Anda di halaman 1dari 9

Tugas Akhir Mata Kuliah Kritik Sastra

Nama Lengkap : Donny Setiawan

NPM : 201921500188

Kelas : X5C

Karya Sastra yang

Dikritisi : Puisi

Judul Karya Sastra : Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta

Nama Pengarang : Pringadi Abdi Surya

Pendekatan yang Digunakan : Ekspresif

“Analisis Pendekatan Ekspresif

Buku Puisi ‘Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta’

Karya Pringadi Abdi Surya.”

1. Pendahuluan

“apakah kamu masih mencintaiku meski suatu hari nanti, ada perpisahan yang tak
mungkin kita hadapi dengan bahagia?” Begitu pembukaan sinopsis dari sebuah buku
bergenre puisi ‘Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta’ yang ditulis Pringadi Abdi Surya,
diterbitkan pertama kali tahun 2019 oleh PT. Elex Media Komputindo, kelompok
Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta. Berisi 104 halaman.

Pringadi Abdi Surya adalah penulis yang lahir di Palembang, 18 Agustus. Ia pernah
terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatera Selatan 2009. Ia juga mengikuti Makassar
International Writers Festival 2014 sebagai salah satu emerging writer dan menjadi salah
satu penulis terpilih dalam Asean-Japan Residency Program di Asean Literary Festival
2016. Sekarang, bertugas di Ditjen Perbendaharaan Negara. Hobinya jalan-jalan.
Instagram @pringadisurya. Catatan pribadinya bisa dilihat di http://catatanpringadi.com
Pendekatan Ekspresif adalah pendekatan yang memfokuskan pada penciptanya
atau pengarang pada karya yang penulis kaji, yaitu ‘Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta’.
Kelemahan pada pendekatan ini cenderung pengkaji tidak sadar menyamakan secara
langsung realitas yang ada dalam karya sastra dengan realitas yang dialami sastrawan atau
pengarang.
Pendekatan Ekspresif (Luxemburg; 1998) karya sastra yang baik adalah baik dari
segi nilai pribadi dan emosi pengarang yang diungkapkan dengan baik atau selaras dengan
norma-norma. Bila fungsi sastra dipusatkan pada pengungkapan emosi, seperti yang
diungkapkan oleh kaum romantisisme, maka kriteria ini sangatlah dipentingkan bagi
penilaian karya sastra. Dalam sejarahnya, romantisisme adalah suatu gerakan seni, sastra,
dan intelektual berasal dari semenanjung eropa. Gerakan ini sebagian merupakan sebuah
revolusi melawan norma-norma kebangsawanan, sosial, dan politik di eranya. Dan,
gerakan ini merupakan reaksi dari rasionalisasi terhadap alam, dalam seni dan sastra.
Gerakan ini menekan pada emosi, estetika, dan reaksi alami yang terhubung pada sublim
alam.
Mengapa disebut romantisisme? Kata dasar dari ‘romantisisme’ berasal dari kata
‘Roman’. Roman adalah karya sastra klasik yang bercerita tentang kehebatan manusia,
pencapaian manusia, penaklukan bangsa asing (penjajah) yang disajikan secara dramatis.
Ciri-ciri aliran romantisisme adalah sebagai berikut:
1. Imajinatif; Walau tidak sepenuhnya fiktif (tidak realis), imajinatif membantu
para pengarang dalam menyampaikan apa yang ingin disampaikannya lewat
suatu bentuk, gerakan, atau ilustrasi (secara dramatis) yang turut pula
membutuhkan imajinasi terhadap meresap dan merasakannya.
2. Subjektif; Pandangan atau ekspresi pengarang.
3. Sebagian besar menggunakan tekanan emosi yang tinggi.
4. Memiliki suasana sendiri, seperti mimpi.
5. Banyak menggunakan perumpamaan atau simbol-simbol.
Nilai estetika pada karya sastra akan dikaitkan dengan apa yang dirasakan oleh
pengarang pada saat dia menghasilkan karya sastra.

2. Pembahasan

Wellek (1990: 336) Kritik dapat menguraikan dan kritik dapat menghakimi. Hal
tersebut berdasarkan kenyataan bahwa esai yang tampaknya hanya merupakan uraian saja,
pasti mengandung suatu penilaian minimal, terutama kalau uraiannya merupakan uraian
estetis. Dalam menguraikan atau memberikan penilaian terhadap karya sastra sering
meluangkan waktu dan memberikan perhatian pada seorang penyair atau pengarang itu
sudah mengandung penilaian. (Jendela Kritik Sastra. hlm. 66).
Membaca buku puisi karya Pringadi Abdi Surya ini, mengingatkan saya pada peran
dari seorang ibu. Sebuah cinta pertama memang lahir dari dirinya. Dari seorang Ibu.
Perasaan yang menggebu-gebu mengenai peran tentang seorang ibu dituliskan dengan
sangat kuat dari bait puisi berikut:
Mengejar Kebahagiaan

Aku membuka pintu dan merindukan ibu


sepatu-sepatu yang disusun rapi di rak
menu makan siang yang kusuka telah siap di meja
aku beranjak dan menemui masa kanak-kanak
dan tak pernah berpikir meninggalkannya

Semakin lama, semakin panjang waktu


telah berada memberi jarak
aku hanya dekat dengan bayanganku sendiri
segelas kopi, sebuah asbak, selalu ada
yang pertama bagi laki-laki, juga kesedihan
yang tak pernah menjadi milik siapa-apa

Asap yang mengepul setelah puas dan bebas


menguasai paru-paruku
tidak membuatku merasa terlepas
dari perasaan bersalah

Pertanyaan-pertanyaan, mengapa manusia


menyakiti satu sama lain, mengapa kita
tak boleh saling menyakiti … mengepungku

Aku tidak tahu telah berada di mana aku


antara pecundang dan pemenang selalu tipis bedanya

Ketika kututup mata, kurindukan sepatu-sepatu


yang tersusun rapi di rak

Tapi tak ada lagi yang muat ukurannya di kaki


untukku lari

Dari bait puisi di atas, menggambarkan betapa merana ia, tumbuh dewasa,
meninggalkan kampung halaman, dan hidup layaknya manusia dewasa pada umumnya.
Pringadi tahu bagaimana menggambarkan sosok dirinya di waktu sekarang hingga di
waktu ia masa kecil. Baris yang berbunyi:

Aku membuka pintu dan merindukan ibu


sepatu-sepatu yang disusun rapi di rak
menu makan siang yang kusuka telah siap di meja
aku beranjak dan menemui masa kanak-kanak
dan tak pernah berpikir meninggalkannya
Terkenang untuknya (Si Penulis) pada masa-masa telah lewat. Penggambaran
mengenai ‘rak sepatu’ cukup menyentuh bagi pembaca. Apalagi bila kita
sambung/teruskan hingga baris akhir:

Ketika kututup mata, kurindukan sepatu-sepatu


yang tersusun rapi di rak

Tapi tak ada lagi yang muat ukurannya di kaki


untukku lari

Penulis yang sudah dewasa belum rela meninggalkan masa kanak-kanaknya.


Begitu ia merindukan ibunya di perantauan masa dewasa kini. Waktu pula yang memberi
peran penting untuk keduanya:

Semakin lama, semakin panjang waktu


telah berada memberi jarak
aku hanya dekat dengan bayanganku sendiri
segelas kopi, sebuah asbak, selalu ada
yang pertama bagi laki-laki, juga kesedihan
yang tak pernah menjadi milik siapa-apa

Pendekatannya mengenai pesismismenya mulai ia tulis dalam bentuk


‘menyalahkan’ atau ‘menghukum’:

Pertanyaan-pertanyaan, mengapa manusia


menyakiti satu sama lain, mengapa kita
tak boleh saling menyakiti … mengepungku

Aku tidak tahu telah berada di mana aku


antara pecundang dan pemenang selalu tipis bedanya

Bagi setiap insan manusia yang telah banyak memakan perasaan yang membekas
memang terlukis jelas dari apa yang ia tulis, dan itulah yang ia curahkan lewat tulisannya
mengenai ‘ketidakadilan’ (sikap pesimisme alami manusia) tentang dirinya.

Cinta Pertama

Takdir kita ditulis, sejak kau angkat teleponku,


“Halo, kau adalah cinta pertamaku,
apa kau mau jadi cinta terakhirku?”
Tapi diam tak pernah menjadi bahasa terbaik
bagi kita untuk membincangkan
angan-angan yang cenderung rapuh
Sebuah pijakan lemah anak lelaki kurus saja akan mudah
mematahkannya dan waktu yang tak pernah bosan
menjadi peneman perjalanan akhirnya juga ikut menyerah

Tuhan kemudian membeli penghapus di toko seberang


Aku tahu toko itu tak punya uang kecil buat kembalian
dan memberi dua bungkus permen, rasa paling kecut.

Dua permen itu juga kutemukan


di depan pintu kamar, bersama
kata maaf dari Tuhan,
karena memberi kita kado perpisahan.

Bermula dari sebuah panggilan berupa telepon:

“Halo, kau adalah cinta pertamaku,


apa kau mau jadi cinta terakhirku?”

Penulis dengan sangat amat penuh pengharapan, bahwa panggilannya terpenuhi.


Namun:
Tapi diam tak pernah menjadi bahasa terbaik

Si penulis menaruh harapan dan percuma. Ia lepaskan lagi dengan perasaan


kecewa:
bagi kita untuk membincangkan
angan-angan yang cenderung rapuh
Sebuah pijakan lemah anak lelaki kurus saja akan mudah
mematahkannya dan waktu yang tak pernah bosan
menjadi peneman perjalanan akhirnya juga ikut menyerah

Apakah masih ada harapan lagi? Penulis melepaskannya itu lewat perantara dari
yang maha pencipta, seolah ia memang benar-benar berserah diri, tanpa bisa melakukan
apa-apa:

Tuhan kemudian membeli penghapus di toko seberang


Aku tahu toko itu tak punya uang kecil buat kembalian
dan memberi dua bungkus permen, rasa paling kecut.

Dua permen itu juga kutemukan


di depan pintu kamar, bersama
kata maaf dari Tuhan,
karena memberi kita kado perpisahan.

Ekspresi ‘rasa paling kecut’ ketika Tuhan membelikan penghapus di toko seberang.
Penghapus yang ia harapkan agar segera menghapus perasaan sedih juga bersalahnya,
menjadi pengecualian tentang jawabannya:

Dua permen itu juga kutemukan


di depan pintu kamar, bersama
kata maaf dari Tuhan,
karena memberi kita kado perpisahan.

Kata ‘maaf dari Tuhan’ ini mengandung arti yang mendalam, serta ‘kado
perpisahan’ dan jika menghubungkannya dengan ‘sebuah kembalian dua permen’ memang
kecut rasanya bila yang harus didapatkan oleh manusia yang tengah berharap.
Mengenai seorang ibu, dan cinta, dan kesedihan masih menjadi sebuah pertanyaan
dari bait-bait puisi sebelumnya, yang secara makna saling hubung-terhubung. Apakah
penulis menulis puisi ini tengah merantau dan sebab akibat ia meninggalkan ibunya
sendirian di kampung halaman. Sementara ia merana sebab rasa rindu yang ia pikul, tak
kunjung pula ia dapat bertemu? Ternyata jawaban dari bait-bait puisi itu ada di bait
kelanjutannya:

Perpisahan

Segala hal tidak bisa bertahan sama


dalam waktu yang lama.
Biskuit dan roti, susu kaleng dan
mi instan juga punya masa
kedaluwarasa. Cinta juga.

Tapi burung-burung yang biasa


menghilang dari pagi di Jakarta
hari itu masuk ke kamar,
lewat lubang angin di atas jendela

Sepasang burung gereja menusukku


dengan pandangannya
Sepasang burung gereja menyakitiku
dengan kesetiaannya
Pringadi membuatnya hidup dengan banyak penggunaan retoris, seperti bait-bait
sebelumnya, ‘penghapus’, ‘pijakan anak lelaki kurus’, ‘dua permen’. Dalam bait puisi
yang berjudul “Perpisahan” terdapat penggunaan retoris berupa, ‘burung gereja’ dan
‘kesetiaan’. Dan, apa hubungannya dengan bait-bait sebelumnya?
Mengenai ibu, kesedihan, dan perpisahan, rupanya penulis cukup jelas
menggambarkan tentang ‘cinta’ dalam bait ini:

Segala hal tidak bisa bertahan sama


dalam waktu yang lama.
Biskuit dan roti, susu kaleng dan
mi instan juga punya masa
kedaluwarasa. Cinta juga.

‘Kedaluwarsa’ terhadap ‘biskuit dan roti’, ‘susu kaleng dan mi instan’ menggugah
pembaca dengan retoris dan menghubungkannya dengan cinta, tentang ‘ada masanya’.

Sepasang burung gereja menusukku


dengan pandangannya
Sepasang burung gereja menyakitiku
dengan kesetiaannya

Namun, apa yang terjadi ketika penulis melirik burung gereja yang masuk lewat
lubang angin di kamarnya? Ia mendapat pemikiran baru mengenai cinta. Tentang
kesetiaan, tentang siapa yang ia cinta. Tentang perpisahan. Tentang kesedihannya.

3. Kesimpulan
Buku Puisi ‘Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta’ sebagian besar mengenai seorang
anak yang merindukan halaman kampungnya, masa kecilnya, ibunya, cintanya. Perasaan
yang dikaruniai Tuhan kepada hambanya yang begitu besar bila makhluknya mau
mengucapkan syukur atas kenikmatannya.
Mengapa begitu? Sebab, cinta bisa mengarahkan kita pada hal-hal yang besar. Hal
besar yang dapat mengarahkannya pada tindakan yang besar. Seperti penulis buku
‘Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta’; Pringadi Abdi Surya. Terdorong perasaan cintanya
kepada ibunya, pada masa kecilnya, pada kampung halamannya. Ia dapat menciptakan
sebuah karya berbentuk buku puisi mengenai tentang cinta. Tak heran bila ia memberi
judul bukunya tersebut dengan ‘Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta.”
Semua apa-apa yang dituliskannya di sana adalah suara dari hatinya yang ikhlas,
jujur, dan penuh makna. Semua telah terangkum dalam satu bait puisi ini:
Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta

apakah kamu masih mencintaiku, meski suatu hari


aku tak lagi menulis puisi untukmu
lirik-lirikku berubah menjadi, mengenai orang mati
yang tak bersalah, dan mungkin sedang ditunggu
kekasihnya
memikirkan puasa besok akan bersahur
dan berbuka dengan apa
tetapi lalu ia tak lagi ada di dunia, dan hanya
menghiasi setiap pemberitaan
yang tak pernah benar-benar memikirkan kemanusiaan?
aku menjadi lupa padamu, dan teringat banyak hal
yang lebih penting kutuliskan
daripada terus-terusan memuja segala
hal yang ada padamu
toh, kecantikanmu akan tetap kecantikanmu
tak akan hilang atau berkurang meski
kutuliskan atau tidak kutuliskan
sementata orang mati, meski tak akan hidup lagi
membuatku merasa suatu hari aku akan mati
dan saat itu, aku tak akan lagi bertemu denganmu
mati tua atau mati muda--yang tak pernah kita tahu
adalah kepastian apakah kamu masih mencintaiku,
meski suatu hari ada perpisahan
yang tak mungkin kita hadapi dengan bahagia?
aku akan tetap cinta padamu, meski aku tak tahu
akan berubah menjadi macam apa nantinya
atau aku kehilangan kemanusiaanku sendiri

Bisa dibilang, buku puisi ‘Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta’ adalah mengenai
tentang kematian, perpisahan, kesedihan, kerinduan, dan cinta. Disatupadukan oleh
gambaran lewat bait tiap bait puisi Pringadi yang mewakili perasaannya kelak itu. Sesosok
yang kita cintai tidak selama bertahan hingga seribu tahun. Makhluk hidup seperti manusia
pada akhirnya akan mati, dan cinta dan kesedihan juga akan ikut melayang bersamanya
kelak.
Daftar Pustaka

Asriningsari, A & Umaya, N. M. 2016. Jendela Kritik Sastra. Semarang: Universitas PGRI
Semarang.

Hartono. Beberapa Pendekatan Pengkajian Sastra. Yogyakarta: PBSI FBS Universitas


Yogyakarta. (http://staffnew.uny.ac.id)

Hermoyo, R. Panji. 2015. Analisis Kritik Sastra Puisi “Surat Kepada Bunda: Tentang Calon
Menantunya” Karya W.S. Rendra. 15 (1), 44-53.

Sabbardi, M. Kritik Sastra - Pendekatan Ekspresif Pada Puisi.


Sinau Bahasa dan Sastra Indonesia: Kritik Sastra - Pendekatan Ekspresif pada Puisi
(sinaubsi.blogspot.com), diakses pada 19 November 2021, pukul 13.00 WIB.

Anonim. Romantisisme. Romantisisme - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


diakses pada 24 November 2021, pukul 09.16 WIB

Thabroni, Gamal. 2019. Aliran Romantisisme. Aliran Romantisisme - Pengertian, Sejarah,


Tokoh & Contoh - serupa.id diakses pada 24 November 2021, pukul 09.56 WIB.

Suhardi. 2021. Realitas dan Imajinasi dalam Sastra. Realitas dan Imajinasi dalam Sastra |
Rumah Literasi Sumenep diakses pada 24 November 2021, pukul 10.09 WIB.

Anda mungkin juga menyukai