataran, penyu-
dutpandangan, dan sebagainya.
Oleh karena isi kesusastraan adalah seluruh kehidupan,
maka perlu seseorang yang berkeinginan menjadi kritikus (i)
mengenal berbagai segi kehidupan tersebut dengan lebih baik
di samping (ii) memiliki modal pengalaman kehidupan kemanu-
siaan yang kaya. Modal demikian menjadikan kritikus tidak
berat sebelah dalam memberikan pertimbangan baik buruknya
suatu karya sastra. (periksa Jassin, 1959:44).
Terlepas dari persyaratan untuk menjadi kritikus yang
baik, rumusan kritik sastra yang disodorkan Jassin masih dapat
dipertanyakan. Misalnya, (a) apakah benar, kritik hanya ber-
henti pada pertimbangan baik dan buruknya karya sastra? (b)
Apakah benar pertimbangan terhadap hasil kesusasteraan hanya
berupa tanggapan, komentar, dan penilaian tanpa memasukkan
wawasan, alternatif serta pemikiran-pemikiran lain? Menya-
takan bahwa sebuah karya sastra baik atau buruk tidak terlepas
dari beberan bukti dan argumentasi. Meskipun barangkali seo-
rang kritikus mengukur kualitas sebuah karya dari ukuran
keharuan yang menggugah segenap perasaan kemanusiaannya.
Pada dasarnya kegiatan kritik adalah menjabarkan, menjurus-
kan, bahkan menalarkan intuisi sang kritikus.
Lebih jauh, pengertian kritik sastra di atas dapat diban-
dingkan dengan pengertian yang diberikan oleh Richards
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
3
sastra dikaitkan dengan kegunaan, manfaat atau tujuan-tujuan
lain nonseni (bandingkan dengan pandangan yang menyatakan
bahwa eksistensi sastra adalah “substansi” yang relasional, yang
selalu terkait dengan kehidupan di luarnya, seperti agama, filsa-
fat, psikologi, biografi, sosiologi, dan sebagainya). Pada intinya
dikotomi aristotelian-platonik ialah pemisahan konsep intrinsik
dan ekstrinsik (lihat Wellek, 1989:77—155).
Tanpa mempersoalkan dari mana suatu nilai karya sastra
diperoleh, Hardjana (1981:xi) mendefinisikan kritik sastra seba-
gai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai
hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik
yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Selanjutnya dijelaskan
Hardjana, kata pembaca digunakan dengan sengaja untuk me-
nunjukkan bahwa kritik sastra bukanlah hasil kerja yang luar
biasa dan dengan sendirinya melekat dalam pengalaman sastra.
Seorang pembaca sastra dapat membuat sebuah kritik sastra
yang baik, apabila dia betul-betul menaruh minat pada sastra,
terlatih kepekaan ciptanya (nalar) dan mendalami serta menilai
tinggi pengalaman manusiawinya. Yang dimaksud dengan
“mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawi” adalah
sikap yang menunjukkan kerelaan jiwa untuk menyelami dunia
karya sastra, kemampuan membeda-bedakan pengalaman se-
cara mendasar, dan kejernihan budi (pikiran) untuk menentukan
macam-macam nilai.
Menggarisbawahi pernyataan Hardjana, memang patut
diakui bahwa profesi sebagai pengarang atau kritikus adalah
profesi yang terbuka. Persyaratan untuk menjadi pengarang
atau penyair adalah kemampuan dan kepekaan menghayati reali-
tas kehidupan atau transformasi kehidupan. Dengan demikian
“siapa pun” tanpa terikat oleh pangkat, dan pendidikan dapat
menjadi kritikus, pengarang, penyair, dan dramawan. Sebagai
bukti, bohemian Chairil Anwar, dokter hewan Taufik Ismail,
doktor sastra Sapardi Djoko Damono, arsitek merangkap roha-
niman Y.B. Mangunwijaya dapat menjadi pengarang, sarjana
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
5
JAWABLAH PERTANYAAN BERIKUT INI!
1. Sebutkan tiga pengertian kritik sastra!
2. Susunlah sebuah konsep dasar kritik sastra berdasarkan
pengertian kritik sastra!
3. Jelaskan unsur-unsur yang terangkum dalam konsep dasar
kritik sastra yang telah Anda susun itu!
BAHAN DISKUSI
1. Upaya menjawab kritik sastra dengan batasan, definisi
selalu menimbulkan perbedaan dan keragaman.
(a) Mengapa selalu terjadi keragaman dalam pemberian
batasan/definisi kritik sastra?
(b) Bagaimanakah cara mengatasinya, berikan ilustrasi,
bukti atau contoh!
2. Formulasi hasil kritik sastra tidak hanya dalam bentuk
buku kritik sastra, misalnya skripsi, tesis yang dibuat oleh
calon sarjana/sarjana; tetapi bisa juga dalam bentuk resensi
buku, timbangan buku, artikel atau polemik di media
massa.
(a) Sependapatkah Anda dengan pernyataan tersebut?
(b) Jika sependapat berikan bukti dengan argumentasi,
jika tidak sependapat berikan alasan dan pemikiran
alternatif.
(c) Formulasi hasil kritik sastra apakah selalu diaksen-
tuasikan dalam bentuk tulis?
(d) Jika ya, komponen-komponen apa saja yang harus
disajikan? Jika tidak selalu, tunjukkan contohnya!
(1) Kritikus
Memperbincangkan kritik sastra tidak dapat mening-
galkan kritikus. Seperti halnya hubungan karya sastra dan pe-
ngarang, hubungan kritik sastra dan kritikus bersifat kausalitas.
Kehadiran kritik sastra disebabkan oleh adanya kritikus.
Mensitir pernyataan Descartes, “Karena Aku berpikir maka
Aku ada.” Sebagaimana juga, karena kritikus sastra ada maka
karya kritik ada, atau sebaliknya karena kritikus sastra tidak
ada maka karya kritik tidak akan ada. Itulah sebabnya dapat
dipahami bahwa kualitas kritik sastra amat ditentukan oleh
kualitas pribadi sang kritikus.
Berkaitan dengan kualitas diri kritikus, Darma (l988)
mencandra ciri-ciri pemikir sastra (termasuk di dalamnya kri-
tikus dan teoretikus) berikut ini.
a) Mencintai sastra
Ciri ini ditandai dengan keterlibatan kritikus untuk
mengikuti terus-menerus karya sastra, pemikiran-pemikiran
mengenai sastra, bahkan pekerja-pekerja sastra. Melalui
bacaannya, kritikus mengetahui benar ciri masing-masing
pengarang, kritikus, teoretikus dan ciri-ciri pemikir sastra yang
lain. Dengan demikian, kritikus mengenal kesamaan dan
benang-benang halus yang menghubungkan semua pekerja
sastra.
b) Menguasai sastra
Dengan mengenal sastra secara baik, kritikus menguasai
sastra secara baik pula. Dia menguasai wajah sastra, dan juga
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
7
peta sastra. Pengetahuannya mengenal sastra tidak hanya kom-
prehensif tetapi juga terperinci. Kritikus mengetahui langkah
demi langkah masing-masing karya sastra di antara sekian ba-
nyak karya sastra (kolektif). Sementara itu kritikus juga menge-
tahui dengan baik detail penting pemikiran setiap pekerja sas-
tra.
c) Mencintai percobaan
Acapkali kritikus membanding-bandingkan, mengkaji,
mencocok-cocokkan segala yang dikuasai. Kritikus mengang-
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
9
hati nurani banyak ditentukan oleh akal sehat, dan akal sehat
seseorang (kritikus) banyak ditentukan oleh wawasannya. Khu-
sus mengenai rasa simpati terhadap novel Sutan Takdir Alihs-
yahbana Kalah dan Menang, antara lain Budi Darma menulis
sebagai berikut.
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
11
tanggapan terhadap dunia karya sastra. Rekreatif karena kritik
sastra diciptakan berdasarkan karya sastra yang bersifat kreatif.
Dengan kata lain tidak pernah ada kritik yang disusun berdasar-
kan kreasi kritikus sendiri, tanpa mendasarkan pada poetika
pengarang dalam karyanya. Jika ada, kritik yang demikian ada-
lah kritik yang terlepas dari konteks objeknya. Kenyataan-
kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hubungan kritik sastra
dan karya sastra bersifat determinatif. Maksudnya adalah hu-
bungan yang saling menentukan. Kritik sastra menentukan dan
ditentukan oleh karya sastra yang dikritik.
Dibandingkan dengan karya sastra, kritik sastra lebih
terikat pada zamannya. Karya sastra yang benar-benar hebat
akan mengatasi ruang dan waktu, sementara perkembangan
zaman akan menimbulkan sikap yang berbeda terhadap dunia
karya sastra. Dengan demikian, tanggapan terhadap dunia karya
sastra akan sangat bergantung pada keadaan zaman. Begitu
zaman berubah dan dunia sastra masih hidup, dunia sastra ter-
sebut akan ditanggapi dengan pandangan yang sudah berubah.
Dari waktu ke waktu karya sastra yang kokoh akan memancing
sekian banyak kritik sastra yang mungkin tidak terhitung jum-
lahnya. Hamlet hanya satu, Divina Comedia hanya satu, Beleng-
gu hanya satu, tetapi kritik atasnya bisa berlapis-lapis, tidak
terbatasi.
Berkaitan dengan kekokohan karya sastra ini, Soekito
(l991) secara ekstrem berpendapat, bahwa besar atau kecilnya
kritikus sastra bergantung kepada besar kecilnya karya sastra
yang dikritik. Kemasyhuran H.B. Jassin sebagai seorang kritikus
sastra bergantung atau ditentukan—meskipun tidak mutlak—
oleh Chairil Anwar sebagai penyair besar seperti tecermin dalam
karya-karyanya. Kemasyhuran Lucas sebagai kritikus sastra,
bergantung kepada Thomas Man (1875—955) sebagai seorang
novelis besar (Soekito, 1990:2). Tentu saja hal ini tidak berarti
bahwa setiap kritikus yang mengulas karya sastra yang besar/
hebat dengan sendirinya menjadikan kritikus yang besar atau
hebat pula.
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
13
Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa sejarah sastra sangat
penting bagi kritik sastra, kalau kritik tidak sekadar persoalan
like and dislike. Seorang kritikus yang tidak peduli pada sejarah
akan meleset penilaiannya. Ia tidak akan tahu suatu karya asli
atau jiplakan. Dan karena buta sejarah, ia cenderung membuat
tebakan yang sembrono, atau hanya asyik bertualang di antara
mahakarya (Wellek, 1986:46).
Di sisi lain kegiatan kritik yang berhubungan dengan
penilaian, penjelasan, dan penghakiman karya sastra dapat dike-
mukakan berikut ini. Bahwa penilaian hanya dapat dilakukan
oleh kritikus yang memiliki konsep tentang nilai baik dan buruk
(etika), indah atau tidak indah/estetika (lingkup teori sastra).
Penjelasan tentang suatu karya sastra hanya dapat dilakukan,
jika kritikus mengetahui seluk beluk karya sastra tersebut. Dan
penghakiman terhadap suatu karya sastra hanya dapat dilaku-
kan oleh kritikus yang mampu memanfaatkan berbagai penge-
tahuan tentang nilai dan seluk beluk karya sastra untuk menem-
patkan kedudukan suatu karya di antara sekian banyak karya
sastra sejenis. Kegiatan tersebut menunjukkan betapa penting-
nya peranan teori dan sejarah sastra dalam studi kritik sastra.
Penerapan teori sastra dalam kerja kritik memang berbeda-beda
dalam gaya dan teknik penyajiannya, misalnya dalam kritik
sastra kreatif (kritik yang dibuat oleh penulis kreatif), dan kritik
sastra akademik (ditulis oleh para akademisi). Y.B. Mangun-
wijaya misalnya, dalam buku kritiknya Sastra dan Religiusitas
tidak memformulasikan teori sastra yang digunakan secara eks-
plisit, melainkan memadukannya dengan intuisi. Antara intuisi
aksiomatis dengan intuisi menalar, antara merasakan sekaligus
menjabarkannya. Sebagai pembaca, kita tidak merasakan bahwa
Y.B. Mangunwijaya sedang menjabarkan, menganalisis, dan
membeberkan argumentasi-argumentasinya. Yang dilakukan
oleh Y.B. Mangunwijaya ini merupakan karakteristik jiwa kritik
kreatif.
Sebaliknya, pada waktu kita membaca kritik akademik,
yakni kritik yang mengandalkan dan memformulasikan teori
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
15
sebuah karya sastra dengan pembacanya. Ia tidak menghiasi
sebuah karya agar lebih menyenangkan. Juga tidak mengotori-
nya. Semacam pembangkit rasa ingin tahu. Kritik yang baik
mampu menggoda pembaca untuk kembali pada karya yang
hilang karena tersapu debu waktu (periksa Damono, 1975:
299).
Berikut ini, digambarkan proses hubungan antar-kom-
ponen variabel kritik sastra.
Teori Sastra
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
17
naluri untuk tidak membiarkan segala sesuatu berjalan dengan
sendirinya tanpa evaluasi. Termasuk pemikiran dan evaluasi
terhadap fenomena sastra.
Peta dunia sastra secara garis besar dapat dipilah menjadi
dua, yakni dunia kreasi (dunia penciptaan) dan dunia pemikiran
(studi, penelitian, dsb.). Kritik termasuk dalam dunia pemi-
kiran. Jauh sebelum orang memikirkan hakikat, nilai-nilai, dan
fungsi karya sastra, karya sastra telah diciptakan. Kritik sastra
baru ada setelah orang mempertanyakan apa dan di mana nilai
hakiki suatu karya sastra (periksa, Semi, 1995:16).
Hukum sastra menunjukkan bahwa pertama, kritik sastra
memang berjalan di belakang karya sastra. Kritik sastra Yunani
Purba, misalnya baru bangkit setelah para pengarang karya
sastra runtuh. Sementara itu, diketahui bahwa ada kalanya keja-
yaan karya sastra sejajar dengan kejayaan kritik sastra, seperti
yang terjadi di Eropa pada abad XVIII. Dalam tahap perkem-
bangannya kritik sastra memang mula-mula sangat bergantung
pada karya sastra. Kritik sastra adalah reaksi terhadap karya
sastra (seperti sinyalemen terhadap eksistensi kritik sastra Indo-
nesia Modern dewasa ini).
Kedua, kemandirian atau keotonaman kritik sastra. Sebe-
narnya kritik sastra akan lebih bermartabat apabila sudah dapat
melepaskan diri dari kehadiran karya sastra. Kritik sastra yang
mandiri/otomom akan menjadikan kegiatan kritik sebagai
kegiatan intelektual. Dalam tahap kedua ini, tumpuan kritik
sastra sudah tidak lagi pada keberadaan karya sastra konkret.
Kehadiran kritik sastra ditentukan oleh kritik sastra itu sendiri
dan pemikiran sastra lainnya. Tahap ini telah dicapai kesusas-
traan Inggris. Dalam tradisi kritik sastra Inggris telah terbiasa
ditemukan kritik sastra yang berlapis-lapis. Kritik atas karya
sastra tertentu dikritik lagi dan seterusnya sehingga akan dite-
mukan fenomena kritik atas kritik, atas kritik atas kritik. Ban-
dingkan dengan tradisi kritik sastra kita, bila H.B. Jassin mem-
buat kritik atas buku Atheis tidak ditemukan lagi kritik atas
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
19
kan segi-segi kekuatan dan kelemahan nilai-nilai tertentu yang
terdapat dalam suatu karya sastra. Juga kritikus dapat menun-
jukkan dimensi lain yang membangun suatu karya sastra agar
lebih berkualitas.
BAB 1
Hakikat Kritik Sastra
21
3. Jelaskanlah peranan atau fungsi instrumental (dimanfaat-
kan sebagai alat) kritik sastra!
BAHAN DISKUSI
1. Pembicaraan tentang posisi dan peranan kritik sastra sebe-
narnya identik dengan permasalahan kedudukan dan fungsi
kritik sastra. Kembangkanlah soal kedudukan dan fungsi
sastra dikaitkan dengan variabel kritik sastra!
2. Jika dalam sastra dikenal adanya sastra yang berkualitas
dan yang tidak berkualitas, dalam kritik sastra dikenal juga
kritik sastra yang berkualitas/bermutu dan kritik sastra
yang tidak berkualitas/tidak bermutu. Menurut pendapat
Anda syarat-syarat apa sajakah yang harus dipenuhi untuk
memperoleh predikat kritik sastra yang berkualitas/ber-
mutu itu? Sebutkan, jelaskan, dan berikan contoh!
3. Susunlah peta konsep hakikat kritik sastra secara lengkap
dan utuh yang mencakup konsep dasar, variabel, posisi,
dan fungsinya!
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
23
kemudian tidak disentuhnya lagi. Atau membacanya langsung
sampai tamat tanpa memedulikan waktu makannya. Sebuah
karya sastra bisa membosankan atau sebaliknya menyenangkan
bagi seorang kritikus. Kalau menarik akan dibacanya sampai
tamat tanpa melepaskan barang sekejap, sebaliknya jika tidak
menarik tidak akan dibacanya lagi.
Pada tahap selanjutnya biasanya dilanjutkan dengan pem-
bicaraan, pembahasan, tentang yang dibenci atau disukai. Belum
jelas kriteria yang digunakan, kecuali rasa senang. Akan tetapi,
kegiatan seperti ini bisa mendorong untuk terjadinya pema-
haman yang lebih mendalam dan bisa pula mendorong orang
lain untuk membaca sebuah karya sastra. Meskipun motivasi
untuk membaca hanyalah sekadar mencari hiburan, namun
kegiatan tersebut dapat dikembangkan ke arah pengomunika-
sian karya-karya sastra secara lebih memasyarakat.
Berkaitan dengan bentuk kritik lisan atau tertulis, perta-
nyaan yang relevan diajukan ialah, “Apakah bentuk kritik lisan
dan tulis tersebut telah menyodorkan pemikiran, membuka
kesadaran, menambah wawasan, serta memberikan alternatif
dan kemungkinan-kemungkinan lain?.” Segala pembicaraan
mengenai sastra baik lisan maupun tertulis harus terdiri dari 4
komponen, yakni (i) data atau fakta, (ii) analisis, (iii) inference
atau kesimpulan, dan (iv) judgment atau penilaian. Makin
banyak pembicaraan tersebut memberikan data mentah semata,
makin kecil kemungkinannya untuk memberikan wawasan.
Makin mantap judgment atau penilaian suatu pembicaraan
sastra, makin besar kemungkinannya untuk menambah wa-
wasan.
Karya sastra yang tidak berkualitas hanya sanggup me-
nyajikan cerita. Demikian pula kritik sastra yang tidak ber-
kualitas hanya sebatas meringkas kembali cerita karya sastra,
meringkas kembali teori dengan judgment yang sangat lemah.
Judgment dapat menjadi lemah karena wawasan kritikusnya
sendiri tidak kuat. Sebab itu kualitas kritik sastra apa pun ben-
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
25
Kelima, bentuk kritik sastra di lingkungan pendidikan.
Biasanya dilakukan oleh para guru bahasa dan sastra di sekolah
untuk mengulas sebuah cipta sastra tertentu di depan murid-
muridnya. Para pendidik itu biasanya menerapkan dua pende-
katan untuk mengulas sastra, yaitu pendekatan normatif dan
paedagogis. Karya-karya sastra yang dibicarakan berdasarkan
norma-norma yang sudah ada dan pada saat mengulas soal isi
lebih banyak dibicarakan atau ditekankan pada masalah nilai-
nilai susila, moral, serta nilai-nilai pendidikan yang terkandung
di dalam karya sastra tertentu. Bentuk kritik semacam ini me-
mang lebih bersifat instrumental sehingga suatu tinjauan yang
bertolak dari hakikat karya sastra jarang dilakukan (banding-
kan, jika ada tata bahasa pendidikan, kenapa tidak ada kritik
sastra pendidikan?)
Keenam, bentuk kritik sastra yang ditulis oleh sastrawan
yang disebut kritik sastra kreatif. Kritik sastra kreatif dilakukan
oleh sastrawan sendiri, misalnya Y.B. Mangunwijaya menulis
kritik Sastra dan Religiusitas, Subagio Sastrawardoyo menulis
kritik Sosok Pribadi dalam Sajak, Sapardi Djoko Damono
menulis kritik Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang. Ciri
kritik sastra kreatif adalah sistematika penyajiannya yang bera-
gam serta penerapan teori sastra serta wawasan ilmu sastranya
secara implisit (lihat bab I).
Ketujuh, bentuk kritik sastra yang ditulis pakar atau aka-
demisi yang disebut kritik sastra akademik. Kritik sastra aka-
demik biasanya dilakukan oleh kalangan akademisi: para sarjana
sastra, ahli sastra atau para calon sarjana sastra. Hasil kritik
akademik ini biasanya berbentuk skripsi, tesis, disertasi, atau
buku kritik serta laporan hasil penelitian. Sejarah kritik sastra
Indonesia pernah marak dengan bentuk-bentuk kritik yang di-
buat oleh para calon sarjana sastra Universitas Indonesia, yang
dikenal kritik sastra aliran Rawamangun.
Dalam sejarah kritik sastra Indonesia tercatat banyak kar-
ya kritik yang ditulis oleh para pakar sastra. Misalnya, Bentuk
lakon dalam Sastra Indonesia (Boen S. Oemarjati), Novel Baru
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
27
BAHAN DISKUSI
1. Identifikasilah rubrik-rubrik di majalah sastra, misalnya
Basis dan Horison atau di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo
dsb yang mengandung unsur-unsur kritik sastra. Berikan
penjelasan mengapa Anda memasukkan rubrik-rubrik ter-
sebut ke dalam kritik sastra!
2. Carilah contoh konkret bentuk kritik sastra akademik,
dan bentuk kritik sastra kreatif, bandingkanlah:
a) sistematika penyajiannya (dilihat dari data, analisis,
inference, dan judgment),
b) proporsi antara data, analisis, inference, dan judg-
ment.
3. Bagaimanakah pendapat Anda tentang bentuk kritik sastra
pendidikan?
a) Apakah perlu dikembangkan menjadi sebuah disiplin
ilmu?
b) Apakah kira-kira kelebihannya dan kekurangannya?
4. Diskusikan dasar penentuan bentuk kritik sastra ditinjau
dari
a) medium pemaparan,
b) tingkatan tanggapan,
c) formulasi hasil, dan
d) aliran/paham yang melandasinya.
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
29
an atau prinsip-prinsip yang dianggap objektif sehingga sering
disebut kritik objektif.
Kritik induktif adalah kritik sastra yang bertujuan meng-
kaji nilai karya sastra semata, misalnya tentang bagaimana karya
itu disusun kemudian menyusun patokan atau pola bahwa kar-
ya sastra yang dikaji itu telah disusun dengan menggunakan
metode atau teknik tertentu atau telah disusun menurut meka-
nisme tertentu. Demikianlah kritik sastra induktif tidak meng-
gunakan ukuran atau standar penilaian tertentu karena kritik
jenis ini memang tidak bermaksud memberikan penghakiman
atau penilaian terhadap karya sastra yang dikaji. Kritik induktif
dalam cara kerjanya mencontoh metode induksi dalam ilmu
pengetahuan, yakni dengan mengambil kesimpulan dari bukti
atau fakta-fakta khusus. Kritik induktif disebut juga kritik
subjektif.
Kritik impresionistik adalah kritik sastra yang bertujuan
menunjukkan kualitas suatu karya dan mengungkapkan respons
atau impresi/kesan kritikus yang muncul secara langsung. Kritik
impresionistik juga menghubungkan pengalaman sastrawan de-
ngan hasil karyanya. Tarigan (l986) menyatakan bahwa hasil
kritik impresionistik dapat menjadi penghubung antara para
pembaca yang belum/kurang berpengalaman dengan sejumlah
karya sastra. Kritikus dalam hal ini dapat bertindak sebagai
pembimbing dan penghubung, lebih-lebih lagi kalau kritikus
impresionistik ini sangat sensitif (peka) terhadap efek-efek sas-
tra. Dengan demikian ia dapat memperkaya pengalaman pem-
baca, terutama pengalaman imajinatif.
Ketiga, jenis kritik sastra berdasarkan pendekatan. Dalam
buku A Handbook of Critical Approaches to Literature dibe-
dakan 4 pendekatan terhadap aspek tertentu yang dinilai ter-
hadap karya sastra sehingga menghasilkan 4 jenis kritik sastra,
yakni, (1) pendekatan tradisional, yang ditandai dengan kritik
yang mengutamakan pengkajian pada aspek-aspek historis-
biografis (kesejarahan-riwayat hidup) serta moral filosofis, (2)
pendekatan formalistik ditandai dengan praktik kritik sastra
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
31
luk yang suka berkelahi atau suka berbuat dosa, pahlawan-
pahlawan yang gagah berani dilukiskan sebagai manusia yang
rakus dan penuh pamrih. Karya-karya sastra yang demikian
tentu akan meracuni jiwa para warga negara yang baik yang
bakal menempati sebuah republik utopia di bawah pimpinan
para filosof (cf. Hall, 1963:1-5 dalam Soedjijono, 1988:4).
Selanjutnya, dalam kritik jenis ini kritikus harus berupaya
untuk menegaskan atau menerangkan apakah yang diajarkan
merupakan sesuatu yang primer, sementara itu pertimbangan-
pertimbangan estetik murni atau bentuk sebagai sesuatu yang
sekunder. Misalnya, roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya
Buya Hamka, atau Harimau-Harimau karya Mochtar Lubis.
Kelemahan kritik jenis di atas ialah apabila kritikus mem-
berikan suatu interpretasi yang berlebihan (overinterpretation).
Artinya kritikus telah menafsirkan suatu karya sastra tertentu
memiliki kadar filosofis tertentu, padahal sebenarnya tidak (ban-
dingkan sinyalemen A. Teeuw dalam bukunya Membaca dan
Menilai Sastra). Itulah sebabnya kritik jenis ini tidak diterapkan
secara isolatif, melainkan akan menjadi lebih baik jika digabung-
kan dengan kritik historis-biografis.
Pendekatan formalisitik untuk jenis kritik formalistik.
Kritik ini didasarkan kepada gagasan bahwa bentuk (form) me-
rupakan sesuatu yang penting bagi pemahaman yang sebenar-
nya dari karya sastra. Jadi permasalahan yang utama bukanlah
pertimbangan-pertimbangan yang ekstraliterer seperti kehidup-
an dan zaman pengarang atau fenomena sosiologis, melainkan
sebagai bentuk, efek, serta terjadinya karya sastra (Guerin et.al.
966:45 dalam Soedjijono hal. 5). Tujuan dari kritik formalistik
adalah kajian terhadap sastra agar mencapai taraf ilmiah (scien-
tific). Untuk mencapai taraf itulah maka diperlukan sifat-sifat
yang universal atau sesuatu yang general dari karya sastra.
Bagi Jacobson prinsip-prinsip konstruktif (yang bersifat
membangun) atau alat-alat sastra yang membuat sebuah teks
menjadi karya seni, merupakan objek yang tepat untuk dikaji
oleh kritikus sastra formalis. Elemen-elemen atau faktor-faktor
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
33
beberapa unsur secara kompleks, yaitu sebab akibat yang logis
dari insiden (Worsfold, 1951:26; Oemarjati, 1962:94; Daiches,
1964:75), sebab akibat yang logis dari konflik (batin) para
pelakunya (Summers & Whan, 1960:13; Thrall & Hibbard,
356-357), struktur gerak para pelakunya (Brook & Warren,
1959:77; Knicker-bocker & Reninger, 1963:90), dipandang
sebagai sebab akibat logis dari pikiran-pikiran (thoughts). Yang
terang bahwa unsur-unsur tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri
melainkan tumbuh jalin-menjalin membentuk plot fiksi. Dengan
kata lain plot sebagai faktor konstruktif sentral fiksi, tidak
hanya tumbuh dari sebab akibat yang logis dari insiden dan
atau perwatakan, tetapi juga sebagai sebab akibat lebih lanjut
dari salah satu atau kedua unsur itu bersama-sama sehingga
menumbuhkan sebab akibat gerak pelaku, konflik batin para
pelaku, atau kombinasi dari sebab akibat itu lebih lanjut
(Sukada, 1987:93). Sementara itu, faktor konstruktif puisi
terletak pada ritme (rhythm). Sebab itu, kata-kata dalam puisi
menampakkan 2 rangkaian, yaitu ritme dan arti. Itulah sebabnya
kata-kata dalam puisi mempunyai peranan yang dinamis dalam
keberlangsungan ujaran puitis, dan letaknya dalam baris-baris
puisi juga memiliki efek semantis. (Bandingkan pernyataan
Moehamad tentang kecemasannya apabila puisi-puisinya salah
cetak).
Pada umumnya kebanyakan orang sepakat bahwa kritik
formalis telah memberikan dasar bagi perkembangan ilmu sastra
modern. Namun demikian, keberatan umum yang biasa dike-
luhkan ialah bahwa kritik jenis ini kurang memberikan perha-
tian terhadap tema dan isi sastra, kurangnya perhatian terhadap
syarat-syarat yang memungkinkan tumbuhnya suatu karya sas-
tra, mengabaikan segi-segi psikologis dan sosial historis, serta
relativitas estetis bahasa sastra, karena bisa saja pada periode
berikutnya tidak lagi bernilai literer.
Pendekatan psikologis untuk jenis kritik psikologis. Kri-
tik jenis ini mencoba mendalami aspek/segi-segi kejiwaan suatu
karya sastra. Wellek (1962:81) menjelaskan bahwa ada 4 aspek
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
35
yang merawankan, dan neurosis. Teori kepribadian ini kemu-
dian dipergunakan untuk menyoroti dan memahami beberapa
karya tertentu dari pengarang yang bersangkutan. Itulah sebab-
nya riwayat hidup, surat-surat, dan catatan seorang pengarang
kerap mendapatkan perhatian khusus sehingga sering dikum-
pulkan, disimpan rapi, bahkan diterbitkan (Hardjana, 1981:64).
Kajian terhadap proses kreatif pengarang. Pembahasan
terhadap pribadi pengarang ataupun proses penciptaan sastra
memang menarik dan ada kalanya menunjukkan manfaat
paedagogis dalam studi sastra (perhatikan buku Proses Kreatif
I, II yang dieditori Pamusuk Eneste, ia memiliki manfaat praktis
bagi mahasiswa sastra). Akan tetapi, dalam hubungan ini, perlu
kiranya selalu diingatkan akan adanya bahaya sesatan genetik
(the genetic fallacy), yakni kecenderungan untuk menilai karya
sastra tersebut. Dengan kata lain, kiranya perlu diingat bahwa
nilai karya sastra bebas dan tidak tergantung pada proses pen-
ciptaan maupun penciptanya sendiri. Kajian terhadap kejiwaan
dan proses kreatif pengarang hanyalah mengarahkan pandangan
pada aspek genetik sebuah karya: mengapa karya sastra ini
mempunyai wujud dan isi sebagaimana adanya sekarang ini.
Berkaitan dengan proses penciptaan ini, kritikus dapat
berusaha menunjukkan bagaimana pengalaman serta pribadi
penulis dapat menentukan majas, diksi, tema, serta gambaran
para tokoh-tokoh ceritanya. Misalnya, perwatakan serba aneh
dalam kumpulan cerpen Budi Darma Orang-orang Blooming-
ton, dapat disingkap latar belakang konsepsionalnya yang
mengakari munculnya berbagai gejala keanehan karakter tokoh-
tokoh dalam Orang-orang Bloomington. Antara lain Budi Dar-
ma menulis
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
37
sajak Sitor Situmorang) yang tidak terlepas dari masalah psi-
kologis.
Kajian terhadap efek sastra terhadap pembacanya. Tuju-
an utama kajian ini ialah menyelami dan menjelaskan daya tarik
suatu karya terhadap pembaca perseorangan (Tarigan, 1986:
14). Di sini kritikus berusaha menemukan bagaimana caranya
pengalaman pribadi pembawa dibawa memasuki dunia sastra.
Juga responsi serta bagaimana pengidentifikasian diri pembaca
terhadap karya sastra yang dibaca. Dalam hal ini, karena tidak
ada pengalaman manusia yang seluruhnya ‘unik’ atau terbeda-
kan sama sekali dari yang lain, tetapi tentu ada sangkut pautnya
dengan orang lain, misalnya soal waktu, tempat, konteks, maka
kajian bidang ini banyak kesamaannya dengan kritik sosiokul-
tural. Sehubungan dengan ini kita bisa mempertanyakan menga-
pa Pengakuan Pariyem kurang memberikan pengaruh bagi
pembaca yang hidup di lingkungan ronggeng dan bukan ledek.
Untuk itu relevan dikutip salah satu prinsip kritik sosiokultural
berikut ini, “Bahwa setiap karya sastra yang bertahan pada
dasarnya adalah mengandung nilai moral yang dalam, baik da-
lam hubungannya dengan kebudayaan tempatnya muncul mau-
pun pada pembaca perseorangan.”
Pendekatan sosiologis untuk jenis kritik sosiologis.
Asumsi yang harus dipegang sebagai pangkal tolak kritik sastra
aliran sosiologi ialah bahwa karya sastra tidaklah lahir dari
kekosongan sosial (social vacuum). Ini sebenarnya bukanlah
suatu asumsi yang berlebihan, meskipun kita juga harus selalu
ingat bahwa karya sastra adalah hasil dari daya khayal atau
imajinasi. Secara langsung atau tidak imajinasi pengarang dipe-
ngaruhi, tidak ditentukan oleh pengalaman manusiawi dalam
lingkungan hidupnya, termasuk di dalamnya adalah sumber-
sumber bacaan (Hardjana, 1981:71). Mitologi atau cerita dewa-
dewi sangat erat hubungannya dengan suatu masyarakat dan
pengalamannya. Masyarakat wayang seperti masyarakat petani
Jawa akan sulit atau bahkan mustahil menghayati mitos Her-
kules atau mitos Sisipus atau Ahasveros. Semuanya akan dinilai
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
39
a) telaah terhadap karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial
budaya;
b) penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya
sastra;
c) penelitian mengenai penerimaan masyarakat terhadap
(sebuah)
d) karya sastra pengarang tertentu, dan menjelaskan sebab-
sebabnya;
e) pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra
(lihat Junus, 1986:3 dalam Soedjijono:12).
BAHAN DISKUSI
1. Kebanyakan novel Indonesia masih bertumpu pada realisme
formal maka sebuah novel selalu berlangsung di suatu ma-
syarakat tertentu. Kehidupan yang diceritakan dalam novel
merupakan gambaran sosial masyarakatnya. Diskusikan
perkembangan penggambaran sosial dalam sejarah novel
Indonesia pada dekade 1920-an dan 1930-an!
2. Diskusikan tentang pandangan ilmu jiwa dalam untuk
memahami novel “Jalan Tak Ada Ujung” (karya Mochtar
Lubis) oleh M.S. Hutagalung, terutama pemahaman ten-
tang kehidupan kejiwaan tokoh-tokohnya!
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
41
b) peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat (prag-
matik);
c) aspek referensial, acuan karya sastra, dengan nyata (mime-
tik);
d) karya sastra sebagai struktur yang otonom, dengan kohe-
rensi intern (objektif) (Teeuw, 1983:59—60).
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
43
Akhirnya, dapat dikemukakan bahwa meskipun ada ba-
nyak teori mimesis, tetapi persoalan utama sebenarnya memper-
soalkan hubungan antara sastra dan kenyataan antara gambar
dan apa yang digambarkan. Tolok ukur estetik pertama ialah
sejauh mana gambar itu (sastra) sesuai dengan kenyataan. Apa-
kah kenyataan itu merupakan dunia ide, dunia yang universal,
atau dunia yang khas, itu tidak begitu penting.
Termasuk dalam pendekatan mimetik, kritik sosiologis:
yang mempersoalkan hubungan antara sastra dan masyarakat,
kritik sosio-kultural, dan yang paling menonjol adalah kritik
sastra aliran Marxis. Dalam kritik sosiologis, misalnya sastra
dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra ditulis pada
suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-
norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang menggubah kar-
yanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca
yang sama dengan dia selaku warga masyarakat tersebut. De-
ngan kisahnya tentang Gubuk Paman Tom Harriet Beecher-
Stowe membuka mata masyarakat terhadap nasib kaum budak
belian di Amerika Serikat. Hal ini sama dengan yang diperbuat
Turgenyev di Rusia dengan Kisah-kisah Pemburu. Multatuli
dengan Max Havelarnya memengaruhi diskusi mengenai sistem
kolonial Belanda. Gerard Reve, pengarang Belanda zaman seka-
rang, Ebrani menulis novel-novel dengan tema-tema homoseks
yang sebelumnya tabu dibicarakan, dan dengan demikian
memengaruhi timbulnya “permissive society” (apa saja boleh).
Kritik sastra Marxis berdasarkan filsafat Marx, khusus-
nya teorinya mengenai materialisme historis dan dialektika.
Menurut Marx susunan masyarakat dalam bidang ekonomi
dinamakan bangunan bawah, menentukan kehidupan sosial,
politik, intelektual, dan kultural (termasuk sastra) pada hubung-
an atas. Bagi Marx, sastra sama dengan gejala-gejala kebudayaan
lainnya yang mencerminkan hubungan ekonomi; sebuah karya
sastra hanya dapat dimengerti kalau itu dikaitkan dengan
hubungan-hubungan tersebut; maksudnya hubungan-hubungan
ekonomi menimbulkan berbagai kelas yang saling bermusuhan,
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
45
sadar mengenai kenyataan masyarakat itu atau kekurangannya.
Sejauh sastra berhasil mencapai sasaran tersebut, maka ditentu-
kan pula penilaian positif terhadap karya sastra yang bersang-
kutan. (Di Indonesia kritik sastra Marxis pernah dilakukan
oleh para kritikus yang tergabung dalam panji-panji Lekra,
yang mendasarkan diri pada paham realisme sosialis.)
Kedua, pendekatan ekspresif. Dalam abad ke-19 di dunia
Barat pendekatan ekspresif menjadi dominan, menguasai ilmu
sastra: diri penyair, jiwanya, daya ciptanya, dan lain-lain diton-
jolkan, sesuai dengan aliran romantik yang juga dalam karya
kreatifnya menonjolkan si aku seorang pengarang. Tidaklah
kebetulan bahwa dalam sastra abad ke-19 ini maupun dalam
pendekatan ilmiahnya, puisi lirik secara khusus diperhatikan.
Gerakan ini masih bisa kita telusuri bekasnya dalam pendekatan
pada masa Pujangga Baru, baik sebagai penyair maupun sebagai
kritikus (terutama J.E. Tatengkeng). Minat untuk diri si penulis
sering digabungkan dengan pendekatan historis: yang diteliti
khususnya asal usul sebuah karya, bentuk purba, terjadinya
dan penyebaran motif-motif, dan lain-lain. Hal ini pun dapat
dikaitkan dengan aliran romantik yang juga sangat tertarik oleh
masa lampau, masa purba, manusia asli, primitif, dan lain-lain
(Teeuw, 1983:60).
Berkaitan dengan pendekatan ekspresif ini, maka bebe-
rapa jenis kritik dapat dimasukkan ke dalamnya, antara lain:
kritik historis-biografis, kritik psikologis terutama perhatian
yang berkenaan dengan faktor genetik karya sastra, yaitu kepri-
badian pengarang dan proses kreatifnya. Jenis kritik yang lain
ialah kritik perspektif, yaitu kritik yang menggarap “author
after life” beserta bagian-bagian yang terpenting dari keberha-
silannya yang telah atau patut menerima penghargaan dan patut
diabadikan. Kritik ini erat berhubungan dengan kritik biografis
karena salah satu kajiannya ialah “biografi kesastraan” yang
mencakup masalah interpretasi dan evaluasi terhadap penga-
rang beserta karyanya, seperti yang tecermin dalam kalbu dan
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
47
sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuh-penuhnya atas
dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keselu-
ruhan karya sastra. Jadi, kalau boleh dikatakan bahwa analisis
struktur adalah suatu tahap dalam penelitian sastra yang sukar
dihindari, sebab analisis semacam itu baru memungkinkan
pengertian yang optimal-persis seperti dalam ilmu bahasa di
mana pengetahuan tentang struktur bahasa juga merupakan
syarat mutlak untuk penelitian sosio-linguistik, psikolinguistik,
ilmu sejarah, perbandingan bahasa dan lain-lain.
Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa analisis struktur
adalah tugas utama ataupun tujuan terakhir penelitian sebuah
karya sastra. Strukturalisme yang hanya menekankan pada oto-
nomi karya sastra mempunyai 2 kelemahan pokok, yakni: (a)
melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra, dan (b) (ben-
tuk) mengasingkan karya sastra dari rangka sosial-budayanya.
Untuk mengatasi kelemahan itu, perlu dilihat perkembangan
baru dalam ilmu sastra, yakni pergeseran minat dari karya sastra
sebagai struktur otonom ke arah pembaca; dengan menekankan
peranan pembaca sebagai pemberi makna karya sastra tersebut.
Perkembangan ini tidak berarti penolakan terhadap strukturalis-
me secara tuntas, malahan sebaliknya, pendekatan struktural
sering dipadukan dengan pendekatan lain, misalnya pendekatan
strukturalisme dinamik yang dikembangkan oleh Jan Muka-
rovsky dan muridnya Felix Vodicka. Mereka memadukannya
dengan konsepsi semiotik: bahwa untuk dapat memahami sepe-
nuh-penuhnya seni (baca sastra) sebagai struktur, kita harus
menginsafi ciri khasnya sebagai tanda atau sign. Justru tanda
itu baru mendapat makna sepenuhnya lewat persepsi seorang
pembaca (Jacobson, 1960).
Berkaitan dengan pendapat objektif/struktural, beberapa
jenis kritik dapat dikelompokkan ke dalamnya, yaitu: (a) kritik
formalis, (b) kritik linguistik, (c) kritik tekstual, dan (d) kritik
strukturalistis. Berikut ini dipaparkan sekelumit prinsip-prinsip
kritik strukturalisme.
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
49
bagiannya. Keseluruhan struktur berarti masing-masing bagian-
nya dan sebaliknya masing-masing bagian ini berarti keseluruh-
an tersebut, dan bukan keseluruhan yang lain. Itu sebabnya
ciri khas sebuah struktur bersifat energetik dan dinamis, dise-
babkan oleh kenyataan bahwa setiap elemen memiliki fungsi
khas dikaitkan dengan keseluruhan, dan bahwa fungsi-fungsi
tersebut dan saling hubungannya, dibawa ke suatu proses peru-
bahan. Demikianlah struktur sebagai keseluruhan berada di
dalam gerak yang permanen.
Selanjutnya, Barthes mengemukakan empat ciri struk-
turalisme yang agak berbeda dengan Jean Piaget di atas, yakni
(i) perhatian tertuju kepada keseluruhan (totalitas) unsur-un-
surnya, (ii) perhatian tidak hanya tertuju pada struktur permu-
kaan, melainkan juga struktur batin, (iii) bersifat antisejarah,
sesuatu yang sinkronis dan tidak diakronis, (iv) bersifat
antikausal, maka tidak mengaitkan karya sastra dengan sesuatu
yang lain (Damono, 1979:40—49). Berkaitan dengan hal terse-
but Propp menambahkan bahwa ada hubungan yang bersifat
timbal balik antara struktur yang satu dengan unsur lainnya
dalam keseluruhan struktur (Teeuw, 1984:64). Jika pada puisi
struktur haruslah dilihat aspek keterjalinan antara struktur fisik
antara lain: diksi, kata konkret, majas, versifikasi; dengan struk-
tur batinnya, antara lain: tema, perasaan, nada, dan amanat.
Berdasarkan konsep-konsep tersebut maka dapatlah
disebutkan bahwa tujuan dari telaah strukturalistis adalah
“membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, sedetil, dan
sedalam-dalamnya keterkaitan dan keterjalinan semua unsur
dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh, analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-
unsur itu ... (yang penting adalah sumbangan yang diberikan
oleh gejala semacam ini pada keseluruhan makna, dalam keter-
kaitan dan keterjalinannya dalam tataran: fonik, morfologis,
sintaksis, dan semantik) .... Setiap karya sastra memerlukan
metode analisis yang sesuai dalam sifat dan strukturnya ....
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
51
dapat struktur sintaktik yang berbelit-belit juga (Luxemburg,
1984:46).
Sebagai bandingan dikemukakan semiotik ala Lotman.
Untuk sebagian semiotik Soviet berakar dalam formalisme, teta-
pi ada pengaruh juga dari mazhab Praha dan Ukan dari struk-
turalisme Perancis. Menurut Joeri Lotman (tokoh semiotik
sastra Rusia) perbedaan antara bahasa sehari-hari dan bahasa
sastra terletak pada fungsi ikonisitas dalam sastra. Seperti setiap
bentuk seni yang lain sastra merupakan sistem sekunder. Sastra
mempergunakan sistem tanda primer seperti dalam bahasa
alami, tetapi tidak terbatas pada tanda-tanda primer. Dalam
seni bahasa (sastra) terdapat kaitan-kaitan paradigmatik dan
sintagmatik (Luxemburg, 1984:47). Sastra tidak membuat copy
dari kenyataan, tetapi mengenakan sebuah modul pada kenya-
taan, atau mengungkapkan menyatakan lewat modul-modul.
Sayangnya istilah sistem sekunder pembuatan modul yang
demikian penting, tidak pernah dijelaskan secara tuntas oleh
Lotman.
“Di dalam rangka sebuah sistem lambang kita mengar-
tikan gejala-gejala tertentu (gerak-gerik, kiasan, kata-kata, kali-
mat, dst.) berdasarkan sebuah kaidah atau sejumlah kaidah.
Kaidah-kaidah itu merupakan sebuah kode, yaitu alasan atau
dasar mengapa kita mengartikan suatu gejala begini atau begitu
sehingga gejala itu menjadi suatu tanda (van Luxemburg, 1984:
45). Dengan bahan yang diambil dari bahasa alami, seorang
sastrawan dapat membuat struktur artistik yang rumit dan ber-
belit-belit. Untuk itu ia dapat mempergunakan berbagai kode
sekaligus, misalnya kode bahasa, kode metrum, kode sintaktik,
kode gaya dst.
Bagi Lotman analisis teks tidak semata-mata intrateks-
tual, melainkan juga ekstratekstual. Analisis intratekstual seper-
ti: metrum, ritme, tahap fonologi, morfologi, morfo-sintaksis,
tahap semantik, diletakkan dalam kerangka mekanisme antar-
hubungan dan tidak secara terpisah sendiri-sendiri. Gagasannya
yang perlu mendapat perhatian ialah tentang semantisasi dan
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
53
sesuai dapat aesthetic of reception. Untuk kepentingan tulisan
ini digunakanlah istilah resepsi estetik.
Resepsi estetik dimaksudkan sebagaimana ‘pembaca’
memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya se-
hingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya.
Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang
pembaca dapat memahami karya itu atau dapat melihat hakikat
estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif,
yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Oleh karena itu, penger-
tian resepsi estetika mempunyai lapangan yang luas, dengan
berbagai kemungkinan penggunaannya (Junus, 1985:1—2).
Perkembangan resepsi estetik diberi semangat baru oleh
pikiran-pikiran Jausz dan Iser. Mereka berdua dianggap sebagai
perumus dasar teoretis dan metodologinya. Sebagai ilustrasi,
inilah tiga unsur resepsi estetik yang terlibat langsung dengan
pelaksanaan kritik sastra, yaitu (i) pembaca, (ii) legetica dan
poetica, dan (iii) horison penerimaan, serta (iv) konkretisasi.
Berturut-turut keempatnya dibahas berikut ini.
Pertama, pembaca. Kedudukan pembaca dalam resepsi
estetik dibedakan atas pembaca biasa, pembaca ideal, pembaca
yang implisit, dan pembaca yang eksplisit. Pembaca biasa adalah
pembaca dalam arti yang sebenarnya, yaitu yang membaca karya
sastra sebagai karya sastra, bukan sebagai bahan penelitian.
Perhatian dapat ditekankan kepada bagaimana ‘reaksi’ mereka
terhadap karya sastra yang dibaca baik secara sinkronis maupun
secara diakronis. Dalam hal ini kritikus dapat memanfaatkan
bahan-bahan yang relevan seperti resensi, surat-surat, buku-
buku, catatan harian dan lain-lain (lihat Junus, 1985:52).
Pembaca ideal memang sukar dirumuskan dan Segers
menggunakan definisi Armand van Assche yang diterjemahkan
sebagai berikut, “pembaca ideal ialah pembaca yang dibentuk
atau diciptakan oleh penulis atau peneliti (baca kritikus) bisa
berdasarkan variasi tanggapan mereka, kompetensi sastra me-
reka yang putus-putus, atau berbagai variabel lain yang meng-
ganggu. Pembaca yang diciptakan ini mungkin berada di dalam
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
55
teks. Dan ini merupakan suatu reaksi subjektif dari seorang
pembaca.
Ketiga dan keempat, horison penerimaan dan konkreti-
sasi. Horison penerimaan pembaca terhadap karya berkaitan
dengan lima aspek, yakni (1) aspek estetika sastra, (2) aspek
variabel seputar pembaca, (3) aspek kompetensi bahasa dan
kompetensi sastra pembaca, (4) aspek pengalaman pembaca
dalam merespons dan menganalisis karya sastra, dan (5) aspek
situasi penerimaan pembaca.
Aspek pertama adalah aspek estetika sastra. Teeuw (l982)
menengarai adanya dua estetika sastra, yakni estetika harmoni
atau estetika keselarasan, dan estetika deviasi atau estetika
penyimpangan. Dalam estetika harmoni karya sastra yang baik
dan ‘berterima’ adalah karya sastra yang memenuhi keseim-
bangan antara isi dan bentuk, antara unsur estetis dan nones-
tetis. Sebaliknya dalam estetika deviasi, karya sastra yang me-
nyimpang dari kelaziman sehingga menjadi aneh dan unik ada-
lah karya sastra yang berhasil.
Aspek kedua adalah variabel seputar pembaca. Di dalam-
nya dicakup variabel (a) seks atau jender, (b) pekerjaan, (c)
pendidikan, (d) tempat tinggal, dan (e) agama. Pertanyaan
pokoknya adalah bagaimanakah seorang pembaca dapat mene-
rima atau menolak suatu karya sastra sesuai dengan ‘skemata
budaya’ dirinya. Misalnya, dapatkah seorang muslim menerima
kendaraan Nabi Muhammad Bourouq bertubrukan dengan
sputnik Rusia (baca kembali heboh sastra 1968, kasus Langit
Makin Mendung) atau kasus Novel Ayat-ayat Setan karya Sal-
man Rusdie. Bagaimanakah penerimaan pembaca perempuan
terhadap hegemoni tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan.
Bagaimanakah horison harapan pembaca perempuan terhadap
cerita ibu tiri yang baik hati? Bagaimakah respons pembaca
pesisir terhadap karya sastra dengan tema pesisir. Misalnya,
bagaimanakah responsi pembaca di kawasan Bangka-Belitung
terhadap novel Laskar Pelangi dan seterusnya.
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
57
sastra yang bersifat genial dan autentik, dan (5) penerimaan
yang bersifat realistis namun bersifat pesimistis dan konservatif
yang ditandai oleh hadirnya unsur kesedihan.
Jelaslah kini bahwa horison penerimaan sastra berkaitan
dengan horison penerimaan sosio-budaya dan pengalaman sese-
orang. Horison penerimaan sosio-budaya dari seorang pembaca
adalah hasil dari pengalaman seorang individu dan dari penga-
laman bahasanya. Pengalaman individu, misalnya pengalaman
emosional, sosio-budaya, dan psikologi komunikasi. Penga-
laman bahasa ialah pengalaman yang berhubungan dengan
penguasaan bahasa (yang natural). Dan horison penerimaan
sastra dihasilkan melalui pengalaman pembacaan teks-teks, ter-
utama teks sastra. Ini meliputi pengalaman stilistika, retorika,
interpretasi, evaluasi, dan pengenalan genre.
BAHAN DISKUSI
1. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra ada-
lah hubungan dialektik: mimesis tidak mungkin tanpa
BAB 2
Paradigma Kritik Sastra
59
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
60 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 3
Penilaian
dalam Kritik Sastra
BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
61
Pada dasarnya ada tiga perspektif penilaian yang penting
dalam kritik sastra, yakni perspektif penilaian (a) relativisme,
(b) absolutisme, dan (c) perspektivisme.
Penilaian relativisme ialah penilaian yang dilakukan ber-
dasarkan konteks tempat dan zaman diterbitkannnya suatu kar-
ya sastra. Asumsi dasar penilaian relativisme adalah karya sastra
yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat
dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah diang-
gap bernilai pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbe-
da. Penilaian relativisme memang mengandaikan transferabiltas
kualitas suatu karya sastra. Kaum relativis berkeyakinan bahwa,
karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada
konteks tempat dan zaman tertentu tidak memerlukan penilaian
lagi (Periksa Pradopo, 1988:59).
Dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipan-
dang memiliki nilai literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat
tersebut tentu saja untuk konteks masyarakat Melayu dan pada
saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan penilaian zaman
sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer
lagi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu
sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin
dianggap tidak bernilai literer sama sekali. Meskipun demikian,
kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si Miskin
haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan
tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan di mana pun
(tempat/lokus). Jadi, penilaian relativisme yang diberberlakukan
pada suatu tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku pula
secara umum di segala tempat dan zaman lain yang berbeda.
Di sisi lain, seperti juga kritik jenis induktif atau induc-
tive criticsm, kritikus memandang karya sastra tertentu terlepas
dari karya sastra yang lain. Suatu karya yang dikaji dianggap
memiliki struktur norma-normanya sendiri. Oleh sebab itu,
penilaian dengan memperbandingkan karya sastra satu dengan
karya sastra lain dihindari. Dinyatakan bahwa nilai suatu karya
sastra sudah melekat atau “built in” pada struktur norma karya
BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
63
seni atau sastra yang diakui besar tetapi di dalamnya tidak
berhubungan dengan nilai-nilai ideal keagamaan.
Perspektif yang ketiga adalah paham penilaian perspek-
tivisme. Paham ini menilai karya sastra dari berbagai perspektif,
atau sudut pandang, yakni menilai suatu karya sastra pada wak-
tu terbitnya, dan bagaimana nilai karya sastra tersebut untuk
masa-masa berikutnya, bahkan menilai karya sastra tersebut
pada masa sekarang. Anggapan dasarnya bahwa karya sastra
bersifat abadi dan historisis sekaligus. Abadi artinya memelihara
satu ciri atau konvensi, misalnya karya sastra yang terbit pada
masa melayu lama, mestilah karya tersebut menunjukkan ciri-
ciri atau konvensi serta sastra Melayu Lama Historis artinya
karya tersebut telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut
jejaknya, misalnya suatu karya sastra itu telah mengalami (mele-
wati) masa kesusastraan romantik, realisme, dan sebagainya.
Dengan pengertian itu paham perspektivisme mengakui adanya
satu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa,
berkembang, berubah, penuh kemungkinan. Karya sastra itu
strukturnya dinamis melalui penafsirnya sepanjang masa.
Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektivis-
me mengakui adanya pengaruh zaman dan subjek dalam peni-
laian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang
kini dianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu dire-
mehkan. Hamlet karya Shakespeare oleh Voltaire dianggap tu-
lisan seorang yang sedang mabuk, tetapi lima puluh tahun
kemudian Victor Hugo menilai karya Shakespeare itu lebih
tinggi daripada karangan-karangan Racine “dewa” drama Peran-
cis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 peni-
laian yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus.
Perubahan-perubahan dalam penilaian tentu saja berkait-
an dengan perubahan kondisi sosial-historis masyarakat umum
serta perubahan-perubahan pandangan tentang seni sastra itu
sendiri. Aliran romantik menolak soneta-soneta Shakespeare
tersusun dengan cukup berbelit-belit. Juga pada fiksionalitas
BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
65
BAHAN DISKUSI
1. Diskusikan tentang konsep-konsep penerimaan (resepsi),
penafsiran (interpretasi), serta penilaian (evaluasi) dalam
kegiatan kritik sastra!
2. Tunjukkan tahap-tahap penafsiran (interpretasi) dalam sua-
tu teks sastra!
3. Berikan uraian mengenai hakikat dan fungsi sastra!
BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
67
Kriteria yang diangkat dari ekspresivitas adalah keaslian
(orisinalitas) dan kejujuran. Yang dimaksud dengan keaslian
di sini ialah suatu penampilan kembali dalam bentuk yang lebih
segar dan menarik dengan suatu pendekatan baru, serta penam-
pakan warna sendiri yang khas dari karya sastra yang dihasil-
kan. Penyair besar Chairil Anwar boleh terpengaruh Marsman,
Slauerhof, Edu Peron atau siapa saja, tetapi dengan daya eks-
presinya Chairil mampu menyuarakan sajak-sajaknya seperti
suara sendiri, dengan jiwa khas Chairil (perhatikan sajak ‘Kra-
wang Bekasi” yang ternyata saduran dari sajak yang berjudul
“The Joung Soldier” karya Sir Achibold Mac Leis). Juga bebe-
rapa sajaknya yang lain.
Masalah kejujuran, merupakan kriteria lain yang dapat
dipergunakan. Kejujuran di sini adalah kesungguhan dan penda-
laman pikiran dalam menyatakan suatu konsep. Kritikus hen-
daknya memperlihatkan kepada pembaca bahwa apa yang di-
tampilkan melalui tokoh-tokoh ceritanya adalah hasil pemi-
kiran yang matang dan tidak berkesan main-main.
Kedua, kriteria mimesis. Kaum mimetikus berkeyakinan
bahwa sebuah karya sastra bernilai baik apabila suatu kenyataan,
misalnya kenyataan sosial, budaya, alam, lingkungan hidup
dsb. dinyatakan atau diungkapkan dengan tepat, lengkap atau
secara unik sehingga memiliki daya pesona. Bila seorang kri-
tikus mengharapkan dari sastra supaya kenyataan diperjelas,
maka kriteria inilah yang dipergunakan atau diutamakan. Pen-
dapat seperti ini pernah dikemukakan Goenawan Moehamad
bahwa tugas sastrawan dan seniman pada umumnya adalah
membuat penghayatan terhadap kehidupan menjadi lebih in-
tens. Dengan kata lain karya sastra atau karya seni yang baik
hendaknya mempunyai intensitas terhadap realitas, bukan
sekadar meletakkan kembali realitas tersebut (Moehamad,
1988:53).
Ketiga, kriteria pragmatis. Baik buruknya karya sastra
ditentukan oleh pemaknaan kritikus selaku pembaca terhadap
karya sastra. Seorang kritikus dapat mempergunakan kriteria
BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
69
Kelima, kriteria tradisi menilai sebuah karya sastra
menurut daya pembaharuan atau justru sebaliknya, sejauh karya
itu setia kepada tradisi dalam hal gaya dan modus. Kriteria ini
ditonjolkan oleh kaum kritikus tradisional yang memusatkan
perhatiannya kepada unsur-unsur literer di dalam sastra. Menu-
rut A. Teeuw salah satu konvensi sastra adalah tegangan antara
kemapanan dan pembaharuan atau inovasi secara terus-mene-
rus. Sejarah sastra mencatat bahwa karya yang baik biasanya
karya yang menyimpang atau mendobrak kemapanan/tradisi
sastra.
Keenam, kriteria paedagogis/pendidikan. Karya sastra
dinilai baik apabila dapat memberikan pengaruh positif terhadap
pembinaan moral dan kepribadian, bahkan diharapkan dapat
meningkatkan kecerdasan pembaca. Keberatan terhadap kriteria
ini seperti dikatakan oleh Marlies K. Danziger dan W. Stacy
Johnson sbb., “… jika masyarakat ingin meninggikan moral
dan intelektualismenya jalan terbaik adalah membaca buku filsa-
fat dan bukan membaca sastra.” Bila kriteria didaktik yang
digunakan maka beberapa karya besar Shakespeare, Antony
and Cleopatra misalnya yang melukiskan perzinaan tentu tidak
dapat menyandang karya besar atau mahakarya.
Ketujuh, kriteria kebenaran. Kriteria kebenaran juga bisa
dipakai untuk penilaian karya sastra. Pertanyaan mengenai
kebenaran sastra tentu saja sulit, sesulit perjuangan Mikhail
Solokov yang baru dapat menyelesaikan novelnya Tanah Pera-
wan Terbalik dalam waktu tiga puluh tahun. Selama tiga puluh
tahun itu pengarang mengalami jatuh bangun untuk mencapai
kebenaran sastra. Lalu apa kebenaran sastra itu? Kebenaran ini
dapat terjadi apabila pengarang dapat melukiskan hakikat hidup
dalam karyanya dengan cara yang sublim, tetapi apa hakikat
hidup dan juga apa arti sublim itu sulit dijawab, bahkan memper-
sulit persoalan untuk menjadi orang yang sangat terhormat.
Sebetulnya ia ingin menjadi tentara, akan tetapi satu-satunya
jalan untuk mencapai kedudukan dengan kembalinya dinasti
Bourbon adalah menjadi pendeta, dia terpaksa menjadi pendeta.
BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
71
struktural, realistik dan moral, maka ini membantu kita untuk
sementara menilai karya Dard sebagai “sastra picisan”, sedang-
kan tulisan Highsmith dapat dinilai “berbau sastra”. Tetapi
pada dasarnya pembagian ini mengandaikan norma-norma serta
harapan akan jenis-jenis sastra. Mungkin juga sementara orang
justru lebih menyukai suatu dunia impian dengan tokoh-tokoh
yang masing-masing tahu tempatnya.
Akhirnya, dapat disebut beberapa syarat yang seharusnya
dipenuhi oleh sebuah laporan evaluasi atau karya kritik sastra
yang ideal.
(a) Sang kritikus harus menunjukkan, entah dalam kritiknya,
entah dalam suatu uraian umum, fungsi mana yang diha-
rapkan dari sastra dan kriteria penilaian yang dipergunakan.
(b) Kritikus harus menjelaskan kriteria kritik yang digunakan
dengan memberikan contoh-contoh. Kriteria “orisinalitas”
hendaknya diperjelas, misalnya orisinal bila dibandingkan
dengan apa; sebuah penilaian seperti “memikat” harus dito-
lak karena tidak dapat dikontrol.
(c) Kritik harus dapat dibuktikan dengan mengajukan data
dari unit tekstual karya sastra yang dikaji.
(d) Sedapat mungkin hendaknya dipergunakan berbagai kri-
teria yang saling melengkapi. Sebuah penilaian negatif yang
menitikberatkan pada moral, seyogyanya diperkuat dengan
argumentasi struktural, misalnya dengan mengamati
pemakaian bahasanya.
(e) Setiap kritik hendaknya selalu memperhatikan argumentasi
struktural: bentuk karya seni yang disebut sastra itu me-
nuntut agar isi dengan sadar dituangkan ke dalam bentuk
tertentu.
(f) Kritik terhadap karya hendaknya didukung dengan me-
nempatkan karya itu di dalam keseluruhan karya-karya
pengarang yang sama, ataupun di dalam suatu jenis sastra
tertentu aliran tertentu (Luxemburg, 1984:73).
BAHAN DISKUSI
1. Diskusikan dan tunjukkan contohnya dalam sastra Indo-
nesia konsep tentang: (a) orisinalitas dalam karya, (b) keju-
juran, dan (c) kebenaran sastra.
2. Beberkan contoh-contohnya secara lengkap tentang paham
seni untuk seni dan seni untuk masyarakat.
3. Diskusikan tentang pengertian sastra picisan, sastra popu-
ler dan sastra serius. Lengkapilah dengan bukti dan contoh!
4. Susunlah peta konsep penilaian dalam kritik sastra secara
lengkap dan utuh yang mencakup trikotomi penilaian, kri-
teria dan syarat penilaian dalam sastra!
BAB 3
Penilaian dalam Kritik Sastra
73
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
74 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 4
Epistemologi
Kritik Sastra
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
75
dengan kata lain teori (kritik) tidaklah begitu saja menye-
rahkan penafsirannya kepada intuisi pemakainya/penggu-
nanya.
(c) Falsifikasi: sebuah teori (kritik) kebenarannya tidaklah
mutlak sehingga dapat dibantah dan ditunjukkan kele-
mahan/kekeliruan atau kesalahannya.
(d) Koherensi: sebuah teori (kritik) haruslah memiliki pernya-
taan yang berkaitan secara logis dan padu, artinya pernya-
taan-pernyataan atau proposisi yang disusun tidak saling
bertentangan.
(e) Bersifat sahaja: artinya teori (kritik) haruslah menguraikan
gejala-gejala kesastraan dengan sesedikit mungkin menggu-
nakan aturan-aturan, unsur-unsur, dan lambang-lambang
yang rumit.
(f) Bersifat empiris: artinya pernyataan atau proposisi dan
teori (kritik) haruslah didasarkan pada kenyataan yang ber-
sifat sensori-indrawi, yang dibatasi secara jelas dan dite-
rangkan secara tepat (Dijk dalam Wardoyo, 1988:24).
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
77
sastra merupakan lukisan dari dan mengabdi pada suatu kelas
sosial tertentu yang tengah berkuasa dalam masyarakat. Secara
khusus, sastra realisme sosialis melukiskan kelas proletar yang
sedang berjuang dan memihak kepada kepentingan dan per-
juangan kelas proletar tersebut, (3) pelukisan kelas proletar
itu dengan sendirinya adalah suatu penafsiran sejarah dan kema-
syarakatan secara khusus, dengan menggunakan kaca mata
kelas proletar pula sehingga penghidangan sejarah dan kema-
syarakatan tersebut tidak perlu sesuai dengan peristiwa yang
nyata-nyata terjadi, tetapi yang menurut kepentingan kelas pro-
letar ditafsirkan sebagai telah terjadi, yakni yang sebaiknya telah
terjadi, dan seharusnya akan terjadi (Hardjana, 1983:75).
Aliran realisme sosialis, sesuai dengan pandangan Lenin,
aliran ini mengandaikan adanya suatu hubungan dialektik antara
sastra dan kenyataan. Dari satu pihak kenyataan tecermin dalam
sastra sehingga sastra dianggap menyajikan suatu tafsiran ten-
tang berbagai kompleks hubungan di dalam masyarakat atau
realisme, di lain pihak sastra juga memengaruhi kenyataan se-
hingga mempunyai tugas mendampingi partai komunis dalam
perjuangannya membangun suatu masyarakat baru yang lebih
baik (sosialistik). Realisme sosialis menuntut para pengarang
agar melukiskan kenyataan dalam perkembangan revolusioner-
nya, selaras dengan kebenaran dan fakta sejarah. Yang dimaksud
selaras dengan kebenaran adalah yang sesuai dengan semangat
partai, sebab itu karya non-partai yang tidak selaras dengan
semangat partai tidak mungkin menjadi karya seni dalam
pengertian sosialis. Di Indonesia hal itu dianut oleh sastra aliran
Lekra yang menjunjung tinggi panji-panji revolusi dan bersem-
boyankan, “politik sebagai panglima.”
Menurut Pramudya Ananta Tour, “Realisme sosialis ada-
lah mempraktikkan sosialisme di bidang kreasi sastra. Human-
ismenya adalah humanisme proletar sebagai lawan humanisme
Barat atau humanisme universal” (Horison,1982:XVII/246).
Dalam kritik sastra estetika menempati posisi terakhir, kritik
sastra terutama harus melihat ideologi yang dikandung oleh
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
79
seni; (b) meluas dan meninggi artinya meluaskan pengetahuan
kepada massa dan meninggikan mutu kreatif dan ideologi; (c)
politik adalah panglima, sebab tanpa politik kebudayaan dan
sastra tidak dapat menentukan haluan yang besar; (d) gerakan
turun ke bawah (turba) pengarang harus mengetahui dan biasa
pada penghidupan rakyat (Horison, 1982:XVII/246).
Bagaimanakah penerapan realisme sosialis itu dalam
karya sastra? Salah satu tema yang menonjol ialah tema anti,
misalnya anti-kolonial, anti-kapital, bahkan anti-muslim atau
anti-agama, karena agama bagi mereka merupakan penghalang
yang tidak kecil peranannya. Sebab itu, tidak kebetulan karya-
karya Utuy Tatang Sontani “Si Kampeng” dan Pramudya “Mi-
dah Si Manis Bergigi Emas”, para kiai dan haji digambarkan
sebagai tokoh penghisap rakyat.
Ilham karya sastra mereka terutama digali dari hasil kun-
jungan ke negeri-negeri sosialis, peristiwa yang menyangkut
buruh dan tani yang kemudian ditarik kepada tema pertentang-
an kelas. Buruh dan tani sedemikian rupa diromantisasi se-
hingga jauh dari kenyataan yang sebenarnya, sebab buruh dan
tani yang digambarkan itu tidak lain personifikasi gagasan to-
koh ideal mereka.
Hal lain yang tampak adalah sifatnya propagandis, seperti
tecermin pada judul-judul yang pretensius dan tendensius.
Misalnya, -bukunya “yang Bertanah Air tapi tak Bertanah Air”
karya S. Anantaguna, juga “Partai dalam Puisi” oleh pengarang
yang sama. Lebih tegas konsepnya tentang “sastra revolusioner”
dinyatakan “Sikap nasionalis, seperti mestinya setiap manipolis
di mana perlu dapat membelakangkan nilai-nilai artistik, apalagi
yang berasal dari alam kontra revolusi. Keperluan sosial-politik
yang harus didahulukan.
Jadi, tepat sekali perumusan Wimsatt dan Brooks (1959)
mengenai masalah realisme sosialis ini. Aliran ini menurut
Wimsatt berhubungan dengan gambaran luas tentang realitas
sosial. Ia harus merupakan dokumen sosial. Pengarang realisme
sosialis tidak berhak menampilkan lirik, hubungan pribadi dan
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
81
(6) Akhirnya, dapat dikatakan bahwa penilaian sastra, menu-
rut paham realisme sosialis tidak hanya berdasarkan nor-
ma-norma estetik, melainkan juga norma-norma politik
dan etik.
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
83
kan oleh si objek (karena ini tidak mungkin). Nilai adalah
nilai bersama, nilai subjek di dalam objek, nilai objek di
dalam subjek.
(4) Proses refleksi dan analisis terjadi kemudian. Di sini ele-
men-elemen menjadi “terang dan jelas” dalam hubungan-
nya dengan penyatuan keseluruhan tersebut. Elemen yang
tadinya tanpa kaku-beku, setelah terjadi sebuah interferensi
dinamis, seakan-akan mencair dan menjadi hidup kembali
penuh warna-warni. Pada saat itu sang kritikus menuliskan
pengalaman-pengalamannya, maka lahirlah sebuah kritik
seni (sastra) sebagai hasil percintaan atau persengketaan
antara kritikus dan karya seni (sastra).
(5) Proses reflektif serta ungkapan pengalaman sebagai hasil
pertemuan, interferensi dinamis bersifat tentatif/hanya ter-
jadi suatu waktu. Pertemuan yang lain oleh orang-orang
lain terhadap sajak-sajak yang sama, tentu akan melahirkan
pengamatan yang lain atau berbeda pula. Dan ini sah, sa-
ngat diperlukan.
(6) Yang paling penting dalam kritik Ganzheit bukanlah benar
atau tidaknya pengamatan kritikus terhadap karya-karya
sastra, melainkan intens atau tidaknya penghayatan itu,
bukan keseragaman yang dicari, tetapi keauntetikan penga-
laman masing-masing (Budiman, 1976:9).
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
85
4.4 METODE PENGUDARAN NASKAH ATAU EXPLI-
CATION DE TEXTE
Ditinjau dari prinsip-prinsip kerjanya, metode pengu-
daran naskah bertolak dari pendekatan objektif, yaitu yang
memusatkan kajiannya pada karya sastra itu sendiri, terlepas
dari niat pengarang serta pengaruhnya bagi pembaca. Dalam
hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan
makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai
alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan me-
nelaah karya sastra dari segi intrinsiknya. Pendekatan ini meng-
hasilkan metode strukturalistik dalam kritik sastra. Di Indo-
nesia metode kritik tersebut pernah dilakukan oleh kelompok
Rawamangun sehingga dikenal kritik sastra aliran Rawama-
ngun.
Secara harfiah explication de texte berarti pengudaran
naskah karya. Oleh karena itu jelaslah bahwa dengan metode
ini seorang pembaca (baca kritikus) langsung berdialog dari
hati ke hati dengan karya sastra yang dihadapinya tanpa peran-
tara siapa pun. Ruang lingkupnya meliputi tiga hal yang secara
hakiki berkenaan dengan sebuah karya, yakni (1) pengarang:
bagaimana hubungan karya ini dengan karya-karyanya yang
lain, dengan hidup pengarang sendiri, dan dengan zaman kehi-
dupan pengarang itu, (2) pengamatan yang teliti dan terperinci
tentang naskah karya: bentuk susunan karya ini, gagasan atau
pemikiran pokoknya, dan pandangan dan penjelasan tentang
persoalan-persoalan bahasa yang dipergunakan, sindiran-sin-
diran, gambaran-gambaran, luapan hati, teknik penulisan dsb.,
(3) pengelompokan dan penggabungan pengamatan-penga-
matan secara terperinci lengkap dengan penafsirannya (Har-
djana,1983:52). Di sini perlu dicatat bahwa pengertian pan-
dangan yang analitis dan sintesis atau penggabungan berbagai
penafsiran tidaklah terpisah satu sama lain. Keduanya dapat
dikatakan saling mengisi dan saling melengkapi.
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
87
sumber inspirasi atau pola-pola lama yang memengaruhi
karya itu?
(3) Mencari tempat dan hubungan antara karya tersebut de-
ngan karya-karyanya yang lain, baik yang ditulis sebelum
ataupun sesudahnya.
(4) Mencari apakah maksud pengarang yang hendak dikemu-
kakan dalam karya ini.
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
89
bernada cengeng karena sentimentalisme, ataukah justru
dingin membatu?
(5) Apakah efek luapan rasa hati itu bersumber pada pembaha-
ruan yang segar, baik dalam hal pemikiran maupun peng-
ungkapannya? Ataukah bersumber pada gerakan tengah
populer di zamannya? Lagi, ataukah semata-mata bersum-
ber pada keseharian yang jujur ataukah dibuat-buat?
(6) Apakah luapan rasa hati pengarang itu murni ataukah ber-
pura-pura?
(7) Apakah luapan rasa hati itu penuh gairah hidup dan kuat
ataukah lembek dan merana?
(8) Apakah luapan rasa hati itu dikekang ataukah dilebih-lebih-
kan?
(9) Apakah luapan rasa hati itu sederhana, rumit, ataukah cam-
pur-baur?
(10)Apakah luapan rasa hati itu sama sekali bersifat perorangan
ataukah pada dasarnya bersifat universal?
(11)Apakah per se (sic.) menimbulkan rasa nyeri atau menye-
dihkan (misalnya, penuh nafsu, keji, rindu kepayang, di-
himbau kesangsian dan sejenisnya) ataukah sudah disalut
dengan unsur-unsur tragis atau bentuk-bentuk kesenian
lain (misalnya, penderitaan ataupun kejahatan dalam dra-
ma-drama klasik Yunani, karya-karya Shakespeare, atau
bahkan sajak-sajak Amir Hamzah, Chairil Anwar, W.S. Ren-
dra, atau Sapardi Djoko Damono?).
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
91
(2) Apakah ada pelanggaran-pelanggaran yang disengaja untuk
memperjelas makna? Apakah perubahan-perubahan itu me-
nandakan adanya kelemahan ataukah justru menunjukkan
kekuatan penyairnya?
(3) Apakah tanda-tanda jeda mengikuti satu pola tertentu saja
ataukah penuh keragaman?
(4) Apa yang ditimbulkan oleh pola suara? Dan bagaimana
polanya?
(5) Apakah penggunaan kata-kata sebagai pengungkapan se-
derhana, lumrah, padat, keras, luhur, lembek, kuat, segar,
kuno, gelap, berlebihan, kaku, tegang, penuh semangat
jiwa, halus cemerlang? Buatlah perbedaan-perbedaan di
mana perlu!
(6) Semua kata bersayap yang memerlukan penafsiran dan
pembeberan hendaknya dibicarakan dengan cermat!
(7) Seandainya kalimat-kalimat itu disusun mengikuti pera-
turan tata bahasa bagaimana bunyinya? Dan di mana perbe-
daan kekuatannya?
(8) Apakah ungkapan-ungkapan yang sifatnya serba singkat
ini masih sanggup menjadi getaran luapan rasa hati penya-
irnya?
(9) Apakah karya ini merupakan sebuah sajak yang lengkap?
Apakah merupakan satu kesatuan yang bukan dalam hal
pengungkapan? Ataukah ada ketidaksesuaian dengan pera-
saan? Apakah penyair berhasil menguntaikan perasaan-
perasaan yang tampaknya tercerai-berai menjadi satu keu-
tuhan yang bulat dalam karya itu?
(10)Sejauh mana sindiran, ironi, atau paradoks memengaruhi
atau membentuk seluruh nada atau sikap pendirian dalam
karya ini?
(11)Apakah penyair mendramatisasi tema karyanya dengan
menghidangkan data-data secara konkret, langsung dan
aktif?
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
93
(4) Mencatat dan mengemukakan aspek-aspek karena yang
kemungkinan besar akan lolos dari pengamatan peneliti
(kritikus) apabila bukan metode pengudaran naskah karya
ini yang dipergunakan. Hendaknya oleh peneliti ditunjuk-
kan secara tegas bagian-bagian karya yang memiliki arti
dan makna yang disebut abadi. Demikianlah uraian terinci
tentang langkah-langkah atau prosedur metode pengu-
daran naskah. Secara prinsipial metode ini mengarahkan
bahwa makna atau nilai karya sastra terletak pada karya
itu sendiri, sebab itu kecermatan, ketelitian, ketekunan,
kepekaan serta ketajaman pikir dari para peneliti atau para
kritikus amat diperlukan. Hal ini penting karena bukan
tidak mungkin tanpa terpenuhinya syarat-syarat itu, kajian/
telaah yang dilakukan menjadi spekulasi bahkan menyesat-
kan. (Perhatikan adanya bahaya sesatan genetic; the ge-
netic fallcy dalam kritik sastra; bahwa nilai dan makna
karya sastra bebas dan tidak tergantung pada proses pencip-
taan maupun penciptanya sendiri).
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
95
menyatakan bahwa metode struktural adalah suatu metode
yang menyelidiki makna karya sastra dengan mempelajari
unsur-unsur strukturnya dan hubungannya satu sama lain.
Baru setelah makna dipahami, dapat dibuat berbagai interpre-
tasi. Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip Becker
(1978:3—4) yang mengatakan bahwa strukturalisme memberi-
kan suatu cara berdisiplin untuk memulai dengan konteks da-
lam suatu karya sastra sebagai langkah pertama, dan hanya
sesudah analisis struktural itu kita bisa melangkah ke luar teks,
ke dunia alamiah atau dunia sosial-budaya yang merupakan
konteks yang lebih luas.
Sementara itu Prihatmi dalam kertas kerjanya yang berju-
dul “Beberapa Masalah dan Penelitian Kumpulan Cerpen “God-
lob” karya Danarto (1979:2) menyebut pemakaian metode
struktural karena penelitiannya memusatkan perhatian pada
salah satu unsur struktur dan kaitannya dengan unsur struktur
yang lain, bahkan ada pula yang menyangkut penilaian. Pri-
hatmi mengemukakan pandangannya mengenai strukturalisme
sbb.
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
97
bagian-bagian totalitas itu. Jadi, yang menjadi dasar telaah
strukturalisme bukanlah bagian-bagian totalitas itu, tetapi jalin-
an hubungan yang ada antara bagian-bagian itu, yang menjadi-
kannya totalitas.
Ciri yang kedua, strukturalisme tidak menelaah struktur
pada permukaannya, tetapi struktur yang ada di bawah atau di
balik kenyataan empiris. Kaum strukturalis berpandangan bah-
wa yang terlihat dan terdengar, misalnya, bukanlah struktur
yang sebenarnya, tetapi hanya merupakan hasil atau bukti ada-
nya struktur.
Yang ketiga, analisis yang dilakukan oleh kaum struk-
turalis menyangkut struktur yang sinkronis, dan bukan diakro-
nis. Perhatiannya dipusatkan pada hubungan-hubungan yang
ada pada suatu saat, pada suatu waktu, dan bukan pada perja-
lanan waktu. Struktur sinkronis tidak dibentuk oleh atau diten-
tukan oleh proses historis, ia ditentukan oleh jaringan hu-
bungan struktural yang ada.
Ciri yang keempat, strukturalisme adalah metode
pendekatan antikausal. Dalam analisis kaum strukturalisme ini,
pengertian sebab akibat sama sekali tidak dipergunakan.
Mereka tidak percaya adanya hukum sebab akibat, mereka
hanya meyakini hukum perubahan bentuk (Damono, 1978:39).
Kalau diamati, sebenarnya keempat ciri itu bukanlah hal
baru dalam metode-metode yang ada sebelumnya, tetapi biasa-
nya diterapkan secara terpisah-pisah dalam metode yang ber-
beda-beda. Keistimeaan strukturalisme adalah penggabungan
keempat-empatnya dalam suatu metode. Sekarang, bagaimana
halnya jika metode-metode struktural itu dihubungkan dengan
kritik sastra aliran Rawamangun?
Tampaknya tidak diperoleh gambaran yang pasti tentang
strukturalisme manakah yang “menyentuh” atau “banyak me-
nyentuh” kritik sastra aliran Rawamangun. Hal ini mengingat
begitu banyak strukturalisme, misalnya strukturalisme ala
Barthes, Mukrovsky, Piaget, maupun Strauss dsb., meskipun
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
99
tika yang diciptakan pengarang. Kritikus yang baik akan mam-
pu menjaga jarak dengan objek kajiannya. Tahap ini amat bergu-
na bagi kritikus dalam memberikan penilaian dan kesimpulan.
Sukar dibayangkan tanpa kesediaan mengidentifikasi terhadap
karya yang ditelaah, hasil kritikannya dapat benar-benar akurat
atau lebih esensial dapat menyingkap/menerangjelaskan makna
serta nilai-nilai karya sastra yang dikaji.
Tahap analisis adalah tahap pembedahan karya sastra
sampai sekecil-kecilnya. Kritikus yang baik tidak akan memper-
kosa ciri khas karya sastra yang dibedah. Analisis bermaksud
menunjukkan segala unsur yang ada, relasi yang dibangun baik
intrinsik maupun ekstrinsik sebagai jaringan sistem. Dengan
wawasannya yang luas, dengan argumentasinya yang tajam
kritikus akan menerangkan bahwa setiap unsur yang ada dalam
suatu karya sastra tidaklah kebetulan. Misalnya, soal penggu-
naan kata ganti “ia” dan “dia” dalam novel Iwan Simatupang,
persoalan penamaan tokoh-tokoh dalam roman Atheis, bahkan
sampai pada ilustrasi “cover” sebuah roman atau novel.
Selanjutnya tahap kesimpulan, berarti kritikus akan
memberikan konklusi. Bahwa segala unsur yang ada dalam
karya sastra yang dianalisis ditentukan polanya, aspek tematik-
nya, kecenderungan penggunaan sarana retorikanya, atau
unsur-unsur lain sesuai dengan tujuan analisisnya.
Tahap evaluasi atau pemberian “judgment.” Seorang kri-
tikus akan memberikan penilaian tentang kualitas karya sastra
yang ditelaah. Dasar-dasar penilaian yang diberikan akan sangat
ditentukan oleh pendekatan kritik yang digunakan, kriteria
penilaian yang digunakan, studi sastra yang lain yang terkait
(teori sastra, sejarah sastra, sastra perbandingan) bahkan falsafah
kritik sastra yang dianut dan diyakini kebenaran ilmiahnya
oleh kritikus.
BAHAN DISKUSI
1. Diskusikan strukturalisme sebagai sebuah gagasan, sebuah
filsafat, sebuah pendekatan, dan sebuah metode dalam kri-
tik sastra!
2. Diskusikan bagaimanakah pandangan psikologi Gestalt
serta hubungannya dengan metode kritik Ganzheit!
3. Tidak ada metode kritik yang paling baik, sebaliknya juga
tidak ada metode kritik yang paling buruk. Setujukah Anda
dengan pendapat ini, tunjukkanlah bukti dan argumentasi
Anda!
4. Susunlah peta konsep Metode Kritik Realisme Sosialis
secara utuh dan lengkap!
5. Susunlah peta konsep Metode Kritik Ganzheit secara utuh
dan lengkap!
6. Susunlah peta konsep Metode Kritik Pengudaran Naskah
secara utuh dan lengkap!
7. Susunlah peta konsep Metode Kritik Aluran Rawamangun
secara utuh dan lengkap!
BAB 4
Epistemologi Kritik Sastra
101
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
102 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 5
BAB 5
Model Kritik Sastra
103
Pengertian struktur pada pokoknya adalah bahwa sebuah
karya sastra atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu
keseluruhan karena ada relasi timbal balik di antara bagian-
bagiannya dan antara bagian dengan keseluruhan. Hubungan
itu tidak hanya bersifat positif, seperti kemiripan dan kesela-
rasan, melainkan juga negatif, seperti pertentangan dan konflik.
Selain itu, ditandaskan bahwa suatu kesatuan struktural men-
cakup setiap bagian dan sebaliknya bahwa setiap bagian menun-
jukkan kepada keseluruhan ini dan bukan yang lain. Pengertian
tentang struktur ini menyebabkan kaum strukturalis memen-
tingkan relasi-relasi yang terdapat antara berbagai aliran yang
kita dapati dalam karya sastra.
Asumsi yang mendasari pendekatan struktural adalah
bahwa karya sastra (puisi) merupakan sebuah struktur. Karya
sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang
unsur-unsurnya membentuk hubungan timbal balik (Pradopo,
1993:118). Tynjanov (dalam van Luxemburg, 1986:204)
memandang karya sastra sebagai sebuah sistem dan menekan-
kan fungsi berbagai unsur dalam sistem itu.
Pendekatan objektif yang didasarkan pada pandangan
strukturalisme menekankan pada hakikat karya sastra sebagai
struktur (dunia) yang otonom. Karya sastra dipandang sebagai
keseluruhan yang bagian-bagiannya saling bertalian. Sebagai
struktur yang otonom, puisi dipandang memiliki unsur-unsur
struktural yang meliputi tipografi, persajakan, citraan, diksi,
majas, dan gaya bahasa.
Tipografi berkaitan dengan aspek tata muka puisi seperti
penghurufan dan penataan larik/baris dan bait. Persajakan
berkaitan dengan bunyi atau ikonisitas, irama, rima, larik, bait,
dan pemadatan pernyataan. Citraan meliputi citraan visual,
selera, bau, panas, tekanan, pendengaran, dan warna. Diksi
berkaitan dengan pilihan kata, frasa, dan idiom. Majaz berkaitan
dengan penggunaan bahasa kias (figures of tought) seperti meta-
fora, personifikasi, dan metonimi. Gaya bahasa berkaitan de-
BAB 5
Model Kritik Sastra
105
B. TEKNIK ANALISIS
Analisis atau kajian dilakukan dengan teknik membaca
kritis dan membaca kreatif. Teknik tersebut diwujudkan dengan
membaca secara kritis-evaluatif puisi-puisi sampai mencapai
titik jenuh sehingga diperoleh pemahaman dan pemerian arti
yang mendalam. Secara operasional teknik itu diperinci dalam
prosedur berikut ini.
(1) Membaca puisi dengan intensif, sedikitnya 2 kali sampai
diperoleh pemahaman yang utuh terhadap keseluruhan
isi puisi.
(2) Mengidentifikasi, menandai, dan memberi kode kata, frasa,
atau larik-larik yang mengindikasikan muatan unsur dan
jenis diksi dengan (Dk) tertentu, majas dengan (Mj), citraan
dengan (Ct), dan sarana retorika dengan (SR).
(3) Menghubung-hubungkan unsur diksi, majas, citraan, dan
gaya bahasa yang sudah teridentifikasi untuk menemukan
hubungan antarunsur tersebut.
C. ANALISIS
1) Analisis Aspek Bunyi
Bunyi-bunyi dalam puisi dapat dipilah atas bunyi vokal
dan bunyi konsonan serta bunyi suprasegmental. Pembahasan
masalah pada butir ini dipaparkan dengan memanfaatkan puisi
“Muhammad” karya D. Zawawi Imron.
Muhammad ia
yang menunjukkan aneka keindahan sejati
hingga aku bisu di warna rindu
Kefasihanku
hanya bergema di hati
selalu
1966
BAB 5
Model Kritik Sastra
107
Ya, Muhammadlah itu
Dunia yang sangat mesra
berayun
pada ujung lidahnya
segala umpat segala khianat
hanya menggeliat dan tersungkur
di hadapannya
Muhammad ia
yang menunjukkan aneka keindahan sejati
hingga aku bisu di warna rindu
BAB 5
Model Kritik Sastra
109
Dalam kaitannya dengan bunyi suprasegmental, penan-
danya dalam puisi dapat dinyatakan melalui cara penulisan.
Penulisan huruf pada awal larik/bait dengan huruf besar, se-
mentara huruf awal pada larik/bait berikutnya juga menggu-
nakan huruf besar, dapat digunakan sebagai penanda jeda
yang diberikan pada hubungan antarlarik tersebut. Begitu
juga pemberian tanda koma, tanda titik, maupun pemberian
tanda hubung.
Unsur suprasegmental lain yang perlu diperhatikan ada-
lah penyendian. Manipulasi penyendian dan kemudian meng-
hilangkan salah satu suku katanya atau menggabungkan penu-
lisan kata-kata yang berbeda ke dalam satu kesatuan hingga
kata tersebut seakan tampil sebagai suku kata tampak misalnya
pada puisi berjudul “Sepisaupi”, karya Sutardji Calzoum Bachri.
Hal itu dapat dikaji lewat kutipan bait kedua puisi tersebut
sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang sepi
Desaku
Di jembatan ini kudengar bisik sejarah
Aku tak tahu, siang ini manakah yang lebih berkobar
mataharikah atau darahku
yang menderaskan makna air sungai
sebelum tiba di gerbang muara?
BAB 5
Model Kritik Sastra
111
Selamat datang, tamu dari kota!
Jangan terkejut menjabat tanganku kasar
lantaran setiap hari mengolah zaman
Nanti sore kuantar engkau ke kebun
Nikmatilah buah-buahan yang ranum bersama mimpiku
BAB 5
Model Kritik Sastra
113
larik kedua puluh. Dari 25 larik, 10 larik berisikan ungkapan
majazi.
Penciptaan citraan dimulai bait pertama, citraan taktil
dari “matahari yang berkobar” dan citraan dinamik dari “su-
ngai yang menderas”; bait ketiga citraan visual dari larik-
larik,
BAB 5
Model Kritik Sastra
115
Penggunaan ungkapan majasi tersebut membentuk se-
jumlah citraan taktil dan citraan auditif. Paparan selengkapnya
hubungan diksi-majaz-citraan dalam puisi “Bulan Tertusuk
Lalang” dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut.
Kalau matahari
nanti tak terbit lagi di Tinambung
Meski tenunanku belum selesai
Kucari mayatmu ke gunung ombak
Di sana sajadah kuhampar
Sebagai bukti: dalam diri ada Mandar
1994
BAB 5
Model Kritik Sastra
117
Citraan yang terbentuk dari ungkapan majasi tersebut
meliputi citraan dinamik, auditif, visual, dan citraan taktil.
Paparan selengkapnya hubungan citraan, diksi, dan majas puisi
“Nyanyian Gadis Mandar” dapat dilihat pada tabel 5.4 di atas.
D. PENILAIAN
Berdasarkan hasil analisis dinilai bahwa Zawawi secara
berimbang memanfaatkan segala potensi alam yang meling-
kunginya untuk menciptakan majas. Hal itu dapat dipahami
jika dikaitkan dengan tempat tinggalnya. Zawawi adalah pe-
nyair yang tetap memilih desa sebagai tempat tinggalnya.
Tepatnya dia tinggal di Desa Jambangan Kecamatan Batang-
batang, sebuah desa terpencil, dua puluh kilometer dari Su-
menep yang terletak di ujung timur Pulau Madura. Daerah
ini terkenal tandus, kering, dan penuh dengan tanah perbu-
kitan berbatu. Lautnya terkenal ganas. Pohon yang banyak
tumbuh adalah pohon siwalan. Pada musim kemarau air sangat
sulit didapatkan.1)
Secara keseluruhan terungkap bahwa penggunaan kata
memberi kontribusi pada terciptanya majas dan penggunaan
majas dalam puisi-puisi D. Zawawi Imron selalu berpengaruh
terhadap citraan. Hal ini menunjukkan terjalinnya hubungan
antarunsur (unsur diksi, majas, gaya bahasa, dan citraan) dalam
puisi. Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan majas
yang dominan adalah metafora, disusul personifikasi dan si-
mile. Dari penggunaan ketiga jenis majas tersebut terbentuk
imajinasi Zamawi, yakni citraan taktil, visual, dinamik, dan
auditif.
Dari hasil analisis terungkap kecenderungan pengguna-
an majas metafora daripada majas personifikasi. Lebih domi-
nan dan kecenderungan penggunaan majas metafora dinilai
sebagai bentuk tingkat kematangan penyair dalam menuang-
kan gagasannya dengan menggunakan bahasa plastis. Dalam
proses awal pembentukan majas yang bercirikan adanya
diksi
citraan
BAB 5
Model Kritik Sastra
119
Dalam gambar tersebut terungkap bahwa diksi sebagai
unsur awal berkontribusi terhadap penciptaan majas dan gaya
bahasa. Dan kedua unsur terakhir turut menyumbang dalam
terciptanya citraan.
Berdasarkan paparan hasil analisis dinilai bahwa karak-
teristik struktural puisi-puisi karya D. Zawawi Imron ditandai
dengan (1) diksi yang digunakan meliputi kata-kata konkret
dan konotatif, (2) majas yang terbentuk diksi tersebut yang
terbanyak adalah metafora, diikuti personifikasi, dan sedikit
simile, (3) gaya bahasa yang digunakan adalah gaya deskriptif,
parafrastis, paradoks, simbolik, klimaks, dan ironi, (4) citra-
an yang terbentuk dari penggunaan majaz dan gaya bahasa
adalah citraan taktil, visual, dinamik, dan auditif. Dinilai bah-
wa diksi sebagai unsur awal berkontribusi terhadap pencip-
taan majas dan gaya bahasa. Dan kedua unsur terakhir turut
menyumbang dalam terciptanya citraan.
BAB 5
Model Kritik Sastra
121
paian signifikansi, yaitu pada saluran komunikasi yang de-
ngannya pesan dapat tersampaikan.
Berikut ini dipaparkan jenis hubungan antara tanda dan
represen-tasinya menurut Pierce.
(1) Ikon adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang serupa dengan bentuk objeknya (terlihat pada
gambar atau lukisan)
(2) Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang mengisyaratkan petandanya;
(3) Simbol adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang oleh kaidah secara konvensional telah lazim
digunakan dalam masyarakat.
K
1. 2. M
E Penanda Petanda i
B
A T
H 3. Tanda I
A
S I. PENANDA II. PETANDA? s
A
A
N
III. TANDA
BAB 5
Model Kritik Sastra
123
nanya. Pada skema di atas, arti denotatif—arti yang menunjuk
pada arti kamus atau leksikal—mencakup: Penanda, Petanda,
dan Tanda. Wilayah denotatif menjadi tataran kebahasaan
karena bermakna lugas, objektif, dan apa adanya, yaitu seba-
gai model primer bahasa. Tanda dalam tataran kebahasaan
itu berubah menjadi PENANDA pada tataran mitis sehingga
PETANDA harus ditemukan sendiri oleh penafsir agar penan-
da itu dapat penuh acuan maknanya. Dengan ditemukannya
PETANDA oleh penafsir, maka jadi penuhlah TANDA sebagai
makna tataran mitis.
Secara sederhana diberikan contoh dalam susunan
kalimat-kalimat berikut.
(1) Pagi hari matahari terbit dari ufuk timur.
(2) Petang hari matahari terbenam di ufuk barat.
(3) Pagiku hilang sudah melayang.
(4) Aku lalai di hari pagi.
(5) Atur barisan di hari pagi.
(6) Sekarang petang datang membayang.
BAB 5
Model Kritik Sastra
125
objek konkret maupun suatu abstraksi. Hubungan itu harus
merupakan hubungan kemiripan karena tanda dan yang
mungkin menjadi acuannya itu memiliki sesuatu yang sama.
Bila antara tanda dan acuannya tidak memiliki kemiripan apa
pun, maka tidak dapat terjadi hubungan yang representatif.
Sekalipun demikian patut dicatat bahwa ikon yang murni tidak
pernah ada. Ikonisitas selalu tercakup dalam indeksitas dan/
atau dalam simbolitas. Apabila orang mengatakan bahwa tanda
itu suatu ikon, maka perlu dipahami bahwa tanda itu mengan-
dung penonjolan ikon; suatu tanda yang apabila dibandingkan
dengan tanda-tanda lain yang muncul dalam konteks, menun-
jukkan banyaknya ciri ikon.
Sekalipun demikian tidak berarti bahwa ikon merupakan
tanda yang paling penting. Sukar untuk menentukan tanda
yang mana yang paling penting. Simbol misalnya, merupakan
tanda yang paling canggih karena tanda ini terutama berfungsi
dalam penalaran dan pemikiran. Indeks terutama merupakan
tanda yang memiliki jangkauan yang paling eksistensial. Ikon
adalah tanda yang memiliki kekuatan Penggunaan “perayu”
yang melebihi tanda yang lain. Itulah sebabnya, para ahli teori
sastra tertuju pada hal ini—teks-teks sastra dan teks persuasif
yang menggunakan cara-cara sastra kaya dengan tanda-tanda
ikon.
Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa simbolisitas tidak
memegang peranan penting dalam teks-teks sastra. Sebaliknya,
soal-soal yang berkaitan dengan struktur argumentatif suatu
teks sastra perlu diteliti secara mendalam. Demikian pula
dengan masalah indeksitas suatu teks yang mengarah pada
masalah lain, seperti masalah fiksi dan nonfiksi, antara realita
fiktif dan realita sejarah. Dalam kajian seperti ini, konsep
Pierce sangat berguna. Untuk menunjukkan bagaimana semio-
tika Pierce dapat memberikan sumbangannya pada kajian ten-
tang sifat puitis dan efisiensi suatu teks sastra, maka pertama-
tama yang perlu dilakukan adalah menunjukkan kemung-
kinan-kemungkinan penerapan konsep ikonisitas.
BAB 5
Model Kritik Sastra
127
dalam deskripsi itu digunakan istilah-istilah yang termasuk
wilayah makna spesialistis, disimpulkan adanya ikon topo-
grafis. Apabila termasuk wilayah makna relasional, yang ter-
dapat ikon diagramatik. Jika deskripsi yang dibuat untuk me-
nunjukkan adanya ikon mengharuskan dipakainya metafora
sebagai istilah (jika secara metafora dikatakan bahwa ada
“metafora”), maka yang terdapat ikon metafora. Untuk me-
mahami hal itu, kita lihat saja contoh-contoh yang telah dibe-
rikan di muka.
Mengapa kita tidak mengandalkan “kepekaan ikonis”
pembaca atau peneliti saja? Percayalah bahwa ikonisitas itu
muncul setiap kali pembaca menyadari bahwa suatu gejala
semiotik non-konvesional terlihat (jika, paling tidak, bukan
ikon yang telah melembaga). Pengaturan tipografis tanda-tanda
kebahasaan dalam puisi “konkret” Apollinaire merupakan
contoh yang tidak diragukan lagi tentang hal itu: secara gam-
blang ia merupakan tanda ikonis.
Sehubungan dengan hal itu dibuat perbandingan de-
ngan cara menemukan metafora dalam arti yang sebenarnya.
Kita membuat interpretasi tentang adanya gejala metafora
pada sebuah kata setelah mengamati bahwa ada pelanggaran
terhadap aturan pembatasan pilihan kata. Dalam kaidah kali-
mat yang dimulai dengan “Orang ini adalah …”, kaidah tata
bahasa mengharuskan kita menambahkan sebuah predikat
nominal yang memiliki komponen makna “manusiawi” (pem-
berani, pahlawan, dsb.). jika kita taruh di situ predikat yang
memiliki komponen makna “binatang” (misalnya “Orang itu
adalah seekor singa”), terjadi pelanggaran terhadap aturan
pembatasan pilihan kata. Maka tergugahlah “kepekaan meta-
foris” para pembaca: ia sadar bahwa ia berhadapan dengan
suatu majas, dalam hal ini suatu metafora. Ia tahu bahwa
kata “singa” dapat diinterpretasikan secara metaforis karena
ia tahu bahwa dalam bahasanya berfungsi berbagai metafora.
Penemuan tanda-tanda ikonis pun dilakukan dengan cara yang
BAB 5
Model Kritik Sastra
129
B. TEKNIK ANALISIS
Analisis ini dilakukan dengan teknik membaca kritis
dan kreatif. Teknik tersebut diwujudkan dengan membaca
secara kritis-evaluatif puisi-puisi sampai mencapai titik jenuh
sehingga diperoleh pemahaman dan pemerian arti yang men-
dalam. Secara operasional teknik itu dirinci dalam prosedur
sebagai berikut.
(1) Mengidentifikasi, menandai, dan memberi kode kata,
frasa, atau larik-larik yang mengindikasikan muatan
unsur ikon, indeks, simbol, dan kategori simbolik yang
meliputi persona, deiksis, unsur sintaksis, aspek semantis,
dan unit-unit tematis.
(2) Memaknai unsur-unsur pada kategori simbolik yang
sudah teridentifikasi sehingga diperoleh karakteristik
semiotik yang meliputi: ikon, indeks, dan simbol pada
setiap puisi.
C. ANALISIS
1) Analisis Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Puisi “Muham-
mad”
Pertanyaan yang muncul setelah membaca judul
“Muhammad” adalah, siapa Muhammad? Bagaimana ciri-
cirinya? Judul “Muhammad” dalam puisi tersebut merupakan
indeks bagi isi teks puisi. Ciri-ciri Muhammad terdes-
kripsikan dalam teks puisi. Ia memiliki tatapan yang lembut
tetapi menggetarkan,
BAB 5
Model Kritik Sastra
131
Kefasihanku
hanya bergema di hati
selalu
Semerbak Mayang
saat kau datang dalam hatiku
bumi berbisik selembut lagu
- di pangkuanku sejalur jalan
ke puncak gunung biru
restuku semerbak mayang
bila engkau dan dia
mau datang ke sana
kucinta engkau
gadis manis sedap garam
lantaran engkau
kasur busa yang lembut lunak
tempat jiwaku tertidur nyenyak
engkau tanah yang paling baik buat kubajak
tempatku menanam benih-benih anak
- aduhai, aduhai!
restuku semerbak mayang
bermimpilah!
tentang anakku tentang anakmu
anak kita berdua
ketika kau pangku dia
aku menciumnya
aduhai!
bunyi salmong
gadis manis
lenting keroncong
mayang yang lebat
bulan rembang
nyiur melambai
bulan dua
kerdip matanya
BAB 5
Model Kritik Sastra
133
“Lewat berpuluh kemarau
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya merekah
seperti puisi mekar pada lembar bunga basah
BAB 5
Model Kritik Sastra
135
dipandang sebagai “ikon” bagi fakta empirik. Keseluruhan
kata/frasa dalam teks puisi merupakan tanda yang meng-
gambarkan pengalaman dialogis antara “aku” lirik dengan si
“nenek”.
Kata “kemboja” merupakan indeks bagi “kuburan”,
tetapi juga merupakan simbol “kematian”. Kemboja memberi
latar pada isi teks puisi yang berbicara tentang makna kematian
seseorang dan makna ziarah bagi kedua persona. Kedua per-
sona mencoba memaknai secara objektif kematian orang-or-
ang dekatnya. Tidak ada metaforik yang mengisyaratkan
“sanjungan” atau penggunaan sarana retorika hiperbola. Si
“nenek” hanya menuturkan dengan memberi kata keterangan
mati “di medan laga”.
D. PENILAIAN
Berdasarkan kategorisasi hubungan tanda dan petanda,
hubungan teks dan kenyataan, dinilai bahwa (1) sebagian
besar teks puisi merupakan indeks bagi kenyataan empirik,
(2) sebagian kecil teks puisi merupakan ikon bagi kenyataan
empirik, (3) tidak terdapat teks puisi yang menjadi simbol
bagi kenyataan empirik.
Pada hubungan tanda dan petanda, hubungan judul (tan-
da) dan isi teks (petanda) diperoleh temuan (1) judul sebagai
indeks bagi keseluruhan teks, dan (2) judul sebagai ikon bagi
sebagian isi teks (kata/frasa/larik). Hubungan simbolik hanya
ditemukan pada tanda yang berwujud kata/frasa yang digu-
nakan dalam ungkapan metaforik. Tanda yang dimaksud ada-
BAB 5
Model Kritik Sastra
137
lah kata “cahaya” (puisi 1), “mayang” (puisi 2), “mayang”
(puisi 3), “hijau” (puisi 10), “ujung pita”, “daun gugur”, “air
telaga” (puisi 11), “Puisi” (puisi 15), “sapi”, “pena”, “per-
tapa” (puisi 16), “pipit”, “garuda”, “camar” (puisi 17), “alif ”,
“pedang”, “susuk”, “kompas”, “belut”, “cagak”, “linggis”
(puisi 18), “celurit emas”, “taring langit” (puisi 19), “badik”
(puisi 20), “bunga”, “api”, “hijauan”, “melati” (puisi 23),
“kemboja”, “ngengat” (puisi 25).
Berdasarkan kategorisasi simbolik ditemukan 4 kategori
satuan tematis. Keempat kategori yang dimaksud adalah (1)
tema hubungan aku lirik dengan Sang Pencipta atau yang ter-
kait, (2) tema hubungan aku lirik dengan orang lain atau ling-
kungan sosialnya, (3) tema hubungan aku lirik dengan ling-
kungan alamnya, dan (4) tema hubungan aku lirik dengan
sejarah serta tradisi yang berkembang di masyarakat.
Dinilai bahwa tema puisi-puisi D Zawawai Imron
merupakan wujud pilihan persoalan yang akrab dengan atau
dihadapi oleh penyair selaku pribadi. Tema pertama menun-
jukkan usaha, keinginan atau wujud kedekatan Zawawi ter-
hadap Tuhan. Tema kedua menunjukkan kepedulian Zawawi
terhadap kehidupan sosialnya seperti dengan orang-orang ter-
dekat, masyarakat, atau bahkan orang-orang yang baru dike-
nalnya. Tema ketiga menunjukkan upaya Zawawi untuk me-
nikmati dan mensyukuri keindahan atau rahmat yang tersem-
bunyi di balik ketidaknyamanan keadaan alam tempat tinggal-
nya yang dirasakannya. Tema keempat menunjukkan tinggi-
nya apresiasi Zawawi terhadap tokoh sejarah, perjuangannya,
serta tradisi di lingkungan tokoh tersebut berasal.
Karakteristik semiotik puisi-puisi karya D. Zawawi
Imron yang dianalisis berdasarkan kategorisasi hubungan
tanda dan petanda, hubungan teks dan kenyataan, diperoleh
temuan: (1) sebagian besar teks merupakan indeks bagi ke-
nyataan empirik, (2) sebagian kecil teks puisi merupakan ikon
bagi kenyataan empirik, dan (3) tidak terdapat teks puisi yang
menjadi simbol bagi kenyataan empirik. Pada hubungan tanda
BAB 5
Model Kritik Sastra
139
dengan bentuk karya sastra yang akan dianalisis, yaitu novel
“Rafilus”.
“Rafilus” merupakan novel karya Budi Darma sesudah
“Olenka”. “Rafilus”, menurut pengakuan Budi Darma, meru-
pakan abstraksi realitas kehidupan. Abstraksi dalam “Rafilus”
merupakan abstraksi yang khas Budi Darma, abstraksi yang
menjungkirbalikkan kehidupan. Dalam dunia jungkir balik
“Rafilus” dapat ditemukan berbagai unsur kehidupan masya-
rakat. Pembaca akan menemukan kondisi kampung yang luar
biasa kumuh, lingkungan yang sungguh tidak layak huni, peng-
aturan lalu lintas yang benar-benar tidak teratur, dan kondisi-
kondisi lain. Selain unsur sosial, pembaca juga dapat menemu-
kan unsur-unsur yang berkaitan dengan unsur-unsur psikologi
karena “Rafilus” menampilkan tokoh-tokoh dengan kepri-
badian yang unik, dengan tindakan-tindakan yang mengejut-
kan. Yang menarik dari tokoh-tokoh ini adalah kekhasan fisik-
nya, terutama fisik tokoh utamanya, yaitu Rafilus. Secara
umum, mereka cukup jujur dalam berbuat dan dalam menya-
takan keinginan-keinginan mereka. Setiap tokoh memiliki
kompleksitas pengalaman batin. Melalui tulisan ini, unsur-
unsur psikologi di atas dicoba diangkat ke permukaan. Secara
rinci masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini: (1) bagaimana-
kah gejala kejiwaan yang diperlihatkan karakter tokoh-tokoh
dalam novel Rafilus, (2) bagaimanakah hubungan gejala keji-
waan tokoh yang teridentifikasi dengan teori kepribadian,
dan (3) bagaimanakah tipe kepribadian tokoh dalam pandang-
an teori kepribadian?
Wellek dan Warren (1989:90) memberikan empat ke-
mungkinan analisis psikologis terhadap karya sastra. Pertama,
analisis terhadap psikologi pengarang. Kedua, analisis terha-
dap psikologi penciptaan karya sastra (proses kreatif). Ketiga,
analisis terhadap tipe-tipe dan kaidah-kaidah psikologi dalam
karya sastra. Keempat, analisis terhadap efek karya sastra
kepada pembaca (1989:90). Dari keempat model analisis psi-
kologi di atas, analisis pertama dan ketiga yang sebenarnya
Teori Kepribadian
Teori psikologi yang akan dimanfaatkan dalam telaah
ini adalah teori kepribadian yang dirumuskan oleh Sigmund
Freud. Kepribadian menurut Freud adalah “an structural mo-
BAB 5
Model Kritik Sastra
141
del” yang terdiri dari tiga unsur: id, ego, dan super ego. Dalam
diri seseorang yang normal, ketiga unsur ini merupakan suatu
susunan yang bersatu dan harmonis. Dengan kerjasama yang
teratur, ketiga unsur itu memungkinkan seorang individu
untuk bergerak secara efisien dan memuaskan dalam ling-
kungannya. Gerak-gerik ini bertujuan untuk memenuhi ke-
perluan dan keinginan manusia yang pokok. Sebaliknya, kalau
ketiga unsur kepribadian ini bertentangan satu dengan yang
lain, maka orang yang bersangkutan dinamakan orang yang
tidak dapat menyesuaikan diri. Ia tidak puas dengan dirinya
sendiri dan dengan lingkungannya (S. Hall, 1980:29).
Dalam pembagian ini, daya sentral terletak pada id dan
super ego. Id adalah bagian kepribadian yang paling primitif
(the most primitive part of the personality) (D. Nye, 1989:7).
Id adalah dorongan paling purba yang belum dibentuk dan
dipengaruhi kebudayaan. Id adalah dorongan hewani atau
perangsang biologis, keinginan, kebutuhan, atau dorongan
fisiologis lainnya untuk bertindak. Kesemuanya merupakan
sebagian warisan genetis individu (Cuzzort, 1985:8). Id juga
diartikan sebagai sumber segala agresi dan segala hasrat. Id
menentang norma, bersifat asosial, dan amoral (Guerin, 1979:
125). Diperkirakan bahwa dalam batas-batas tertentu, semua
orang lahir dengan dorongan hewani yang relatif sama.
Satu-satunya fungsi id adalah mengusahakan tersalur-
kannya kumpulan energi atau ketegangan yang dicurahkan
dalam jasad oleh rangsangan-rangsangan baik dari dalam mau-
pun dari luar. Fungsi id ini menunaikan prinsip kehidupan
yang asli atau pertama yang dinamakan prinsip kesenangan
(pleasure principle). Tujuannya adalah memuaskan semua do-
rongan primitif (Sarlito, 1978:7).
Kebalikan dari id adalah superego. Unsur ini sepe-
nuhnya dibentuk oleh kebudayaan. Superego mewakili aspek
moral manusia (the superego represents the moral aspect of
human) (D. Nye, 1989:7). Seorang anak, pada masa kecilnya
lazimnya mendapat pendidikan dari orang tua atau gurunya.
BAB 5
Model Kritik Sastra
143
hatikan sensor moral dari superego. Seseorang yang memiliki
ego yang kuat akan dapat menciptakan kompromi yang pa-
ling baik dan paling realistis antara tuntutan-tuntutan id dan
superego yang saling bertentangan. Ego yang lemah tidak
dapat menjaga keseimbangan antara superego dan id. Me-
nyerah pada id saja sama saja dengan memperturutkan ting-
kah laku kekanak-kanakan dan ketidakdewasaan yang cende-
rung primitif atau hewani. Kalau ego terlalu dikuasai oleh
dorongan-dorongan id saja, maka seseorang akan menjadi
psikopat, tidak memperhatikan norma dalam segala tindakan-
nya. Sebaliknya, sepenuhnya berada dalam kekuasaan super-
ego sama saja dengan bertindak kaku dan represif. Kalau
orang terlalu dikuasai superegonya, maka individu akan men-
jadi psikoneurosis—tidak dapat menyalurkan sebagian do-
rongan primitifnya. Di tengah-tengah dua tuntunan yang saling
berlawanan inilah, ego berjuang untuk mencari keseimbangan
(Sarlito, 1978:179).
B. ANALISIS
Deskripsi Karakter Tokoh
Novel “Rafilus” berhubungan dengan kehidupan ma-
syarakat, maka mudah ditebak jika di dalamnya dijumpai ba-
nyak tokoh. Tidak semua tokoh akan dianalisis karakternya,
dipilih beberapa tokoh saja. Pemilihan tokoh dilakukan de-
ngan pertimbangan pada peran yang dibawakan tokoh terse-
but. Selain tokoh utama, yaitu Rafilus, dipilih juga tokoh-
tokoh yang erat kaitannya dengan tokoh utama. Mereka terli-
bat atau dilibatkan dengan persoalan dan peristiwa yang diha-
dapi tokoh utama. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah Tiwar,
Pawestri, dan Van der Klooning.
“Entah berapa lama mobil berhenti. Saya hanya ingat bahwa dia
menceritakan segala sesuatu dengan ringkas. Dia sanggup berkata
banyak dengan kata-kata yang sebenarnya tidak banyak.” 7
BAB 5
Model Kritik Sastra
145
kali, dilarang tidur, dan disuruh berdiri sepanjang malam mengha-
dap tembok. Siksaan demi siksaan telah banyak ditelannya tanpa
hak untuk mengaduh dan mengeluh.”8
“Tapi saya juga menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih hakiki
daripada anak, yaitu cinta kasih. Anak adalah sebuah akibat belaka.
Sementara itu saya tidak pernah mengenal cinta. Tidak pernah
saya mencintai, dan tidak pernah pula saya dicintai.” 15
“Keadaan tubuh saya memaksa saya untuk yakin bahwa saya tidak
akan mempunyai anak. Dan sering sudah saya membuktikannya.
… Saya benar-benar mandul. Seseorang yang tubuhnya kosong
hanya snggup menciptakan kekosongan.” 16
Tiwar
Tiwar adalah penutur cerita yang bodoh sekaligus
pintar. Kebodohannya terlihat pada ketidakmampuannya
menceritakan pengalaman atau cerita orang lain dengan kali-
mat langsung yang lazimnya berisi dialog hidup. Karena keti-
dakmampuannya ini, maka dia menceritakannya dengan gaya-
nya tersendiri, dengan kalimatnya sendiri. Tentu saja ini me-
merlukan kepintaran sendiri, yakni kepintaran mengolah
BAB 5
Model Kritik Sastra
147
cerita orang lain. Beberapa kali disebutkan Tiwar mengambil
alih penutur aslinya.
“Pada saat itu saya merasa bahwa saya sudah jantu cinta kepa-
danya. Andaikata ia perempuan lain dan wajahnya tidak mema-
lukan, pasti saya sudah jatuh cinta. Memang saya mudah jatuh
cinta. Entah sudah berapa perempuan yang saya cintai, saya tidak
ingat.”18
“…, saya berkata bahwa saya memang gagah, tegap, dan per-
kasa, tapi sebetulnya bobrok. Saya tidak mempunyai tulang sum-
sum, dan seluruh tulang belakang saya sebetulnya bobrok. Kemu-
dian saya mengeluarkan jaminan bahwa dia akan tetap perawan
sampai mati kalau dia benar-benar menjadi istri saya. Tapi saya
juga menjamin bahwa saya menginginkan anak dari dia. Apa pun
yang diperbuatnya setelah kawin dengan saya terserah, asal dia
sanggup mempersembahkan barang satu atau dua anak keharibaan
saya.” 19
Pawestri
Pawestri, dilihat dari namanya, mewakili sosok wanita
yang berperan sebagai istri. Pawestri adalah seorang wanita
muda yang tidak buruk. Dia berpikiran agak tradisional tetapi
memiliki keberanian wanita “modern”. Pikiran tradisionalnya
tampak pada kutipan berikut.
“Tetapi ketahuilah seperti yang sudah sering saya urai, cinta saya
sangat mudah meledak.” 21
“Saya sering jatuh cinta, tapi begitu saya dipinang, otak saya
maju. … Tapi begitu urusan kawin diajukan, saya tidak berbicara
dengan debar hati.” 22
BAB 5
Model Kritik Sastra
149
Akan tetapi setelah bertemu Tiwar, dia terpaksa mau
kawin karena dia sangat ingin punya anak.
“Saya juga harus mengaku terus terang, bahwa saya sering meng-
intip anak-anak kecil bermain-main. Ingin sekali rasanya menggen-
dongnya, menciumnya, dan meremas-remasnya.” 23
“Kulit mereka tidak putih, tapi hitam. Sementara itu rambut me-
reka tidak tidur, tidak pula tegak. Bahasa mereka bahasa Belanda,
dan nama mereka bukan pula nama Ambon, Menado atau Sunda.”31
BAB 5
Model Kritik Sastra
151
katanya, mereka sudah sama-sama tidak suka. Setelah kawin de-
ngan istri kedua, sadarlah dia, bahwa ternyata telah bunting entah
dengan siapa. Dengan kemarahan terpendam dia menceraikan-
nya.” 32
Sifat itu jelas tidak disukai orang. Selain itu dia mem-
punyai kekuatan tersembunyi untuk menyebabkan orang lain
tidak menyenangi dia. Dia sanggup mengirim seseorang ke
liang kubur hanya dengan satu gebrakan. Dugaan ini oleh
opas pos dibuktikannya dengan apa yang pernah dilihatnya.
c. PENILAIAN
Penilaian Psikologis Tokoh dengan Teori Kepribadian
Bertolak dari deskripsi karakter tokoh dalam novel
Rafilus yang dihubungkan dengan ketiga unsur kepribadian
dalam psikologi, ditafsirkan dan dinilai bahwa keempat
BAB 5
Model Kritik Sastra
153
tokoh dalam “Rafilus” dikuasai oleh dorongan-dorongan id.
Karena kuatnya dorongan id, ego mejadi kehilangan daya do-
rongnya. Ego tidak mampu membendungnya. Ego tidak mam-
pu menjalankan fungsinya sebagai penjaga keseimbangan, se-
bagai pengontrol, dan sebagai pengendali. Perilaku Rafilus,
Van der Klooning, dan Pawestri menunjukkan kuatnya do-
rongan id dan lemahnya fungsi ego. Rafilus dengan tanpa be-
ban moral melayani keinginan wanita-wanita yang mende-
katinya. Dia tidak merasa berkepentingan untuk mengetahui
status wanita-wanita tersebut. Dia tidak berpikir siapa diri-
nya, dan apa hubungannya dengan wanita-wanita tersebut.
Keputusannya untuk tinggal di daerah terpencil yang tidak
layak huni menegaskan bahwa dia tidak peduli dengan masya-
rakat sekitarnya.
Van der Klooning dengan seenaknya memperlakukan
istri-istri dan gundiknya dengan naluri kebinatangannya yang
primitif. Dalam memperlakukan opas pos dia juga bertindak
hanya dengan menuruti naluri agresinya. Kuatnya dorongan
id inilah yang menyebabkan semua orang menghindari dan
menajuhinya termasuk istri-istrinya.
Pawestri dengan berani mengungkapkan hasrat primi-
tifnya dan tidak segan-segan mewujudkannya dalam bentuk
perilaku dengan Tiwar dan laki-laki yang dijumpainya dalam
kamar-kamar gelap, bahkan dia juga ingin mewujudkannya
dengan Rafilus.
Yang bisa dikecualikan sedikit adalah Tiwaar. Dia juga
memiliki dorongan id. Dengan status bujangnya dia mewujud-
kannya dengan Pawestri, namun gagal. Dalam hal ini dia lebih
banyak bersikap menerima. Kegagalan ini bukan karena ego-
nya yang kuat, namun karena keadaan fisiknya. Seandainya
dia normal, barangkali dia juga akan melakukan hal yang sama
yang dilakukan tokoh-tokoh lainnya.
Hal lain yang menyebabkan kuatnya dorongan id di
atas adalah obsesi tokoh tentang anak. Obsesi ini dialami
oleh keempat tokoh, kecuali Van der Klooning. Ketiganya
BAB 5
Model Kritik Sastra
155
masyarakat. Hal ini pada akhirnya bermuara pada upaya
mengasingkan dan mengesampingkan norma-norma.
BAB 5
Model Kritik Sastra
157
“Kenapa?” tanya Suwarto ikut-ikutan kaget.
Marwan tidak menjawab. Matanya menyipit mengamati
kegiatan semut-semut itu. Itu tandanya ia sedang asyik dalam
dunianya sendiri. Suwarto menggigit bibirnya. Ia kesal. Tapi
tak berani mengganggu keasyikan Marwan. Lima belas menit
lagi, seharusnya ia berada di kamar gelap untuk menyelesaikan
beberapa potretnya yang akan dimuat untuk majalahnya nomor
depan. Akhirnya sambil berdehem, ia pura-pura menengok
arlojinya. Tak lupa ia mengerit-ngerit kaki kursinya. Ia tahu,
Marwan benci suara keritan kursi. Usahanya berhasil. Marwan
meliriknya dengan geram.
“Datang saja ke rumahku nanti malam. Sekarang pergilah,
kerjakan potretmu,” tukasnya pendek melihat kegelisahan Su-
warto.
“Tetapi, jika …..”
Marwan tidak mendengarkan jawaban Suwarto. Mata-
nya kembali terpancing oleh kegiatan semut-semut itu.
Marwan tak menggerakkan pantatnya ketika ia mendengar
dering bel pintu. Dinyalakannya rokoknya dan ketika bel ber-
dering lagi ia berteriak menyuruh orang itu masuk.
Suwarto membuka pintu depan perlahan. Yang pertama
kali ia cium adalah bau insektisida, semacam karbol yang
memenuhi ruangan. Mendadak saja perutnya terasa mual. Apa-
apaan ini, pikirnya sengit, apa dituangnya satu kaleng karbol
untuk seluruh ruang tamu ini?
“Masuklah, Suwarto!” teriak Marwan dari dalam.
Suwarto melangkah masuk ke ruang tengah. Marwan me-
ngerutkan keningnya melihat wajah Suwarto yang tidak beres.
“Ada apa?”
“Apa ada tikus mati?”
“Ha?”
“Itu … berapa kaleng karbol kau tumpahkan di ruang
muka?
Gila … boleh kubuka jendela?” Suwarto tidak menunggu
jawaban Marwan. Ia membuka kedua bilah jendela di samping
meja tulis tempat Marwan duduk. Marwan tidak bereaksi apa-
apa. Tetap asyik dengan rokoknya.
BAB 5
Model Kritik Sastra
159
“Kebunmu bagus sekali,” katanya melihat ke luar jendela.
“Kau yang atur sendiri?”
“Ya. Mau lihat-lihat?”
Suwarto mengangguk dengan antusias. Antusias karena
topik itu akan ditendangnya untuk sementara. Paling tidak
untuk sejam yang berharga.
Marwan mematikan rokoknya. Mereka mulai berjalan
perlahan menuju kebun belakang. Sangat rapi. Suwarto menyu-
kai tumbuhan kakerlak dan tanaman tanduk rusa yang
memenuhi tembok belakang. Di pojok-pojok terlihat beberapa
macam kembang sepatu yang segar. Sudah tentu Marwan
adalah seorang pecinta tanaman. Kalau tidak, bagaimana
kebunnya bisa serapi itu?
“Supaya engkau terhindar dari polusi,” katanya lirih.
Suwarto kembali berdebar-debar. Kenapa ia tidak bisa melu-
pakan topik pembicaraan itu barang sedetik saja, keluhnya
dalam hati.
“Yang di belakang itu kamar siapa?” tanyanya asal saja.
“Kamar pembantu dan dapur. Kamar kerjaku di pavilyun.
Mau masuk?”
Mereka berjalan melalui kebun dan memasuki sebuah
paviliun kecil yang terbuat dari bambu. Barang-barang di
dalamnya terbuat dari rotan. Beberapa lukisan batik terpancang
di dinding. Artistik sekali. Suwarto sangat menyukai suasana
yang tercipta di dalam ruang kerja Marwan. Sebuah lemari
besar satu-satunya benda yang tidak terbuat dari rotan ter-
bentang menutupi seluruh tembok kiri ruang itu. Hanya dalam
sekelebat, Suwarto sudah dapat menduga bahwa hampir semua
buku itu adalah buku-buku politik dan ilmu filsafat. Mungkin
juga beberapa buku sastra.
Tiba-tiba matanya tertancap pada sebuah buku yang bu-
kan main tebalnya bersampul merah jambu yang tergeletak di
atas meja Marwan. Dihampirinya meja kerja itu, disentuhnya
buku itu perlahan-lahan. Pada wajah buku itu tak tertulis apa-
apa. Polos dan merah. Dibukanya halaman pertama buku terse-
but. Ia mengerutkan keningnya. Kosong. Halaman berikutnya
kosong. Dan halaman-halaman berikutnya … putih bersih,
dan polos.
BAB 5
Model Kritik Sastra
161
Suwarto memandang Marwan dengan mata terbelalak,
“Wan … sudahkah kau pikirkan masak-masak?”
Marwan tersenyum dan mengangguk. “Jangan takut. Ka-
lian akan kujamin supaya terbebas dari urusan ini. Majalah
kita tidak akan dibredel.”
“Ah …”
“Kau tidak percaya padaku?”
Suwarto diam, tapi matanya mengatakan begitu.
“Laporan terakhir dari serial ini akan aku buat sendiri.
Mengerti? Katakan pada tim reporter, jika terjadi pengusutan,
itu semua bukan tanggung jawab mereka. Apa kalian lupa
kedudukanku di majalah ini?”
“Kami menyadari akan hal itu, Marwan. Tapi pengusutan
itu akan melibatkan semua yang ikut menyusun berita ini.”
“Mereka termasuk kau, hanya akan menjadi saksi. Aku
akan menjadi penanggung jawab. Kalau pemuatan berita-beri-
ta ini dianggap suatu tindakan subversif, akulah yang akan
dihukum.”
“Tapi itu tidak adil,” kata Suwarto dengan suara serak
seperti ingin menangis. Rasa haru menyelimuti hati Marwan.
Suwarto adalah wartawannya yang paling setia. Sejak majalah
berita itu berdiri dan beroplah sangat rendah, ia sudah ikut
dengannya. Kini majalahnya sudah menjadi pegangan segala
lapisan masyarakat. Suwarto sendiri, secara praktik, sudah
dianggap sebagai wakilnya. Marwan sudah memperhitungkan
kalau saja, dia sudah dinonaktifkan, maka…..
“Tidak dapatkah kau memikirkannya lebih matang lagi?”
Suwarto memotong lamunan Marwan.
“Kau telah mengenalku cukup baik, Suwarto. Aku selalu
berpikir sematang mungkin sebelum memutuskan sesuatu.”
“Ya, ya…”
“Jadi…” Marwan melirik dengan senyum ramah.
Hati Suwarto tertusuk-tusuk melihat senyum itu. Kenapa
masih ada orang yang idealismenya begitu jauh di atas awan.
Pikirnya pahit.
“Kau setuju akan keinginkanku?”
“Aku sangka …kau tak memerlukan persetujuanku lagi,”
sindir Suwarto tak tertahan.
BAB 5
Model Kritik Sastra
163
lembek, datar dan berbau priyayi macam koran-koran kapitalis
itu? Bah!”
Diambilnya mesin tik dalam selembar kertas polos putih
jari-jemarinya mulai asyik menari di atas mesin tik tersebut.
Suwarto sesenggukan dan berlutut. Tak percaya apa yang
baru saja dilihatnya. Marwan tetap memandang lurus pada
berita yang ditulisnya. Bunyi mesin yang teratur itu mengisi
kesunyian malam.
Pukul sebelas pagi Suwarto tengah mengenakan kaus kaki-
nya ketika telepon berdering. Suara Mimi, sekretaris Marwan
terengah-engah.
“Pak Marwan dipanggil, Pak. Bersama beberapa war-
tawan yang lain. Kami harus menghentikan kegiatan kami hari
ini. Cepatlah datang.”
Sambil menenteng sepatunya dan masih memakai sebelah
kaus kaki ia melarikan vespanya dengan kecepatan tinggi me-
nuju kantor. Ia menyumpah-nyumpah karena tertidur begitu
lama. Lama, pikirnya sinis. Ia sebenarnya cuma tidur sejak
subuh hingga pukul setengah sembilan. Pukul tiga pagi Marwan
baru saja menyelesaikan berita itu dan ia harus mengantarkan
ke percetakan pagi itu juga. Beberapa wartawan memandang
Suwarto dengan muka tidak percaya. Jadi berita itu akan di-
muat juga. Jadi … Suwarto tidak berhasil dengan misinya.
Jadi … majalah ini akan dibredel … jadi mereka tidak akan
makan bulan depan …? Suwarto tidak memedulikan wajah-
wajah para wartawan yang seakan-akan menyalahkan dirinya
yang gagal untuk menghalangi Marwan. Satu-satunya tekad
ialah untuk menjalankan apa kata Marwan. Itu saja. Ia menye-
rah.
Bulu tangan Suwarto merinding ketika memarkir Vespa-
nya di muka kantornya.
Di dalam semua mata memandangnya seketika. Beberapa
sekretaris terduduk lesu dan tak seorang wartawan pun terlihat.
“Di mana yang lain, Ton?” tanyanya pada pemuda yang
bekerja di bagian layout.
“Semua sudah dipanggil, Pak. Untuk diinterogasi …”
Ia menelan ludah, “Mereka menunggu Bapak, setengah jam
yang lalu.” Ia melirik takut dan berbisik, “Saya kira, mereka
BAB 5
Model Kritik Sastra
165
“Ini uang belanja untuk bulan ini. Saya rasa Marwan telah
memberitahukan padamu apa yang harus kau lakukan bukan?”
Bik Mah mengangguk lemah. Air matanya turun satu per
satu.
“Nah, belikan makanan untukku sebulan. Bulan depan
akan kuberi lagi. Kalau ada apa-apa, telepon saya. Nomor
ada di buku tebal itu. Kau dapat membaca, ‘kan?”
Bik Mah mengangguk lagi.
“Jangan lupa, beli keperluan-keperluan rumah ini seperti
biasa. Dan yang penting bersihkan seperti biasa. Sebersih-
bersihnya …”
“Kapan…Tuan Marwan …?”
“Tidak tahu, Bik.”
Suwarto melangkahkan kakinya, tetapi tiba-tiba saja ia
teringat sesuatu, “Bik …anu…belum dipel, ya?”
“Hari ini, belum Tuan. Baru saya mau pel habis menya-
pu.”
“Ngng …karbolnya kaukurangi sedikit saja.”
“Ha ?” Bik Mah Melongo.
“Saya cuma meneruskan perintah,” kata Suwarto sambil
berjalan menuju kamar kerja Marwan.
Kamar itu kini sudah bersih. Tidak seperti beberapa ming-
gu yang lalu, ketika Marwan mengetik berita keramat itu,
sementara Suwarto merasakan betapa pengapnya ruangan ter-
sebut. Adegan itu masih jelas terbayang di mata Suwarto. Buku-
buku Marwan yang berderet dibersihkan satu per satu. Ka-
sihan, pikir Suwarto … buku-buku itu akan menjadi dingin
dan kusam karena tak tersentuh. Yah, buku-buku itu tidak
akan tersentuh oleh jari-jari yang empunya selama enam tahun.
Enam tahun tentunya waktu yang cukup lama untuk dapat
mengubah ideologi seorang Marwan. Tentunya empat tembok
tak bernyawa itu akan menurunkan kaki-kaki Marwan ke tang-
ga idealisme yang lebih rendah.
Mata Suwarto terpacak pada buku tebal bersampul merah
di atas meja kerja Marwan. Ia masih tetap dingin dan angkuh.
Tidak ingin tersentuh. Suwarto tersenyum, tapi aku akan me-
nyentuhnya sekarang. Ia mengambil bolpoin hitam Marwan.
Dibukanya buku itu dengan tangan gemetar. Digoretkannya
LATIHAN
1. Temukan gejala kejiwaan tokoh yang tergambar dalam
perilaku, pernyataan, dan kebiasaan dalam unit-unit teks-
tual cerpen “Sebuah Buku Merah dan Karbol” tersebut!
2. Temukan unsur psikologis tokoh, misalnya kecemasan,
ketakutan, harapan dalam cerpen Sebuah Buku Merah dan
Karbol tersebut!
3. Temukan teori psikologi yang relevan dengan gejala keji-
waaan tokoh yang teridentifikasi dalam cerpen tersebut!
BAB 5
Model Kritik Sastra
167
Sebagai potret sosial dan potret zaman, sastra menam-
pilkan substansi gagasannya dengan medium bahasa yang khas
sastra, bahasa stilistika. Kekhasan bahasa tersebut pada karya
prosa (novel atau cerpen) mewujud dalam bentuk unsur-un-
sur fiksional, yaitu: latar (setting), penokohan, perwatakan,
sudut pandang (point of view), alur, serta tema cerita. Oleh
karenanya untuk menemukan kehidupan sosial dalam sastra
diperlukan analisis terhadap unsur-unsur fiksional tersebut.
Selanjutnya pemahaman terhadap unsur-unsur fiksional akan
mengantarkan pada penafsiran dan penemuan pola-pola kehi-
dupan sosial yang terpapar lewat unsur-unsur fiksional
(Aminuddin, 1987).
Agar penemuan pola-pola kehidupan sosial dapat men-
dekati kehidupan sosial yang “sebenarnya”, diperlukan pema-
haman terhadap kehidupan sosial yang melatari terciptanya
karya sastra. Pemahaman terhadap latar sosial ini dapat diper-
kuat dengan memahami cara pengarang memahami kehidupan
sosial dan pandangannya terhadap kehidupan sosial.
Analisis “Unsur-unsur Sosiologis dalam Cerpen-cerpen
Leila S. Chudlori” ini bertujuan mengungkapkan kenyataan
sosial dengan beritik tolak dari pandangan teoretis di atas.
Selain merupakan analisis aplikatif dari teori sosiologi sastra,
kajian ini dimaksudkan untuk menemukan pola-pola kehi-
dupan sosial yang khas yang teridentifikasi pada saat analisis
terhadap cerpen-cerpen Leila yang dilakukan.
Selain pertimbangan di atas, kajian ini dilakukan meng-
ingat sedikit atau kurangnya kajian kualitatif terhadap karya
sastra terutama yang mengungkapkan aspek sosial karya sas-
tra. Kajian sejenis yang pernah dilakukan di antaranya adalah
kajian sosiopsikologis terhadap novel “Rafilus” yang dilaku-
kan Wahyudi Siswanto (1991). Dengan demikian, kajian ini
perlu dilakukan.
Analisis ini difokuskan pada masalah interaksi manusia
(tokoh dalam cerpen) dan proses perilaku manusia dalam
organisasi dan sistem sosio-budaya. Fokus kajian ini terletak
Sosiologi Sastra
Dalam pendekatan sosiologis diasumsikan bahwa karya
sastra merupakan dokumen sosio-budaya yang mencermin-
kan zaman. Sebagai dokumen sosio-budaya di dalam karya
sastra tersimpan unsur-unsur kehidupan sosial. Salah satu
karya yang sarat dengan unsur-unsur sosiologis adalah cerpen-
cerpen Leila S. Chudlori.
Objek analisis sosiologis salah satunya berupa lembaga-
lembaga sosial dalam hubungan dengan segi-segi kehidupan
beserta perubahannya. Salah satu lembaga sosial adalah sas-
tra. Seperti yang dikemukakan Semi (1984:52), sastra adalah
lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium-
nya. Sastra merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gam-
baran kehidupan. Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi sas-
tra itu memperjuangkan masalah yang sama. Kedua-duanya
berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Perbedaan yang ada di antara keduanya adalah bahwa
sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan
sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial
BAB 5
Model Kritik Sastra
169
yang menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan perasaannya. Adanya analisis sosial yang objektif ini
menyebabkan bahwa seandainya ada dua orang sosiolog yang
mengadakan kajian atas satu masyarakat yang sama, hasil kajian
itu kemungkinan menunjukkan persamaan juga. Sedangkan
jika ada dua orang penulis menulis tentang suatu masyarakat
yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara ma-
nusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu ber-
beda-beda menurut pandangan orang seorang (Damono,
1984:7).
Usaha untuk mengatasi hal itu adalah dengan meng-
integrasikan disiplin ilmu pengetahuan lain dalam kajian sas-
tra, sosiologi misalnya. Damono menyatakan (1984:8), sosio-
logi dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang
sastra dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi
pemahaman kita tentang sastra belumlah lengkap.
Pendekatan sosiologis yang paling banyak dilakukan saat
ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter
sastra. Landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan
cermin langsung dari pelbagai struktur sosial, hubungan ke-
luarga, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas
sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-
tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaan
sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya yang
ada dalam karya sastra, yang bersifat pribadi itu, harus diubah
menjadi hal-hal yang sifatnya sosial (Damono, 1984:9).
Pendekatan sosiologi sastra juga didasarkan pada satu
asumsi seperti yang dikemukakan Hardjana (1985:70), bah-
wa tata kemasyarakatan bersifat normatif; maksudnya me-
ngandung unsur-unsur pengatur yang mau tidak mau harus
dipatuhi sehingga hubungan antarmanusia ditentukan atau
paling tidak dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan tersebut.
Dengan demikian, pandangan, sikap, dan nilai-nilai, termasuk
kebutuhan pengarang, ditimba dari tata-kemasyarakatan yang
ada dan berlaku. Dengan sendirinya, masyarakat merupakan
BAB 5
Model Kritik Sastra
171
sastra dan mengidentifikasi sikap pengarang terhadap situasi
sosial tersebut. Misalnya, apakah pengarang memiliki cara
pemecahan terhadap situasi sosial? Kedua, membandingkan
situasi kemasyarakatan di dalam karya sastra dengan situasi
nyata. Ketiga, dengan menggunakan teori ekonomi atau sosial
untuk menolong menjelaskan segi sosial pengarang yang ada
dalam karya sastra.
Wellek dan Warren (1989:111-112) membagi objek
kajian sastra menjadi tiga macam. Pertama, adalah sosiologi
pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah
yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra,
latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang
yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya
sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang
tersirat dalam karya sastra dan yang berkaitan dengan masa-
lah sosial. Ketiga, pemasalahan pembaca dan dampak sosial
karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung
pada latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial adalah
pertanyaan yang termasuk dalam ketiga permasalahan di atas,
yakni: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat so-
sial, dan dampak sastra terhadap masyarakat (1989:112).
Berbicara tentang sikap/tanggapan kejiwaan pengarang
terhadap kehidupan sosial tidak terlepas dari studi psikologi
pengarang. Studi psikologi pengarang lebih menekankan
kajiannya terhadap masalah bagaimana keadaan kejiwaan
orang yang berprofesi sebagai pengarang baik sebagai penyair
maupun sebagai novelis, yang membedakannya dengan keada-
an jiwa orang yang bukan pengarang.
Dari hasil analisis psikologi pengarang, muncul banyak
anggapan tentang diri pengarang. Anggapan itu misalnya,
sastrawan adalah orang yang jenius. Kejeniusan yang dianggap
disebabkan oleh semacam kegilaan—dari tingkat neurotik
sampai psikosis. Ada pandangan bahwa gangguan emosi dan
kompensasi membedakan seniman dengan yang lain. Penga-
rang menuliskan kegelisahannya, menganggap kekurangan
B. METODE ANALISIS
Analisis ini tergolong analisis dengan model interaksi
simbolik karena fokus kajian ini adalah masalah realitas kehi-
dupan sosial dan tanggapan pengarang terhadap realitas kehi-
dupan sosial dalam cerpen.
Sampel kajian adalah cerpen-cerpen Leila S. Chudlori
yang sarat dengan unsur-unsur sosial. Penentuan sampel ka-
jian ini didasarkan pada masalah kajian dan tujuan kajian.
Penarikan simpulan dari sampel, hanya berlaku atas cerpen-
cerpen yang diteliti. Berdasarkan studi pendahuluan, dari 19
cerpen Leila S. Chudlori yang terkumpul dalam kumpulan
cerpen “Malam Terakhir” hanya 4 cerpen yang secara repre-
sentatif dapat dipilih dan digunakan sebagai sampel kajian.
Kajian ini ditentukan berdasarkan pemahaman terhadap per-
watakan, latar, dan pemahaman terhadap nilai/pesan dalam
cerpen sampel.
Data dalam analisis ini, pertama berupa perian tentang
realitas kehidupan sosial yang diperoleh dari cerpen-cerpen
Leila S. Chudlori. Data ini diperoleh dengan cara menandai
(coding) dan merekam unsur-unsur intrinsik yang mengan-
dung kehidupan sosial. Data kedua berupa perian sikap
pengarang terhadap kehidupan sosial yang ditulisnya. Data
ini diperoleh dengan menandai dan merekam unsur-unsur
yang menyiratkan sikap pengarang.
Dalam analisis ini dikembangkan 2 format instrumen.
Instrumen I terdiri atas 4 subinstrumen yang meliputi instru-
men IA, IB, IC, dan ID. Instrumen IA berupa format perekam
data unsur perwatakan. Instrumen IB berupa format pere-
BAB 5
Model Kritik Sastra
173
kam data unsur latar. Instrumen IC berupa format perekam
data unsur nilai/pesan. Istrumen ID berupa format perekam
unsur-unsur kehidupan sosial. Instrumen II berupa format
perekam data sikap pengarang yang didasarkan pada rekaman
data dengan instrumen ID.
Pengumpulan dan analisis data dilakukan dengan prose-
dur: (1) memilih cerpen Leila S. Chudlori yang sarat dengan
unsur-unsur sosial; (2) menandai unsur-unsur intrinsik yang
menyimpan atau berhubungan langsung dengan unsur-unsur
kehidupan sosial. Unsur intrinsik yang dimaksud meliputi
latar, perwatakan, dan nilai/pesan; (3) menandai dan mere-
kam data yang berkaitan dengan unsur kehidupan sosial yang
tecermin dalam latar dengan menggunakan instrumen IA; (4)
menandai dan merekam data yang berkaitan dengan unsur
kehidupan sosial yang tecermin dalam perwatakan dengan
menggunakan instrumen IB; (5) menandai dan merekam data
yang berkaitan dengan unsur kehidupan sosial yang tecermin
dalam nilai/pesan dengan menggunakan instrumen IC; (6)
selanjutnya data yang terekam berdasarkan instrumen IA,
IB, dan IC dirangkum dan direkam dengan instrumen ID;
(7) berdasarkan rekaman data dengan format ID kemudian
ditandai dan direkam data yang berkaitan dengan unsur sikap
pengarang terhadap kehidupan sosial dengan instrumen II;
(8) berdasarkan rekaman data dari format ID dan format II
ditafsirkan unsur-unsur kehidupan sosial dan sikap tanggapan
kejiwaan pengarang yang kemudian disajikan dalam hasil
analisis data.
C. ANALISIS
Hasil analisis ini berupa unsur kehidupan sosial dalam
cerpen-cerpen Leila S. Chudlori yang tecermin dalam perwa-
takan, latar, dan nilai/pesan yang kemudian diinterpretasikan
pula sikap/tanggapan kejiwaan pengarang (Leila S. Chudlori)
terhadap kehidupan sosial dalam cerpen-cerpennya. Selanjut-
BAB 5
Model Kritik Sastra
175
rakat “mengondisikan” agar laki-laki memberikan kesem-
patan kepada wanita untuk mempertanyakan kesetiaan laki-
laki sebab menurut pengakuan tokoh tunangan—dalam kon-
disi yang sama-sama memberi peluang untuk menyeleweng—
laki-laki lebih mudah berbuat menyeleweng sedangkan wanita
relatif lebih kuat. Mitos bahwa jika wanita menyeleweng du-
nia menangis sedangkan bila laki-laki menyeleweng dunia ma-
sih tersenyum perlu direnungkan kembali. Menurut agama—
Islam misalnya—sanksi hukum untuk laki-laki dan wanita
yang menyeleweng pada dasarnya sama berat, tidak berat
sebelah.
Dalam cerpen “Sehelai Pakaian Hitam” (SPH) Leila
berbicara tentang kejujuran dan kemunafikan yang menjang-
kiti orang-orang yang menjadi idola masyarakat (public fig-
ure). Hamdani, tokoh dalam cerpen ini, merupakan sosok
idola masyarakat yang penuh pengabdian. Karena masyarakat
memberi beban yang luar biasa, mengharapkan dirinya tampil
tanpa cela, maka Hamdani berusaha menutupi cela dirinya.
Ia disimbolkan mengenakan pakaian hitam dan putih secara
bergantian. Hamdani menjaga hubungannya dengan masya-
rakat dengan menyembunyikan kebiasaan buruknya mengun-
jungi tempat prostitusi. Leila secara tersirat menganggap bah-
wa masyarakat turut bersalah karena ikut andil dalam me-
ngondisikan seseorang untuk berbuat munafik, seperti Ham-
dani yang kemudian selama hidupnya menderita karena meng-
alami hidup dengan jiwa terbelah. Di sisi lain, Leila ingin
bertutur kepada individu untuk tidak bersikap munafik. Jika
sudah memilih hidup menjunjung kebenaran dan keadilan,
bersikap religius, maka seseorang harus menyatukan kata dan
perbuatannya sehingga tidak membohongi diri sendiri.
Cerpen “TK” (Topeng Kehidupan) ini mengungkapkan
keterasingan anak muda yang baru tamat sekolah di luar ne-
geri. Ella—nama tokoh wanita muda itu—menemukan orang-
orang banyak yang mengenakan topeng mulai dari pekerja,
pegawai kantor, guru-guru agama, sampai pada orang-orang
D. PENILAIAN
Dinilai bahwa realitas sosial yang diangkat dalam cer-
pen-cerpen Leila tersebut tidak jauh berbeda dengan realitas
sosial yang sebenarnya. Perbedaan yang ada lebih disebabkan
oleh sifat cerpen sebagai karya yang dipengaruhi subjektivitas
pengarangnya dalam berproses kreatif, dalam memindahkan
realitas sosial yang sesungguhnya ke dalam karya fiksinya.
Hal itu sesuai dengan pendapat Damono (1984:7), seandainya
dua orang novelis (termasuk cerpenis) menulis tentang masya-
rakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-
cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya
itu berbeda-beda menurut pandangan orang seorang. Pengha-
yatan Leila terhadap realitas sosial tampak pada penataan
unsur-unsur fiksional dalam cerpen-cerpennya, pada peng-
gambaran realitas, dan pada penyiratan nilai/pesan yang di-
sampaikan.
Sebagaimana gagasan bahwa sastra merupakan cermin
langsung dari pelbagai realitas sosial (Damono, 1984:9; Grif-
fith, 1982:73) maka pendekatan sosiologi yang dipilih dalam
kajian ini cukup tepat oleh karena tugas sosiologi sastra ada-
lah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh fiktif dan situa-
si penciptaan pengarang dengan keadaan masyarakat yang
merupakan asal-usul atau genetiknya.
Pernyataan Darma (1984:24) bahwa sastrawan yang
baik mengangkat kehidupan yang dikenalnya benar, tepat
dikenakan pada Leila. Profesinya sebagai wartawati majalah
TEMPO memungkinkannya berbicara banyak tentang dunia
penerbitan, dunia media massa cetak. Hal itu juga memung-
BAB 5
Model Kritik Sastra
177
kinkannya untuk dapat menggambarkan secara cermat penge-
tahuannya seputar dunia kewartaan, dunia penerbitan seba-
gaimana digambarkannya dalam cerpen SBMDK. Penga-
lamannya sebagai penulis sastra dan pergaulannya dengan
sesama penulis membuatnya dengan mudah mengangkat
masalah kemunafikan/ketidakjujuran yang menjangkiti orang-
orang yang menjadi idola masyarakat (public figure) dalam
cerpen SPH. Sekalipun tokoh/tema dalam cerpen-cerpen di
atas bersifat individual, tokoh/tema tersebut mewakili tokoh/
tema yang bersifat sosial oleh karena tokoh-tokoh di dalam-
nya cukup mewakili kelompoknya (periksa Damono, 1984:9).
Dengan mengacu pada pendapat Griffith (1982:74) ten-
tang identifikasi situasi sosial karya sastra dan identifikasi
sikap pengarang terhadap situasi sosial tersebut, misalnya
apakah pengarang memiliki cara pemecahan terhadap situasi
sosial, didapat temuan yang berarti. Dalam cerpen SBMDK,
Leila menyiratkan saran agar terbebas dari ancaman pembe-
rangusan, maka perubahan redaksional majalah hendaknya
selalu mengikuti perubahan zaman dan berusaha menerje-
mahkan idealisme dengan cara yang tidak vulgar. Di dalam
cerpen ASS, Leila mengajak masyarakat (pembaca) untuk
kembali merenungkan perlakuan tidak adil masyarakat ter-
hadap penyelewengan/kesetiaan yang dilakukan laki-laki dan
wanita dengan mendudukkan persoalan secara adil sejalan
dengan hukum yang berlaku secara universal.
Akan tetapi, di dalam cerpennya yang lain, Leila tidak
memberikan pemecahan masalah. Leila hanya melontarkan
masalah sosial kepada pembaca. Pembacalah yang diharapkan
menemukan sendiri cara pemecahannya. Ini terlihat pada
cerpen TK.
Objek analisis dalam kajian ini sejalan pula dengan
salah satu objek kajian yang diberikan Wellek dan Warren
(1983:111-112) tentang sosiologi pengarang dan profesi pe-
ngarang. Pernyataan di atas membuktikan bagaimana penga-
ruh latar belakang profesi pengarang dalam mewarnai karya-
BAB 5
Model Kritik Sastra
179
agar wanita tidak merasa diperlakukan secara tidak adil.
Kedua, dinilai bahwa sikap atau tanggapan kejiwaan
Leila S. Chudlori tecermin dalam keempat cerpennya sebagai-
mana terungkap berikut ini.
(1) Dalam cerpen SBMDK, Leila berpendapat bahwa “keju-
juran” dalam mengungkapkan berita kebrengsekan akan
mengancam berdirinya suatu penerbitan. Ada dua pilihan
bagi pengelola majalah/koran: menampilkan idealisme
dengan cara yang tidak vulgar atau mengedepankan
idealisme secara terang-terangan dengan ancaman pem-
berangusan. Tampaknya pengalaman pengarang sebagai
wartawati majalah mingguan terkenal mewarnai cerpen
SBMDK.
(2) Dalam cerpen ASS, Leila beranggapan bahwa sikap ma-
syarakat yang tidak adil terhadap wanita dalam memper-
tanyakan kesucian pasangannya perlu direnungkan kem-
bali.
(3) Dalam cerpen SPH, Leila berpendapat bahwa untuk men-
jadi diri sendiri seseorang harus jujur, tidak munafik ter-
hadap diri sendiri sekalipun bertentangan dengan keingin-
an masyarakat. Jika menginginkan keharmonisan dalam
berhubungan dengan masyarakat orang harus mengor-
bankan kepentingan diri sendiri.
(4) Dalam cerpen TK, Leila berpendapat bahwa di Indone-
sia, orang harus mempunyai keseimbangan antara men-
jadi makhluk bebas (individu) dan makhluk sosial. De-
ngan kata lain, orang harus pandai menyesuaikan diri.
BAB 5
Model Kritik Sastra
181
Bau apa sih? Sejak tadi kok meributkan bau terus,” gerutu
bapaknya. “Aku tidak mencium bau apa-apa.”
Nyonyot mencoba untuk melupakan bau itu supaya tidak
mengecewakan bapaknya. Tiba-tiba matanya membelalak keti-
ka melihat sebuah benda hitam berbulu yang melesat di depan-
nya. Astaga … dia menahan napas.
“Apa itu Bu?” tanyanya ketakutan.
“Mana?”
“Yang tadi lewat …”
“O alaa … itu kan cuma tikus …” gerutu mbah Kakung.
“Sama tikus saja kok kayak menghadapi seekor harimau.”
Noynyot masih menahan napasnya, “Mungkin bau tadi
datangnya dari tikus keparat itu. Tuhan … lihatlah, begitu
banyaknya …” serunya ngeri.
Dan memang benar. Mula-mula dua ekor tikus mengintip
dari selokan dan berlari-larian mengelilingi tanaman pandan
ibu Nyonyot. Nyonyot terpesona melihat adegan itu. Seperti
adegan sepasang kekasih yang sedang bercinta-cintaan dalam
film-film India . Lantas tiga ekor tikus berbulu lebih lebat
dan hitam berlarian menyusul kedua tikus pertama. Sebelum
Nyonyot sempat mengomentari adegan itu, kelima tikus
tersebut sudah menghilang ke dalam lubang got.
Untuk lima menit pertama, Nyonyot tidak dapat menge-
luarkan suara dari tengorokannya. Seakan kagum dan setengah
tidak percaya ia menoleh pada ibunya yang tenang-tenang
meletakkan pisang goreng di atas meja. Karena begitu kaget,
pertanyaan-pertanyaan yang melilit dalam pikirannya tak bisa
dimuntahkan begitu saja.
“Makan pisangnya, Nyot. Kamu kan ndak dapet pisang
goreng di Amerika sana … hayo …” mbah Kakung menyo-
rongkan piring itu ke muka nyonyot.
Nyonyot masih terdiam. Ia masih tak bisa memercayai
penglihatannya.
KETIKA Gogon baru saja menyelesaikan sekolahnya di
Amerika tiga bulan yang lalu, ia mendapatkan tiga tawaran
pekerjaan yang menarik. Ketiganya menjanjikan gaji dan fasilitas
yang cukup besar untuk seorang pemula seperti Gogon yang
berijazah universitas Amerika itu.
BAB 5
Model Kritik Sastra
183
Gogon mengutarakan kesempatannnya berkeliling melihat
keadaan kantor itu. Dengan gembira Husein membukakan
pintu untuk Gogon dan mengantarkannya ke bagian yang akan
dipimpinnya.
“Ini bagian yang akan saya pimpin?”
“Ya ini bagian yang akan Bapak pimpin,” jawab Husein
dengan nada yang tidak enak.
Gogon menelan ludahnya. Ia hampir tidak dapat memer-
cayai pemandangan di mukanya. Beberapa karyawan sedang
duduk-duduk sambil mengangkat kakinya ke atas meja. Ruang-
an yang ber-AC itu penuh dengan asap rokok. Sementara itu
di pojok, Gogon melihat beberapa wanita asyik berdiskusi
dan tertawa-tawa.
Seorang laki-laki, sedikit lebih muda dari Husein, tiba-
tiba saja menyadari kehadiran mereka berdua. Dengan sigap
ia berdiri dan membentuk sebuah senyum yang meyakinkan.
Ia berdehem sekali dan dalam sekejap ruangan yang hiruk-
pikuk dengan kesibukan yang mengasyikkan itu berubah men-
jadi Hening. Beberapa kaki yang terangkat menghilang ke ba-
wah meja dan semua wanita sudah kembali ke belakang meja
masing-masing.
Gogon sungguh-sungguh tidak mengerti apakah dia harus
tersenyum bangga karena perubahan itu terjadi disebabkan
kedatangannya atau tetap berdiri kaku bagai orang tolol seperti
apa yang dilakukannya sekarang. Ia melirik pada Husein. Ter-
nyata, Husein sibuk memelototi laki-laki yang mengangkat
kaki tadi.
Akhirnya ia cuma mengangguk pada beberapa karyawan
yang sudah memasang senyumnya beberapa menit yang lalu.
“Tikus-tikus itu sudah bersarang di rumah ini sejak dulu.
Mereka bertempat tinggal di selokan-selokan air itu,” kata
ibu Nyonyot sambil meletakkan ikan mas goreng kesukaan
Nyonyot ke atas piringnya. Tetapi Nyonyot yang hilang selera
tidak menyentuh hidangan itu. Tikus-tikus gemuk berbulu hi-
tam masih terbayang-bayang di matanya. Moncong tikus merah
dan buntutnya yang tipis membuat bulu kuduknya merinding.
“Dulu-dulu kok tidak ada, Bu?”
BAB 5
Model Kritik Sastra
185
di udara. Ibu Nyonyot terkejut melihat muka Nyonyot yang
meringis.
“Kenapa?”
Nyonyot menahan napasnya. Bau sialan itu kembali
menyerang hidungnya. Perutnya mendadak mual. Ia tak ingin
memuntahkan sarapannya ke meja makan. Maka ia pun mele-
sat ke kamar mandi dan memuaskan keinginan perutnya di
situ. Dia kembali dengan muka pucat dan mata berair. Ibu
Nnyonyot segera membuatkan teh panas dan mbah Kakung
memijit-mijit tengkuknya.
“Iya. Tadi si Toli yang barusan lewat meja makan. Baunya
memang lebih merangsang daripada anak-anak buahnya,” ko-
mentar bapaknya sambil terus menikmati makanannya.
“Siapa si Toli itu, Pak?”
“Oh, si Toli itu, ketua tikus-tikus itu. Badannya yang
paling besar dan baunya paling menyengat hidung. Kau dapat
mengenalnya dengan mudah jika ia sedang keluar dari lubang
selokan itu,” bapaknya menerangkan tanpa memperhatikan
betapa pucatnya wajah anaknya. “Lalu kita namakan si Toli,
he, he, he, habis lucu sih. Matanya yang kecil dan berbinar-
binar dan moncongnya mengendus-endus kalau sedang cari
makan ….”
Kepala Nyonyot berdenyut-denyut mendengar kisah itu.
Ibunya memperhatikan muka Nyonyot yang tidak beres. Ketika
bapak Nyonyot masih mengoceh tentang tikus-tikus itu, ibunya
memberi isyarat pada suaminya supaya berhenti.
“Lho, kenapa?” bapaknya protes. “Dia toh harus membia-
sakan diri untuk hidup dengan tikus-tikus itu. Sekarang kau
masih muntah-muntah, Nyot … lama-lama kau juga akan
terbiasa dengan bau itu ….”
“Lho Bapak, Ibu dan dan Mbah Kakung juga biasa dengan
bau-bauan ini, makanya kalian tidak pernah merasa mual?”
Mbah rasa gitu, Nyot. Tikus-tikus itu sudah seperti ang-
gota keluarga kita sendiri. Mereka bersliweran saben hari dan
kita diemkan saja. Kadang-kadang, malah kita ditontoni kalau
mereka sedang lari-larian di kebun.” Mbah Kakung menyo-
dorkan gelas teh panas ke muka Nyonyot, “Hayo, minum.”
BAB 5
Model Kritik Sastra
187
itu tanpa persyaratan apa-apa. Mereka belum memenuhi syarat
untuk menerbitkan sebuah majalah yang baik.”
“Mungkin mereka menyangka engkau mempersulit jalan
mereka”, ayahnya mencoba meredakan amarah anaknya.
“Mempersulit? Sama sekali tidak. Kalau mereka sudah
menjalankan apa yang mereka harus lakukan sebagai sebuah
badan penerbitan, saya akan memberi ACC tanpa banyak
bicara. Saya sih lurus-lurus saja. Tidak banyak cingcong. Jika
mereka memenuhi syarat, ok. Kalau tidak, maaf saja. Mereka
boleh kembali kalau semua sudah dilengkapi. Tapi tidak dengan
amplop sialan in!”
Ayahnya diam dan menyalakan rokoknya. Gogon melirik
dan dengan gemas dia berteriak, “Kenapa Ayah diam saja?
Apa hal-hal seperti ini Ayah anggap normal-normal saja?” Ayah-
nya menghela napas dan mencoba untuk menerangkan hal itu
dengan kata-kata yang tepat, “Mungkin kau bisa mengatakan-
nya begitu, Nak. Hal-hal yang kauanggap tak normal menjadi
begitu biasa dan membudaya di negara kita ini. Tak peduli di
mana engkau berpijak, engkau akan mendapatkan sikutan dari
kanan kirimu. Tinggal kau sendiri yang menentukan dan me-
milih. Ikut menyikut supaya bisa bertahan atau menying-
kirlah!”
“Tidakkah kita dapat menghentikan sikutan-sikutan itu
tanpa ikut-ikutan menyikut?”
“Oho …” ayahnya tertawa, “Kenapa kau tak bertahan
saja dengan jabatanmu, dan buktikan sendiri, apakah kau bisa
melakukan hal itu.”
“Kenapa tidak?” tantang Gogon, “Sejak pertama kali saya
masuk kerja saya sudah merasa risih dengan cara kerja mereka.
Begitu santai dan seenaknya. Pada akhir bulan, vitalitas kerja
mereka semakin merosot. Duduk-duduk dan cekakakan ma-
cam menang lotre saja. Pekerjaan begitu menumpuk, tapi gaya
hidup mereka seperti pengangguran. Lantas, saya tunjukkan
bahwa saya tidak menyukai kemalasan dan pembuangan waktu
seperti itu. Saya selalu datang tepat pada waktu dan bekerja
dengan buas dan tak mengenal lelah. Mereka malu sendiri.
Lantas, saya sudah melihat beberapa pegawai menerima am-
plop dari bangsat-bangsat itu, demi mulusnya jalannya pener-
BAB 5
Model Kritik Sastra
189
apa yang mereka lakukan. Menyaksikan mereka begitu asyik
main suap dan sikut kanan kiri. Begitu seringnya itu terjadi
hingga aku harus percaya bahwa beban ini hampir merupakan
suatu tugas rutin sehari-hari yang harus dipikul. Ayah sudah
menghadapi itu semua …” ayah menyorong gelas teh itu ke
muka Gogon, “Minumlah….”
Gogon menyambut itu tetapi tidak segera meminumnya.
“SATU-satunya cara untuk dapat mengatasi rasa mualmu
dari bau tikus-tikus itu adalah dengan menghargai eksistensi
mereka. Mereka itu makhluk Tuhan juga. Meskipun mereka
pengantar penyakit pes dan bertampang menjijikkan seperti
katamu itu, tetapi cobalah untuk merenungi hikmah eksistensi
tikus-tikus itu. Coba, kenapa mereka tidak membunuh kami
kalau mereka berbahaya seperti katamu itu? Mereka cuma
hidup di sini dengan menumpang dalam selokan-selokan itu.
Mereka sering juga berkejar-kejaran di atas rumput dan mem-
buat mbah Kakung dan Ayah tertawa geli, karena kebun kita
seperti kebun binatang saja. Bulu-bulu mereka begitu menjijik-
kan katamu? Aah, itu karena kau tak tahan baunya. Kenapa
kau menyukai bulu-bulu kucing yang begitu halus dan lembut?
Karena kau pikir kucing itu binatang kesayangan Nabi. Karena
mereka kelihatan begitu jinak dan menyenangkan. Tetapi toh
mereka suka mencuri juga. Bulu-bulu mereka bisa bikin me-
reka bengek. Coba lihat, sebenarnya bulu-bulu tikus itu halus
seperti beludru. Sama sekali tidak menjijikkan. Moncongnya
merah dan bikin kau muntah? Ah, moncong kucing juga
berwarna merah. Semua moncong binatang kan merah. Kenapa
kau tak jijik pada moncong kucing? Atau moncong singa, mi-
salnya? Karena mereka kelihatan begitu besar, megah, dan
mengagumkan. Tapi kau tak menyadari kemampuan seekor
kucing untuk menyakar dan menggigitmu atau kebuasan
seekor singa untuk menghabiskan nyawamu. Sedangkan tikus-
tikus itu? Tidak, mereka tidak akan membunuhmu. Mereka
hanya menjengkelkan karena baunya. Mereka hanya mendong-
kolkan karena mereka sering membuat kita malu pada tamu-
tamu. Seolah-olah kita ini manusia-manusia jorok yang tak
mampu membersihkan rumah sendiri. Cicit-mericit suara
mereka sering membangunkan tidur kita dan membuat kita
BAB 5
Model Kritik Sastra
191
mereka dengan berbagai perasaan. Seekor yang paling besar—
mungkin si Toli– berhenti di muka Nyonyot dan menatap
wajah Nyonyot dengan mata berbinar-binar. Moncongnya yang
merah bergerak-gerak seperti ingin mengatakan sesuatu. Bun-
tutnya yang tipis panjang sesekali bergerak mengikuti langkah
kecil kaki belakangnya yang mungil. Entah ke mana perasaan
mual Nyonyot, ia sendiri tak mengerti. Ada perasaan aneh
menggerayang hati Nyonyot. Suatu perasaan yang sukar dilu-
kiskan. Antara perasaan haru karena keramahan si Toli, senang
dan juga sebersit pengertian. Ia berjongkok dan menatap wajah
si Toli. Lalu menyapanya dengan ramah.
GOGON masih diam dan tidak segera meletakkan kop
telepon itu. Ketika terdengar ketukan di pintu, ia menyerukan
sekretarisnya untuk masuk dan diletakkannya kop telepon itu.
Meta masuk dengan tiga buah map di tangannya.
“Tiga buah surat izin untuk penerbitan media A, B dan
C, Pak.”
Meta keluar lagi. Gogon masih memandangi map-map
itu dengan tatapan kosong. Memiliki sebuah rumah bagus di
perumahan Indah Permai memang suatu hal yang menarik.
Dan mungkin ia bisa bercerita pada teman-temannya di Ame-
rika tentang kesuksesannya itu. Dibukanya map pertama Media
A. Apakah ia akan melanggar prinsipnya sendiri untuk mem-
bubuhkan ACC dan tanda tangannya yang selama ini begitu
mahal? Sebegitu mudahkah ia akan menyelesaikan persoalan-
nya? Sebegitu mudahkah dia akan menumbangkan idealisme?
Ia membaca semua persyaratan yang dapat dipenuhi oleh
media tersebut. Kurang dua nomor. Hm…Gogon menyender-
kan punggungnya ke kursi. Hanya dua nomor. Dua nomor.
Hanya? Ah, dua nomor tidaklah banyak. Ia tersenyum. Di-
ambilnya pulpen hitamnya dan membubuhkan tanda tangannya
yang panjang. Sugondo. Lantas map itu ditutup. Ditulisnya
tiga huruf yang berarti di atas map itu: ACC
1989
“Malam Terakhir,” Leila S. Chudlori
BAB 5
Model Kritik Sastra
193
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
194 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
BAB 5
Model Kritik Sastra
195
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
196 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Daftar Rujukan
Abrams, M.H. l953. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory
and the Critical Tradition. New York: Holt, Rinehart and Win-
ston.
Abrams, M.H. l981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt
Rinehart and Winston.
Aminuddin 1990. Paradigma dalam Studi Kritik dan Penelitian Sastra.
Makalah disajikan dalam PILNAS III HISKI. Malang, 26-28
November 1990.
Aminuddin. 1987. Pengantar Memahami Puisi. Bandung: Sinar Baru.
Aminuddin. 1997. Stilistika. Semarang: IKIP Semarang Press.
Badrun, A. 1989. Teori Puisi. Jakarta: Dirjen Dikti.
Budiman, A. 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Damono, S.D. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Damono, S.D. 1975. Dibutuhkan Kritik Sastra. Dalam Publikasi
Ilmiah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, No. 2, hlm. 29—
30.
Darma, B.. 1988. Situasi Kritik Sastra Indonesia Sekarang. Dalam
Mursal Esten (Ed)., Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indo-
nesia yang Relevan, hlm.56—83. Bandung: Angkasa.
Darma, B. l990. Stagnasi Kritik Sastra Kita. Makalah disajikan dalam
Simposium Nasional Kritik Sastra Indonesia, 21—23 Juli l990,
Yogyakarta.
Depdikbud. 1983. Kritik Sastra: Modul Akta mengajar V-B. Jakarta:
Dep-dikbud.
Dresden, S. l965. Wereld in Weorden. Den Haag: Bent Bakker &
Danmen.
Esten, M. (Ed.). l988. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia
yang Relevan. Bandung: Angkasa.
Esten, M. 1987. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya.
Fokkema, D.W. & Elrud, K. I. 1977. Theories of Literature in the
Twentieth Centuty. London: C. Hurst & Co.
Geertz, C. 1991. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
BAB 5
Model Kritik Sastra
197
Hardjana, A. 1983. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Hasanah, M. 1992. Kajian Sosiologis Kumpulan Cerpen Lelyla S
Cudlori. MALANG: Puslit IKIP MALANG
Hasanah, M. l991. Kajian Struktural-Semiotik Kumpulan Puisi D.
Zawawi Imron. MALANG: Puslit IKIP MALANG.
Krippendoff, K. 1981 Content Analysis. California: Sage Publica-
tions.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta.
Mohamad, G. 1988. Sejarah Sastra Indonesia: Perkembangan Yang
Tak Pernah Mengejutkan. Dalam Prisma, No. 8 Th. XVII, hln.
52—58.
Parera, F.M. l988. Perkembangan Industri Novel Populer di Indone-
sia. Dalam Prisma, No. 8, Th. XVII, hlm. 21—29.
Pradopo, R. D. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: PD Lukman.
Pradopo, R. D. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Richards, I.A. l970. Practical Criticism: A Criticism: A Study of Lite-
rary Judgement. London: Toutladge & Jeegan Paul.
Ricour, P. 1976. Interpretation Theory: Discourse and The Surplus
Meaning. Texas: Texas Christian University Press.
Sastrawardoyo, S. 1988. Mencari Jejak Teori Susatra Sendiri: Renung-
an Seorang Awam. Dalam Mursal Esten (Ed.) Menjelang Teori
dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan, hlm. 11—25. Ban-
dung: Angkasa.
Semi , A. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Shipley, J. T. (Ed.). l962. Dictionary of World Literature. New York.
Little-Filed, Adams & Co.
Siswanto, W. I991. Kajian Psikologis Novel Rafilus. Malang: Puslit
IKIP MALANG.
Soedjijono. 1988. Telaah Sastra dan Pengajarannya. Makalah disajikan
pada Seminar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indone-
sia. Malang: FPBS.
Spradley, J. P. 1987. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sukada, M. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Denpasar: Kayu-
mas.
BAB 5
DAFTAR RUJUKAN
Model Kritik Sastra
199
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
200 Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya
Indeks
A Explication de texte, 67, 68
Aristotelian, 3 Emosional, 69
Attributre, 4 Eksplorasi, 79
Antipati, 6 Ego, 97
Aksentuasi, 22
Absurd, 26 F
Abrams, 27 Formal, Formalistik, 21
Aesthetic of reception, 37 Free card sorting, 38
Archilectteur, 38 Fenomenologis, 41
Absolutisme, 41 Familiarity, 45
Analisis, 61, 62, 73 F. de Saussure, 67
Anti positivistik, 76
Asumsi, 80 G
Asonansi, 89, 96 Gubuk Paman Tom, 53, 54,56
Genetik, 61
B
Belenggu, 9 H
Biografi kesastraan, 31 Hamlet, 8
Built in, 41 Historiografi, 9
Budi Darma, 96 Homo ludens, 11
Homo fabulans, 11
C. Hikayat Si Miskin, 40
Critism, 1 Humanisme, 50
Counter elitism, 12 Hardjana, 56
Complexity, 20
Copy, 28,35 I
Inductive critism, 19
D Intricacy, 20
Darma, 4 Intersubjektif, 37
Divina comedia, 8 Inteligibility, 45
Dislike, 11, 20 Imajinasi, 59
Daerah-daerah gelap, 13 Interpretasi, 61
Daerah daerah baru, 13 Ikon, indeks, 82
Docere, delectare, 35 Id, 97
Dulce, 35
Damono, 119 J
Judgment, 2, 9, 15,
Jan Mukarovsky, 67
E
Evaluasi, 1, 2 K
Ekspresif, 31 Kritik, 1, 2, 4, 14.
Ekspresivitas, 33, 44 Kritria estetis, 2
Emotivitas, 56 Kriteria epistemologis, 2
BAB 5
Model Kritik Sastra
201
Kriteria normatif, 2 Pendekatan tradisional, 19
Konkretisasi, 45 Poetika, 9, 45
Kritikus, 7, 45 Psikologis, 23
Karya sastra, 9, 13, 14 Permissive society, 30
Kritik yudisial, 19 Pragmatik, 32
Kritik induktif, 19 Perspektivisme, 40,41
Klangenan, 20 Pleasure, 45
Kritik sastra pendidikan, 20 Peirce, 83
Kritik impresionistik, 20
Kritik historis-biografis, 21 R
Kritik formalistik, 21 Resepsi estetik, 37
kritik moral-filosofis, 21, 25 Renaissance, 41
Kritik psikologis, 23 Realisme sosialis, 50
Kritik sosiologis, 26 Rafilus, 97
L S
Like-dislike, 9 Sign, 33
Literati, Litere, 5 Strukturalisme dinamik, 35
Lenin, 30, 57 Semiotik, 35, 81
Langage, Langue, 37 Sequence analysis, 54
Literary response, 39 Struktural, 62
Legetica, 39 Siginifie, 81
L’art pour l’art, 40 Simbol, 82
Lekra, 50 Superego, 97
Leila S Cudlori, 117 Soedjijono, 97
Sosiologis, 117
M
Mahakarya, 9 T
Mangunwijaya, 9 Telaah, 1
Mimetik, mimesis, 28 The intensional fallacy, 32
Marxis, 29 The effective fallacy, 32
Movere, 35 The idea of wholnesss, 33
Metode analitik, 61 the idea of transformation, 33
Metode struktural, 62 The idea of self regualtion, 33
Tipografi, 35
N The genetic fallacy, 61
Nonliterer, 20 Teeuw, 65
Novelty, 45
New critism, 61 U
Utile, 35,42
O
Umar Junus, 117
Objektif, 32
P W
Pengarang, 3 Wellek dan Warren, 96,117
Penyair, 3
BAB 5
Model Kritik Sastra
203
nal dalam Wacana Narasi Pulau Buru Pramudya Anantatoer (Bahasa
dan Seni).
Heri Suwignyo juga menulis beberapa buku nonsastra antara
lain. Bahasa Indonesia Ilmiah (LP3-UM). Bahasa Indonesia Keilmuan
Berbasis Area Isi Karya Keilmuan (UMM Press). Bahasa Indonesia
Terapan (STIBA MALANG). Dasar-dasar Pemahaman Bahasa Indone-
sia Baku dan Kaidah Penggunaannya (IKIP MALANG). Pengantar
Teori Komunikasi (STIBA MALANG). Saat ini Heri Suwignyo sedang
menyelesaikan penulisan buku ajar untuk matakuliah menulis cerita
dan drama (MCD). Bukunya mengenai WACANA KELAS: substansi,
modus, dan fungsi edukatif bahasa among telah diterbitkan oleh pe-
nerbit Refika Aditama Bandung.