Anda di halaman 1dari 64

SILABUS

Standar Kompetensi:
Mahasiswa dapat menguasai pengertian
stilistika (ilmu al-uslub) dan ruang
lingkupnya, perbedaannya dengan ilmu
balaghah & kritik sastra, serta mampu
mengaplikasikan dalam menganalisis
teks-teks Arab.
 
KOMPETENSI DASAR
1. Pengertian stilistika (ilmu al-uslub)
2. Sejarah stilistika
3. Ranah kajian (ruang lingkup) stilistika
4. Mengidentifikasi perbedaan stilistika,
balaghah dan kritik sastra
5. Aplikasi stilistika
BUKU BACAAN
Gorys Keraf: Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2004)
Nyoman Kutha Ratna: Stilistika Kajian Puitika
Bahasa, Sastra, dan Budaya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009)
Burhan Nurgiyantoro: Stilistika (Yogyakarta:
UGM Press, 2014)
Akhmad Muzakki: Stilistika al-Qur`an: Gaya
Bahasa al-Qur`an dalam Konteks
Komunikasi (Malang: UIN Press, 2010)
PENGERTIAN STILISTIKA
Stilistika, (katastyle diturunkan dari
bahasa Latin, "stilus", yaitu semacam
alat untuk menulis pada lempengan lilin)
secara sederhana dapat diartikan
sebagai kajian linguistik yang obyeknya
style
berupa (gaya bahasa). Sedangkan
style adalah cara penggunaan bahasa
dari seseorang dalam konteks tertentu
dan untuk tujuan tertentu.
Karena perkembangan makna itu,
sehinggastyle atau gaya bahasa
menjadi bagian dari diksi atau
pilihan kata yang mempersoalkan
cocok dan tidaknya pemakaian
suatu kata, frase atau klausa
tertentu untuk menghadapi situasi
tertentu.
Di Yunani ada dua paham tentang
style:
Pertama, adalah paham yang
terkenal dengan sebutanplatonik ,
yang mengatakan bahwastyle
adalah kualitas suatu ungkapan.
Karena itu, bagi paham ini
kemungkinan adanya style dalam
satu ungkapan bisa ada
dan bisa juga tidak.
Kedua, adalah paham yang terkenal
dengan sebutanpaham Aristoteles.
Paham ini beranggapan bahwa style
inhern dalam
adalah kualitas yang
suatu ungkapan. Karena itu, setiap
karya pasti mengandung style, hanya
kualitasnyalah yang berbeda
(Zainuddin Fananie, 2001: 26).
CARA MEMANDANG STYLE
Pemahaman tentang style dapat dilihat
dari sudut pandang yang berbeda:
1. Sudut pandang penulis
2. Sudut pandang ciri teks
3. Sudut pandang dari kesan pembaca
Ketiga sudut pandang ini akan
memberikan pengertian yang berbeda,
tetapi dapat memperkaya pemahaman kita.
ENAM PENGERTIAN TERKAIT
DENGAN STYLE
1. Style sebagai sesuatu yang membungkus
pemikiran, perasaan, gagasan, pesan, dll.
yang ingin dikomunikasikan oleh pengarang.
2. Style sebagai suatu pilihan dari berbagai
ungkapan lain yang dimungkinkan.
3. Style dipandang sebagai sekumpulan ciri
pribadi.
4. Style dipandang sebagai penyimpangan dari
norma kebahasaan.
5. Style dipandang sebagai ciri kolektif
(seperti angkatan balai pustaka, pujangga
baru, 45, dsb. Memiliki keinginan utk
menyampaikan visi, keyakinan, dan
pandangan tentang nilai estetika dalam
karya sastra)
6. Style dari sudut pandang perspektif historis
menempatkan style dalam kaitannya
dengan faktor kesejarahan (Burhan
Nurgiyantoro, 2014, 47)
Jadi, stilistika (kajian gaya bahasa)
bertujuan:
1. Menerangkan hubungan bahasa dengan
fungsi artistik dan maknanya.
2. Menentukan seberapa jauh si pengarang
mempergunakan tanda-tanda linguistik
untuk mencapai efek khusus.
3. Mengetahui kreativitas pengarang dalam
mengeksplorasi penggunaan bahasa.
a. Kajian stilistika tekstualitas atau
kontekstualitas?
b. Kajian stilistika estetika atau
linguistik?
c. Kajian stilistika dualisme,
monisme, atau pluralisme?
(Burahan Nurgiyantoro: 90)
Dalam literatur Arab, istilah stilistika
dikenal dengan sebutan`ilm al-uslūb .
Secara etimologis,uslūb adalah al-ṭarīq
wa al-wajh wa al-madhhab (metode,
cara, dan aliran). Dalam pengertian
uslūb
umum, adalah cara menulis, atau
cara memilih dan menyusun kata untuk
mengungkap makna tertentu sehingga
mempunyai tujuan dan pengaruh yang
jelas (Aḥmad al-Shāyib, 1995: 40-59).
Para sastrawan Arab membagiuslūb menjadi
tiga:
1)Uslūb khiṭābī, uslūb ini menekankan pada
ungkapan yang fasih ibārah
( jazlah ), kalimat
yang sempurna dan intonasi.
2)Uslūb `ilmī, uslūb ini menekankan pada logika
yang kuat, susunan argumentasi, dan dapat
diandalkan dalam menolak keragu-raguan.
3)Uslūb adabī, uslūb ini menggunakan ungkapan
yang lembut, penyampaian yang halus karena
bertujuan untuk memuaskan emosi dan
membangkitkan rasa.
Berdasarkan penjelasan ini, dipahami
bahwa stilistika atau`ilm al-uslūb adalah
ilmu yang mengkaji dan menyelidiki
bahasa yang digunakan para sastrawan
dalam mengeksploatasikan dan
memanfaatkan unsur-unsur, kaidah, dan
pengaruh yang ditimbulkan, atau mengkaji
ciri khas penggunaan bahasa dalam
wacana sastra dan meneliti deviasi dari
tata bahasa yang ditimbulkan.
SEJARAH STILISTIKA
Perkembangan stilistika tidak bisa
dilepaskan dengan perkembangan retorika.
Barthes menunjukkan sejumlah praktik
sosial yang pernah muncul di Barat sejak
abad ke-5 SM hingga abad ke-19 M, yaitu:
a) retorika sebagai teknik, sebagai seni
persuasi
b) retorika sebagai seni mengajar
c) retorika sebagai ilmu
d) retorika sebagai sistem moral
e) retorika sebagai praktik sosial
f) retorika sebagai parodi (plesetan)dan
alusi (majaz/perbandingan)
Pada awal perkembangannya retorika
Yunani Kuno digunakan dalam ruang
pengadilan. Aristoteles membedakan
antara puitika dan retorika sebagai asal-
usul stilistika. Puitika adalah teori sastra
dalam kaitannya dengan epik, drama dan
lirik. Esensi puisi adalah imitasi, sedang
esensi retorika adalah persuasi.
Tujuan retorika adalah efektivitas praktis,
sedang tujuan puitika adalah keindahan.
Retorika memberikan perhatian pada
penalaran, sedang puitika pada penciptaan.
Abad pertama, sejak lahirnya agama Kristen
retorika digunakan untuk khotbah dan
pelaksanaan religius lainnya. Selama abad
pertengahan perjalanan retorika mengalami
dua fase, tiga abad pertama mengalami
kemajuan karena didukung pengaruh agama
Kristen, dan tujuh abad kedua mengalami
kemunduran
karena dipicu oleh perkembangan ilmu
pengetahuan teoritis, adanya kecendrungan
cara-cara yang aneh yang pada gilirannya
memicu digunakannya stilistika.
Kelahiran zaman baru, renaissance sebagai
kelahiran kembali zaman klasik, yaitu
zaman Yunani dan Romawi Kuno, maka
pada masa itu ditandai dengan kelahiran
retorika humanis, sebagai rekasi terhadap
tradisi skolastisisme dan teologi abad
pertengahan.
Pada abad ke-18 hingga ke-20 retorika
mengalami kemunduran, menurut Gorys
Keraf salah satu indikatornya adalah
terjadinya pergeseran dari tradisi lisan ke
tulis sebagai akibat ditemukannya mesin
cetak.
Dengan adanya tradisi tulis, retorika modern
jelas didominasi oleh bahasa tulis. Dari sini
kemudian istilah stilistika berkembang
menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang
mendapat perhatian penuh.
PERBEDAAN STILISTIKA DAN BALAGHAH

1) Balāghah termasuk rumpun ilmu bahasa


lama yang statis, ia hanya memperhatikan
macam-macam pengungkapan yang
sesuai dengan tuntutan keadaan
muqtaḍā
( al-ḥāl ), dan terpaku pada masa
dan ragam bahasa tertentu. Sedangkan
stilistika termasuk ilmu bahasa baru yang
dinamis dan berkembang. Ia mengkaji
fenomena-fenomena bahasa dari dua arah:
a) Arah horizontal, yaitu mendeskripsikan
hubungan fenomena-fenomena bahasa
antara yang satu dengan yang lainnya
dalam satu kurun waktu.
b) Arah vertikal, yaitu mengakji
perkembangan suatu fenomena bahasa
dalam beberapa masa.
2) Kaidah-kaidah ilmubalāghah bersifat statis,
tidak mengalami perubahan, sehingga
kalimat yang tidak sesuai dengan kaidah
tersebut dianggap suatu kesalahan.
Berbeda dengan stilistika, ia mengkaji
bahasa dengan melihat dan menjelaskan
perubahan-perubahan beserta fenomena-
fenomenanya berdasarkan maksud penutur
dan kesan pendengar atau pembaca, tanpa
menghakimi apakah fenomena bahasa
tersebut salah atau benar.
Karena stilistika selalu
mengedepankan dua teori, yaitu
preferensi dan deviasi maka
implikasinya, ketika menyimak
suatu teks pemilihan dan
penyimpangan kata atau kalimat
yang ada di dalamnya dapat
diungkapkan.
3)Balāghah menggunakan istilah
muqtaḍā al-ḥāl, sedangkan stilistika
menggunakan istilahmauqīf . Istilah
mauqīf dalam stilistika lebih rumit
muqtaḍā al-ḥāl
dari pada istilah
balāghah,
dalam ilmu karena ia
berkaitan dengan psikologi
(Syihabuddin Qalyubi, 1997: 30).
PERBEDAAN STILISTIKA DAN KRITIK
SASTRA

Stilistika dan kritik sastra memiliki


persamaan, keduanya sama-sama mengkaji
berbagai ragam karya sastra. Stilistika
mengkaji karya sastra pada aspek-aspek
yang tampak (intrinsik), seperti pemilihan
kata, kalimat, fonologi, dan sebagainya.
Sementara kritik sastra bukan saja
mengkaji aspek-aspek yang tampak, tetapi
aspek-aspek yang tidak tampak juga
menjadi pembahasan (ekstrinsik).
RANAH KAJIAN STILISTIKA
Khafājī (1992:11) berpendapat , kajian
stilistika di antaranya adalah persoalan-
persoalan yang terkait dengan: 1)
ṣawtīyah (fonologi), 2) jumlīyah
(macam-macam struktur kalimat), 3)
mu`jamīyah (leksikologi), dan 4)
balāghīyah (seperti penggunaan gaya
bahasa, seperti gaya bahasa metafor,
hipalase, mitonimi, dan sebagainya).
Abrams mengatakan; 1) Fonologi
(pola suara ucapan dan irama), 2)
Sintaksis (jenis struktur morfologi,
frase, klosa, dan kalimat), 3) Leksikal
(penggunaan kata-kata tertentu
seperti abstrak konkrit, penggunaan
jenis kata, seperti kata benda, kerja,
sifat), 4) Penggunaan bahasa figuratif
dan sasrana retorika.
Wahbah al-Zuhailī (2005: 35) berpendapat,
karakteristikuslūb al-Qur`ān di antaranya: 1)
Susunan kalimatnya indah, berirama, dan
bersajak yang mengagumkan sehingga
dapat membedakan dengan ungkapan-
ungkapan lainnya, baik dalam bentuk syair,
lafaẓ
prosa maupun pidato. 2) Pemilihan ,
struktur, dan ungkapannya yang indah. 3)
Kelembutan suara di dalam menyusun
lafaẓ
huruf. 4) Kesesuaian dan makna.
al-Zarqānī (2004: 446), karena al-Qur`ān
sebagai mukjizat dan pedoman hidup umat
manusia, maka karakteristikuslūb al-Qur`ān
meliputi: 1) keindahan aspek fonologinya, 2)
memuaskan kalangan tertentu dan orang-
orang awām, 3) memuaskan akal dan rasa,
4) keindahan susunan al-Qur`ān dan hukum
yang dikandungnya, 5) keindahan dalam
memalingkan ungkapan dan kaya dalam
variasinya, 6) ungkapan al-Qur`ān
adakalanya bersifat global dan terinci, dan 7)
lafaẓ
kesesuaian dan makna.
al-Rāfi`ī (t.t.: 212), ia menyebut
lebih ringkas dan simple: 1) sifat-
sifat fonetis, 2) susunan huruf
dalam rangkaian kata, 3) susunan
kata dalam rangkaian kalimat,
dan 4) struktur kalimat.
Ṣalāh Faḍal (1998: 115), karenauslūb
terkait dengan jiwa seseorang, makauslūb
adalah orang itu sendirial-nās
( nafsuh ),
sehingga wajar apabila masing-masing
orang mempunyai obyek kajian stilistika
yang berbeda. Namun, analisis teks dengan
menggunakan pendekatan stilistika tidak
bisa dilepaskan dari tiga unsur pokok, yaitu:
al-unṣūr
1) al-lughawī al-2)
(unsur bahasa),
unṣūr al-naf`ī , seperti pengarang, pembaca,
al- 3)
konteks historis, dan seterusnya, dan
nṣūr al-adabī (unsur keindahan sastra).
Dapat disimpulkan bahwa obyek
atau ranah kajian stilistika meliputi:
1)al-aṣwāt (fonologi),
2)ikhtiyār al-lafẓ (preferensi kata),
3)ikhtiyār al-jumlah (preferensi
kalimat), dan 4)al-uslub (gaya
bahasa), termasuk di dalamnya
masalah inhiraf (deviasi).
FONOLOGI
Secara etimologis, fonologi terbentuk dari
katafon yang berarti bunyi, danlogi berarti
ilmu. Menurut hirarki satuan bunyi yang
menjadi obyek studinya, fonologi dibedakan
menjadi dua, yaitu; 1) Fonetik adalah cabang
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa
tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi
tersebut mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak. 2) Fonemik
adalah cabang fonologi yang mempelajari
bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi
bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
Menurut al-Zarqānī (2004: 446), yang
dimaksud dengan keserasian dalam tata
bunyi al-Qur`ān adalah keserasian dalam
pengaturan ḥarakah (tanda baca seperti a, i
sukūn (tanda baca mati),
dan u), mad
(tanda baca yang menimbulkan bunyi
ghunnah
panjang) dan (nasal), sehingga
enak untuk didengar dan diresap dalam
jiwa yang itu tidak mungkin tertandingi oleh
ungkapan-ungkapan lain, semisal puisi atau
prosa.
Keserasian bunyi pada akhir ayat,
dapat dikelompokkan menjadi
tiga: pertama, pengulangan bunyi
huruf yang sama, seperti
pengulangan hurufha` yang
berfungsi sebagai obyek, dan
kata sebelumnya berbentuk verba
fi`il māḍī
perfektum ( ), perhatikan
surat 80 (`Abasa) ayat 17-23.
Kedua, pengulangan bunyi lafaẓ,
seperti pengulangan katadakkā dan
ṣaffā pada surat 89 (al-Fajr) ayat 21 &
22, dan pengulangan kata aḥad pada
ayat 25 & 26.
Ketiga, pengulangan bunyi lafaẓ yang
berhimpitan, seperti bunyiṭumisat,
furijat, nusifat, uqqitat, ujjilat dalam
surat 77 (al-Mursalāt) ayat 8-12.
Rashīd Sālim al-Khūrī, seorang penyair ulung
berkebangsaan Mesir telah membahas
keterkaitan huruf dengan maknanya.
Misalnya, huruf yang berawalan "fā" berkaitan
dengan makna jelas atau kejelasan, seperti
fataḥa, fariḥa, fajara fassara
dan (membuka,
gembira, membelah dan menjelaskan). Huruf
berawalan "ḍād" berkaitan dengan makna
ḍarra, ḍiyā`, ḍalāl
putus asa, seperti , ḍayq
dan
(malapetaka, kehilangan, kegelapan dan
kesempitan). Huruf yang diawali dengan "ḥā"
ḥubb,
berkaitan dengan makna mulia, seperti
aqq, ḥurrīyah, ḥayāh, ḥasan, ḥarakah dan
kmah (cinta, kebenaran, kemerdekaan,
kehidupan, baik, gerakan dan kebijaksanaan).
PREFERENSI KATA
1) Kata yang berdekatan maknanya
2)Musytarak al-lafẓ (polisemi)
3)Aḍdād (kata yang berlawanan
maknanya)
4)Mu`arrobah (kata asing yang diserap
dalam al-Qur`ān)
5)Muqtaḍā al-ḥāl ) (kata yang sesuai
dengan konteks lawan bicara)
KATA YANG BERDEKATAN
MAKNANYA
Dalam kajian bahasa Arab, istilah
tarāduf atau sinonim untuk
menyebut kata yang berdekatan
maknanya masih diperdebatkan.
Sementara istilahtarāduf
diperkenalkan oleh Abū al-Ḥusain
Aḥmad bin Fāris dalam kitabnya, "
al-Ṣāhibī"
• Dalam menyikapi pembahasan
mengenaitarāduf ada dua kelompok
yang berseberangan:
• Pertama, kelompok yang mengakui
adanyatarāduf , seperti ketika
menafsirkan kata "lubb" dengan "aql",
kata "jarah" dengan "ṣabb", dan kata "
kasab" dengan "sakab". Para
tokohnya antara lain, al-Rummānī, al-
Fakhr al-Rāzī dan al-Aṣfihānī.
• Kedua, kelompok yang mengingkari
adanyatarāduf . Pemikiran ini dibawa
oleh Tha`lab, Abū `Alī al-Fārisī, Ibn
Fāris dan Abu Hilāl al-Askārī. Tha`lab
memberikan contoh kata "dhahab"
berbeda dengan "inṭalaqa", kata "
qa`ada" berbeda dengan "jalasa", kata "
raqada" berbeda dengan "nāma" dan
haja`a".
Jalaludin Rakhmat (1994: 75) mengatakan,
katabashar yang disebut sebanyak 27 kali
dalam al-Qur`ān, memberikan referensi
pada manusia sebagai makhluk biologis.
Acuan pendapat ini dapat dibaca dalam
surat 3 (Ali `Imrān): 47; 18 (al-Kahf): 110;
41 (Fuṣṣilāt): 6; 25 (al-Furqān): 7 & 20, dan
bashar
12 (Yūsuf ): 31. Konsep selalu
dihubungkan dengan sifat-sifat biologis
manusia, seperti makan, minum, seks, dan
berjalan di pasar.
Sementara katainsān , yang dalam al-
Qur`ān disebut sebanyak 65 kali, dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori:
pertama,insān dihubungkan dengan
konsep manusia sebagai khalīfah atau
pemikul amanah, kedua,insān
dihubungkan dengan presdiposisi negatif
insān
manusia, dan ketiga, dihubungkan
dengan proses penciptaan manusia.
insān
Semua konteks menunjuk pada
sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Manusia cenderung ẓalim dan kafir
(QS. 14: 34), tergesa-gesa (QS. 17: 67)
, bakhil (QS. 17: 100), bodoh (QS. 33:
72), banyak membantah dan berdebat
(QS. 18: 54), gelisah dan enggan
membantu (QS. 70: 19), ditakdirkan
untuk bersusah payah dan menderita
(QS. 84: 6), tidak berterima kasih (QS.
100: 6), berbuat dosa (QS. 96: 6),
meragukan hari kiamat (QS. 19: 66).
Konsep yang ketiga adalahal-nās yang
mengacu pada manusia sebagai
makhluk sosial. Ia disebut dalam al-
Qur`ān sebanyak 240 kali. Menurut al-
Qur`ān, sebagian manusia tidak berilmu
(QS. 7: 187), tidak bersyukur (QS. 40: 61)
, tidak beriman (QS. 11: 17), fasiq (QS. 5:
49), melalikan ayat-ayat Allah (QS. 10:
92), kafir (QS. 17: 89), dan kebanyakan
harus menanggung aẓab (QS. 22: 18).
POLISEMI

Al-Suyūṭī berkata, ulamauṣūl


fiqh mendefinisikanmushtarak
al-lafẓ adalah satu kata yang
mempunyai dua makna
berbeda atau lebih (`Umar
Mukhtār, 1982: 158).
Arti kata "yuṣallūn" dalam surat al-
Aḥzāb ayat 56, kalau dari Allah berarti
memberi rahmat, bila dari Malaikat
berarti memintakan ampunan, dan
kalau dari orang-orang mukmin berarti
berdoa supaya diberi rahmat seperti
dengan perkataan "Allahuma ṣalli `alā
Muhammad". Karena ketiga arti
tersebut dapat digabungkan, maka
ketiga-tiganya dapat dipergunakan
sebagai makna dari kata "yuṣallūn".
AL-ADDHAD
Yang dimaksudaḍdād dalam
pembahasan ini bukan dua kata yang
berbeda ucapannya dan berbeda pula
maknanya (antonim), seperti pendek
lawannya panjang, melainkan adalah
satu kata yang mempunyai dua
makna yang berbeda.
• Misalnya, Abū Ḥātim al-Sijistānī
mengatakan, kata "ẓan" dalam al-
Qur`ān mempunyai dua makna, yaitu
yakinyaqīn
( ) dan ragushakk
( ẓan
). Kata
mempunyai makna yakin seperti yang
ada dalam surat 69 (al-Ḥāqqah) ayat 20.
• Sedangkan kataẓan yang bermakna
ragu dapat ditemukan dalam surat 45
(al-Jāthiyah) ayat 32.
AL-MU`ARROBAH
Para ulama berbeda pendapat
mengenai ada dan tidak adanya
mu`arrobah , yaitu kata asing yang
diserap ke dalam bahasa Arab
dalam al-Qur`ān. Sebagian mereka
menolak berdasarkan al-Qur`ān
surat Yūsuf ayat 2 dan surat Ṭāhā
ayat 113.
Sebagian yang lain tidak
mempermasalahkan, dengan alasan,
karena kata serapan tersebut
jumlahnya hanya sedikit, dan itupun
tidak akan mampu merubah al-Qur`ān
menjadi bukan bahasa Arab. Menurut
al-Suyūṭī, sebenarnya bangsa Arab
telah lama menyerap beberapa kata
asing di dalam karya-karya mereka.
• Maḥmūd Aḥmad Najlah menduga ada dua
puluh kata yang patut dilakukan penelitian
lebih lanjut, di antaranya kataabbā, arā`ik,
asāṭīr, akwāb, jannah, jahannam, zarābīy,
sāfilīn, sijjīl, sijjīn, sirāj, sīnīn, shaiṭān, ṭuwā,
`illīyyūn, gassāq, qalam, kuwwirat, marqūm,
misk, muṣaiṭir, namāriq yahūr
, dan
(Syihabuddin Qalyubi, 1997: 53). Sementara
Muḥammad al-Tunjī (2005: 191) dalam
karyanya, "al-Mu`arrobah wa al-Dakhīl fī al-
Lughah al-`Arabīyah wa Adābihā"
memaparkan sebanyak 130 macam kata
mu`arrobah yang terdapat di dalam al-
Qur`ān.
MUQTADHAL HAL
Yang dimaksud muqtaḍā al-ḥāl adalah
pemilihanlafaẓ yang sesuai dengan
makna yang dikehendaki dalam
konteks tertentu.Al-Muqtaḍā juga
al-i`tibār al-munāsib
disebut
(ungkapan yang sesuai), yaitu gaya
bahasa yang digunakan untuk
menyampaikan sebuah ungkapan
(`Umar bin `Alawi, 2006: 18).
PREFERENSI KALIMAT
Preferensi kalimat yang dimaksud adalah
bentuk atau ragam kalimat yang
dipergunakan sebagai media untuk
menyampaikan pesan, sekaligus mempunyai
pengaruh terhadap makna yang dikemukakan.
Ragam kalimat dalam al-Qur`ān sangat
`ilm
bervariasi, seperti yang dipaparkan dalam
al-balāghah di antaranya adalah struktur
ismīyah
kalimat fi`līyah
dan , penggunaan
mubtada`
kalimat yang beragam, seperti
dengan menggunakanisim ishārah, isim
mawṣūl, isim ḍamīr, taqdīm wa ta`khīr , dan
sebaginya.
GAYA BAHASA
Dalam gaya bahasa, bila acuan yang
digunakan itu masih mempertahankan
makna dasar, maka bahasa itu masih
bersifat polos. Tetapi, bila sudah ada
perubahan makna, entah berupa makna
konotatif atau sudah menyimpang jauh
dari makna denotatifnya, maka acuan
itu dianggap sudah memiliki gaya
bahasa.
Gaya bahasa berdasarkan
ketidaklangsungan makna ini biasanya
disebut sebagaitrope ataufigure of speech,
yang dibagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa
retoris dan gaya bahasa kiasan. Bentuk
pertama semata-mata merupakan
penyimpangan dari konstruksi biasa untuk
mencapai efek tertentu. Sedangkan yang
kedua merupakan penyimpangan yang lebih
jauh, khususnya dalam bidang makna.
Gaya bahasa retoris di antaranya:
Anastrof, Apostrof, Eufemisme,
Hiperbol, dan lain-lain. Sedang
gaya bahasa kiasan, misalnya,
Simile, Metafora, Sinekdoke,
Personifikasi, Hipalase, Sarkasme,
dan seterusnya.
Anastrof atau inversi adalah semacam
gaya retoris yang diperoleh dengan
pembalikan susunan kata yang biasa
dalam kalimat. Dalam literatur bahasa Arab
gaya bahasa ini dikenal dengan istilahal-
taqdīm wa al-ta`khīr.
Apostrof adalah semacam gaya yang
berbentuk pengalihan amanat dari para
hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.
Dalam khazanah sastra Arab, pengertian
gaya bahasaapostrof hampir semakna
inḥirāf
dengan istilah (deviasi), yaitu
penyimpangan ragam atau struktur bahasa
dari sebuah konvensi atau norma.
Eufemisme adalah semacam acuan
berupa ungkapan-ungkapan yang tidak
menyinggung perasaan orang, atau
ungkapan-ungkapan yang halus untuk
menggantikan acuan-acuan yang mungkin
dirasakan menghina, menyinggung
perasaan atau mensugestikan sesuatu
yang tidak menyenangkan. Dalam kajian
balaghah gaya bahasa ini disebut dengan
inayah .
Hiperbol semacam gaya bahasa yang
mengandung suatu pernyataan yang
berlebihan, dengan membesar-besarkan
sesuatu hal mubalaghah
( ).
Simile adalah perbandingan yang bersifat
eksplisit. Yang dimaksud dengan
perbandingan yang bersifat eksplisit ialah
bahwa ia langsung menyatakan sesuatu
sama dengan hal yang lain.
Metafora adalah semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung,
tetapi dalam bentuk yang singkat.
Metafora sebagai perbandingan langsung
tidak mempergunakan kata, seperti, bagai,
bagaikan , dan sebagainya. Baik simile
maupun metafora dalam kajian balaghah
tasybih
disebut dengan .
Sinekdoke adalah semacam bahasa
figuratif yang mempergunakan
sebagian dari sesuatu hal untuk
menyatakan keseluruhan pras
( pro
toto ) atau mempergunakan
keseluruhan untuk menyatakan
totum
sebagian ( pro toto ). Dalam
kajian balaghah gaya bahasa ini
majaz mursal
disebut dengan .
Personifokasi adalah semacam gaya
bahasa kiasan yang menggambarkan
benda-benda mati atau barang-barang yang
tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-
sifat kemanusiaan.
Hipalase adalah semacam gaya bahasa di
mana sebuah kata tertentu dipergunakan
untuk menerangkan sebuah kata, yang
seharusnya dikenakan pada sebuah kata
istia`rah
yang lain ( ).
Sarkasme merupakan suatu acuan yang
lebih kasar dariironi dansinisme .

Anda mungkin juga menyukai