Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan
sosial. Sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk menaruh minat terhadap masalah
manusia dan kemanusiaan juga menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung
sepanjang hari dan sepanjang zaman.
Karya sastra merupakan luapan spontan dari perasaan yang kuat, cermin emosi yang
dikumpulkan dalam keheningan mendalam, yang kemudian direduksi dalam penciptaan melalui
pemikiran. Dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai macam permasalahan sosial yang
biasanny memberikan pengaruh dan tercermin didalam karya sastra. Permasalahan sosial
dipengaruhi oleh adanya ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan. Sebagai anggota
masyarakat, pengarang dengan sendirinya lebih berhasil untuk melukiskan msyarakat ditempat ia
tinggal, lingkungan hidup yang benar-benar dialaminya secara nyata.
sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra
sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang
masih mempertimbangkan karya sastra dan segisegi sosial. Sosiologi sastra memiliki
perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang menggunakan teori
strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya
sastra harus difungsikan sama dengan aspekaspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus
dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Budi darma mengangkat cerpen berjudul Tangan-tangan Buntung yang memiliki banyak
hubungan dengan sosiologi sastra dan  menceritakan kehidupan sebagai pemimpin yang
sebenarnya. Lalu lewat pemimpin baru yang bernama Nirdawat menjelaskan untuk mengubah
undang-undang dasar dan peraturan Negaranya agar menjadi lebih baik. Dalam cerpen ini
terdapat sindiran politik yang menggambarkan pemimpin yang tidak layak menduduki
jabatannya

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam

penelitian. Bagaimana analisis sosiologi sastra dalam cerpen “Tangan-Tangan Buntung” karya

Budi Darma ?
1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan pengamatannya adalah

mendeskripsikan analisis sosiologi sastra dalam cerpen “Tangan-Tangan Buntung” karya Budi

Darma.
BAB II
Landasan Teori

2.1 Pengertian Sosiologi Sastra

Bertolak pada pemikiran Damono (2002: 8-9) secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi
adalah studi objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tetang lembaga dan
proses sosial. Sosiologi dan sastra adalah wahana pemahaman manusia. Antara sosiologi dan
sastra, ada kesamaan pandang terhadap fakta kemanusiaan. Sosiologi mencoba mempelajari
lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lain-lain yang
kesemuanya itu merupakan struktur sosial kita untuk mendapatkan gambaran tentang cara-cara
manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses
pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing. Sastra pun
akan membidik hal ihwal yang jarang atau mungkin tidak terpahami oleh sosiolog. Sastra
menawarkan kehidupan unik manusia yang bersifat imajinatif.

Dunia kajian sastra sangat kaya raya dengan berbagai jenis teori mengenai cara pelaksanaannya,
dari teori seperti strukturalisme dan formalisme yang hanya memandang karya sastra sendiri
hingga teori seperti intertekstualisme dan resepsi sastra yang tidak terlepas dari unsur-unsur di
luar karya sastra.Teori sosiologi sastra termasuk di kategori kedua. Biarpun belum lama resmi
menjadi teori telaahan sastra, sosiologi sastra sudah banyak berkembang.

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani)
yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan,
perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan,
memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut,
keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat
sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.

Endraswara dalam tulisannya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa


sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering
mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan
imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003: 79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pengertian
bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat,
studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi
berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara
kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.

2.2 Teori Sosiologi Sastra


Selain teori patronase Diana Laurenson, Raymond William (1967) juga memunculkan teori
hegemoni untuk melihat hubungan antara sastra dengan politik. Menurut Raymon William,
masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Ia
membagi kebudayaan pada tiga bagian yaitu kebudayaan residual (pengalaman, makna-makna,
dan nilai-nilai yang terbentuk pada masa lalu), kebudayaan dominan (yang dominan
dipraktikkan saat ini), dan kebudayaan yang bangkit (alternatif dan bertentangan dari
kebudayaan yang dominan).
Adapun teori sastra kontekstual yang diutarakan oleh Ariel Heryanto mengungkapkan bahwa
sastra sebagai seni yang lahir dari sosial. Salah seorang penganut sastra kontekstual di
Indonesia adalah Rendra yang dalam sebagian puisinya ia menggeluti persoalan politik.
Dalam kaitannya dengan sosiologi sastra, Wellek dan Warren (1994) mengemukakan tiga
paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, sosiologi pengarang. Inti dari analisis
sosiologi pengarang ini adalah memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah
menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci
utama dalam memahami relasi sosial karya sastra dengan masyarakat. Kedua, sosiologi karya
sastra. Analisis sosiologi ini berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial
dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungannya
dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Ketiga, sosiologi pembaca. Kajian pada sosiologi
pembaca ini mengarah pada dua hal yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang
memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial yang diciptakan karya sastra.

Sementara itu, Ian Watt (1964) menyebutkan tiga paradigma dalam sosiologi sastra. Pertama,
konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan analisis posisi pengarang dalam suatu
masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Adapun analisis sosial pengarang ini meliputi mata
pencaharian pengarang, profesionalisme pengarang, dan masyarakat yang dituju oleh
pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana
sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Sastra sebagai cermin masyarakat
berarti sastra yang merefleksikan masyarakat atau merepresentasikan semangat zamannya.
Ketiga, fungsi sosial sastra. Hal ini berkaitan dengan fungsi sastra yang mampu
mengajarkan nilai sosial yang baru pada masyarakat sehingga sastra memiliki fungsi sosial
yaitu berperan serta dalam proses terjadinya perubahan sosial.
2.3 Analisis Cerpen Tangan-Tangan Buntung Karya Budi Utami
Analisis cerpen tangan-tangan bunting karya budi utami dengan pendekatan sosiologi:

Sosiologi Pengarang
Budi Darma lahir di (lahir di Rembang, 25 April 1937; umur 81 tahun) adalah guru besar di
FPBS Universitas Negeri Surabaya (dulu IKIP Surabaya). Dia merupakan putra keempat dari
enam bersaudara yang semuanya laki-laki. Ayahnya merupakan pegawai kantor pos, yang oleh
karena penugasan, tempat tugas sang ayah selalu berpindah-pindah dari kota yang satu ke kota
yang lainnya. Dengan demikian, seluruh keluarga turut berpindah.
Dia menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra UGM (1963) dan saat itu
pula menerima Bintang Bakti Wisuda, pernah mendalami pengetahuan di Universitas Hawaii,
Honolulu, AS (1970-1971), kemudian meraih MA dari Universitas Indiana, Bloomington, AS
(1976), dan meraih Ph.D. dari universitas yang sama (1980). Jabatan Visiting Research
Associate pernah diembannya di Universitas Indiana. Nama Budi Darma sempat pula diabadikan
dalam Who's Who in The World, dan Ensiklopedi Pengarang Indonesia.
Budi utami baru benear-benar menulis sejak tahun 1968. Tulisan-tulisannya berupa cerpen,
novel, esai, atau makalah-makalah untuk berbagai pertemuan. Selain antologi cerpen Kritikus
Adinan, hingga kini sedikitnya delapan bukunya telah terbit, yakni meliputi tiga buah novel;
Olenka(1983), Raflus (1998), dan Ny.Talis (1996); satu esai: Solikui(1983), Sejumlah Esai
Sastra(1984), dan Harmonuium(1995) serta satu karya terjemahan.
Novel Budi Darma yang pertama adalah Olenka, novel yang telah banyak mendapat perhatian
dan telah mengantarkannya ke berbagai upacara pemberian hadiah. Rafilus adalah novel
keduanya. Novel ini mulai ditulisnya ketika dia mendapat undangan untuk mengunjungi Inggris
pada tahun 1985. Meskipun peristiwa-peristiwa dalam Rafilus terjadi di Surabaya, dia berhasil
mengungkapkan segi-segi gelap kehidupan manusia pada umumnya. Dia lebih banyak
mengamati masalah manusia sebagai gejala umum, bukan semata sebagai produk gejala sosial.
Kumpulan cerita Orang-Orang Bloomington ditulis pada saat dia berada di Bloomingtoon,
Amerika Serikat. Dalam bukunya, Modern Indonesian Literature jilid ke-2, Prof.Dr.A.
Teeuw mengupas karya-karya Budi Darma dalam bab tersendiri. Sebuah cerpen Budi Darma
yang dimuat dalam majalah Horison, Sang Anak oleh Satyagaraha Hoerip dimasukkan ke dalam
antologi Cerita Pendek Indonesia jilid ke-3, diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. 
Sosiologi Sastra
Budi Darma dalam cerpen Tangan-Tangan Buntung ini berbicara tentang kehidupan sosial
disana, dan juga menceritakan konteks negara pada cerpen tersebut pernah menjadi sebuah
kerajaaan dan kemudian berubah menjadi negara tetapi masih dipimpin oleh presiden yang
otoriter dan sistem pemerintahannya juga masih otoriter. Cerpen ini dikisahkan oleh Nirdawat
yang dipaksa oleh ribuan rakyatnya sebagai presiden baru terdapat pada  kutipan.
“Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri
maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru.
Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu
udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat
mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk
kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.”
Nirdawat disini digambarkan lelaki dengan jiwa pemimpin yang baik dengan kepribadian yang
sederhana. Hal ini dapat dilihat dari gambar sosok yang ditulis pengarang pada cerpen Tangan-
Tangan Buntung.
“Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat
berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan
sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan
alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan
diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi
sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak
pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk
menemui Presiden Nirdawat.”

Konteks peristiwa setelah era kerajaan juga dijelaskan pada cerpen ini yang terdapat pada
kutipan.
“Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan
kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik.
Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik
karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.

Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol
menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol
beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan
kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun
dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama
presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.”

Tapi bagaimana keadaan Indonesia sekarang setelah berlangsungnya pada masa


Demokratik ? Keadaan sedikit berubah dibandingkan pada zaman kerajaan. negara yang
dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden,
kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa
undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka
dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas
mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden.”
Pada cerpen ini menjelaskan bahwa negara yang dipimpin oleh presiden Nirdawat memiliki
relasi pada negara luar. Terdapat pada kutipan.
“Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara
makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak
negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan
sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan.”

Hubungannya Nirdawat ialah dia megunjungi ke beberapa negara. Sehingga yang awalnya
belum mempunyai hubungan dengan negara luar, sekarang negara yang di bawah pimpinan
Nirdawat mampu melebarkan sayapnya.

Tokoh Nirdawat sangat berpengaruh besar karena ia mampu mengubah negaranya menjadi maju
dan membawa rakyatnya sejahtera. Selain itu Nirdawat juga merupakan orang yang tidak
mementingkan diri sendiri atau kata lain tidak egois. Selain itu, Nirdawat juga merupakan orang
yang bertanggung jawab atas kedudukannya sekarang yaitu sebagai seorang presiden.

Dalam cerpen ini menggambarkan juga masalah yang terkait pada negara dibawah pimpinan
Nirdawat. Dalam cerpen ini terdapat kutipan masalah yang terdapat pada kutipan.
“Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik
sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan
buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum
potong tangan.

Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-
kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman
potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.”

Disini letak masalah yang nyatanya kunci untuk menjadi negara yang maju adalah bebas dari
korupsi. Negara yang dikunjungi Presiden Nirdawat itu telah membuktikan bahwa dengan
memotong tangan pelaku korupsi (maknanya menghukum keras), maka korupsi akan bisa
dikurangi dan negara pun bisa beranjak menjadi negara maju..
Gambaran masyarakat yang tercermin dalam cerpen Tangan-Tangan Buntung
Disini isteri Nirdawat yang tergambar dari cerpen tersebut adalah ramah, setia, dan lemah
lembut. Karena di cerpen tersebut isteri dari Nirdawat sangat setia mendampingi dan melayani
Nirdawat, dan juga isteri Nirdawat dengan lemah lembut mengecup Nirdawat.
Pengarang menggambarkan isteri Nirdawat sangat setia menampingi dan melayani terdapat pada
kutipan.
“Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke
kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan
lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu
melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat
tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.

Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan
di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan
berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi
teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.”

            Karena Nirdawat yang sekarang menjadi pemimpin negara, wajar jika isterinya sangat
setia mendampinginya dan melayani nirdawat yang selalu kelelahan ketika pulang ke tempat
kediamannya.

Menggambarkan masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat


            Pada kutipan cerpen Tangan-Tangan Buntung yang menunjukkan kebiasaan untuk
menamakan nama negaranya dengan nama rajanya menunjukkan kebiasaan orang–orang zaman
dahulu. Terdapat pada kutipan .
“Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak
lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini
masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk
menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan
sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan
dengan wajah rajanya.”

            Terlihat juga semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-
undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya
bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat
sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan
dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.

Sosiologi Sastra
Fungsi sosial dalam cerpen Los Pasar
            Fungsi sosial dalam hal ini berkaitan dengan nilai moral. Moral adalah ajaran yang
bertalian dengan perbuatan dan kelakuan yang pada hakikatnya merupakan pencerminan akhlak
atau budi pekerti. Tujuannya untuk memelihara keselarasan kehidupan dalam masyarakat.
Keselarahan tersebut menjamin ketenangan batin dan dapat dirasakan sebagai nilai suasana ideal
masyarakat. Biasanya sikap yang baik sebagai ekspresi akhlak yang baik, tercermin dalam setiap
tingkah laku yang baik pula. Dan nilai moral ini menyangkut masalah kesusilaan, budi pekerti
yang erat kaitannya dalam interaksi sesama manusia dengan makhluk lain ciptaan Tuhan.
Nilai moral yang terdapat pada cerpen Tangan-Tangan Buntung berupa kerendahan hati, sabar,
pekerja keras, dan tidak egois terdapat pada tokoh si Nirdawat pada kutipan.
“Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat
berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan
sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan
alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan
diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi
sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak
pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk
menemui Presiden Nirdawat.”

Pengarang cerpen “Tangan-Tangan Buntung” bermaksud untuk memberikan pesan bahwa siapa
pun yang menjadi pemimpin negeri  ini khususnya bangsa Indonesia tidak akan bisa membawa
rakyatnya sejahtera dan negaranya maju tanpa ada penegakan hukum yang tegas terhadap para
koruptor. Kisah negara dengan para pejabat negaranya yang bertangan buntung ingin
memberikan kesan bahwa siapa pun yang melakukan korupsi harus dihukum dengan berat.
Hanya dengan cara itu, sebuah negara akan bisa menjadi negara yang maju. Karena, salah satu
hambatan pembangunan ekonomi sebuah negara, adalah perilaku korupsi para pejabat
negaranya.
BAB III
Simpulan

Tangan-Tangan Buntung karya Budi Darma berbicara tentang kehidupan sosial, sindiran politik,
kehidupan setelah era kerajaan. Kemudian diceritakan latar belakang negara tersebut, betapa
negara ini pernah menjadi sebuah kerajaaan dan kemudian berubah menjadi negara tetapi masih
dipimpin oleh presiden yang otoriter dan sistem pemerintahannya juga masih  otoriter. Setelah
menceritakan sejarah negara tersebut, alurnya maju lagi dengan menceritakan kepemimpinan
Presiden Nirdawat hingga dia studi banding ke sebuah negara yang pejabat pemerintahannya
banyak yang bertangan buntung.

Terdapat juga gambaran adat istiadat di cerpen tersebut. Pada zaman era kerajaan rakyatnya
menunjukkan kebiasaan untuk menamakan nama negaranya dengan nama rajanya menunjukkan
kebiasaan orang–orang zaman dahulu. Semenjak Dobol menjadi presiden,pun kebiasaan itu tetap
berjalan, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak
mau, harus menampilkan wajah presiden.

Fungsi sosial yang berkaitan dengan nilai moral juga terdapat pada cerpen Tangan-Tangan
Buntung karya Budi Darma. Memberi gambaran dari Nirdawat. Nilai moral yang terdapat pada
cerpen Tangan-Tangan Buntung pada tokoh Nirdawat berupa kerendahan hati, sabar, pekerja
keras, dan tidak egois
            
Daftar Pustaka

Escarpit, Robert. 2009. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta Depdiknas.

https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/29/tangan-tangan-buntung/ (Diakses 15 April


2019)
Lampiran

Tangan-tangan Buntung
Cerpen Budi Darma
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri maupun di
luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat
tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit
kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan
berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat
bersedia menjadi presiden.

Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat
mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-
teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan nada penuh
semangat, namun sangat syahdu.

Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera


menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar.

Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin
yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa
Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat
(bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari
nama presidennya).

Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat berkata
kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa
jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun.
Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan
sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan pekerja keras
serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke
Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja
sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua
kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara
mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan
balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan balasan,
masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-
kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua
negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.

\
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat
untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir
semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-
tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda menyuarakan hati
nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat
benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing
itu. Desakan demi desakan terus berlangsung.

Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur,
dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya
memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam
Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan
lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.

”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di
kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang
mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman,
keinginan itu merupakan cita-cita mulia.”

”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-
temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di dinding.

Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak
negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah
sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik
Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain,
yaitu Republik Demokratik Jiglong.

Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya.
Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada
bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan
wajah tolol Jiglong.

Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak lain,
jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih
kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara
itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah wajah raja,
dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya.

Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja
terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara
tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak menjadi
presiden asalkan memenuhi syarat.

Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi
presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa
undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam
undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-
kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak
mau, harus menampilkan wajah presiden.

Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya undang-
undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang
dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu
dicantumkan.

Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan
presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden
sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas
dalam otak Dobol.

Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar
masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan
tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang
memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga
negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik demokratik ini.

Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai
akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor
ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.

Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-undang dasar
negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik
demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden
bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga
negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden.

Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan
karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan
dengan penuh semangat.

Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai
melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi
membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi
membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi,
Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Maka, diam-
diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa perempuan, tapi
ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.

Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa
pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu
Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang
memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan
radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti dengan
Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat.

”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata
isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula.

Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara
diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik
Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus
diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan
butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode, masing-masing periode
lima tahun.

Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu
nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul.
Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji.
Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik Demokratik
Nusantara.

Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri.

Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika Latin, dalam
pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan.

”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi
pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan
ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba
sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.”

”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak.

Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana pun
datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat,
perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas
menjadi pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin
melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu
sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir
tanpa boleh diwakilkan.

Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik Demokratik
Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat,
setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali
memuji keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara
itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi
ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum
memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.

Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-kagum:
ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan,
mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.

Anda mungkin juga menyukai