Anda di halaman 1dari 28

BAGAIMANA MANUSIA

MEMPERSEPSI UJARAN
Siti Salamah, S.S, M.Hum.
A. Definisi

 Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang


berbicara. Ujaran dapat berupa kata,kalimat,gagasan, yang keluar dari
mulut manusia dan memiliki arti.

 Persepsi ujaran bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh manusia,


karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang melumcur tanpa
ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain
(Dardjowodjodo, 2015).
 Persepsi ujaran menurut Gleason (1998:108) adalah proses di mana
sebuah ujaran ditafsirkan. Persepsi ujaran melibatkan tiga proses yang
meliputi, pendengaran, penafsiran dan pemahaman terhadap semua
suara yang dihasilkan oleh penutur.

 Persepsi ujaran: proses seseorang dapat menginterpretasikan dan


merepson informasi dari luar dengan tetap sesuai apa yang dituturkan
oleh pembicara.
 Mempersepsi ujaran lebih mirip dengan membaca tulisan tangan
daripada teks cetak. Faktor-faktor yang membuat keterbacaan
huruf pada individu lebih bermasalah dalam tulisan tangan
sebagaimana hal ini juga terjadi ketika sesorang berusaha
mempersepsi sebuah ujaran.

 Hal ini terjadi kerana keduanya memiliki kesamaaan kompleksitas


ekspresi individu dalam mengeskpresikan keadaan.
B. VARIABEL PERSEPSI UJARAN L Ingram (2007)

1. LINGKUNGAN PENGUJAR

Lingkungan penutur menentukan cara kita berujar. Hal ini


menyebabkan pengujar/penutur memodifikasi cara berujarnya
agar lebih mudah dipahami pendengar.
Contoh:
1) mayoritas masyarakat meningkatkan nada suara 5-10% ketika
berbicara di telepon.
2) Jika berujar dengan masyarakat Jogja tentu berbeda saat
berujar dengan masyarakat asal domisili (bagi mahasiswa
luar daerah).
2. SALURAN SUARA PENGUJAR

Saluran suara adalah area dari hidung dan rongga hidung hingga
ke pita suara jauh di dalam tenggorokan. Ini termasuk bibir, lidah,
tenggorokan, dan bahkan hidung. Saluran suara yang lebih
pendek menghsailkan frekuensi suara yang lebih kecil
dibandingkan dengan saluran suara yang lebih lebar.

Contoh:
suara vokal-konsonan anak kecil berbeda dengan suara vokal-
konsonan orang dewasa.
3. TINGKAT DAN GAYA UJARAN
•Seseorang cenderung meningkatkan kecepatan ujaran untuk
menghindari interupsi maupun memperlambat ujaran untuk
merencanakan apa yang diujarkan selanjutnya atau untuk
mengucapkan lebih jelas kata yang dimaksud. Gaya berujar
menyesuaikan dengan konteks ujaran. Hal ini berdampak
pada variasi stilistik (pilihan kata dan cara pengujarannya).

Contoh:
1) situasi formal berbeda dengan situasi kasual.
2) silakan perhatikan bahasa MC di acara resmi kampus
dengan MC di acara konser band.
CONTOH BAHASA MC:

Bapak/Ibu hadirin yang kami hormati (sangat formal)


Saudara-saudara yang kami hargai (formal)
Kawan-kawan yang kita sayangi (kasual)
Masbro dan Mbaksis yang keren-keren (sangat kasual)
C. Tahapan Pemrosesan Ujaran

1. Tahap Auditori

 Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong. Ujaran
ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti
titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT (Voice Onset Time).
 VOT: waktu antara lepasnya udara untuk pengucapan suatu konsonan
dengan getaran pita suara untuk bunyi vokal yang mengikutinya) sangat
bermanfaat di sini karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi
dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam
memori auditori kita
2. Tahap Fonetik

 Tahap fonetik merupakan tahap dimana bunyi-bunyi diidentifikasikan.


Apakah bunyi tersebut diikuti vokal atau konsonan. Perbedaan antara
memori auditori dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori
auditori semua variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan
sedangkan pada memori fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik
saja.
 Misalnya, bila kita mendengar bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita
simpan pada memori auditori bukan fonem /b/ dan bukan hanya titik
artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja tetapi juga
pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian maka [b] ini
ssedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip – rounding) .
3. Tahap Fonologis

 Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada deretan
bunyi yang kita dengar untuk menetukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah
mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita.
 Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak
mustahil akan mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik
dalam bahasa kita memungkinkan urutan seperti ini seperti pada kata
Mbak dan Mbok meskipun kedua-duanya pinjaman dari bahasa Jawa.
 Sebaliknya, penutur bahasa Inggris pasti akan memisahkan kedua bunyi
ini ke dalam dua suku yang berbeda.Kombinasi bunyi yang tidak
dimungkinkan oleh aturan fonotaktik bahasa tersebut pastilah akan
ditolak
D. Masalah Manusia dalam Memahami
Ujaran
 Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahawa dia harus dapat
memahami setiap bunyi kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok
dalam konteks di mana kata itu dipakai.
 Permasalahan ini tidak akan cukup berarti bagi penutur asil bahasa terkait,
tetapi akan menjadi sebuah permasalahan tersendiri ketika seorang penutur
bahasa Indonesia harus memahami ujaran bahasa asing (Inggris).
 Misalnya pada kata “Ed had edited it” kalimat tersebut jika diucapkan oleh
penutur asli bahasa Inggris, dan disimak oleh penutur yang sama tidk akan
menjadi aneh atau sulit dimaknai. Akan tetapi jika kalimat itu diucapkan oleh
penutur Asing dan disimak oleh penutur Indonesia maka tiap-tiap kata
tersebut akan terdengar aneh dan lucu bahkan sulit untuk dipahami.
 Dalam bahasa Inggris orang rata-rata mengeluarakan 125-180 kata tiap menit
jumlah ini berbeda dengan orang Indonesia yang rata-rata diperkirakan 80-110
kata permenit.
 Kaitanya dengan memahamai ujaran bahasa Inggris bagi orang Indoensia adalah
bagaimana kita dapat menangkap dan kemudian mencerna bunyi-bunyi yang
diujarkan dengan kecepatan seperti itu.
E. Model Persepsi Ujaran

 Berbagai model telah dikembangkan untuk membantu memahami


komponen ujaran. Ada model yang berfokus pada produksi atau persepsi
berbicara semata-mata, dan ada model lain yang menggabungkan kedua
produksi ujaran dan persepsi secara bersamaan. Beberapa model pertama
dibuat dalam kurun waktu sampai sekitar pertengahan 1900-an, dan model
tersebut terus-menerus dikembangkan hingga saat ini.
 Masalah utama dalam menentukan model persepsi ujaran adalah
menentukan model persepsi yang tepat dari sebuah proses persepsi ujaran
sebagaimana diungkapkan oleh Dardjowidjodo (2015: 52-56) adalah sebagai
berikut.
1. Motor Theory of Speech Perception (Model Teori Motor)

o Model ini dikembangkan pada tahun 1967 oleh Liberman dkk.


o Prinsip dasar dari model ini terletak pada produksi suara di saluran vokal
pembicara.
o Teori ini menyatakan bahwa pendengar mampu merasakan gerakan fonetik
pembicara saat si pembicara itu berbicara. Sikap fonetik, dalam model ini,
adalah representasi dari penyempitan saluran vokal pembicara sambil
menghasilkan bunyi ujaran vokal.
 Dalam teori ini Goldstone (1994) menyatakan bahwa ada dua hal, yang perlu
diperhatikan yaitu trading relations dan coarticulation.
 Trading relations adalah konsep yang menyatakan bahwa tidak setiap
gerakan fonetik dapat diterjemahkan secara langsung dan didefinisikan
dalam istilah akustik. Ini berarti bahwa harus ada langkah lain untuk
menafsirkan gerakan vokal.
 Konsep coarticulation adalah bahwa ada variasi di daerah artikulasi gerakan
vokal yang dihasilkan oleh penutur. Gerakan yang sama mungkin dapat
diproduksi di lebih dari satu tempat. Fonem yang dipahami oleh pendengar
berdasarkan pada kemampuan si pendengar itu untuk mengidentifikasi
semua variasi ujaran
 Dalam Model Teori Motor ini menurut Goldstone (1994) akan ditemukan proses
categorical perception (persepsi kategoris).
 Persepsi kategoris adalah konsep bahwa fonem ujaran dapat dibagi secara kategoris
setelah mereka fonem-fonem tersebut diproduksi. Ujaran terdiri dari tempat
artikulasi dan waktu onset suara.
 Sebagai contoh, /b/ memiliki onset suara yang berbeda dari /p/ namun
keduanya diproduksi di tempat yang sama di saluran vokal. Membuat
perbedaan antara artikulasi dan onset suara memungkinkan gerakan
pengelompokan (pembuatan kategori) yang ditentukan berdasarkan cara
suara-suara tersebut diproduk
2. Analysis-by-Synthesis Model (Model Analisis dengan Sintesis)
 Model Analisis dengan Sintesis. Model ini menyatakan bahwa pendengar
mempunyai sistem produksi yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan
mekanisme yang ada padanya .
 Waktu dia mendengar suatu suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan
analisis terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur distingtif (fitur pembeda) yang
ada pada masing-masing bunyi.
 Hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan suatu ujaran yang kemudian
dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi.
 Bila antara ujaran yang dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok
maka terbentuklah persepsi yang benar.
 Bila tidak maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran lain untuk akhirnya ditemkan
ujaran yang cocok.
 Sebagai contoh bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan
bunyi /pola/ maka mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur
distingtifnya, kemudian disintesiskanlah ujaran itu untuk memunculkan
bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk itu (/mula/, /pula/, /kola/,
/pola/) sampai akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni /pola/.
Baru pada saat inilah deretan tadi dipersepsikan dengan benar
3. Fuzzy Logic Model of Perception (FLMP)
Massaro (1987) dan Werker (1991) menyatakan bahwa Fuzzy Logic Model of
Perception (FLMP) adalah sebuah temuan baru karena Model Teori Motor
dinilai lemah.

Menurut Massaro persepsi kategoris (categorical perception) bukanlah suatu


tanda bahwa kita memiliki modus khusus dalam otak kita berkaitan dengan
mengelompokkan fonem. Hal ini dikarenakan persepsi ujaran sebenarnya
terbentuk melalui dari tiga proses: evaluasi fitur, integrasi fitur, dan
kesimpulan.
 Dalam model ini dikenal adanya bentuk prototipe tentang semua nilai
ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur distingtifnya
(pembedanya). Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi,
diintegrasi dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe
yang ada pada memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil
kesimpulan apakah masukan tadi cocok dengan yang terdapat pada
prototipe.
 Jika kita mendengar bunyi /ba/ maka kita mengkaitkannya denngan
suku kata ideal untuk suku ini, yakni semua fitur yang ada pada
konsonan /b/ maupun pada vokal /a/. Evaluasi ini lalu diintegrasikan
dan kemudian diambil kesimpulan bahwa suku kata /ba/ yang kita
dengar sama (atau tidak sama) dengan suku kata dari prototipe kita.
 Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi suku kata atau kata yang
kita dengar tidak mungkin persis 100 persen sama dengan prototipe kita.
Orang yang sedang mengunyah sesuatu sambil mengatakan /baraɳ/ pasti
tidak persis sama dengan yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang
mengunyah apa-apa.
4. Cohort Model
 Model ini diusulkan pada tahun 1980-an oleh Marslen-Wilson, Model
Cohort adalah representasi untuk pengambilan leksikal. Aitchison (1987)
menyatakan bahwa leksikon individu adalah kamus mental seseorang.
 Menurut sebuah studi, rata-rata individu memiliki leksikon sekitar
45.000 sampai 60.000 kata Premis dari Model Cohort adalah bahwa
pendengar memetakan kata-kata baru dengan kosakata yang sudah ada
dalam kamus mentalnya. Setiap bagian dari tuturan dapat dipecah
menjadi beberapa segmen. Semakin banyak segmen yang didengar, ia
bisa menghilangkan kata-kata dari kamus mereka yang tidak berpola
sama
 Marslen-Wilson dan Welsh (1978) dalam Gleason dan Ratner (1998)
secara umum menjelaskan Model Cohort dalam sebuah tahap dimana
informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita
dengar memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang
mirip dengan kata tadi.
 Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang mulai
dengan /p/ akan teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi,prakata,dsb. Kata-
kata yang termunculkan itulah yang disebut cohort. Kemudian kata-kata
yang tidak mirip dengan target (pahala,pujaan) akan tersingkirkan. Lalu
kata /priyayi/ dan /prakata/ akan ikut disingkirkan aren fonem
selanjutnya adalah /h/ dan persis cocok dengan yang diterima
6. T

5. TRACE Model
 Model ini ditemukan oleh James McCleland & Jeffrey Elman (McClelland
dan Elman, 1986).
 Model TRACE berdasarkan pada pandangan koneskionis dan mengkaji
proses top-down. Artinya, konteks leksikal dapat membantu secara
langsung pemrosesan secara perseptual dan secara akustik. Begitu juga
informasi di tataran kata dapat juga mempengaruhi pemrosesan pada
tataran di bawahnya.
 Teori ini menyatakan ada beberapa masalah yang dialami pendengar ketika mendengar suatu
bunyi, 1) bunyi yang didengar tidak benar-benar terpisah, tetapi agak tumpang tindih, 2)
pelafalan bunyi dipengaruhi oleh lingkungannya yaitu bunyi sebelum atau sesudah bunyi
tersebut, 3) beragamnya pelafalan suatu bunyi yang disebabkan aksen individual, kedaerahan,
atau kebisingan lingkungan tempat ujaran didengar (Suudi, 2011).

 Salah satu atau beberapa hal tersebut membuat awal bunyi sebuah kata didengar semua kata
yang berinisial sama dengan kata tersebut akan teraktifan dalam ingatan, kata tersebut
kemudian bersaing untuk dimaknai seiring dengan terdengarnya bunyi yang menyusul,
akhirnya makna yang dimaksud akan tertangkap setelah seluruh kata terdengar, atinya
persaingan selesai
 Persepsi bunyi atau urutan bunyi menurut teori ini mengalami proses sebagai
berikut: 1) ketika awal bunyi, misalnya sebuah kata, didengar, semua kata yang
berinisial sama dengan kata tersebut akan teraktifkan dalam ingatan, 2) kata
tersebut bersaing untuk dimaknai seiring dengan terdengarnya bunyi yang
menyusul, 3) akhirnya makna yang dimaksud akan tertangkap setelah seluruh kata
terdengar, artinya persaingan selesai.
 Model TRACE bekerja dalam dua arah. Dalam TRACE, baik kata-kata atau fonem
dapat ditangkap dari pesan lisan (tuturan). Dengan segmentasi suara individu,
fonem dapat ditentukan dari kata yang diucapkan. Kemudian dengan
menggabungkan fonem, kata-kata dapat dibuat dan dirasakan oleh pendengar.
DAFTAR RUJUKAN
• Dardjowidjojo, Soenjono. 2015. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
• John C. L. Ingram 2007. Neurolinguistics An Introduction to Spoken Language Processing and its
Disorders. New York: Cambridge University Press.
• Gleason, Jean. Berko dan Nan Bernstein Rartner, eds. 1998. Edisi Kedua. Psycholinguistics. New
York: Harcourt Brace College Publishers.
• Su’udi, Astini. 2011. Pengantar Psikolinguistik bagi Pembelajar Bahasa Perancis. Semarang: Widya
Karya

Anda mungkin juga menyukai