Anda di halaman 1dari 23

KEPATUTAN DAN KESANTUNAN DALAM TINDAK TUTUR

A. Kepatutan dalam Tindak Tutur

Kepatutan merupakan satu hal yang fundamental dalam pragmatik karena kepatutan
adalah fenomena universal dalam pemakaian bahasa pada sebuah konteks sosial (Brown dan
Levinson, 1987). Secara umum kepatutan sosial dianggap sebagai sebuah tindakan dimana
seseorang menunjukkan tingkah laku yang teratur dan menghargai orang lain sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Konsep kepatutan dalam tindak tutur banyak dibicarakan
oleh para pakar dalam bidang sosiolinguistik, salah satunya menurut pendapat Lakoff (1975: 53)
yang menyatakan bahwa bersikap patut dan sopan dalam bertutur adalah mengatakan sesuatu hal
yang berhubungan dengan masyarakat dengan benar.

Seorang penutur akan dianggap tidak patut dalam berkomunikasi jika dia sebagai penutur
melanggar aturan yang berlaku. Konsep kepatutan berkaitan erat dengan unsur benar dan salah
sikap seseorang yang diukur dengan alat yang bernama aturan. Ada tiga parameter pragmatik
menurut Brown dan Levinson (dalam Wijana, 1996:65) yang dapat digunakan sebagai alat ukur
kepatutan tindak tutur seseorang yaitu, tingkat jarak sosial (distance rating), tingkat status sosial
(power rating), dan tingkat peringkat tindak tutur (rank rating). Parameter tingkat jarak sosial
(distance rating) dilihat dari keakraban antara penutur dan lawan tutur dengan
mempertimbangkan perbedaan usia, jenis kelamin, dan latar belakang sosial kultural (Wijana,
1996: 65).

Selanjutnya, tingkat status sosial (power rating) yang didasarkan atas kedudukan yang
asimetrik antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks pertuturan yang terjadi (Wijana, 1996:
65). Status sosial antar penutur harus diperhatikan agar komunikasi dalam tindak tutur berjalan
aktif dan lancar tanpa ada permasalahan komunikasi antara keduanya. Tingkat selanjutnya adalah
tingkat peringkat tindak tutur (rank rating) yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur
yang satu dengan tindak tutur yang lain dalam situasi pertuturan atau yang dapat diketahui dari
relativitas tingkat keburu-buruan (kemendesakan) dalam situasi pertuturan. Misalnya, pada
situasi normal meminjam mobil kepada seseorang mungkin dipandang tidak sopan. Akan tetapi,

1
jika berada dalam situasi yang mendesak (darurat) umpamanya untuk mengantar orang sakit
keras, tindakan itu sangat wajar untuk dilakukan.

B. Kesantunan dalam Bertindak Tutur

Kesantunan bertutur merupakan salah satu kajian dari ilmu pragmatik dan berbicara
mengenai bertutur adalah juga berbicara mengenai pragmatik. Penutur berbahasa Indonesia
sekarang kurang memperhatikan maksim sopan santun dalam bertutur. Hal ini disebabkan oleh
terbatasnya pengetahuan penutur yang meliputi beberapa faktor yakni prinsip sopan santun
dalam berbahasa, prinsip kerja sama dalam berbahasa dan konteks berbahas. Kesantunan bertutur
merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional
penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan
kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan (Sumarsono,
2010:148). Kesantunan bertutur adalah kesopanan dan kehalusan dalam menggunakan bahasa
ketika berkomunikasi melalui lisan maupun tulisan. Bahasa yang digunakan penuh dengan adab
tertib, sopan santun dan mengandungi nilai-nilai hormat yang tinggi (Rina, 2017:559).

Kesantunan berbahasa juga merupakan cara yang digunakan oleh penutur di dalam
berkomunikasi agar mitra tutur tidak merasa tertekan, tersudut, atau tersinggung dan dimaknai
sebagai usaha penutur untuk menjaga harga diri, atau wajah, penutur atau pendengar
(Markhamah, 2011:153). Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang
dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan
petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk
menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga
apabila masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan (Alfiati, 2015:19).

Pentingnya kesantunan dalam bertutur yaitu dapat menciptakan komunikasi yang efektif
antara penutur dan mitra tutur (Rakasiwi, 2014:3). Ode (2015:5), menjelaskan “kesantunan
sebagai perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika dan merupakan
fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian
halnya dengan kultur yang lain.” Artinya kesantunan merupakan aspek kebahasaan yang amat
penting karena dapat memperlancar interaksi antar individu. Dalam dunia sosiolinguistik

2
kesantunan merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan ‘kesopanan’, ‘rasa hormat’, ‘sikap
yang baik’, atau ‘perilaku yang pantas’. Secara umum kesantunan berbahasa dikelompokkan
kedalam dua jenis, yaitu, kesantunan tingkat pertama (first order politeness), yang merujuk pada
etiket atau kaidah kepatutan bertingkah laku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Pada sisi ini kesantunan merujuk kepada seperangkat kaidah tatakrama yang disepakati
oleh suatu kelompok dan pemahaman atas kaidah tatakrama kelompok menjadi indikator
kesuksesan seorang dalam bertutur yang santun. Kesantunan tingkat pertama ini disebut
kesantunan sosial. Kedua, kesantunan tingkat kedua (second order politeness) yang merujuk
pada penggunaan bahasa untuk menjaga hubungan interpersonal. Pada sisi ini indikator
kesuksesan dalam bertutur ditentukan oleh perangkat pemahaman bahasa yang dikuasai penutur,
misalnya pengetahuan tentang dunia, pengetahuan tentang budaya, kecerdasan seseorang dalam
mencerna segala fenomena interaksi, dan sebagainya. Kesantunan tingkat kedua ini dosebut
kesantunan interpersonal (Kuntarto, 2016:56).

Kesantunan merupakan kebiasaan-kebiasaan menyangkut perilaku yang berlaku dalam


masyarakat. Dalam situasi kehidupan sehari-hari, sikap yang yang santun akan memberi dampak
positif terhadap hubungan sosial dengan lingkungan sekitar. Kesantunan dalam berbahasa
merupakan ranah baru dalam berbahasa terutama dalam kajian pragmatik. Kesantunan dalam
berbahasa, meskipun pengkajian baru, namun sudah mendapatkan perhatian oleh banyak linguis
dan pragmatisis (Maulidi, 2015:42). Kesantunan sebagai melakukan tindakan yang
mempertimbangkan perasaan orang lain yang didalamnya memperhatikan positive face
(mukapositif) yaitu keinginan untuk diakui dan negative face (muka negatif) yaitu keinginan
untuk tidak diganggu dan terbebas dari beban. Kajian strategi kesopanan pada dasarnya adalah
kajian tentang mengetahui cara menggunakan bahasa ketika partisipan sedang berinteraksi atau
berkomunikasi. Kajian ini membahas bagaimana menggunakan bahasa dan membuat percakapan
berjalan lancar dan nyaman. Tetapi, dalam hal komunikasi setiap orang ingin dipahami dan tidak
ingin diganggu oleh orang lain; bahkan, dia tidak ingin kehilangan muka pada saat
berkomunikasi. Kehilangan muka berarti merasa malu, terhina atau kecewa/ jengkel. Itulah
mengapa muka adalah sesuatu yang secara emosional diinvestasi, dijaga, ditingkatkan dan secara
konstan ada di dalam interaksi (Awin Wijaya, 2015: 2).

3
Chaer (2010:29-30) membagi tindak tutur dalam lima kategori, yaitu: 1) Representatif
(disebut juga asertif) adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa
yang dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan dan menyebutkan; 2) Direktif adalah
tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan
yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan,
dan menantang; 3) Ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya
diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya memuji,
mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan menyelak; 4) Komisif adalah tindak tutur yang
mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Misalnya
berjanji, bersumpah, dan mengancam; 5) Deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan si penutur
dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Misalnya
memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf. Dalam berkomunikasi,
lanjut, tindak tutur sebagai salah satu kegiatan utama manusia dalam bermasyarakat, ada tiga hal
yang harus diperhatikan agar kegiatan itu mencerminkan diri kita sebagai manusia yang beradab.
Ketiga hal tersebut adalah (1) kesantunan berbahasa, (2) kesopanan berbahasa, dan (3) etika
berbahasa. Ketiganya bukan merupakan hal yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan
satu kesatuan tak terpisahkan yang harus ada dalam berkomunikasi atau berinteraksi.

Kesantunan sebagai suatu sistem relasi interpersonal yang dirancang untuk memfasilitasi
interaksi dengan cara meminimalkan potensi konflik yang secara alami terdapat dalam interaksi
antar individu. Kuntarto (2016:58-59), membedakan kesantunan sosial dan kesantunan
interpersonal (yang juga disebut sebagai tact). Kesantunan sosial (first order) berfungsi untuk
menyediakan strategi-strategi rutin dalam rangka mengatur interaksi sosial; sedangkan
kesantunan interpersonal (second-order) mengacu pada kesantunan dalam tingkatan pragmatik
yang berfungsi mendukung hubungan interpersonal dengan cara menjaga muka dan mengatur
hubunganinterpersonal. Kesantunan positif adalah tindakan penyeimbang yang diarahkan untuk
menjaga muka Positif mitra tutur, yang dilakukan penutur dengan cara menunjukkan bahwa
penutur menghargai keinginan dan kebutuhan mitra tutur. Sebaliknya, kesantunan negatif adalah
tindakan penyeimbang yang diarahkan untuk menjaga muka negatif mitra tutur, yang dilakukan
dengan cara menunjukkan niat penutur yang tidak bermaksud memperdaya mitra tutur melalui
pembatasan terhadap tindakan mitra tutur.

4
Strategi off record memampukan penutur menghindar dari tanggung jawab melakukan
sebuah FTA. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan implikatur percakapan. Strategi
penyampaian makna ‘melarang’ ada dua, yaitu strategi langsung atau strategi literal dan strategi
tidak langsung atau strategi nonliteral. Bila menggunakan strategi literal, tuturan berupa
konstruksi imperatif. Bila menggunakan stratgei nonliteral, tuturan berupa konstruksi deklaratif
atau berupa konstruksi interogatif (Sasanti, 2013:198). Kadar kekuatan dominasi tindak tutur
mempengaruhi tingkat kesopanan. Kadar kekuatan dominasi suatu tindak tutur berbanding
terbalik dengan tingkat kesopanan suatu tindak tutur. Semakin tinggi kadar dominasi, semakin
rendah tingkat kesopanannya, semakin rendah kadar dominasi, semakin tinggi tingkat
kesopanannya (Baryadi, 2012:33).

Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa terdapat sejumlah linguis berpendapat,


terutama terkait dengan skala kesantunan berbahasa, misalnya Leech, Brown-Levinson.
Kesantunan Berbahasa Menurut Leech (1) cost-benefit scale (skala ini mengacu pada besar
kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur. Semakin
merugikan dampak tuturan itu bagi penutur, tuturan itu dianggap semakin santun. Begitu pula
sebaliknya), (2) optionality scale (skala ini mengacu pada banyak sedikitnya alternatif pilihan
yang disampaikan penutur), (3) indirectness scale (skala ini mengacu pada langsung atau
tidaknya suatu maksud dikemukakan. Tuturan dianggap sopan bila disampaikan tidak secara
langsung), (4) authority scale (skala ini mengacu pada hubungan status sosial antara penutur dan
petutur), dan (5) social distance scale (skala ini mengacu pada hubungan sosial antara penutur
dan penutur yang terlibat dalam pertuturan (Leech, 1993: 123-125).

Kesantunan berbahasa diartikan sebagai kehalusan bahasa yang digunakan untuk


menunjukkan kesopanan seseorang apabila berkomunikasi dengan orang lain. Menurut Chaer
(2010:45) ada beberapa pakar yang menulis tentang teori kesantunan berbahasa, diantaranya
ialah Lakoff, Fraser, Brown dan Levinson, Leech serta Pranowo. Secara umum menurut kelima
pakar tersebut ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar sebuah tuturan terdengar santun oleh
pendengar atau lawan tutur. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas, (2) ketidaktegasan dan (3)
kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Teori kesantunan berbahasa menurut
Brown dan Levinson (dalam chaer 2010) terdiri atas “muka negatif” dan “muka positif”. “muka
negatif” mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang yang berkeinginan agar ia

5
dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas
dari keharusan mengerjakan sesuatu. Jika tindak tuturnya bersifat direktif (misalnya permintaan
atau perintah) yang terancam adalah “muka negatif” karena dengan memerintah atau meminta
seseorang melakukan sesuatu, secara tidak langsung hal itu sebenarnya telah menghalangi
kebebasan orang lain untuk melaksanakan atau menikmati tindakannya. Misalnya kita menyuruh
seseorang yang sedang duduk-duduk asik membaca koran untuk mengerjakan sesuatu. Ini sama
halnya kita tidak membiarkannya melakukan dan menikmati kegiatannya tersebut. Bergantung
pada bentuk ujaran yang kita gunakan. Orang tersebut dapat kehilangan muka atau mukanya
terancam. Muka yang terancam tersebut dinamakan “muka negatif”. Muka positif adalah
kebalikan dari muka negatif yaitu citra diri setiap orang yang rasional berkeinginan agar apapun
yang dilakukannya atau dimilikinya dapat diakui oleh orang lain sebagai suatu hal yang baik.
Menyenangkan dan patut untuk dihargai. Contoh percakapan antara si A (pemilik mobil BMW)
dan si B (teman si A).

A: “mobilku BMW lho… !”


B: “ah baru BMW, belum Rolls Royce”.

Pada contoh di atas, seseorang yang memiliki mobil BMW (salah satu mobil mahal)
merasa tidak dihargai oleh perkataan yang diucapkan oleh si B sehingga muka positifnya jatuh.
Tindak tutur mengkritik seperti percakapan tersebut dapat mengancam “muka positif” seseorang.
Hal ini disebabkan dengan mengkritik secara tidak lansung kita dapat dikatakan tidak
menghargai atau tidak mengakui apa yang telah dilakukan orang yang kita kritik tersebut sebagai
sesuatu yang baik, yang benar, ataupun yang patut dihargai. Selain muka lawan tutur,
sesungguhnya penuturpun dapat terancam mukanya oleh tindak tuturnya sendiri. Seperti pada
contoh berikut ini.

A: “Mari menonton film malam minggu ini”.


B: “Malam minggu ada acara?”

Ada dua kalimat ajakan yang terdapat pada contoh dan apabila jawaban dari kalimat
ajakan kalimat (a) yang telah diajukan tersebut semuanya bertolak belakang maka dapat
dikatakan muka sipenutur tersebut terancam. Dan jika penutur menggunakaan kalimat (b) maka
si penutur masih dapat melindungi mukanya. Misalnya dengan menjawab siapa yang mengajak

6
nonton? saya kan hanya bertanya apakah situ punya acara”. Dengan demikian ancaman terhadap
muka penutur dapat dihindari.

Menurut Gunarwan (dalam Chaer: 2010), terdapat beberapa strategi yang harus
diperhatikan dalam kesantunan negatif. Strategi itu diantaranya, yaitu sebagai berikut.

a) Menggunakan tuturan tidak langsung. Seperti pada contoh berikut: “bolehkah saya meminta
tolong ibu untuk ambilkan buku itu ?”
b) Menunjukan sikap pesimis. Contoh: “saya ingin meminta tolonng, tetapi saya takut bapak
tidak tersedia”.
c) Meminimalkan paksaan. Contoh: “boleh saya menggangu bapak sebentar?"
d) Memberikan penghormatan. Contoh: “Saya memohon bantuan pada ibu, saya tahu ibu selalu
berkenan membantu orang”.
e) Menggunakan bentuk impersonal yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan lawan tutur.
Contoh: “sepertinya meja ini perlu dipindahkan”.

Setelah kesantunan negatif, selanjutnya adalah strategi-strategi untuk kesantunan positif


yaitu, sebagai berikut.

a) Memperhatikan kesukaan, keinginan dan kebutuhan lawan tutur. Contoh: “Kamu pasti lapar
ya ?.., tadi kan belum sarapan”.
b) Menghindari ketidaksetujuan dengan berpura-pura setuju, gunakan persetujuan yang semu,
menipu untuk kebaikan, atau pemagaran opini. Contohnya sebagai berikut.
(a) “Nanti tolong berkas-berkas dimeja ini dirapikan, ya !”
(b) “Baik” (padahal sebenarnya keberatan).
(c) “Bagaimana masakanku enak ya, pak ?”
(d) “Oh, ya enak sekalli” (berbohong untuk menyenangkan si C).

1. Prinsip Kesantunan Leech


Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang
mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap
tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik
berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut

7
menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinankeyakinan dengan sopan dan menghindari
ujaran yang tidak sopan. Berbahasa yang baik tentunya harus mengikuti aturan-aturan yang
ada.Hal tersebut supaya setiap tuturan yang diutarakan dapat menghasilkan bahasa yang
santun. Leech menyatakan bahwa Seseorang dapat dikatakan sudah memiliki kesantunan
berbahasa jika sudah dapat memenuhi prinsip-prinsip kesantunan yang dijabarkan menjadi
beberapa maksim (dalam Kunjana, 2005: 59-66), sebagai berikut.

1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)


Maksim kebijaksanaan yaitu maksim yang menggariskan bahwa setiap peserta
pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan
dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur.
Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat
dikatakan sebagai orang santun. Jika dalam bertutur, seseorang berpegang pada maksim
kebijaksanaan, ia dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap yang kurang
santun terhadap mitra tutur. Contohnya sebagai berikut.
Tuan rumah : ”Silakan makan saja dulu, nak! Kami semua sudah mendahului”.
Tamu : ”Wah, saya jadi tidak enak, Bu”.
Di dalam tuturan di atas tampak jelas bahwa apa yang dituturkan oleh tuan rumah sangat
memaksimalkan keuntungan bagi tamu. Bahkan, sering kali ditemukan minuman dan
makanan yang disajikan kepada tamu diupayakan agar layak diterima dan dinikmati oleh
tamu tersebut.

2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)


Maksim kedermawanan yaitu maksim kemurahan hati, yang mengharuskan
peserta tutur untuk menghormati rang lain. Penghormatan tersebut terjadi jika peserta
tutur dapat meminimalkan keuntungan bagi dirinya dan memaksimalkan keuntungan bagi
pihak lain. Contohnya sebagai berikut.
Anak kos A : “Mari, saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang
kotor”.
Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok”.

8
Di dalam tuturan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa si A berusaha memaksimalkan
keuntungan pihak lain dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian
kotor si B. Hal tersebut merupakan realisasi maksim kedermawanan atau kemurahan hati
dalam bermasyarakat.

3. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)


Maksim penghargaan yaitu maksim yang membuat orang akan dapat dianggap
santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak
lain. Sehingga, para peserta tutur tidak saling mengejek atau merendahkan pihak lain.
Contohnya sebagai berikut.
Dosen A : “Pak, tadi saya sudah memulai kuliah perdana dengan materi puisi”.
Dosen B : “Oya, tadi saya mendengar pembacaan puisinya jelas sekali”.
Dalam pertuturan di atas, pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya
dosen B ditanggapi dengan sangat baik, bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh
dosen B. Maka, dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A.

4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)


Maksim Kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, yaitu maksim yang
mengharapkan peserta tutur dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian
terhadap dirinya sendiri. Contohnya sebagai berikut.
Ibu A : “Nanti Ibu yang memberi sambutan ya, dalam rapat PPK”.
Ibu B : “Waduh… nanti grogi saya”.
Pernyataan tersebut, merupakan tuturan antara Ibu PPK ketika akan mengadakan rapat.
Ibu A menunjukkan kerendahan hati kepada Ibu B, dengan memintanya menjadi orang
yang memberikan sambutan dalam rapat dan bukan dirinya, karena orang akan dikatakan
sombong apabila di dalam kegiatan bertutur selalu mengunggulkan dirinya sendiri.

5. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)


Maksim permufakatan atau maksim kecocokan, yaitu maksim yang
mengharuskan para peserta tutur dapat saling membina kococokan di dalam kegiatan

9
bertutur. Jika terdapat kecocokan antara keduanya, maka mereka dapat dikatakan
bersikap santun. Contohnya sebagai berikut.
Guru A : “Ruangannya gelap ya, Bu!”
Guru B : “He…eh! Saklarnya mana ya?”
Pernyataan di atas, merupakan tuturan seorang guru kepada rekannya pada saat mereka
berada di ruang guru. Ketika guru A menyatakan ruangannya gelap, respon guru B
dengan menanyakan mana saklarnya menunjukkan bahwa guru A dan guru B memiliki
kecocokan.

6. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim)


Maksim kesimpatisan yaitu maksim yang mengharapkan peserta tutur dapat
memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Contohnya
sebagai berikut.
Ani : “Tut, nenekku meninggal”.
Tuti : “Innalillahiwainnailaihi rajiun. Aku ikut berduka cita”.
Pernyataan di atas merupakan tuturan seorang karyawan kepada rekannya yang memiliki
hubungan erat saat mereka berada di ruang kerja.Pernyataan Ani yang memberitahukan
kalau neneknya meninggal mendapat simpati dari Tuti rekan kerjanya dengan ikut
berduka cita atas meninggalnya nenek Ani.

2. Skala Tingkat Kesantunan Berbahasa Leech


Dalam beberapa maksim, tindak tutur kesopanan berbahasa bersifat asimetris.
Maksudnya seperti dijelaskan tarigan (1990: 49) bahwa yang sopan pada pihak penyimak
mungkin saja tidak sopan bagi penutur, atau bahwa yang menjaga muka penutur biasanya
akan merusak muka penyimak. Kesopanan tersebut masih bergantung pada faktor pergaulan
sosial lain, karena standar ukurannya berupa muka. Untuk mengukur tingkat kesopanan
berbahasa Leech (dalam Chaer, 2010: 66-69) memberikan lima skala penggolongan skala
penggolangan tersebut sebagai berikut.
1. Skala Kerugian dan Keuntungan
Skala ini mengacu pada seberapa besar atau kecilnya biaya dan keuntungan yang
menjadi konsekuensi sebuah tuturan. Jika tuituran tersebut semakin memperbesar

10
keuntungan lawan tutur, tuturan tersebut semakin dianggap sopan, walaupun keuntungan
penyimak tidak merugikan penutur. Begitu jugga sebaliknya, semakin merugikan penutur
maka tuturan tersebut semakin dianggap sopan, walaupun kerugian penutur tidak
menguntungkan penyimak. Penjelasan lebih lanjut pada contoh berikut. Menguntungkan
penyimak dan lebih sopan 1.
1 : “Biar saya yang ganti menyelesaikan pak. Bapak istirahat saja”.
2 : “Biar saya yang ganti menyelesaikan pak”.
3 : “Sudah malam pak, lebih baik bapak beristirahat”.
4 : “Sudah malam pak, biar saya yyang menyelesaikan”.
5 : “Saya bantu menyelesaikan pak”.
6 : “Saya bantu pak”.
Merugikan penutur dan kurang sopan contoh-contoh tersebut berpasangan antara
nomer ganjil dan nomer genap. Contoh pada nomor ganjil memiliki tingkat kesopanan
yang lebih besar dari pada nomor genap pasangannya. Sekaligus nomor yang lebih kecil
lebih besar tingkat kesopanannya dari pada nomor yang lebih besar. Pada kalimat nomor
satu tampak penutur memaksimalkan keuntungan penyimak dengan memintanya untuk
beristirahat dan memaksimalkan keuntungan dengan menggantikan pekerjaannya.
Kalimat tersebut memiliki konsekuensi penutur hanya akan mengerjakan pekerjaan
tersebut seorang diri, sedangkan kalimat nomor dua hanya memaksimalkan kerugian
penutur tanpa meminta penyimak memaksimalkan keuntungan. Tanpa meminta
penyimak beristirahat, hal itu membuka kemungkinan penyimak mengambil pengertian
dia masih harus mengerjakan meski sudah ada bantuan dari penutur. Kalimat nomo tiga
lebih sopan dibandingkan kalimat nomer empat. Namun, pasangan kalimat tersebut lebih
rendah tingkat kesopanannya daripada kalimat sebelumnya, karena pada kaalimat nomer
tiga dan empat diawali dengan kalimat “sudah malam pak”. Dengan awalan kalimat
tersebut penutur secara tersirat hendak membantu penyimak menyelesaikan pekerjaan
hanya karena waktu sudah malam. Berarti jika waktu belum malam, penutur belum tentu
mau membantu menyelesaikaan pekerjaan penyimak.
Kalimat nomor lima dan nomor enam merupakan kalimat yang paling kecil
tingkat kesopanannya dibandingkan dengan pasangan kalimat sebelumnya,karena
pasangan kalimat tersebut hanya disajikan dalam bentuk kalimat Tanya. Bentuk kalimat

11
terssebut masih harus mendapat persetujuan dari penyimak sedangkan kalimat
sebelumnya tidak perlu mendapatkan persetujuan dari penutur. Meskipun demikian,
pasangan kalimat terakhir tersebut masih dapat dikategorikan dalam kalimat santun,
karena konsekuensi dari kalimat tersebut memperbesar kerugian penutur dan keuntungan
penyimak.
2. Skala Pilihan
Skala ini mengacu pada seberapa banyak pilihan yang diutarakan dalam suatu
tuturan. semakin banyak pilihan konsekuensi yang disajikan dalam tuturan tersebut maka
makin tampak sopan. Sebaliknya, semakin sedikit pilhan konsekuensi yang disajikan
dalam tuturan tersebut maka maka makin kurang sopan. Penjelasan lebih lanjut pada
contoh berikut. Sedikit pilihan dan tidak sopan.
1 : “Potonglah rerumputan ini”.
2 : “Jika sedang tidak ada kesibukan, potonglah rerumputan ini”.
3 : “Jika ingin kesibukan, rerumputan ini dapat dipotong”.
4 : “Jika sedang menganggur dan ingin kesibukan, maukah kamu memotong
rerumputan ini?”.
5 : “Teman yang bijak jika sedang menganggur, pasti akan memotong rerumputan
ini”.
Banyak pilihan dan lebih sopan Dari contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa
makin banyak pilihan konsekuensi kalimat, makin tinggi tingkat kesopanannya,
sebaliknya, makin sedikit konsekuensi kalimat makin rendah tingkat kesopanannya.
Kalimat nomor satu adalah kalimat yang mempunyai tingkat kesopanan yang paling
kecil, karena kalimat tersebut hanya memiliki satu konsekuensi tindakan bagi penyimak
yaitu memotong rumput. Kalimat tersebut hanya dapat digunakan saat penutur tidak perlu
memperhatikan kesopanan, yaitu penutur yang memiliki tingkat kesopanan lebih tinggi.
Seperti atasan pada bawahan, orang tua pada anak, guru pada murid, dan sebagainnya.
Apabila penutur masih harus menggunakan kesopanan berbahasa, paling tidak kalimat
nomor dua yang harus digunakan. Kalimat nomor tiga memiliki tingkat kesopanan yang
lebih tinggi, karena kalimat tersebut memiliki penekanan berdasarkan keinginan. Jika
penyimak tidak menginginkan memotong rerumputan, tidak ada konsekuensi buruk
terhadapnya. Kalimat nomor empat makin sopan, karena selain memiliki dua syarat untuk

12
memenuhi konsekuensi kalimat, kalimat tersebut juga disajikan dalam bentuk kalimat
Tanya. Penggunaan kalimat Tanya memiliki kesan lebih sopan karena membutuhkan
jawaban dari penyimak. Kalimat nomor lima adalah kalimat yang memiliki tingkat
kesopanan paling tinggi. Karena kalimat tersebut disampaikan dalam bentuk gumaman.
Dengan begitu penyimak tidak harus menanggapi pernyataan penutur secara langsung.
Dia dapat saja mengabaikan pernyataan penutur. Konsekuensi pengabaiannyapun hanya
sebatas anggapan bahwa dia bukan teman yang baik.
3. Skala Ketak Langsungan
Skala ini mengacu pada beberapa tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.tidak
langsung maksud sebuah tuturan disampaikan maka tampak semakin sopan. Sebaliknya,
tuturan yang disampaikan tanpa basa-basi dan langsung merujuk pada maksud tuturan
dianggap makin tidak sopan. Penjelasan lebih lanjut pada contoh berikut. Kurang sopan
dan langsung.
a) “Pinjami saya uang”.
b) “Dapatkah anda meminjami saya uang?”
c) “Apakah anda tidak keberatan meminjami saya uang ?”
d) “Saya kehabisan uang, dapatkah anda meminjami saya uang ?”
e) “Saya lupa pergi ke bank, saya kehabisan uang”.
Lebih sopan dan tak langsung Analisis kesopanan yang dapat diperoleh dari
contoh tersebut adalah tentang ketaklangsungan tindak tutur, semakkin kebawah contoh
tindak tutur tersebut semakin dapat diinterpretasikan berbeda oleh penyimak. Dengan
kata lain semakin ke atas contoh tindak tutur tersebut semakin tidak dapat
diinterpretasikan berbeda oleh penyimak. Jika penutur memilih menggunakan kalimat
nomor satu dalam tinndak tuturnya, penyimak dapat dengan langsung mengartikan bahwa
penutur bermaksud untuk meminjam uang. Namun kalimat tersebut dirasa kurang sopan,
karena disajikan tanpa ada basa basi sebelumnya. Kalimat tersebut hanya dapat
digunakan pada orang-orang tertentu. Kalimat kedua dan ketiga dirasa lebih sopan
dengan penyisipan pertanyaan kesediaan penyimak untuk meminjaminya uang.
Dengan begitu jika penyimak tidak bersedia atau tidak keberatan, maka tidak ada
efek negatif yang disandarkan pada penyimak. Kalimat keempat lebih sopan
dibandingkan dengan kalimat sebelumnya, karena didalam kalimat tersebut disisipkan

13
kalimat “saya kehabisan uang” yang dapat merusak muka penutur. 22 Padahal pengaduan
tersebut tidak harus diutarakan. Penutur dianggap sangat sopan jika menggunakan tindak
tutur nomor lima, karena kalimat tersebut diutarakan tanpa permintaan untuk meminjami
penutur uang, namun konsekuensinya penyimak mungkin untuk mengartikan dengan
maksud lain. Bukan tidak mungkin penyimak hanya akan memahami maksud penutur
hanya berkeluh kesah dengan kejadian dalam hidupnya selama sehari.
4. Skala Keotoritasan
Skala ini mengacu pada seberapa besar perbedaan jarak status sosial antara
penutur dan penyimak. Meski menggunakan kalimat yang sama, jarak status sosial antara
penutur dan penyimak juga berpengaruh pada nilai kesopanan berbahasa. Makin kecil
jarak antara penutur dan penyimak, makin banyak pilihan kalimat yang pantas
diutarakan. Sebaliknya makin besar jarak penutur dan penyimak, makin sedukit pilihan
kalimat sopan yang diutarakkan. Seperti pada contoh kalimat”wah, kedengarannya perut
saya sudah keroncongan ini”. Dengan satu kalimat yang sama, contoh tersebut tidak
selalu dapat dianggap sopan digunakan oleh orang yang berbeda. Apabila penutur
seorang atasan yang menyampaikan pada bawahan, maka kalimat tersebut dianggap
sopan karena dianggap memiliki otoritas yang tepat.
Kalimat tersebut juga bermakna tak langsung meminta menyediakan makanan
pada penyimak. Kalimat tersebut juga dianggap sopan selama digunakan pada penyimak
yang memiliki status sosial sedrajat dengan penutur, baik sama-sama atasan maupun
sama-sama bawahan sebagai mitra kerja. Dalam konteks ini kalimat tersebut bermakna
ajakan pengakraban untuk mencari makanan berat bersama-sama. Namun berbeda jika
kalimat tersebut diucapkan oleh bawahan pada atasan. Kalimat tersebut dianggap tidak
sopan karena bermakna kritikan secara tidak langsung. Pengucapan kalimat tersebut
mengkritik atasannya, karena tidak cepat beristirahat untuk makan ketika sudah masuk
waktu makan.
5. Skala jarak sosial
Skala ini mengacu kepada seberapa besar keakraban hubungan antara penutur dan
penyimak. Hampir sama dengan skala keotoritasan dalam pemilahan kalimat yang
diutarakan, namun skala ini tidak mementingkan jarak status sosial. Makin akrab
hubungan penutur dan penyimak, maka makin beragam pilihan kalimat sopan yang dapat

14
digunakan. Sebalikna makin rengggang hubungan antara penutur dan penyimak, maka
semakin sedikit pilahan kalimat sopan yang dapat digunakan. Ketika seseorang sudah
memiliki hubungan yang akrab dengan mitra wicaranya, ia juga dapat menggunakan
pilihan kalimat tak langsung yang seolah berlawanan dengan yang dimaksudkan.
Penjelasan lebih lanjut pada contoh berikut. Tidak akrab dan sopan.
a) “Selamat atas pernikahannya”.
b) “Selamat menempuh hidup baru”.
c) “Beruntung sekali kamu terlebih dahulu menikah”.
d) “Sial, kamu tidak setia kawan. Saya kamu tinggal menikah”.
e) “Akhirnya ada juga yang mau kamu tipu untuk menikah”.
Contoh-contoh tersebut adalah sebagai macam bentuk ucapan selamat yang dapat
digunakan dalam upacara pernikahan. Kalimat nomor satu adalah kalimat menikah
formal yang biasa digunakan seseorang yang baru kenal. Kalimat tersebut formal dan
tidak memiliki nilai keakraban. Meski begitu kalimat tersebut termasuk kategori kalimat
sopan karena mampu memuat maksim kerendahan hati. Kalimat kedua merupakan
kalimat yang digunakan bagi seseorang yang sudah kenal beberapa lama. Paling tidak
penutur harus tahu kehidupan penyimak sebelum dia menikah. Kalimat ketiga dapat
digunakan penutur yang memiliki hubungan keakraban lebih lama daripada kalimat
sebelumnya. Kalimat berikutnya menunjukan keakraban diantara mereka berdua.dari
kalimat tersebut tampak antara penutur dan penyimat sempat berbincang tentang
pernikahan atau semacamnya. Kalimat kelima tampak penutur hanya memiliki teman
dekat penyimak. Kalimat tersebut menunjukan bahwa penutur harus rela penyimak
memiliki teman hidup baru, yaitu istrinya.
Meski disampaikan dengan kalimat ketidakrelaan, namun penutur menunjukan
rasa simpati atas menikahnya penyimak. Kalimat tersebut hanya dianggap sopan jika
digunakan oleh orang yang biyasa bercanda. Kalimat terakhir adalah kalimat sensitif
yang hanya dapat digunakan oleh orang yang tidak hanya lama berteman. Namun juga
memiliki hubungan yang sangat akrab. Penutur haruslah orang yang biasa memperolokan
kehidupan maupun kehidupan penyimak, karena dalam kalimat tersebut tersimpan
pengakuan bahwa penyimak menikahi orang yang lebih baik dari dirinya. Diperlukan trik
menipu, supaya pasangan hidupnya mau dinikahi, bagi orang yang memiliki hubungan

15
keakraban tinggi. Olok-olok tersebut kemudian akan tampak sebagai pengakuan
sekaligus manafikan gurauan akan penipuan tersebut. Akhirnya kalimat tersebut hanya
tinggal ucapan kesimpatian.
Dari lima skala Leech yang dirangkum Chaer, skala jarak sosial memiliki pola
kalimat yang paling rumit. Sering kali kalimat yang digunakan tampak berlawanan
dengan maksud yang diutarakan jika keadaan sosial sudah dimiliki seseorang. Perlu
melihat jauh lebih dalam akan maksud yang diutarakan. Inti perasaan yang disampaikan
penutur dan reaksi emosi yang dirasakan mitra wicara adalah patokan analiasis untuk
melihat kalimat yang diucapkan sopan atau tidak.

3. Kesopanan George Yule


Kesopanan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk
menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesopanan dapat
disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kejauhan
dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk wajah orang lain ketika orang
lain itu tampak jauh secara sosial sering dideskripsikan dalam kaitannya dengan keakraban,
persahabatan, atau kesetiakawanan. Tipe pertama mungkin ditemukan dalam pertanyaan
siswa kepada gurunya, seperti ditunjukkan (1a.), dan tipe kedua ditemukan dalam pertanyaan
siswa kepada individu yang sama, seperti dalam (1b.).
(1) a. Excuse me, Mr. Buckingham, but can I talk to you for a minute?
(Maaf Pak Buckingham, dapatkah saya bicara dengan bapak sebetar?)
(2) b. Hey, Bucky, got a minute?
(Hai, Bucky, ada waktu sebentar?)
Tipe pendekatan ini aka nada jenis kesopanan yang berbeda yang diasosiasikan dengan
asumsi jarak kesenjangan dan jarak kedekatan sosial kekerabatan (dan ditentangi secara
linguistik).

1. Keinginan Wajah
Dalam interaksi sosial sehari-hari orang akan bertingkah laku seolah-olah
harapan-harapan mereka berkenaan dengan nama baik masyarakat mereka sendiri, atau
keinginan wajah mereka, akan dihormati. Jika seorang penutur menyatakan sesuatu yang

16
mengandung suatu ancaman terhadap harapan-harapan individu lain berkenaan dengan
nama baiknya sendiri, pernyataan ini dideskripsikan sebagai tindak ancaman wajah.
Kemungkinan lain, jika diberikan kemungkinan bahwa sebagian tindakan itu akan
gigambarkan sebagai ancaman terhadap wajah orang lain, penutur dapat mengatakan
sesuatu untuk mengurangi kemungkinan anncaman itu, tindakan ini disebut tindak
penyelamatan wajah.
a) Wajah Positif dan Wajah Negatif
Wajah negatif seseorang ialah kebutuhan untuk merdeka, memiliki kebebasan
bertindak, dan tidak tertekan oleh orang lain. Kata `negatif` disini tidak berarti
`jelek`, kata negatif ini hanya merupakan lawan dari `positif`. Wajah positif
seseorang ialah kebutuhan seseorang untuk dapat diterima jika mungkin disukai oleh
orang lain, diperlakukan sebagai anggota dari kelompok yang sama dan mengetahui
bahwa keinginannya dimiliki bersama dengan yang lainnya. Istilah sederhananya
wajah negatif ialah kebutuhan untuk merdeka, sedangkan wajah postif ialah
kebutuhan untuk dihubungi.
Jadi, tindak penyelamatan wajah negatif seseorang akan cenderung untuk
menunjukkan rasa hormat bahkan termasuk permintaan maaf atas pemaksaan atau
penyelaan yang disebut kesopanan negatif. Sedangkan, tindak penyelamatan wajah
postif seseorang akan memperlihatkan rasa kesetiakawanan, menandaskan bahwa
kedua penutur menginginkan sesuatu yang sama dan tujuan bersama atau disebut
kesopanan positif.

2. Diri Sendiri dan Orang Lain: Tidak Berkata Apapun


Cara untuk melihat relevansi hubungan anatar konsep kesopanan dengan
pemakaian bahasa ialah mengambil peristiwa tutur tunggal dan merencanakan anggapan
yang berbeda yang diasosiasikan dengan kemungkinan ekspresi yang berbeda yang
dipakai dalam peristiwa itu. Banyak orang yang lebih menyukai kebutuhan mereka
diketahui oleh orang lain tanpa harus menyatakan kebutuhan itu dengan bahasa. Maka,
jelaslah bahwa lebih banyak informasi yang diberikan daripada yang dikatakan.

17
3. Mengatakan Sesuatu: Tercatat dan Tidak Tercatat
Orang yang bertindak seolah-olah pernyataan itu tidak pernah didengar secara
teknis ini disebut sebagai tipe tidak tercatat (off record). Dalam deskripsi baisa, tipe-tipe
itu mengacu pada `isyarat` yang tidak tercatat mugkin berhasil dan juga tidak. Namun
jika berhasil hal ini karena lebih banyak yang sudah dikonfirmasikan dari pada yang
dikatakan.
Bentuk `bold on record` diikuti oleh pernyataan seperti `silakan` dan ` maukah
anda` yang berfungsi untuk menghaluskkan tuntutan itu dan dinamakan `mitigating
devices`, menyamakan pendekatan ini dengan semua bentuk perintah langsung ini akan
menyesatkan, karena bentuk perintah sering dipakai oleh teman akrab tanpa diartikan
sebagai perintah. Akibatnya ada bebarapa situasi sosial pada saat menggunakan perintah
langsung atau dianggap sesuai diantara kesamaan derajat sosial. Tetapi pada umumnya
ungkapan tersebut diasosiasikan dengan peristiwa tutur ketika penutur berasumsi bahwa
dia memiliki kekuasaan terhadap orang lain, dan dapat mengontrol tingkah laku orang
lain dengan kata-kata.

4. Kesopanan Positif dan Kesopanan Negatif


Strategi kesopanan positif mengarahkan pemohon untuk menarik tujuan umum.
Perilaku kesopanan positif dan negatif yang lebih rinci kadang-kadang terdengar dalam
percakapan yang diperpanjang seringkali diikuti dengan keragu-raguan. Namun, perlu
diperhatikan bahwa kesopanan negatif secara khusus diungkapkan dengan pertanyaan-
pertanyaan bahkan pertanyaan yang kelihatannya seperti meminta ijin untuk menanyakan
suatu pertanyaan.

5. Strategi
Kecenderungan untuk menggunakan bentuk kesopanan positif, dengan penekanan
kedekatan antara penutur dan pendengar, dapat dilihat sebagai suatu strategi kesetia-
kawanan. Strategi ini mungkin strategi yang menerapkan prinsip dalam kelompok secara
keseluruhan atau mungkin hanya sebagai suatu pilihan yang dipakai oleh seorang penutur
secara individu pada kejadian tertentu. Kecenderungan untuk menggunakan bentuk
kesopanan negatif, dengan menekankan pada hak kebebasan pendengar dilihat dari

18
strategi penghormatan yang disebut `kesopanan resmi`. Tipe-tipe strategi umum ini
dijelaskan di sini dengan tuturan-tuturan yang sebenarnya terpusat pada peristiwa tutur
itu.

6. Pra-urutan
Konsep penyelamatan wajah mungkin sangat menolong untuk memahami
bagaimana partisipan suatu interaksi tidak dapat menghindarkan diri untuk memahami
lebih banyak dari yang dikatakan. Dari sudut pandang kesopanan asumsi dasarnya ialah
bahwa wajah khusus beresiko apabila kebutuhan diri sendiri untuk menyelesaikan sesuatu
melibatkan orang lain. Salah satu cara untuk menhindari resiko ialah memberikan
kesempatan kepada orang lain menghentikan tindakan yang beresiko tinggi.

4. Kesantunan Brown – Levinson


1. Face Wants
Di dalam interaksi sosial sehari-hari, orang pada umumnya berperilaku seolah-
olah ekspektasi mereka terhadap public self-image yang mereka miliki akan dihargai
orang lain. Jika seorang penutur mengatakan sesuatu yang merupakan ancaman terhadap
ekspektasi orang lain mengenai self-image mereka, tindakan tersebut dikatakan
sebagai Face Threatening Act (FTA). Sebagai alternatif, seseorang dapat mengatakan
sesuatu yang memiliki kemungkinan ancaman lebih kecil. Hal ini disebut sebagai Face
Saving Act (FSA). Perhatikan contoh berikut.
Seorang tetangga sedang memainkan musik sangat keras dan pasangan suami istri sedang
mencoba untuk tidur. Si suami dapat melakukan FTA: “Aku akan mengatakan padanya
untuk mematikan musik berisik itu sekarang juga!” atau si istri dapat melakukan FSA:
“Barangkali kita dapat memintanya untuk berhenti memainkan musik itu karena sekarang
sudah mulai larut dan kita perlu tidur”.
2. Negative dan Positive Face
Menurut Brown dan levinson, negative face adalah the basic claim to territories,
personal preserves, and rights to non-distraction dan positive face adalah the positive
and consistent image people have of themselves, and their desire for approval. Dengan
kata lain, negative face adalah kebutuhan untuk mandiri dan positive face adalah

19
kebutuhan untuk terkoneksi (menjalin hubungan). Sehubungan dengan negative face
dan positive face, maka dapat disimpulkan bahwa FSA berorientasi pada negative
face dan mementingkan kepentingan orang lain, bahkan termasuk permintaan maaf atas
gangguan yang diciptakan. FSA seperti ini dinamakan negative politeness. Sedangkan
FSA yang berorientasi terhadap positive face seseorang akan cenderung menunjukkan
solidaritas dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) menginginkan
hal yang sama dan tujuan yang sama pula. FSA dalam bentuk ini dinamakan positive
politeness.
3. Negative and Positive Politeness
Negative politeness memberikan perhatian pada negative face, dengan
menerapkan jarak antara penutur dan mitra tutur dan tidak mengganggu wilayah satu
sama lain. Penutur menggunakannya untuk menghindari paksaan, dan memberikan mitra
tutur pilihan. Penutur dapat menghindari kesan memaksa dengan menekankan
kepentingan orang lain dengan menggunakan permintaan maaf, atau dengan mengajukan
pertanyaan yang memberikan kemungkinan untuk menjawab “tidak”. Misal, di sebuah
gedung student center, Anda meminta pertolongan untuk menyebutkan alamat situs yang
Anda perlukan dengan berkata pada David, “Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu,
tapi barangkali Anda bisa memberitahukan alamat situs yang dosen bicarakan tadi pagi?”
Contoh yang lain, “Maaf mengganggu, Bisakah saya meminjam uang lima ratus ribu,
ehmm, jika kamu Anda tidak membutuhkannya sekarang? Adanya pemberian pilihan
berpengaruh pada tingkat kesantunan. Semakin besar kemungkinan pilihan jawaban
“tidak” diberikan, maka semakin sopan lah tuturan tersebut.
Positive politeness bertujuan untuk menyelamatkan dengan menerapkan
kedekatan dan solidaritas, biasanya dalam pertemanan atau persahabatan, membuat orang
lain merasa nyaman dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur)
memiliki tujuan yang sama. Misal Anda masih berada di student center dan masih
memerlukan bantuan, kali ini Anda meminta bantuan pada teman dekat Anda, Rudi.
“Rudi, kamu kan punya memori yang baik dan keren, akan lebih keren jika kamu
memberitahu saya alamat situs yang dimaksud pak Handano tadi pagi.”

20
4. Superstrategies Dalam Kesopanan
Dalam setiap tindak tutur, kita selalu memiliki banyak ekspresi tuturan. Brown
and Levinson (1987) menyarankan beberapa superstrategiesi bagi pengguna bahasa untuk
bias berkomunikasi dengan cara yang sopan (dikutip dari Yule, 1996, p.62-66).” Contoh
berikut ini akan member penjelasan mengenai superstrategies. Misalnya Anda sedang
mengikuti ujian. Anda kemudian menyadari bahwa anda tidak membawa pena. Anda
yakin teman sekelas anda akan memberi bantuan. Dalam kasus ini, pertama-tama anda
harus membuat keputusan apakah mengatakan sesuatu atau tidak.
a) Tidak mengatakan sesuatu
Anda dapat langsung mencari di dalam tas tanpa mengatakan apapun menunggu
teman anda bertanya atau menawarkan bantuan. Pendekatan ‘tidak mengatakan
apapun’ mungkin berhasil atau tidak berhasil. Hal tersebut bergantung pada
bagaimana orang lain menginterpretasikan tindakan anda.
b) Mengatakan sesuatu : off record
Jika anda memutuskan untuk mengatakan sesuatu, anda bisa berkata: “Oh dear. I
Forgot my pen”. Sama halnya dengan pendekatan ‘tidak mengatakan sesuatu”,
mengatakan sesuatu: off record ini juga memiliki kemungkinan untuk berhasil atau
pun gagal. Tidak ada jaminan bahwa orang lain pasti memahami maksud anda.
c) Mengatakan sesuatu: on record
Berlawanan dengan pernyataan off record, anda bisa mengekspresikan kebutuhan
anda dengan langsung berbicara pada seseorang. Cara yang paling eksplisit untuk
menyatakan kebutuhan anda adalah dengan tegas on record. Anda bisa secara
langsung meminta bantuan dengan mengatakan: “Give me a pen!” Permintaan yang
tegas, mengikuti maksim Grice adalah benar-benar langsung dan ringkas. Meskipun
demikian, hal ini memiliki potensi mengancam muka mitra tutur jika permintaan ini
dianggap sebagai sebuah perintah. Untuk menghindari hal tersebut, anda harus
melakukan face saving acts yang menggunakan strategi kesopanan positif dan
negative untuk meredam ancaman.
Strategi kesopanan positif berorientasi pada usaha untuk memperbaiki
ancaman positive face pendengar. Ketika anda menggunakan kesopanan positif,
cobalah untuk membayangkan bahwa pendengar memiliki dasar yang sama atau

21
bahkan memiliki hubungan pertemanan dengan anda. Menggunakan bahasa identitas
dalam sebuah kelompok, anda bisa berkata: (“How about letting me use your pen?)”
bentuk let menandai adanya rasa solidaritas di antara pembicara dan pendengar.
Namun demikian, tetap saja strategi ini memiliki resiko untuk ditolak jika si
pendengar berbeda tingkat social dengan anda. Dalam kasus ini, strategi kesopanan
sebaliknya mungkin lebih tepat untuk digunakan.
Strategi kesopanan negatif tidak selalu bermaksud tidak baik. Kenyataannya,
strategi ini bermaksud memperbaiki fakta negative yang mengancam pendengar.
Anda dapat meminta bantuan secara tidak langsung dengan bertanya “Could you
lend me a pen?” atau “Sorry to bother you, but may I borrow your
pen?” Pertanyaan-pertanyaan ini didahului oleh ungkapan permintaan maaf untuk
pembebanan yang menunjukkan keprihatinan anda tentang kerugian untuk
pendengar. Selain itu, meminta izin untuk mengajukan pertanyaan lebih sopan.

REFERENSI

Alfiati. (2015). Santun Berbahasa Indonesia. Jurnal Staimadiun, Vol. 2, (No. 1, Juli 2015), hlm
197.

Baryadi. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan kekerasan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Brown, P. dan Levinson, S.C. (1987). Politeness Some Universals in Language Usage. New
York: Cambridge University Press.

Chaer, Abdul. (2010). Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Kuntarto, Eko. 2015. Kesantunan Berbahasa Ditinjau Dari Prespektif Kecerdasan Majemuk.
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol.16 (No. 2 Tahun 2015), hlm 30-35.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia Press.


Terjemahan M. D. Oka. 1983. The Principles of Pragmatics. London: Longman Group
UK.

22
Markhamah, et. al. (2011). Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.

Maulidi, Ahmad. 2015. Kesantunan Berbahasa Pada Media Jejaring Sosial Facebook. E-Jurnal
Bahasan Todea, Volume 3, (Nomor 4, Oktober 2015), hlm 42-49.

Ode, Wa Nurjamily. 2015. Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Lingkungan Keluarga


(Kajian Sosiopragmatik). Jurnal Humanika, Vol. 3, (No. 15, Desember 2015), hlm 65-68.

Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Rakasiwi, Ratna A.A. & Putra Suandi N. 2014. Penerapan Prinsip Kerja Sama dan Prinsip
Kesantunan Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Saintifik oleh
Siswa Kelas IV SD Jembatan Budaya. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa,
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Vol. 3, (No. 5, November
2014. hlm 43-47.

Sasanti, Niken. 2013. Tindak Tutur “Melarang” dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Penelitian.
Volume 16, (No. 2, Mei 2013), hlm. 196-206.

Sumarsono. 2010. Pragmatik. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

23

Anda mungkin juga menyukai