Anda di halaman 1dari 10

PENERAPAN TEORI KASANTUNAN DALAM MENYINDIR BER-SANEPA

TERHADAP KETIDAKKONDUSIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN


Jhon Guruh Putra Pakarsi
17070835074
S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-Dhaerah Pascasarjana Unesa

Pendahuluan
Ketika di kelas seorang Guru pasti akan mengalami kesulitan dalam membimbing
siswanya yang gaduh. Permasalan ini terkadang bukan karena timbul dari siswa, akan tetapi
peran Guru yang perlu di gugu dan ditiru perlu memberi contoh. Kurangnya penguasaan
materi yang akan disampaikan Guru terhadap peserta didik juga sangat mempengaruhi
kekondusifan di dalam kelas. Pada saat pembelajaran membosankan pasti siswa akan
gaduh, ramai dan tidak terkontrol sehingga tercipta suasana di dalam kelas yang kacau.
Seorang Guru harus bisa menguasai kelas, harus bisa menjaga kekondusifan kegiatan
belajar-mengajar. Berbicara tentang pembelajaran, pentingnya berbahasa sangat perlu
diperhatikan. Guru harus tetap berwibawa di depan muritnya walaupun muritnya gaduh.
Dalam unen-unen bahasa jawa ajining diri saka ing lathi yang artinya berharganya diri dari
lidah. Ketika marah cukup berbicara dengan tegas tidak perlu marah-marah karena nanti
akan tidak terlihat berwibawa tetap santai tetapi dalam ucapanya mengandung makna yang
sangat menonjol dalam arti tafsirnya.
Bahasa dan penguasaan bahasa tidak cukup hanya pada elemen tata bahasa dan
kosa kata semata. Konsep kesantunan berbahasa perlu dibekalkan. Konsep ini dapat
diajarkan misalnya di speaking class. Di jenjang SLTA murit tidak perlu dimarahi terus-
terusan. Agar mampu menghasilkan bahasa daan terjemahan yang berkualitas seorang Guru
perlu menguasai beberapa kalimat sindiran. Tetapi harus memperhatikan budaya peserta
didik. Melalui bahasa yang merupakan bagian dari budaya. Oleh sebab itu siswa nanti akan
menerjemahkan dari satu kalimat bahasa sindiran ke bahasa lain dan tidak bisa dilakukan
tanpa pengetahuan yang memadai tentang budaya dan struktur bahasa tersebut.
(Larson,1984). Pemahaman tentang penerapan teori kasantunan dalam menyindir ber-
sanepa terhadap ketidakkondusifan siswa dalam pembelajaran. Siswa perlu diberikan
materi tentang konsep materi yang matang dan kesantuanan ini melalui kesalahan siswa,
contoh-contoh menyindir Ber-sanepa berbahasa Jawa akan diucapkan oleh Guru ditujukan
kepada peserta didik yang melakukan kesalahan.

Problematika Dalam Menyindir Ber-Sanepa Terhadap Ketidakkondusifan Siswa Dalam


Pembelajaran
Selama ini dalam komunikasi Guru ketika memarahi murit yang bandel masih
terkesan kurang santun. Oleh karena itu ketika terjadi kegaduhan di dalam kelas Guru tidak
perlu sakit hati. Dengan bahasa yang santun dan menerapan teori kasantunan dalam
menyindir ber-sanepa terhadap ketidakkondusifan siswa dalam pembelajaran, akan lebih
terasa. Walaupun kata-kata sindiran nanti tidak menyenangkan tetapi siswa akan lebih
menghargai Guru. Kasantunan berbahasa akan memperlancar murit dalam memperhatikan
materi yang disampaikan Guru, dengan catatan di dalam kelas tidak membosankan. Secara
umum pemilihan kata atau kalimat sindiran membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang
lain bisa bermakna lebih mulia atau lebih buruk, tergantung kalimat Sanepanya. Kejelasan
pengungkapan sindiran ber-sanepa itu nanti tergantuk keadaan di dalam kelas, jadi
kalimatnya menyesuaikan dengan permasalahan yang terjadi di dalam kelas.

Konsep Kasantunan Dalam Menyindir Ber-Sanepa Terhadap Ketidakkondusifan Siswa


Dalam Pembelajaran
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu kajian dari ilmu pragmatik. Jika
seseorang membahas mengenai kesantunan berbahasa, berarti pula membicarakan
pragmatik. Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa adalah Lakoff (1972),
Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978) dan Leech (1983). Teori mereka itu pada dasarnya
beranjak dari pengamatan yang sama, yaitu bahwa di dalam komunikasi yang sebenarnya,
penutur tidak selalu mematuhi Prinsip Kerja Sama Grice, yang terdiri atas maksim kualitas,
kuantitas, relevansi, dan cara/pelaksanaan itu. Perbedaannya antara lain terletak pada
bagaimana pakar-pakar itu melihat wujud kesantunan kaidah (kaidah sosial), sedangkan
Fraser serta Brown dan Levinson itu (mungkin karena yang paling mendalam), disusul oleh
teori Leech. Seperti yang di kemukakan Lakoff, 1972 (dalam Gunawan, 1994: 87)
berpendapat bahwa, ada tiga kaidah yang perlu kita patuhi agar ujaran kita terdengar
santun oleh pendengar atau lawan bicara kita. Ketiga kaidah kesantunan itu adalah
formalitas, ketangkasan, dan persamaan atau kesekawanan.
Berbeda dengan Lakoff (seperti yang disinggung di atas), Fraser, 1978 membahas
kesantunan bukan atas dasar kaidah, melainkan atas dasar strategi. Tetapi ia tidak merinci
bentuk-bentuk atau jenis-jenis strategi kesantunan itu seperti yang dilakukan oleh Brown
dan Levinson yang merinci strategi itu menjadi lima. (Fraser hanya menyebutkan bahwa ada
18 strategi untuk menyatakan direktif, tanpa menunjukkan yang mana yang lebih santun).
Namun, yang patut di catat dengan buah pikiran Fraser ialah bahwa ia membedakan
kesantunan dari penghormatan. Teori tentang kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi
muka atau wajah yaitu ’citra diri’ yang bersifat umum dan selalu ingin dimiliki oleh setiap
anggota masyarakat. Selain itu, kesantunan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk
menghindari konflik antara penutur dan lawan tuturnya di dalam proses berkomunikasi.
Dengan kata lain, baik penutur maupun mitra tutur memiliki kewajiban yang sama untuk
menjaga muka.
Kesantunan berbahasa erat kaitannya dengan etika berbahasa, hal ini dikarenakan
etika berbahasa juga mengatur tentang tata cara menggunakan bahasa dalam
berkomunikasi, Brown dan Levinson. Senada dengan beberapa pendapat, seperti telah
diuraikan sebelumnya, Brown dan Levinson (1987) menegaskan bahwa ada tiga skala yang
dapat dipakai untuk mengukur suatu kesantunan dalam masyarakat. Ketiga skala itu adalah
(a) jarak sosial di antara penutur dan mitra tuturnya, (b) hubungan kekuasaan atau
wewenang relatif di antara penutur dan mitra tuturnya, (c) tingkat kedudukan relatif tuturan
pada situasi tertentu dengan tuturan yang sama pada situasi yang lain. Ada beberapa
strategi yang menurut Brown dan Levinson dapat dipedomani dalam kesantunan negatif,
antara lain sebagai berikut.
Kasantunan merupakan salah satu prinsip yang terdapat dalam ilmu pragmatik.
Prinsip kasantunan yang selama ini dianggap paling lengkap di rumuskan oleh Leech (1983).
Leech menjelaskan rumusan kesantunan berbahasa dalam enam maksim yaitu (1) maksim
kebijakan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim penghargaan, (4) maksim kesederhanaan,
(5) maksim pemufakatan, dan (6) maksim simpati. Menurut Leech (1993 : 206), sopan
santun berkenan dengan hubungan antara dua pemeran serta yang dinamakan diri sendiri
dan orang lain. Prinsip sopan santun berlangsung pada percakapan penutur dan petutur.
Pendapat Leech yerdapat persamaan Wijana (1996 : 56), kesopanan berhubungan dengan
dua peserta percakapan, yakni diri sendiri dan orang lain. Jadi prinsip kesopanan harus
melibatkan dua orang percakapan yaitu penutur dan petutur.
Dengan demikian dapat di simpulkan kesantunan tuturan terjadi pada percakapan
penutur dan petutur dengan ditandai unsur-unsur untuk mewujudkan kesantunan dalam
tuturan. Untuk melengkapi teori-teori diatas, dengan prinsip kesantunan yang sering tidak
dipatuhi, Leech,1983 (dalam Sailan, 2014: 17) mengajukan tujuh maksim kesantunan yang
meliputi: a) Maksim Kebijaksanaan Dalam maksim kebijaksanaan, mengamanatkan agar
penutur memberikan keuntungan atau meminimalkan kerugian bagi mitra tutur ketika
berkomunikasi. Karena itu penutur harus menunjukkan keiklasan berkorban terhadap mitra
tutur. Sesungguhnya maksim kebijaksanaan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa
memandang status sosial. b) Maksim Kedermawanan Dalam maksim kedermawanan,
penutur harus rela memaksimalkan kerugian pada diri sendiri. Dalam hal ini ditunjukkan
oleh penutur atas kesediaanya memberikan sesuatu yang menjadi miliknya kepada mitra
tutur, agar mitra tutur menjadi tercukupi kebutuhannya. c) Maksim Pujian Maksim pujian ini
ditunjukkan oleh kesediaan penutur pada mitra tutur untuk memberi pujian atas
keberhasilan dan kelebihan mitra tutur. d) Maksim Perendahan Hati Maksim perendahan
hati ini ditunjukkan oleh upaya penutur untuk selalu memaksimalkan ketidakhormatan pada
diri sendiri, dan meminimalkan pujian pada diri sendiri serta tidak menunjukkan prestasi
yang telah diraih di hadapan banyak orang ketika menjalin konteks sosial. e) Maksim
Kesetujuan Maksim kesetujuan dicirikan oleh tercapainya kecocokan antara penutur dengan
mitra tutur. Di sini sikap konfrontasi diupayakan untuk dihindari, demi menjaga
keharmonisan dengan mitra tutur. f) Maksim Kesimpatian Maksim kesimpatian
mengharuskan peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan
rasa antipati kepada mitra tutur. Jika mitra tutur mendapatkan kesuksesan atau
kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Sebalikanya jika mitra tutur
mendapat kesusahan, musibah, atau cobaan penutur layak ikut berduka, atau
mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. g) Maksim Pertimbangan Maksim
pertimbangan mengharuskan penutur untuk meminimalkan rasa tidak senang pada mitra
tutur, dan memaksimalkan rasa senang pada mitra tutur. Penutur berkewajiaban meminta
pertimbangan/saran dari mitra tutur jika ada hal-hal tertentu yang patut dipertimbangkan
bersama. Biasanya dalam maksim pertimbangan dinyatakan dengan ungkapan bagaimana
dan sebaiknya.

Penerapan Kasantunan Dalam Menyindir Ber-Sanepa Terhadap Ketidakkondusifan Siswa


Dalam Pembelajaran
Penelitian ini menggunakan teori kasantunan kolaborasi, yaitu teori menurut Brown
dan Levinson, Leech. Penerapan strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan
Levinson terdiri atas ungkapan secara tidak langsung, Gunakan pagar (Hedge), bersikap
pesimisme, jangan membebani, berikan penghormatan, ungkapan menyindir menggunakan
bahasa konotatif, menggunakan bentuk impersonal, dan ujaran tindak tutur itu sebagai
ketentuan yang bersifat umum. Prinsip kesantunan berbahasa Jawa di lingkungan sekolahan
memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip kesantunan yang dikembangkan oleh Leech,
prinsip kesantunan yang dikembangkan oleh Leech terdiri atas maksim kebijaksanaan,
maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim perendahan hati, maksim kesetujuan,
maksim kesimpatian, dan maksim pertimbangan. Prinsip Kesantunan yang Dikembangkan
oleh Leech.

a. Maksim Kebijaksanaan
Maksim kebijaksanaan adalah bentuk tuturan yang mengutamakan sikap arif, tidak
memaksakan kehendak dalam mengutarakan maksud-maksud kepada lawan tutur yaitu
siswa, agar lawan tutur atau penyimak merasa senang dengan pembicaraan. Karena itu,
penutur atau Guru, harus menunjukkan keiklasan bdan tidak menyakiti hati terhadap mitra
tutur. Pematuhan maksim kebijaksanaan ini ditandai dengan pemilihan kata misalnya
menggunakan kata maaf, terima kasih, silahkan, mohon, dan tolong ketika berpendapat,
menegur, mempersilahkan, dan menyuruh. Penutur juga tidak diperbolehkan memaksakan
pendapatnya pada mitra tutur.

P : Mangga Le.... le-le... wih sregepe Arek Iki, lumbraha sregepmu banter keyong.
Mt : Nyuwun pangapunten Pak Kula terlambat, amargi wonten margi Macet...
P : Omonganmu arang wulu truwelu. (tangan penutur sambil menjewer Mt)

Data Konteks: Tuturan terjadi pada pagi hari hari ketika Yayan (Siswa Kelas 3 Jurusan
Teknik Komputer Jaringan) terlambat masuk kelas karena pagi itu ketika masuk sekolah di
jalan sedang macet. Guru kemudian menyidir Yayan, kemudian Yayan meminta maaf
kepada Gurunya dengan sesuatu alasan agar tidak dimarahi karena terlambat masuk kelas.
Penutur (Guru) : “le....le Sregepmu banter keyong”. Maksutnya Penutur menyindir adalah
Keyong jalannya mrambat, pelan sekali. Perkataan “banter keyong” menunjukkan seseorang
yang jalannya amat pelan, atau dalam melakukan mencari Ilmu amat lamban. Mitra tutur
(Yayan) : “Nyuwun pangapunten Pak Kula terlambat, amargi wonten margi Macet” Penutur
(Guru) : “Omonganmu arang wulu truwelu.” Maksut dari menyindir ber-sanepa omonganmu
arang truwelu adalah bulu kelinci itu lebat jadi kebalikanya bicaranya banyak alasan.
Menurut ukuran solidaritas, tuturan tersebut dalam batas kewajaran, berdasarkan ukuran
kesantunan menurut Leech dalam percakapan antara Guru dan murit termasuk santun
karena mematuhi maksim kebijaksanaan dimana penutur memaksimalkan keuntungan pada
mitra tutur karena penutur lebih mudah dari mitra tutur. Hal ini terlihat pada pemilihan kata
yang halus seperti menggunakan kalima Sanepa. Penggunaan kalimat Sanepa dituturkan
oleh Guru karena muritnya terlambat masuk kelas. Peminimalan kerugian dilakukan oleh
penutur agar mitra tutur tidak merasa sakit hati karena perbuatan penutur yang terlambat
masuk kelas. Data di atas menunjukkan tuturan yang dilakukan oleh dua orang dengan
status berbeda, Guru memiliki status yang lebih tinggi sedangkan Yayan sebagai murit
memiliki status yang lebih rendah dari segi usia maupun derajat.

b. Maksim Kedermawanan
Maksim kedermawanan ini penutur harus rela memaksimalkan kerugian pada diri
sendiri. Tuturan akan menjadi santun, jika penutur mampu menghormati orang lain dengan
cara memaksimalkan keuntungan pada lawan tuturnya. Perbedaan mencolok dengan
maksim kebijaksanaan bahwa maksim kedermawanan menawarkan suatu perbuatan atau
tingkah laku, tetapi mitra tutur ada kemungkinan untuk menolak apa yang menjadi tawaran
penutur.

P : Iki kelas apa pasar?


Mt : kelas...... Pak!!! (Mt kembali kondusif)
P : Yowis, yen wis ngerti, aja padha Saur manuk!
Mt : Inggih Pak, nyuwun pangapunten.

Data Konteks: Peserta tuturan yaitu Guru dan Murit (Fuad). Tuturan terjadi pada
siang hari didalam kelas saat Pelajaran. Guru menyuruh siswa menyelesaikan tugas
sekolahnya setelah Guru menyampaikan materi. Penutur (Guru) : “Iki kelas apa pasar?”
sindiran ini diucapkan oleh Guru untuk menyindir kepada siswa, karena didalam kelas
keadaan gaduh. Mitra tutur (Fuad sebagai ketua kelas) : “kelas...... Pak” seketika itu kelas
menjadi kondusif. Penutur (Guru) : “Yowis, yen wis ngerti, aja padha Saur manuk!” maksut
dari Panutur menyindir saur manuk adalah jangan ramai seperti ocehan burung-burung. Mt
menjawab lagi: “Inggih Pak, nyuwun pangapunten”. Menurut ukuran solidaritas, tuturan “iki
kelas apa pasar?” dalam batas kewajaran, berdasarkan ukuran kesantunan menurut Leech
dalam tuturan antara Guru dan murit di atas termasuk santun. Penutur menyuruh atau
memerintah siswa atau mitra tutur untuk tidaak ramaai gaaduh daalaam kelas. Percakapan
tersebut mematuhi maksim kedermawanan karena penutur memaksimalkan kerugian dan
meminimalkan keuntungan pada diri sendiri. Pemaksimalan kerugian terjadi karena penutur
memberi tahu mitra tutur dengan bahasa yang halus untuk tetap kondusif saat
pembelajaraan di kelas. Data di atas menunjukkan tuturan yang dilakukan oleh dua orang
peserta tutur dengan status berbeda, Guru memiliki status yang lebih tinggi sedangkan Fuad
sebagai murit memiliki status yang lebih rendah dari segi usia maupun drajat.
c. Maksim Pujian
Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat
kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri. Tuturan dikatakan
santun jika dapat memberi pujian atau penghargaan untuk orang lain sehingga orang lain
akan merasa senang. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak
saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang
sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang
yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak
menghargai orang lain.

P : Biji ulangan harian Basa Jawamu lumayan mudhak Rek , sinaua mlakune sepur.
Ora mandheg sadurunge teka tujuwane. (P menyerahkan hasil ujian)
Mt : inggih Pak, em...... (Mt senang melihat nilainya bagus ketika menerima hasil
ujian)

Data Konteks: Peserta tuturan yaitu Guru dan Murit (Sonif). Tuturan terjadi pada
siang hari di ruang kelas ketika Guru melihat nilai bahasa jawa Sonif. Guru memuji Sonif
karena nilai Bahasa jawanya lumayan bagus dan menasihatinya agar lebih giat belajar.
Penutur (Guru) : “Biji ulangan harian Basa Jawamu lumayan mudhak Rek , sinaua mlakune
sepur. Ora mandheg sadurunge teka tujuwane. (sambil menyerahkan hasil ujian)” Mitra
tutur (Sonif) : “Inggih Pak, em, kemarin saya belajar memang. Menurut ukuran solidaritas,
tuturan “Biji ulangan harian Basa Jawamu lumayan mudhak Rek , sinaua mlakune sepur. Ora
mandheg sadurunge teka tujuwane” dalam batas kewajaran, tetapi berdasarkan ukuran
kesantunan menurut Leech tuturan yang dituturkan antara Guru dan Murit (Sonif) termasuk
santun karena mematuhi maksim pujian. Tuturan Guru, terasa santun karena merupakan
apresiasi atau penghargaan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur karena
memperoleh nilai yang lumayan bagus pada mata pelajaran bahasa jawa. Pemberian
sindiran Ber-sanepa Sinaua mlakune sepur dapat dikatakan santun karena termasuk
perbuatan menghargai suatu tindakan dari mitra tutur, sebagaimana belajarlah jalanya
sepur. Belajar jalanya kereta itu sangat cepat, tidak berhenti kalau tidak di tempat yang akan
dituju, artinya belajar lebih cepat dan rajin lagi. Data di atas menunjukkan tuturan yang
dilakukan oleh dua orang dengan status berbeda, Guru memiliki status yang lebih tinggi
sedangkan Sonif sebagai anak memiliki status yang lebih rendah dari segi usia maupun
derajat.

d. Maksim Perendahan Hati


Maksim perendahan hati ditunjukkan oleh upaya penutur untuk selalu
memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan pujian pada diri
sendiri serta tidak menunjukkan prestasi yang telah diraih di hadapan banyak orang ketika
menjalin konteks sosial. Maksim ini menuntut setiap peserta tutur untuk menghindari kata-
kata yang meninggikan diri sendiri atau mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang
akan dikatakan sombong atau angkuh apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji atau
membangga-banggakan dirinya.

P : Ayo sinau nulis aksara jawa bareng-bareng, guyonane leren dhisik.


Mt : Males pak, ngrekaos.
P : Ora ana kawruh sing angel, barang ketok kok. Aja mikir kaya jerune tapake meri,
tegese, angger gak isa terus mandheg, kuwi pikirane cethek, kaya napake sikil meri.

Data Konteks: Tuturan terjadi pada sore hari pada jam-jam terahir pelajaran di
tempat ruang kelas. Peserta tuturan yaitu Guru dan Murit (Sahrul). Guru meminta Sahrul
untuk lebih giat dalam belajar aksara jawa. Penutur (Guru) : “Ayo sinau nulis aksara jawa
bareng-bareng, guyonane leren dhisik.” Mitra tutur : “Males pak, ngrekaos” Penutur (Guru) :
“Ora ana kawruh sing angel, barang ketok kok. Aja mikir kaya jerune tapake meri, tegese,
angger gak isa terus mandheg, kuwi pikirane cethek, kaya napake sikil meri” dalam batas
kewajaran, berdasarkan ukuran kesantunan menurut Leech menunjukkan bahwa tuturan
Guru kepada mitra tutur di atas termasuk santun dengan mematuhi maksim perendahan
hati. Peminimalan sikap angkuh mitra tutur terlihat pada tuturan tersebut walaupun mitra
tutur agar lebih belajar lebih giat lagi tetapi agar mampu lebih semangat dalam belajar. Data
di atas menunjukkan tuturan yang dilakukan oleh dua orang peserta tutur yaitu Guru dan
Murit dengan status yang sama dari segi usia.

e. Maksim Kesetujuan
Dalam maksim kesetujuan dicirikan oleh tercapainya kecocokan antara penutur
dengan mitra tutur. Maksim ini mengharuskan peserta tutur dapat saling membina
kesetujuan atau kecocokan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kesetujuan atau
kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari
mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.

P : ayo sapa sing durung paham, aja meneng wae. Aja kaya manthuke layangan.
Mt : manthuke layangan niku kados pundi, pak!
P : ya... bisane mung gedhag-gedheg wae, nanging ora wani takon.

Data Konteks: Percakapan terjadi pada pagi hari saat Guru dan Murit (Erni) berada di
dalam ruang kelas. Guru meminta siswa bertanya kepada agar tingkat kekrtitisan siswa
bertaambah dalam belajar. Penutur (Guru) : “ayo sapa sing durung paham, aja meneng wae.
Aja kaya manthuke layangan” Mitra tutur (Erni) : “manthuke layangan niku kados pundi,
pak!” Penutur (Ilma) : “ya... bisane mung gedhag-gedheg wae, nanging ora wani takon.”
Menurut ukuran solidaritas, tuturan “Aja kaya manthuke layangan”dalam batas kewajaran,
berdasarkan ukuran kesantunan menurut Leech tuturan penutur (Ilma) terhadap mitra tutur
(Erni) mematuhi maksim kesetujuan karena penutur mampu membina kecocokan pendapat
dengan mitra tutur. Tuturan penutur yang meminta izin kepada mitra tutur untuk bertanya
tetapi disindir dengan kalimat sanepa, tuturan tersebut termasuk maksim kesetujuan
karena antara penutur dan mitra tutur menunjukkan adanya kesepakatan. Data di atas
menunjukkan tuturan yang dilakukan oleh dua orang peserta tutur yaitu Guru dan murit
(Erni) dengan status yang berbeda dari segi usia. Jadi, dari tuturan tersebut terlihat bahwa
mitra tutur mampu memaksimalkan kecocokan pendapat dengan penutur.
f. Maksim Kesimpatian
Maksim ini diharapkan peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan
meminimalkan rasa antipati kepada mitra tutur. Jika mitra tutur mendapatkan kesuksesan
atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Sebaliknya jika mitra tutur
mendapatkan kesusahan, musibah, atau cobaan penutur layak ikut berduka, atau
mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Tuturan akan terasa santun jika
dapat menunjukkan sikap simpatinya yang tulus pada peserta lain.

P : wektumu sekolah kuwi kaya-kaya kaleme banyu nggrojok. Tegese, cepet


banget, mula aja kakeyan guyon, dolan-dolan, penyesalan selalu datang
dibelakang.
Mt : inggih, pak!

Data Konteks: Peserta percakapan yaitu Guru dan Murit (Firin). Tempat percakapan
terjadi di dalam kelas pada sore hari. Guru memberitahu firin tentang waktu sekolah yang
sangat cepat yang nantinya dialami oleh murit. Penutur (Guru) : “wektumu sekolah kuwi
kaya-kaya kaleme banyu nggrojok. Tegese, cepet banget, mula aja kakeyan guyon, dolan-
dolan, penyesalan selalu datang dibelakang i.” Mitra tutur (Ilma) : “inggih, pak!”. Menurut
ukuran solidaritas, tuturan sindiran ber-sanepa “kaleme banyu nggrojok” dalam batas
kewajaran, berdasarkan ukuran kesantunan menurut Leech menunjukkan bahwa tuturan
Guru kepada murit (firin) dianggap santun karena mematuhi maksim kesimpatian. Mitra
tutur menunjukkan sikap ikut merasakan apa yang disampaikan Gurunya Itu benar. Rasa
kesimpatian panutur kepada Mitra Tutur yang perlu motivasi diwujudkan dengan tuturan
yang sangat sopan dan didasari kalimat makna konotatif. Permasalahan akan terjadi jika
mitra tutur mempunyai sikap antipati terhadap Penutur yang belum sadar akan pentingnya
mengontrol waktu bersekolah. Data di atas menunjukkan tuturan yang dilakukan oleh dua
orang peserta tutur yaitu Guru dan murit dengan status yang berbeda dari segi usia.

g. Maksim Pertimbangan
Maksim perimbangan mengharuskan penutur untuk meminimalkan rasa tidak
senang pada mitra tutur, dan memaksimalkan rasa senang pada mitra tutur. Penutur
berkewajiaban meminta pertimbangan/saran dari mitra tutur jika ada hal-hal tertentu yang
patut dipertimbangkan bersama. Biasanya dalam maksim pertimbangan dinyatakan dengan
ungkapan bagaimana dan sebaiknya.
P : Swara nembang macapatmu manise jeruk. Kepriye upama becike, aja rame
nalika kancane mraktekake nembang Macapat.
Mt : inggih Pak. Nyuwun Pangapunten.
P : Sakjane Swaramu yen kulina nembang Sepet madu.
Data Konteks: Peserta tuturan yaitu Guru dan murit. Tuturan tersebut terjadi pada
pagi hari saat kegiatan belajar mengajar di ruang kelas. Guru meminta muritnya untuk
memperhatikan temanya yang sedang praktek nembang macapat agar ketika waktunya
mempraktekan nembang dia lebih kelihatan bagus. Penutur (Guru) : Swara nembang
macapatmu manise jeruk. Kepriye upama becike, aja rame nalika kancane mraktekake
nembang Macapat.” Mitra tutur (Murit) : “inggih Pak. Nyuwun Pangapunten”. Panutur :
Sakjane Swaramu yen kulina nembang Sepet madu. Menurut ukuran solidaritas, tuturan
“Swara nembang macapatmu manise jeruk. Kepriye upama becike, aja rame nalika kancane
mraktekake nembang Macapat.” dalam batas kewajaran, tetapi berdasarkan ukuran
kesantunan menurut Leech menunjukkan bahwa tuturan antara Guru dan murit termasuk
santun. Percakapan tersebut mematuhi maksim pertimbangan karena penutur meminta
pertimbangan kepada mitra tutur. Data di atas menunjukkan tuturan yang dilakukan oleh
dua orang peserta tutur dengan status berbeda, Guru memiliki status yang lebih tinggi
sedangkan murit memiliki status yang lebih rendah dari segi kekuasaan. Jadi, dari tuturan
tersebut terlihat bahwa penutur mampu memaksimalkan rasa senang pada mitra tutur.

Inferensi
Dengan bahasa yang santun, Guru dapat berkomunikasi dengan lebih terhormat.
penerapan teori kasantunan dalam menyindir ber-sanepa terhadap ketidakkondusifan siswa
dalam pembelajaran akan lebih mencegah kegaduhan di dalam kelas. Dari beberapa
keistimewaan identitas maksim-maksim dalam teori kesantunan dapat diterapkan dalam
kegiatan pembelajaran. Bisa disimpulkan berdasarkan konteks cara memberikan sindiraan
dan wujud Sanepa. Caranya memberi nasehat yang digunakan oleh penutur bergantung
dengan kalimat Sanepa apa yang di Gunakan (isi kalimatnya) kepada siswa didalam kelas.
Konteks berdasarkan wujud sindiran yaitu wujud kalimat bahasa yang digunakan dan isinya
adalah konotatif. Bentuk sindiran dalam wujud sanepa bisa juga dikatakan sebagai
pepindhan, membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Membandingkan secara
terbalik atau ciri khas sindiran orang jawa, dengan sanepa ini orang disindir tidak akan
tersinggung, karena dipaksa berfikir dua kali. Jadi Kalimat sanepa sebagai salah satunya
jenis makna konotatif berisi membandingkan hakikat sesuatu atau perkara tertentu di
dalam kelas. Berdasarkan maksudnya, wujudnya kalimat sanepa yaitu berwujud kalimat
membandingkaan, kalimat perintah dalam bentuk sindiran.
Daftar Pustaka
Gunawan, Asim. 1994. Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di
Jakarta: Kajian Sosiopragmatik. PELBA 7: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa
Atma Jaya: Ketujuh”. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Hanafi, Hilaluddin. 2011. Esensi dan Inovasi Berbahasa Indonesia, Panduan Pembelajaran
MPK Bahasa Indonesia. Kendari-Sultra: KOMUNIKA.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka. Jakarta:UI-
Press.

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. New York: Cambridge University Press.

Meilinar, Fina. 2013. Analisis Kesantunan Berbahasa Customer Service pada Bank Di Kota
Bireuen Dalam Berinteraksi dengan Nasabah. http://ciimuanies.blogspot.com/2013/09/
analisis-kesantunan-berbahasa-customer.html (diakses tanggal 16 Maret 2015).

Nurjamily, Wa Ode. 2015. Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Lingkungan Keluarga


(Kajian Sosiopragmatik). Dipublikasikan Jurnal Humanika No.15, Vol. 3. Dimuat
dalam http://id.portalgaruda.org/index.php?
ref=browse&mod=viewarticle&article=421480 (diakses tanggal 9 April 2018).

Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahardi, Kunjana. 2005. PRAGMATIK: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:


ERLANGGA.
Sailan, Zalili. 2014. Pidato Ilmiah: Solidaritas dan Kesantunan Berbahasa (Telaah
Pragmatik). Kendari.
Suparno. 2008. Kesantunan Berbahasa Indonesia dan Implikasinya dalam Pendidikan.
Jembatan Merah: Jurnal Ilmiah Pengajaran Bahasa dan Sastra Volume 2 1-7.
Surabaya: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Yule, George. 2006. Pragmatik. Terjemahan Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta :Andi offset.

Anda mungkin juga menyukai