Anda di halaman 1dari 35

1.

atar Belakang Masalah

Wacana sebagai satuan tertinggi dalam hierarki sintaksis wacana mempunyai pengertian yang lengkap atau utuh,
dibangun oleh kalimat atau kalimat-kalimat.
Artinya sebuah wacana hanya terdiri dari sebuah kalimat dan hanya terdiri dari sejumlah kalimat.
Bidang lingkup pembahasanya meliputi (1) Referensi wacana bahasa indonesia (2) Iferensi bahasa indonesia (3)
Kohesi bahasa indonesia (4) Kohesi wacana indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis merumuskan permasalahan antara lain :
1.

Apakah Referensi wacana bahasa indonesia ?

2.

Apakah Iferensi wacana bahasa indonesia ?

3.

Apakah Kohesi wacana bahasa indonesia ?

4.

Apakah Koherensi wacana bahasa indonesia ?

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah atu tugas mata kuliah Wacanadan mengetahui lebih jauh apa itu
Refensi, Inferensi, Kohesi, Koherensi wacan bahasa indonaesia

2.

Pembahasan
1.

Referensi dan Inferensi


1.

Referensi

Referensi dalam anilasis wacana lebih luas, istilah referensi dalam analisis wacana adalah ungkapan
kebahasaan yang di pakai seorang pembicara, baik dalam konteks linguistik maupun dalamnonlinguistik.
Dalam komunikasi referensi diciptakan oleh pengirim pesan ( pembicara dan penulis ). Penerima ( pendengar
atau pembaca ) harus menafsirkan referensi seperti yang dipikirkan oleh pengirim pesan. Dalam komunikasi
sering terjadi referensi tidak dapat dipahami oleh penerima.

Ungkapan ( lambang kebebasan ) yang sama sebuah wacana sering mempunyai aliran yang berbeda. Namun
berdasarkan konteksnya, pergeseran aliran itu tetap dapat di pahami. Pergeseran aliran hiasanya tidak
menimbulkan kesalahan tafsis.

Dalam penggunaan bahasa di masyarakat, seorang pembicara atau penulis sering menggunakan beberapa
ungkapan yang berbeda untuk aliran yang sama. Biasanya tujuan penggunaan ungkapan itu adalah untuk
memvariasi sajian dan informasi tambhan.

Penggunaan ungkapan yang berbeda itu biasanya di sesuaikan dengan konteksnya. Ungkapan itu benar- benar
harus sesuai. Ungkapan yang di gunakan untuk mengacu manusia (penona) biasanya berkaitan dengan ciri luas
dan pesan sosial.
Ungkapan yang berkenan dengan pesan sosial sering di gunakan karena manusia selalu mempunyai peran
sosial dan pesan-pesan yang digunakan sebagai ungkapan harus sesuai dengan topik pembicaraan sehingga
dapat menambah pemahaman pembaca atau pendengar.

Dalam proses komunikasi banyak ungkapan yang mempunyai aliran berubah-ubah ( tidak hanya bergeser )
perubahan aliran itu disebabkan oleh perubahan konteks. Hampir semua kata tunjuk dan kata ganti sangat peka
pad perubahan konteks.

Ungkapan yang mempunyai aliran berubah- ubah itu sering di namakan deksis. Dalam bahasa indonesia
deiksis itu ada bermacam- macam.
1.

Eksofora: ini,itu

2.

Endafora yang terdiri atas

anafora : ini. Itu, begitu

katafora : ini, begini

3.

Kata ganti

orang pertama

orang kedua

orang ketiga

4.

Kata ganti tempat

5.

Kata keterangan waktu

Dalam berkomunkasi, pengirim pesan menggunakan ungkapan untuk mengacu pada hal tertentu melalui
ungkapan itu, penerima pesan mencari aliran yang di maksud oleh pengirim, dalam komunkasi yang perlu
adalah referensi yang berhasil , dalam analisis wacana referensi yang berhasil adalah referensi yang
sesuai dengan maksud pembicara / penulis.

2.

Inferensi

Dalam berkomunikasi kita sering menggunakan inferensi. Inferensi berarti membuat simpulan berdasarkan
ungkapan dan konteks, pengunaanya dalam komunikasi, inferensi hanya di lakukan oleh penerima ( pembaca
atau pendengar ) saja. Cobalah anda perhatikan contoh berikut.
1.

Gino melemparkan batu kuat-kuat

2.

Kaca jendela tiwuk pecah

3.

Tiwuk marah kepada Gino

Kalau ketiga kalimat pada contoh ditata secara berurutan, maka akan terasa ada proposisi (informasi) yang
hilang. Miwuk memahami Gino? Tentunya, kita dapat membuat proposisi jawaban pertanyaan ini. Kita
menduga, karena batu yang dilempar, Gino itu mengenai kaca jendela Tiwuk. Proses mencari proposisi yang
hilang ini yang termasuk inferensi.

Mengambil makna tersirat, (sering disebut implikatur) juga termasuk inferensi. Proses mengambil makna
implikatur itu melakukan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan memahami eksplikatornya. Istilah
implikatur berantonim dengan istilah eksplikator menurut grice (brown & yule, 1986:31) dan pratt
(1982:1977). Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan.

Suami : Ah, dingin sekali!

Saya akan ke surabaya besok

Aduh perut ku keroncongan

Ibu : Ayo, naik lebih tinggi lagi. Ayo naik!

Referensi dalam analisis wacana lebih luas dari pada telaah referensi dalam kajian sintaksis dan semantik.
Istilah refensi dalam analisis wacana adalah ungkapan kebahasaan yang dipakai seorang pembicara / penulis
untuk mengacu pada suatu hal yang dibicarakan. Baik dalam konteks linguistik maupun dalam konteks
nonlinguistik. Dalam menafsirkan acuan perlu diperhatikan adanya (a) ungkapan berbeda tetapi acuannya
sama, (b) ungkapan sama mengacu pada hal yang berbeda, (c) adanya acuan yang bergeser.

2.

Kohesi Dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia


1.

pengertian kohesi dan koherensi

Sebuah teks (terutama teks tulisan) memerlukan unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan salah satu unsur
pembentuk teks yang penting. Brown dan yule (1983:191) menyatakan bahwa unsur pembentuk teks itulah
yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai sebuah teks atau bukan teks.
Kohesi adalah hubungan antar bagian dalam teks yang di tandai oleh penggunaan unsur bahasa. Perhatikan
contoh dibawah ini:

Kegiatan armada pencari reruntuhan pesawat ulang alik challenger bagaikan tak ada hentinya sejak meledak 28
januari lalu. Tak kurang dari 13 kapal pencari menyapu sekitar 6000 mil persegi samudra atlantik disekitar
landasan peluncuran tanjung kennedy untuk menemukan lokasi jatuhnya pesawat yang membawa awak tersebut.
Selain itu, dikerahkan pula 4 pesawat udara dan 9 helikopter untuk membantu. Sebab, penemuan demi penemuan
mendesak pencarian yang lebih intensif dan dari pecahan-pecahan yang ditemukan akan terungkap rahasia
meledaknya pesawat ruang angkasa yang naas itu.

Untuk menghubungkan informasi antar kalimat dalam wacana di atas di gunakan kata selain itu, sebab,
serta dan kata-kata pengikat ide itu, dapat dilihat dengan jelas. Oleh sebab itu, kata-kata itu pengikat
formal. Istilah yang digunakan untuk mengacupengikat formal itu disebut alat kohesi (cohesion device).
Untuk membentuk wacana yang baik tidak cukup hanya mengandalkan hubungan kohesi. Cook
(1989:23) menyatakan bahwa penggunaan alat kohesi itu memang paling untuk membentuk wacana yng
utuh, tetapi tidak cukup hanya menggunakan pengikat formal tersebut. Ada faktor lain seperti relevasi
dan faktor luar (extratextual factor) yang ikut menentukan keutuhan wacana. Kesesuaian antara teks dan
dunia nyata dapat menbantu menciptakan suatu kondisi untuk membentuk wacana yang uth. Faktor lain,
misalnya pengetahuan budaya juga membantu dalam menciptakan koherensi teks.

A : Ada telpon
B : Aku sedang mandy
C : Ok

(Adaptasi dari widdowson 1978:29)


Contoh wacana yang berupa percakapan diatas mempunyai kohesi yang baik. Namun, jika diperhatikan
secra teliti, percakapan itu tidak mempunya hubungan kohesi. Pada penggalan percakapan itu tidak
terdapat alt kohesi yang menghubungkan antara bagian dalam percakapan itu. Sebaliknya pada
penggalan percakapan itu terdapa perhitungan bagian-bagian yang dirasa sudah di ketahui mitra tuturnya.
Jadi jelas bahwa ada wacana yang mempunyai koherensi, tetapi tidak mempunyai hubungan kohesi. Dari
uraian diatas dapat diketahui bahwa kohesi hanya merupakan salah satu cara untuk membentuk
koherensi. Menurut Rentel (1986:288) ada beberapa cara lain untuk menciptakan koherensi. Koherensi
hubungan para taksis dan hipotaksis (parafaxis dan hypotaxis). Hubungan parataksis itu dapay di
ciptakan dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar (coordinative) dan subordinatif.

(1) Rumah pak wali sangat baik


(2) Jendelanya terbuat dari kayu jat kelas satu
Jendela merupakan subordinatif (bawaan) dari kata rumah, kedua kalimat pada contoh menunjukan
hubungan subordinatif. Pernyataan semacam itu mudah dipahami. Hubungan hipoteksis dapat diciptakan
dengan menggunakan syarat penambahan, dan laporan. Selain di atas, koherensi wacana dapat dibentuk
dengan menyusun ide-ide secara runtut, logis, dan tidak keluar dari topik pembicaraan. Menyusun ide
secara runtut berati menata ide-ide secara teratur, tidak melompat-lompat. Sedangkan penyusunan logis
berarti ide-ide itu di susun denga cara yang dapat diterima oleh akal, misalnya ide disusun dari yang dekat
ke yang jauh,dari yang di kenal ke yang belum di kenal, dari kanan ke kiri (sebalinya). Penyusunan ide
yang tak keluar dari topik pembicaraan berarti ide-ide yang di pilih tidak menyimpang atau masih dalam
ruang lingkup topik yang sedang dibicarakan.

2.

Alat Kohesi

Hubungan kohesif ditandai dengan penggunaan penanda formal. Penanda formal yang di gunakan sebagai
sarana penghubung itu sering disebut alat kohesi. Alat kohesi gramatikal yang berupa referensi dan substitusi
(periksa brown dan yule, 1983, cook, 1989) yang mereka kemukakan sulit dibedakan. Kohesi juga dapat
diciptakan dengan alat konjungsi. Berdasarkan taksonomi yang di kemukakan brown dan yule (1983). Alat
konjungsi itu melipiti beberpa macam seperti dibawah ini:

3.

1.

Penambahan : dan, atau, selanjutnya, senada, tambahan, dsb

2.

Adversatif : tetapi, namun, sebaliknya, meskipun, dsb

3.

Kausal : konsekuensinya, akibatnya dsb

4.

Waktu : kemudian, setelah itu, satu jam kemudian, dsb

Alat Kohesi Antar Kalimat Dalam Wacana BI

Penggunaan bahsa yang apik (well from) perlu memahami persyaratan kewacanaan. Persyaratan itu antara
lain keruntutan dan kepaduan. Alat kohesi yangdigunakan dalam wacana bahasa indonesia antara lain seperti
perian berikut ini:
1.

Alat Kohesi Grametikal


alat kohesi grametikal merupakan alat atau penanda (marker) kohesi yang melibatkan penggunaan unsurunsur kaidah bahasa. Pada umunya, dalam bahasa indonesia ragam tulis digunakan alat kohesi
grametikal sebagai berikut.

1.

sarana kunjuk (referasi)sarana tunjuk merupakan suatu alat yang berupa kata yang menunjuk (mengacu) suatu
acuan (referensi) tertentu. Contohnya adalah sebagai berikut
(18) pertama, dalam masyarakat industrial terjadi perkembangan diferensiasi fungsional. Ini berarti
bahwa kegiatan dalam masyarakat diorganisir. Dikhususkan atau didispensasikan serta dikoordinasikan
dalam subsistem yang majemuk dan yang secara relatif otonom.
Acuan kata tunjuk ini pada contoh (18) di atas adalah proposisi sebelumnya. Sarana tunjuk ini
mempunyai acuan yang terdekat. Acuan yang terjelas itu tampak jelas pada proposisi yang disebut
sebelunya. Kata ini dapat digunakan sebagai anafora dan katafora. Pada contoh diatas kata ini digunakan
sebagai anatora.
Jenis-jenis sarana tunjuk yang digunakan sebagai alat kohesi seperti berikut ini

1.

Anafora : Itu, Itu, Begitu, Demikian


anafora merupakan sarana tunjuk yang menggantikan atau mengacu pada sesuatu hal atau proposisi
(bagian proposisi) yang telah disebutkan sebelum kata sarana tunjuk itu. Penggunaan anafora
rupanya sangat efektif dan tidak mengubah makna.

2.

Katafora : Ini Begini


kata ini dalam data pemakaian bahasa selain digunakan sebagai anafora juga di pakai sebagai
katafora. Perhatikan contoh berkut
(22) dalam skema yang lain pun kemungkinan di atas dapat digambarkan, seperti terlihat dibawah
ini,
Pada contoh (22), kata (dibawah) ini menunjuk pada hal yang belum disebutkan. Kata ini pada
contoh di atas disebut katafora, sebab kata tersebut mengantikan sesuatu hal belum disebutkan
sebelumnya.

2.

Penggantian (substitusi)
penggantian merupakan suatu cara mengulang bagian proposisi dengan kata atau frase lain. Kata yng
mengganti suatu kata lain, tanpa mengubah referensi yang dimaksud disebut substitusi. Secara umum
penggantian itu dapat berupa kata ganti orang, tempat dan sesuatu hal.
Kunjungan bahasa indonesia
Alat kohesi kunjungan dalam bahasa indonesia dibedakan menjadi beberapa macam. Dibawah ini di
sajikan klasifikasi konjungsi berdasarkan hubungan proposisi yang di wujudkan dalam dua kalimat.
1.

Konjungsi Urutan Waktu


dalam bahasa indonesia tulis, alat kohesi yang menunjukan urutan waktu seperti contoh berikut
(26) filsafat, meminjam pemikiran will durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut
pantai untuk pendaratan pasukan infanten. Pasukan infanten ini adalah sebagai pengetahuan yang
diantarnya adalah ilmu filsafat yang memenangkan tempat berpjak bagi kegiatan keilmuan setelah
itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini
menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan (jun 20:10)

Pada contoh (26), konjungsi yang digunakan untuk menunjukkan urutan waktu adalah frasa seelah
itu, kata setelah biasanya menunjukkan bahwa proposisi yang mengikutin kata itu sebagai proposisi
lanjutan. Kata setelah biasanya digunakanuntuk alat kohesi intrakalimat. Namun, jika kata setelah
dirangkai dengan anafora yang merujuk sesuatu yang telah disebut sebelumnya. Maka kata itu dapat
digunakan sebagai alat kohesi antar kalimat. Anafora yng di maksud adalah kata itu-kata itupada
frasa setelah itu merujuk proposisi sebelumnya. Kata itu dalam bahasa indonesia tergolong anafora
yang dapat menggantikan suatu proposisi yang telah di sebutkan.

Penggunaan alat kohesi urutan waktu itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
Pertama, proposisi-proposisi di hubungkan dalam suatu rangkaian yang membentuk suatu tahapan
waktu. Kedua, dalam urutan waktu yang progresif, proposisi, yang di tempatkan dalam urutan
pertama atau terdahulu sebaiknya proposisi yang mengandung penunjuk waktu lebih awal.

2.

Konjungsi Alihan
untuk menyatakan dua proposisi berurutan yang menunjukkan hubungan pilihan sering digunakan
kata atau seperti contoh berikut ini (28) seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang
berpijak di bumi sedang tengada kebintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dan
kemestaan galaksi, atau orang yang berdiri kepuncak tinggi memandang kengarai dan lembah
dibawahnya.

3.

Kanjungsi Alahan
untuk lebih jelasnya, anda perhatikan contoh berikut (29) mendung kelabu menyelimuti kata
metropolitan itu kemarin meskipun begitu, tak setetes air pun yang jatuh.
Mendung kelabu berhubungan dengan hujan. Kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa kalau ada
mendung maka akan terjadi hujan. Namun, dalam contoh (29) diatas tidak terjadi hujanhubungan
inilah yang menunjukkan hubungan alahan.
Bentuk frasa lain yang bisa digunakan untuk menunjukan hubungan alahan antara dua
proposisiadalah meski (pun). Demikian, meski (pun), begitu, kendati (pun) demikian, kendatipun,
begitu, biarpun, demikian, dan biarpun begitu.

4.

Konjungsi Kesamaan

dalam proses komunikasi, adakalanya pengiriman pesan dalam mengungkapkan ujaran merasa masih
ada sesuatu pesan yang bersifat ( termasuk impukatur ) dalam ujaranya. Jika sesuatu yang bersifat itu
di duka di pahami oleh mitra, maka sering terjadi pengirim pesan ingin memperjelas dengan
ungkapan lain bila proposisi yang di ungkapkan itu tidak berbeda dengan sebelumnya, biasanya
digunakan alat kohesi yang berupa parafrase.

5.

Konjungsi Ketakserasian
dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Proposisi yang di urutkan tidak selalu menunjukan
ketidakserasian. Ketidakserasian itu pada umumnya di tandai dengan perbedaan proposisi yang
terkandung didalamnya, bahkan sampai pada pertentangan. Dua proposisi yang tidak serasi biasanya
diurutkan dengan menggunakan alat kohesi tak serasian.

6.

Konjungsi Keserasian
Konjungsi keserasian digunakan apabila dua buah ide atau proposisi itu menunjukkan hubungan yang
selaras atau sama. Perhatikan contoh berikut.
Berfilsafat berarti berendah diri bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan
yang seakan tidak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian
untuk berterus-terang, seberapa jauh sebenarnyakebenaran yang telah kita jangkau.

7.

Konjungsi Tambahan (adatif)


Konjungsi tambahan berguna untuk menghubungkan bagian yang bersifat menambah informasi.
Konjungsi jenis ini pada umumnya digunakan untuk merangkai dua proposisi atau lebih. Perhatikan
contoh berikut

Kegiatan armada pencari reruntuhan pesawat ulang-alik challenger bagaikan tak ada hentinya. sejak
meledak 28 januari lalu. Tak kurang dari 13 kapal pencari menyapu sekitar 6000 mil persegi samudra
atlantik disekitar landasan peluncuran tanjung kennedy untuk menemukan lokasi jatuhnya pesawat yang
membawa awak tersebut. Selain itu, dikerahkan pula 4 pesawat udara dan 9 helikopter untuk membantu.
Sebab, penemuan demi penemuan mendesak pencarian yang lebih intensif dan dari pecahan-pecahan
yang ditemukan akan terungkap rahasia meledaknya pesawat ruang angkasa yang naas itu.

8.

Konjungsi Pertentangan (Kontras)

Hubungan pertentangan terjadi apabila ada dua ide / preposisi yang menunjukkan kebalikan atau
kekontrasan. Untuk menyatakan adanya hubungan pertentangan dapat digunakan alat kohesi
pertentangan. Alat yang biasa digunakan misalnya (akan tetapi, sebaliknya dan namun) perhatikan
contoh berikut.
Kali baru timur di daerah Bungur, Jakarta pusat merupakan perkampungan yang padat. Daerah ini
berdekatan dengan pusat perdagangan senen yang sibuk dan ramai serta tak jauh pula dari stasiun
kereta api. Di pinggir rel berjejer gubuk-gubuk buruk dan perumahan yang desak mendesak. Disekitar
ini mengalir sungai kecil berair hitam kental dan menyebar bau. Nyamuk berseliwaran, pengemis,
pelacur, pencoleng dan gelandangan berkeliaran. Namun, di kampung kumuh ini sedang dibangun
sekolah mewah. Bagaikan sebutan untuk hotel, orang-orang mengatakan sekolah ini berbintang lima.
Belum rampung di bangun pun memang sudah nampak mentereng karena di kerjakan oleh biro
arsitek ternama atclier erum, kelihatan ganjil, sebab kontras dengan keadaan sekitarnya.

9.

Konjungsi Perbandingan (komparatif)


Untuk menunjukkan dua proposisi yang menunjukkan alat perbandingan diperlukan kohesi alat
perbandingan. Alat transisi perbandingan ini digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan
persamaan atau perbedaan antara bagian yang satu dengan yang lain. Untuk menyatakan hubungan
perbandingan secara eksplisit sering digunakan kata penghubung antara lain sama halnya, berbeda
dengan itu, seperti, dalam, hal seperti itu, lebih dari itu, serupa dengan itu, sejalan dengan itu. Contoh
Pantun, puisi asli indonesia, berbeda dengan syair, pantun mempunyai dua bagian setiap bait, yaitu
bagian sampiran dan isi. Sampiran terdapat pada dua baris pertama, sedangkan isinya terkandung
pada dua baris terakhir, berbeda dengan pantun syair hanya memiliki isi-isi terkandung dalam
keempat baris dalam satu bait tersebut. Perbedaan ini dapat dilihat pada persajakan diakhir baris.
Pantun bersajak selang-seling (abad) sedangkan syair bersajak sama (aa-aa) jadi,jelas puisi asli
indonesia itu berbeda dengan puisi dari arab.

10. Konjungsi Sebab Akibat (kausalitas)

Sebab dan akibat merupakan dua kondisi yang berhubungan. Hubungan sebab akibat baik salah atau
proposisi menunjukan penyebab terjadinya suatu kondisi tertentu yang merupakan akibat, atau
sebaliknya. Hubungan sebab akibat dalam wacana seperti:akibatnya konsekuensinya dengan
demikian, oleh karna itu, sebab. Contoh:
-menggugat polisi dalam perkara praperadilan termasuk bukan soal mudah, karna itu yang dilakukan
farid menjadi istimewa, bukan karna ia anak pak de yang kini tengan berpekara dengan tuduhan
melakukan pembunuhan terhadap Ny. Ending dan Dice. Juga karna ternyata gugatannya terhadap
polisi, jumat pekan lalu dimenangkan pengadilan. Hakim pengadilan negeri Jakarta Timur, M.Anas
Chas, menganggap penangkapan dan penahanan terhadap farid oleh polisi 06 Desember 1986, tidak
sah karena itu kas negara harus membayar ganti rugi kepada farid Rp. 200 ribu.

11. Konjungsi Harapan (Optatif)


hubungan optatif terjadi apabila ada ide atau proposisi yang mengandung suatu harpan atau doa.
Sebuah ide yang menunjukkan suatu harapan atau doa biasanya didahului dengan alat kohesi optatif,
seperti contoh berikut: dapat segera dihadapiny. Salah satu cara yang dilakukan pengirim pesan dengan
menggunakan cara penegasan.

Konjungsi Penjelasan
Dalam menyampaikan pikiran, perasaan, peristiwa, kadaan, dan sesuatu hal (disebut proposisi) ada
kalanya, seorang penyampai pesan merasa belum puas dalam penyampaiannya. Ia merasa proposisi
yang disampaikan belum seluruhnya dipahami oleh penerima. Untuk itu, ia berusaha menyampaikan
dengan jelas.

3.

Alat Kohesi Leksikal

Secara umum alat kohesi leksikal berupa kata atau frasa bebas yang mampu mempertahankan hubungan
kohesif antara kalimat yang mendahului dengan kalimat yang mengikuti. Menurut rentel(1986:268-289)
alat kohesi leksikalterdiri atas dua macam

Pertama, relterasi (pengulangan) yaitu alat kohesi yang digunakan dengan mengulang sesuatu proposisi
atau bagian dari proposisi. Kedua, kolokasi kata yang menunjukkan adanya hubungan kedekatan tempat
(lokasi)
1.

Relterasi Pengulangan
relterasi pengulangan merupakan cara untuk menciptakan hubungan yang kohesif. Jenis-jenis
relterasi itu meliputi berikut ini

1.

Repetisi / Ulangan
merupakan salau satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antar kalimat.
Macam-macam ulangan atau repetisi dalam wacana bahasa indonesia dapat anda perhatikan
pada bagian berikut

1.

Ulangan penuh

2.

Ulangan dengan bentuk lain

12. Konjungsi Ringkasan Dan Simpulan


konjungsi ringkasan dan simpulan berguna untuk mengantarkan dari bagian yang berisi uraian

12. Konjungsi Misalan


dalam memberikan informasi sering diperlukan suatu contoh.
Contoh itu berfungsi untuk memperjelas suatu uraian, ksusnya uraian yang berisi abstrak. Bentuk
konjungsi yang sering digunakan antara lain contohnya, misalnya, umpamanya.

12. Konjungsi Keragu-Raguan (Dubitatif)


konjungsi keragu-raguan digunakan untuk mengantarkan bagian yang masih menimbulkan keraguan.
Kata yang digunakan adalah jangan-jangan, barang kali, mungkin, kemungkinan besar.

12. Konjungsi Pengakuan (Konsesi)

dalam memberikan penjelasan adakalanya pengiriman pesan mengakui sesuatu kelemahan atau
kekurangan yang terjadi diluar jalur yang dibicarakan. Pengakuan itu dapat dinyatakan dengan kata
memang atau tentu saja.
12. Konjungsi Tegasan
dalam usaha menyampaikan proposisi kepada penerima, pengirim pesan sering menggunakan berbagai
macam cara agar proposisi yang disampaikan itu jika telah selesai.

ata referens atau reference berasal dari kata kerja refer Yang berarti to turn to for aid
or information yang berarti menunjuk sesuatu untuk bantuan atau informasi. Dan to refer to
yang berarti merujuk ke sesuatu. Sebagai suatu istilah teknis, beberapa ahli memberikan
definisi yang satu sama lain menunjukkan sedikit perbedaan sesuai dengan sudut pandang
masing-masing.
Tetapi pada dasarnya yang dimaksud dengan layanan referensi adalah layanan yang
diberikan kepada pemustaka meliputi pemberian informasi, bimbingan penggunaan
perpustakaan dan penelusuran informasi.
Layanan referensi berfungsi untuk mengarahkan, menunjukkan, menggali, menelusur
informasi dari berbagai sumber informasi yang ada di perpustakaan maupun di luar
perpustakaan baik tercetak maupun non cetak untuk menjawab kebutuhan pengguna. Dengan
layanan referensi pengguna akan mendapatkan informasi secara cepat, dimana dalam layanan
referensi tersebut.
Menurut American Library Association Glossary Of Library Terms koleksi referensi atau
bahan rujukan adalah pertama, sebuah buku yang disusun dan diolah sedemikian rupa untuk
digunakan sebagai sumber menemukan informasi tertentu dan tidak untuk dibaca secara
keseluruhan, dan yang kedua adalah sebuah buku yang penggunaanya terbatas dalam gedung
perpustakaan.
Menurut Bopp (1991), ada 3 jenis layanan referensi dasar (pokok) yang pada teorinya
digolongkan secara terpisah, tetapi pada prakteknya terkadang dilakukan secara bersamasama.
Ketiga jenis layanan referensi tersebut adalah layanan informasi yang dilakukan dengan
cara menjawab pertanyaan-pertanyaan pengguna sesuai kebutuhan informasi mereka mulai
dari informasi yang sangat sederhana sampai dengan informasi yang sangat kompleks,
melayani kebutuhan informasi pengguna dengan cara melakukan kerjasama, silang layang
dan lain-lain.

Kedua, adalah pembelajaran (instructional) yaitu memberikan petunjuk dan pengajaran


kepada pengguna untuk dapat menemukan letak informasi (locate information) yang
dibutuhkan secara mandiri atau membantu pengguna untuk memilih dan menggunakan alatalat bantu (reference tools) yang ada seperti menggunakan koleksi referensi, menggunakan
katalog, menggunakan database online, internet, dan lain-lain. Jenis layanan yang ketiga
adalah bimbingan (guidance).

eferensi
Kata referensi berasal dari inggris reference dan merupakan kata kerja to refer yang artinya
menunjukan kepada. Buku referensi adalah buku yang dapat memberikan keterangan topik
perkataan,tempat,peristiwa,data statistika,pedoman,alamat,nama orang,riwayat orang-orang
terkenal.pelayanan referensi adalah pelayanan dalam menggunakan buku-buku referensi.di
perpustakaan biasanya buku-buku referensi di kumpulkan tersendiri dan di sebut koleksi
referensi sedangakan ruang tempat penyimpanan disebut ruang referensi. Buku-buku
referensi yang karena sifatnya sebagai buku penunjuk, harus selalu tersedia di perpustakaan
sehingga dapat di pakai oleh setiap orang pada setiap saat.
Timbangan Buku
Pengertian dan Tujuan Resensi adalah tulisan timbangan suatu hasil karya atau wawasan
tentang baik dan kurang baiknya kualitas suatu tulisan yang terdapat dalam suatu karya.
Resensi dapat pula diartikan sebagai suatu tulisan yang memberikan penilaian terhadap suatu
karya baik fiksi maupun nonfiksi dengan cara mengungkapkansegi keunggulan dan
kelemahannya secara objektif.

Tujuan penulisan resensi adalah:

a. Menimbang agar suatu hasil karya memperoleh perhatian dari orang-orang yang belum
mengetahui atau membutuhkannya.
b. Memberikan penilaian dan penghargaan terhadap isi suatu hasil karya sehingga penilaian
itu diketahui khalayak.
c. Melihat kesesuaian latar belakang pendidikan/penguasaan ilmu pengarang dan kesesuaian
karakteristik tokoh, penokohan, atau setting dengan bahan yang disajikannya.

d. Mengungkapkan kelemahan suatu tuisan dan sistem penulisan atau alur suatu hasil karya.
e. Memberikan pujian atau kritikan yang konstruktif terhadap bobot ilmiah atau nilai sastra
karya tulis seseorang.

Cara Membuat Resensi


Pada saat kita akan membuat resensi nalar kita harus siap bahwa bahan-bahan yang akan
diresensi betul-belul diketahui dan dikuasai. Dengan demikian hasil resensi kita bukan hanya
mengungkapkan segala sesuatu yang terdapat dalam karya tersebut, melainkan mencakup
pula uraian perbandingan dengan karya-karya lain yang sejenis.
Hal-hal yang harus mendapat perhatian dari seorang resentator untuk membuat resensi:
a. Resentator harus bersikap objektif terhadap sesuatu yang akan diresensi dan meninggalkan
sepenuhnya sikap subjektif.
b. Resensator mempunyai wawasan yang cukup luas terhadap bahan yang akan diresensi.
c. Resensaor harus mencoba membandingkan dengan sajian bentuk lain yang memiliki
kesesuaian dengan bahan yang akan diresensi.
d. Resensator harus mencoba memberikan komentar dengan acuan yang jelas dan terarah
pada bagian yang diberi komentar agar tidak menimbulkan kesalahtafsiran antara resensator
dengan penulis
e. Resensator harus mengungkapkan data yang diresensi secara jelas dan lengkap agar dapat
dengan mudah dihibung-hubungkan di antarra keduanya oleh pembaca.
f. Resensaor harus menghindari interpretasi yang keliru terhadap bahan yang resensi dengan
jalan mengetahui tujuan dan arah penulis karya tersebut

Bentuk resensi yang paling populer adalah resensi buku atau timbangan buku. Untuk
meresensi buku pertama-tama kita harus membaca buku itu sampai selesai dan
memahaminya. Setelah membaca buku tersebut kita akan dapat mengetahui bagaimana
penulis buku mengungkapkan gagasannya sesuai dengan tujuan yang digariskannya.Bagian
yang harus ada dalam karangan resensi adalah identitas buku, jenis buku, kutipan
singkat/ikhtisar buku, penilaian resensator terhadap kualitas buku, dan ajakan kepada
khalayak untuk mengetahui isi buku secara keseluruhan dengan jalan membaca atau memiliki
buku tersebut.

a. Identitas buku
Identitas buku meliputi: foto copy jilid luar buku atau foto buku tersebut, judul buku,
pengarang, penerbit,tahun terbit, kota terbit, ukuran buku, jumlah halaman, dan harga buku.
b. Jenis Buku
Pada bagian jenis buku, resensator mengelompokkan jenis buku tersebut berdasarkan ciri-ciri
yangterdapat di dalam buku itu. Misalnya kita mengenal jenis fiksi, nonfiksi, ilmiah,
nonilmiah (hiburan), buku remaja, anak-anak, dewasa, keagamaan, psikologi, dan
sebagainya.
c. Kutipan Singkat atau Ikhtisar Buku
Bagian yang mengungkapkan kutipan singkat atau ikhtisar buku tersebut adalah bagian yang
menjadi idesentral buku itu. Hal itu akan diketahui jika resensator memahami seluruh isi
buku itu danmenghubungkannya dengan isi buku yang diresensi. Gambaran umum tentang isi
buku pun dapat digunakanuntuk mengisi bagian buku lain, tentama gambaran yang dapat
ditangkap oleh resensator tetapi bukanmenginterpretasi.
d. Penilaian Kualitas Buku
Penilaian terhadap kualitas suatu buku tentu saja bertolak dari pengungkapan beberapa
bagian yang dapatdiunggulkan dari isi buku tersebut dan bagian yang melemahkan kualitas
buku tersebut dengansikap/wawasan yang sangat luas dan sikap objeklivitas tinggi. Pada
bagian ini dapat pula dimasukkan kritikterhadap isi buku.
e. Ajakan
Ajakan dalam resensi adalah ajakan kepada pembaca yang belum memiliki atau membaca
buku tersebut.Ajakan yang dimaksud bertolak dari ungkapan kualitas suatu buku yang
diharapkan dapat dibaca dandipahami bagi khalayak yang belum mengetahuinya.
f. JudulResensi
Judul yang digunakan untuk karangan resensi merupakan gambaran kesimpulan isi buku itu
secarakeseluruhan atau ciri khas dari buku yang resensi agar tampak lebih menonjolkan
eksitensi isi bukutersebut. Cara lain dalam memberikan judul resensi adalah menggambarkan
suatu hal yang kecil tetapimempunyai citra tersendiri dari buku itu dengan argumentasi
yang kuat dari resensator tentang hal yangkecil itu. Dapat dikatakan judul tulisan resensi
adalah nama atau julukan yang diberikan oleh seorangresensator terhadap buku yang
diresensinya.

Timbangan Pustaka
Pustaka adalah halaman terakhir yang di buat untuk mengetahui data-data yang di ambil dari
sumber-sumber yang ada dalam buku,majalah,komik,maupun dari internet.supaya pembaca
dapat mengetahui dasar dari pembuatan buku ini supaya tidak di bilang copy paste/menjiplak
karya orang lain.karena setiap mengambil data tidak mencantumkan sumber/penerpit/nama
orang pengarang akan di kenakan pidana dalam pasal yang ada di indonesia.

www.penguasa hati.com

erensi sebagai suatu tindakan dimana seorang penutur atau penulis menggunakan bentuk
linguistic untuk memungkinkan seorang pendengar atau pembaca mengenali sesuatu.
Bentuk-bentuk linguistic itu adalah ungkapan-ungkapan pengacuan yang mungkin berupa
nama diri, frasa nomina tertentu atau frasa nomina tidak tentu dan kata ganti orang.
Jadi refernsi dengan jelas terkait dengan tujuan (maksud) penutur dan keyakinan penutur
dalam pemakaian bahasa. Agar terjadi referensi yang sukses kita juga harus mengenali peran
inferensi. Karena tidak ada hubungan langsung antara entitas-entitas dan kata-kata, tugas
pendengar adalah menyimpulkan secara benar entitas mana yang dimaksudkan oleh penutur
untuk dikenali dengan menggunakan suatu ungkapan pengacuan yang khusus. Sehingga
penutur dan pendengar memiliki peran untuk memikirkan tentang apa yang sedang dipikirkan
orang lain dalam benaknya.
a.

Pemakaian Referensial dan Pemakaian Atributif


Pentinglah mengetahui bahwa tidak semua ungkapan memiliki referen fisik yang dapat
dikenali. Frasa nomina tidak tentu dapat dipakai untuk mengenali suatu entitas yang ada
secara fisik tetapi ungkapan-ungkapan itu juga dapat dipakai untuk menjelaskan entitasentitas yang diasumsikan ada, tetapi tidak dikenal, atau entitas-entitas sejauh yang kita
ketahui, yang tidak ada.
Kadangkala yang disebut dengan pemakaian atributif berarti siapa saja/apa saja yang
sesuai dengan uraiannya. Pemakaian atributif bergantung pada asumsi penutur bahwaa suatu
refern harus ada.
Penutur sering mengajak kita untuk berasumsi, melalui pemakaian atributif, bahwa kita
dapat mengenali apa yang sedang mereka bicarakan, bahkan jika entitas atau orang yang
dideskripsikan mungkin tidak ada.

b.

Nama dan Referensi


Suatu pandangan refernsi pragmatic secara benar membolehkan kita melihat bagaimana
seseorang dapat diidentifikasi melalui ungkapan Sandwich Keju dan suatu benda atau
barang dapat diidentifikasikan melalui nama Shakespeare.
Contoh: a. Ita: Dapatkah saya meminjam Shakespearemu?
Deriz: Ya, ada di atas meja sana.
b. Deriz: Sandwich keju duduk dimana?
Ita : Dia duduk disana, dekat jendela.
Pemakaian suatu nama diri secara referensial untuk mengenali objek apapun yang
sedemikian mengajak pendengar untuk membuat kesimpulan yang diharapkan dan dari sini
menunjukkan dirinya sendiri untuk menjadi satu anggota masyarakat yang sama sebagai
penutur.

c.

Peranan Ko-teks
Kemampuan kita untuk mengenali referen banyak tergantung pada pemahaman kita
tentang ungkapan-ungkapan pengacuan.
Ko-teks dengan jelas membatasi rentangan interpretasi ysng mungkin kita miliki terhadap
suatu kata. Ungkapan pengacuan sebenarnya memberikan suatu rentangan referensi yaitu
sejumlah referensi yang memungkinkan.
Suatu ko-teks adalah sekedar suatu bagian lingkungan linguistic dimana ungkapan
pengacuan dipakai. Lingkungan fisik atau konteks mungkin lebih mudah dikenali karena
memiliki pengaruh yang kuat tentang bagaimana ungkapan pengacuan itu harus
diinterpretasikan
Jadi referensi secara sederhana bukan merupakan hubungan antara arti suatu kata atau
frasa dengan suatu objek atau orang di dunia ini. Referensi adalah suatu tindakan social
dimana penutur berasumsi bahwa kata atau frasa yang dipilih untuk mengenali suatu objek
atau orang akan ditafsirkan sebagai yang dimaksudkan penutur.

d.

Referensi Anaforik
Refensi yang sudah diperkenalkan biasanya dikenal sebagai referensi anaforik atau
anaphora. Di dalam istilah-istilah teknis, ungkapan-ungkapan kedua atau ungkapan-ungkapan
berikutnya disebut anafor dan ungkapan awal disebut antaseden
Adalah hal yang menarik memikirkan tentang referensi anaforik sebagai suatu proses
kesinambungan untuk mengenali secara benar entitas yang sama seperti yang ditunjukkan
oleh anteseden.

Katafora merupakan pembalikan pola anaphor anteseden yang yang kadang-kadang


ditemukan pada permulaan suatu cerita.
Jika suatu penafsiran itu mengharuskan kita untuk mengenali suatu entitas dan tidak
ada ungkapan linguistic yang ada, penafsiran ini disebut Anafora zero atau ellipsis. Kegunaan
anafor zero sebagai suatu alat untuk menetapkan referensi jelas menciptakan suatu harapan
yang memungkinkan seorang pendengar mampu menyimpulkan siapa atau apa yang
dimaksudkan penutur untuk dikenali.
Kunci untuk memahami referensi adalah bahwa proses pragmatic dimana penutur
memilih ungkapan-ungkapan linguistic dengan maksud untuk mengenali entitas-entitas
tertentu dan dengan asumsi bahwa pendengar akan bekerja sama dan memahami ungkapanungkapan itu seperti yang dimaksudkan oleh penutur.
Referensi yang berhasil berarti bahwa suatu maksud dapat dikenali melalui
inferensi/kesimpulan yang menunjukkan sejenis pengetahuan yang dimiliki bersama dan dari
sini terjadi hubungan social. Asumsi tentang pengetahuan yang dimiliki bersama penting juga
dilibatkan dalam studi Presupposisi.

eferensi dan inferensi (wacana)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Melihat fenomena yang terjadi dalam tindak tutur dalam kehidupan masyarakat
sehari-harimengenai acauan pemikiran kita mengenai suatu hal dan cara mengambil suatu
simpulan atau interpernsi yang berupa anggapan atau argumen maupun persepisi terhadap apa
yang disampaikan oleh penutur. Oleh karena itu, kita sangat penting mengetahui tetang
bagaimana kita melakukan pengkodean terhadap bahasa.
Referensi di dalam bahasa yang menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru
(untuk memperkenalkan) atau untuk menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah
jelas biasanya dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang panjang, biasanya muncul
beberapa predikat dengan subjek yang sama dan subjek menjadi topik juga. Subjek hanya
disebutkan satu kali pada permulaan kalimat, lalu diganti dengan acuan (referensi) yang
sama.
Sedangkan Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks
penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur
adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan
(eksplikatur).
Kedua istilah ini tidak terlepas dalam percakapan atau tindak tutur dalam kehidupan
sehari. Oleh karena itu, kita perlu memahami kedua istilah ini lebih mendalam.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan rumusan masalah
yaitu:
1. Apakah pengertian referensi dan inferensi?
2. Apa sajakah jenis-jenis referensi dan inferensi?
1.3 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa sebagai referensi kuliah secara
teoritis maupun secara praktis.

Secara toeritis, makalah ini dapat menambah khasanah pengetahuan mengenai


Referensi dan inferensi dalam tindak tutur

bahasa dalam kehidupa sehari-hari.. Secara

praktis, makalah ini bermanfaat pembaca untuk dapat mengetahui cara bagaimana untuk
melihat acuan yang dijadikan sebagai rujukan oleh penutur dan menarik sebuah kesimpulan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Referensi
Secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda. Kata buku
mempunyai referensi (tunjukan) kepada sekumpulan kertas yang terjilid untuk ditulis atau
dibaca. Senada dengan pernyataan itu Djajasudarma (1994:51) mengemukakan bahwa secara
tradisional, referensi merupakan hubungan antara kata dan benda, tetapi lebih lanjut
dikatakan sebagai bahasa dengan dunia. Ada pula yang menyatakan referensi adalah
hubungan bahasa dengan dunia tanpa memperhatikan pemakai bahasa. Pernyataan demikian
dianggap tidak berterima karena pemakai bahasa (pembicara) adalah penutur ujaran yang

paling tahu referensi bahasa yang diujarkanya. Pengacuan atau referensi adalah salah satu
jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual
lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam 2003:23) Menurut
Ramlan (1993:12) yang dimaksud referensi (penunjukan) adalah penggunaan kata atau frasa
untuk menunjuk atau mengacu kata, frasa, atau mungkin juga satuan gramatikal yang lain.
Dengan demikian, dalam penunjukan terdapat dua unsur, yaitu unsur penunjuk dan unsur
tertunjuk. Kedua unsur itu haruslah mengacu pada referen yang sama. Referensi sebagai
acauan memiliki beberapa jenis, antralain;
2.1.2 Referensi Berdasarkan Tempat Acuannya
Lebih lanjut Sumarlam (2003:23) menegaskan bahwa berdasarkan tempatnya, apakah
acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks, maka pengacuan dibedakan menjadi dua
jenis:

1. Pengacuan Endofora
Referensi ini, apabila acuanya (satuan yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks,
dan .Endofora terbagi atas anafora dan katafora berdasarkan posisi (distribusi) acuannya
(referensinya).
Anafora merpakan piranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang hal atau kata yang telah
dinyatakan sebelumnya. Piranti itu dapat berupa kata ganti persona seperti dia, mereka,
konjungsi keterangan waktu, alat dan acara.
Contoh: Bu Mastuti mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sejauhnya dua
tahun lalu.
Pada kata dia beranafora dengan Bu Mastuti.

Katafora merupakan piranti dalam bahasa yang merujuk slang dengan anteseden yang
dibelakngnya.
Contoh: Setelah dia masuk, lansung Toni memeluk adiknya.
Salah satu interpretasi dari kalimat di atas ialah bahwa dia merujuk pada Toni miskipun ada
kemungkinan interpretasi lain. Gejala pemekain pronominal seperti dia yang merujuk pada
anteseden Toni yang berada di sebelah kanannya inilah yang disebut katafora.
2. Pengacuan Eksofora

Referensi eksofora, apabila acuanya berada atau terdapat di luar teks percakapan.
Contoh: mobil saya kehabisan bensin, dia yang mengisinya.
2.1.2 Referensi Berdasarkan Tipe Satuan Lingual
Halliday dan Hasan (dalam Hartono 2000:147) membagi referensi menjadi tiga tipe,
yaitu: (1) referensi personal, (2) referensi demonstratif, dan (3) referensi komparatif.

1. Referensi Personal
Referensi persona mencakup ketiga kelas kata ganti diri yaitu kata ganti orang I, kata
ganti orang II, dan kata ganti orang III, termasuk singularis dan pluralisnya. Referensi
persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang). Pronomina persona
adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang. Pronomina persona dapat
mengacu pada diri sendiri (pronominal persona pertama), mengacu pada orang yang diajak
bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina
persona ketiga).
Persona pertama
Persona pertama tunggal dalam bahasa indonesia adalah saya, aku, dan daku.
Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk ku dan

ku-. Penggunaan persona

pertama tunggal tampak pada kalimat berikut.


Contoh:
Kado buat adik, aku buat seindah mungkin.
Saya tidak tahu mengenai masalah kecelakaan tadi pagi
Menurutku andi memang anak yang pandai.
Di samping persona pertama, di dalam bahasa indonesia juga mengenal persona
jamak, yaitu kami, dan kita. Kalimat berikut mengandung persona pertama jamak.
Contoh:
Kami semua adalah tulang punggung bangsa. Kita harus mampu bersaing dengan bangsa lain
dalam teknologi.
Persona kedua
Persona kedua mempunyai beberapa wujud, yaitu engkau, kamu, anda, dikau, kau-,
dan mu-. Persona kedua mempunyai bentuk jamak engkau dan sekalian. Persona kedua yang

memiliki variasi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah
kau- dan mu-. Berikut ini kutipan kalimat yang menggunakan persona kedua.
Conoh:
Engkau bagaikan matahari di dalam hatiku. Apakah anda mengenal orang ini. Ada keperluan
apa engkau datang malam ini.
Persona ketiga
Ada dua macam persona ketiga tunggal, (1) ia, dia, atau nya, dan (2) beliau. Adapun
persona ketiga jamak adalah mereka. Berikut ini kalimat yang menggunakan persona ketiga.
Contoh:
Mereka semua yang ada di kelas adalah mahasiswa jurusan bahasa indonesia. Kakaknya telah
meninggal dunia setahun yang lalu karena kecelakaan. Beliau terkenal menjadi pengarang
sejak remaja.
2. Referensi Demonstratif
Menurut Kridalaksana (1994:92) demonstrativa adalah jenis yang berfungsi untuk
menunjukkan sesuatu (anteseden) di dalam maupun di luar tuturan percakapan. Dari sudut
bentuk, dapat dibedakan antara (1) demonstrativa dasar, seperti itu dan ini, (2) demontrativa
turunan, seperti berikut, sekian, (3) demonstrativa gabungan seperti di sini, di situ, di sana,
ini itu, di sana-sini.
Sumarlam (2003:25) membagi pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) menjadi
dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional).
Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini (seperti kini dan
sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti besok dan yang akan
datang), dan waktu netral (seperti pagi dan siang). Sementara itu, pronomina demonstratif
tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini),
agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat
secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta).
Menurut Hartono (2000:150) pronomina penunjuk (demonstratif) dalam bahasa
Indonesia ada empat macam, yaitu (1) pronomina penunjuk umum ini dan itu (mengacu pada
titik pangkal yang dekat dengan penulis, ke masa yang akan datang, atau mengacu ke
informasi yang disampaikan oleh penulis), (2) pronomina penunjuk tempat (pronomina ini
didasarkan pada perbedaan titik pangkal dari pembicara: dekat sini, agak jauh situ, dan jauh
sana), (3) pronominal penunjuk ihwal (titik pangkal perbedaannya sama dengan penunjuk
lokasi dekat begini, jauh begitu dan menyangkut keduanya demikian), dan (4) penunjukan

adverbia titik pangkal acuannya terletak pada tempat anteseden yang diacu, ke belakang tadi
dan berikut, ke depan tersebut.
3. Referensi Komparatif
Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari
segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya (Sumarlam 2003:26). Katakata yang biasa digunakan untuk membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan,
laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan.
Referensi komparatif dalam bahasa Indonesia menurut Hartono (2000:151) berkenaan
dengan perbandingan dua maujud atau lebih, meliputi tingkat kualitas atau intensitasnya
dapat setara atau tidak setara. Tingkat setara disebut tingkat ekuatif, tingkat yang tidak setara
dibagi menjadi dua yaitu tingkat komparatif dan tingkat superlatif. Tingkat ekuatif mengacu
ke kadar kualitas atau intensitas yang sama atau mirip. Tingkat komparatif mengacu ke kadar
kualitas atau intensitas yang lebih atau yang kurang. Tingkat superlatif mengacu ke kadar
kualitas atau intensitas yang paling tinggi di antara adjektiva yang dibandingkan.

2.2 Pengertian Inferensi


Sebuah pekerjaan bagai pendengar (pembaca) yang selalu terlibat dalam tindak tutur
selalu harus siap dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu
penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara atau (penulis).
Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca) mengadakan inferensi.
Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar)
untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan) samapai pada yang
diinginkan oleh saorang penulis (pembicara).
Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh pendengar atau pembicara
karena dia tidak mengetahui apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh
pembicara/penulis. Karena jalan pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan
pikiran pendengar, mungkin saja kesimpulan pendengar meleset atau bahkan salah sama
sekali. Apabila ini terjadi maka pendengar harus membuat inferensi lagi. Inferensi terjadi jika

proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang
secara harfiah tidak terdapat pada tuturan yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara
atau penulis.
Inferensi

adalah

membuat

simpulan

berdasarkan

ungkapan

dan

konteks

penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur


adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan
(eksplikatur). Untuk menarik sebuah kesimpulan (inferensi) perlu kita mengetahui jenis-jenis
inferensi, antara lian;
2.2.1

Inferensi Langsung
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi yang
digunakan untuk penarikan kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas dari
premisnya.
Contoh:
Bu, besok temanku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tidak punya baju
baru, kadonya lagi belum ada.
Maka inferensi dari ungkapan tersebut: bahwa tidak bisa pergi ke ulang tahun temanya.
Contoh:
Pohon yang di tanam pak Budi setahun lalu hidup.
dari premis tersebut dapat kita lansung menari kesimpulan (inferensi) bahwa: pohon yang
ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.

2.2.2

Inferensi Tak Langsung


Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari dua / lebih premis. Proses akal budi
membentuk sebuah proposisi baru atas dasar penggabungan proposisi-preposisi lama.
Contoh:
A : Anak-anak begitu gembira ketika ibu memberikan bekal makanan.
B : Sayang gudegnya agak sedikit saya bawa.
Inferensi

yang

menjembatani

kedua

ujaran

C : Bekal yang dibawa ibu lauknya gudek komplit.


Contoh yang lain;
A : Saya melihat ke dalam kamar itu.
B : Plafonnya sangat tinggi.

tersebut

misalnya

(C)

berikut

ini.

Sebagai missing link diberikan inferensi, misalnya:


C: kamar itu memiliki plafon

BAB III
SIMPULAN
Referensi merupakan acuan, secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata
dengan benda. Kata buku mempunyai referensi (tunjukan) kepada sekumpulan kertas yang
terjilid untuk ditulis atau dibaca. Senada dengan pernyataan itu Djajasudarma (1994:51)
mengemukakan bahwa secara tradisional, referensi merupakan hubungan antara kata dan
benda, tetapi lebih lanjut dikatakan sebagai bahasa dengan dunia. Pengacuan atau referensi
adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu yang mengacu
pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam
2003:23). Referensi memiliki beberapa jenis, yaitu: (1) referensi berdasarkan tempat
acauannya, dan (2) berdasarkan tipe satuan lingulanya. Referensi berdasarkan tempat acauany
dibagi menjadi dua, yaitu referensi endofora dan eksofora. Dan berdasrkan tipe satuan
lingualnya terdiri atas tiga tipe, antara lian: referensi persona, referensi demonstratif
referensi komparatif.
Inferensi memilki pengertian yaitu kegiatan membuat simpulan berdasarkan
ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan
implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan
oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Inferensi memiliki dua jenis yaitu referensi lansung
dan referensi tak lansung.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Cummings Louise, 2007. Pragmatik Sebuah Persfektif Multidisipliner.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Yule George, 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://hasanbusri.blogspot.com/2010/01/kajian-wacana.html
http://wiki.feureau.com/wiki/Filsafat_Ilmu_dan_Logika
http://pbi-pjj.unismuh.ac.id

Menurut Douglas dalam Mulyana (2005: 3), istilah wacana berasal dari bahasa
Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami
perubahan bentuk menjadi wacana.
Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69) membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa
terlengkap dalam hirear ki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang
tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti
novel, cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat,
frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang
lebih besar dari kalimat atau klausa.
Menurut Kamus Linguistik Dewan Bahasa dan Pustaka (1997) dalam Tengku Silvana
Sinar (2008: 5), wacana diterjemahkan sebagai discourse yaitu unit bahasa yang lengkap dan
tertinggi yang terdiri daripada deretan kata atau kalimat, sama ada dalam bentuk lisan atau
tulisan, yang dijadikan bahan analisis linguistik.
Kata wacana dalam bahasa indonesia dipakai sebagai padanan (terjemahan) kata
discourse dalam bahasa inggris. Secara etimologis kata discourse itu berasal dari bahasa latin
discursus lari kian kemari. Kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere
itu merupakan gabungan dari dis dan currere lari, berjalan kencang (Wabster dalam Baryadi
2002:1). Wacana atau discourse kemudian diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam linguistik,
wacana dimengerti sebagai satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat
(Baryadi 2002:2).

Wacana adalah 1. rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan preposisi


yang satu dengan preposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah
makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu; 2. kesatuan bahasa yang terlengkap dan
tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi
yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan
secara lisan atau tertulis (J.S Badudu dalam Eriyanto, 2001: 2).
Secara garis besar, dapat disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa
terlengkap daripada fonem, morfem, kata, klausa, kalimat dengan koherensi dan kohesi yang
tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata,
disampaikan secara lisan atau tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa
tulisan, tetapi persyaratanya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh lebih dari sebuah
kalimat.
Dardjowidjojo dalam Mulyana (2005: 1) menerangkan bahwa kajian wacana
berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa

(verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan, bahwa untuk memahami
wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan
kebahasaan (umum).
Sebagai objek kajian dan penelitian kebahasaan, wacana dapat diteliti dari berbagai
segi. Analisis wacana mengkaji wacana baik dari segi internal maupun eksternalnya. Dari
segi internal, wacana dikaji dari jenis, struktur, dan hubungan bagian-bagian wacana;
sedangkan dari segi eksternal, wacana dikaji dari segi keterkaitan wacana itu dengan
pembicara, hal yang dibicarakan dan mitra bicara.
Aspek-aspek yang terkandung didalam wacana menyuguhkan kajian yang sangat
beragam. Penelitian tentang wacana masih banyak berkutat pada persoalan kebahasaannya
secara internal. Belum banyak penelitian yang mengeksplorasi wacana dari segi eksternalnya,
seperti sosial, sastra, budaya, ekonomi dan lain-lain.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin
ilmu dengan berbagai pengertian.Titik singgung analisis wacana adalah studi yang
berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam dalam Eriyanto (2001: 4) ada
tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivismeempiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis.
Lukmana, Aziz dan Kosasih (2006: 12) mengatakan bahwa analisis wacana kritis
(Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang bersifat
non-kritis, yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana. Analisis
wacana kritis (Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan
menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya akan
berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana
tersebut. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) juga merupakan kritik terhadap
linguistik dan sosiologi. Tampak adanya kurang komunikasi diantara kedua disiplin ilmu
tersebut. Pada satu sisi, sosiolog cenderung kurang memperhatikan isu-isu linguistik dalam
melihat fenomena sosial meskipun banyak data sosiologis yang berbentuk bahasa.
Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk
melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan
sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda (Jorgensen dan Philips, 2007:
114). Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan
fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini (Jorgensen dan
Philips, 2007: 116).

Fairlough dan Wodak dalam Eriyanto (2001: 7) berpendapat bahwa analisis wacana
kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik
sosial. Wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara
peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.
Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi.
Dengan demikian, analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian
empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk
menganalisis wacana, yang salah satunya bisa dilihat dalam area linguistik dengan
memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori
analisis wacana kritis. Teori analisis wacana kritis memiliki beberapa karakteristik dan
pendekatan.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana untuk memperjelas suatu maksud.
Sarana yang dimaksud ialah bagian ekspresi yang mendukung kejelasan maksud dan situasi
yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat
memperjelas maksud disebut ko-teks (co-text). Konteks yang berupa situasi yang
berhubungan dengan kejadian lazim disebut konteks (context) ( Hallyday,M.A.K & Hasan R,
1976 : 29; Rustono, 1999 : 20; Rani, dkk., 2006 : 16). Ko-teks dan konteks dalam analisis
wacana merupakan dua hal yang saling melengkapi. Dengan demikian, mengkaji wacana
sangat bermanfaat untuk memahami makna/maksud penggunaan bahasa yang sebenarnya.
Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, yaitu situasi, pembicara, pendengar,
waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, saluran (Alwi 1998:421). Konteks
wacana meliputi:
a.

konteks fisis (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa pada suatu
komunitas, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari
pada peran dalam peristiwa komunikasi itu.

b. konteks epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui
oleh para pembicara maupun pendengar.
c.

Konteks linguistik (linguistic context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang
mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.

d.

Konteks sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan
antara pembicara (penutur) dengan pendengar
(mitra tutur).

Wacana memiliki dua unsur utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar
(eksternal). Unsur internal wacana berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan

unsur eksternal wacana berkaitan dengan unsur luar bahasa, seperti latar belakang budaya
pengguna bahasa tersebut. Kedua unsur itu membentuk suatu kepaduan dalam satu struktur
yang utuh dan lengkap (Paina, 2010: 53).
Unsur internal wacana terdiri atas satuan kata atau kalimat. Yang dimaksud satuan
kata ialah tuturan yang berwujud satu kata. Untuk menjadi susunan wacana yang lebih besar,
satuan kata atau kalimat tersebut akan bertalian dan bergabung (Mulyana, 2005 : 9).
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang juga merupakan bagian wacana, tetapi
tidak eksplisit, sesuatu yang berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi
sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal wacana itu terdiri atas implikatur,
praanggapan, referensi, dan konteks (Paina, 2010: 54).
Pendekatan analisis wacana kritis menurut Eriyanto terdiri dari lima bagian yaitu
analisis bahasa kritis, analisis wacana pendekatan Prancis, pendekatan kognisi sosial,
pendekatan perubahan sosial, dan pendekatan wacana sejarah. Namun yang ingin dikaji oleh
penulis disini hanya karakteristiknya saja yang terdiri dari lima bagian.
1. Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang diasosiakan sebagai bentuk
interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi,
mendebat, membujuk, menyangga, beraksi dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis
mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai
sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau
diekspresikan di luar kesadaran.

2. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi,
peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada
suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari
komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis
khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan
komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan ada
tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua
bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis

ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks
memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks
3. Historis
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa
memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik,
suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk
mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa
yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
4. Kekuasaan
Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak
dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk
pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau
struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik,
ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting
untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam
bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol
terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat juga diwujudkan
dalam bentuk mengontrol struktur wacana.
5. Ideologi
Wacana dipandang sebagai medium kelompok yang dominan mempersuasi dan
mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki,
sehingga tampak absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika
didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi
menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran.

REFERENSI
Baryadi Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka
Gondhosuli.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS
Hasan Alwi. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Lukmana dan E. Aminuddin Aziz dan Dede Kosasih. 2006. Linguistik Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Paina. 2010. Tindak Tutur Komisif Bahasa Jawa: Kajian Sosiopragmatik. Disertasi. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Silvana Sinar, Tengku. 2008. Teori dan Analisis Wacana : Pendekatan Sistematik Fungsional.
Medan: Pustaka Bangsa Press.
Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama

Anda mungkin juga menyukai