Anda di halaman 1dari 41

AL-KALAM AL-KHABARY DALAM NOVEL AL-LAUNU AL-ĀKHAR

KARYA IHSAN ABDUL QUDDUS

(Kajian Ilmu Ma’ani)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Mengikuti Seminar Proposal Skripsi

Disusun Oleh:

Bella Cita Emeralda

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2022M/1443H
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah hasil budaya manusia yang memiliki nilai luhur. Manusia
dengan menggunakan bahasa dapat mentransfer keinginan, kehendak, gagasan,
dan emosi kepada orang lain untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Oleh karena
itu, bahasa senantiasa tumbuh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
(Chaer, 2003:38).
Salah satu produk dari bahasa adalah sastra. Hubungan anatara keduanya
bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990: 218), artinya bahasa merupakan
sistem tanda primer dan sastra sebagai sistem tanda sekunder. Bahasa sebagai data
primer digunakan sebagai alat untuk mewujudkan konseptual manusia dalam
menafsirkan berbagai hal dan sastra disebut tanda sekunder karena
ketergantungannya terhadap bahasa (Teeuw, 1984: 99). Oleh karena itu, suatu
karya sastra hanya akan dipahami melalui media bahasa
Sastra pada dasarnya terbentuk oleh kreatifitas yang di dalamnya terdapat
nilai estetis. Suatu teks dapat dikatakan sebagai sastra ketika memenuhi beberapa
kriteria. Kriteria yang dimaksud tergantung orang yang memberikan kriteria
tersebut. Walau pun demikian, sesuatu dapat dikatakan sastra ketika mengandung
tiga aspek, yaitu decode (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare
(memberikan kenikmatan melalui unsur estetik), dan movere (dapat menggerakan
kreativitas membaca) (Fananie, 2000: 4).
Pada perkembangan selanjutnya, berbagai hasil sastra disebut karya sastra.
Secara sederhana, karya sastra adalah ungkapan manusia dalam bentuk bahasa.
Secara istilah karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan yang di dalamnya
berisi sikap, latar belakang, dan keyakinan tentang permasalahan yang
berhubungan dengan kehidupan manusia yang diungkapkan dalam bentuk cerita
(Pradopo, 2003:61).
Menurut pandangan Perseun, Sastra adalah suatu bagian dari peran budaya

1
yang bentuknya tercermin dalam karya-karya sastra (Mansur 2011, 1). Novel
adalah salah satu bentuk karya sastra, Novel merupakan bentuk cerita yang
berbentuk prosa dengan ukuran yang luas, meliputi tema, plot yang kompleks,
karakter yang banyak, setting cerita yang beragam (J. S. Saini 1986, 29) Novel
bisa dilihat dari segi susunan bahasanya, yang memberikan penjelasan mengenai
sistem nilai Estetika, Adapun dalam menganalisi keindahan susunan Bahasa, Ilmu
Balaghah berperan memberikan gambaran secara lengkap bagaimana nilai
keindahan Bahasa dalam satu karya satra. Ilmu Balaghah adalah salah satu
disiplin ilmu yang berlandaskan pada kejernihan jiwa dan kefasihan dalam
menangkap Uslub keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar diantara
macam-macam. (Amin 1994, 6).
Salah satu cabang ilmu balagah yang membahas kesuaian ujaran dan
ungkapan seusai situasi dan kondisi lawan bicara adalah ilmu ma’a>ni. Fawwal
al- Kawi (2016) mengatakan ilmu ma’a>ni merupakan ilmu yang mengajarkan
cara menyusun model kalimat bahasa Arab yang sesuai dengan maksud atau
makna yang diinginkan beradasarkan keadaan. Ada pun yang dimaksud dengan
model kalimat bahasa Arab adalah seperti penggunaan taqdim atau takhir,
ma’rifah atau nakirah, dsb.. Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan adalah
keadaan mukhatabah, yaitu keadaan tidak memiliki informasi, ragu-ragu, atau
mengingkari informasi. Dengan ilmu ini dapat diketahui kalimat-kalimat yang
sesuai dengan situasi dan kondisi, disusun rapih, dan akan diketahui kalimat
tersebut baik atau jelek (Hafni Nashif dkk., 2004: 21).
Ilmu Ma’ani adalah ilmu untuk mengetahui hal-ihwal lafazh bahasa Arab
yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi (Al-Hasyimiy, 1960). Oleh karena
itu, ada dua aspek yang menjadi fokus pembahasan: pertama, aspek pembicaraan
(al-kalam) dan kedua, konteks atau keadaan (al-hal).
Sesungguhnya Ilmu Ma’ani merupakan bagian terpenting sebelum Ilmu
Bayan dan Ilmu Badi’ dalam kajian ilmu balaghah. Ilmu ini menuntun kita untuk
dapat menyesuaikan pembicaraan dengan tuntutan konteks atau keadaan pada saat
berbicara (muthabaqat al-kalam bi muqtadha al-hal). Maka dari itu, dalam ilmu
ini lebih ditekankan bagaimana menempatkan kemampuan berbahasa dalam

2
kondisi yang berbeda-beda, sesuai dengan perubahan keadaan.
Dalam Ilmu Ma’ani terdapat bermacam-macam objek kajian seperti: Kalam
Khabari, Kalam Insya’i, Qashr, Fashal, Washal, Ijaz, Ithnab, dan Musawah.
Sementara disini penulis memfokuskan kepada satu objek kajian yaitu : Kalam
Khabari.
Menurut pandangan Ilmu Ma’ani kalam khabari adalah ungkapan atau
kalimat yang dapat dianggap atau dinilai benar atau bohong karena isinya
menunjukkan suatu berita. Oleh karena itu, kalimat seperti itu disebut dengan
kalimat informatif. Dengan demikian, kalam khabari ini sangat erat kaitannya
dengan kebenaran refrensial, yaitu kebenaran yang pembuktiannya dapat dirujuk
melalui gejala-gejala yang ada dalam kenyataan.
Kalam khabari tersusun dari dua bagian / unsur:

1. Musnad ilaih (subjek, pelaku peristiwa, seperti mubtada dan fail)


2. Musnad (predikat atau peristiwa yang terjadi, seperti khabar dan
fi’il)/ Sedangkan bagian atau unsur lainnya disebut qayyid.

Sementara itu pembagian kalam khabari berdasarkan keberadaan orang-


orang yang menjadi audien atau lawan bicaranya (mukhatab) dari berita/kalam
yang disampaikan terbagi menjadi tiga yaitu khabar ibtidai, khabar thalabi, dan
khabar inkari.

Khabar ibtida’i yaitu ungkapan yang disampaikan pada mukhatab khali al-
dzihni (audien atau lawan bicara yang polos). Polos disini maksudnya belum
menerima berita apapun. Diantara tanda kepolosonnya itu ia tidak menampakkan
keraguan, ataupun pengingkaran terhadap apa yang dibicarakan oleh si pembicara.
Khabar thalabi yaitu ungkapan yang disampaikan pada mukhatab
mutaraddid (audien atau lawan bicara yang ragu-ragu). Ragu-ragu disini
maksudnya lawan bicara menampakkan keraguannya terhadap ungkapan si
pembicara dan masih membutuhkan ungkapan yang bisa membuat dirinya yakin.
Dan sebaiknya si pembicara menggunakan lafazh penekanan (adat at-taukid).
Khabar inkari yaitu ungkapan yang ditunjukkan pada mukhatab munkir
(audien atau lawan bicara yang menolak). Menolak disini maksudnya lawan

3
bicara menampakkan penolakan serta pengingkaran terhadap apa yang pembicara
utarakan kepadanya. Karena penolakan itulah, maka dalam ungkapan-ungkapan
pembicara itu sangat diperlukan beberapa penekanan (taukid) dengan
menggunakan satu, dua, atau tiga penekanan sesuai dengan tingkat
pengingkarannya, seperti dengan menggunakan qasam (sumpah) dan huruf-huruf
taukid.
Pada dasarnya, ketika seseorang menyampaikan sebuah berita/khabar
kepada orang lain pasti mempunyai tujuan, tujuan pokok dari kalam khabari itu
ada dua tujuan yaitu:
1. Faidah al-Khabar, memberitahu audien (lawan bicara) tentang suatu
berita yang belum ia ketahui.
2. Lazimu al-Faidah, yaitu seorang pembicara memberitahu auidien
(lawan bicara) tentang berita yang telah diketahui oleh si audien,
sehingga pada hakikatnya si pembicara itu bukan semata-mata
menyampaikan isi berita, tetapi ingin memberitahukan pada orang lain
bahwa dirinya pun mengetahui berita yang telah mereka ketahui.

Disamping tujuan pokok kedua kalam khabari tadi, ada lagi tujuan lain
sebagai cabangnya, yaitu: Istirham, Izdhaarudh-dha’fi, Idzhaaruttahassur, dan
Al-fakhru.
Adapun objek kajian yang digunakan oleh peneliti adalah Novel Al-Launu
Al-Akhar yang menceritakan tentang perpisahan yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan budaya antara Mesir dan Sudan. Tokoh utama dalam novel tersebut
adalah Mirfat, seorang gadis Mesir yang menikah dengan Hasan Babakar Faqi,
seorang pemuda Sudan yang belajar di Universitas Kairo, Mesir. Di dalam novel
Al-Launu Al-Akhar ini peneliti menemukan banyak kalimat yang mengandung
bentuk kalam khabari seperti Istirham, Izdhaarudh-dha’fi, Idzhaaruttahassur, dan
Al-fakhru. Istirham adalah kalam yang menunjukkan bahwa si pembicara ingin
dikasihani, Izdhaarudh-dha’fi adalah kalam yang memperlihatkan kelemahan si
pembicara. Idzhaaruttahassur adalah kalam yang memperlihatkan penyesalan si
pembicara. Al-fakhru kalam yang menunjukkan bahwa si pembicara membesar-
besarkan dirinya atau dengan kata lain membanggakan dirinya sendiri atau yang

4
biasa kita tahu adalah sikap sombong.
Salah satu contoh kutipan teks yang menunjukkan kalam khabari yang
terdapat dalam novel:

‫منذ أن عرفت حسن وأنا أفكار فى احتمال أن نتزوج‬


“Sejak mengenal Hasan aku sudah memikirkan kemungkinan untuk
menikah”(Quddous, 1999:27)
Ungkapan tersebut mengandung jenis dari Kalam khabari, karena mukhatab
(Paman Mirfat) disini ragu-ragu (Mutaradid Dzihni). Adapun Mutakallim disini
(Mirfat) yang menunjukan tekad Mirfat untuk menikah dengan Hasan, cintanya
terhadap Hasan, membuat seluruh pikiran dan perhatiannya hanya tertuju pada
pernikahanya dengan Hasan apapun yang terjadi. Sehingga Mirfat menceritakan
kepada Pamannya betapa ia sangat mengharapkan Hasan untuk menjadi
suaminya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperoleh rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa jenis Kalam Khabary yang ada dalam novel Al-launu Al-ākhar
karya Ihsan Abdul Quddous?
2. Apa tujuan Kalam Khabary dalam novel Al-launu Al-ākhar karya
Ihsan Abdul Quddous?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian dalam ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui jenis Kalam Khabary yang ada dalam novel Al-launu Al-
ākhar karya Ihsan Abdul Quddous.
2. Mengetahui tujuan Kalam Khabary dalam novel Al-launu Al-ākhar
karya Ihsan Abdul Quddous.

D. Manfaat Penelitian

5
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami


dan mengetahui Kalam Khabary yang ada dalam novel Al-launu Al-ākhar karya
Ihsan Abdul Quddous. Selain itu, penelitian ini pun diharapkan dapat menambah
pengetahuan di bidang ilmu ma’āni terutama dalam bagian Kalam Khabary.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah berikut:

a. Bagi pembaca

Penelitian yang ada dalam novel Al-launu Al-ākhar karya Ihsan


Abdul Quddous ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan
penelitian sebelumnya, terutama penelitian Kalam Khabary. Penelitian ini
pun dapat digunakan sebagai bahan mencari ide atau gagasan baru apabila
pembaca akan melakukan penelitian dengan teori atau objek yang serupa
dengan penelitian ini.

b. Bagi peneliti yang lain

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi penelitian bagi


peneliti yang akan meneliti penelitian sejenis.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam sebuah penelitian diperlukan adanya dasar berupa berbagai teori atau
berbagai temuan hasil penelitain sebelumnya. Salah satu data pendukungnya
adalah penelitan terdahulu yang relevan dengan pembahasan yang diteliti dalam
penelitian ini yang nantinya penelitian tersebut akan dijadikan acuan dalam
penelitian. Berikut adalah beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini:
1. Hudzaifah Zaenal Muttaqin (2021), Mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung

6
Djati Bandung. Skripsi dengan Judul Skripsi dengan Judul “Istifham
dalam Novel Al-Launu Al-Akhar Karya Ihsan Abdul Quddus
(Kajian Ma’ani)” Adapun persamaan skrpsi tersebut dengan skripsi
ini adalah sama sama mengkaji mengenai Kitab Ta’lim Al-Muta’allim
Karya Syekh Al-Zarnuji, sedangkan perbedaannya terletak pada
pendekatan penelelitian yang digunakan, yaitu penelitian diatas
menggunakan pendekatan ilmu Ma’ani dalam kajian Balaghah.
2. Dila Fadhilah Faathir (2021), Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra
Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati
Bandung. Skripsi dengan Judul Skripsi dengan Judul “Kalam
Khabary pada Kitab Al Akhlaaqu Lil Banaat Karya Umar Bin
Ahmad Baradja (Kajian Ilmu Ma'ani)” Adapun persamaan skrpsi
tersebut dengan skripsi ini adalah sama sama mengkaji mengenai
Kalam Khabary dengan menggunakan kajian Ilmu Ma’ani, sedangkan
perbedaannya terletak pada objek penelitian yang digunakan, yaitu
penelitian diatas menggunakan objek Kitab Al Akhlaaqu Lil Banaat
Karya Umar Bin Ahmad Baradja.
3. Dhea Auliya (2021), Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Skripsi dengan Judul Skripsi dengan Judul “Kalam Khabari dalam
kitab Sulam Al-Munajah karya Syekh Nawawi Al-Bantani
(Kajian Ilmu Ma'ani)” Adapun persamaan skrpsi tersebut dengan
skripsi ini adalah sama sama mengkaji mengenai Kalam Khabary
dengan menggunakan kajian Ilmu Ma’ani, sedangkan perbedaannya
terletak pada objek penelitian yang digunakan, yaitu penelitian diatas
menggunakan objek kitab Sulam Al-Munajah karya Syekh Nawawi
Al-Bantani.
4. Muhammad Musthofa (2020), Mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung
Djati Bandung. Skripsi dengan Judul Skripsi dengan Judul “Kalam
Khabari dalam kitab Az-Zahru an-Nadhir Fii Naba'i al-Khadhir

7
karya Ibnu Hajar al-Asqalani (Kajian Ilmu Ma'ani)” Adapun
persamaan skrpsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama sama
mengkaji mengenai Kalam Khabary dengan menggunakan kajian Ilmu
Ma’ani, sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitian yang
digunakan, yaitu penelitian diatas menggunakan objek kitab Az-Zahru
an-Nadhir Fii Naba'i al-Khadhir karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
5. Imas Fatimah Setiawati (2019), Mahasiswi Jurusan Bahasa dan
Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung
Djati Bandung. Skripsi dengan Judul Skripsi dengan Judul “Konsep
Cinta Dalam Novel Al-Laun Al-Ãkhar Karya Ihsan Abdul
Quddũs (Kajian Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann)”
Adapun persamaan skrpsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama
sama mengkaji mengenai Kitab Ta’lim Al-Muta’allim Karya Syekh
Al-Zarnuji, sedangkan perbedaannya terletak pada pendekatan
penelelitian yang digunakan, yaitu penelitian diatas menggunakan
Kajian Strukturalisme Genetik.
6. Shofa Syahidah (2018), Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Skripsi dengan Judul Skripsi dengan Judul “Pemunculan unsur
tradisi dalam novel al-lawn al-akhar karya Ihsan Abdul Quddus
(Kajian Fenomenologi Sastra Konsep Wolfgang Iser)” Adapun
persamaan skrpsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama sama
mengkaji mengenai Kitab Ta’lim Al-Muta’allim Karya Syekh Al-
Zarnuji, sedangkan perbedaannya terletak pada pendekatan
penelelitian yang digunakan, yaitu penelitian diatas menggunakan
Kajian Fenomenologi.
7. Ekananda Nurhartina (2018), Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra
Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati
Bandung. Skripsi dengan Judul Skripsi dengan Judul “Kalam
Khabari dalam Qashidah Burdah karya Imam Al-Bushiri
(Kajian Ilmu Ma'ani)”. Adapun persamaan skrpsi tersebut dengan

8
skripsi ini adalah sama sama mengkaji mengenai Kalam Khabary
dengan menggunakan kajian Ilmu Ma’ani, sedangkan perbedaannya
terletak pada objek penelitian yang digunakan, yaitu penelitian diatas
menggunakan objek kitab Az-Zahru an-Nadhir Fii Naba'i al-Khadhir
karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
8. Besse Kumala Sari (2018), Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra
Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati
Bandung. Skripsi dengan Judul Skripsi dengan Judul “Kalam
khabari dalam novel Syiikaajuu karya Alaa Al-Aswany (Kajian
Ilmu Ma'ani)”. Adapun persamaan skrpsi tersebut dengan skripsi ini
adalah sama sama mengkaji mengenai Kalam Khabary dengan
menggunakan kajian Ilmu Ma’ani, sedangkan perbedaannya terletak
pada objek penelitian yang digunakan, yaitu penelitian diatas
menggunakan objek kitab Az-Zahru an-Nadhir Fii Naba'i al-Khadhir
karya Ibnu Hajar al-Asqalani.

Dari studi kepustakaan yang telah peneliti lakukan, peneliti menemukan


delapan penelitian yang relevan dengan yang dilakukan oleh peneliti. Dari
penelitian-penelitian tersebut, peneliti belum menemukan penelitian mengenai
Kalam khabary dalam Al-Launu Al-Ākhar karya Ihsan Abdul Quddus dengan
kajian Ilmu Ma’ani.

F. Kerangka Berfikir
Ilmu Balaghah merupakan salah satu disiplin ilmu yang termasuk kedalam
sastra dan secara umum terdapat hubungan yang sangat erat antara balaghah
dengan sastra. Balaghah secara etimologi, berarti sampai atau ujung. Sedangkan
secara terminologi berarti sampainya maksud hati atau pikiran yang ingin
diungkapkan kepada lawan dialog, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa
yang benar, jelas, berpengaruh terhadap rasa atau pikiran audiens lewat diksinya
yang tepat, dan juga cocok dengan situasi dan kondisi audiens. Dalam ungkapan

9
lain balaghah adalah kesesuaian ucapan atau tulisan dengan keharusan situasi atau
realis dialog, dimana kata dan kalimat yang digunakan fasih (jelas), memuaskan,
mempesona, bahkan menyihir audiens, sehingga maksud hati atau pikiran yang
ingin diungkapkan kepada lawan dialog sampai secara efektif. (Kamil, 2008, hal.
138).

Balaghah mendatangkan makna yang agung dan jelas, dengan ungkapan


yang benar dan fasih, memberi bekas yang berkesan dilubuk hati dan sesuai
dengan situasi, kondisi, dan orang-orang yang diajak bicara. (Jarim & Amin,
2014). Oleh karena itu untuk sampai pada tujuan tersebut ada tiga bidang kajian
ilmu dalam Balaghah, yaitu: ilmu Al-Ma’ani, ilmu Al-Bayan, dan ilmu Al-Badi’.
Dalam buku Imam Akhdori yang diterjemahkan oleh Moch. Anwar (1993, hal.
21), ilmu Ma’ani itu, ilmu untuk menjaga dari kesalahan berbicara/ makna.
Adapun pendapat lain mengenai pengertian ilmu ma’ani ialah:

Ilmu pengetahuan tentang keadaan lafad-lafad Aroby yang dengan


perantaraannya dapat menyesuaikan kalam dengan muqtadlolhal. (Muhsin &
Wahab, 1986). Adapun Ilmu ma’ani terbagi menjadi 6 bab kajian pokok yaitu:

a. Kalam khabar dan kalam insya’


b. Azdikru dan al hazfu
c. Attaqdim dan attakhir
d. Fashal dan Washal
e. Qashr
f. Ijaz, ithnab, musawah

Dari keenam bab tersebut penulis hanya mengambil dari bab Kalam Khabari
saja, Kalam khabari adalah ungkapan yang dapat dianggap atau dinilai benar atau
bohong karena isinya menunjukkan suatu berita. Oleh karena itu, kalimat seperti
itu disebut kalimat informatif.
Contoh, suatu waktu ada seseorang yang membawa berita kepada anda. Ia
mengatakan,”Bapakmu sakit di rumah sakit.”

‫أبوك مريض يف املستشفى‬

10
Maka anda dapat mempercayainya jika anda menganggapnya berita itu
benar, atau menolaknya jika menganggap berita itu bohong. Benar artinya sesuai
dengan keadaan dan bohong berarti sebaliknya, yakni tidak sesuai dengan
kenyataan yang terjadi.
Pada dasarnya, ketika seseorang menyampaikan sebuah berita kepada orang
lainmaka ia tidak akan lepas dari tujuan tertentu. Adapun kalam khabari
mempunyai dua tujuan pokok, yaitu:
1. Faidah al-Khabar.
Faidah al-Khabar adalah memberitahu audien (pendengar) tentang
suatu berita yang belum ia ketahui, contoh:

‫ و يش ت ّد يف‬,‫ حيلم يف مواض ع احللم‬,‫ك ان معاوي ة رض ي اهلل عن ه حس ن السياس ة والت دريس‬

‫مواضع الش ّدة‬


“Mu’awiyah ra. Itu sangat baik politik dan strateginya, ia
lembut pada tempat yang menuntut kelembutan dan sangat tegas
pada tempat yang menuntut ketegasan.”
2. Lazimu al-Faidah.
Lazimu al-Faidah adalah membicarakan sesuatu dengan yang sudah
mengetahuinya, dengan tujuan agar orang itu tidak mengira bahwa si
pembicara tidak tahu, contoh:

‫والرفق ال بالقسوة والعقاب‬


ّ ‫لقد ّأدبت بنيك باللني‬
“ Sungguh engkau telah mendidik anak-anakmu dengan kelembutan
dan kasih sayang bukan dengan kekerasan dan siksaan.”

Disamping kedua tujuan pokok kalam khabari diatas ini, ada lagi tujuan lain
sebagai cabangnya, yaitu:
1 Istirham (ingin dikasihani) seperti do’a Nabi Musa yang dihikayatkan
dalam Al-Qur’an.
2 Izdhaarudh-dha’fi (memperlihatkan kelemahan) seperti do’a Nabi
Zakaria yang juga dihikayatkan dalam Al-Qur’an.

11
3 Idzhaaruttahassur (memperlihatkan penyesalan) seperti doa Ibu
Maryam yang dihikayatkan dalam Al-Qur’an.
4 Alpakhru (sombong) seperti perkataan Amru bin Kalsum.

Berdasarkan keberadaan orang-orang yang menjadi audien ( mukhatab) dari


berita yang disampaikan, maka kalam khabari dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Jika mukhatab ( orang yang kita ajak bicara) masih kosong (‫ )خلى الذهن‬yakni
belum tahu apa-apa, kita gunakan kalam ghair muakad, misalnya mukhatab
belum tahu bahwa semalam ada sebuah mobil jatuh ke jurang, maka cukup
kita katakan padanya:

‫السيَارة ساقطة يف الوا دي‬


Kalimat ini dinamakan kalam khabari ibtidai.

2. Jika mukhatab ragu-ragu (‫ذهن‬SS‫تردد ال‬SS‫ )م‬maka ada baiknya disertai taukid,
umpamanya kita katakan:

‫إ ّن السيَارة ساقطة‬
Dengan tambahan inna. Kalam seperti ini dinamakan kalam khabari
thalabi.

3. Jika mukhatab ingkar atau membantah, maka kalam hendaknya diberi


taukid satu, dua, atau tiga tergantung sedikit banyaknya ingkar;
umpamanya:
1) Jika ingkarnya sedikit, kita katakan

‫إ ّن السيَارة ساقطة‬
2) Jika ingkarnya agak keras, kita katakan :

‫إ ّن السيَارة لساقطة‬

12
3) Jika ingkarnya lebih keras lagi:

‫و اهلل إ ّن السيَارة لساقطة‬

13
Seperti telah dijelaskan di atas, bentuk-bentuk kalam khabari jika dikaitkan
dengan keadaan mukhatabnya ada tiga jenis, yaitu ibtidai, thalabi, dan inkari. Pada
kalam khabari ibtidai tidak memerlukan taukid. Karena kalam ini diperuntukkan
bagi mukhatab yang khali al-dzihni ( kosong atau belum tahu apa-apa). Pada
kalam thalabi, mutakallim (pembicara) menambahkan suatu huruf taukid untuk
menguatkan pernyataannya, sehingga mukhatab ragu-ragu bisa menerimanya.
Sedangkan pada kalam inkari, mutakallim perlu menggunakan satu, dua, bahkan
tiga taukid untuk memperkuat pernyataannya tergantung besar kecilnya
keingkaran( penolakan) mukhatabnya.
Namun dalam praktek berbahasa keadaan tersebut tidak selamanya
demikian. Ketika berbicara dengan mukhatab yang khali al- dzihni kadang
digunakan taukid. Atau juga sebaliknya seseorang tidak menggunakan taukid pada
saat dibutuhkan, yaitu ketika ia berbicara dengan seseorang yang ingkar.
Adapun pemetaan konsep dalam Kerangka Berpikir adalah sebagai berikut:

Balaghah

Ilmu Ma’ani

Kalam Khabari

Jenis-jenis Kalam Khabari Tujuan Kalam Khabari

Ibtida’iy
Thalabyy Inkary Faidah al-Khobar Lazim al-Faidah
y

Novel Al-Launu Al-Ākhar karya


Ihsan Abdul Quddous

14
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan merupakan susunan dalam peneltian yang ditulis
secara sistematis untuk mempermudah penyusunan dari keseluruhan skripsi
sehingga lebih teratur dan konsisten. Sistematika pembahasan dalam penelitian ini
disusun dalam bab perbab, yang secara keseluruhan terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab Satu Pendahuluan, Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian yang
merupakan dasar dari masalah, rumusan masalah yang dijadikan pijakan dalam
peneltian ini, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka berpikir.
Bab Dua Landasan Teori, Bab ini berisi tentang penjabaran teori yang
digunakan sebagai pisau analisis (grand theory) terkait pendekatan Ma’ani
mengenai kajian Kalam Khabary.
Bab Tiga Metodologi Penelitian, Bab ini berisi tentang metode, serta
langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab Empat Analisis dan Pembahasan, Berisi biografi pengarang dari objek
penelitian yang diteliti serta pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti terkait masalah yang dirumuskan.
Bab Lima Penutup, Bab ini berisi kesimpulan dari peneliti yang dilakukan,
dan saran untuk peneliti yang akan datang.

15
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Ilmu Balaghah
1. Pengertian Ilmu Balaghah
Ilmu Balaghah yang dinamakan pula Qawaidul Uslub atau Stylistik
Ta’liimii, merupakan salah satu cabang Ilmu Bahasa Arab yang mempelajari
qaidah-qaidah mengenai gaya bahasa atau uslub untuk dipergunakan dalam
pembicaraan atau tulisan. (Muhsin & Wahab, 1986).
Istilah Ilmu Balaghah terdiri atas dua kata, yaitu ilm dan Al- Balaghah. Kata
“Ilm” dapat ditujukan sebagai nama suatu bidang tertentu. Kata “Ilm” juga
diartikan sebagai materi materi pembahasan dalam kajian suatu disiplin ilmu ( Al-
Qadhaya allati tubhatsu fiihi). Kata “Ilm” juga dapat diartikan sebagai
pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tentang materi kajian dalam suatu
bidang tertentu. Sedangkan kata “al-Balaghah” didefinisikan oleh para ahli dalam
bidang ini dengan definisi yang beragam, diantaranya adalah:
1) Menurut Ali jarim dan Musthafa Amin dalam Balaghatul Wadhihah:

‫أما البالغة فهي تأدية املعىن اجلليل واضحا بعبارة صحيحة هلا يف النفس أثر خالب مع مال‬

‫ئمة كل كالم للمو طن الذي يقال فيه واأل شخا ص الذين خيا طببون‬
“Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik
dengan jelas dan mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh
dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan tempat
diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan kecocokannya dengan
pihak yang diajak bicara”.

2) Menurut Khatib al-Qazwini yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Fattah
Lasyin:

‫البالغة هي مطابقة الكالم ملقتضى احلال مع فصاحته‬

16
“Balaghah adalah keserasian antara ungkapan dengan tuntutan situasi
disamping ungkapan itu sendiri sudah fasih”.

3) Menurut Dr. Abdullah Syahhatah dalam bukunya Ulumul Quran wa


Tafsir (Abdul Jalal, 2013:386) adalah:

‫احلد الص حيح للبالغ ة ىف الكالم أن يبلغ ب ه املتكلم م ا يري د من نفس السا م ع با ص ابة مو‬

.‫ضع اإلقناع من العقل و الوجدان‬


“Definisi yang benar untuk balaghah dalam kalimat adalah keberhasilan
pembicara menyampaikan apa yang dikehendaki ke dalam jiwa pendengar.
Tepat mengena ke sasaran ketundukan akal dan perasaan”.

4) Menurut Abd al-Qadir Husein (1984) dalam Mamat Zaenuddin &


Yayan Nurbayan, (2007:6) yaitu dalam kajian sastra, balaghah ini
menjadi sifat dari kalam dan mutakalim, sehingga lahirlah sebutan “

‫ ” بليغ املتكلم‬dan “‫” كالم بليغ‬. Menurutnya, balaghah dalam kalam adalah
“ ‫ ” م ع احلال ملقتض ى مط ا بقة‬dalam arti bahwa kalam itu sesuai dengan

situasi dan kondisi pendengar. Perubahan situasi dan kondisi para


pendengar menuntut perubahan susunan kalam. Situasi dan kondisi
yang menuntut kalam ithnab tentu berbeda dengan situasi dan kondisi
yang menuntut kalam ijaz.

5) Menurut Al-Hasyimi balaghah secara etimologi berarti al-wusul wa


al-intiha’ ( sampai dan berakhir). Balaghah secara terminologi hanya
ditempatkan sebagai sifat yang melekat pada kalam (balaghatu al-
kalam) dan sifat yang melekat pada mutakallim (balaghatu al-
mutakallim). Balaghat al-kalam, berarti mencari kalimat yang sesuai
dengan maksud yang dikehendaki, dengan kata-kata yang fasih baik
ketika mufrad maupun murakkab. Sedangkan kalimat yang baligh (al-

17
kalam al-baligh) adalah kalimat yang mampu menafsirkan ide penutur
untuk disampaikan kepada lawan tutur ( pendengar) dengan gambaran
ide yang tidak berubah pada keduanya. Sedangkan balaghat al-
mutakallim, berarti kemampuan diri untuk mencipta kalimat yang
baligh ( fasih dan mengenai sasaran). (2008:28-31)

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa inti dari
Balaghah adalah penyampaian suatu pesan dengan menggunakan ungkapan yang
fasih, relevan antara lafal dengan kandungan maksudnya, tetap memperhatikan
situasi dan kondisi pengungkapannya, menjaga kepentingan pihak penerima
pesan, serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri penerima pesan
tersebut. Hal ini dikuatkan oleh Zainuddin dan Nurbayan balaghah merupakan
salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang menguraikan bentuk-bentuk
pengungkapan dilihat dari tujuannya. Masih menurut Zaenuddin dan Nurbayan
secara ilmiah, ilmu balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang mengarahkan
pembelajarannya untuk bisa mengungkapkan ide pikiran dan perasaan seseorang
berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian dalam menangkap keindahan.
(Nurbayan M. Z., 2007, hal. 9)
2. Bagian Ilmu Balaghah
Ilmu Balaghah berarti suatu kajian yang berisi teori-teori dan materi-materi
yang berkaitan dengan cara-cara penyampaian ungkapan yang bernilai Balaghah
itu sendiri. Dalam Ilmu Balaghah sendiri terdapat 3 cabang disiplin ilmu yaitu:
Ilmu Ma’ani , Bayan, dan Badi’. Yang dimaksud ma’ani adalah bagian dari ilmu
balaghah yang dapat membimbing seseorang untuk berbahasa sesuai dengan
konteks atau tuntutan keadaan saat ia berbicara. Objek kajian ma’ani antara lain
adalah kalimat yang menggunakan kata umum (mutlaq) dan terikat (muqayyad),
bahasa yang ringkas (ijaz), panjang (itnab), dan menengah (musawah), struktur
balik ( at-taqdim wa at-takhir), struktur pengkhususan (al hasr/al-qasr), baik
dengan bentuk kalimat yang diawali kata nafi (tidak) dan diakhiri illa (kecuali)
maupun kalimat pengkhususan yang menggunakan kata innama (hanya), dan juga

18
membahas kalimat yang salah satu unsurnya seperti subyek atau predikatnya
dibuang (hafz).
Bagian kedua dari cabang disiplin ilmu balaghah yaitu Bayan. Ilmu Bayan
mengajarkan tentang cara-cara melontarkan ide, gagasan, atau maksud dan tujuan
melalui bahasa yang indah dan menarik (Izzan, 2012). Objek pembahasannya
antara lain adalah citraan visual (tamtsil/tasybih) dan bahasa figuratif/ majaz
lughawi (penggunaan kata bukan dengan makna awalnya lewat tanda yang
menunjukannya). Yang termasuk kategori majaz adalah metafora (isti’aroh)
majaz mursal, dan kinayah.
Sementara bagian ketiga dari cabang disiplin ilmu balaghah yaitu Badi’.
Ilmu Badi’ menjelaskan tentang segi-segi yang dapat mempercantik sebuah
bahasa baik dari aspek lafaz maupun maknanya. Objek pembahasannya antara lain
adalah gaya bahasa yang menjadikan kata-kata lebih indah dan enak untuk
didengar dari segi lafaz atau artikulasi bunyinya (Al- Muhassinat al-Lafdziyah)
dan gaya bahasa yang memberikan keindahan pada aspek makna atau semantik
dalam sebuah ungkapan (Al-Muhassinat al-Ma’nawiyyah). Yang termasuk dalam
kategori Al-Muhassinat al-Lafdziyah adalah saja’( Keselarasan Bunyi Akhir) ,
Iqtibas ( Kutipan indah luar biasa) , Jinas ( Harmonisasi bunyi bukan makna).
Balaghah selain digunakan sebagai sebuah media pendekatan, juga
berfungsi sebagai alat analisis untuk literatur sastra klasik, dan sangat layak untuk
mengkaji novel-novel modern dan kontemporer. Ilmu balaghah membahas
kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kalam arab, khususnya dalam ilmu
ma’ani dituntun untuk dapat berbicara sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi
(muqthada al-hal) seperti situasi dan kondisi lawan bicara, ada orang yang polos
(khali al-dzihni), ada orang yang meragukan (mutaraddid) dan ada juga orang
yang mengingkari (munkir) apa yang kita sampaikan. Kondisi seperti ini akan
menuntut gaya pengungkapan tersendiri. Secara garis besar , ilmu ini mengkaji
jenis-jenis kalimat dan bentuknya serta makna yang muncul dari kalimat-kalimat
tersebut, jika dikaitkan dengan konteks yang melingkupinya.

19
B. Kalam Khabari
1. Pengertian Kalam Khabari
a) Kalam menurut ahli Nahwu:
1) Syamsuddin Muhammad Ibnu Syeikh Muhammad Iryani berkata,
bahwa kalam secara bahasa ialah perkataan, dan secara istilah, ialah
lafal tersusun sesuai konteks. (ds:4).
2) Syeikh Musthafa Al-Ghilayini berkata, bahwa kalam ialah suatu
kalimat yang efektif, yang memberikan makna yang sempurna,
sehingga mencukupi dirinya sendiri.(ds:4).
3) As-Sayyid Zaini Dahlan berkata, bahwa kalam ialah lafal yang
memberikan pemahaman berdasarkan konteks. (ds:5).
b) Pengertian kalam menurut ulama Balaghah
1) Muhsin Wahab dan Fuad Wahab berkata, bahwa kalam yang baligh
adalah perkataan yang sesuai dengan tuntutan situasi, dan terjaga
kefasihan kata-katanya. (Muhsin & Wahab, 1986).
2) Menurut Abdurrahman bin Muhammad Al-Akhdhari, balaghah kalam
ialah kesesuaian dengan konteks situasi diiringi dengan kefasihan.
(1898:8)

Yang dimaksud oleh penjelasan-penjelasan tersebut, ialah bahwa kalam


dalam ilmu ma’ani, ialah perkataan-perkataan atau sesuatu yang terucap atau tidak
terucap, perkataan yang sempurna, yang membuat pembicara itu membuat
pembicara lain dan para pendengar menjadi mudah dalam mencernanya.
Sedangkan pengertian khabar menurut Ali Jarim dan Musthafa Amin,
adalah sesuatu yang bisa dikatakan kepada orang yang membawa khabar tersebut
ialah seorang yang jujur, jika khabar tersebut sesuai dengan kenyataan, dan jika
perkataannya tidak sesuai dengan kenyataan, maka bisa dikatakan bahwa ia adalah
seorang pembohong. (1951: 139).
Ahmad al-Hasyimi berkata, bahwa khabar ialah perkataan yang memiliki
kemungkinan untuk mengandung kebenaran atau kebohongan (1950: 53). Dalam
buku kaidah Balaghah, dikatakan bahwa khabar adalah suatu perkataan yang

20
membuat orang yang mengatakannya bisa disebut sebagai seseorang yang jujur
atau pembohong. Jika perkataannya tidak sesuai dengan kenyataan, maka ia
disebut sebagai pembohong. (2008:153)
Maka kesimpulan dari pengertian-pengertian diatas, ialah bahwa khabar
merupakan perkataan ataupun perkataan yang benar atau bohong. Yang perlu
diperhatikan ialah bahwa perkataan dalam bentuk khabar memiliki kemungkinan
mengandung kebenaran dan kebohongan, namun penekanannya bukan pada orang
yang mengatakannya.
Setiap kalimat dalam kalimat-kalimat khabar dan insya’ memiliki dua rukun
utama: mahkum alaih, dan mahkum bih. Yang pertama disebut dengan musnad
ilaih dan yang kedua disebut dengan musnad. Dan hubungan antara keduanya
disebut isnad (Abdu Badawi:33).
Khabar memiliki beberapa bentuk, antara lain, kalimat ismiyah, dan kalimat
fi’liyah. Kalimat ismiyah memberikan makna hubungan antara dua hal yang tetap.
Sedangkan kalimat fi’liyah digunakan untuk mengungkapkan secara ringkas
peristiwa yang terjadi pada suatu masa tertentu. (Jarim & Amin, 2014). Musnad
ilaih ialah fa’il (pelaku), na’ib fa’il (wakil pelaku), dan mubtada’ yang memiliki
khabar, dan juga ism kana dan ism saudara-saudara kana. Sedangkan Musnad,
biasanya ialah fi’il tam, mubtada’ muktafi bi ma’rufihi, dan khabar mubtada’,
seperti kana dan saudara-saudaranya, ism fi’il, dan mashdar naib dari fi’il amr.
(Jarim & Amin, 2014).
Dalam kitab Jauhar Maknun, untuk menentukan kejujuran atau
kebohongan, ada empat pendapat:
a) Yang paling benar, ialah bahwa kejujuran adalah kesesuaian hukum
antara khabar dan kenyataan, sedangkan kebohongan adalah
sebaliknya yaitu ketidak sesuaian dengan kenyataan, meskipun
keyakinan bertolak belakang dengan hal tersebut.
b) Menurut An-Nazham bahwa kejujuran ialah yang sesuai dengan
keyakinan khabar tersebut. Sedangkan kebohongan/ al-Kadzib ialah
yang tidak sesuai dengan keyakinan khabar tersebut.

21
c) Menurut Al-Jahizh, kejujuran ialah yang sesuai dengan kenyataan di
luar, bersamaan dengan keyakinan terhadap khabar yang sesuai.
Sedangkan kebohongan ialah ketidak sesuaian dengan kenyataan,
bersamaan dengan keyakinan tentang ketidak sesuaian tersebut. Selain
dua hal itu, maka tidak bisa disebut sebagai kejujuran atau
kebohongan.

2. Jenis-jenis Kalam Khabari


Ada tiga jenis kalam khabari, seperti yang dijelaskan oleh Wahab Muhsin
dan Fuad Wahab dalam kitab Ilmu Ma’ani:
a) Kalam Khabari Mu’akkad
Kalam khabari mu’akkad adalah kalam yang mencakup perangkat-
perangkat taukid (penekanan). Contohnya seperti: ‫ إن هللا لقوي‬, ‫إن هللا قوي عزيز‬
‫ عزيز‬dan ‫( إن محمد ا لرسو ل هللا‬Muhsin & Wahab, 1986)

1) Kalam Khabari Mu’akkad Thalabi

Kalam Khabari Mu’akkad Thalabi adalah suatu bentuk perkataan


yang berhadapan dengan hukum yang masih dalam keraguan, sehingga
bertujuan untuk memberikan keyakinan. Dalam kondisi seperti ini,
penggunaan taukid (penekanan) merupakan hal yang baik, untuk
menguatkan hati yang ragu. Seperti : ‫( إن هللا اصطفا ني من قريش‬Jarim & Amin,
2014)
2) Kalam Khabari Mu’akkad Inkari

Kalam Khabari Mu’akkad Inkari adalah saat lawan bicara


mengingkari informasi yang disampaikan oleh pembicara, dan meyakini
yang sebaliknya. Sehingga pembicara memerlukan penekanan dalam
perkataannya, dengan satu atau dua penekanan atau lebih. Tergantung pada
tingkatan pengingkaran yang dihadapinya. Seperti: ‫تا هللا لقد أشرك هللا علينا‬
(Al-Hasyimiy, 1960)

22
b) Kalam Khabari Ghairu Mu’akkad
Kalam jenis ini ialah yang tidak mengandung perangkat-perangkat
taukid (penekanan) (Muhsin & Wahab, 1986). Seperti :

.‫ يف الوادى ووالدك سقي‬،‫ والسيارة ساقة‬،‫البحر عميق‬


Lafazh memiliki: al-Ibtidai (memulai), kemudian thalib (meminta),
kemudian Inkar (mengingkari). Dan dari nazham ( semacam pantun) ini,
dijelaskan bahwa kalam khabari memiliki tiga bentuk: ibtida’i, tholabi, dan
inkari.

Sementara itu di dalam bukunya Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan,


kalam khabari adalah kalimat yang diungkapkan untuk memberitahu sesuatu atau
beberapa hal kepada mukhatab. Untuk efektifitas penyampaian suatu pesan perlu
dipertimbangkan kondisi mukhatab. (Nurbayan M. Z., 2007, hal. 97) Ada tiga
keadaan mukhatab yang perlu dipertimbangkan dalam mengungkapkan kalam
khabari. Ketiga keadaan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Mukhatab yang belum tau apa-apa (‫)خلى الذهن‬

Mukhatab khalidzdzhni adalah keadaan mukhatab yang belum tau


sedikit pun tentang informasi yang disampaikan. Mukhatab diperkirakan
akan menerima dan tidak ragu-ragu tentang informasi yang akan
disampaikan. Oleh karena itu tidak diperlukan taukid dalam
pengungkapannya. Bentuk kalam khabari pada model pertama ini
dinamakan kalam khabari ibtidai.
Contoh:

‫السيارة ساقطة ىف الوادي‬

b) Mukhatab ragu-ragu (‫)مرتدد الذهن‬

Jika mukhatab diperkirakan ragu-ragu dengan informasi yang akan


kita sampaikan maka perlu diperkuat dengan taukid. Keraguan mukhatab
bisa disebabkan dia mempunyai informasi lain yang berbeda dengan

23
informasi yang kita sampaikan, atau karena keadaan mutakallim yang
kurang meyakinkan. Untuk menghadapi mukhatab jenis ini, diperlukan adat
taukid seperti “‫ل‬،‫ق د‬،‫أن‬،‫”إن‬. Bentuk kalam seperti ini dinamakan kalam

khabari thalabi (‫)خرب طلىب‬.

Contoh:

‫إن السيارة ساقطة‬

c) Mukhatab yang menolak (‫)انكارى‬

Kadang juga terjadi mukhatab yang secara terang-terangan menolak


informasi yang kita sampaikan. Penolakan tersebut mungkin terjadi karena
informasi yang kita sampaikan bertentangan dengan informasi yang
dimilikinya. Hal ini juga bisa terjadi karena dia tidak mempercayai kepada
kita. Untuk itu diperlukan adat taukid lebih dari satu untuk memperkuat
pernyataannya. Jenis kalam model ini dinamakan kalam khabari inkari.

1) Jika ingkarnya sedikit, kita katakan:

‫إن الشيارة ساقطة‬


2) Jika ingkarnya agak keras, kita katakan:

‫إن الشيارة لساقطة‬


3) Jika ingkarnya lebih keras:

‫و اهلل إن الشيارة لساقطة‬


Jadi kesimpulan dari jenis-jenis kalam khabari yang diambil dari
kedua buku diatas yaitu kalam khabari memiliki 3 jenis yaitu kalam khabari
ibtida’i, kalam khabari thalabi, dan kalam khabari inkari.

24
3. Tujuan-Tujuan Kalam Khabari
a) Jika engkau ingin memberitahu seseorang tentang suatu berita, maka
pendengar bisa termasuk orang yang tidak tahu tentang berita tersebut, atau
bisa pula sudah tahu. Jika pendengar tidak tahu tentang kabar tersebut, maka
tujuanmu adalah memberitahunya tentang apa yang ada dalam kabar
tersebut. Maka jika engkau kepadanya:

(‫)لقد أصدر جملس الوزراء مرسوما مبضاعفة رواتب املواظفني‬


“Dewan Menteri menerbitkan edaran tentang kenaikan gaji-gaji
pegawai.”
Saat itu, pendengar belum mengetahui hal ini, maka dengan menyatakan
kabar ini kepada pendengar, anda telah memberitahunya sebuah kabar yang
baru. Pernyataan semacam ini, oleh para Ahli Balaghah disebut dengan al-
Laun al- khabari atau ifadatu al-khabar (memberikan khabar).
b) Sedangkan jika yang engkau ajak bicara sudah tahu tentang pembicaraanmu,
maka engkau tidak memberikannya informasi baru, maka tujuanmu adalah
untuk memberitahu, bahwa engkau tentang kabar tersebut. Contohnya
seperti perkataan Abu Thayyib kepada Saif Ad-Daulah:

‫وقفت وما يف املوت شك لوافق كأنك يف جفن الردى وهو تائم‬

‫و وجحك وضاح وثغرك باسم‬ ‫متر بك األبطال كلمى هزمية‬


ّ
‫نثرهتم فوق األحيدب نثرة كما نثرت فوق العروس الدراهم‬
“Aku berdiri, dan tidak ada keraguan dalam, seakan-seakan dirimu
berada di dalam mata yang lelah. Lewat di hadapunmu para ksatria
menyatakan kekalahan, dan wajahmu cerah, dan bibirmu tersenyum. Engkau
cerai beraikan mereka di atas (gunung) Ahdib dengan begitu rupa, seperti
engkau hamburkan kepingan-kepingan-kepingan dirham di hadapan
pengantin wanita”.
Sesungguhnya Saifu Ad-Daulah mengetahui bahwasanya ia berdiri
menghadapi kematian, kedua kakinya tetap kokoh, dan dia mengetahui

25
bahwa musuh-musuhnya yang perkasa melarikan diri di hadapannya, kalah
dan ditinggalkan, dan ia mengetahui bahwa diatas wajahnya terukir
senyuman, dan ia mengetahui apa yang akan dia lakukan terhadap orang-
orang yang tidak lari dan tidak kabur. Ia mengoyaknya dengan pedangnya,
dengan kedua tangannya, diatas gunung Ahdib, hancur berkeping-keping.
Saif mengetahui semua ini, dan berita dari penyair ini bukanlah berita baru,
namun diulang-ulang dari kisah perang-perang kemenangan yang ditulis
oleh penyair dengan pedang dan kedua tangannya, seolah-seolah ia ingin
mengatakan kepadanya bahwa: dia (sang penyair) juga mengetahui apa yang
dilakukan oleh Saifu Ad-Daulah, kemudian ia merangkainya dengan
memutar pujian dan pengagungan (dalam syair).
Dan seorang penyair Saudi Arabia, Muhammad Hasan Wafi,
merangkai sebuah kasidah panjang berjudul: (‫( )لست أنا الغا درة‬bukan aku yang
pergi). Tentang seorang pemuda yang mencintai wanita dengan cinta yang
begitu besar, kemudian ia mengganti kesetiaannya dengan pengkhianatan,
cintanya diganti dengan penghambatan, yang kemudian diingkari oleh
kejujuran cintanya sendiri, maka wanita itu pun pergi dan berkata:
‫ بل كنت أعهد منك شكرا‬,‫ما كنت أعهد منك نكرا‬

“Aku tidak menanti pengingkaran darimu, tetapi aku menanti rasa


syukur.”
‫ واحتسبت الوصول هجرا‬,‫كيف انطويت على املساءة‬

“Bagaimana aku melepaskan diri dari keburukan, dan aku menyangka


yang datang telah pergi.”
‫ عليك ترتى‬- ‫ و ما متن‬- ‫كانت أيادينا احلسان‬

“Dahulu tangan- tangan kita yang indah, dan apa yang engkau miliki
beterbangan.”
‫ و تفوح عطرا‬,‫و مضت بنا األيام تنبض فرحة‬

“Dan berlalu hari-hari memompa kebahagiaan, terhembus bagaikan


parfum.”

26
‫حرى‬
ّ ‫كم اهة لك عانقتها اهة حبشاي‬
“Berapa banyak desahan yang engkau miliki dipeluk oleh desahanku.”
‫و تظل قلىب يف يديك تبيحه نابا و ظفرا‬

“Dan tetap hatiku di dalam genggamanmu, didera taring dan cakar.”

‫ و عشت حرا‬,‫ ما أرمي‬,‫قد عشت راسفة بقيدي‬

“Aku telah hidup terikat dengan ikatanku, aku tidak ingin, dan aku telah
hidup bebas.”
‫ و أدرت ظهرك يل و ما استأهلت ظهرا‬,‫لظلمتين‬

“Sungguh engkau telah menzhalimiku, dan kau balik punggunhmu


kepadaku, dan aku tidak pernah mengharamkan pungguh itu.”
Apakah pria yang kufur itu tidak mengetahui bahwa ia telah
melakukan perbuatan yang buruk, atau pakah ia tidak mengetahui, bahwa
cinta yang tulus dan sejati, tidak pantas mendapatkan yang lain, selain
kesetiaan dan rasa terimakasih yang jelas? Apakah ia tidak mengetahui
bahwa ia telah menyakiti orang yang mencintainya, dan tulus
menyayanginya? Ataukah ia belum masuk ke dalam nikmatnya
berhubungan, indahnya kebahagiaan, dan kuatnya rasa cinta?
Tidakkah dia ingat bahwa penghinaan terhadap orang yang merdeka,
merupakan kepalsuan dan keburukan, dan menyebabkan rasa dingin, dan
meskipun begitu, ia mengetahui keburukan perbuatannya, dan dia
mengetahui, bahwa ia menggali kuburan si faqir, dan ia mengetahui bahwa
hati perempuannya tersakiti dengan taring dan kuku tajam, kemudian
terlempar ke tanah, dan ia menjalani semua itu sebagai sebuah azab.
Dia mengetahui hal itu dengan pasti, dan apakah pria tidak tahu tujuan
perbuatannya, dan niatannya? Dan apakah dunia mengetahui seseorang yang
menzhalimi orang lain, dan dia tidak sadar ia telah berbuat zhalim?
Semua hal ini, yang disampaikan oleh pemudi itu, merupakan hal-hal
yang ia ketahui, sebagaimana juga diketahui oleh sang pria. Maka ia

27
memberitahu tentang sesuatu yang baru. Namun ia mengingatkannya,
tentang cinta yang dahulu ada di dalam genggamannya, kini telah pergi
selamanya.
Dan para Ahli Balaghah berkata: sesungguhnya kisahnya termasuk
jenis (lazim faidah), dan ia telah membuat kisahnya begitu baik.
Para ahli balaghah berkata: khabar terkadang memiliki tujuan yang
lain, bukan (faidatu al-khabar) bukan pula (lazimu al-faidah), engkau dapat
memahaminya dari konteks ungkapan, dan hubungan antara situasi yang
ada. Mereka menyebutkan di antaranya :
1) Istirham (minta dikasihi)
Dari segi bentuknya kalam ini berbentuk khabar (berita), akan tetapi
dari segi tujuannya mutakallim ingin dikasihi oleh mukhatab. Contoh kalam
khabari dengan tujuan istirham adalah do’a Nabi Musa as yang dikutip
dalam al-qur’an:
‫ت ِإيَل َّ ِم ْن خَرْيٍ فَِقْي ْر‬
َ ْ‫َرىِّب ِإىِّن لَ َما َأْنَزل‬
“Tuhanku, aku ini sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau
berikan kepadaku”.
2) Izhharu al-dhafi (memperlihatkan kelemahan)
Seperti do’a Nabi Zakaria as dalam Al-Qur’an:
‫س َشْيبًا‬ َّ ‫ب إىِّن َو َه َن الْ َعظْ ُم ِمىِّن َوا ْشَت َع َل‬
ُ ‫الرْأ‬ ِّ ‫َر‬
“Tuhanku, sesungguhnya aku telah lemah tulangku dan kepalaku
telah penuh uban.”
3) Izhharu at-tahassur (memperlihatkan penyesalan)
Seperti do’a Imran bapaknya Maryam yang dihikayatkan dalam Al-
Qur’an:
‫ت‬ َ ‫ض ْعُت َها ُأْنثَى َواهلل َْأعلَ ُم مِب َا َو‬
ْ ‫ض َع‬ َ ‫َرىِّب ِإىِّن َو‬
“Tuhanku, isteriku telah melahirkan seorang wanita dan Allah
mengetahui apa yang ia lahirkan.”
4) Al-Fakhr (kesombongan)

28
‫اج ِديْ َن‬
ِ ‫إ َذا بلَغ الْ ِفطَام لَنا صيِب خَت َّر لَه اجْل باِئر س‬
َ ُ ََ ُ َ ٌ َ َ ُ ََ
Artinya: “ Jika seorang anak kami telah lepas menyusu, semua orang
sombong akan tunduk menghormatinya”.
5) Dorongan bekerja keras
Dari segi bentuk dan isinya kalam ini bersifat khabari
(pemberitahuan), akan tetapi maksud mutakallim mengucapkan ungkapan
tersebut agar mukhatab bekerja keras. Contoh kalam khabari untuk tujuan
ini adalah surat Thahir bin Husain kepada Abbas bin Musa al-Hadi yang
terlambat membayar upeti. (Nurbayan M. Z., 2007, hal. 96-97)
C. Adatu At-Taukid

Dalam Bahasa Arab, terdapat perangkat-perangkat yang membuat


pernyataan menjadi memiliki penekanan. Buku-buku Nahwu menyebutkannya
semua dengan detail, perangkat-perangkat tersebut antara lain:

1. َّ Diawali dengan kasroh dan memiliki nun tasydid


(‫)إن‬
Ini adalah huruf yang dapat ditaruh di depan mubtada’ dan khabar, dan dia
membuat mubtada’ menjadi manshub, maka mubtada’ disebut sebagai ism inna,
dan dia membuat khabar menjadi marfu’, maka khabar tersebut disebut dengan
khabar inna. Dan jika seorang pembicara mengatakan: ‫( إن احلياة جهاد‬sesungguhnya

hidup adalah jihad), maka sesungguhnya kalimat ini memiliki makna penekanan,
seolah-olah pembicara mengucapkannya dua kali.

2. ‫الم اإلبتداء‬, ( lam ibtida’)

Manfaatnya adalah untuk penekanan isi yang terkandung dalam sebuah


pernyataan. Perangkat ini biasanya menempel pada mubtada’ , seperti: ‫ألنت خري من‬

‫ عرفت‬Sungguh, kamu adalah yang terbaik yang pernah kutahu. Sebagaimana juga
dapat disandingkan dengan khabar inna (‫)إن‬.

29
3. ‫ الشرطية‬: ‫ ّأما‬, Amma yang memiliki makna syarat

Ini merupakan huruf syarth (syarat), tafshil (perinci), dan taukid


(penekanan). Seperti dalam ayat Al-Qur’an:

‫ض ةً فَ َم ا َف ْو َق َه ا فَ ََّأما الَّ ِذيْ َن ءَ َامُن ْوا َفَي ْعلَ ُم ْو َن َأنَّهُ احْلَ ُّق‬ ِ
َ ‫ض ِر‬
َ ‫ب َمثَالً َّما َبعُ ْو‬ ْ َ‫ا َّن اهللَ اَل يَ ْس تَ ْح ِي َأ ْن ي‬

)٤ ‫ِم ْن َّرهِّبِ ْم َو ََّأما الَّ ِذيْ َن َك َفُر ْوا َفَي ُق ْولُْو َن َما َذا ََأر َاد اهللَ هِبَ َذا َمثَالً(سورة القلم‬
“Sesungguhnya Allah tidak malu membuat perumpamaan apa pun, baik
itu nyamuk, atau yang lebih dari itu. Orang-orang yang beriman akan
mengetahui bahwa itu adalah benar dari Tuhan mereka, sedangkan orang-
orang kafir, maka mereka akan mengatakan, apa yang Allah inginkan dari
permisalan ini?” (Surat Al-Qalam:4).

4. ‫ س‬, Huruf sin

(Huruf sin) ini adalah huruf yang khusus untuk fi’il mudhari’, yang khusus
untuk mengungkapkan tentang masa depan. Dan huruf sin, jika menempel dengan
fi’il yang disukai atau dibenci, maka akan memiliki makna bahwa hal itu pasti
terjadi, maka pernyataan seperti itu akan memiliki makna sumpah akan terjadinya
sesuatu, maka masuknya huruf ini dalam ungkapan sumpah akan membuatnya
memiliki makna penekanan, dan menguatkan maknanya.
Contohnya:

َ ‫ُْأولَِئ‬
ُ‫ك َسَي ْرمَحُ ُه ُم اهلل‬
5. Qad penekanan (‫)قد التحقيقية‬

Huruf ini biasanya tersambung dengan fi’il madhi, penggunaannya


memberikan makna penekanan akan terjadinya suatu kejadian atau perbuatan
tertentu. Seperti ayat Al-Qur’an:
ِ ‫قَ ْد اَْفلَح الْمْؤ ِمُنو َن اَلَّ ِذين هم يِف صلَواهِتِم خ‬
)٢-١ ‫اشعُ ْو َن (سورة املؤمنون‬ َ ْ َ َ ْ ُ َْ ْ ُ َ
“Sungguh telah beruntung orang-orang mu’min, mereka itu adalah orang-
orang yang khusyu’ dalam shalat mereka”.

30
Dalam kalimat ini, qad memberikan penekanan tentang makna yang
terkandung oleh kalimat tersebut, bahwa kemenangan orang-orang mu’min yang
khusyu’ dalam shalatnya merupakan sesuatu yang haq dan benar, tidak mungkin
itu tidak terjadi. Dan jika qad tersambung dengan fi’il mudhari’, maka akan
memiliki makna jarang, dan tidak menjadi perangkat atau huruf yang memberi
makna penekanan.

6. Dhamir yang terpisah (‫)ضمري الفصل‬

Dhamir ini biasanya berharakat dhammah dan terpisah, terkadang juga


berharakat nashb yang terpisah, yang diletakkan untuk memisahkan antara khabar
dan shifah. Seperti (‫ )محمد هو نبي‬Muhammad dia adalah Nabi. Apabila kita tidak
menggunakan dhamir ‫ هو‬, maka menjadi (‫)محمد نبي‬, maka bisa dipahami bahwa
Nabi menjadi khabar dari kata Muhammad. Dan menjadi shifah baginya.
Sedangkan ketika kita menambahkan lafal ‫هو‬, maka lafal ‫نبي‬, menjadi khabar
tentang mubtada’, bukan sebagai shifah baginya. Maka dhamir fashl dengan
begini, menghilangkan kemungkinan dan kerancuan dalam kalimat tersebut,
sehingga menjadi suatu bentuk penekanan, sehingga akhirnya dianggap sebagai
salah satu alat untuk memberikan penekanan pada khabar.

7. Qasam (sumpah)
Huruf-hrurfnya antara lain: ‫ت‬,‫و‬,‫ب‬, adalah huruf yang asli diantara huruf-
huruf qasam, karena dapat disandingkan dengan seluruh muqsam bih, baik itu ism
zhahir, ataupun dhamir. Seperti: ‫أقسم بك‬,‫أقسم باهلل‬,. (aku bersumpah demi Allah, Aku
bersumpah demi engkau).
Huruf ‫ و‬khusus untuk disandingkan dengan ism zhahir, dan bukan dengan
dhamir. Seperti: ‫ ورب ك م ا خنت ل ك عهدا‬.‫واهلل إن س ؤال الل ئيس ذل‬. (demi Tuhan

sesungguhnya meminta kepada orang yang jahat adalah suatu kehinaan. Demi
Tuhanmu aku tidak mengkhianati janjimu).
Huruf ‫ ت‬khusus disandingkan dengan ism Allah SWT saja, seperti dalam

31
Al-Qur’an:
ِ ِ
ْ ‫(و تَا اهلل آَل َ كْي َد َّن‬
)٥٧ :‫ًأصنَ َم ُك ْم) (األنبياء‬ َ
“Demi Allah, akan aku permainkan patung-patung kalian.” (Al-Anbiya:
57).
Dan huruf-huruf yang masuk kepada muqsam alaih- atau jawab qasam- ada
empat, yaitu: (‫ ال‬,‫ م ا‬,‫إ ّن‬, ‫)الالم‬. Dan jika muqsam alaih dalam keadaan positif atau

mutsbat, maka huruf-huruf yang bersanding dengannya ialah ( ‫ إ ّن‬,‫)الالم‬. Seperti: ‫واهلل‬

‫( ملوت شريف خري من حياة الذليلة‬demi Allah, sungguh hidup mulia lebih baik daripada
mati yang hina). Dan jika jawab qasam dalam keadaan negatif, atau manfiy, maka
huruf-huruf yang bersanding dengannya ialah (‫ال‬,‫)ما‬.

8. Nun penekanan (‫)نون التوكيد‬

Nun ini terbagi dua, nun tawkid tsaqilah ( penekanan yang berat), atau
musyaddadah ( yang bertasydid), dan nun tawkid al-khafifah (nun penekanan
yang ringan atau yang tanpa tasydid ). Keduanya dapat bersanding dengan fi’il
mudhari’ dengan beberapa syarat, dan dapat bersanding dengan fi’il amr. Dan
terkadang dapat pula tergabung dalam satu pernyataan, seperti dalam kisah Nabi
Yusuf di Al-Qur’an, mengenai perkataan Istri dari Aziz Mesir:
‫ِ ِئ‬ ِِ ِِ ِ ِ
ُ‫ت فَ َذا ل ُك َّن الَّذي لُ ْمُتنَّيِن فْيه َولََق ْد َر َاو ْد تُهُ َع ْن َن ْفس ه فَا ْسَت ْعص ْم َولَ ْن مَلْ َي ْف َع ُل َم ا َأ َم َره‬
ْ َ‫قَا ل‬

َّ ‫لَيُ ْس َجنَ َّن َو لِيَ ُك ْوناَ ِم َن‬


] ٣٢ ‫الصا ِغريْ َن [يو سف‬
“Dia (perempuan itu) berkata itulah yang kalian hina tentang diriku,
sungguh aku telah merayunya, namun dia menjaga dirinya. Dan jika dia
tidak mau mengerjakan apa yang aku perintakan, sungguh dia akan
dipenjara, dan dia akan termasuk orang-orang yang hina.”

9. Huruf-Huruf Tambahan (‫)احلروف الزائدة‬

32
Yang termasuk jenis ini antara lain: (‫ )إن‬yang diawali dengan kasrah (‫)أن‬
dengan hamzah yang berharakat fathah dan nun yang berharakat sukun. Dan ,(‫)ما‬,
(‫)الباء‬,(‫)من‬,(‫ )ال‬ba dan min keduanya berharakat jar. Dan makna dari tambahan di
sini, bukan berarti semuanya dimasukkan ke dalam suatu kalimat tanpa makna
sama sekali, namun, tambahannya untuk memberikan penekanan.

10. Huruf-Huruf Tanbih (‫( )حرو ف التنبيه‬Peringatan)

Huruf tanbih ini ada dua: ‫ أال‬dan ‫( أما‬tanpa tasydid). Dan ‫ أال‬digunakan untuk
menunjukkan peringatan, dan menunjukkan terjadinya suatu hal yang akan
datang, dan dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa huruf ini memiliki makna
ta’kid atau penekanan. Seperti ayat Al-Qur’an:

‫اعتِ ِه ْم يِف ِر َح اهِلِ ْم لَ َعلَّ ُه ْم َي ْع ِر ُف ْو َن َه ا اَ َذا ا ْن َقلَُب ْوا اِىَل اَ ْهلِ ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم‬
َ ‫ض‬
ِ ِ ِ ِِ
َ ِ‫)وقَ َال لفْتيَت ه ا ْج َعلُ ْوا ب‬
َ
(‫َي ْر ِجعُ ْو َن‬

( ٦٢ ‫)يوسف‬
“Dan dia berkata kepada anak buahnya, taruhlah bahan makanan ini di
dalam perbekalan mereka, mudah-mudahan mereka mengetahuinya ketika
mereka kembali kepada keluarga mereka, mudah-mudahan mereka kembali”
(Yusuf: 62)
Dan ‫ أما‬termasuk istiftah, dan dia memiliki peran yang sama dengan ,‫أال‬dan
menunjukkan terjadinya hal yang akan terjadi setelahnya, sebagai penekanan. Dan
sering digunakan sebelum qasam, untuk memperingatkan pendengar, untuk
mendengarkan sumpah, atau menjalankan hal yang disumpahkan.

33
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Metode adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-
langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode
berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk
dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2004, hal. 34).
“Kalam khabari dalam novel Mawakib Al-Ahrar Karya Naguib Kaelani” ini
merupakan sebuah penelitian yang menggunakan metode deskriptif analitik.
Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta,
menguraikan, memberikan pemahaman serta penjelasan, yang kemudian
dilakukan analisis (Ratna, 2004, hal. 53).

B. Langkah-langkah Penelitian
Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan peneliti dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1 Menentukan Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah Novel Al-Launu Al-Ākhar


karya Ihsan Abdul Quddous dengan tebal 128 halaman yang diterbitkan
oleh penerbit Dar Aklibar al Yaum di Kairo, Mesir tahun 1999.

2 Jenis Data Penelitian


Jenis data dalam penelitian ini adalah kutipan-kutipan kata atau
kalimat yang mengandung kalimat jenis dan tujuan kalam khabari.

3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian


Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode simak catat.
Metode simak merupakan sebuah metode yang digunakan untuk
memperoleh data yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan

34
bahasa. Pengertian ini dideskripsikan oleh Mahsun dalam bukunya Metode
Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya ( 2007: 92-
94). Istilah menyimak disini tidak hanya untuk data yang berupa lisan saja,
akan tetapi bisa juga untuk data yang berupa tulisan. Selanjutnya, untuk
memperkuat data, juga dilakukan dengan metode turunan yaitu metode
catat, yang dilakukan dengan mencatat hasil data yang relevan dengan
penelitian.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dengan metode ini adalah
sebagai berikut:
1. Membaca dengan cermat naskah Novel Al-Launu Al-Ākhar
secara menyeluruh.
2. Menandai data-data yang dipandang memiliki unsur jenis dan
tujuan kalam khabari.
3. Memindahkan data dari sumber ke dalam tabel khusus data
untuk mempermudah analisis.

4 Analisis Data Penelitian/ Metode Kajian


Setelah dilakukan upaya pengumpulan data, langkah selanjutnya
adalah analisis data. Pada prinsipnya, peneliti ingin mengungkapkan jenis
dan tujuan dari kalam khabari yang terdapat dalam Novel Al-Launu Al-
Ākhar. Oleh sebab itu data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis
dengan pendekatan ilmu balaghah menggunakan metode distribusional.
Menurut Sudaryanto (2015:18) metode distribusional atau yang yaitu
metode yang menggunakan bagian dari bahasa itu sendiri sebagai alat
penentunya. Metode ini memiliki teknik lanjut bawahan, diantaranya teknik
lesap, teknik ganti, teknik perluas, teknik sisip, teknik balik, teknik ubah
wujud, dan teknik ulang. Dalam penelitian ini akan digunakan teknik lesap
dan teknik sisip untuk mengungkap makna, jenis dan tujuan dari kalam
khabari dan membuktikan data tersebut benar merupakan kata/kalimat yang
mengandung bentuk dan makna dari Kalam khabari untuk selanjutnya
diklasifisikan ke dalam kategori-kategori sesuai dengan teori yang ada.

35
5 Merumuskan Simpulan
Simpulan adalah hasil akhir dari kegiatan penelitian Kalam Khabari
dalam Novel Al-Launu Al-Ākhar, setelah dilakukan analisis dengan
menggunakan pendekatan ilmu Balaghah kajian ilmu Ma’ani dan
merupakan jawaban dari rumusan masalah penelitian yaitu untuk
mengetahui jenis dan tujuan kalam khabari apa saja yang terdapat di dalam
novel tersebut.

36
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Biografi Ihsan Abdul Quddous


Ihsan Abdul Quddũs adalah seorang jurnalis asal mesir, keturunan Turki.
Ibunya Fatima Al-Ypusef adalah pendiri majalah Sabah Al-Khair kelahiran Turki.
Ayahnya adalah Seorang Dewan perwakilan Rakyat yang juga lahir di Turki dan
giat menulis. Ihsan dilahirkan pada 1 Januari 1929, ia merupakan anak
kesayangan Ayahnya, dan disekolahkan di Sekolah Hukum hingga lulus pada
tahun 1942 dan bekerja sebagai pengacara di kantor seniornya, Edward Qusairi.
Ditengah pekerjaannya sebagai pengacara , pada tahun 1944 Ihsan mulai
menulis cerpen dan novel. Sejak itu ihsan meninggalkan profesinya di bidang
hukum dan mengabdikan dirinya utuk jurnalisme dan sastra. Dia menemukan
bahwa sastra dan jurnalisme tidak bisa dipisahkan dari dirinya. Kurang dari
beberapa tahun kemudian karirnya di jurnalisme dan sastra mulai menunjukan
produktifitas, ia menjadi jurnalis terkemuka, novelis dan penulis politik. Setelah
bekerja di Rosaliv dan bekerja di surat kabar selama delapan tahun, kemudian dia
bekerja di surat kabar Al-Ahram dan ditunjuk sebagai pimpinan redaksi.
Literatur Ihsan merupakan loncatan baru dalam pernovelan Arab. Ia berbeda
dengan sastrawan dewasa seperti Naguib mahfudz, yusuf sibai dan Muhammad
Abdul halim. Ihsan memiliki dua karakteristik yang khas. Pertama, ia dibesarkan
di jantung dunia pers, terbiasa dengan data-data dan fakta-fakta yang dimiliki
pers untuk menembus semua lapisan masyarakat dan relasinya dengan Rose Al-
yusuf, yang merupakan seniornya - seorang penulis, seniman, politisi dan bintang
masyarakat- memungkinkan Ihsan memiliki akses untuk mengetahui aspek
tersembunyi dari kehidupan masyarakat Mesir. Karakteristik kedua dari literatur
ihsan ini yaitu ia sangat menggembargemborkan kebebasan berpendapat dan
keaktifannya di dunia politik. Karena itu corak karya ihsan lebih berjiwa muda
dan menyerukan partisipasi politik.
Ihsan Abdul Quddũs termasuk dalam sastrawan Arab yang pertama kali
mengarang novel tentang cinta yang novelnya diangkat menjadi film. ‘Abdu al-

37
Quddūs banyak menulis novel dan cerpen tentang cinta. Penjelasannya sangat
dalam dan mendetail serta mampu menggambarkan tokoh karakternya dengan
nyata. Melalui karyanya, ‘Abdu al-Quddūs menggambarkan banyak kejadian yang
ada dalam masyarakat, sehingga tidak sedikit orang yang mengkritik tulisan dan
pemikirannya yang berani. Di banyak karyanya, ‘Abdu al-Quddūs menampilkan
sudut pandang wanita, seperti dalam novel Lā Tatrukūnī Hunā Waḥdī dan Nasītu
Annī Imra`atun. Selain mengangkat cerita tentang cinta, ‘Abdu al-Quddūs juga
mengangkat cerita tentang pencarian kebebasan, melawan hal-hal yang dianggap
tabu dalam masyarakat, keselarasan antara jasad dan jiwa, melawan kebodohan,
dan cinta dalam masyarakat.
Literatur ihsan menembus sastra dunia karena sebagian besar karya-
karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa asing seperti Inggris, prancis, ukraina,
cina dan Jerman, karna produktifitas dan kualitas karyanya, ihsan mendapat begitu
banyak pengahargaan, diantaranya oleh mendiang Presiden Gamal Abdel Nasser
Orde Merit dari kelas satu, Mohammed Hosni Mubarak dan Ordo Republik, dan
berpartisipasi kontribusi luar biasa kepada Dewan Tertinggi Jurnalisme dan
Yayasan Sinema. 49 novelnya di angkat kedalam film, 5 novelnya manjadi naskah
teater, 9 novelnya menjadi acara seri di radio, 10 novelnya dijadikan serial
televisi.
Namun ternyata, Ihsan tidak begitu populer dikalangan kritikus sastra,
karya-karya ihsan tidak begitu banyak perhatian kritis, hal ini karena karya-karya
ihsan lebih seperti literatur seks dan tempat tidur karya sastra. Kemudian, menurut
kritikus, karya-karya ihsan sebagian besar hanya menjadi bagian dari persiapan
film dari pada afiliasi dengan warna sastra lain. Walaupun demikiam corak ihsan
ini berhasil mengungkapkan beberapa budaya melalui banyaknya bentuk
percakapan dalam karyanya, juga dalam beberapa artikel yang dihasilkannnya,
kritikus melihat bahwa ihsan menemukan beberapa tradisi yang ia temukan di
masyarakat pedesaan dan mencoba mengesankan pembaca bahwa tradisi ini
berdiri dengan kuat di pedesaan Mesir.
Salah satu temuan ihsan, menjelaskan bahwa orang-orang pedesaan Mesir
tidak terlalu peduli dengan kehormatan,apakah mereka petani miskin atau orang-

38
orang terhormat. Ihsan tidak membahas masalah desa yang sebenarnya, begitu
juga ketika ia menemukan permasalahan perempuan desa, ia tidak mencoba
mengatasi masalah perempuan, tetapi ia lebih mangungkapkan bagaimana laki-
laki baik itu suami, saudara laki-laki atau seorang bapak memiliki otoritas lebih.
Ihsan sering kal menolak penghargaan, ia kehilangan kepercayaan pada
standar politik dan kepentingan yang jauh dari nilai-nilai dan kode etik intelektual,
budaya dan sastra. Standar-standar ini masih diintervensi kepentingan-
kepentingan yang mempengaruhi penobatan pengahrgaan.
Ihsan hidup sebagai jurnalis, dan penulis politik yang meyakini keharusan
akan kebebasan pendapat dan pluralisme ditengah kekacauan politik. Ihsan
mengharapkan runtuhnya monarki dan partai-partai tradisional . Ihsan tidak
percaya pada pemimpin tertentu karena itu ia mempelajari hak-hak sebagai
mahasiswa dan menggunakannya untuk melawan kekuatan politik yang
menempatkan masyarakat pada krisis politik, ekonomi dan sosial 40-an. Ihsan
memilih kemerdekaannya sebagai suara demokratis yang radikal. Lingkungan
fungsional dan dunia pers yang mempengaruhinya didapatkan dari dunia kedua
orangtuanya yaitu Ayahnya yang merupakan seorang insinyur dan Anggota
dewan wakil rakyat dan ibunya sebagai pimpinan redaksi media besar sekaligus
guru besar Arab membukakan jalan bagi Ihsan untuk melihat dunia dari berbagai
perspektif.
Harapan Ihsan tercapai, Pluralisme, kebebasan pendapat dan penolakan
aturan lama mutlak dilakukan dengan aturan hukum baru yang dipimpin oleh
Presiden bijaksana Husni Mubarok.
Iḥsān ‘Abdu al-Quddūs meninggal pada bulan kelahirannya, yaitu tanggal
11 Januari 1990 di usia 71 tahun setelah menderita stroke beberapa waktu
(Fathoni, 2007).

B. Sinopsis Novel Al-Launu Al-Ākhar


Novel ini menceritakan tentang perpisahan yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan budaya antara Mesir dan Sudan. Tokoh utama dalam novel tersebut
adalah Mirfat, seorang gadis Mesir yang menikah dengan Hasan Babakar Faqi,

39
seorang pemuda Sudan yang belajar di Universitas Kairo, Mesir. Cerita ini
diawali dengan deskripsi posisi paman (aku) sebagai paman yang sangat
mengagumi, yang paling dekat, paling mengenal Mirfat dan serba tahu mengenai
kisah Mirfat. Mirfat sangat dekat dengan paman ini lebih dekat daripada ayahnya
sendiri, tetapi bukan berarti Ayahnya tidak mempedulikannya, Ayahnya mendidik
Mirfat untuk menjadi orang yang bebas dan bertanggung jawab karena itu
keluarga Mirfat adalah keluarga yang terbuka, bahkan untuk hal-hal mengenai
pria. Mirfat beberapa kali mengajak beberapa teman pria ke rumahnya, di hadapan
keluarganya, untuk menunjukan hubungannya, baik itu hanya sekedar teman
maupun kekasih. Dari beberapa sikapnya menunjukan bahwa Mirfat cenderung
tertarik dengan pria berkulit gelap, entah karena pria yang berkulit gelap
cenderung cocok dengan kepribadian Mirfat atau hanya sekedar ingin terlihat
indah karena Mirfat berkulit putih.

40

Anda mungkin juga menyukai