“KESANTUNAN BERBAHASA”
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
Disusun oleh:
Dea Mila Rohmah (2601417011)
Novita Sari (2601417024)
Nur Kholishoh (2601417041)
Daffa Abdul Farras (3101418029)
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi segala nikmat dan
rahmat kepada kami sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul
“Kesantunan Berbahasa” untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Nike Widya Kusumastuti, S.s., M.a. selaku
dosen pengampu dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Harapan kami sebagai penyusun adalah semoga makalah ini dapat diterima
dengan baik oleh Dosen pengampu serta dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah yang kami buat ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Prakata.................................................................................................................ii
Daftar Isi..............................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan ...........................................................................................1
A. Latar Belakang ...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................2
C. Tujuan ............................................................................................................2
Bab II Pembahasan ..........................................................................................3
A. Pengertian Kesantunan Berbahasa..................................................................3
B. Maksim-maksim Dalam Kesantunan Berbahasa............................................3
C. Ciri-ciri Kesantunan Berbahasa .....................................................................8
Bab III Penutup ..............................................................................................10
A. Kesimpulan ..................................................................................................10
B. Kritik dan Saran ...........................................................................................10
Daftar Pustaka.................................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Tarigan (1986: 82) dan Leech (1993: 206-207) ada 6 maksim
kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim
penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim kemufakatan, dan maksim simpati.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kesantunan berbahasa ?
2. Apa saja maksim-maksim dalam kesantunan berbahasa ?
3. Bagaimana ciri kesantunan berbahasa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kesantunan berbahasa.
2. Untuk mengetahui apa saja maksim-maksim dalam kesantunan berbahasa.
3. Untuk mengetahui apa saja cirri kesantunan dalam berbahasa.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Maksim kebijaksanaan
Rahardi (2005: 60) mengungkapkan gagasan dasar dalam maksim
kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan bahwa para peserta pertututran
hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan
dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan
bertutur. Orang yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan
akan dapat dikatakan sebagai orang santun.
3
Contoh :
Tuan rumah : “silahkan makan saja dulu, nak ! Tadi kami semua sudah
pada mendahului lo. Bebas aja !”
Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Informasi Indeksal
Tuturan diatas disampaikan oleh seorang ibu kepada anak muda yang
kebetulan sedang datang bertamu di rumah sang Ibu tersebut. Ketika itu hujan
turun sangat lebat, sehingga memaksanya untuk tetap tinggal di rumah sang
Ibu tersebut sampai dengan larut malam.
Da dalam tuturan tersebut tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang
dituturkan oleh sang Ibu yang menjadi tuan rumah sungguh-sungguh telah
memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu yang berada di rumahnya.
Lazimnya, tuturan yang semacam itu dapat ditemukan di dalam keluarga-
keluarga masyarakat pedesaan di Jawa. Orang-orang desa biasanya akan
sangat menghargai tamu, baik tamu yang datang secara kebetulan maupun
tamu yang sudah direncanakan kedatangannya. Bahkan, sering kali ditemukan
pula bahwa minuman atau makanan yang disajikan oleh tuan rumah,
diupayakan sedemikian rupa sehingga sungguh-sungguh layak diterima dan
dinikmati oleh sang tamu.
2. Maksim kedermawanan
Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kedermawanan ini
adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian diri
sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005: 61) mengatakan bahwa dengan
maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain
akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri
dan memaksimalkan keuntungan pihak lain.
Contoh :
Bapak A : “Wah, oli mesin mobilku agak sedikit kurang, udah ngebul nih!”
Bapak B : “Pakai oliku juga boleh kok. Sebentar saya ambilkan dulu ya!”
4
Informasi Indeksal
Dituturkan oleh seseorang kepada tetangga dekatnya di sebuah
kompleks perumahan di wilayah Yogyakarta, keika mereka sedang bersama-
sama merawat mobilnya masing-masing di dalam garasi. Kedekatan hubungan
mereka berdua menyebabkan mereka saling memberi dan meminjamkan,
tanpa ada rasa sungkan.
Tuturan di atas jelas sekali menunjukkan bahwa di dalam praktik
bertutur yang sebenarnya, pihak yang satu harus senantiasa bermurah hati
terhadap pihak yang lain. Menawarkan bantuan, memberikan sesuatu yang
menjadi miliknya, meminjamkan barang-barangnya, kiranya dapat dianggap
sebagai pelaksanaan maksim kedermawanan ini. Orang akan dikatakan
sebagai pribadi yang sopan dan santun, justru karena dirinya bersikap
pemurah dan suka mendermakan harta miliknya kepada orang lain.
3. Maksim penghargaan
Dalam maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak
hormat kepada orang lain. Rahardi (2005: 63) menambahkan, dalam maksim
penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila
dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain.
Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling
mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
Contoh :
Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business
English.”
Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Informasi Indeksal
Tuturan tersebut disampaikan oleh seorang dosen muda kepada
temannya yang juga seorang dosen pada sebuah perguruan tinggi di
Yogyakarta. Mereka berhubungan dengan sangat akrab, dan selalu saling
membantu dalam melaksanakan tugasnya di kampus. Pemberitahuan yang
5
disampaikan oleh dosen A pada contoh diatas, ditanggapi dengan sangat baik
bahkan disertai dengan pujian-pujian atau penghargaan oleh si dosen A.
Tanggapan dari dosen B tersebut sama sekali tidak mengandung unsur yang
menyinggung atau menyakitkan hati mitra tuturnya. Dengan demikian dapat
dikatan bahwa dalam contoh tersebut dosen B telah berperilaku benar-benar
santun terhadap dosen A.
4. Maksim kesederhanaan
Rahardi (2005: 63) mengatakan bahwa di dalam maksim
kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat
bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap diriya sendiri.
Dalam masyarakat bahsa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan
kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan
seseorang.
Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain,
maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menutut setiap
peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri,
dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh :
Ibu A : “Nanti ibu yang memberikan sambutan ya dalam rapat Dasa Wisma!”
Ibu B : “Waduh,.. nanti grogi aku. Jangan aku ah!”
Informasi Indeksal
Tuturan ini disampakan oleh seorang Ibu anggota Dasa Wisma kepada
temannya sesama anggota perkumpulan tersebut, ketika mereka bersama-
sama sedang berangkat menuju tempat pertemuan untuk Ibu-ibu.
5. Maksim kemufakatan
Menurut Rahardi (2005: 64) dalam maksim ini, ditekankan agar para
peserta tutur dpat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam
kegiatan bertutur. Apabila terdapat kecocokan atau kemufakatan antara diri
penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka
akan dapat dikatakan bersikap santun.
6
Contoh :
Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun : “Boleh. Saya tunggu di Resto.”
Informasi Indeksal
Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga
mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas (Rahardi,
2005: 65). Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun mampu membina
kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara
mereka tuturan akan menjadi santun.
6. Maksim simpati
Dalam maksim ini diharapkan agar para peserta tutur dapat
memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya.
Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai
tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain,
apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain akan dianggap sebagai orang
yang tidak tahu sopan santun dalam masyarakat (Rahardi, 2005: 65).
Contoh :
Karyasiswa A : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.”
Karyasiswa B : “Wah, Proficiat ya! Kapan pesta?”
Informasi Indeksal
Tuturan di atas disampaikan seorang karyasiswa kepada karyasiswa
lainnya pada saat mereka sedang bersama-sama berada di dalam sebuah ruang
perpustakaan kampus.
Dengan menerapkan prinsip kesantunan orang tidak akan lagi
mrnggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga
komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
Selain menggunakan prinsip kesopanan tersebut, kesantunan
berbahasa juga bisa dilakukan dengan menggunakan eufemisne dan pilihan
kata honorific. Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai
pengganti ungkapan yang di rasakan kasar. Contoh : “Di mana tempat
7
kencingnya?” dapat diganti dengan “Di mana kamar kecilnya?”. Kata “tempat
kencing” (dalam bahasa sehari-hari biasa juga disebut WC) tidak cocok jika
akan di gunakan untuk percakapan yang sopan. Kata “kamar kecil” ini
konotasinya lebih sopan daripada kata “tempat kencing”. Jadi dalam
eufemisme terjadi pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan
menjadi lebih sopan. Sedangkan kata honorifik adalah ungkapan hormat untuk
menyapa orang lain. Misalnya Engkau, Anda, Saudara, Bapak/bu.
1. Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu
untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
3. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun
dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).
8
Dalam sebuah tuturan juga diperlukan indikator-indikator untuk mengukur
kesantunan sebuah tuturan, khususnya diksi. Pranowo (2009:104) memberikan
saran agar tuturan dapat mencerminkan rasa santun yakni sebagai berikut:
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesantunan berbahasa merupakan kesadaran penutur akan martabat orang
lain dalam berbahasa lisan maupun tulis. Lokaff (dalam Rustono, 2000: 51)
berpendapar bahwa ada tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan di anggap
santun. Ketiga kaidah tersebut adalah formalitas, ketaktegasan, dan persamaan
atau kesekawanan.
Menurut Tarigan (1986: 82) dan Leech (1993: 206-207) ada 6 maksim
kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim
penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim kemufakatan, dan maksim simpati.
10
DAFTAR PUSTAKA
11