Anda di halaman 1dari 9

NAMA WANDA ANGGARA

NIM 180120180502
KELAS (A) S2 SASTRA KONTEMPORER

OEDIPUS COMPLEX DALAM DUA DONGENG NUSANTARA:


SANGKURIANG DAN WATUGUNUNG

Pendahuluan
Dongeng merupakan salah satu bentuk karya sastra tertua dalam sejarah
kebudayaan manusia. Pada masa pra-aksara dongeng diciptakan dan disebarkan
melalui lisan, yakni mulut ke mulut. Fatimah (2017:1) menyebutkan bahwa
dongeng merupakan salah satu bentuk dari sastra lama yang isinya menceritakan
sebuah kejadian fiksi dan kadang dianggap oleh sebagian masyarakat tidak nyata.
Selanjutnya dongeng biasanya diciptakan untuk menyampaikan pendidikan
moralitas sekaligus juga sebagai hiburan.
Senada dengan Fatimah, Danandjaja (2007:84) mengatakan bahwa
dongeng biasanya menceritakan menceritakan suatu keajaiban atau kejadian ajaib
yang berisi pesan moral dan kadang tidak dapat dicerna menggunakan logika,
karena biasanya memiliki kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat klise.
Akan tetapi, dibalik ketidaklogisan dongeng, tetap saja dongeng sebagai sebuah
karya sastra yang merupakan bagian dari kebudayaan tentunya menyusun
masyarakat dan menentukan tata nilai. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh
Damono sebagai berikut:
“Sastra (dalam konteks ini dongeng), sebagai bagian dari kebudayaan,
ditentukan antara lain oleh geografi dan sumber daya alam. Berdasarkan
kedua hal itulah kita menyusun masyarakat dan menentukan tata nilai.
Dalam karya sastra semua hal tersebut dicatat dan ditanggapi secara
kreatif. Berbagai dongeng yang diciptakan nenek moyang kita, yang
sampai kini masih ada sisanya dalam kenangan kita, perlu dibanding-
bandingkan agar kita mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai
persamaan dan perbedaan antara kita.” (Damono, 2009:29-30)

1
Dari pendapat Damono tersebut, kemudian dapat diargumentasikan bahwa
karya sastra seperti halnya sebuah dongeng merupakan suatu representasi dan
diciptakan dari pelbagai nilai-nilai seperti moral, spritual, ataupun sosial dari
suatu masyarakat yang memegang teguh kepercayaan akan suatu dongeng
tersebut, untuk dapat juga dibandingkan dan diambil nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya.
Selanjutnya, Damono (2009:42) mengungkapkan bahwa kegiatan
membandingkan dongeng bukan hanya agar mendapat gambaran saja, melainkan
dalam kajian sastra bandingan khususnya membandingkan dongeng ialah suatu
kegiatan untuk mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang
ada dan watak suatu masyarakat. Dalam konteks ini, dongeng mencakup segala
jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilah-pilah antara lain menjadi mitos,
legenda, dan fabel. Dalam perkembangan peradaban manusia ditemukan begitu
banyak mitos yang mirip, yang berkembang di berbagai daerah yang tampaknya
sama sekali tidak ada hubungannya.
Senada dengan Damono, Priyawan (2018:16) karya sastra seperti halnya
dongeng memang membuktikan bahwa secara psikologis manusia itu sama. Hal
ini sangatlah beralasan karena setidaknya lewat banyaknya mitos atau dongeng
seperti halnya hubungan sumbang (hubungan terlarang ibu dan anak) yang
berkembang di masyarakat dunia, kita bisa mengetahui bahwa manusia bisa
memiliki kecenderungan yang sama atas perihal kejiwaan mereka.
Dari pendapat Priyawan diatas, dapat diasumsikan bahwasanya setiap
dongeng berkembang di pelbagai daerah yang berbeda dengan latar belakang yang
berbeda pula dan sama sekali tidak memiliki hubungan satu sama lain. Akan
tetapi secara psikologis, manusia dipandang memiliki kesamaan. Hal ini
dibuktikan oleh banyak berkembangnya mitos atau dongeng yang menceritakan
hubungan terlarang ibu dan anak. Kemudian di Indonesia sendiri, dongeng-
dongeng yang menceritakan hubungan terlarang tersebut diantaranya ialah
dongeng Sangkuriang dan Watugunung. Oleh karena itu, kemudian dalam
penelitian ini akan diuraikan oedipus complex dalam dongeng Sangkuriang dan
Watu Gunung.

2
Pembahasan
Pada pembahasan ini akan diuraikan berbagai gambaran dari telaah
struktur psikoanalisis oedipus complex dalam dua dongeng nusantara, yakni
dongeng Sangkuriang dan dongeng Watugunung. Sebelum berbicara lebih jauh
mengenai analisis kedua dongeng tersebut, perihal oedipus complex sendiri
diartikan sebagai suatu kondisi psikoseksual yang mana kecenderungan seorang
anak laki-laki untuk mencintai ibunya.
Kemudian menurut Monalisa (2017:1), istilah oedipus complex sendiri
diambil dari mitologi Yunani yang bercerita tentang Oedipus Rex, seorang raja
Thebes yang tanpa diketahui dirinya telah membunuh ayah kandungnya sendiri
yang bernama Laios, dan menikahi ibunya yang dan kemudian digunakan oleh
Sigmund Freud yang merupakan bapak psikologi analisis dari Austria untuk
menamakan Oedipus Complex pada akhir 1800an. Selanjutnya Monalisa
menjelaskan perihal oedipus complex lebih jauh lagi seperti sebagai berikut:
“Oedipus complex merujuk suatu tahapan perkembangan psikoseksual
pada masa anak-anak, yang mana anak laki-laki menganggap sosok ayah
sebagai musuh dan saingan dalam meraih cinta dan kasih sayang dari
sosok ibu. Kecenderungan pria yang jatuh cinta kepada wanita yang lebih
tua darinya adalah sebuah obsesi atas karakter ibunya.” (2017:2)

Dari pendapat Monalisa tersebut, dapat diasumsikan bahwa oedipus


complex ialah kondisi psikologis yang mana anak laki-laki menganggap sosok
ayah sebagai musuh untuk meraih cinta atau menikahi ibunya sendiri. Kemudian
dalam kaitannya dengan dongeng Sangkuriang dan Watugunung, sesungguhnya
yang benar-benar mengandung wacana oedipus complex ialah dongeng
Watugunung karena berhasil menikahi ibunya sendiri. Sangkuriang tidaklah
menikahi ibunya Dayang Sumbi karena Sangkuriang gagal memenuhi syarat yang
diajukan oleh ibunya tersebut.
Namun disisi lain, wacana oedipus complex pada dongeng Watugunung
tidak menceritakan membunuh ayahnya dan begitu pula Sangkuriang.
Sangkuriang membunuh Tumang ayahnya, semata-mata karena ketidaktahuan
bahwa Tumang adalah ayahnya dan hal tersebut bisa dikatakan sebagai
kecelakaan semata. Dalam dongeng nusantara, konsep oedipus complex yang

3
berkembang cenderung meniadakan sosok ayah tanpa adanya cerita bertarung atau
membunuh atau dengan kata lain sosok ayah dipandang bukan sebagai musuh
atau saingan dalam meraih cinta dan kasih sayang dari sosok ibu. Kemudian
konsep oedipus complex tersebut, dipetakan kedalam poin-poin persamaan
sekaligus perbedaan sebagai berikut. Pertama, persamaan dan perbedaan dari
kedua dongeng tersebut ialah adanya model peniadaan, penghilangan, atau
menghilangnya sosok ayah. Dalam dongeng Watugunung, sosok ayah ditiadakan
lewat cerita bertapanya sang ayah di gunung Semeru. Hal tersebut seperti
tergambar sebagai berikut:
“Disebutkan Raja Danghyang Kulagiri yang memerintah di Kundadwipa.
Raja ini mempunyai dua istri yakni Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia.
Suatu ketika Dahyang Kulagiri sedang bertapa di Gunung Semeru.
Sementara istrinya, Dewi Sintakasih sedang mengandung. Semakin hari
perut Dewi Sintakasih semakin membesar. Akhirnya Dewi Sintakasih dan
Dewi Sanjiwartia memutuskan untuk menyusul Danghyang Kulagiri ke
Gunung Semeru.” (Sujaya, 2013)

Dari kutipan tersebut dapat diasumsikan bahwa sosok ayah Watugunung,


yakni Dahyang Kulagiri ditiadakan dengan pergi bertapa di Gunung Semeru.
Sejak itu pula, tidak ada penceritaan yang jelas lagi mengenai Dahyang Kulagiri.
Bahkan dalam penceritaan selanjutnya kerajaan Kundadwipa dipimpin oleh kedua
istri dari Dahyang Kulagiri, yakni Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Hal
tersebut seperti yang tergambar sebagai berikut:
“Sesudahnya, Watugunung menaklukan kerajaan-kerajaan lainnya. Ada 27
kerajaan yang berhasil ditaklukkannya. Kini tinggal kerajaan Kundadwipa
yang belum ditaklukannya. Disana berkuasa dua raja perempuan bernama
Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia yang tidak lain ibunya sendiri.
Akhirnya, kerajaan ini pun bisa ditaklukan dan keduanya dinikahi.”
(Sujaya, 2013)

Dari kutipan tersebut, dapat diargumentasikan bahwa sosok ayah, yakni


Dahyang Kulagiri sudah benar-benar ditiadakan dan tidak ada sedikitpun
pembunuhan atau pertarungan antara Watugunung dan Dahyang Kulagiri. Sosok
Dahyang Kulagiri sebagai seorang ayah bukanlah musuh atau saingan dalam
meraih cinta dan kasih sayang dari sosok ibu. Sementara disisi lain, dalam
dongeng Sangkuriang pun model peniadaan ayah terjadi hanya perbedaannya

4
Tumang sosok ayah bagi Sangkuriang selalu dihadirkan diawal penceritaan, akan
tetapi diceritakan bahwa ia dikutuk menjadi seekor anjing, dan Tumang juga
dikonstruksi untuk diam seribu bahasa. Hal tersebut seperti yang tergambar
sebagai berikut:
“Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang rajin
dan pandai. Setiap hari, ia ditemani si Tumang pergi ke hutan untuk
berburu rusa dan mencari ikan di sungai. Namun, ia tidak menyadari
bahwa anjing yang selalu menenaminya itu adalah ayah kandungnya
sendiri.” (Tjang, 2017)

Dari kutipan tersebut dapat diasumsikan bahwa Tumang, yakni ayah dari
Sangkuriang tetap ditiadakan secara peran sebagai ayah. Dalam konteks ini, sosok
Tumang tidak menjelaskan bahwa dirinya merupakan ayah Sangkuriang, dan
tidak melakukan peran selayaknya seorang ayah. Selanjutnya sosok Tumang
benar-benar ditiadakan melalui insiden Sangkuriang yang salah memanah dan
akhirnya mengenai Tumang hingga ia mati terkena anak panah Sangkuriang
tersebut.
Kemudian persamaan sekaligus perbedaan kedua ialah adanya model
tokoh utama, yakni Sangkuriang dan Watugunung meninggalkan rumah atau
kabur dan meninggalkan ibunya seorang diri. Dalam model ini, Sangkuriang dan
Watugunung sama-sama mengalami rasa ketakutan, kecewa dan marah setelah
keduanya dipukul oleh sodo atau sendok nasi pada bagian kepala dan menyisakan
luka hingga keduanya dewasa. Dalam dongeng Sangkuriang, Sangkuriang dipukul
oleh Dayang Sumbi dengan alasan bahwa Sangkuriang telah membunuh Tumang.
Hal tersebut seperti yang tergambar sebagai berikut:
“Maaf, Bu! Saya telah membunuhnya. Hati yang ibu makan itu adalah hati
si Tumang,” jawab Sangkuriang dengan tenang, tanpa merasa bersalah
sedikit pun. Seketika itu pula Dayang Sumbi menjadi murka. Ia sangat
marah karena Sangkuriang telah membunuh ayah kandungnya sendiri.
“Apa katamu? Kamu telah membunuhnya? Dasar anak tidak tahu diri!”
seru Dayang Sumbi seraya memukul kepala Sangkuriang dengan sendok
nasi yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka berdarah dan
meninggalkan bekas. Sangkuriang ketakutan dan lari meninggalkan
rumah.” (Tjang, 2017)

5
Dari kutipan tersebut dapat diargumentasikan bahwa Sangkuriang
meninggalkan rumah karena takut akan amarah ibunya yang mengetahui bahwa
Tumang terbunuh dan setelah itu Dayang Sumbi juga memukul kepala
Sangkuriang oleh sodo atau sendok nasi. Sementara disisi lain, Watugunung juga
meninggalkan rumah karena sama-sama dipukul oleh ibunya dengan sendok nasi
juga. Bedanya jika Sangkuriang dipukul karena telah membunuh Tumang,
Watugunung dipukul oleh Dewi Sintakasih karena ibunya kewalahan melayani
nafsu makan Watugunung. Hal tersebut seperti tergambar sebagai berikut:
“Watugunung kecil tumbuh terlalu pesat. Nafsu makannya sangat besar
hingga membuat ibunya kewalahan. Suatu hari, Watugunung meminta
makan dan ibunya tidak mampu menahan emosi langsung memukul kepala
anaknya dengan sendok nasi hingga terluka dan berdarah. Karena dipukul
Watugunung minggat dari istana menuju gunung Himalaya.” (Sujaya,
2013)

Selanjutnya persamaan dan perbedaan ketiga terletak pada model ibunya


tetap cantik dan ibunya mengidentifikasi bahwa suaminya atau calon suaminya
merupakan anaknya sendiri. Dalam dongeng Sangkuriang, Tjang (2017)
menyebutkan bahwa Dayang Sumbi memohon kepada dewa untuk dipertemukan
kembali dengan anaknya Sangkuriang. Dayang Sumbi kemudian melakukan tapa
dengan tidak memakan daging-dagingan, dan dengan tapa tersebut akhirnya
Dayang Sumbi tetap cantik dan awet muda.
Sementara dalam dongeng Watugunung, tidak diceritakan asal muasal
Dewi Sintakasih bisa tetap cantik dan awet muda. Dalam dongeng Watugunung,
penceritaan langsung ke pengidentifikasian bahwa Watugunung yang mana telah
menjadi suaminya ternyata merupakan anaknya sendiri. Hal tersebut seperti yang
tergambar dalam dongeng Watugunung sebagai berikut:
“Saat berkasih-kasihan, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia sedang
mencari kutu di kepala Watugunung. Saat itulah dilihat ada luka di kepala
Watugunung. Dewi Sintakasih pun sadar itu adalah putranya. Saat
bersamaan terjadilah gempa bumi yang dahsyat. Dewa Siwa yang tahu
gempa bumi itu diakibatkan adanya seorang manusia mengawini ibunya
sendiri lalau mengutuk Watugunung akan mati di tangan Dewa Wisnu.”
(Sujaya, 2013)

6
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Dewi Sintakasih
mengindentifikasi Watugunung merupakan anaknya sendiri, justru ketika
Watugunung telah mempersunting Dewi Sintakasih sebagai istrinya. Sementara
dalam dongeng Sangkuriang, Dayang Sumbi mengidentifikasi bahwa Sangkuriang
merupakan anaknya sendiri sebelum pernikahan terjadi. Hal tersebut seperti yang
tergambar sebagai berikut:
“Keesokan harinya, saat akan berangkat berburu ke hutan, Jaka meminta
calon istrinya untuk mengencangkan dan merapikan ikat kepalanya.
Betapa terkejutnya Dayang Sumbi ketika sedang merapikan ikat kepala
Jaka. Ia melihat ada bekas luka di kepala Jaka. Bekas luka itu mirip
dengan bekas luka yang ada di kepala putranya yang terkena pukulannya
dua puluh tahun yang lalu. Dayang Sumbi pun menanyakan tentang
penyebab bekas luka itu kepada Jaka.” (Tjang, 2017)

Kemudian persamaan dan perbedaan antara dongeng Watugunung dan


Sangkuriang terletak pada model penyelesaian atau solusi berasal dari tokoh ibu
yang menyadari bahwa hubungan tersebut merupakan hubungan terlarang. Dalam
konteks ini, model penyelesaian masalah dan akhir cerita dengan replacement
yang sengaja dibuat agar tidak mungkin dapat dipenuhi oleh anaknya. Dalam
dongeng Sangkuriang, Dayang Sumbi mengajukan dua syarat yakni membuat
danau dan perahu bila Sangkuriang bersikeras tetap ingin menikahi Dayang
Sumbi. Hal tersebut seperti yang tergambar sebagai berikut:
“Jika kamu bersikeras ingin menikahiku, kamu harus memenuhi dua
syarat” kata Dayang Sumbi. Apakah syaratmu itu, Dayang Sumbi?
Katakanlah!” desak Sangkuriang. “Kamu harus membuatkan aku sebuah
danau dan sebuah perahu. Tapi, danau dan perahu itu harus selesai
sebelum fajar menyingsing di ufuk timur,” jawab Dayang Sumbi.
“Baiklah, Dayang Sumbi! Saya menyanggupi semua syaratmu,” jawab
Sangkuriang dengan penuh keyakinan.” (Tjang, 2017)

Dari kutipan tersebut, kemudian dapat diargumentasikan bahwa dengan


mengajukan dua syarat yang tidak mungkin dapat dipenuhi oleh anaknya seperti
membuat danau dan perahu, pernikahan terlarang tersebut tidak akan terjadi.
Sebetulnya Sangkuriang hampir menyelesaikan syarat tersebut, akan tetapi lewat
bantuan Sang Hyang Tunggal usaha Sangkuriang membuat sebuah danau dan
perahu menjadi gagal total.

7
Sementara dalam dongeng Watugunung, Dewi Sintakasih yang terlanjur
dipersunting oleh anaknya sendiri teringat bahwa Watugunung akan mati di
tangan Dewa Wisnu. Oleh karena itu, kemudian Dewi Sintakasih yang sedang
hamil mengatakan bahwa dirinya ngidam dan meminta Watugunung untuk
menjadikan istri Dewa Wisnu, yakni Dewi Sri sebagai istri Watugunung.
Watugunung pun menemui Dewa Wisnu dan terjadilah pertempuran yang
mengakibtkan gugurnya Watugunung. Hal tersebut seperti yang tergambar
sebagai berikut:
“Dewi Sintakasih teringat akan rahasia yang diberikan Dewa Brahma
bahwa anaknya akan mati di tangan Dewa Wisnu. Dewi Sintakasih yang
sedang hamil mengatakan bahwa dirinya ngidam dan meminta
Watugunung untuk menjadikan Dewi Sri, istri Dewa Wisnu sebagai madu.
Watugunung pun menemui Dewa Wisnu dan menyampaikan maksudnya.
Terang saja Dewa Wisnu murka. Terjadilah kemudian pertempuran yang
hebat antara Wisnu dan Watugunung. Dewa Wisnu menjelma kurma
(kura-kura) dan berhasil mengalahkan Watugung.” (Sujaya, 2013)

Dari kutipan tersebut dapat diasumsikan bahwa Dewi Sintakasih


menggunakan model penyelesaian masalah dan akhir cerita dengan replacement
yang sengaja dibuat agar tidak mungkin dapat dipenuhi oleh Watugunung, yakni
menjadikan Dewi Sri sebagai istri madu Watugunung. Dari permintaan tersebut
jugalah akhirnya mengakibatkan gugurnya Watugunung.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan pada penelitian ini, kemudian dapat
disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sebuah karya sastra seperti halnya dongeng
membuktikan bahwa secara psikologis manusia itu sama. Dalam konteks ini,
dongeng membuktikan bahwa dengan banyaknya potret hubungan terlarang antara
ibu dan anak yang berkembang di masyarakat dunia, kita bisa mengetahui bahwa
manusia bisa memiliki kecenderungan yang sama atas perihal kejiwaan mereka.
Kedua, dari keseluruhan dongeng Sangkuriang dan Watugunung yang
kedua-duanya digambarkan sebagai tokoh utama yang sangat digdaya karena
diberi kekuatan oleh para dewa, diakhir cerita justru dilemahkan oleh para dewa
itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa dongeng melanggengkan peran dan kuasa
para dewa.

8
Daftar Pustaka
Damono, S. D. (2009). Sastra Bandingan: Pengantar Ringkas. Cireundeu, Ciputat
15419: Editum.
Danandjaja, J. (2007). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Fatimah, M. (2017). Analisis Dongeng Scheeneibchen und Rosenrot dan Jorinde
un Joringel dari Kumpulan Dongeng Die Marchen der Bruder Grimm
(Skripsi), Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Monalisa, M. (2017). Kemunculan Oedipus Complex dan Konsekuensinya Dalam
Novel Sons and Lovers D.H. Lawrence. Jurnal Elektronik Fakultas Sastra
Universitas Sam Ratulangi, Volume 1, Nomer 3.
Priyawan, P. (2018). Lintang Sumbang Balai Melintang PASTORAL, Volume 3, 2
Februari 2019.
Sujaya, I. M. (2013). Watu Gunung, Kisah Sang Penakluk dari Kundadwipa.
Tjang, A. N. (2017). Kisah Legenda Sangkuriang.

Anda mungkin juga menyukai