Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KESANTUNAN BERBAHASA

TINDAK TUTUR IMPERATIF

Disusun oleh :
Dimas Mawardi (1516500023)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan

identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat yang timbul

karena rapatnya komunikasi atau integrasi simbolis, dengan tetap menghormati kemampuan

komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan.

Interaksi masyarakat tutur pesantren (kiai, santri, guru (ustadz/ustadzah), pengurus pondok dan

lain-lain) selalu dilandasi oleh norma-norma pesantren. Dalam berkomunikasi, norma-norma itu

tampak dari perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi

imperatif misalnya, terlihat pada bagaimana penutur mengungkapkan perintah, keharusan, atau

larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Sedangkan perilaku nonverbal tampak dari gerak

gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural menghendaki agar manusia bersikap santun

dalam berinteraksi dengan sesamanya.

Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa

adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur. Keberhasilan

penggunaan strategi-strategi ini menciptakan suasana kesantunan yang memungkinkan transaksi

sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur (Ismari, 1995: 35).

Masyarakat pesantren merupakan tipologi masyarakat hard-shelled. Pada komunitas ini terjadi

interaksi minimal dan pemeliharaan maksimal pada bahasa dan kebudayaan. Komunikasi santri

terhadap ustadzah maupun pengurus sangat terbatas dikarenakan status sosial yang berbeda.
Rumusan Masalah

Mengacu pada fenomena yang telah dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan masalah agar

penelitian ini terarah dan mengena pada tujuan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

bagaimana kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat

Banjaranyar Paciran Lamongan?


BAB II

Landasan Teori

Pragmatik

Levinson (1983) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa

dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak

dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.

Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji makna

dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna

dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna yang bersifat

triadis (Wijana, 1996: 2-3). Makna-makna yang demikian itu kiranya dapat disebut sebagai

maksud (Verhaar, 1992) yaitu maksud penutur. Oleh karena itu, Gunarwan (1994: 83)

mendefinisikan pragmatik itu sebagai bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran (Lubis,

1993: 9).

Teori Tindak Tutur

Teori tindak tutur adalah pandangan yang mempertegas bahwa ungkapan suatu bahasa

dapat dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan situasi konteks terjadinya ungkapan

tersebut.

Searle (1976) mengklasifikasikan tindak tutur dengan berdasarkan pada maksud penutur

ketika berbicara ke dalam lima kelompok besar, yaitu:

a. Representatif: Tindak tutur ini mempunyai fungsi memberitahu orang-orang mengenai sesuatu.

Tindak tutur ini mencakup mempertahankan, meminta, mengatakan, menyatakan dan

melaporkan.
b. Komisif: Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu, misalnya janji dan

ancaman.

c. Direktif: tindak tutur ini berfungsi untuk membuat petutur melakukan sesuatu, seperti saran,

permintaan, dan perintah.

d. Ekspresif: Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai

keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan terima kasih.

e. Deklaratif: tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan misalnya

ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ’Saya mengundurkan diri’, memecat

seseorang dengan mengatakan ’Anda dipecat’, atau menikahi seseorang dengan mengatakan

’Saya bersedia’.

Dalam teori tindak tutur satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi.

Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya

bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran.

Seperti tampak pada contoh tuturan berikut:

Santri 1 : Hawane puanas. (Sambil memegang tenggorokan)

’Udaranya panas sekali’

Santri 2 : Tak jupukna ngombe.

’Aku ambilkan minuman’

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan seorang santri kepada temannya yang baru saja pulang sekolah di

asrama mereka.
Ujaran ”Hawane puanas” tersebut berfungsi sebagai permintaan, sama seperti Aku

jupukna ngombe ’Ambilkan aku minuman’. Seorang santri mungkin juga menyatakan

permintaan dalam bentuk pernyataan mengenai keadaan tubuh dengan mengatakan Aku ngorong

’Aku haus’.

Dengan adanya berbagai macam cara untuk menyatakan permintaan tersebut dapat

disimpulkan dua hal mendasar, yakni adanya (1) tuturan langsung dan (2) tuturan tidak langsung

sebagaimana yang telah diungkapkan Fatimah (Fatimah, 1994: 65-70).

Tingkat kelangsungan tuturan itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh

serta kejelasan pragmatiknya. Yang dimaksud dengan jarak tempuh adalah jarak antara titik

ilokusi yang berada dalam diri penutur dengan titik tujuan ilokusi yang terdapat dalam diri mitra

tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya semakin tidak langsunglah tuturan itu. Demikian pula

sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan kejelasan pragmatik adalah kenyataan bahwa

semakin tembus pandang sebuah tuturan akan semakin langsunglah tuturan tersebut. Jika

dikaitkan dengan kesantunan, semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin tidak

santunlah tuturan itu, sebaliknya semakin tidak tembus pandang maksud tuturan akan menjadi

semakin santunlah tuturan itu.

Kesantunan Berbahasa

Fraser dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with

neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan

adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si

pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi

kewajibannya.
Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama, kesantunan itu

adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat

pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja

sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si

pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga,

kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah

ujaran terdengar santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak

melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi kewajibannya

kepada lawan bicaranya itu.

Hildred Geertz dalam Franz Magnis-Suseno (2001: 38) menyatakan bahwa ada dua kaidah yang

paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Dua kaidah ini sangat erat

hubungannya dengan kesantunan berbahasa. Kaidah pertama, bahwa dalam setiap situasi

manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Franz

menyebut kaidah ini sebagai prinsip kerukunan. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam

cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai

dengan derajat dan kedudukannya. Franz menyebut kaidah kedua ini sebagai prinsip hormat.

Menurut Mulder (1973), keadaan rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan

damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat.

Pendapat Mulder ini diperkuat oleh pernyataan Hildred Geertz (1967) bahwa berlaku rukun

berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi

sebagai hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Dalam kaitannya

dengan prinsip hormat, Hildred Geertz menjelaskan ada tiga perasaan yang harus dimiliki

masyarakat Jawa dalam berkomunikasi dengan tujuan untuk menciptakan situasi-situasi yang
menuntut sikap hormat, yaitu wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Ketiga hal tersebut

merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk

memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat. Dengan demikian

individu merasa terdorong untuk selalu mengambil sikap hormat, sedangkan kelakuan yang

kurang hormat menimbulkan rasa tak enak (Franz, 2001: 65).

Dalam masyarakat pesantren prinsip kerukunan dan prinsip hormat ini terlihat dengan jelas.

Mereka sangat menjaga kerukunan antarsantri dan sebisa mungkin untuk menghindari konflik di

lingkungan pesantren. Para santri berusaha menjaga keseimbangan sosial yang di dalamnya

terdapat norma-norma bagi santri. Bahkan sesama santri sering terlihat suka bekerja sama dan

saling menerima. Semua hal tersebut tercermin dalam kegiatan santri serta komunikasi santri

sehari-hari, bagaimana santri berkomunikasi dengan teman serta dengan pengurus pondok

maupun ustadzah. Dalam komunikasi mereka sering menunjukkan sikap wedi (takut), isin

(malu), dan sungkan terhadap santri yang mempunyai derajat atau kedudukan yang lebih tinggi.

Menurut Leech dan Brown dan Levinson prinsip kerja sama sebagaimana yang dikemukakan

Grice dalam komunikasi yang sesungguhnya sering dilanggar atau tidak dipatuhi oleh para

peserta tutur. Hal ini disebabkan karena di di dalam komunikasi tujuan kita tidak hanya

menyampaikan informasi saja, melainkan juga untuk menjaga atau memelihara hubungan-

hubungan sosial antara penutur dan petutur (walaupun ada peristiwa-peristiwa tutur tertentu yang

tidak menuntut pemeliharaan hubungan itu). Kebutuhan noninformatif ini termasuk dalam

kebutuhan komunikatif yang bersifat semesta.

Jika tujuan kita berkomunikasi hanya untuk menyampaikan informasi saja, maka strategi yang

paling baik diambil adalah menjamin kejelasan pragmatik (pragmatic clarity) dan menjamin

ketibaan daya ilokusi (illocutionary force) di titik ilokusi (di benak pendengar) paling segera.
Akan tetapi pada komunikasi sehari-hari, ujaran-ujaran seperti itu dianggap terlalu berterus

terang dan oleh sebagian masyarakat dinilai tidak santun.

Untuk menentukan parameter kesantunan imperatif (dalam hal ini Leech menyebutnya

impositif), Leech (1993) mengemukakan tiga skala kesantunan, yaitu:

1. Cost-benefit scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer. Cost-benefit

scale atau skala kerugian dan keuntungan menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan

keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan.

2. Optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a

spesific linguistic act. Optionally scale atau skala pilihan menunjuk kepada banyak atau

sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan

bertutur.

3. Indirectness scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to

establish the intended speaker meaning. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan

menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.

Teori kesantunan berbahasa menurut Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka

(face). Semua orang yang rasional memiliki muka (dalam arti kiasan) dan muka itu harus dijaga,

dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut mereka nosi muka itu dapat dibedakan menjadi

muka negatif dan muka positif.

Muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai

dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari

keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri setiap orang

(yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa
yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau

dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut

dihargai, dan seterusnya. Kesantunan imperatif berkenaan dengan muka negatif, dimana tuturan

ini berfungsi untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu.

Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan ancaman terhadap muka. Tindak ujaran seperti itu oleh

Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatening Act (FTA). Untuk mengurangi ancaman

itulah di dalam berkomunikasi kita perlu menggunakan sopan santun bahasa. Karena ada dua sisi

muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesantunan pun dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif

(untuk menjaga muka positif). Sopan santun dalam penggunaan imperatif pada contoh di bawah

ini misalnya, dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan

petutur, yang sebenarnya tidak lagi demikian. Muka penutur pun dapat terancam oleh tindak

ujarannya. Sebuah ajakan, misalnya, dapat mengancam muka penutur. Untuk melindungi muka

dari ancaman itu, penutur dapat menggunakan tindak ujar tak langsung. Perhatikan kalimat

berikut:

Mene awan nganggur Is?

’Besok siang menganggur Is?’

Konteks tuturan pada kalimat itu diucapkan oleh santri kepada temannya (mitra tutur). Tuturan

tersebut dapat ditafsirkan sebagai strategi untuk melindungi muka diri. Kalau ajakan itu ditolak,

maka mitra tutur dapat menyelamatkan mukanya dengan balik bertanya:

Sopo sing ate dolan nang kamarmu? Aku lak takon thok.

’Siapa yang akan main ke kamarmu? Aku kan hanya bertanya’


Konteks tuturan:

Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya yang beda kamar saat satu hari sebelum hari

libur sekolah.

Menurut Brown dan Levinson, karena adanya ancaman tindak ujaran itulah penutur perlu

memilih strategi untuk mengurangi atau, kalau dapat, menghilangkan ancaman itu. Brown dan

Levinson mengidentifikasikan empat strategi dasar dalam kesantunan berbahasa, yaitu strategi 1

kurang santun, strategi 2 agak santun, strategi 3 lebih santun, dan strategi 4 paling santun.

Keempat strategi kesantunan ini harus dikaitkan dengan parameter pragmatik (Wijana, 1996: 64-

65).

Dalam model kesantunan Brown and Levinson (1987) terdapat tiga parameter atau skala penentu

tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara

kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut:

1. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and

hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, kenis kelamin, dan latar belakang

sosiokultural.

2. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative

power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada

kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.

3. Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating atau lengkapnya adalah

the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services

didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya.
Baik kesantunan yang mendasarkan pada maksim percakapan maupun pandangan

kesantunan yang mendasarkan pada konsep penyelamatan muka, keduanya dapat dikatakan

memiliki kesejajaran. Kesejajaran itu tampak dalam hal penentuan tindakan yang sifatnya tidak

santun atau tindakan yang mengancam muka dan tindakan santun atau tindakan yang tidak

mengancam muka.

Imperatif

Beberapa ahli tata bahasa menggunakan istilah lain yang pada dasarnya tidak jauh berbeda

dengan istilah kalimat imperatif, diantaranya Alisjahbana dan Gorys Keraf yang menggunakan

istilah kalimat perintah.

Alisjahbana (1978) mengartikan kalimat perintah sebagai ucapan yang isinya

memerintah, memaksa, menyuruh, mengajak, meminta, agar orang yang diperintah itu

melakukan apa yang dimaksudkan di dalam perintah. Berdasarkan maknanya, yang dimaksud

dengan memerintah adalah memberitahukan kepada mitra tutur bahwa si penutur menghendaki

orang yang diajak bertutur itu melakukan apa yang diberitahukannya.

Gorys Keraf (1991) banyak menjelaskan kalimat perintah bahasa Indonesia dalam karya

ketatabahasaannya. Ia mendefinisikan kalimat perintah sebagai kalimat yang mengandung

perintah atau permintaan agar orang lain melakukan sesuatu seperti yang diinginkan orang yang

memerintah itu.

Dalam komunikasi sehari-hari, tuturan bermakna imperatif bisa diwujudkan dengan

tuturan deklaratif maupun tuturan interogatif. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada contoh

berikut:

(a) Tutupen lawange!


’Tutup pintunya!’
(b) Angine nggarai krekes-krekes.
’Anginnya membuat (aku) meriang.’
(c) Sampeyan gak wedi masuk angin ta mbak?
’Kamu tidak takut masuk angin mbak?’

Konteks tuturan:

Tuturan tersebut diucapkan santri kepada teman satu kamarnya saat angin bertiup kencang.

Ketiga tuturan di atas mempunyai makna imperatif meskipun ada tuturan yang berwujud

deklaratif (tuturan b) dan berwujud interogatif (tuturan c). Ketiga tuturan tersebut memiliki

makna imperatif yang sama yaitu menyuruh mitra tuturnya untuk menutup pintu kamar.

Kashiwazaki dalam Roni (2005: 80) mengungkapkan makna dasar ungkapan yang menuntut

tingkah laku mitra tutur menjadi tiga, yaitu:

a. Makna perintah

Pada makna perintah, jika hasil tindakan berfaedah (menguntungkan) bagi 01 maka akan

menjadi beban (kerugian) bagi 02, dan jika berfaedah bagi 02 kadang-kadang juga menjadi

beban bagi 01. tetapi dalam fungsi ini 02 dituntut harus melakukan suatu tindakan. Dengan kata

lain faktor pilihan (option) 02 sangat kecil bahkan tidak ada. Perhatikan contoh berikut:

Disemak kitabe! Ojo ngomong dewe.


‘Dilihat kitabnya! Jangan ngomong sendiri.’

Konteks tuturan:

Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri ketika sedang mengajar dan mendapati dua

santri yang sedang bicara sendiri.


b. Makna permintaan

Pada makna permintaan, hasil dan tindakan 02 berfaedah (menguntungkan) bagi 01 (atau

mungkin orang ketiga), dan sebaliknya menjadi beban (merugikan) bagi 02. Pilihan manasuka

(option) untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah “sedikit banyak

ada“. Perhatikan contoh berikut:

Tulung jupukna disketku ijo iku!


’Tolong, ambilkan disketku (yang berwarna) hijau itu!’

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan santri kepada temannya di ruang kelas.

c. Makna nasehat (rekomendasi).

Pada makna nasehat, hasil dari tindakan 02 berfaedah bagi 02 sendiri. Bagi 01 kadang-kadang

tidak menjadi beban, tetapi kadang-kadang juga menjadi beban. Dalam fungsi ini pilihan

manasuka (option) untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah

“ada“.

Nggawea jam lek ujian.


’Pakailah jam (jam tangan) kalau ujian.’

Konteks tuturan:

Tuturan tersebut terjadi antarsantri ketika akan berangkat ujian.


BAB III

Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan alat prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan

penelitian (Djajasudarma, 1993: 3). Sebagai upaya mencapai tujuan penelitian, peneliti

menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif. Dalam kajiannya,

metode deskriptif menjelaskan data atau objek secara natural, objektif, dan faktual (apa adanya)

(Arikunto, 1993: 310). Metode deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan apa adanya hasil

dari pengumpulan data yang telah dilakukan oleh penulis. Metode deskriptif dipilih oleh penulis

karena metode ini dapat memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai individu,

keadaan bahasa, gejala atau kelompok tertentu.

Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang secara

langsung berkaitan atau berkenaan dengan masalah yang diteliti dan secara langsung dari

sumber. Sumber tersebut dapat berupa dialog maupun konversasi (percakapan) santri yang di

dalamnya terkandung kesantunan imperatif beserta dengan wujud tanggapannya. Tanggapan

tersebut dapat bersifat verbal maupun nonverbal.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dan

metode cakap. Metode simak memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap (Mahsun, 2005:

90). Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakekatnya

penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Dalam arti, peneliti dalam upaya mendapatkan

data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seorang atau beberapa santri, ustadzah, dan
pengurus. Selanjutnya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak

libat cakap. Dalam teknik simak libat cakap, peneliti melakukan penyadapan itu dengan cara

berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan.

Dalam hal ini, peneliti terlibat langsung dalam dialog. Selanjutnya teknik catat adalah teknik

lanjutan yang dilakukan peneliti ketika menerapkan metode simak dengan teknik lanjutan di atas.

Selain itu, peneliti juga menggunakan metode cakap. Metode penyediaan data dengan metode

cakap disebabkan cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan

antara peneliti dengan informan (Mahsun, 2005: 90). Metode cakap memiliki teknik dasar berupa

teknik pancing, karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya

dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk

memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Pancingan atau stimulasi itu

berupa bentuk atau makna-makna yang tersusun dalam bentuk daftar pertanyaan. Selanjutnya,

teknik dasar tersebut disertai dengan teknik lanjutan cakap semuka. Pada pelaksanaan teknik

cakap semuka, peneliti langsung melakukan percakapan dengan penggunaan bahasa sebagai

informan dengan bersumber pada pancingan yang sudah disiapkan atau secara spontanitas,

maksudnya pancingan dapat muncul di tengah-tengah percakapan.

Metode Analisis Data

Analisis mengandung pengertian penentuan satuan lingual berdasar teori tertentu dan dengan

pengujian teknik tertentu pula (Sudaryanto, 1998: 51). Dalam analisis ini penulis menggunakan

metode padan pragmatis, dimana alat penentunya yaitu mitra tutur (Sudaryanto, 1993: 13-15).

Pragmatik di dalam metode padan harus dipahami dengan unsur penentu di luar bahasa

(Djajasudarma, 1993: 59).

Dalam pendekatan analisis kebahasaan, pramatik didefinisikan sebagai:


The study of the use of language in communication, particularly the relationship between
sentences and the contexts and situations in which they are used.
Dengan kata lain, pragmatik merupakan kajian tentang cara bagaimana penutur dan mitra tutur

dapat memakai dan memahami tuturan sesuai dengan konteks situasi yang tepat (Mulyana, 2005:

78).

Analisis data dengan menggunakan metode padan pragmatis ini bertujuan untuk

mendeskripsikan kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan

Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan. Metode ini juga digunakan sebagai penunjang metode

penelitian deskriptif yang digunakan oleh peneliti.

Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data penelitian kesantunan imperatif antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan

Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan ini disajikan secara informal. Metode penyajian informal

adalah perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145). Dengan kata lain, hasil

temuan penelitian yang berupa wujud kesantunan imperatif, makna dasar pragmatik imperatif,

dan strategi kesantunan antarsantri putri disajikan dalam bentuk kata-kata biasa.
BAB IV

PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi tindak tutur imperatif dalam makalah ini,

tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan

kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan materi dalam makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang

membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada

khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.


Daftar Pustaka

Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu:

1. Kunjana Rahardi (Imperatif Dalam Bahasa Indonesia). 2000. Disertasi: Ilmu Sastra Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian tersebut mengungkapkan kesantunan pemakaian tuturan

imperatif bahasa Indonesia dapat mencakup dua macam perwujudan, yakni kesantunan linguistik

dan kesantunan pragmatik. Kesantunan linguistik dimarkahi panjang pendek tuturan, urutan

tuturan, intonasi tuturan, isyarat-isyarat dan penanda kesantunan. Sedangkan kesantunan

pragmatik diwujudkan dalam dua wujud tuturan, yakni tuturan deklaratif bermakna pragmatik

imperatif dan tuturan interogatif bermakna pragmatik imperatif.

2. Bea Anggraeni dan Dwi Handayani (Kesantunan Imperatif Dalam Bahasa Jawa Dialek

Surabaya: Analisis Pragmatik). 2001. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga Surabaya.

Penelitian ini membahas kesantunan imperatif seperti halnya yang telah dikemukakan Kunjana

Rahardi di atas, namun lebih spesifik mengarah ke ranah sosial Jawa, khususnya Surabaya.

3. Roni (Jenis Makna Dasar Pragmatik Imperatif dalam Imperatif Bahasa Indonesia). 2005. Jurnal:

Verba. Dengan mendasarkan tiga fungsi dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur

dari Kashiwazaki, Roni menentukan makna dasar atau makna pokok dari tujuh belas makna

imperatif pragmatik dalam imperatif bahasa Indonesia yang telah dikemukakan oleh Kunjana

Rahardi.
LAMPIRAN

Cover novel Babi Ngesot karya Raditya Dika


Contoh kalimat imperatif dalam novel babi ngesot:

- “JAWAB DONG!”

- “Lo jangan sok lucu lo!”

- “Sini lo!”

- “Hugo, fokus Hugo. Yang penting sekarang kita selamat!”

- “Hugo! Fokus!”

- “Edgar, kita tanding maen game!”

- “Edgar, jangan pup didepan TV!”

- “Edgar, karena kamu kalah, kamu harakiri sana pake pensil”

- “Udah, injek aja!”

- “Sadar, mbak Minah. NYEBUUTT!”

- “ABANG! PENCET IDUNGNYA SEKARANG!”

- “Jangan ganggu gue dulu deh, aneh lo!”

- “Can you teach me play?”

- “Har, Har, buka! BUKA HAR! BUKAAAAA!”

- “Lihat ketekku Har!”

- “Teken Har!”

- “Hmmmm, coba cek di internet”

- “Kita harus yang beda!”

Anda mungkin juga menyukai