Anda di halaman 1dari 8

Nama : Linda

Nim : F031181301
Sastra Asia Barat/2018

Pengertian Kritik Sastra


Secara etimologis, kata kritik berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
kritein (menghakimi, membanding, menimbang). Kata kritein menjadi bentuk dasar
bagi kata kreterion (dasar, pertimbangan, penghakiman). Orang yang melakukan
pertimbangan/penghakiman disebut krites yang berarti hakim. Bentuk krites inilah
yang menjadi dasar kata kritik. Secara harfiah, kritik sastra adalah upaya menentukan
nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan,
memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistemik.
Ada beberapa jenis tahapan dalam kritik sastra yakni deskripsi, interpretasi,
dan evaluasi atas sebuah karya sastra, dimana seorang kritikus tidak bisa bertindak
semaunya. Dalam mengemukakan kritiknya, seorang kritikus melewati suatu proses
penghayatan keindahan yang hampir serupa dengan proses penghayatan seorang
pengarang dalam menciptakan karya sastra. Perbedaan dari dua penghayatan itu
terletak pada pangkal tolak dan titik akhirnya. Pangkal tolak seorang pengarang
adalah penghayatan dan persepsinya terhadap realitas fakta ke dalam realitas fiksi
yang menghasilkan karya sastra sebagai titik akhirnya. Sedangkan pangkal tolak
seorang kritikus adalah penghayatan dan persepsinya terhadap karya sastra yang
dihadapinya yang kemudian menghasilkan sebuah karya kritik sastra sebagai titik
akhirnya.
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra (ilmu sastra)
mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya
memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai
salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran,
dan penilaian terhadap teks sastra.
Kriteria Penilaian Dalam Kritik Sastra
Abrams (dalam Pradopo, 1988) kritik sastra adalah studi yang berhubungan
dengan  pendefinisian, penggolongan (pengklasifikasian), penguraian (analisis), dan
penilaian (evaluasi). Dalam menilai baik-buruk dan bernilai seni atau tidaknya sebuah
karya sastra dibutuhkan sebuah kritik sastra. Kritik sastra tersebut tidak lepas dari
beberapa pandangan yang berbeda, yang tentunya memberikan hasil yang berbeda
pula, meskipun karya sastra yang dinilai adalah karya sastra yang sama. Dengan
demikian, dalam sebuah kritik sastra didalamnya terdapat suatu kegiatan menilai yang
mengartikan bahwa karya sastra itu merupakan karya seni yang memiliki nilai
estetika didalamnya.
Menurut Rachmat D.P (2007:48), Karya sastra dapat dinilai dari fungsinya.
Pertama yaitu harus memenuhi fungsi hakikat seni sastra: menyenangkan dan
berguna (dulce et utile), maka karya sastra yang bernilai ialah karya sastra yang
banyak menunjukan daya cipta, indah, sublim, dan besar (agung dan luhur). Karya
sastra harus dinilai berdasarkan norma-norma karya sastra itu sendiri. Dari uraian
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian itu menitikberatkan kepada sisi-sisi
manfaat dari suatu hal. Suatu hal dapat dikatakan nilai apabila sesuatu itu dapat
memberikan suatu kemanfaatan bagi kemanusiaan secara jasmaniah dan rohaniah
pada khususnya.
Perbedaan dalam penilaian tidak hanya terjadi dari zaman ke zaman, tetapi
dalam kurun waktu yang sama kelihatan juga antara pembaca-pembaca dari berbagai
aliran. Keyakinan pribadi, sosial, relegius, dan politik dapat menyebabkan perbedaan
dalam penilaian. Lagu-lagu perjuangan dari Amerika Selatan dinilai tinggi oleh
kaum cendekiawan kiri. Selain itu perubahan dalam pandangan mengenai sastra ada
pengaruhnya. Bila kita perpedoman pada fiksionalitas sastra, maka lagu-lagu
perjuangan tidak akan dinilai tinggi. Kritisi yang menjunjung tinggi kesatuan logik
dalam sebuah karya sastra pasti tidak suka akan prosa eksperimental.
kriteria dalam penilaian yang digagas oleh Luxemburg bahwa pada dasarnya
sama yang digagas oleh Darma, perbedaannya terletak pada ulasan, kendati arah dan
tujuan sama. Menurut Luxemburg ;
1. Ada kreteria yang mengaitkan karya sastra dengan pengarangnya. Ini nampak
dalam kreteria ekspresivitas: sebuah karya adalah baik bila pribadi dan emosi
pengarang diungkapkan dengan baik. Juga dalam kreterium intensi: sebuah
karya adalah baik bila intensi (maksud) pengarang diungkapkan dengan baik
atau selaras dengan norma-normanya. Bila fungsi sastra dipusatkan pada
pengungkapan emosi, seperti yang dilakukan oleh Romantik, maka keterium
ekspresivitas akan dipentingkan dalam menilai sastra.
2. Kreteria yang mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru atau
tercermin di dalamnya: kreterium realisme atau mimesis, sebuah karya yang
dinilai baik bila kenyataan diungkapkan dengan tepat, lengkap atau secara
tipikal (menampilkan ciri-ciri yang khas). Bila seorang kritikus mengharapkan
dari sastra, supaya kenyataan diperjelas, maka kreterium inilah yang
dipergunakan atau yang diutamakan. Pandangan ini juga berpengaruh bila
diharapkan agar sastra secara tidak langsung memantulkan kenyataan.
Kreteium ini berkaitan juga dengan kreteria kognitif yang mengukur mutu
sebuah karya sastra sekedar dengan pengetahuan yang disampaikan.
3. Kreteria yang langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus dan karya sastra.
Seorang kritikus dapat mempergunakan kreteria politik, relegius atau moral.
Sebuah karya dinilai baik bila karya itu mengambil sikap yang diharapkan
oleh kritikus, atau bila karya itu menyoroti situasi-situasi yang dianggap
penting oleh pihak kritikus, sekalipun itu tidak ditekankan oleh pengarang
sendiri. Kreteria itu dijunjung tinggi bila fungsi sastra ditempatkan dalam
biang pendidikan atau emansipasi, ataupun bila diharapkan agar sastra
mengambil sikap yang tegas terhadap keadaan-keadaan tertentu, melibatkan
diri dalam situasi itu.
4. Kreteria yang memerhatikan kemampuan karya untuk mengasyikkan
pembaca, atau yang dapat menarik peratiannya ataupun yang dapat
mengharukan hatinya:kreteria emotivitas. Dalam penelitian sastra yang
berpangkal pada psikoanalisis diarahkan perhatian kepada kemampuan sastra
untuk mencairkan ketegangan dalam hati pembaca, atau untuk mengalirkan
atau bahkan memecahkannya.
5. Kreteria struktur memerhatikan susunan, keberkaitan, dan kesatuan karya
sastra. Kecenderungan untuk mengutamakan kreteria ini didukung oleh suatu
pendekatan terhadap sastra yang menitikberatkan karya sendiri, yang lebih
memerhatikan bagaimananya daripada apa-nya, jadi yang mendekati sastra
secara estetik.
6. Kreteria tradisi menilai sebuah karya menurut daya pembaharuan atau justru
sebaliknya, sejauh karya itu setia kepada tradisi dalam hal gaya dan priode.
Kreteria ini ditonjolkan oleh kaum kritisi yang memusatkan perhatiannya
kepada unsur kesastraan di dalam sastra.
Macam- Macam Penilaian Dalam Kritik Sastra
Menurut Rene Wellek dan Austin Warrent, ada tiga macam penilaian kritik sastra,
yakni relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.
1. Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu
terbitnya karya sastra (penilaian karya sastra tidak sama di semua tempat dan
waktu. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya
itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di
suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai
di jaman dan tempat yang lain (dulu dianggap baik, sekarang harus dipandang
baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap penilaian karya sastra yang
menganut paham abslutisme. Penilaian Realitivisme memang mengandalkan
transferabilitas suatu karya sastra. Dalam Pradopo (2011: 53), paham
relativisme yang menilai karya sastra hanya berdasarkan waktu terbitnya, atau
yang sudah tidak dikehendaki penilaian karya sastra, tentulah tak dapat kita
terima bila kita hendak menilai karya sastra secara objektif menurut metode
literer.
2. Absolutisme adalah paham penilaian karya sastra yang didasarkan pada
paham-paham di
luar sastra seperti: politik, moral, atau ukuran-ukuran tertentu. Dengan kata
lain, paham ini menilai karya sastra tidak didasarkan pada hakikat sastra.
Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra yang memiliki
tendensi politis, memiliki nilai moral, dsb. Sehingga paham ini cenderung
menilai karya sastra secara dogmatis dan statis. Contoh kritik sastra dengan
paham ini adalah kritikus penganut paham humanis baru dan marxis.
Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti
penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni).
Penilaian Absolutisme adalah paham yang menilai hanya didasarkan pham-
paham, aliran-aliran politik, dan pertimbangan-pertimbangan di luar karya
sastra, tentulah tak dapat kita terima karena menilai karya sastra tidak
didasarkan pada hakikat karya sastra, tidak berdasar metode literer. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Suwignyo (2013: 63), paham penilaian ini
menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer.
Disamping itu juga, para kritikus modern memakai hokum-hukum drama
klasik sebagai standar penilaian drama-drama modern. Rene wellek
menunjukkan contoh golongan-golongan yang menilai karya sastra tidak
berdasar pada hakikat sastra ini, melainkan menurut paham, politik, atau cita-
cita, antara lain kaum Humanis baru.
3. Perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai perspektif
tempat, waktu, dan sudut pandang sehingga karya sastra bisa dinilai dari
waktu terbitnya dan pada masa berikutnya. Paham ini berpendapat bahwa
karya sastra bersifat abadi dan historis. Abadi karena memelihara ciri-ciri
tertentu, historis karena karya sastra itu melampaui suatu proses yang dapat
dirunut jejaknya. Dengan kata lain, karya sastra dapat dibandingkan sepanjang
masa berkembang, berubah penuh kemungkinan penilaian.
Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui penafsirnya sepanjang
jaman (berubah menurut tanggapan penafsirnya). Wellek-Warren
menganjurkan, hendaknya para kritikus memilih aliran ini dalam menilai
karya sastra. penilaian perspektif ialah paham penilaian yang menilai karya
sastra dari berbagai perspektif, dari berbagai sudut pandangan, yaitu dengan
jalan menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai
karya sastra itu pada masa-masa berikutnya. Dari pengertian tersebut,
penilaian perspektivisme mengakui adanya satu karya sastra yang dapat
dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, penuh kemungkinan.
Anggapan dasarnya bahwa karya sastra bersifat abadi dan historisis sekaligus.
Ringkasnya, perubahan-perubahan penialaian terhadap suatu karya tertentu
dapat disebabkan oleh zaman yang berbeda, keyakinan pribadi, social,
religious, politik serta ideology kesenian. Maka berdasarkan pernyataan
tersebut, Paham penilaian Perspektivisme lah yang cocok untuk dipilih dalam
menilai karya sastra, karena penilaiannya berdasarkan pada hakikat fungsi
sastra dengan menggunakan metode literer. Serta, Atar Semi berpendapat
dalam bukunya “kritik sastra”menyebutkan bahwa, memang tidak perlu
adanya suatu ukuran dan patokan didalam kritik sastra bila ukuran dan
patokan itu justru menciptakan jebakan bagi pemakainya, yang akhirnya
melakukan analisis dan penarikkan kesimpulan yang dapat mengungkung seni
yang berkecondongan bebas. Betapapun, ukuran-ukuran dalam melakukan
kritik perlu ada agar kritik sastra tersebut dapat mengemban fungsinya secara
baik dan bertanggung jawab.
Kritik sastra tidak hanya berupa penikmatan, tetapi juga berupa
penilaian, berupa penghakiman. Dalam hal itu, amat diperlukan adanya
rambu-rambu adanya prinsip-prinsip yang digunakan sebagai pegangan. Tentu
saja prinsip-prinsip itu harus dinamis, bukan prinsip yang berlaku sepanjang
zaman, karena sistem nilai itu juga sering berubah menurut waktu dan tempat.
Kritik sastra dengan ukuran dan prinsip-prinsip yang baik, mampu
menunjukan nilai suatu karya sastra tersebut, serta mampu meniadakan
persoalan yang rumit dan sulit yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Sehingga memungkinkan suatu karya sastra yang pada mulanya dianggap
tidak bernilai, bisa mendapat sambutan yang ramah.

Daftar Pustaka
Asupriatna. (2008). KRITIK SASTRA. Retrieved 09 18, 2020, from asupriatna.wordpress.com:
https://asupriatna.wordpress.com/2014/03/02/kritik-sastra/

Aziz, S. A. (2014, Oktober 10). Penilaian Dalam Karya Sastra. Retrieved September 18, 2020,
from kritiksastraindonesia.blogspot.com:
http://kritiksastraindonesia.blogspot.com/2014/10/penilaian-dalam-karya-
sastra.html

Daehae, N.-e. (2013, Desember 15). PERSPEKTIF DAN KRITERIA PENILAIAN KRITIK . Retrieved
September 18, 2020, from sastranovemberrain.blogspot.com:
http://sastranovemberrain.blogspot.com/2013/12/perspektif-dan-kriteria-
penilaian-kritik.html

Nur, F. M. (2014, Maret). Retrieved September 18, 2020, from fauzinurmoch.blogspot.com:


http://fauzinurmoch.blogspot.com/2014/03/penilaian-dalam-kritik-sastra.html

Sehandi, Y. (2017, September 14). Perihal Kritik Sastra. Retrieved September 2018, 2020,
from yohanessehandi.blogspot.com:
http://yohanessehandi.blogspot.com/2017/09/perihal-kritik-sastra.html

Anda mungkin juga menyukai