Anda di halaman 1dari 16

PSIKOLINGUISTIK “PRODUKSI UJARAN”

Dosen Pengampu: Drs. Herwandi, M. Pd.

E R S ITA S I S L A M R I A U
U N IV

P E K AN B A R U

Disusun Oleh:

Bambang Irawan NIM: 176210357


Mega Silviati NIM: 176210096
Wirdatul Hasanah NIM: 176210324

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Riau
Pekanbaru
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat, nikmat serta karunia-Nya yang tidak ternilai dan tidak dapat dihitung
sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Karya
tulis ilmiah yang berjudul “Produksi Ujaran”, disusun berdasarkan data-data dari
sumber buku pustaka yang dikutip secara jelas dan terang-terangan tanpa adanya
unsur plagiasi. Adapun, penyusunan karya tulis ilmiah ini kiranya masih jauh dari
kata sempurna. Untuk itu, kami menghaturkan permohonan maaf apabila terdapat
kesalahan dalam penulisan maupun penyusunan karya tulis ilmiah ini.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada ibu Drs. Herwandi, M.Pd.


selaku dosen pengampu mata kuliah Psikolinguistik yang telah memberikan
bimbingan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah
ini dengan maksimal. Tidak lupa pula kami mengharapkan kritik dan saran untuk
membangun motivasi lebih baik guna memperbaiki karya tulis ilmiah pada karya-
karya berikutnya. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

Pekanbaru, 11 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3

2.1 Langkah Umum Dalam Memproduksi Ujaran ................................... 3


2.2 Rincian Produksi Ujaran .................................................................... 5
2.3 Hubungan Antara Komprehensi-Produksi ......................................... 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 12

3.1 Simpulan ............................................................................................. 12

REFERENSI ................................................................................................... 13

ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Secara umum manusia berkomunikasi dengan cara tulisan dan lisan. Jika
manusia berkomunikasi dengan tulisan maka tidak ada alat ucap yang harus
mengalami proses-proses tertentu. Sebaliknya, jika manusia berkomunikasi
dengan lambang-lambang bunyi yang diujarkan dengan menggunakan alat ucap
manusia maka akan menuntut berbagai proses ujaran pada penuturnya. Ketika
seseorang berbicara, terlihat bahwa seolah-olah sangat mudah dalam mengujarkan
bunyi-bunyi yang bermakna itu tanpa harus berfikir. Hal seperti ini sering
dirasakan saat seseorang berbicara mengenai kesehariannya.

Pada dasarnya proses berbahasa itu memerlukan perencanaan mental yang


rinci dari tingkat wacana sampai pada pelaksanaan artikulasinya 1. Dalam hal ini
produksi kalimat memerhatikan dua aspek, yaitu proses psikologis sebagai
peramu unsur-unsur yang akan diujarkan, selanjutnya koordinasi yang tepat
dengan neurobilogi2 manusia atau para penutur bahasa. Bahasa sebagai alat
komunikasi verbal yang dimiliki oleh manusia. Selain dikaji secara internal yang
meliputi struktur fonologi, morfologi, sintaksis, maupun wacananya, bahasa juga
dikaji secara ekternal. Kajian secara ekternal biasanya mengungkap berbagai
permasalah bahasa dengan factor-faktor luar bahasa itu sendiri.

Menurut Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama Cazahu, 1973 dalam Chaer
(2002: 5) bahwa “Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi
yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya
pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh
oleh manusia”. Artinya di dalam ilmu psikolinguistik juga mengkaji bahasa ujaran
yang diproduksi oleh manusia sehingga bahasa verbal tersebut dapat menjadi

1
Dardjowidjojo. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2010. Hlm. 115
2
Neurobiologi adalah sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang kinerja
sistem saraf, fisiologi dan hubungannya dengan perilaku manusia. Neurobiologi
merupakan suatu pengetahuan yang mempelajari tentang sistem saraf. Hubungannya
dengan psikologi adalah Pendekatan ini mencoba menjelaskan hubungan antara perilaku
yang dapat diamati dan kejadian-kejadian mental (seperti pikiran dan emosi) menjadi
proses biologis. Pendekatan neuro-biologis beranggapan bahwa inteligensi memiliki
dasar anatomis dan biologis. Perilaku inteligen, menurut pendekatan ini dapat ditelusuri
dasar-dasar neuro-anatomis dan proses neurofisiologisnya.

1
bunyi-bunyi yang bermakna. Pada pembahasan berikutnya, paling tidak ada tiga
komponen yang harus dipahami sebagai orang yang berkecimpung pada bidang
bahasa. Adapun komponen-komponen tersebut, yaitu bagaimana langkah umum
dalam memproduksi ujaran; rincian produksi ujaran; dan hubungan antara
komprehensi-produksi.

1.2 Rumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang tersebut di atas maka perlu dirumuskan


beberapa rumusan masalah yang akan dibahas pada bagian pembahasan. Adapun
beberapa rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana langkah umum dalam memproduksi ujaran?


2. Bagaimana rincian produksi ujaran?
3. Apa hubungan antara komprehensi-produksi?

1.3 Tujuan

Bertumpu pada rumusan masalah tersebut di atas maka ada beberapa


tujuan yang hendaknya tercapai. Adapun tujuan pada karya tulis ilmiah ini, yaitu
sebagai berikut:

1. Memahami bagaimana langkah umum dalam memproduksi ujaran;


2. Mengetahui bagaimana rincian produksi ujaran;
3. Mengetahui apa hubungan antara komprehensi-produksi.

2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Langkah Umum Dalam Memproduksi Ujaran

Dardjowidjojo (2010: 117) menyebutkan bahwa “Dalam proses produksi


ujaran dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu pertama, tingkat pesan (message)
atau pesan yang akan disampaikan diproses; kedua, tingkat fungsional atau bentuk
leksikal dipilih lalu diberi peran dan fungsi sintaksis; ketiga, tingkat posisional
atau konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan; dan keempat, tingkat fonologi
atau struktur fonologi ujaran itu diwujudkan”. Selanjutnya Bock dan Levelt dalam
Dardjowidjojo (2010: 117) memberikan visualisasi sebagai berikut:

MESSAGE

FUNCTIONAL
Lexical Function
Selection Assignment
PROCESSING

POSITIONAL
Constituent
Inflection
Assembly

PHONOLOGICAL ENCODING

Gambar 2.1 Tingkat Pemrosesan Ujaran

Pada tingkat pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang


ingin disampaikan. Simaklah contoh berikut:

“Tutiek sedang menyuapi anaknya”

3
Nosi-nosi yang ada pada benak penutur, yaitu pertama, adanya seseorang;
kedua, orang ini wanita; ketiga, dia sudah menikah; keempat, dia punya anak;
kelima, dia sedang melakukan suatu perbuatan; dan keenam, perbuatan itu adalah
memberi makan pada anaknya.

Pada tingkat fungsional, yang diproses ada dua, yaitu pertama, memilih
bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan informasi
gramatikal untuk masing-masing bentuk leksikal tersebut. Misalnya, dari sekian
orang dan wanita yang dia kenal, wanita yang dimaksud adalah Tutiek, dan kata
ini adalah nama orang perempuan; perbuatan yang dilakukan diwakili oleh verba
suap; antara dua argumen Tutiek dan anaknya, Tutiek adalah pelaku perbuatan
sedangkan anaknya adalah resipiennya; kedua, memberikan fungsi pada kata-kata
yang telah dipilih ini. Proses ini menyangkut hubungan sintaksis atau fungsi
gramatikal. Pada contoh di atas, kata Tutiek harus dikaitkan dengan fungsi subjek
sedangkan anaknya pada objek.

Pada tingkat pemrosesan posisional, diurutkan bentuk leksikal untuk


ujaran yang akan dikeluarkan. Pengurutan ini bukan berdasarkan jejeran yang
linear tetapi pada kesatuan makna yang hierarkhis. Pada contoh di atas kata
sedang bertaut dengan menyuapi, bukan dengan Tutiek. Begitu juga –nya bertaut
dengan anak, dan bukan pada Tutiek atau menyuapi.

Setelah pengurutan itu selesai, diproseslah afiksasi yang relevan. Pada


bahasa Indo-Eropa seperti bahasa Inggris, verba menyuapi (to feed) untuk contoh
di atas haruslah mendapat afiks infleksional –ing (feeding). Untuk bahasa
Indonesia, verba dasar suap haruslah ditambah dengan sufiks –i (disamping
prefiks meN- secara opsional).

Hasil dari pemrosesan ini “dikirim” ke tingkat fonologi untuk diwujudkan


dalam bentuk bunyi. Pada tahap ini aturan fonotatik bahasa yang bersangkutan
diterapkan. Kata seperti Tutiek mengikuti aturan fonotatik bahasa Indonesia,
tetapi Ktuiek tidak. Kata ini tentunya akan ditolak. Begitu juga vokal /u/ dan /i/
harus berurutan seperti itu karena kalau dibalik, Tietuk, referennya akan lain.
Proses fonologis ini sederhana karena tersangkut pula di sini proses biologis dan
neurologis.

4
2.2 Rincian Produksi Ujaran

Seperti yang telah tergambar pada pembahasan sebelumnya bahwa, dalam


proses memproduksi ujaran orang mulai dari perencanaan mengenai topik yang
akan diujarkan, kemudian turun ke kalimat yang akan diapaki, dan turun lagi ke
konstituen yang akan dipilih. Setelah itu, barulah dimasukan ke pelaksanaan dari
yang akan diujarkan. Ini mencangkup rencana artikulasi dan bagaimana
mengartikulasikannya. Clark dan Clark dalam Dardjowidjojo (2010: 120)
menjelaskan bahwa prosedur tersebut dapat dilihat dalam skema berikut:

a. Wacana
Perencanaan b. Kalimat
c. Konstituen

Produksi

a. Program Artikulasi
Pelaksanaan
b. Artikulasi

Gambar 2.2 SkemaProsedur Produksi Ujaran

1. Perencanaan Produksi Wacana

Umumnya wacana dibagi menjadi dua macam, yaitu dialog dan


monolog. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada ada tidaknya
interaksi antara pembicara dengan pendengar. Pada dialog terdapat paling
tidak dua pelaku, yakni penutur dan mitratutur. Pada wacana monolog hanya
ada satu pelaku. Baik dialog maupun monolog mempunyai aturan yang rumit
umumnya diikuti orang, meskipun belum tentu dengan sadar.

a. Wacana Dialog

Dalam wacana dialog yang oleh H. Clark dianggapnya sebagai Joint


Activity ada empat unsur yang terlibat, yaitu personalia (personnel), latar
bersama (common ground), perbuatan bersama (joint action), dan kontribusi
(Dardjowidjojo, 2010: 121).

5
Pertama, unsur personalia, pada unsur ini minimal harus ada dua
partisipan, yaitu penutur dan mitratutur, tidak menutup kemungkinan pula
adanya pendengar (side participant), yaitu pihak ketiga yang juga dapat ikut
serta dalam pembicaraan itu. Selain itu personalia juga dapat mencakup
bystanders, yaitu partisipan yang mempunyai akses terhadap apa yang
dibicarakan oleh penutur dan mitratutur, serta kehadirannya diakui. Terakhir
adalah penguping (eavesdroppers), yaitu partisipan yang juga mempunyai
akses terhadap percakapan itu tetapi kehadirannya tidak diakui. Artinya, bisa
saja pihak tersebut tidak berada ditempat komunikasi tetapi mendengar
percakapan tersebut. Clark dalam Dardjowidjojo (2010: 121) memberikan
visualisasi sebagai berikut:
Recognized Audience
Participant
Primary Participant

Speaker -- Addressees

Side Participant
Bystanders

Eavesdroppers

Gambar 2.3 Unsur Personalia dalam Wacana Dialog

Kedua, unsur latar bersama, pada unsur ini merujuk pada anggapan
bahwa baik penutur maupun mitratutur sama-sama memiliki prasuporsi dan
pengetahuan yang sama. Kesamaan dalam hal inilah yang dinamakan latar
bersama (common ground). Untuk lebih memahami, maka perhatikan wacana
percakapan berikut:
Fivien : Halo, ini Fivien (1)
Amrul : O, halo, Vien. Apa kabar? (2)
Fivien : Baik-baik saja. Eh, kamu denger, nggak, si Bram masuk rumah
sakit? (3)
Amrul : Belum, tuh. Kapan, kenapa? (4)
Fivien : Tenggorokannya kena duri ikan, tapi lalu jadi bengkak. (5)
Amrul : O, ya?! Kamu udah jenguk? (6)
Fivien : Belum, ayo, kita jenguk, yo. (7)
Amrul : OK, kita ketemu di kampus jam 4:00? (8)
Fivien : OK. See you (9)
Amrul : See you.

6
Pada contoh diatas bahwa antara Fivien dan Amrul memiliki latar
berssama, yaitu mereka adalah teman Bram. Fiviean berasumsi bahwa Amrul
kenal Bram dan begitupun sebaliknya, sehingga mereka membicarakan apa
yang terjadi pada Bram, maka inilah yang disebut sebagai latar bersama.

Ketiga, unsur perbuatan bersama, maksudnya adalah bahwa baik


penutur maupun mitratutur melakukan perbuatan yang pada dasarnya
mempunyai aturan yang mereka ketahui bersama. Dalam proses komunikasi
terdapat struktur yang terdiri dari tiga unsur, yaitu pembukaan, isi, dan
penutup. Pada bagian pembukaan, misalnya harus ada ajakan (summons) dan
respon. Tanpa ada respon, suatu percakapan tidak mungkin akan berlanjut.
Pada bagian isi, kedua pembicara juga harus memiliki pengetahuan, latar
bersama, atau topik pembicaraan yang sama. pada bagian penutup, maka
kedua pembicara telah harus menyelesaikan topik terakhir, sama-sama
bersedia mengakhiri pembicaraan, dan barulah mereka berhenti.

Keempat, unsur kontribusi umumnya mempunyai dua tahapan, yaitu


tahap presentasi penutur dalam menyampaikan sesuatu untuk dipahami oleh
mitratutur; dan tahap pemahaman (acceptance) yaitu mitratutur telah
memahami apa yang disampaikan oleh penutur. Komunikasi hanya akan
berlanjut bila perlataran seperti ini terbentuk. Perlataran juga tumbuh secara
akumulatif, artinya perlataran itu berkembang (dan dapat pula berubah) dari
satu kalimat ke kalimat lain. Suatu percakapan bisa dimulai dengan perlataran
A (sakitnya seseorang), kemudian B (harga obat yang mahal), C (repotnya
memakai AKSES), dan seterusnya.

Kelima, struktur percakapan. Secara sepintas orang mengira bahwa


suatu percakapan adalah perbuatan verbal yang spontan keluar begitu saja
pada waktu berbicara, tanpa ada aturan. Kalau hal ini benar maka dapat
dibayangkan bahwa dalam suatu percakapan akan terjadi “tabrakan-tabrakan”
dalam giliran berbicara, penantian yang tidak menentu kapan seseorang
harus berbicara. Pendek kata bahwa dalam percakapan mempunyai struktur
dan aturan. Dalam hal menunggu giliran, misalnya kita juga tidak boleh
terlalu cepat merespon kalimat dari lawan bicara. Sebaliknya kita juga tidak
boleh terlalu lama merespon lawan bicara kita.

7
Beattie dan Bernard dalam Dardjowidjojo (2010: 126) bahwa “Jarak
antara penutur berhenti dan mitratutur menjawab atau menangggapi adalah
0,2 detik. Artinya lebih pendek atau lebih panjang dari 0,2 detik akan
mengakibatkan kesenjangan-kesenjangan anatara penutur dan mitratutur.
Mengenai giliran bicara itu sendiri juga terdapat aturan yang umumnya diikuti
oleh orang. Bila seseorang mulai bicara dalam suatu percakapan tiga orang
(atau lebih), maka orang yang diajak bicara itulah yang wajib memberikan
respon. Jadi, seandainya ada A, B, dan C. Bila A bertindak sebagai pembicara
dan dia mengarahkannya kepada B, maka B-lah yang wajib memberikan
tanggapan. Perhatikan contoh berikut.

Ali : Kenapa kamu ingin masuk ke FKIP?


Bawuk : Saya memang ingin jadi guru, Pak.
Cupiek : (Diam saja).

Dengan celah waktu yang normal, 0,2 detik itu, Bawuk menjawab
pertanyaan Ali. Apabila celah waktunya itu lebih lama dari yang normal,
maka yang bisa terjadi, yaitu pertama, Ali mengulang atau memparafrase
pertanyaannya; kedua Cupiek masuk, misalnya dengan mengatakan “katanya
dia pingin jadi guru, Pak. Kalau Cupiek tidak masuk dalam percakapan, maka
giliran kembali kepada Ali. Dengan demikian aturan mengenai giliran bicara
itu, yaitu (a) giliran berikut adalah pada yang diajak bicara; (b) giliran berikut
adalah pada siapapun yang angkat bicara; (c) giliran berikut kembali kepada
pembicara, bila tidak ada orang lain yang bicara.

b. Wacana Monolog

Wacana monolog umumnya mempunyai satu partisipan, yakni orang


yang berbicara itu sendiri. Pada wacana monolog orang umumnya mengikuti
pola narasi tertentu. Dari segi informasi yang diberikan orang memilah-milah
mana yang layak dimasukan dan mana yang tidak. Disamping pemilahan-
pemilahan seperti ini maka seharusnya ditentukan seditail mengatakan apa
yang ingin dikatakan. Faktor lain dalam wacana monolog adalah urutan
penyajian. Seandainya menarasikan suatu perjalan ke A, B, dan C maka akan
sulitlah kalau seandainya loncat dari A ke C lalu ke B lalu ke A kemudian ke
C lagi. Faktor terakhir adalah hubungan antara satu unsur dengan unsur yang

8
lain. Pendek kata factor-faktor tersebut akan mewujudkan suatu wacana
monolog yang koheren, yakni keserasian maknanya.

2. Perencanaan Produksi Kalimat

Ada tiga kategori yang perlu diproses dalam perencanaan produksi


kalimat, yaitu muatan proposisional (prepositional content), muatan
ilokusioner, dan struktur tematik (Clark dan Clark dalam Dardjowidjojo,
2010: 129).

a. Muatan Proposisional

Pada muatan preposisional, pembicara menentukan preposisi apa yang


ingin dia nyatakan. Dalam proses ini, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, pemilihan peristiwa atau keadaan. Dalam suatu
wacana yang akan terujar dalam bentuk kalimat-kalimat, kita memilah-
memilah peristiwa atau keadaan itu menjadi ihwal yang seolah-olah terpisah-
pisah. Kalau hendak berbicara tentang seorang resepsionis muda yang
menyapa pasien tua maka pemilahannya bisa:
Ada seorang resepsionis. Ada seorang pasien. Resepsionis itu muda.
Pasien itu tua.

Perencanaan kalimat juga dapat dipengaruhi oleh kodrat bahasa kita.


Bagi orang jawa kalimat berikut yang pertama dan kedua tidaklah sama:
1. Jupuken upo iku. ‘Ambilah upo itu’
2. Jupuken sego iku. ‘Ambilah nasi itu’

Hal ini dikarenakan pada kalimat pertama adalah satu atau dua butir
nasi yang jatuh dari piring. Pada kalimat kedua bahwa seluruh nasi yang
diambil.

Orang juga pada umumnya mengikuti cara penyampaian yang paling


sederhana, kecuali kalau memang ada alasan untuk berbuat lain. Kalau ada
tiga wanita yang cantik-cantik, maka umumnya orang akan menyatakan yang
paling cantik dulu, baru nomor duanya, dan kemudian nomor tiga. Tidak
mustahil bahwa prinsip kesederhanaan ini dilanggar karena adanya suatu
pengertian umum yang berlaku pada suatu masyarakat. Perhatikan wacana
berikut:

9
Anak yang ketabrak itu dibawa ke rumah sakit. Dokter bedah segera
mengoperasinya. Ayahnya hanya bisa menunggu dan berdoa. Sementara
itu, ibunya berkonsentrasi penuh.

Dari wacana di atas orang tidak akan cepat mengira bahwa dokter
bedahnya dalah ibu dari anak tersebut. Pengertian itu muncul karena kita
mempunyai asumsi bahwa dokter bedah umumnya pria.

b. Muatan Ilokusioner

Setelah muatan preposisional ditentukan, pembicara menentukan


muatan ilokusionalnya, yakni makna yang akan disampaikan itu diwujudkan
dalaam kalimat yang seperti apa. Sehingga dimunculkan tindak ujarn. Suatu
maksud dapat dinyatakan dengan kalimat representatif atau kalimat direktif.
Dalam konteks rencana bepergian, kalimat “Kenapa nggak berangkat
sekarang saja?” bukanlah suatu pertanyaan, tetapi suatu ajakan. Begitu juga
kalau kita mau meminta rokok pada seseorang, mungkin sekali kalimat kita
adalah kalimat Tanya “Ada rokok, nggak?” dan bukan kalimat permintaan
“Beri aku rokok”.

c. Struktur Tematik

Struktur tematik berkaitan dengan penentuan berbagai unsur dalam


kaitannya dengan fungsi gramatikal atau semantik dalam kalimat. Pembicara
menentukan mana yang dijadikan subjek dan mana yang objek. Pemilihan ini
akan menentukan apakah kalimat yang akan diujarkan itu aktif “Tedjo
mencari buku itu” dan pasif “Buku itu dicari oleh Tedjo”. Meskipun
tampaknya sama, sebenarnya dua kalimat tersebut berbeda. Dipilih kalimat
aktif kalau dianggap bahwa Tedjo mengandung informasi lama dan informasi
baru yang sedang disampaikan adalah mencari buku itu. Sebaliknya, kalau
dipilih kalimat pasif, maka informasi lama itu buku itu- yang sedang dicari
oleh Tedjo.

Pemilihan subjek dan kalimat aktif atau pasif dapat mempengaruhi


makna. Kalau anak yang sedang disuapi itu adalah anaknya Tutiek, maka
“Tutiek sedang menyuapi anaknya” adalah cocok. Kalau dijadikan pasif

10
seperti “Anaknya sedang disuapi oleh Tutiek” maka artinya berubah. Hal ini
dikarenakan bentuk –nya pada kalimat pasif tidak merujuk kepada Tutiek lagi.

3. Perencanaan Produksi Konstituen

Pada produksi konstituen, dipilihlah kata yang maknanya tepat seperti


yang dikehendaki. Seandainya referennya adalah seorang pria, maka kalau
penutur benci orang itu, pilihan kata penutur mungkin si brengsek atau
bajingan itu, dan sebagainya. Sebaliknya kalau si penutur adalah pengagum
pria itu maka pilihan katanya mungkin si tampan. Dengan demikian kalimat
“Tuh, tuh, si brengsek datang” dan “Tuh, tuh, si ganteng datang” merujuk
pada referen yang sama.

Pada pemilihan verba juga ada opsi yang dapat dipilih. Misalnya kata
meninggal, mempunyai banyak sinonim dengan nuansa makna yang berbeda-
beda, yaitu mangkat, berpulang, wafat, gugur, tewas, mati, mampus, modar,
dan seterusnya. Perlu ditekankan bahwa pemilihan kata ditentukan oleh
ketepatan makna yang ingin disampaikan.

2.3 Hubungan Antara Komprehensi-Produksi

Orang dapat meretrif kata hanya bila dia telah menyimpan kata itu dalam
memori dia sebelumnya. Pendek kata, bahwa suatu kata dapat diproduksi hanya
bila telah ada komprehensi sebelumnya. Sebab itulah masalah produksi tidak
dapat dilepaskan dari komprehensi. Bock dan Levelt 1944; Bock dan Griffin 2000
dalam Dardjowidjojo (2010: 139) bahwa “Produksi merupakan cermin balik dari
komprehensi dengan tambahan proses-proses tertentu”. Pada komprehensi orang
menerima input untuk kemudian disimpan dalam memori. Pada produksi kata
yang tersimpan itu dicari kembali untuk kembali diujarkan. Untuk mencari kata
itu tentunya diperlukan proses eliminatif dengan memanfaatkan fitur-fitur yang
ada pada kata itu, baik fitur semantik, sintaksis, maupun fonologi.

11
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan

Setelah melakukan penulisan pada karya tulis ilmiah ini, maka dapat
disimpulkan butir-butir sebagai berikut:

1. Dalam proses produksi ujaran dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
pertama, tingkat pesan (message) atau pesan yang akan disampaikan
diproses; kedua, tingkat fungsional atau bentuk leksikal dipilih lalu diberi
peran dan fungsi sintaksis; ketiga, tingkat posisional atau konstituen
dibentuk dan afiksasi dilakukan; dan keempat, tingkat fonologi atau
struktur fonologi ujaran itu diwujudkan;
2. Beberapa rincian produksi ujaran, yaitu pertama, perencanaan (wacana,
kalimat, dan konstituen); kedua, pelaksanaan (program artikulasi dan
artikulasi)
3. Produksi merupakan cermin balik dari komprehensi dengan tambahan
proses-proses tertentu.

12
REFERENSI
Ashriyanti, Muthi. 2013. Psikologi, Neurobiologi, dan Neurologi. Dikases pada 6
September 2019. https://muthiashri.wordpress.com/2013/11/26/psikologi-
neurobiologi-dan-neurologi/

Chaer, Abdul. 2002. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta

Dardjowidjojo, Soejono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa


Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

13

Anda mungkin juga menyukai