Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

SOSIOLINGUISTIK

“SOLIDARITAS DAN KESANTUNAN”

OLEH
PUTRI MARDHATILLAH
NIM/BP. 14174054/2014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan batas
waktu yang telah ditentukan. Makalah ini berisikan penjelasan tentang konsep solidaritas dan
kesantunan dalam mata kuliah sosiolinguistik.

Beragam usaha telah penulis lakukan agar tugas ini terwujud dengan hasil yang
maksimal yang sesuai dengan kemampuan yang penulis miliki. Semoga buah pikiran yang
telah dianugerahkan ini selalu diterangi dengan cahaya suci-Nya, sehingga apa saja yang
terkarya akan bermanfaat bagi semua orang. Tak lupa Shalawat dan Salam kita kirimkan
kepada sang junjungan alam, Nabi Muhammad Saw. Semoga beliau memberikan
perlindungan dan memperjuangkan kita pada sidang Maha Besar Mahkamah Agung Allah
Swt nantinya.

Adapun tujuan dibuatnya laporan bacaan ini, agar kita dapat memahami tentang
konsep dasar solidaritas dan kesantunan dalam kajian sosiolinguistik. Semoga tugas ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

Padang, November 2014

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang
lain. Dalam arti kata kita membutuhkan teman untuk saling berkomunikasi.Tujuan kita
berkomunikasi kepada lawan bicara itu sendiri adalah untuk menyampaikan pesan dan
menjalin hubungan sosial (social relationship).

Dalam penyampaian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan atau
tulis, atau nonverbal (bahasa isyarat) yang dipahami kedua belah pihak; pembicara dan lawan
bicara. Sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan
menggunakan beberapa strategi. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan kesopanan
(politeness), ungkapan implisit (indirectness), basa-basi (lipsservice) dan penghalusan istilah
(eufemisme). Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses
komunikasi berjalan baik dalam arti pesan tersampaikan dengan tanpa merusak hubungan
sosial diantara keduanya. Dengan  demikian proses komunikasi selesai antara pembicara dan
lawan bicara mempunyai kesan yangmendalam, misalnya, kesan simpatik, sopan, ramah, dan
santun.

Akan tetapi, bukanlah hal mudah untuk mencapai dua tujuan komunikasi tersebut.
Bahkan seringkali prinsip-prinsip komunikasi sering berbenturan dengan prinsip-prinsip
kesopanan dalam berbahasa. Disatu sisi kita diharuskan untuk mematuhi prinsip komunikasi
agar tidak terjadi kesalahpahaman, tetapi disisi lain kita harus melanggar prinsip-prinsip
tersebut, dengan berbasa-basi, untuk menjaga hubungan social. Dan yang lebih penting lagi
kita harus menjaga kesantunan  berbahasa di dalam menjalin hubungan sosial antar manusia.

Seperti yang kita ketahui,masyarakat Indonesia sangat menjunjung kesantunan dalam


berbahasa. Maksud yang akan disampaikan tidak hanya berhubungan dengan pemilihan kata,
tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai contoh, pemilihan kata yang tepat apabila
disampaikan dengan cara kasar akan tetap dianggap kurang santun.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat itu akan
tercermin dari kesantunan yang diterapkannya, termasuk kesantunan dalam berbahasa.
Apalagi setiap masyarakat selalu ada hierarkhi sosial yang dikenakan pada kelompok-
kelompok anggota mereka. Hal ini terjadi karena mereka telah menentukan penilaian tertentu,
misalnya, antara tua – muda, majikan – buruh, guru – murid, kaya – miskin, dan status
lainnya, ada perbedaan dalam tata cara berbahasa. Bahasa yang digunakan ketika berbicara
dengan orang yang lebih tua tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika kita
berbicara dengan anak kecil. Selain itu, faktor konteks juga menyebabkan kesantunan perlu
diterapkan dalam suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan ini.

Penilaian yang diberikan kepada hierarkhi sosial merupakan penilaian emotif yang
diberikan kepada seseorang individu atau kelompok. Penilaian seperti ini merupakan tanda
hormat atau apresiasi kepada yang bersangkutan. Kalau dilihat lebih jauh, fenomena ini sudah
diterapkan oleh masyarakat kita sejak dulu.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang menjadi ruang lingkup materi pokok bahasan ini
adalah seluruh aspek yang berhubungan dengan kesantunan berbahasa dan etika dalam
berbahasa seperti: pengertian kesantunan, jenis kesantunan, Pembentukan kesantunan
berbahasa, strategi yang dapat digunakan oleh pembicara dan lawan bicara untuk mencapai
komunikasi yang baik, jenis-jenis kesantunan dalam berbahasa, dan etika yang digunakan
dalam berbicara dan berbahasa.

C. Tujuan Pembahasan

Makalah ini bertujuan untuk memberikan kita pengetahuan tentang sopan-santun


berbahasa dan tentang pentingnya solidaritas dan kesantunan dalam berbahasa, khususnya
bagi kita masyarakat Indonesia yang terkenal sangat menjunjung tinggi kesantunan dalam
berbahasa, dan yang paling penting agar terciptanya hubungan sosial yang baik lewat
kesantunan berbahasa.

 
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Solidaritas dan Kesantunan

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain
disekitarnya. Multikulturalisme yang ada di Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia
mempunyai banyak keragaman dan kekayaan yang sangat membutuhkan solidaritas antar
sesama umat manusia demi tercapainya kehidupan yang harmonis. Solidaritas yang pada
umumnya adalah kata yang dipakai untuk mempersatukan dan menyamakan perbedaan
disekeliling kita pun, sudah mulai pudar. Perpecahan diantara umat manusia semakin
bertambah banyak jika tidak ada solidaritas yang dimulai dari dalam diri. Perasaan
solidaritas, senasib seperjuangan, setia, sifat satu rasa yang solider diberbagai macam
kalangan, sangat minim dan banyak dilupakan demi kepuasan diri sendiri atas kepentingan
pribadi.

Berbicara tentang solidaritas mungkin merupakan hal yang sangat mudah dilakukan
oleh banyak orang, tetapi setelah kita mengerti betapa pentingnya solidaritas itu dikehidupan
kita, sudah selayaknya kita mengusahakan agar solidaritas itu tetap ada dan tidak hilang.
Faktor-faktor yang mendukung adanya solidaritas dari dalam diri hendaknya ditumbuh
kembangkan menjadi suatu kebiasaan yang positif. Solidaritas tidak hanya sebatas teori saja
yang memiliki tujuan dan peranan penting dalam kehidupan setiap orang, melainkan juga
suatu praktik yang bersifat rendah hati, tulus dari dalam diri dan terus-menerus. Hendaknya
setiap orang yang mencintai perbedaan dan orang yang selalu menutup diri terhadap
perbedaan, dapat mengaplikasikan solidaritas antar orang lain, sehingga tujuan dari
solidaritas itu sendiri tercapai.

Menurut Wikipedia, solidaritas adalah perasaan atau ungkapan dalam sebuah


kelompok yang dibentuk oleh kepentingan bersama. Apa yang membentuk dasar dari
solidaritas bervariasi antara masyarakat. Dalam masyarakat sederhana mungkin terutama
berbasis disekitar nilai-nilai kekerabatan dan berbagi. Dalam masyarakat yang lebih
kompleks terdapat berbagai teori mengenai apa yang memberikan kontribusi rasa solidaritas
sosial.
Kesantunan adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama
oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang
disepakati oleh perilaku sosial.

Dalam pergaulan sehari-hari kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu:
Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etika
dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu
tergambar nilai sopan santun atau nilai etika yang berlaku secara baik di masyarakat tempat
seseorang itu berada. Seseorang dikatakan santun, apabila masyarakat memberikan nilai
kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara
konvensional (panjang, memakan waktu lama).

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau
situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika
seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar
dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang
yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang
sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak
begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara
anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan
rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat


(bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

B. Jenis Kesantunan

Berdasarkan penjelasan di atas, kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu kesantunan


berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua
kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan
untuk kedua jenis kesantunan itu.
Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu
diperhatikan.Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, Kedua, berpakaianlah
yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian
santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang.

Kesantunan perbuatan adalah tata cara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi
sesuatu atau dalam situasi tertentu, misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang,
duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum,
menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Masing-masing
situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama,
misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan
atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara
memakai tusuk gigi. Salah satu contoh mengenai  kesantunan dalam  tindakan, misalnya
sangat tidak santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan kaki
diselonjorkan ketika mengikuti kuliah dosen, bertolak pinggang ketika berbicara dengan
orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat
umum tanpa sebab, nyelonong ke loket ketika yang lain sedang antre menanti giliran,
menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil
gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum.

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal


atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak
hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan
unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu
bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan
norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai
orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi


(komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah
tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar
bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan
yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur
serangkaian hal berikut.
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.

2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.

3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.

4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.

5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik keika berbicara.

6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

Suatu kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang sangat
berpengaruh pada pola berbahasanya. Oleh sebab itu kita perlu mempelajari atau memahami
norma-norma budaya sebelum mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang
mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.

C. Pembentukan Kesantunan Berbahasa

Kesantunan dalam berbahasa akan menggambarkan kesantunan atau kesopan


santunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus
memperhatikan empat prinsip.

Pertama, penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip


ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa
hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain dan  meminimalkan hal-hal
tersebut pada diri sendiri.

Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative


principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya, yaitu maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan
keenam maksimnya, yaitu

(1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa,

(2) maksim penerimaan yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian
untuk diri sendiri,
(3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa
kurang hormat pada diri sendiri,

(4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati
pada diri sendiri,

(5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan

(6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain.

Dengan demikian apabila kita menerapkan prinsip kesopanan dalam berbahasa, tidak
akan lagi terdengar pembicaraan yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan
orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.

Kedua, penghindaran pemakaian kata yang dianggap tabu. Pada kebanyakan


masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh
yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan,
dan kata-kata “kotor” dan “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam
berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.

Ketiga, berkenaan dengan penghindaran kata tabu, kita dapat menggunaan gaya
bahasa eufemisme sebagai ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan
untuk menghindari kesan negatif.

Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara
dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa
yang mengenal tingkatan tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal
tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik
sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya,
bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang
tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh
pembicara.

Adapun tujuan utama dari kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi.


Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran,
atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua
juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat
Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan. Dalam
batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburkan
komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya. 

D. Kesopanan dalam Berkomunikasi (Politeness)

Di dalam faktor kesopanan ini lebih banyak terkait dengan aspek sosiokultural
pemakai bahasa dari pada aspek kebahasaan. Dalam proses komunikasi, pembicara dan lawan
bicara tidak hanya dituntut taat pada cooperative principle saja, tetapi bahkan keduanya
dituntut untuk saling memahami, bahkan mengerti maksud yang diinginkan tanpa harus
mengucapkannya secara eksplisit. Seperti halnya coo-perative principle dalam proses
komunikasi, faktor kesopanan dalam berbicara juga ada prinsip-prinsipnya.

Lakoff (dalam Cook, 1989) merumuskan tiga prinsip kesopanan dalam


berkomunikasi; Don’t impose (jangan memaksa), Give option (berikan pilihan), dan Make
your receiver feel good (buatlah lawan bicara anda merasa senang). Ketiga prinsip kesopanan
ini harus dipakai dalam berkomunikasi dengan lawan bicara jika pembicara ingin menjalin
hubungan sosial dengan lawan bicara.

Dalam kehidupan sehari-hari sering seseorang memerintah orang lain untuk


melakukan sesuatu dengan perintah eksplisit, misalnya, “Jangan merokok diruang ini”, 
“Dilarang membuang sampah disini”. Kedua contoh ungkapan perintah tersebut terasa sekali
unsur perintahnya, sehingga jika perintah itu diberikan kepada lawan bicara yang berstatus
dan berkedudukan sama mungkin akan menimbulkan ketidaksenangan orang yang diperintah,
apalagi orang yang memerintah itu tidak dalam posisi sebagai atasan atau orang yang berhak
memerintah. Namun demikian perintah itu akan terkesan lebih halus, lebih sopan dan tidak
menimbulkan social distance antara pembicara dan lawan bicara jika diungkapkan dengan
“Terima kasih anda tidak merokok di ruang ini”,“Terima kasih anda tidak membuang
sampah disini” Kedua ungkapan tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu menjaga agar
ruangan tidak berbau asap rokok, dan ruangan tidak penuh dengan sampah. Namun kedua
ungkapan ini akan terkesan lebih sopan dan tidak terkesan menyuruh atau memerintah
seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan; yaitu tidak merokok dan tidak membuang
sampah sembarangan.
Contoh ungkapan perintah yang halus seperti itu juga ada dalam bahasa-bahasa lain,
misalnya dalam bahasa Inggris. Menurut Cook (1989) memberikan beberapa contoh
ungkapan request (permintaan) dengan ungkapan yang halus dan sopan seperti “Would
youmind…?, “ May I ask you to…? atau“Could you possibly..?”. Dalam bahasa Indonesia
banyak kita jumpai ungkapan penghalusan perintah atau kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh seseorang, Misalnya, sering kita jumpai spanduk bertuliskan “Batas akhir pembayaran
PBB sampai 28 Oktober 2009”. Ungkapan ini dapat diinterpretasikan sebagai ungkapan
perintah dan peringatan untuk membayar pajak bagi yang belum membayar, dan sekaligus
berupa peringatan bagi yang mungkin lupa bahwa melewati batas tanggal pembayaran
tersebut akan dikenakan sanksi.

Namun demikian ada perintah tertentu yang dalam kondisi tertentu perintah tersebut
harus tegas dan jelas sebagai perintah. Misalnya, bila kita berada di dalam gedung bioskop
yang kebetulan sedang terbakar, maka para petugas pemadam atau satpam akan membentak-
membentak dan menyuruh semua orang untuk keluar, tidak perduli apakah orang yang
sedang menonton tersebut adalah atasannya, bupati atau petinggi daerah lainnya. Ungkapan
penghalusan perintah tidak lagi efektif teriakan “keluar!, keluar!, cepat!, cepat!” dalam hal
ini akan lebihefektif. Demikian halnya ditempat yang berbahaya seperti pompa bensin
ungkapan larangan harus ditulis dengan tegas “DILARANG MEROKOK” bahkan larangan
tersebut ditulis dengan cat merah, yang sebenarnya dalam tatatulis cat merah menunjukkan
perasaan marah. Dari uraian ini jelas bahwa ungkapan penghalusan dapat dipakai dalam
konteks dan kondisi tertentu, demikian halnya ungkapan langsung (tanpa harus diperhalus)
juga dapat dipakai pada kondisi dan konteks tertentu.

 
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai mahluk sosial, manusia
tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain. Dalam arti kata kita membutuhkan
teman untuk saling berkomunikasi. Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara itu
sendiri adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial (social
relationship). Karena tujuan komunikasi tidak sekedar menyampaikan pesan, tetapi juga
menjalin hubungan sosial, maka seringkali co-operative principle (prinsip-prinsip
percakapan) dan politeness principle (prinsip-prinsip kesopanan) saling berlawanan. Disatu
sisi co-operative principle menuntut untuk dipatuhi agar pesan yang ingin disampaikan dapat
dimengerti, tetapi disisi lain prinsip-prinsip tersebut harus dilanggar agar hubungan sosial
antara pembicara dan lawan bicara tetap harmonis.Untuk tujuan inilah seringkali digunakan
ungkapan-ungkapan yang tidak langsung, ungkapan-ungkapan yang halus, walaupun
sebenarnya ungkapan itu justru kurang bijaksana.

B. Saran

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dari segi penyajian maupun dari segi tekhnik penulisannya, itu semua dikarenakan
keterbatasan penulis dalam memperoleh referensi-referensi yang relevan dengan makalah ini
dan keterbatasan ilmu pengetahua. Oleh karena itu kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan dalam penyusunan makalah yang akan datang.

 
DAFTAR PUSTAKA 

Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

http//file:///C:/Users/Computer/Documents/Masnur%20Muslich%20%20KESANTUNAN
%20BERBAHASA%20%20SEBUAH%20KAJIAN%20SOSIOLINGUISTIK.html
(diunduh tanggal 12 november 2014)

http://blog.uad.ac.id/rosmalina/2011/12/20/pentingnya-solidaritas-_
http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/04/pentingnya-solidaritas-dalam-kehidupan-manusia-
521507.html
http://radenroro23.wordpress.com/2012/08/07/pentingnya-membangun-rasa-solidaritas/

Wardhaugh, Renold. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai