Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KESANTUNAN BAHASA

Dosen Pengampu : Dr. Evi Chamalah, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 4
1. Mekarila Ananda Ofiliana 5. Muhammad Fakhrul Hafiz
2. Monika Yunia Putri R. 6. Muhammad Falihul Husna
3. Muhamad Andri Setyawan 7. Muhammad Hanun Nizar
4. Muhammad Affiz Zaman 8. Muhammad Isra’ul Majiid

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG 2022
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kita semua tahu bahwa masyarakat kita (Indonesia) sangat menjunjung tinggi
kesantunan dalam berbahasa. Makna yang akan disampaikan tidak hanya terkait dengan
pemilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai contoh, pemilihan kata yang tepat
apabila disampaikan dengan cara kasar akan tetap dianggap kurang santun. Kesantunan
memang sangat penting dimana pun individu berada. Setiap anggota masyarakat percaya
bahwa kesantunan yang diterapkan mencerminkan budaya suatu masyarakat, termasuk
kesantunan berbahasa. Namun, semakin berkembangnya zaman, kesantunan bahasa mulai
memudar. hal ini dikarenakan rendahnya pengetahuan dan ilmu tentang kesantunan
berbahasa. Oleh karena itu, jika kita menemui anak muda zaman sekarang yang berbicara
dengan bahasa yang baik dan sopan, patut diacungi jempol.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kesantunan

Kesantunan (Politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau


kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang
ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan
sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati bersama oleh perilaku sosial. Oleh karena itu,
kesantunan ini biasa disebut “tata karma”. Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan
dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari.
Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau
etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, makan dalam diri
seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di
masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatana
santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara
seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama).
Penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau
situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika
seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar
dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang
yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang
sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak
begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara
anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan
rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.
Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat
(bertindak) dan cara bertutur(berbahasa).
1.3 Pembentukan Kesantunan Berbahasa

Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan


kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech 1986)
pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.
Pertama, penerapa prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip
ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa
hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain dan (bersamaan dengan itu)
meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri.
Dalam berkomunikasi, disamping menerapkan prinsip kerja sama (coorperative
principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya, yaitu maksim kuantitas,
maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan
dengan keenam maksim, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa,
(2) maksim penerimaan yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian
untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada
orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang
mengutamakan pujian pada orang laIn dan rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim
kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan
yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan
ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain
sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat,
kata-kata yang berbau seks, yang merujuk pada organ – organ tubuh yang lazim di tutupi
pakaian, yang merujuk pada suatu benda yang menjijikan, dan kata-kata “kotor” dan
“kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-
hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.
Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu
ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan
negatif. Yang perlu diingat adalah eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak
berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata bukan untuk
memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat ketidaksantunan,
bahkan pelecehan. Misalnya, penggunaan eufemisme dengan menutupi kenyataan yang ada,
yang sering dikatakan pejabat. Kata “miskin” diganti dengan “prasejahtera”, “kelaparan”
diganti dengan “busung lapar”, “penyelewengan” diganti dengan “kesalahan prosedur”,
“ditahan” diganti dengan “dirumahkan”, dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan public.
Kebohongan itu termasuk bagian dari ketidaksantunan berbahasa.
Keempat, penggunaan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan
menyapa orang lain. Penggunaan kata- kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa
yang mengenal tingkatan (undha-usuk Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang
tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan
kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap
tingkatan. Misalnya, bahasa karma inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan
kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara;atau kepada orang
yang dihormati oleh pembicara.
Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan sebutan kata diri Engkau, Anda,
Saudara, Bapak/Ibu, mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk
menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang
pemuda menanyakn seorang yang lebih tua,
Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena
itu, pemakasian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasara, atau yang
tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga
merupakn ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat
Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan.
Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud
mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang
dimaksudkanya.

1.4 Aspek-aspek Non-Linguistik yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa

Karena tatacara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahas sebagai system
komunikasi, maka selain unsure-unsur verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat
dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah
unsur-unsur paralinguistik, kinetik, dan proksemika. Pemerhatian unsur-unsur ini juga dalam
rangka pencapaian kesantunan berbahasa.
Paralinguistik berenaan dengan ciri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi,
suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur
verbal dalam berbahasa. Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika
berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatan santun. Misalnya, ketika ada seorang
penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara dengan
temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak menganggu acara yang sedang
berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam pembicaraan yang
melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada peserta lain. Suara
keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa
dianggap kurang sopan, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan
orang yang kurang pendengarnya.
Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah
seperti murung dan senyum merupakan unsure kinesik (atau ada yang menyebut gesture,
gerak isyarat) yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya
bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi fungsinya sebagai pemerjelas unsur
verbal. Misalnya, seorang anak diajak ibunya ke dokter, ia menjawab “Tidak, tidak mau”
(verbal) sambil menggeleng-gelengkan kepala (kinesik). Akan tetapi, apabila
penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsure verbal itu, yaitu
menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil
temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang sebagai
pengganti ucapan “Hai, ayo cepat kesini!”
Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur
verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan cukup
dengan mengerdipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang disekelilingnya tidak tahu
maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan jari telunjuk secara vertical di
depan mulut agar anaknya (penerima tanda) segera diam karena sejak tadi bercanda dengan
temannya saat Khotbah Jumat berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa
diketengahkan berkaitan dengan kinetik ini. Namun yang perlu diperhatikan dalam konteks
ini adalah kinetik atau gerak isyarat (gesture) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan
kesantunan berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan
menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara
dengan tamunya dianggap kurang santun.
Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah
proksemika, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara
komunikator dan komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan
unsur ini akan berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan berkomunikasi. Ketika
seseorang bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat
erat dan berangkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk bahu.
Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama berpisah, ia
langsung menundukkan kepala sambil berjabat tangan dengan kedua tangannya. Si mantan
dosen, sambil mengulurkan tangan kanannya tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang
bersangkutan.
Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan
penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertikarkan makan akan
terlihat janggal, bahkan dinilai tidak sopan. Maish banyak contoh lain yang berkaitan dengan
proksemika ini, misalnya sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi
duduk ketika berbicara dengan pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan
ketika berbicara di hadapan anak buahnya, dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang
sesuai antara peserta komunikasi akan memperlibatkan keserasian, keharmonisan, dan
tatacara berbahasa.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinetik, dan
prolsemika yang sesuai dengan situasi komunikasi diperlukan dalam penciptaan kesantunan
berbahasa. Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks
situasi. Yang penting, bagaimana ketiga unsur bisa menciptakan situasi komunikasi yang
tidak menimbulkan salah paham dan ketersinggungan kepada yang diajak berkomunikasi.
Selain ketiga unsur di atas, hal lain yang perlu diusahakan adalah penjagaan suasana
atau situasi komunikasi oleh peserta yang terlibat. Misalnya, sewaktu ada acara yang
memerlukan pembahasan bersama secara serius, tidaklah sopan menggunakan telepon
genggam (handphone) atau menerima telepon dari luar, apalagi dengan suara keras. Kalau
terpaksa menggunakan atau menerima telepon sebaiknya menjauh dari acara tersebut atau
suara diperkecil.
B. Kondisi Kesantunan Berbahasa

Bahasa merupakan sarana yang digunakan untuk berkomunikasi yang dapat


mencerminkan kepribadian seseorang, bahkan kepribadian suatu bangsa. Dalam
berkomunikasi, penutur bukan hanya perlu memerhatikan bahasa yang sesuai dengan kaidah
kebahasaannya saja, melainkan juga bahasa yang terdengarsantun bagi lawan tutur. Akan
tetapi, pada kenyataannya penggunaan bahasa yang santun belum begitu diperhatikan oleh
kebanyakan penutur. Maka dari itu, amat wajar apabila banyak dijumpai pemakaian bahasa
yang sudah baik dan benar sesuai dengan kaidah kebahasaan, tetapi justru menyakiti hati
lawan tutur. Perilaku seseorang juga menentukan santun tidaknya dalam berkomunikasi.
Penutur dapat dikatakan memiliki kepribadian buruk apabila ia bersikap tidak santun dan
kasar. Hal demikian terjadi apabila ketika bertutur selalu diliputi pikiran dan perasaan buruk,
seperti (a) selalu didorong rasa emosi ketika bertutur, (b) selalu ingin memojokkan mitra
tutur dalam setiap tuturannya, (c) selalu berprasangka buruk kepada mitra tutur, (d) selalu
bersifat protektif terhadap pendapatnya, dan sebagainya (Pranowo, 2009:10).
Menurut Pranowo (2009: 72), ada beberapa faktor penyebab pemakaian bahasa
Indonesia yang tidak santun, yaitu (1) penutur memang tidak mengetahui kaidah kesantunan
yang harus digunakan dalam bertutur, (2) faktor penutur memperoleh kesantunan, (3)
penutur sukar meninggalkan kebiasaan dalam budaya bahasa ibu sehingga masih terbawa
kebiasaan baru (berbahasa Indonesia interferensi), (4) faktor gawan bayi, artinya memang
sifat alamiah dari penutur yang gemar bertutur kurang santun di depan publik.
Kesantunan berbahasa ini tentunya sangat perlu untuk diperhatikan dalam
menggunakan media sosial. Media sosial adalah sebuah perkembangan dari teknologi yang
mempunyai basis internet untuk memudahkan orang-orang dalam berinteraksi dengan
sesama secara daring. Selain itu, di media sosial mereka juga dapat menyebarluaskan konten
dan pendapat mereka sendiri. Dalam menggunakan media sosial, terdapat beberapa etika
yang perlu diperhatikan menurut Rifauddin (2016) diantaranya:
1. Hindari unggahan status yang mengandung SARA dalam bentuk apapun (tulisan,
gambar, video).
2. Gunakan bahasa yang santun dengan cara memperhatikan diksi dalam kalimat
sebelum mengunggah tulisan atau komentar.
3. Mampu membedakan antara obrolan pribadi dan obrolan publik sehingga dapat
menjauhkan diri dari tindak kejahatan.
4. Cermat sebelum membagikan tautan atau informasi yang diperoleh dengan cara
mengecek kebenaran tulisan.
5. Memahami secara menyeluruh maksud dari konten dan tulisan sebelum
menyampaikan komentar dan pandangan pribadi.
Salah satu penggunaan bahasa yang tidak santun dalam berkomunikasi khususnya di
media sosial adalah tindakan cyberbullying. Menurut Rifauddin (2016), cyberbullying
merujuk pada pemanfaatan teknologi informasi untuk menakut- nakuti seseorang dengan
cara mengirim atau mengunggah pesan yang bersifat mengintimidasi. Cyberbullying
merupakan bentuk intimidasi yang dilakukan untuk melecehkan korban dengan
memanfaatkan perangkat teknologi. Terdapat banyak cara yang dapat dilakukan
untukmenyerang korban, misalnya dengan mengirim pesan kejam maupun gambar atau
video yang mengganggu dan kemudian disebarluaslan untuk membuat korban merasa malu
dan terluka. Pelaku tindak cyberbullying ini dapat menyembunyikan identitasnya dibalik
akun anonim. Adapun motif dari pelaku tindak cyberbullying ini beragam, misalnya ingin
mencari perhatian, membalas dendam atau hanya sekadar berlaku iseng.
Contohnya Lucinta Luna yang menganggap dirinya sebagai seorang perempuan tulen
bukan transgender, yang kemudian justru memancing netizen untuk beramai-ramai
menghujatnya di akun instagram miliknya. Tidak hanya itu Lucinta Luna malah semakin
berulah dengan membuat kontroversi di mana ia mengunggah video yang sedang
memberikan ASI kepada seorang anak. Hal ini tentunya memancing netizen untuk
memenuhi kolom komentar postingan tersebut dengan hujatan, seperti:
“Nangis ga ya pas ngelahirin? Jangan nagis ya ratuu kamu kan cowok inget!! Cowok
tuharus kuat!!”
“Kejadian langka cowok bisa melahirkan”
“Lahir nya DARI mana ya kan lo gak Ada rahim goblok”
“Lucinta cowok, abash cewe, yang lahir monyet”
“Kalo ngelahirin jagan kuat” ngeden nye ka @lucintaluna nanti ‘itu’ nya kluar”
Dari contoh tersebut fenomena cyberbullying yang dilakukan oleh netizen pada
Lucinta Luna merupakan teks cyberbullying yang muncul dari suatu fenomena yang hampir
mirip dengan waham atau delusi.
BAB III
PENUTUP

Semua orang harus berbahasa secara santun. Setiap orang wajib menjaga etika dalam
berkomunikasi agar tujuan komunikasi dapat tercapai. Bahasa merupakan alat untuk
berkomunikasi dan saat menggunakan bahasa juga harus memperhatikan kaidah-kaidah
berbahasa baik kaidah linguistik maupun kaidah kesantunan agar tujuan berkomunikasi
dapat tercapai. Kaidah berbahasa secara linguistik yang dimaksud antara lain digunakannya
kaidah bunyi, bentuk kata, struktur kalimat, tata makna secara benar agar komunikasi
berjalan lancer. Setidaknya, jika komunikasi secara tertib menggunakan kaidah linguistik,
mitra tutur akan mudah memahami informasi yang disampaikan oleh penutur.
Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena
itu pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak
menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan
ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia karena
terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas
tertentu masih bisa ditolernasi jika penutur tidak bermaksud megaburkan komunikasi
sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya.
DAFTAR PUSTAKA

sukman21.blogspot.com (2015, 05 Mei). makalah-kesantunan-berbahasa, dari


http://sukman21.blogspot.com/2015/05/makalah-kesantunan-berbahasa.html

Pranowo. 2009. Berbahasa Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rifauddin, M. 2016. Fenomena Cyberbullying Pada Remaja. Jurnal Ilmu


Perpustakaan, Informasi, dan Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, 35- 44.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai