Anda di halaman 1dari 20

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesenjangan Kelas

Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia hidup


berdampingan dengan manusia yang lain. Terkadang dalam kehidupannya manusia mengalami
sebuah permasalahan. Salah satu permasalahan kemanusiaan yang tiada habis-habisnya untuk
dibahas adalah masalah kesenjangan kelas sosial. Kesenjangan kelas sosial adalah suatu keadaan
ketidakseimbangan sosial yang ada dalam masyarakat antara si kaya dan si miskin.

Seperti yang telah diungkapkan oleh Soekanto (Soekanto, 1969, p. 401) bahwa
kesenjangan kelas sosial adalah suatu keadaan ketidakseimbangan sosial yang ada dalam
masyarakat yang menjadikan suatu perbedaan yang sangat mencolok. Hal ini disebabkan oleh
masalah sosial, yakni tidak adanya persesuaian antara nilai-nilai social dengan kenyataan serta
tindakan sosial. Dengan kata lain kesenjangan kelas sosial adalah situasi sosial masyarakat
karena adanya ketidakseimbangan atau ketimpangan sosial yang terjadi di dalam kelas yang
berkuasa (kaya) dan kelas yang tertindas (miskin).

Beberapa masalah sosial yang sangat penting untuk diperhatikan dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok, yakni;

1) Faktor ekonomi: kemiskinan, pengangguran, kejahatan, dan lain-lain


2) Faktor kesehatan: penyakit fisik
3) Faktor psikologis: penyakit fsikis atau mental dan
4) Faktor kebudayaan: permasalahan remaja, disorganisasi keluarga, peperangan,
pelangggaran norma-norma, masalah penduduk, lingkungan hidup, birokrasi, dan
lain-lain.

Salah satu faktor penyebab kesenjangan tersebut adalah factor ekonomi berupa
kemisikinan dan kurangnya lapangan pekerjan. Kemiskinan menurut Zygmunt Baumant
merupakan keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan sedangkan menurut Soekanto
(Soekanto, 1969, p. 406) bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak
sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak
mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut

B. Karya Sastra

Karya sastra pada umumnya merupakan karya seni yang merupakan ekspresi pengarang
tentang hasil refleksinya terhadap kehidupan dengan bermediumkan bahasa. (Ali Imron Al-
Ma’ruf, 2017, p. 75) Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Plato (Damono, 1978) bahwa
karya sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis).

Senada dengan yang disampaikan oleh Ratna, bahwa hakikat karya sastra ialah rekaan
atau yang lebih sering disebut imajinasi. Imajinasi yang dimaksud dalam karya sastra adalah
yang berdasarkan kenyataan. Karya sastra merupakan hasil kreativitas seseorang akan pikiran,
ide, dan perasaan yang dirasakannya. Selain itu karya sastra juga merupakan representasi dari
apa yang pengarang lihat dan apa yang pengarang rasakan serta hasil dari imajinasi berdasarkan
lingkungan hidup pengarang yang kemudian menuliskannya dengan cara naratif (Ratna, 2005, p.
312).

Meskipun Marx tidak berbicara khusus mengenai sastra. Akan tetapi, lewat penjelasan
Engels, Marx berpandangan bahwa sastra dapat diketahui dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1) Setiap karya sastra harus ada kecenderungan terhadap hal politis, tetapi
kecenderungan tersebut hendaknya tersirat saja.
2) Setiap sastrawan hendaknya menampilkan realisme baru mengenai tokoh-tokoh yang
representatif.
3) Setiap karya sastra hendaknya berkekuatan sebagai praksis social dalam berbagai
kontradiksi perkembangan historis, dan tidak hanya semata-mata mencerminkan nilai
estetis dan filosofis.
4) Pengkajian sastra hendaknya dapat membongkar unsur-unsur ideologis sebagai
kesadaran palsu (Soetomo, 2001)

Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus
merupakan model kenyataan. Maka sastra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah media
yang pengarang gunakan untuk menggambarkan peristiwa maupun imajinasi sehingga
menghasilkan karya sastra dan salah satu jenis karya sastra adalah novel.
Abrams (Nurgiantoro, 1998) menyatakan bahwa novel berasal dari bahasa Itali
“novella”. Secara estimologi novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian
diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Pengertian novella mengandung pengertian
yang sama dengan istilah Indonesia novelet (inggris:novellette) yang bermakna sebuah karya
prosa fiksi yang panjannya cukup, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Karya
sastra yang disebut novellette adalah karya sastra tang lebih pendek daripada novel tetapi lebih
panjang daripada cerpen, katakanlah pertengahan dari keduanya.

Adapun Sumardjo menjelaskan lebih rinci mengenai pengertian dari novel. Sumardjo
menyampaikan bahwa novel dakam kesusastraan merupakan sebuah sistem bentuk. Dalam
sistem ini terdapat unsur-unsur pembentuknya dan fungsi dari masing-masing unsur. Unsur-
unsur ini membentuk sebuag struktur ceita besar yang diungapkan lewat materi bahasa tadi.
(Sumardjo, 1999 )

Sedangkan Nurhadi mengatakan novel adalah suatu jenis karya sastra yang di dalamnya
terkandung nilai-nilai budaya, sosial, pendidikan, dan moral. (Ali Imron Al-Ma’ruf, 2017, p.
149) Sedangkan Damono menyatakan bahwa novel merupakan jenis sastra yang bersifat fiktif,
namun demikian jalan ceritanya dapat menjadi suatu pengalaman hidup yang nyata dan lebih
dalam lagi novel mempunyai tugas mendidik pengalaman batin pembaca. (Ali Imron Al-Ma’ruf,
2017, p. 76).

Novel adalah sebuah cerita yang lebih panjang dari cerpen dan bersifat fiksi yang
mengisahkan tentang kehidupan manusia dari awal cerita hingga berakhirnya kisah hidup tokoh
yang ada di dalamnya mengenai peristiwa-peristiwa yang di lalui tokoh. Imajinatif atau non
imajinatif novel di dalamnya berisikan pengalaman seseorang ataupun imajinasi pengarang
berdasarkan kehidupan yang ada di sekitarnya.

Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Kosasih (Kosasih, 2012, p. 60) bahwa novel
adalah karya imajinatif yang mengisahkan isi utuh problematika kehidupan seseorang atau
beberapa orang tokoh. Kisah novel berawal dari kemunculan persoalan yang dialami oleh tokoh
hingga tahap penyelesaiannya.
Novel memiliki tingkat kedalaman cerita yang bisa disebut sebagai eksplorasi ekstensif.
Akibatnya, novel memerlukan tempat yang lebih beragam dan waktu yang lama. Sedangkan
menurut H. B. Jassin, novel adalah kejadian luar biasa yang dihasilkan dari kehidupan orang-
orang yang luar biasa yang di dalamnya berisikan konflik, pertikaian, yang mengalihkan nasib
mereka (Suroto, 1989, p. 19)

Sedangakan Damono menyebutkan bahwa novel merupakan upaya untuk menciptakan


kembali dunia sosial ini: hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara,
dan sebagainya. Dalam pengertian ini jelas tampak bahwa novel berurusan dengan tekstur sosial,
ekonomi, dan politik—yang juga menjadi urusan sosiologi. (Damono, 1978, p. hal 7)

Selain itu novel terbagi menjadi dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik, secara
umum unsur intrinsik adalah pembangun cerita dalam sebuah novel yang terdiri dari tema, plot
atau alur, penokohan, latar, dan sudut pandang (Nurgiantoro, 1998, p. 23).

Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra yang
secara tidak langsung mempengaruhi sebuah novel itu ada, unsur ekstrinsik biasanya membahas
novel yang terfokus pada pengarang seperti biografi, pandangan hidup, lingkungan pengarang
berupa ekonomi, sosial, politik dan akan mempengaruhi tulisan pada karya tersebut.

Maka dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan tiruan atau mimesis dari
kenyataan, yang diekspresikan dan diolah dengan kreativitas, kemudian dikemas sengan indah
oleh pengarangan dengan bermediumkan bahasa. Dan novel merupakan salah satu produk karya
sastra yang memiliki alur cerita yang lebih panjang jika dibandingkan dengan cerpen.

C. Sosiologi Sastra
1. Sosiologi

. Bapak sosiologi Auguste Comte menjelaskan bahwa sosiologi berasal dari bahasa Latin
yang dari dua kata; Socius dan Logos. Secara harfiah atau etimologis kata socius berarti teman,
kawan, sahabat, sedangkan logos berarti ilmu pangetahuan. Yang artinya sosiologi berarti ilmu
pengetahuan tentang bagaimana berteman, berkawan, bersahabat atau suatu ilmu yang
membicarakan tentang bagaimana bergaul dengan masyarakat, dengan kata lain sosiologi
mempelajari tentang masyarakat, atau ilmu pengetahuan tentang hidup masyarakat. (Subadi,
2008)
Adapun pengertian sosiologi dari ilmuwan sosial lain, menjelaskan bahwa sosiologi
adalah:

1) Suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat.


2) Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai
keseluruhan yakni antar hubungan diantara manusia dengan manusia, manusia dengan
kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
3) Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebaga
keseluruhan yakni antara hubungan diantara manusia dengan manusia, manusi dengan
kelompok, kelompok dengan kelompok baik formal maupun material.
4) Sosiologi adalah suatu ilmu prengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai
keseluruhan, yakini antar-hubungan diantra manusia dengan manusia, manusia dengan
kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, baik statis
maupun dinamis. (Subadi, 2008)

Dalam arti yang lebih luas lagi sosiologi merupakan telaah yang objektif dan ilmiah
mengenai manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi
mencoba mencari tahu bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada. Oleh karena itu,
dalam pendekatan sosiologi biasanya yang dianalisis adalah manusia dalam masyarakat dengan
proses pemahaman mulai dari masyarakat sampai ke dalam manusia sebagai individu.

Sosiologi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan erat dengan masyarakat.
Sosiologi pada dasarnya mempelajari kesatuan hidup manusia yang berbentuk hubungan antara
manusia dengan kelompok-kelompok lain. Soemarjan dan Soemardi mengungkapkan bahwa
Sosiologi adalah ilmu masyarakat yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial,
termasuk perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Struktur sosial dalam masyarakat yaitu
keseluruhan jalinan antara unsur-unsur pokok yang terkait dengan kaidah atau norma-norma
sosial. (Soemardi, 1964, p. 11)

Proses sosial sendiri adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan
masyarakat, misalnya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi
kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya
sebagaimana yang juga dipaparkan oleh Pitirim Sorokin (Soekanto, 1969, p. 24), sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala
sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral).

Manusia hidup saling membutuhkan antara individu yang satu dengan individu yang lain,
individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok lainnya. Sehingga muncullah
proses sosial yang melibatkan segala aspek kehidupan. Hal ini yang menjadikan manusia bisa
bertahan hidup yakni dengan adanya saling mengisi atau timbal balik dalam kehidupan.
Bagaimana sebuah peradaban bisa maju, mundur dalam aspek atau segi ekonomi, pendidikan,
bahkan sosial yang erat kaitannya dengan komunikasi.

Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Swingewood menguraikan bahwa sosiologi


merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai
bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu
bertahan hidup. (Wiyatmi, 2013, p. 6)

Adapun menurut Soerjono Sukanto mengenai sosiologi adalah ilmu yang memusatkan
perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan
pola-pola umum kehidupan masyarakat. Selain itu sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial, dan yang
terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial
lain. (Wiyatmi, 2013, p. 16)

Jadi, Sosiologi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ilmu yang mempelajari
mengenai berbagai bentuk proses sosial yang dilakukan antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok ataupun antar kelompok. Seperti struktur sosial, proses-proses sosial,
perubahan-perubahan sosial, gejala-gejala sosial dan segala aspek yang terdapat dalam
masyarakat.
2. Sastra

Kata “sastra” dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan
gabungan dari kata “sas”, artinya mengarahkan, mengajarkan dan memberi petunjuk atau
intruksi. Kata sastra kemudian mendapat akhiran “-tra” yang biasa digunakan untuk
menunjukkan alat atau sarana. Jadi, sastra adalah alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku
intruksi atau pengajaran. (Teeuw, 1984, pp. 22-23). Sedangkan definisi sastra dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki
berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
(Kebudayaan, 1990).

Sudjiman menuliskan bahwa karya sastra memiliki berbagai ciri keunggulan seperti
keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Rahmanto mengungkapkan
bahwa sastra, tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidaklah menyuguhkan ilmu
pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam
dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu yang kerap menyajikan
banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang
menghayati, dengan kata lain kebebasan suatu karakter didalam sebuah karya sastra
mencerminkan kebesaran pandangan pengarang, dan tanpa dibuat-buat akan menjadi lagu
sepanjang batas yang melingkupi kebenaran puitik, karena suatu kenyataan dan kelogisan
menunjukan tingkat konsentrasi pengarang (Purba, 2010, pp. 2-3).

Maka sastra erat kaitannya dengan sebuah buku yang berisikan keindahan atau
mengandung banyak kandungan ataupun pelajaran dalam kehidupan yang bisa diambil oleh
pembaca yang berperan bagi masyarakat. Kemudian sastra sangat berkaitan dengan kehidupan
masyarakat sebagaimana pengarang yang merupakan bagian dari suatu masyarakat sebagaimana
yang telah dipaparkan oleh Sapardi Djoko Damono bahwa sastra merupakan interpretasi dari
kehidupan sosial dan budaya masyarakat pada waktu tertentu serta sastra menampilkan
gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1978).

Oleh karena sastra tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, maka sastra sangat
berperan penting dalam merekam mengenai kehidupan manusia sehingga bisa terlihat proses
sosial yang terjadi dalam sebuah karya sastra yang di buat oleh pengarang. Sapardi (Damono,
1978, p. 134) juga menyebutkan bahwa kejadian-kejadian yang terjadi dialami dan dirasakan
seseorang seringkali menjadi bahan sastra, yang merupakan cerminan hubungan antara seseorang
dengan orang lain atau hubungan seseorang dengan sekelompok manusia sehingga
menumbuhkan sikap sosial pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui
strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di
luar sastra. Beliaupun memaparkan mengenai sosiologi sastra yang berurusan dengan manusia
dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah
masyarakat itu. Dalam hal ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama
yaitu mengenai kehidupan manusia.

Mengenai sastra Marx dan Engels (Damono, 1978, p. 25) menyebutkan hal yang
mengandung makna yang serupa dengan Sapardi Djoko Damono bahwa sastra adalah cerminan
masyakarat atau mencerminkan kenyataan dengan berbagai cara. Sastra yang dimaksud dengan
mencerminkan kenyataan dengan berbagai cara adalah sastra berisikan aspirasi masyarakat
mengenai kehidupan negaranya, mulai dari ekonomi, politik, sosial, atau bahkan sastra itu
sendiri. Engels juga mengatakan bahwa sastra adalah cermin pemantul proses sosial.

Maka Wellek dan Warren menyimpulkan hubungan antara sastra dan masyarakat atau
sosial yang dapat diteliti dengan berbagai cara: (a) faktor-faktor di luar teks, dan (b) hubungan
antara teks sastra dan masyarakat. Faktor-faktor di luar teks sendiri, gejala konteks sastra;
sedangkan teks sastra itu sendiri tidak ditinjau. Misalnya kita dapat meneliti kedudukan
pengarang di dalam masyarakat, sidang pembaca, dunia penerbitan dan seterusnya. Faktor-faktor
konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak mempergunakan pendekatan ilmu
sastra. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra memang diberi patokan dengan jelas, tetapi
diteliti dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mempergunakan
hasil sosiologi sastra, khususnya bila ia ingin meneliti persepsi para pembaca. (Suwardi, 2012, p.
19)

Oleh karena itu sastra merupakan hasil pemikiran yang diciptakan pengarang berdasarkan
pengalaman atau kehidupan seseorang yang kemudian di tuangkan ke dalam sebuah sebuah
karya dan menjadi media yang digunakan pengarang untuk menyalurkan peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan yang bertugas sebagai penghubung antara pengarang dan pembaca
untuk menyampaikan pikiran-pikirannya.
3. Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah salah satu penelitian dalam bidang sastra yang bersifat refleksif.
Penelitian ini banyak di minati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cerminan
masyarakat. Menurut Laurenson dan swingewood, terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan
sosiologi sastra, yaitu: 1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang
didalammnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, 2) penelitian yang
mengungkapkan sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan 3) penelitian yang
menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. (Endraswara,
2008)

Edraswara mengemukakan bahawa secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian


tentang: 1) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif, 2) studi lembaga-lembaga sosial
lewat sastra dan sebaliknya, 3) studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat bekerja, dan
bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya. (Endraswara,
2008)

Sedangkan menurut Ratna (Ratna N. K., 2009, pp. 2-3) sosiologi sastra memiliki
beberapa definisi yaitu :

1) Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek


kemasyarakatannya.
2) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang
melatar belakanginya.
4) Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan seberapa jauh peranannya
dalam mengubah struktur masyarakat.
5) Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan
masyarakat.
6) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan
masyarakat.
Sementara itu Damono (Damono, 1978, p. 2) menjelaskan kecenderungan utama
pengkajian sosiologi dalam sastra sebagai berikut;

Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin
proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk
membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar
sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya
merupakan gejala kedua (epiphenomenon).

Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode
yang dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya,
untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada dalam sastra.

Adapun secara singkat Grebstein mengungkapkan konsep tentang sosiologi sastra, yaitu:
Karya sastra dapat dipahami jika dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang
menghasilkannya. Gagasan dan teknik penulisan dalam karya sastra sama pentingnya. Karya
sastra bisa bertahan lama berada atau diinginkan masyarakat tergantung pada kualitas karya
sastra tersebut. Masyarakat bisa didekati dari dua arah, yaitu: (a) sebagai faktor material
istimewa, (b) sebagai tradisi. Keistimewaan karya sastra tidak semata-mata sebagai imajinasi,
melainkan juga kemampuan melukiskan realitas sosial (Damono, 1978, p. 19). Adapun Sosiologi
karya sastra yang meneliti isi karya sastra, tujuan serta hal lainnya maka termasuk pada masalah
sosial.

Ahyar menjelaskan bahwa sosiologi sastra berawal dari pandangan mengenai sastra
merupakan pencerminan ataupun refleksi masyarakat yang dapat memberi pengaruh terhadap
masyarakar itu sendiri yang kemudin melalui karya sastra, pengarang mengungkapkan masalah
kehidupan yang dirasakan pengarang dan yang terdapat di lingkungan sosialnya. dan sekaligus
mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan, masyarakat sangat menentukan nilai
karya sastra berdasarkan masyarakat yang hidup pada zaman tersebut, sementara sastrawan atau
pengarang sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan terpengaruh
oleh lingkungan sosial yang membentuk dan membesarkannya (Ahyar, 2019, p. 136).
Mengenai sastra merupakan cerminan masyarakat yang dimana sastra berisi gambaran
pengalaman kehidupan pengarang maupun orang lain telah dipaparkan yaitu Pendekatan
sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini adalah aspek dokumenter sastra. Hal ini
karena karya sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra
merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan,
pertentangan kelas dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas ahli sosiologi sastralah yang harus
menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali atau imajinasi dan situasi-situasi ciptaan
pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya yang ada
dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya.
(Damono, 1978, p. 25)

Telaah sosiologi sastra dibagi menjadi tiga klasifikasi oleh Rene Wellek dan dan Austin
Warren (1989). Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang berkaitan dengan permasalahkan yang
menyangkut pengarang mengenai status sosial, ideologi politik, dan lain-lain. Kedua, sosiologi
karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah
adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang
hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan
pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Sebagaiman menurut Watt ia juga berpendapat sama mengenai kajian sosiologi sastra
yang terbagi menjadi tiga, yaitu (1) konteks sosial pengarang, (2) sastra sebagai cermin
masyarakat, dan (3) fungsi sosial sastra. Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut
posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya
faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping
mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh
mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat (Ahyar, 2019, p. 135).

Singkatnya ada dua cara pendekatan sosiologi terhadap karya sastra yaitu:

1) Dari dalam ke luar, yaitu dari realitas karya sastra (imajinasi) ke realitas masyarakat
(dunia nyata). Pemahaman atas struktur karya sastra dipergunakan utuk memahami
gejala sosial di luar sastra.
2) Dari luar ke dalam, yaitu dari realitas masyarakat ke realitas karya sastra. Sastra
dianggap sebagai gejala kedua, epiphenomenon, bukan gejala utama. Sastra hanya
merupakan cermin proses sosial budaya (Harjito, 2006, p. 45)

Adapun Ratna memaparkan model analisis yang dapat dilakukan dalam pendekatan
sosiologi sastra yang berkaiatan dengan masyarakat dapat meliputi tiga macam hal, yaitu:
1) Menganalisis masalah-masalah sosial yang terdapat di dalamnya kemudian
menghubungkannya dengan kenyataan sosial yang terdapat dalam kehidupan.
2) menemukan hubungan antarunsurnya.
3) Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh berbagai informasi, yang
dilakukan dengan disiplin tertentu (Ahyar, 2019, p. 136).

Merujuk dari definisi di atas, maka yang dimaksud Sosiologi Sastra dalam penelitian ini
adalah kajian ilmiah yang objek utamanya adalah sastra, yang berupa karya sastra, sedangkan
sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala social yang terdapat dalam sastra.
Dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya, baik yang berhubungan dengan
pegarangnya, gambaran masyarakat dalam karya sastra itu, maupun pembacanya yang
melingkupi status sosial, pengaruh karya sastra terhadap lingkungan masyarakat ataupun
pengaruh kehidupan terhadap pengarang.

4. Sosiologi Sastra Marxis

Marxisme sebenarnya merupakan teori mengenai sejarah, ekonomi, masyarakat, dan


revolusi sosial. Dalam perkembangannya, marxisme sering kali digunakan sebagai dasar analisis
sastra, sehingga muncullah istilah sosiologi sastra marxis. Dibandingkan dengan teori sosial
lainnya, teori sosial marxis menduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi mengenai
sosiologi sastra. Berikut penyebab teori sosial Marx paling banyak digunakan dalam kajian
sosiologi sastra:

1) Marx sendiri pada mulanya adalah seorang sastrawan, sehingga teorinya tidak hanya
memberikan khusus kepada kesusastraan, tetapi juga dipengaruhi oleh pandangan
dunia romantik pada kesusastraan;
2) Teori sosial Marx tidak hanya merupakan teori yang netral, melainkan mengandung
pula ideologi yang pencariannya terus menerus diusahakan oleh para penganutnya;
3) Di dalam teori Marx terbangun suatu totalitas kehidupan sosial secara integral dan
sistematik yang di dalamnya kesusastraan ditempatkan sebagai salah satu lembaga
sosial yang tidak berbeda dari lembaga sosial lainnya, seperti ilmu pengetahuan,
agama, politik, dan sebagainya. (Wiyatmi, 2013, p. 97)

Sosiologi sastra Marxis merupakan salah satu pendekatan sosiologi sastra yang
mendasarkan pada teori sosial marxis (marxisme). Sosiologi sastra marxis sering disebut sebagai
Kritik Marxis (Eagleton, 2002). Menurut Marx dan Engels, dalam masyarakat terdapat dua buah
struktur: infrastruktur dan superstruktur. Dalam masyarakat superstruktur memiliki fungsi
esensial untuk melegitimasi kekuatan kelas sosial yang memiliki alat produksi ekonomi,
sehingga ide-ide dominan dalam masyarakat adalah ide-ide kelas penguasaannya
(Eagleton,2006). Produksi ide, konsep, dan kesadaran pertama kalinya secara langsung tidak
dapat dipisahkan dengan hubungan material antarmanusia bahasa kehidupan nyata. (Wiyatmi,
2013, p. 99)

Adapun yang dimaksud dengan infrastruktur (basis ekonomi) adalah struktur yang
menjadi determinasi yang merancang dan menentukan kehidupan manusia, terutama pikiran dan
perasaan. Sedangkan superstruktur (produk pemikiran dan perasaan) adalah hasil yang
diciptakan oleh infrastruktur yang tergabung atas lembaga-lembaga social dan ideology yang
berkembang di masyarakat (Kurniawan, 2012, p. 41)

Marxisme menegaskan bahwa, bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, tetapi


kehidupanlah yang menentukan kesadaran. Hubungan antarmanusia diikat dengan cara mereka
memproduksi kehidupan materialnya. Jumlah total dari hubungan produksi ini merupakan
struktur ekonomi masyarakat, landasan yang sesungguhnya yang meningkatkan legalitas dan
superstruktur politis dan sesuai dengan bentuk-bentuk yang pasti dari kesadaran sosial. Landasan
kehidupan material (infrastruktur) mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan
intelektual (superstruktur). (Wiyatmi, 2013, p. 100)

Dalam perkembangan masyarakat tersebut Marx (via Faruk, 2003:6-7) menguraikan


bahwa setiap zaman dicirikan dan distrukturkan oleh tipe-tipe produksi dan pemikiran yang
berhubungan dengannya. Pembagian masyarakat menjadi tuan dan budak, bangsawan dan
hamba, pengusaha dan buruh, tidak hanya berakhir pada tatanan produksi, melainkan menjalar
ke wilayah-wilayah kehidupan lain. Oleh karena itu, hubungan-hubungan sosial, lembaga-
lembaga, hukum–hukum, agama, filsafat, dan kesusastraan, sebagai superstruktur masyarakat,
mencerminkan dan terutama sekali ditentukan oleh infrastruktur masyarakat yang berupa
hubungan produksi di atas. (Wiyatmi, 2013, p. 101)

1. Ideologi

Ideologi yang dimaksud dalam sastra adalah suatu perspektif yang berkaitan dengan
pandangan, kedudukan kelas, dan sisi kehidupan yang faktanya seringkali diputar balikkan.
Namun secara garis besar, ideologi berhubungan dengan proses pembenaran dominasi yakni
adanya pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak seimbang.

Ideologi merupakan hal pokok yang dimiliki setiap orang. Baik dalam kehidupan nyata
maupun ideologi yang dibebankan kepada seorang tokoh dalam karya sastra. Setiap tokoh dalam
sebuah sastra pasti akan mengalami peristiwa-peristiwa sosial dalam dunia imajinatifnya. Sesuai
dengan yang disampaikan Aminuddin bahwa pelaku adalah pengemban peristiwa dalam cerita
fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Ideologi disini
berperan sebagai bentuk pemikiran tokoh dalam menghadapi masalah yang terdapat dalam karya
sastra (Aminuddin, 2002,p. 79).

Marx dalam kritik ideologinya mengungkapkan hal yang serupa, bahwa ideologi adalah
ajaran yang menjelaskan suatu keadaan terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga
orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. Menurut Marx ideologi merupakan
kesadaran, keyakinan, ide dan gagasan yang dipercaya masyarakat yang menjadikan kontradiksi
kelas itu tampak atau sebaliknya. Marx juga mengatakan cara terbaik untuk menjadikan kelas
bawah tunduk adalah dengan melalui pikiran dan kesadaran mereka, dengan mempengaruhi
mereka melalui system gagasan dan keyakinan. (Kurniawan, 2012, p. 43)

Menurut Marx (dalam Badriati, 2014: 32-33), ideologi adalah mengajukan sesuatu
sebagai kepentingan umum yang sebenarnya merupakan kepentingan egois pihak yang
berpamrih. Dengan kata lain, ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama
struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah. Padahal jelas tidak
sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu
keadaaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi. Kritik ideologi adalah salah satu dari
beberapa sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam
masyarakat.
Marx memberikan beberapa contoh pendekatan ideologis. Salah satunya seperti contoh di
atas adalah klaim Negara bahwa ia mewujudkan kepentingan umum padahal sebenarnya ia
melayani kepentingan kelas yang berkuasa. Begitu pula tuntutan untuk taat terhadap hukum
dianggap ideologis, karena tuntutan itu dibenarkan dengan keadilan hukum, padahal hukum
tersebut sebenarmya hanya untuk melayani golongan kelas atas, sedangakan kelas bawah sulit
untuk mendapat keadilan hukum.

Marx menggunakan istilah ideologi untuk merujuk kepada sistem-sistem aturan ide-ide
yang menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi yang berada di pusat sistem. Pada banyak kasus,
ideologi dapat dipahami sebagai:

(1) suatu sistem –agama, filsafat, sastra, dan hukum- yang menjadikan kontradiksi antar
kelas tampak koheren,
(2) suatu pengalaman-pengalaman yang mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi sebagai
problem sosial personal atau keanehan-keanehan individual, dan
(3) sistem yang menghadirkan kontradiksi kelas sebagai suatu kontradiksi pada hakikat
manusia yang tidak bisa dipenuhi oleh perubahan sosial. (Kurniawan, 2012, p. 43)

Ideologi dalam arti sebenarnya bukanlah sarana yang digunakan golongan kelas atas
untuk menipu, melainkan benar-benar dipercaya seluruh masyarakat. Akan tetapi, agama,
moralitas dan berbagai ilmu budaya tanpa disadari dengan sendirinya mmenguntungkan kelas
atas. Hal ini disebabkan karena kelas atas yang menguasai sarana produksi materil dan spiritual
yang berarti hanya kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pikiran-pikiran
mereka.

Lebih lanjut Marx juga menambahkan bahwa keberadaan sosial manusia menentukan
kesadaran sosialnya, dan bukan sebaliknya. Pendapat ini yang kemudian dianggap sebagai dasar
teori-teori Marxisme. Marx mengidentifikasi dua bentuk ideologi sebagai hasil kesadaran
manusia; pertama, ideologi kesadaran kelas, yaitu yang dimiliki suatu kelas social, misalnya
kelas subordinat, dalam memandang realitas sebagai sesuatu yang semu atau salah, yang akan
menimbulkan kesadaran pada diri tentang eksistensinya sebagai suatu kelas, dan kedua, ideologi
kesadaran semu, yang merupakan kesadaran yang tidak muncul bebas dari kondisi ekonomi. Dua
operasi kesadaran inilah yang menjadikan kelas bawah memahami kedudukannya sebagai kelas
yang tereksploitasi. (Kurniawan, 2012, p. 43)
Elster (Elster, 2000, p. 168) beranggapan bahwa setiap kelas harus memiliki kepentingan
supaya tidak ditindas atau didominasi, dan kepentingan tersebut hanya bisa diwujudkan melalui
tindakan kolektif. Tindakan kolektif ialah sikap yang diambil setiap kelas atas keputusan
bersama untuk menghadapi kelas yang berlawanan. Dengan begitu, tindakan kolektif setiap kelas
berbeda. Tindakan kolektif kelas atas berupa kerjasama yang terjalin karena anggota-anggota
kelas tersebut terlibat dalam interaksi secara terus menerus yang dilakukan untuk mencegah
tindakan kolektif kelas lain yaitu kelas bawah, sedangkan tindakan kolektif kelas bawah berupa
kerjasama yang mencerminkan suatu transformasi individu yang mencakup perasaan-perasaan
solidaritas, altruisme, kejujuran, dan sebagainya (Elster, 2000, p. 181). Marx beranggapan tanpa
adanya kesadaran kelas, para buruh tidak akan bisa mewujudkan tindakan kolektif tersebut.

Kelas atas akan mempertahankan kedudukan mereka dengan menentang segala


perubahan dalam struktur kekuasaan, dengan begitu tindakan yang harus dilakukan adalah
mencegah timbulnya kesadaran kelas bawah, karena begitu kelas bawah sadar, mereka tahu hal
yang harus dilakukan adalah melawan dan menggulingkan kelas atas. Bagi kelas bawah, setiap
perubahan harus menuju pada pembebasan, seperti yang dituliskan Marx dalam Manifesto Partai
Komunis, kelas bawah paling-paling harus dapat kehilangan belenggunya. Kepentingan objektif
terakhir kelas bawah adalah revolusi, pembongkaran kekuasaan kelas atas.

Apabila kelas bawah bertambah kuat, kepentingannya akan mengalahkan kepentingan


kelas atas, jadi akan mengubah ketergantungannya dari kelas atas dan itu berarti membongkar
kekuasaan kelas atas, sedangkan kelas atas hanya berkepentingan untuk mempertahankan
kekuasaannya, maka kelas atas tidak akan mungkin membiarkan perubahan sistem kekuasaan itu
terjadi, karena akan mengakhiri perannya sebagai kelas penguasa (Magnis-Suseno, 2019).

Untuk mencegah terjadinya hal itu, upaya yang biasa dilakukan oleh kelas atas adalah
mengorganisir mekanisme proses produksi. Kelas yang berkuasa akan mengisolasi para buruh
satu sama lain sehingga tidak ada sarana komunkasi di antara mereka, atau dengan meningkatkan
proses pergantian atau dekomposisi keanggotaan kelas bawah.

Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk mencegah proses peneguhan diri mereka dan pada
akhirnya menghambat proses kesadaran para kelas buruh, meski pada akhirnya, kesadaran itu
akan tetap muncul sejalan dengan penindasan yang terus dilakukan oleh kelas penguasa dan
perjuangan kelas satu sama lain pun tidak dapat terelakkan dalam proses perubahan sosial yang
dikatakan Marx harus bersifat revolusioner.

Marx mengungkapkan bahwa pikiran-pikiran kelas berkuasa di setiap zaman merupakan


pikiran-pikiran yang berkuasa, karena hanya kelas-kelas atas yang mampu meresmikan dan
menyebarkan pikiran-pikiran mereka. Kalaupun orang-orang desa mampunyai pengertian
sendiri, pengertian itu tidak dapat disebarluaskan sehingga orang-orang desa sendiri yakin bahwa
nilai-nilai orang-orang perkotaan lebih tinggi kedudukan sosialnya. (Magnis-Suseno, 2019)

Marx memberikan beberapa contoh pendekatan ideologis. Adapun salah satu contoh
seperti diatas yaitu klaim Negara bahwa ia mewujudkan kepentingan bersama(umum) padahal
kenyataannya ia hanya melayani kepentingan kelas yang berkuasa. Begitu pula tuntutan untuk
taat terhadap hukum yang dianggap ideologis, karena tuntutan itu dibenarkan dengan keadilan
hukum, padahal hukum tersebut sebenarmya bertujuan untul melayani golongan kelas atas, saja
sedangakan kelas bawah sungkar untuk mendapat keadilan hukum.

Dengan demikian, ideologi adalah kesadaran bersama yang terdapat dalam kontradiksi
antarkelas. Ideology sering disebut gagasan yang palsu bila ideologi menjadikan relasi
kontradiksi antarkelas tidak dipahami. Ideologi semacam ini jelas dilahirkan oleh kelas dominan
yang diinternalisasikan kepada kelas subordinat dalam rangka untuk menjaga kekuasaannya.
Dengan pemahaman ideologi ini, maka kelas subordinat tidak akan memahami keberadaan
dirinya sebagai kelas bawah yang sebenarnya sedang diekspoitasi eksistensinya oleh kelas atas.
(Kurniawan, 2012)

2. Kelas Sosial

Lenin menyebutkan kelas sosial merupakan golongan sosial dalam sebuah tatanan
masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Bagi Marx sebuah kelas
bisa dianggap kelas dalam arti sebenarnya, apabila dia bukan hanya “secara objektif(lemah)”
merupakan golongan social dengan kepentingan sendiri, melainkan juga “secara subjektif(kuat)”
menyadari diri sendiri sebagai kelas, sebagai golongan khusus dalam masyarakat yang
mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya. (Magnis-Suseno,
2019, p. 117)
Adapun Marx berpandangan bahwa pelaku utama dalam perubahan social bukanlah
individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Dalam setiap masyarakat terdapat
struktur kelas yang berbeda, yakni kelas yang menguasai dan kelas yang dikuasai atau dengan
kata lain terdapat kelas atas dan kelas bawah (Magnis-Suseno, 2019, p. 118).

Di dalam masyarakat kapitalis Marx (Wirawan, 2015, p. 10) membagi kelas sosial ke
dalam tiga kelas sosial yaitu: (1) kelas buruh, yaitu mereka yang hidup dari upah; (2) kaum
pemilik modal, yaitu mereka yang hidup dari laba; dan (3) tuan tanah, yaitu mereka yang hidup
dari rente tanah. Hubungan antarkelas ini menurut Marx ditandai oleh hubungan eksploitasi,
pengisapan, dan hubungan kekuasaan (antara yang berkuasa dan yang dikuasai).

Namun karena dalam analisis keterasingan tuan tanah tidak dibicarakan dan pada akhir
kapitalisme para tuan tanah akan menjadi sama dengan para pemilik modal, sehingga hanya dua
kelas saja yang akan dibicarakan. Keterasingan dalam pekerjaan terjadi karena orang-orang yang
terlibat dalam pekerjaan jatuh dalam dua kelas social yang berlawanan, yaitu kelas buruh dan
kelas majikan. Kelas para majikan adalah kelas yang memiliki alat-alat kerja dan/atau para
pemilik modal kelas ini disebut juga sebagai kelas atas(kelas yang berkuasa). Sedangkan kelas
buruh (kelas bawah) adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan, karena mereka sendiri tidak
memiliki modal, tempat ataupun sarana kerja, sehingga mereka terpaksa menjual tenanga kerja
mereka kepada kelas majikan. Inilah dasar keterasingan dalam pekerjaan. (Magnis-Suseno, 2019,
p. 119)

Keynes dalam Elster menyebutkan bahwa setiap kapitalis menginginkan pemberian upah
serendah mungkin bagi buruhnya karena hal itu akan berdampak baik terhadap laba yang didapat
dan menginginkan buruh yang dipekerjaan oleh kapitalis lain diberi upah setinggi mungkin,
dengan kata lain setiap kapitalis ingin mencapai posisi yang tidak bisa digeser oleh siapapun
(Elster, 2000, p. 52).

Jadi, dalam masyarakat terdapat dua kelas yang saling membutuhkan dan saling
bergantung, yaitu kelas buruh dan kelas pemilik. Kelas buruh hanya dapat bekerja jika kaum
pemilik ada yang membuka lapangan pekerjaan. Dan para pemilik atau majikan hanya akan
mendapat keuntungan jika para buruh bekerja di tempatnya karena mereka beruntung memiliki
alat-alat produksi.
Akan tetapi, saling ketergantungan ini tidak seimbang dan tidak terlalu adil khususnya
bagi kelas buruh karena kelas buruh tidak dapat hidup jika pemilik modal tidak memberikan
lapangan pekerjaan, kaum buruh sepenuhnya bergantung terhadap upah yang diberikan oleh
tuannya, hal ini dikarenakan dari upah inilah kaum buruh bertahan hidup, tetapi pemilik modal
masih bisa hidup dari modal dan keuntungan selama pabriknya berjalan dan ia pun masih bisa
menjual pabriknya kepada orang lain.

Hubungan antar dua kelas ini merupakan hubungan kekuasaan; yang satu berkuasa atas
yang lain. Kekuasaan itu-yang pada hakikatna berdasarkan kemampuan majikan untuk
meniadakan kesempatan buruh untuk bekerja dan memperoleh nafkah-dipakai untuk menindas
keinginan kaum buruh untuk menguasai pekerjaan mereka sendiri, unutuk tidak diisap, agar
kaum buruh bekerja seluruhnya demi mereka(kaum majikan). Karena itu, kelas secara hakiki
merupakan kelas penindas. Pekerjaan upah, jadi pekerjaan dimana seseorang menjual tenaga
kerjanya demi memperoleh upah, merupakan pekerjaan kaum tertindas: harapan dan hak mereka
dirampas. (Magnis-Suseno, 2019)

Dengan adanya anggapan seperti itu maka bisa dikatakan bahwa kelas pemilik adalah
kelas yang kuat dan kelas buruh adalah kelas yang lemah. Keuntungan yang diperoleh kelas atas
dari kedudukan itu adalah mereka tidak perlu bekerja sendiri, karena dapat hidup dari
keuntungan yang didapat dari para buruh yang bekerja. Hubungan antara kelas atas dan kelas
bawah adalah suatu hubungan kekuasaan, di mana kelas buruh dituntut tetap bekerja untuk
kepentingan para majikan dengan cara menggunakan tenaga buruh. Oleh karena itu, bisa
dikatakan bahwa kelas atas adalah kelas penindas bagi kelas bawah.

Elster beranggapan bahwa setiap kelas harus memiliki kepentingan supaya tidak ditindas
atau didominasi, dan kepentingan tersebut hanya bisa diwujudkan melalui tindakan kolektif.
Tindakan kolektif ialah sikap yang diambil setiap kelas atas keputusan bersama untuk
menghadapi kelas yang berlawanan. (Elster, 2000, p. 168)

Dari uraian di atas ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam teori kelas, yaitu:

(1) Besarnya peran struktural ketimbang kesadaran dan moralitas. Implikasinya bukan
perubahan sikap yang mengakhiri konflik, tetapi perubahan struktur ekonomi.
(2) Adanya pertentangan kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh. Implikasinya
mereka mengambil sikap dasar yang berbeda dalam perubahan sosial. Kelas buruh
cenderung progresif dan revolusioner. Sementara kelas pemilik modal cenderung
bersikap mepertahankan status quo menentang segala bentuk perubahan dalam
struktur kekuasaan.
(3) Setiap kemajuan dalam masyarakat hanya akan dapat dicapai melalui gerakan
revolusioner. Pemikiran Karl Marx seperti itu semua bermuara pada tujuan akhir
yang dicita-citakannya, yakni “masyarakat tanpa kelas” (Wirawan, 2015, p. 10)

Anda mungkin juga menyukai