Anda di halaman 1dari 11

BENTUK PERLAWANAN ATAS KETERGANTUNGAN

PEREMPUAN TERHADAP SUAMI DALAM CERPEN


AIR KARYA DJENAR MAESA AYU

Disusun oleh:
Gigih Panggayuh Utomo
13010110130072

SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013

BENTUK PERLAWANAN ATAS KETERGANTUNGAN


PEREMPUAN TERHADAP SUAMI DALAM CERPEN AIR
KARYA DJENAR MAESA AYU
Oleh: Gigih Panggayuh Utomo

Sebuah karya sastra dihasilkan oleh pengarangnya tidak lepas dari hal-hal
yang melingkupi kehidupan pengarang tersebut. Bahkan tidak menutup
kemungkinan bahwa karya sastra adalah potret kehidupan pengarangnya yang
tentu sudah mengalami proses rekaan. Djenar Maesa Ayu, contohnya. Cerpencerpennya banyak yang bercerita tentang luka. Dengan latar belakang Djenar yang
sekarang ini adalah seorang ibu sekaligus orang tua tunggal dari dua anak, seolaholah luka adalah formula yang merangsang Djenar untuk menulis. Luka juga
ditampilkannya pada cerpen berjudul Air.
Dalam cerpen Djenar yang masuk dalam Cerpen Kompas Pilihan 20052006 ini, ia menampilkan tokoh seorang perempuan yang ditinggalkan kekasihnya
lantaran dia hamil dan harus mengurus buah hatinya seorang diri. Luka dalam
cerpen ini bukan luka yang ditampilkan melalui tokoh perempuan dengan segala
ratapannya dan pasrah pada apa yang dialaminya. Namun, Djenar membangun
tokoh perempuan yang kuat dan cenderung melawan pada ketergantungan seorang
istri terhadap suaminya. Ini terlihat pada hampir setiap berganti alinea, terdapat
kalimat saya akan menjaganya.
Djenar juga tidak segan menggunakan pilihan kata yang berani. Seperti
pada kata air yang hampir ada di setiap awal alinea. Kata air tersebut merujuk
pada bermacam-macam makna. Pada alinea pertama, Air putih kental itu saya

terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga
lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga... menunjukkan bahwa
air yang dimaksud adalah sperma. Pada alinea selanjutnya, Air kental itu
seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga
vagina hingga keluar mendesak celana dalam yang tak kuat membendungnya....
menunjukkan bahwa air yang dimaksud adalah ketuban. Demikian pada alineaalinea selanjutnya ada air hangat, air mata, air asin yang merujuk pada keringat,
air jernih, air kuning kental, dan Air, puisi dari anak tokoh perempuan yang
merupakan

cuplikan

puisi

dari

anak

Djenar.

Dengan

kemampuannya

menggunakan majas hiperbol, Djenar menyulap kata air menjadi kalimat yang
mampu membuat pembaca bergetar dan menyadari bahwa ada keterkaitan antara
kata air dan perempuan.
Tokoh perempuan yang dibangun oleh Djenar merupakan bentuk
perlawanan terhadap budaya yang memposisikan laki-laki sebagai makhluk yang
harus dipatuhi oleh perempuan. Dengan kata lain, Djenar berusaha mengungkap
perlawanan terhadap budaya patriarki. Dalam cerpen ini, Djenar memunculkan
sosok kekasih tokoh perempuan yang tidak bertanggung jawab. Hal ini dapat
dilihat dari perkataan kekasih tokoh perempuan, Akan kita apakan calon bayi
ini? Kita masih terlalu muda. Kemudian disusul dengan kalimat saya akan
menjaganya. Disinilah mulai terbentuk kekecewaan si tokoh perempuan
terhadap kekasihnya. Kekecewaan hingga timbul penyesalan atas perbuatannya di
masa lalu, seperti pada potongan kalimat, Kadang saya juga ingin melayang ke
masa lampau. Tidak membiarkan air putih kental itu lengket di indung telur

hingga tumbuh janin yang kini terlahir sebagai manusia yang merasa disiasiakan.
Penyesalan tokoh perempuan atas apa yang terjadi di masa lampau juga
menimbulkan kebencian terhadap kekasihnya. Hal ini bertendensi dengan maksud
Djenar atas pemikiran feminisnya. Tokoh perempuan menyiratkan bahwa
feminisme timbul karena adanya ketidakadilan atas gender yang mana kaum
perempuan termarginalkan. Kaum perempuan merasa dirugikan sedang kaum
laki-laki tidak. Maka timbullah upaya perempuan untuk melawan. Bentuk
perlawanan tersebut ditampilkan oleh Djenar dalam tokoh perempuan yang
menanggung semuanya seorang diri. Mengurus buah janin hingga lahir menjadi
anak tanpa ketergantungan dengan seorang suami sebagai kepala keluarga.
Feminisme yang melekat pada tokoh perempuan tidak menghapus sosok
keibuan di dalam dirinya. Dalam cerpen tersebut diceritakan betapa besarnya
kasih ibu terhadap anaknya. Seoalah-olah dengan terus menjaga anaknya adalah
bentuk balas dendam terhadap masa lampaunya. Sampai pada saat di mana ia
bingung karena si anak merasa depresi. Ditemukannya sebotol bir di kamar
anaknya. Pemandangan itu membuat ia tertekan hingga hampir menenggak 50 pil
obat penenang. Namun cerita berakhir pada si tokoh perempuan yang menemukan
puisi anaknya yang berjudul Air.
Cerita ini mengingatkan pada realitas kehidupan Djenar Maesa Ayu yang
memiliki beberapa kemiripan. Dari pemikirannya yang mendobrak tabu hingga
sosok keibuan Djenar yang notabene memiliki dua orang anak dan telah bercerai
dengan suaminya. Melalui cerpennya ini, Djenar berusaha menyampaikan kepada
khalayak bahwa menjadi orang tua tunggal bukanlah masalah rasa benci terhadap

laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab, namun karena alasan bertahan


hidup untuk seorang anak yang memiliki hak untuk hidup bahagia. Jika dikaitkan
hubungan antara realitas kehidupan Djenar dengan cerpennya, Djenar berhasil
mengungkapkan pemikirannya ke dalam bentuk fiksi. Melalui karya ini pula,
Djenar membuka paradigma yang semula tabu oleh kebanyakan kaum perempuan.
Dapat ditarik kesimpulan, buah karya ini layak dan baik untuk dibaca serta
diresapi tidak hanya untuk kaum perempuan saja, melainkan semua gender.

Sumber Rujukan:
Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Muhammad, Damhuri. 2010. Darah Daging Sastra Indonesia. Yogyakarta:
Jalasutra.
Pambudy, Ninuk Mardiana. 2007. Ripin Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Yudiono KS. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. 2009. Jakarta: Grasindo

Lampiran Cerpen

AIR
Djenar Maesa Ayu

Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang
rongga vagina hingga lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga.
Menerima. Membuahinya. Ada perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual
merajalela. Pun mulai membukit perut saya. Ketika saya ke dokter kandungan
untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia janinnya.
Akan kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda, kata ayahnya.
Saya akan menjaganya.
Air kental itu seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir
deras sepanjang rongga vagina hingga keluar mendesak celana dalam yang tak
kuat membendungnya. Terus menyeruak dan mendarat lengket, liat, di atas seprai
motif beruang teddy berwarna merah muda. Ketuban sudah pecah. Rasa takut
seketika membuncah. Tapi segera mentah berganti dengan haru memanah.
Sembilan bulan sudah. Lewati mual tiap kali mencium bau parfum keluaran baru
eternity. Rasa waswas setiap kali belum waktunya namun sudah kontraksi. Tidak
mengambil cuti, mencari uang demi mengonsumsi makanan bergizi yang konon
bisa membuahkan kecanggihan otak maupun fisiknya nanti. Tapi
Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan tambah besar. Kami tidak
bisa mempekerjakan SPG yang kelihatan sedang hamil, kata supervisor saya.
Saya akan menjaganya.
Air ketuban sudah hampir kering. Baru pembukaan delapan, masih harus
menunggu dua pembukaan lagi. Harus operasi. Tapi saya ngotot persalinan alami.
Uang yang terkumpul tidak cukup untuk operasi. Dan jika operasi, saya khawatir
tidak bisa langsung mengurusnya sendiri. Untuk keperluan sehari-hari saja paspasan. Membayar pembantu, apalagi suster, jelas belum mapan. Materi yang ada,
belum cukup untuk hidup sebagai majikan. Memikirkan itu tenggorokan saya jadi
ikut kering. Erang kesakitan sudah tidak lagi melengking. Kepala saya pening.

Dokter yang baik itu menatap saya dengan prihatin. Tapi saya berkata dengan
yakin.
Robek saja, Dok. Gunting saja supaya tuntas pembukaannya.
Saya akan menjaganya
Air hangat itu membasuh kulit tubuhnya yang bening. Suara tangisnya
seisi ruangan melengking. Saya jentikkan jari kelingking di pipinya yang merah.
Mengecup kedua matanya yang masih lengket. Masih tak percaya. Makhluk
manis tak berdaya itu pernah tinggal di dalam rahim saya. Masih tak percaya.
Makhluk mungil itu keluar dari dalam tubuh saya. Lantas suster membawanya.
Pergi ke kamar bayi jauh dari ibunya. Saya ingin protes, tapi tak bisa. Saya hanya
bisa berjanji dalam hati, setelah ini tak akan ada yang memisahkan kami lagi,
ketika suster itu berkata, Ibu butuh istirahat untuk mempersiapkan ASI. Sekarang
kami akan membawanya ke kamar bayi.
Saya akan menjaganya.
Air putih cair itu keluar berupa jentik-jentik yang ajaib di ke dua puting
saya. Suster yang sedari tadi memijat payudara saya terlihat puas. Tidak terlalu
sulit mengeluarkannya. Selama sembilan bulan setiap harinya saya sudah memijat
payudara saya dengan minyak kelapa. Lucu, sekarang ke dua payudara kecil ini
pun gemuk membungkah seperti kelapa. Penuh dengan air susu yang sebentar lagi
akan ada pengisapnya. Di mana makhluk mungil itu? Saya begitu tak sabar
menunggu. Begitu ingin segera menimang dan menatapnya menyusu. Saya sudah
tidak butuh rehat. Air susu saya sudah sarat. Payudara sudah terasa berat.
Benar Ibu sudah siap?
Saya akan menjaganya
Air mata meleleh di pipinya, tak ingin begitu saja melepas kepergian saya.
Cukup lama saya harus menenangkannya. Berusaha memberikan pengertian.
Berusaha memberikan rasa aman. Dan harapan. Harapan akan segera pulang.
Harapan akan segera pulang membawa uang. Harapan akan segera pulang
membawa uang untuk suatu hari nanti tak perlu pergi kerja dan tinggal angkat
kaki ongkang-ongkang. Jika saat itu tiba, kami akan menjelajah dunia.
Mengunjungi semua Disneyland di tiap negara yang memilikinya. Bermain
dengan penguin-penguin di Cape Town selatan Afrika. Menyeruput pinacolada di

Hawaii sambil menyaksikan tarian bora-bora. Kalau perlu, kalau ia mau, saya
akan membeli rumah berikut taman bermain milik raja pop Michael Jackson yang
tengah bangkrut. Membeli apa pun yang ia inginkan semudah orang membuang
kentut. Tapi tidak mudah memberikan sejuta harapan. Apalagi jika harapanharapan itu kerap diulang-ulang dan tak pernah mewujud jadi kenyataan. Karena
sudah beribu-ribu kali saya hanya pulang membawa sedikit uang. Hanya cukup
untuk makan sekadar, membayar listrik, air, telepon, kontrakan, dan sekolah yang
semakin hari harganya semakin tinggi menjulang. Dan saya tetap akan pergi.
Tetap akan pulang. Ia akan tetap tak membiarkan saya pergi. Tetap menunggu
saya pulang. Saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia membiarkan saya pergi.
Tak menunggu saya pulang.
Capek ah nunggu, aku udah mau tidur! semprotnya.
Saya akan menjaganya.
Air asin itu mendarat di bibir saya lagi. Lampu-lampu besar seperti
makhluk pemeras keringat yang tak berperikemanusiaan. Sudah jam delapan.
Baru akan dimulai merekam adegan. Saya harus segera menghayati peran. Tapi
kepala saya masih dipenuhi pikiran. Apakah makhluk kecil yang sudah beranjak
remaja itu sudah makan? Apakah ia kesepian? Atau jangan-jangan di rumah ia
sedang asyik masyuk pacaran? Saya menjadi ketakutan. Ingin menelepon tapi
sutradara memberi instruksi jika ponsel mutlak dimatikan. Tak ada yang mungkin
saya lakukan untuk menjangkaunya sekarang. Padahal saya sudah begitu ingin
cepat-cepat menjangkaunya dan terbang pulang. Melayang seperti burung tanpa
harus terhambat kemacetan. Melayang bersamanya menikmati indahnya kelap
kelip lampu jalan seperti dongeng anak-anak Peter Pan. Lampaui semua beban.
Lampaui semua luka dan penderitaan. Kadang saya juga ingin melayang jauh ke
masa lampau. Tidak membiarkan air putih kental itu lengket di indung telur
hingga tumbuh menjadi janin yang kini terlahir sebagai manusia yang merasa
disia-siakan. Melayang lebih jauh lagi ke masa lampau. Tak bertemu dengan
ayahnya yang dengan mudahnya lepas tangan.
Action! teriak sutradara.
Saya akan menjaganya.

Air jernih di dalam gelas yang dulu ada di atas meja samping tempat
tidurnya, kini telah berganti dengan air berbusa kekuning-kuningan. Di gelas itu
berdiri sebotol bir merek bintang. Entah disengaja untuk menarik perhatian. Entah
ia sudah teler dan lupa menyimpan. Yang sudah pasti telah terjadi perubahan yang
membuat saya tertekan. Tapi lebih pasti lagi ia tak kurang tertekan. Apakah yang
sudah saya lakukan? Atau justru apakah yang tidak saya lakukan? Sudahkah
karenanya ia menjadi korban? Di balik selimutnya ia tertidur dengan amat tenang.
Saya jentikkan kelingking di pipinya yang bening. Saya kecup kedua matanya
yang merapat, persis seperti ketika ia baru lahir dengan kedua mata yang masih
lengket. Tapi ia menggeliat. Lantas meronta, menghalau saya supaya tak dekatdekat. Semakin terkumpul segala lelah segala penat.
Bangsaaaaaaaat!
Saya tak kuasa menjaganya.
Air kuning kental itu meluap dari mulut saya. Lima puluh pil penenang
saya tenggak. Harusnya seratus pil seperti yang dikonsumsi Maryln Monroe
hingga ajal menjemputnya. Ada cahaya di ujung lorong, igau saya. Ternyata
datang dari tubuhnya yang berbalut cahaya kemilau dengan tangan terbuka. Siap
menerima saya dalam pelukan bahagia. Saya menengok ke arah ujung lorong
yang berlawanan. Ada kegelapan, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang
sama sekali tak berbalut cahaya kecuali melulu kegelapan dan luka. Terkulai
lemah seakan menunggu saya menerima ia dalam pelukan saya. Menunggu.
Seperti semasa ia bayi menunggu saya membersihkan puting payudara sebelum
menyerahkan untuknya menyusu. Menunggu. Seperti semasa ia balita menunggu
saya pulang selepas kerja membawa sedikit uang dan satu kantung plastik berisi
sepatu baru.
Menunggu. Seperti saya sekarang menunggunya dengan ilusi dirinya
berkilauan merentangkan tangan atau terkulai lemah membutuhkan pegangan
setelah menemukan mulut saya berbusa akibat menenggak obat penenang.
Menunggu. Seperti sekarang saya menunggu emosi saya pergi. Menunggu
kesadaran saya kembali. Menunggu. Seperti saya sekarang menunggu satu saat
nanti ia mengerti. Satu saat nanti ia kembali.

Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya dan


memerhatikannya yang sudah kembali pulas tidur. Ada buku di sampingnya
menarik perhatian saya. Pelan-pelan saya ambil dan buka. Ada puisi di dalamnya.
Air dapat memelukmu
tapi tak akan membelenggumu
Air dapat pantulkan cahayamu
tapi tak dapat jadikanmu nyata(*)
Saya akan menjaganya.

Jakarta, 13 Mei 2006 12:24:00 PM


Untuk Banyu Bening
(*) Cuplikan puisi Air karya Banyu Bening

Anda mungkin juga menyukai