Anda di halaman 1dari 14

MODUL

BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI

OLEH

Trisna Megawati, S. Pd., M. Pd.

Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan

Kampus 1 Jl Raya Pekajangan No. 87 Pekalongan, Tlp/Fax (0285) 785783, 7901632, 785179

Kampus II Jl Raya Ambokembang No. 7 Kedungwuni Pekalongan, Tlp. 785939

2020 / 2021
Modul 4
Konsep Kesantunan Bahasa Indonesia
Fraser dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property
associated with neither exceeded any right failed to fulfill any obligation”. Dengan kata
lainkesantunan adalahproperty yang diasosiasikan dengan ujaran dan dalam hal ini
menurut pendapat para si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak
mengingkari memenuhi kewajibannya. (Abdul Rais, 2014: 4)
Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama,
kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri.
Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu
ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si
penutur, tetapi di telinga pendengar ujaran itu ternyata tidak didengar santun, dengan
demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban
penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini
“diukur” berdasarkan: apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan
bicaranya, dan apakah si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
(Abdul Rais, 2014: 4)
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh
suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang
disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini disebut tatakrama.
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam
pergaulan sehari-hari, yaitu:
Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun
atau etika dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri
seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etika yang berlaku secara baik di
masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia
dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan
secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu
lama). Sudah barang tentu, dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang
diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku pada masyarakat, tempat atau
situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku pada masyarakat, tempat atau situasi lain.
Ketika seseorang bertemu teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar
dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditunjukan kepada tamu atau
seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut
berbunyi kurang sopan jika sedang makan dengan orang banyak disebuah perjamuan,
tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan dirumah.
Ketiga, kesantunan terlalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti anak
dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah
dan tamu, antara wanita dan pria, antara murid dan guru, dan sebagainya. (Abdul Rais,
2014: 5-6)

1. Pengertian Kesantunan Berbahasa


Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat
meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena dalam komunikasi, penutur dan
mitra tutur tidak dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk
menjaga keharmonisan hubungan.Keharmonisan penutur dan petutur, tetap terjaga
apabila masing-masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan
perkataan lain, baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang samauntuk
menjaga muka. Kesantunan (politensess), kesopan santunan atau etika adalah tatacara,
adat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan bahasa tercermin dalam
tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi
kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita
pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam
masyarakat, tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi.
Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia
akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh,
tak acuh, tak beradat, egois, bahkan tidak berbudaya. (Ar-Raniry, 2014: 285-287).
Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi
(komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh kerana itu, masalah
tatacara berbahasa ini harus diperhatikan, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa.
Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan
yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara bahasa bertujuan mengatur
serangkaian hal berikut:
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa saja yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan selalu di terapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

(Ar-Raniry, 2014: 287) berpendapat, tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi


norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tatacara orang
berbahasa Inggris berbeda dengan tatacara orang berbahasa Amerika meskipun mereka
sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang jawa berbeda dengan
orang berbahasa batak, meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini
menunjukan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang
berpengaruh pada pola berbahasanya.

2. Teori Kesantunan Berbahasa


1) Teori Lakoff
Lakoff (1972) yang dianggap sebagai ibu teori kesantunan, menghubungkan
kesantunan dengan teori kerjasama dari Grice. Lakoff juga menambahkan beberapa
prinsip yang diukur dengan parameter sosial.
Kesantunan dalam berbahasa menurut Lakoff meliputi:
a) Cara mengungkapkan jarak sosial dan hubungan peran yang berbeda dalam
komunikasi
b) Penggunaan muka dalam komunikasi,yaitu strategi kesantunan positif dan strategi
kesantunan negatif

Dalam prinsip kesantunannya, Lakoff menawarkan tiga kaidah yang harus ditaati
agar tuturan menjadi santun. Ketiga kaidah itu adalah:
1) Formalitas
Kaidah formalitas dimaknai “jangan memaksa” atau “jangan angkuh”. Akibat logis
dari kaidah itu adalah bahwa tuturan yang memaksa angkuh merupakan tuturan yang
tidak santun.

2) Ketidaktegasan
Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian
rupa sehingga mitra tuturnya dapat menentukan pilihan. Tuturan “jika masih
bersemangat dan nilaimu baik,rajin-rajinlah belajar”. Sebenarnya merupakan tekanan
dari si penutur (dalam konteks itu orang tua) terhadap mitra tutur (anak). Namun,
tekanan itu disampaikan dengan santun karena memberikan pilihan kepada anak.
Sehingga tidak tersinggung dan bersikap menjengkelkan.
3) Persamaan atau Kesekawanan
Kaidah atau kesekawanan,menyarankan kepada penutur untuk bertindak seolah-olah
mitra tutunya itu sama, dengan kata lain membuat mitra tutur merasa senang. Ujaran
“nilai raport mu lumayan baik,sebaik semangat belajarmu”. Selain sebenarnya
mengkritik juga mengajarkan kesantunan kepada anak.

2) Teori Gu (1990)
Prinsip kesopanan yuego Gu berdasar pada nilai kesantunan orang cina yang
mengaitkan kesantunan dengan norma-norma masyarakat yang bermoral. Kesantunan
masyarakat cina terikat pada sanksi yang akan diberikan oleh masyarakat apabila
kesantunan itu dilanggar dan perspektif.
Teori kesantunan ini menekankan pada pemenuhan harapan masyarakat mengenai
sikap hormat, kerendahan hati dan ketulusan. Sehengga perilaku individu disesuaikan
dengan harapan tersebut. Kesantunan yang dianut dinegara cina hampir mirip dengan
norma-norma sopan santun yang ada pada masyarakat indonesia. Masyarakat indonesia
menjunjung nilai kesantunan, terutama didaerah pedesaan dan dikota-kota kecil. Apabila
ada seseorang yang melanggar norma maka orang tersebut juga akan mendapat sanksi
dari masyarakat. Sanksi yang bisa diterapkan adalah digunjingkan dan dikucilkan oleh
masyarakat.
Norma yang harus dipenuhi tidak hanya terbatas pada perilaku tetapi juga pada tutur
kata. Apabila ada seseorang tidak santun dalam penggunaan bahasa maka orang tersebut
akan diangap tidak sopan dan dicap sebagai orang kasar dan tidak baik.Hal tersebut
masih sangat terasa di kota-kota kecil dan pinggiran, karena orang tua dan lingkungan
mengajari untuk menggunakan bahasa yang santun. Berbeda dengan lingkungan dikota
besar yang masyarakatnya cenderung acuh tak acuh dan banyak orang tua yang kurang
memperhatikan tingkah laku anak-anaknya, sehingga banyak anak dan remaja yang tidak
mengetahui cara berbahasa indonesia yang santun.
Berdasarkan kesantunan orang cina yaitu mengaitkan kesantunan dengan norma-
norma kemasyarakatan yang bermoral.Bersifat preskriptif dalam konsep cina lima
(politeness) dan terikat pada ancaman sanksi moral dari masyarakat. Perilaku individu
harus disesuaikan dengan harapan masyarakat mengenai sikap hormat(respect
fuiness),sikap rendah hati (modesty),sikap hangat dan tulus (warmth and refinment).
Ada empat macam dalam teori Gu, yaitu:
1) Maksim denigrasi diri yaitu menuntut penutur untuk merendahkan diri dan
meninggikan derajat orang lain
2) Maksim sapaan yaitu sapalah lawan bicara anda dengan bentuk sapaan yang sesuai
3) Maksim budi pertimbangan keuntungan nyata pada diri mitra tutur yaitu penutur
dituntut untuk memiliki etika terhadap mitra tutur yang nantinya akan membentuk
keuntungan
4) Maksim kedermawanan yaitu tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangan
keuntungan antara penutur dan mitra tutur.

3) Teori Pranowo
Pranowo (2009) menggukapkan teori mengenai tanda-tanda komunikasi yang tidak
santun karena komunikasi tidak satun seringkali terjadi meskipun ada banyak cara agar
dapat berbahasa dan berkomunikasi dengan santun. Tanda-tanda tersebut antara lain
sebagai berikut.
a) Penutur menyatakan kritik secara langsung dan dengan kata-kata kasar dalam budaya
Indonesia, terutama budaya jawa selalu menerangkan pada ungah-unguh dalam
bertutur kata dengan orang lain harus diberi penjelasan terlebih dahulu, kemudian
mengungkapkan intinya sehingga mitra tutur bisa mengerti dan tidak tersinggung
dengan apa yang dituturkan apalagi jika hal itu diberikan kritikan. Meskipun
demikian ada orang yang tidak menyukai hal yang disampaikan secara langsung
karena terkesan berputar-putar jadi lebih baik jika kritik atau tutur kata disampaikan
dengan penjelasan seperlunya dan tidak bertele-tele sehingga mitra tutur tidak
merasa sakit hati dan tidak merasa bosan. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
banyak masyarakat yang lebih sering secara langsung mengungkapkan apa yang
dipikirnya.
b) Penuturan didorong rasa emosi ketika bertutur. Seringkali terjadi perselisian dalam
berkomunikasi yang akan menimbulkan emosi.Orang yang tidak dapat
mengendalikan emosinya, maka dapat dipastikan pembicarakan berujung pada
pertengkaran mulut.Jika demikian, tutur kata yang dikeluarkan oleh masing-masing
penutur adalah tutur kata yang tidak sopan dan cenderung kasar.Contoh paling
umum yang terjadi adalah pada orang tua dan anak yang memiliki perbedaan
pendapat dan pada pasangan, untuk itu diperlukan pengendalian emosi yang baik
supaya dapat mengendalikan tutur kata yang akan diucapkan,sehingga tidak saling
menyakiti.
c) Penutur protektif terhadap pendapatnya dalam mengeluarkan pendapat,baik dalam
forum formal maupun informal,ada beberapa orang yang menerima saran, pendapat
pribadi dan tidak bisa menerima saran,kritik atau sanggahan dari oarang lain.Orang
yang demikian apabila pendapatnya disanggah maka akan menujukkan raut muka
yang tidak senang dan berujung pada penggunaan tutur kata yang cederung kasar dan
tidak sopan meskipun banyak juga orang yang masih mampu mengendalikan emosi
jika pendapatnya disanggah
d) Penutur sengaja mempojokan mitra tutur dalam bertutur.Hal ini kadang terjadi jika
seseorang ingin memenangkan pendapatnya dan ingin dianggap benar mengenai
pendapatnya tersebut.Kasus yang lain terjadi pada saat interogasi atau pada saat
sidang,penyelidik,atau pengacara biasanya memojokan saksi atau tersangka untuk
dapat mengetahui kebenaranya.Akan tetapi hal ini bisanya diikuti dengan tindakan
atau tutur kata kasar oleh penyelidik dan menimbulkan tekanan serta rasa tidak
nyaman pada mitra tuturnya.
e) Pentutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan pada mitra pentutur. Hidup
bermasyarakat selalu didasarkan pada asas kepercayaan. Sekali kepercayaaan itu
hilang maka sulit untuk membagun kembali kepercayaan tersebut danbahkan
minimbulkan rasa curiga sehingga dapat menimbulkan kata-kata kasar dan sinis.

4) Teori Grice
Dalam berinteraksi sosial antar individual kehidupan sehari-hari, dengan
menggunakan bahasa Indonesia dalam bentuk verbal, selalu terdapat prisip kerjasama.
Grice (1978) dalam Wijana (1996:46) mengidenfikasi komunikasi secara satun harus
memperhatikan prinsip kerjasama. Ketika berkomunikasi seorang penutur harus
memperhatikan empat prinsip, yaitu:
a) Prinsip kualitas
Jika sesorang menyampaikan informasi kepada orang lain. Informasi yang diberikan
harus didukung dengan data. Dengan dukungan data yan ada maka informasi tersebut
akan lebih sah dan memang benar adanya. Sehingga lawan bicara tidak merasa tertipu.
Prinsip ini sulit diterapkan dan dilanggar karena memiliki kesan sedikit kaku dan
mungkin akan membatasi komunikasi antara satu orang dengan dua dengan yang lain.
Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa ibu negara Indonesia Jakarta bukan
kota-kota yang lain, kecuali kalau benar-benar tidak tahu
b) Prinsip Kuantitas
Artinya, ketika berkomunikasi dengan orang lain, yang dikomunikasikan harus
sesuai dengan yang diperlukan tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip ini menuntut agar
seseorang memberikan sesuatu sesuai yang diminta oleh lawan bicara. Misalnya, jika
lawan berbicara menginginkan diberi 1 kg gula maka gula yang diberikan juga harus 1
kg dan tidak dikurangi. Saat ini banyak pedagang yang melanggar prinsip kuantitas
dan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan pelanggan. Hal ini
dimaksudkan agar pedagang tersebut memperoleh lebih banyak keuntungan. Saat ini
cukup sulit untuk bisa menerapkan prinsip ini. Karena gaya hidup saat ini cukup sulit
sehingga banyak orang yang bertutur kata dan memberikan informasi yang terkadang
kurang dan bahkan melebih-lebihkan, hal ini hanya dimaksudkan agar orang tersebut
dipandang sebagai orang yang pintar dan untuk memperoleh keinginan pribadi.
c) Prinsip Relevansi (hubungan)
Prinsip ini bermaksud ketika berkomunikasi dengan orang lain maka harus relevan
dan berkaitan dengan orang yang diajak bicara. Apabila dipikir dengan logika, hal ini
memang benar adanya. Karena percakapannya tidak relevan dan tidak nyambung tidak
akan menghasilkan apa-apa dan malah akan menimbulkan perasaan tidak nyaman
pada lawan bicara. Contoh kasus yang kadang terjadi adalah apabila ada dua orang
yang sedang berbicara dan ada orang lain yang hanya mendengarkan sebagian dan
tiba-tiba menanggapi hal tersebut dan tanggapannya ternyata tidak relevan dengan
yang dibicarakan. Kasus ini terjadi karena pembicara kurang jelas dalam
menyampaikan apa yang dibicarakan sehingga lawan bicara menanggapi dengan
berbeda.
d) Prinsip Cara
Prinsip ini berarti ketika berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain haruslah
memperhatikan cara penyampaian. Tidak semua orang dapat menerima cara berbicara
yang sama. Orang yang sensitif tidak bisa diajak bicara dengan kasar. Tutur kata yang
digunakan juga harus dipilih agar orang tersebut tidak merasa tersinggung. Cara
penyampaian informasi kepada orang yang lebih tua dan kepada orang yang sebaya
atau lebih muda juga harus berbeda. Kepada orang yang lebih tua, cara bicara yang
digunakan harus penuh dengan rasa hormat dan halus. Meskipun saat ini banyak anak,
remaja dan kaum muda yang kurang memperhatikan cara tutur dengan orang yang
lebih tua. Contohnya adalah mahasiswa yang ingin bertemu dengan dosen
pembimbingnya sering kali mereka kurang sopan dalam menyampaikan keinginan
tersebut karena mereka berkomunikasi dengan dosen dan berkomunikasi dengan
teman. Hal ini menyebabkan dosen merasa tersinggung dan mungkin tidak
menanggapi mahasiswa tersebut. Kasus seperti ini dapat terjadi antara lain karena
dengan orang tua sendiri mahasiswa tersebut kurang benar cara berbicara dan
menganggap seperti berbicara dengan teman.

Selain keempat prinsip diatas, Grice memberikan beberapa padoman untuk


memperlakukan mitratutur, Jangan memperlakukan mitra tutur sebagai orang yang
tunduk kepada penutur
a. Jangan mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang
atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur
b. Jangan mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur sehingga mitra tutur
merasa jatuh harga dirinya
c. Jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri
d. Maksimalkan ungkapan simpati pada mitra tutur
e. Minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan maksimalkan rasa senang.
(Sukmawan, 2009:3)

3. Indikator Pemakaian Bahasa Yang Santun


Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan
empat prinsip:
1) Penerapan prinsip kesopanan (politeniss principle) dalam berbahasa.
Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/ kearifan, keuntungan, rasa
salut atau rasa hormat, ujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain dan
meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri. Dalam berkomunikasi, disamping
menerapkan prinsip keja sama (cooperative principle) dengan ke empat maksim (aturan)
yang mencakup maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara.
Selain ke empat maksim tersebut, terdapat penerapan prinsip kesopanan dengan ke enam
maksimnya yaitu :

i. Maksim kebijakan yang mengutamakan kearian bahasa


ii. Maksim penerimaan yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan
kerugian untuk diri sendiri
iii. Maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan atau rasa hormat pada orang
lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri
iv. Maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa
rendah hati pada diri sendiri
v. Maksim kecoccokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain
vi. Maksim kesimpatisan yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain.
Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-
ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi
yang kondusif. Contohnya adalah sebagai berikut:

X: Selamat, anda lulusdengan predikat maksimal!

Y: Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaude.

2) Penghindaran Pemakaian Kata Tabu


Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk
pada organ-organ tubuh yang lazimnya ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada
sesuatu benda yang menjijikan, dan kata-kata kotor dan kasar termasuk kata-kata tabu
dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan
tertentu. Contohnya adalah sebagai berikut:
X : Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak!
X : Mohon izin, bu saya ingin kencing!

3) Penggunaan Eufemisme (Penghalusan)


Penggunaan eufemisme ini diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Contohnya
adalah sebagai berikut:
X : Pak, mohon izin sebentar, saya mau bung air besar.
Atau yang lebih halus lagi:
X : Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke kamar kecil.
Atau yang paling halus lagi:
X : Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke belakang.
Yang perlu diingat adalah bahwa eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak
berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk
memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat ketidaksantunan
bahkan pelecehan.

4) Penggunaan Pemilihan Kata Honorifik


Merupakan suatu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain.
Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal
tingkatan tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya
saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorific.
Sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan.
Misalnya, bahasa kromo inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada
orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara atau kepada orang yang
dihormati oleh pembicara.
Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau,
Anda, Saudara, Bapak/Ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita
menyapa orang. Keempat kalimat tersebut menunjukkan tingkat kesantunan ketika
seseorang pemuda menanyakan seseorang pria yang lebih tua.

Contohnya adalah sebagai berikut:


a) Engkau mau kemana?
b) Saudara mau kemana?
c) Anda mau kemana?
d) Bapak mau kemana?
Dalam konteks ini, kalimat a dan b tidak atau kurang sopan diucapkan oleh orang
yang lebih muda, tetapi kalimat empat lah yang sepatutnya diucapkan jika penuturannya
ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat c lazim diucapkan jika penuturannya kurang
akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat empat.
Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena
itu, pemakaian bahasa yang sengaja dibeli-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau tidak
menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan
ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia
karena terbawa oleh budaya tidak terus terang dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-
batas tertentu masih bisa di toleransi jika penuturan tidak bermaksud orang tidak
mengerti apa yang dimaksudnya.

4. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Bahasa yang Tidak Santun


(Ar-Raniry, 2014:293-295), Meskipun banyak cara agar berbahasa selalu santun,
namun fakta pemakaian bahasa di masyarakat sering menunjukkan ketidaksantunan
dalam berbahasa. Faktor yang menyebabkan pemakaian bahasa menjadi tidak santun
adalah sebagai berikut
1) Penuturan penyampaian kritik secara langsung dengan kata atau frasa kasar.
Komunikasi menjadi titik santun jika penutur, menyampaikan kritik secara langsung
kepada mitra tutur. Sebagai contoh, ungkapan-ungkapan yang sering kita dengar dari
demo mahasiswa yang mengkritik pemimpin dengan menggunakan istilah-istilah kasar.
Komunikasi dengan cara seperti itu diniai tidak santun karena dapat menyinggung
perasaan mitra tutur yang menjadi sasaran kritik.
2) Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur.
Ketika bertutur, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan sehingga terkesan
marah kepada mitra tutur.
3) Penutur protektif terhadap pendapatnya
Ketika bertutur, seorang penutur kadang-kadang protektif terhadap pendaapatnya.
Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain.
4) Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur
Ketika bertutur, penuturan sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur.
Perhatikan contoh dibawah ini:
“Mereka sudah buta mata hati nuraninya.apamereka tidak sadar kalau BBM naik,
harga berang-barang lainnya bakal membubung. Akibatnya, rakyat semakin tercekik”.
Tuturan diatas terkesan sangat keras danintinya memojokkan mitra tutur. Tuturan
dengan kata-kata keras dan kasar seperti itu menunjukkan bahwa penutur berbicara
dengan nada marah, rasa jengkel, dan memojokkan mitra tutur.
5) Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.
Tuturan menjadi tidak santun jikapenutur terkesan menyampaikan kecurigaan
terhadap mitra tutur. Hal ini dapat dilihat pada data tuturan di bawah ini.
“kawasan hutan lindung dan konservasi biasanya dialihfungsikan menjadi areal
perkebunan, pertambangan, atau hanya diambil kayunya lalu ditelantarkan”.
Tuturan di atas berisi tuduhan penutur kepada mitra tutur atas dasar kecurigaan
penutur terhadap yang dilakukan oleh mitra tutur, seperti “hanya diambil kayunya lalu
ditelantarkan”, tuturan demikian menjadi tidak santun karena isi tuturan tidak idukung
dengan bukti yang kuat, tetapi hanya atas dasar kecurigaan.
Atas dasar identifikasi diatas, ada beberapa faktor yang menyebabkan
ketidaksantunan pemakaian Bahasa Indonesia.

5. Strategi Dasar dalam Kesantunan Berbahasa


Menurut Brown dan Levinson (1987), karena adanya ancaman tindak ajaran itulah
penutur perlu memilih strategi untuk mengurangi atau kalau dapat menghilangkan
ancaman itu. Brown dan Levinson mengidentifikasikan empat strategi dasar dalam
kesantunan berbahasa, yaitu strategi 1 kurang santun, strategi 2 agak santun, strategi 3
lebih santun, dan strategi 4 paling santun. Keempat strategi kesantunan ini harus
dikaitkan dengan parameter pragmatik (Wijana, 1996: 64-65).
Dalam model kesantunan Brown and Levinson (1987) terdapat tiga parameter atau
skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesatuan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut
ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala-
skala berikut:
1) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between
speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis
kelamin, dan latar belakang sosiokultural.
2) Skala peringkat stastus sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer
reiative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating)
didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
3) Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating atau
lengkapnya adalah the degree of imposition associated with therequired expenditure
of goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan
tindak tutur lainnya.
Baik kesantunan yang mendasarkan pada maksim percakapan maupun pandangan
kesantunan yang mendasarkan pada konsep penyelamatan muka, keduanya dapat
dikatakan memiliki kesejajaran. Kesejajaran itu tampak dalam hal penentuan tindakan
yang sifatnya tidaksantun atau tindakan yang mengancam muka dan tindakan santun atau
tindakanyang tidak mengancam muka.

Anda mungkin juga menyukai