Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kesantunan berbahasa pada hakikatnya adalah etika dalam bersosialisasi dalam masyarakat
dengan menggunakan pemilihan kata yang baik, serta memperhatikan di mana, kapan, kepada
siapa, dan untuk tujuan apa kita berbicara. Hal itu selaras dengan budaya kita bahwa berbicara
dengan menggunakan bahasa yang santun akan memperlihatkan sejatinya kita sebagai manusia
yang beretika, berpendidikan, dan berbudaya.

Prinsip kesantunan dalam bahasa Indonesia telah mewarnai aktivitas berbahasa manusia, baik
dalam bahasa lisan maupun tulisan. Pada penggunaan bahasa secara langsung atau lisan akan
terjadi sebuah tuturan antar individu atau kelompok. Tuturan tersebut mengakibatkan adanya
peristiwa tutur. Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam
satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan
satu pokok tuturan didalam waktu, dan situasi tertentu.

Tuturan dalam bahasa Indonesia secara umum dianggap suatu bentuk penyimpangan (deviasi)
jika penutur melakukan pelanggaran kesantunan berbahasa. Misalnya berupa berbicara kasar,
berbicara saja tanpa tindakan, berbicara bohong, berbicara dengan keras, tidak memberi
kesempatan orang lain untuk berbicara tidak jelas, menyakitkan, menyinggung perasaan,
merendahkan orang lain, dan tidak transparan. Leech dalam Rahardi (2008:59) mengajukan
prinsip kesantunan yang direalisasikan dengan maksim-maksim berikut: (1) maksim
kebijaksanaan (tact maxim), (2) maksim kedermawaan (generosity maxim), (3) maksim
penghargaan (approbation maxim), (4) maksim kesederhanaan (modesty maxim), (5) maksim
kesepakatan (agreement maxim), dan (6) maksim kesimpatisan (sympathy maxim).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan dalam tinjauan ini

adalah sebagai berikut.

1.2.1 Apa pengertian kesantunan?

1.2.2 Apa saja prinsip sopan santun?

1.2.3 Apa saja skala kesantunan?

1.2.4 Apa penyebab tidak terjadinya sopan santun?


1.3 Tujuan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Mengetahui pengertian kesantunan.

1.3.2 Mengetahui prinsip sopan santun.

1.3.3 Mengetahui skala kesantunan.

1.3.4 Mengetahui penyebab tidak terjadinya sopan santun?


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kesantunan

Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan
disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi
prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut
“tatakrama”.

Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam
pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan
santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri
seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di
masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan
santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika
(mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama

Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau
dalam situasi tertentu.misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang
kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre),
makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Masing-masing situasi dan keadaan tersebut
memerlukan tatacara yang berbeda.

2.2 Prinsip Sopan Santun

Sebelumnya prinsip kerja sama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan
sehingga tuturan dapat memberikan sumbangan kepada tercapainya tujuan percakapan, prinsip
sopan santun menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan dalam percakapan. Hanya
dengan hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa keberlangsungan percakan
akan dipertahankan (Leech, 1983:82)

Kehadiran prinsip sopan santun ini diperlukan untuk menjelaskan dua hal berikut: (1) mengapa
orang sering menggunakan cara yang tidak langsung (indirect speech acts) untuk menyampaikan
pesan yang mereka maksudkan, dan (2) hubungan antara arti (dalam semantik konvensional)
dengan maksud atau bukan pernyataan (non-declarative). Oleh karena itu, prinsip sopan santun
tidak dapat dianggap hanya sebagai prinsip yang sekadar pelengkap, tetapi lebih dari itu, prinsip
sopan santun merupakan prinsip percakapan yang memiliki kedudukan yang sama dengan
prinsip percakapan yang lain.
Dalam uraiannya tentang prinsip sopan santun, Leech (1983:131-138) mengemukakan bahwa
prinsip sopan santun dapat dirumuskan ke dalam enam butir maksim sebagai berikut.

(1) Maksim Kearifan (Tact Maxim). (dalam ilokusi-ilokusi impositif dan komisif). Maksim
ini mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) buatlah kerugian orang lain sekecil
mungkin; [(b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.]
Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para
peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi
keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan
bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan
dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa
semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk
bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara
tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara
langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut
ini.
Tuan rumah              :  “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.”
Tamu                           :  “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Di dalam tuturan tersebut, tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan
Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan sang Tamu.
(2) Maksim kedermawanan (Generosity Maxim) (dalam ilokusi impositif dan komisif).
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut: (a) buatlah keuntungan diri sendiri
sekecil mungkin; [(b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.]
Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi
apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada
contoh tuturan berikut ini.
Anak kos A              : “Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok
yang
kotor”
Anak kos B              : “Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.”
Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa Anak kos A berusaha
memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya
sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian
kotornya si B
(3) Maksim Pujian (approbation Maxim) (dalam ilokusi ekspresif dan asertif) Maksim ini
mengandung prinsip sebagai berikut: (a) kecamlah orang lain sebesar mungkin; [(b)
pujilah orang lain sebanyak mungkin.]
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun
apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain.
Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek,
saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek
peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak
sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak
menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh
tuturan berikut ini.
Dosen A            : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business
English.”
Dosen B            : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu bagus sekali.”
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekan dosennya pada contoh di atas
ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari dosen B.
(4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim) (dalam ilokusi ekspresif dan asertif).
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut: (a) pujilah diri sendiri sedikit mungkin;
[(b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.]
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan
dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.
Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu
memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau
maksim kerendahan hati dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Ibu A           : “Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya.”
Ibu B            : ” Waduh..nanti grogi aku.”
Dalam contoh di atas ibu B tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu
kelebihan saya.” Ibu B mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatkan: ”
Waduh..nanti grogi aku.”
(5) Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim) (dalam ilokusi asertif). Maksim ini
mengandung prinsip sebagai berikut: (a) usahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri
dan orang lain terjadi sesedikit mungkin; [(b) usahakan agar kesepakatan antara diri
sendiri dengan orang lain terjadi sebanyak mungkin.]
Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan
atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau
kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing
dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. Pelaksanaan maksim
pemufakatan/Kecocokan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Guru A               : “Ruangannya gelap ya, Bu.”
Guru B               : “He’eh. Saklarnya mana ya?”
Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa
ruangan tersebut gelap. Guru B mengiyakan pernyataan Guru A bahwa ruangan gelap
dan kemudian mencari saklar yang member makna perlu menyalakan lampu agar ruangan
menjadi terang.
(6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim) (dalam ilokusi asertif). Maksim ini mengandung
prinsip sebagai berikut: (a) kurangilah rasa antisipati antara diri sendiri dengan orang lain
hingga sekecil mungkin; [(b) tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri
sendiri dan orang lain.]
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim
kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati
antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan
atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat
kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa
sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap
tindakan tidak santun. Pelaksanaan maksim kesimpatian dapat dilihat pada contoh tuturan
berikut ini.
Mahasiswa A  : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.”
Mahasiswa B   : “Wah, selamat ya. Semoga sukses.”

Jika dicermati lebih lanjut, keenam maksim prinsip sopan santun tersebut dapat dipasangkan
berdasarkan skala-skala pragmatik. Sedangkan maksim kelima dan keenam berdiri sendiri
dengan menggunakan skala kesepakatan dan skala simpati.

(a) Maksim Kearifan dan Maksim Kedermawanan

Maksim kearifan dan maksim kedermawanan berada dalam satu kelompok pasangan, yakni
sama-sama menggunakan skala untung-rugi sebagai dasar acuannya. Meskipun demikian,
keduanya berada pada kutub acuan yang berbeda. Maksim kearifan mengacu pada diri penutur.

Maksim kearifan berbunyi “buatlah kerugian mitra tutur sekecil mungkin; buatlah keuntungan
mitra tutur sebesar mungkin”. Hal ini berarti bahwa dalam berkomunikasi penutur hendaknya
berusaha mengurangi ungkapan-ungkapan dan pernyataan-pernyataan dan menyiratkan hal-hal
yang merugikan mitra tutur dan sebaliknya berusaha mengemukakan ungkapan dan pernyataan
yang menguntungkan mitra tutur. Dalam kaitannya dengan ini Leech (1983:107-110)
mengemukakan bahwa ilokusi tindak langsung cenderung lebih sopan daripada ilokusi yang
lebih bersifat langsung. Hal ini didasari dua alasan sebagai berikut: (1) ilokusi tidak langsung
menambah derajad kemanasukaan dan (2) ilokusi tidak langsung memiliki daya derajat yang
semakin kecil dan semakin tentative. Contoh (1) sampai dengan (5) berikut menunjukkan
kecenderungan-kecenderungan tersebut.

(1) Angkatlah telepon itu.


(2) Saya ingin anda mengangkat telepon itu.
(3) Maukah anda mengangkat telepon itu ?
(4) Dapatkah anda mengangkat telepon itu ?
(5) Apakah anda keberatan mengangkat telepon itu?

Contoh-contoh tersebut memperlihatkan bahwa semakin tidak langsung ilokusi disampaikan


semakin tinggi derajad kesopanan yang tercipta, demikian pula yang terjadi sebaliknya.

Sementara itu, amksim kedermawanan berbunyi “buatlah keuntungan diri sendiri sekecil
mungkin ; buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin’. Meskipun maksim kedermawanan ini
menggunakan skala pragmatik yang sama dengan maksim kedermawanan, yakni skala untung-
rugi, karena maksim kedermawanan ini mengacu pada diri penutur, maksim ini menuntut adanya
unsure kerugian pada diri penutur. Hal inilah yang menyebabkan maksim kedermawanan
berbeda dengan maksim kearifan, sebab dalam maksim kearifan tidak tersirat adanya unsure
kerugian pada diri penutur. Untuk menjelaskan maksim ini, Leech (1983: 133-134) menyajikan
contoh seperti pada kalimat-kalimat berikut.

(1) Kamu dapat meminjamkan mobilmu kepada saya.


(2) Aku dapat meminjamkan mobilku kepadamu.
(3) Kamu harus datang dan makan malam di rumah kami.
(4) Kamu harus datang dan makan malam di rumahmu.

Kalimat (2) dan kalimat (3) dianggap sopan karena dua hal tersebut menyiratkan keuntungan
bagi mitra tutur dan kerugian bagi penutur, sedangkan kalimat (1) dan kalimat (4) sebalinya.
Dengan demikian, analisis terhadap keempat kalimat tersebut tidak cukup hanya dijelaskan
dengan maksim kearifan, sebab dengan maksim kearifan tidak tersirat adanya unsure kerugian
pada diri penutur, seperti pada contoh berikut.

“Kamu dapat mengambil brosur itu dengan cuma-cuma di kampus”

Nasihat ini memberikan keuntungan bagi mitra tutur tetapi tidak memberikan kerugian pada
penutur.

(b) Maksim Pujian

Maksim pujian berada dalam satu kelompok pasangan yang sama dengan maksim kerendahan
hati, yakni sama-sama menggunakan skala pujian-kecaman sebagai dasar acuannya. Meskipun
demikian, sama dengan maksim kearifan dan maksim kedermawanan, kedua maksim ini juga
berbeda dari segi sasaran yang diacu. Maksim pujian mengacu pada mitra tutur, sementara
maksim kerendahan hati mengacu pada diri penutur.

Maksim pujian berbunyi “kecamlah mitra tutur sesedikit mungkin; pujilah mitra tutur sebanyak
mungkin’. Hal ini berarti bahwa penutur sebanyaiknya tidak mengatakan hal-hal yang tidak
menyenangkan tentang orang lain terutama tentang mitra tutur kepada mitra tutur. Berikut ini
dikemukakan contoh-contoh untuk memperjelas uraian tentang maksim pujian ini.

(1) Masakanmu enak sekali.


(2) Penampilannya bagus sekali.
(3) Masakanmu sama sekali tidak enak.

Contoh (1) merupakan wujud penerapan maksim pujian tentang mitra tutur, sedangkan contoh
(2) merupakan wujud penerapan maksim pujian untuk orang lain. Contoh (3) merupakan contoh
ilokusi yang melanggar maksim pujian.
Sementara itu, maksim kerendahan hati berbunyi “pujilah diri sendiri sesedikit mungkin;
kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin”. Hal ini berarti bahwa memuji diri sendiri merupakan
pelanggaran terhadap prinsip sopan santun dan sebaliknya megecam diri sendiri merupakan
suatu tindakan yang sopan santun dalam percakapan. Lebih dari itu, sependapat dan mengiyakan
pujian orang lain terhadap diri sendiri juga merupakan pelanggaran terhadap maksim kerendahan
hati ini. Berikut contohnya.

(1) Bodoh sekali saya.


(2) Pandai sekali saya.
(3) Bodoh sekali anda.
(4) Pandai sekali anda.
(5) Terimalah hadiah yang kecil ini sebagai tanda penghargaan kami.
(6) Terimalah hadiah yang besar ini sebagai tanda penghargaan kami.
(7) A. Mereka baik sekali kepada kita. B: Ya betul.
(8) A. Anda baik sekali terhadap saya. B: Ya betul.

Contoh (1) memperlihatkan bahwa mengecam diri sendiri merupakan tindakan yang sopan,
sebaliknya memuji diri sendiri pada contoh (2) merupakan pelanggaran terhadap maksim
kerendahan hati. Demikian juga sebaliknya contoh (3) dan (4). Sementara itu, mengecilkan arti
kebaikan hati diri sendiri seperti pada contoh (5) merupakan tindakan yang sopan; sebaliknya
membesar-besarkan kebaikan hati diri sendiri seperti pada contoh (6) merupakan pelanggaran
terhadap maksim kerendahan hati. Demikian juga yang terjadi pada contoh (7) dan (8).
Menyetuji pujian terhadap orang lain merupakan tindakan yang sopan, pujian terhadap orang lain
merupakan tindakan yang sopan, sebaliknya sependapat dengan pujian yang ditujukan kepada
diri sendiri merupakan pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati.

(c) Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)

Maksim ini berdiri sendiri dan menggunakan skala kesepakatan sebegai dasar acuannya. Hal ini
juga disebabkan oleh adanya acuan ganda yang menjadi sarana maksim kesepakatan ini. Jika
maksim kearifan dan maksim pujian mengacu kepada mitra tutur dan maksim kedermawanan
dan maksim kerendahan hati mengacu kepada penurut, maksim kesepakatan mengacu kepada
dua pemeran sekaligus, yaitu mitra tutur dan penutur.

Maksim kesepakatan berbunyi “usahakan agar ketidaksepakatan antara diri sendiri dan orang
lain terjadi sesedikit mungkin; usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain
terjadi sebanyak mungkin”. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah percakapan sedapat mungkin
penutur dan mitra tutur menunjukkan kesepakatan tentang topik yang dibicarakan. Jika itu tidak
mungkin, penutur hendaknya berusaha kompromi dengan melakukan ketidaksepakatan sebagian,
sebab bagaimanapun ketidaksepakatan sebagian, sebab bagaimanapun ketidaksepakatan sebagian
sering lebih disukai daripada ketidaksepakatan sepenuhnya. Berikut contohnya.
(1) A: Pestanya meriah sekali, bukan ?
B :Tidak, pestanya sama sekali tidak meriah.
(2) A : Semua orang menginginkan keterbukaan.
B : Ya pasti.
(3) A : Bahasa Indonesia sangat mudah dipelajari.
B : Betul, tetapi tata bahasanya cukup sulit

Contoh (1) memperlihatkan ketidaksepakatan antara penutur dan mitra tutur, dan karenanya
melanggar maksim kesepakatan. Contoh (2) merupakan contoh percakapan yang menunjukkan
penerapan maksim kesepakatan. Sementara itu, contoh (3) merupakan percakapan yang
memperlihatkan adanya ketidaksepakatan sebagian.

(d) Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

Sama halnya dengan maksim kesepakatan, maksim simpati juga merupakan maksim yang tidak
berpasangan dengan maksim lain. Maksim ini berdiri sendiri dan menggunakan skala simpati
sebagai dasar acuannya. Maksim simpati juga berbeda dari keempat prinsip sopan santun yang
pertama dari segi sasaran acuan maksim tersebut, yakni mangacu kepada dua pemeran sekaligus,
mitra tutur dan diri penutur.

Maksim simpati berbunyi “Kurangilah rasa antipasti antara diri sendiri dan orang lain sebanyak
mungkin “. Hal ini berarti bahwa semua tindak tutur yang mengungkapka rasa simpati kepada
orang lain merupakan sesuatu yang berarti untuk mengembangkan percakapan yang memenuhi
prinsip sopan santun. Tindak tutur yang mengungkapkan rasa simpati tersebut misalnya ucapan
selamat, ucapan bela sungkawa, dan ucapan lain yang menunjukkan penghargaan terhadap orang
lain.

2.3 Skala Kesantunan

Sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai dengan saat
ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penilitian kesantunan. Ketiga macam skala itu
sebagai berikut.

(A) Skala Kesantunan Leech

Di dalam model kesantuna Leech (1983), setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan
untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang
disampaikan Leech itu selengkapnya, antara lain :

(1) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya
kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan.
Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap
tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur
dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur
akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

(2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang
disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin tuturan itu
memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan
dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak
memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan
dianggap tidak santun.

(3) Indirectness scale atau skala ketidaklansungan menunjuk kepada peringkat langsung atau
tidak lansungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap
semakin tidak santulah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud
sebuah tuturan, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu.

(4) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status social anatar
penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat social
antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun.
Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status social di antara keduanya, akan cenderung
berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

(5) Social distance scale atau skala jarak social menunjuk kepada peringkat hubungan sosial
antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa
semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah
tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan
mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat
keakraban hubungan antara penurut dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan
tuturan yang digunakan dalam bertutur.

(B) Skala Kesantunan Leech

Di dalam model kesantunan Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala penentu tinggi
rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala termaksud ditentukan secara
kontekstual, sosial, dan cultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut.

(1)  Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh parameter
perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiolkultural. Berkenaan dengan perbedaan
umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa semakin tua umur seseorang,
peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang
masih berusia muda lazimnya cenderung memiliki peringkat kesantunan yang rendah di dalam
kegiatan bertutur.

(2)  Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau seringkali disebut dengan
peringkat kekuasaan didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
Sebagai contoh, dapat disampaikan bahwa di dalam ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang
dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien.
Demikian pula di dalam kelas, seorang dosen memiliki kekuasaan lebih tinggi dibandingkan
dengan mahasiswa.

(3)  Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating didasarkan atas
kedudukan relative tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Sebagai contoh, dalam
situasi yang sangat khusus bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu
bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar
norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur itu. Namun hal demikian , hal yang sama
akan dianggap sangat wajar dalam situasi yang berbeda. Pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan
dan pembakaran gedung-gedung dan perumahan, orang berada di rumah orang lain atau rumah
tetangga bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.

(C) Skala Kesantunan Robin Lakoff

Robin Lakoff (1973) menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam
kegiatan bertutur. Ketiga ketentuan itu, antara lain :

(1)  Skala formalitas, dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan
kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak
boleh berkesan angkuh. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat
menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya antara
yang satu dengan yang lainnya.

(2)  Skala ketidaktegasan atau seringkali disebut skala pilihan menunjukkan bahwa agar penutur
dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan kerasan dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam
bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu
tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.

(3) Skala kesekawanan atau kesamaan menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, orang
haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu
dengan pihak lain. Agar tecapai maksud demikian penutur haruslah dapat menganggap mitra
tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya,
rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.
2.4 Penyebab Tidak Terjadinya Sopan Santun

Pranowo (Chaer, 2010:69) menyatakan bahwa ada beberapa faktor atau hal yang menyebabkan
sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun. Penyebab itu antara lain.

1) Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar Menurut Chaer (2010:70) kritik kepada
lawan tutur secara langsung dan dengan menggunakan kata-kata kasar akan
menyebabkan sebuah pertuturan menjadi tidak santun atau jauh dari peringkat
kesantunan. Dengan memberikan kritik secara langsung dan menggunakan kata-kata
yang kasar tersebut dapat menyinggung perasaan lawan tutur, sehingga dinilai tidak
santun.
Contoh: Pemerintah memang tidak becus mengelola uang. Mereka bisanya hanya
mengkorupsi uang rakyat saja.
Tuturan di atas jelas menyinggung perasaan lawan tutur. Kalimat di atas terasa tidak
santun karena penutur menyatakan kritik secara langsung dan menggunakan kata-kata
yang kasar.
2) Dorongan rasa emosi penutur Chaer (2010:70) mengungkapkan, kadang kala ketika
bertutur dorongan rasa emosi penutur begitu berlebihan sehingga ada kesan bahwa
penutur marah kepada lawan tuturnya. Tuturan yang diungkapkan dengan rasa emosi oleh
penuturnya akan dianggap menjadi tuturan yang tidak santun.
Contoh: Apa buktinya kalau pendapat anda benar? Jelas-jelas jawaban anda tidak masuk
akal.
Tuturan di atas terkesan dilakukan secara emosional dan kemarahan. Pada tuturan
tersebut terkesan bahwa penutur tetap berpegang teguh pada pendapatnya, dan tidak mau
menghargai pendapat orang lain.
3) Protektif terhadap pendapat Menurut Chaer (2010:71), seringkali ketika bertutur seorang
penutur bersifat protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar tuturan lawan
tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Penutur ingin memperlihatkan pada orang lain
bahwa pendapatnya benar, sedangkan pendapat mitra tutur salah. Dengan tuturan seperti
itu akan dianggap tidak santun.
Contoh: Silakan kalau tidak percaya. Semua akan terbukti kalau pendapat saya yang
paling benar. Tuturan di atas tidak santun karena penutur menyatakan dialah yang benar;
dia memproteksi kebenaran tuturannya. Kemudian menyatakan pendapat yang
dikemukakan lawan tuturnya salah.
4) Sengaja menuduh lawan tutur Chaer (2010:71) menyatakan bahwa acapkali penutur
menyampaikan tuduhan pada mitra tutur dalam tuturannya. Tuturannya menjadi tidak
santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaannya terhadap mitra tutur.
Contoh: Hasil penelitian ini sangat lengkap dan bagus. Apakah yakin tidak ada
manipulasi data?
Tuturan di atas tidak santun karena penutur menuduh lawan tutur atas dasar kecurigaan
belaka terhadap lawan tutur. Jadi, apa yang dituturkan dan juga cara menuturkannya
dirasa tidak santun.
5) Sengaja memojokkan mitra tutur Chaer (2010:72) mengungkapkan bahwa adakalanya
pertuturan menjadi tidak santun karena penutur dengan sengaja ingin memojokkan lawan
tutur dan membuat lawan tutur tidak berdaya. Dengan ini, tuturan yang disampaikan
penutur menjadikan lawan tutur tidak dapat melakukan pembelaan.
Contoh: Katanya sekolah gratis, tetapi mengapa siswa masih diminta membayar iuran
sekolah? Pada akhirnya masih banyak anak-anak yang putus sekolah. Tuturan di atas
terkesan sangat keras karena terlihat keinginan untuk memojokkan lawan tutur. Tuturan
seperti itu dinilai tidak santun, karena menunjukkan bahwa penutur berbicara kasar,
dengan nada mara, dan rasa jengkel.
Bab III

SIMPULAN

Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah
Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu
maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim
penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan
(agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini
berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other).

Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur
tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan
ucapan lawan tuturnya.

Sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai dengan saat
ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penilitian kesantunan. Ketiga macam skala itu
antara lain :

a. Skala Kesantunan Leech

b. Skala Kesantunan Brown dan Levinson

c. Skala Kesantunan Robin lakoff

Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta

Rahardi, Kunjana. 2008 . Pragmatik. Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia . Jakarta: Erlangga.

Rusminto, Nurlaksana Eko. 2009. Analisis Wacana Bahasa Indonesia: Buku Ajar. Bandar
Lampung: Universitas Lampung

Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.

Anda mungkin juga menyukai