Anda di halaman 1dari 19

Pengertian Wacana

Wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan


satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk
karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf atau
kata yang membawa amanat yang lengkap.
Wacana adalah kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak pengertian
yang merangkai kata wacana ini. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk
terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian
linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.
Sedangkan menurut Michael Foucault (1972), wacana; kadang kala sebagai bidang
dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi
kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari
sejumlah pernyataan.
Menurut Eriyanto (Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media), Analisis
Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal
(yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat
keterkaitan di antara unsur tersebut).
Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena
memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal
yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam
lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud
di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari
pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik
pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral
dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya,
maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.
Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam bahasa. Pandangan pertama diwakili
kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata
aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan
pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik
perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal) — Analisis Isi
(kuantitatif)
Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan
analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan
makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud
tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan.
Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara
dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. –Analisis
Framing (bingkai)
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam
paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses
produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral
yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun
strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk
membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang
diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang
dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan.
Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan
analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan
analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis).

Tarigan (1987: 27) mengungkapkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang
terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan
koherensi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang
nyata disampaikan secara lisan maupun tertulis. Menurut Crystal (dalam Nunan,
1993: 5), wacana adalah kesatuan bahasa yang lebih besar dari kalimat dan
membentuk unit yang koheren, misalnya ceramah, pendapat, lelucon, atau narasi.
Wacana merupakan unit bahasa yang terkait oleh satu kesatuan. Kesatuan dalam
wacana menurut Halliday (dalam Purwati, 2003: 16) bersifat semantis. Wacana
tidak selalu harus direalisasikan dalam bentuk rangkaian kalimat. Wacana adalah
satuan bahasa yang komunikatif, yaitu yang sedang menjalankan fungsinya. Ini
berarti wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan dengan dukungan situasi
komunikasinya, bersifat otonom, dan dapat berdiri sendiri. Dengan demikian,
pemahaman wacana haruslah memperhitungkan konteks situasinya, karena hal itu
akan memengaruhi makna wacana.
Menurut Darjowidjojo (dalam Hartono, 2000: 142), dalam komunikasi verbal, baik
yang monolog maupun yang dialog, salah satu syarat penting yang harus
diperhatikan adalah kesinambungan porposisi yang diajukan. Kodrat
kesinambungan dalam monolog berbeda dengan kodrat yang ada pada dialog
karena dalam monolog si pembicara atau penulis tidak perlu memperhatikan
tanggapan verbal yang dinyatakan oleh pembicara atau lawan bicaranya.
Kesinambungan ini kadang-kadang mempunyai manifestasi fonetis yang eksplisit,
tetapi kadang-kadang juga hanya terwujudkan dalam suatu implikatur yang
sifatnya circumstansial.
Menurut Longacre (dalam Hartono, 2000: 143) sebuah perpaduan menyangkut dua
lokus. Pertama, dalam struktur batin (nosional deep structure) haruslah terdapat
keserasian antara satu nosi di satu kalimat dan nosi di kalimat yang lain. Kedua,
perpaduan dan pertalian nosi-nosi harus mempunyai manifestasi fonetis pada
struktur lahir (surface structure).
Menurut Beaugrande (1981: 3), suatu wacana mempunyai ciri-ciri berupa
koherensi, kohesi, maksud pengirim, keberterimaan, memberikan informasi, situasi
pengujaran, dan intertekstualitas. Dalam bidang makna, setiap kalimat dalam
paragraf menyampaikan suatu informasi. Informasi pada kalimat satu berhubungan
dengan kalimat lain sehingga paragraf membentuk kesatuan informasi yang padu
(Ramlan, 1993: 41). Sedangkan bentuk pertalian antarinformasi yang dinyatakan
pada kalimat satu dengan informasi kalimat yang lainnya adalah penjumlahan,
perturutan, perlawanan atau pertentangan, lebih, sebab akibat, waktu, syarat, cara,
kegunaan, dan penjelasan.

B. Kohesi dan Koherensi


Kohesi dan koherensi dalam wacana merupakan salah satu unsur pembangun
wacana selain tema, konteks, unsur bahasa, dan maksud. Kohesi adalah keserasian
hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana, sehingga
tercipta pengertian yang baik (Djajasudarma, 1994: 47). Kohesi dan koherensi juga
merupakan syarat terbentuknya suatu wacana selain syarat lain, yaitu topik.
Koherensi tidak harus selalu dicapai dengan bantuan kohesi (Alwi et.al. dalam
Hartono, 2000: 144). Akan tetapi, kohesi dapat merupakan pendukung terjadinya
koherensi. Kohesi adalah pertautan makna, sedangkan koherensi adalah keruntutan
makna. Kohesi harus dibedakan pada tingkat wacana (proposisi) dan teks (bentuk).
Koherensi hanya pada tingkat wacana. Koherensi ditentukan oleh kerangka acuan
wacana.
C. Konsep Kohesi dalam Wacana
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Kohesi juga merupakan
organisasi sintaksis dan merupakan wadah bagi kalimat yang disusun secara padu
dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 1987: 96). Pengetahuan strata dan
penguasaan kohesi yang baik memudahkan pemahaman tentang wacana. Wacana
bernar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa
terhadap konteks (James dalam Tarigan, 1987: 97).
Konsep kohesi mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur (kata atau
kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan yang
padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi adalah aspek internal dari struktur wacana.
Tarigan (1987: 96) menambahkan bahwa penelitian terhadap unsur kohesi adalah
bagian dari kajian tentang aspek formal bahasa, dengan organisasi dan struktur
kewacanaanya yang berkonsentrasi pada dan bersifat sintaksis gramatikal.
Wacana yang baik dan utuh adalah jika kalimat-kalimatnya bersifat kohesif. Hanya
melalui hubungan yang kohesif, maka ketergantungannya pada unsur-unsur
lainnya. Hubungan kohesif khusus yang bersifat lingual-formal. Selanjutnya,
Halliday (1976: 4) mengemukakan bahwa unsur-unsur kohesi wacana terdiri atas
dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Unsur-unsur kohesi
gramatikal terdiri dari reference (referensi), substitution (substitusi), ellipsis
(elipsis), dan conjunction (konjungsi), sedangkan unsur-unsur kohesi leksikal
terdiri atas reiteration (reiterasi) dan collocation (kolokasi).
Referensi atau penunjukan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan
dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok
kata atau satuan gramatikal lainnya (Ramlan dalam Mulyana, 2005: 133). Dalam
konteks wacana, penunjukan terbagi atas dua jenis yaitu penunjukan eksoforik (di
luar teks) dan penunjukan endoforik (di dalam teks). Dalam aspek referensi,
terlihat juga adanya bentuk-bentuk pronomina (kata ganti orang, kata ganti tempat,
dan kata ganti lainnya).
Substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh
unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Proses substitusi merupakan hubungan
gramatikal dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Elipsis (penghilangan)
adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau
unsur yang dilesapkan itu dapat diperkirakan ujudnya dari konteks luar bahasa
(Kridalaksana, 1984: 40). Konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan
kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung
antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan
kalimat, dan seterusnya (Kridalaksana, 1984: 105 dan Tarigan, 1987: 101).
Kohesi leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk
mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek
leksikal diantaranya adalah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa,
kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya.
D. Konsep Koherensi dalam Wacana
Menurut Pranowo (dalam Purwati, 2003: 21) koherensi adalah cara bagaimana
komponen-komponen wacana yang berupa konfigurasi konsep dan hubungan
menjadi relevan dan saling mengikat. Koherensi merupakan hubungan timbal balik
yang baik dan jelas antara unsur-unsur yang membentuk kalimat itu, bagaimana
hubungan antarsubyek dan predikat, hubungan antara predikat dan obyek, serta
keterangan-keterangan lain yang menjelaskan unsur pokok tadi (Keraf dalam
Purwati, 2003: 22).
Brown dan Yule (1986: 224) menegaskan bahwa koherensi berarti kepaduan dan
keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam stuktur wacana,
aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian
batinantara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan.
Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan
makna yang terjadi antarunsur secara semantik. Hubungan tersebut kadang kala
terjadi dengan alat batu kohesi, namun kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan
alat kohesi, secara keseluruhan hubungan makna yang bersifat koheren menjadi
bagian dari organisasi semantis.
Halliday (1976: 2) menegaskan bahwa pada dasrnya struktur wacana bukanlah
struktur sintaksis, melainkan struktur semantik yakni semantik kalimat yang di
dalamnya mengandund proposisi-proposisi. Beberapa kalimat akan menjadi
wacana karena adanya hubungan makna atau arti antarkalimat itu sendiri.
Keberadaan unsur koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks saja (secara
formal), melainkan juga pada kemampuan pembaca atau pendengar dalam
menghubung-hubungkan makna dan menginterpretasikan suatu bentuk wacana
yang diterimanya. Jadi, kebermaknaan unsur koherensi terletak pada
kelengkapannya yang serasi antara teks dengan pemahaman penutur atau pembaca
(Brown, 1986: 224).
Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang
teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit karena
berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Harimurti (1984:
69) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah
hubungan makna atau maksud. Artinya, antara kalimat bagian yang satu dengan
kalimat lainnya secara semantis memiliki hubungan makna. Kajian mengenai
koherensi dalam tataran analisis wacana merupakan hal mendasar dan relatif paling
penting karena permasalahan pokok dalam analisis wacana adalah bagaimana
mengungkapkan hubungan-hubungan yang rasional dan kaidah-kaidah tentang cara
terbentuknya tuturan-tuturan yang koheren.
Suatu rangkaian kalimat dituntut bersifat gramatikal sekaligus berhubungan secara
logis dan kontekstual. Dengan demikian analisis wacana juga merupakan analisis
keruntutan dan kelogisan berfikir. Jadi, koherensi adalah kepaduan antarbagian
secara batiniah. Bagian-bagian yang disebut proporsi tersebut membentuk jalinan
semantik sehingga tersusun kesatuan makna yang utuh.

Penutup
Kesimpulan
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian
kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat
transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat
dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa,
sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari
pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana
disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang
meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam
bentuk tulis maupun lisan. Sedangkan yang dimaksud dengan kohesi dn koherensi
adalah
Istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang
ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan
salah satu unsur pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks
koherensi lebih penting.Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam
wacana. Kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Cara lain
adalah menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan
hipotaksis (parataxis and hypotaxis). Hubungan parataksis itu dapat diciptakan
dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar (coordinative) dan
subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara beruntun
BAB  I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Istilah wacana berasal dari kata Sansekerta yang bermakna ucapan atau
tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya hak
asasi manusia, demokrasi, dan lingkungan hidup. Oleh karena banyaknya kata
yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa
pengertian dari kata tersebut.

Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari
kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan. Pembahasan wacana
berkitan erat dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan
berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Wacana berkaitan
dengan unsur intralinguistik (internal bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang
berkaitan dengan proses komunikasi.

Berdasarkan uraian diatas, betapa pentingnya mengerti apa itu wacana,


bagaimana menganalisis wacana, syarat kewacanaan suatu teks wacana, peran dari
konteks dan lain sebagainnya supaya tidak terjadi kesalahpahaman serta kekeliruan
penggunaan. Oleh sebab itu, penulis akan memaparkan beberapa poin penting
terkait dengan wacana dan analisisnya. 

1.2  Rumusan Masalah


       1)      Apakah pengertian dari wacana?
       2)      Apa saja syarat kewacanaan suatu teks wacana?
       3)      Bagaimana peranan konteks situasi dalam interpretasi wacana?
       4)      Bagaimana topik dan representasi dalam isi wacana?
       5)      Bagaimana kekohesian dan koherensi dalam wacana?

1.3  Tujuan
       1)       Menjelaskan pengertian dari wacana.
       2)       Menjelaskan syarat kewacanaan suatu teks wacana.
       3)       Menjelaskan peranan konteks situasi dalam interpretasi wacana.
       4)       Menjelaskan topik dan representasi dalam isi wacana.
       5)       Menjelaskan kekohesian dan koherensi dalam wacana.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Wacana

Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna “ucapan atau
tuturan”. Wacana dipadankan dengan istilah discourse dalam bahasa Inggris dan le
discours dalam bahasa Prancis. Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani discursus
yang bermakna “berlari ke sana ke mari” (Sudaryat, 2009 : 110).

         Wacana yaitu suatu konstruksi yang terdiri atas kalimat yang satu diikuti oleh
kalimat yang lain, yang merupakan suatu keutuhan konstruksi dan makna
(Samsuri, 1986 dalam Pranowo).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa wacana adalah
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar berupa pernyataan atau rangkaian
pernyataan baik lisan maupun tulisan, yang memiliki keutuhan makna, pesan, atau
amanat.

Wacana sama halnya dengan semua tindakan berbahasa lainnya yang


memiliki aturan-aturannya tersendiri. Aturan tersebut berimplikasi pada dirinya
sendiri. Sebuah wacana berkaitan dengan wacana yang lainnya. Wacana dapat
diklasifikasikan berdasarkan beberapa sudut pandang, antara lain berdasarkan
langsung atau tidaknya pengungkapan wacana, berdasarkan bentuknya, dan
berdasarkan tujuannya.

Berdasarkan langsung atau tidaknya, wacana dibedakan menjadi wacana


langsung dan wacana tidak langsung. Berdasarkan bentuknya wacana dapat berupa
puisi, prosa atau drama
(Tarigan, 2009 : 49). Berdasarkan media yang digunakan maka wacana dapat
dibedakan atas wacana tulis dan wacana lisan. Wacana Berdasarkan cara dan
tujuan pemaparannya, wacana dapat dibedakan menjadi wacana deskripsi,
eksposisi, argumentasi, persuasi, dan narasi
(Sumarlam, 2003 : 17).

           Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun
belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisisannya
hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa
memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana (Lubis, 1993 : 12). Di
Indonesia, ilmu tentang analisis wacana baru berkembang pada pertengahan 1980-
an, khususnya berkenaan dengan menggejalanya analisis di bidang antropologi,
sosiologi, dan ilmu politik.

Analisis wacana itu mengkaji hubungan bahasa dengan konteks


penggunaannya. Untuk memahami sebuah wacana perlu diperhatikan semua unsur
yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut. Unsur yang terlibat dalam
penggunan bahasa ini disebut konteks dan koteks. Konteks mencakup segala hal
yang ada dilingkungan penggunaan bahasa. Selanjutnya, koteks merupakan teks
yang mendahului atau mengikuti sebuah teks.

Analisis wacana pada dasarnya ingin menganalisis dan menginterpretasi


pesan yang dimaksud pembicara atau penulis dengan cara merekonstruksi teks
sebagai produk ujaran/tulisan kepada sehingga diketahui segala konteks yang
mendukung wacana pada saat diujarkan/dituliskan.

Samsuri menguraikan beberapa aspek yang berkaitan dengan kajian wacana.


Aspek-aspek tersebut adalah (a) konteks wacana, (b) topik, tema dan judul wacana,
(c) kohesi dan koherensi wacana (d) referensi dan inferensi wacana. Sejalan
dengan aspek-aspek di atas maka analisis wacana dapat dilakukan dengan dua
pendekatan atau dianalisis melalui dua arah, yakni dari teks itu sendiri dengan
pendekatan mikrostruktural dan dari luar teks atau dari konteksnya dengan
pendekatan makrostruktural.

2.2  Syarat Kewacanaan Suatu Teks Wacana


Ada tujuh syarat kewacanaan suatu teks (Samsuri, 1986) yaitu: (a) kohesi (b)
koherensi (c) intensionalitas (d) akseptabilitas (e) informativitas (f) situasionalitas
dan (g) keinterwacanaan.

Kohesi yaitu cara bagaimana komponen yang satu berhubungan dengan


komponen yang lain. Komponen yang dimaksud disini bisa berupa kata dengan
kata, kalimat satu dengan kalimat lain berdasarkan sistem bahasa itu. Koherensi
yaitu cara bagaimana komponen-komponen wacana yang berupa konfigurasi
konsep dan hubungan, menjadi relevan dan saling mengikat.

Intensionalitas yaitu sikap penghasil wacana agar perangkat kejadian-


kejadian membentuk sarana teks yang bersifat kohesif maupun koheren dalam
melaksanakan keinginan penghasil, seperti mengatur pembagian pengetahuan atau
memperoleh sasaran yang dirinci dalam suatu rancangan. Akseptabilitas suatu
wacana menunjukkan seberapa besar keberterimaan wacana bagi penerima
wacana.

Informativitas yaitu seberapa besar suatu wacana berkadar informasi bagi


penerima wacana. Situasional yaitu faktor-faktor yang menyebabkan suatu wacana
relevan dengan situasi yang sedang berlangsung. Sedangkan keinterwacanaan yaitu
segala hal yang berhubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan penggunaan
wacana yang satu bergantung pada pengetahuan tentang satu wacana atau lebih
yang ditemui sebelumnya.

Kewacanaan suatu teks akan membantu peneliti untuk menginterpretasi


siapa, kapan, situasi semacam apa serta maksud wacana tersebut. Pemahaman
suatu teks dapat dilakukan dengan cara merekonstruksi teks wacana sebagai
produk kepada wacana sebagai proses. Dengan demikian suatu teks akan
dikembalikan pada bentuk semula baik lisan maupun tertulis.

2.3  Peranan Konteks Situasi Dalam Interpretasi Wacana

Analisis wacana menganalisis penggunaan bahasa dalam konteks situasi


pembicara atau penulis, sedangkan penelitian wacana lebih difokuskan pada
hubungan pembicara dengan ujaran dan terutama yang menjadi sebab
penggunaannya. Dalam kaitan dengan hal ini, yang perlu diperhatikan adalah
referensi (reference), pra-anggapan (prasupposition), implikatur (implicature),
inferensi (inference), konteks situasi (the contects of situation), ko-teks (co-text),
dan interpretasi lokal (local interpretation).  

Referensi dalam anggapan lama adalah hubungan antara kata dengan


bendanya. Misalnya kata kursi merujuk pada benda yang berfungsi sebagai tempat
duduk, berkaki empat, terbuat dari kayu, besi, bambu atau seterusnya. Praanggapan
adalah apa yang dianggap oleh pembicara menjadi dasar pemahaman bersama
(common ground) lawan bicara dalam percakapan (Brown, 1985: 29).

Implikatur digunakan dengan maksud apakah pembicara dapat


membayangkan, mengingatkan atau mengartikan secara berbeda yang dinyatakan
oleh pembicara secara literal. Contoh: “Saya jelek-jelek begini angkatan empat
lima, loh!” implikasinya bahwa pada 1945 merupakan masa perjuangan, maka dia
ikut berjuang. Jadi dia seorang pejuang. Dengan demikian dia berjasa terhadap
negara dan bangsa.
Inferensi yaitu alat untuk mengambil kesimpulan. Misalnya ujaran “Sumuk,
lho!” Inferensinya udaranya panas sehingga sumuk. Konteks situasi yaitu segala
situasi yang dapat melingkupi suatu ujaran dan dapat menentukan maksud. Ko-teks
adalah kalimat yang ada sebelum atau sesudah ujaran untuk membantu interpretasi
suatu ujaran. Lalu, interpretasi lokal adalah interpretasi berupa prinsip yang
diinginkan.

2.4  Topik dan Representasi Dalam Isi Wacana

Topik dalam suatu wacana tidak sama dengan topik dalam suatu kalimat.
Orang itu bagus sekali rumahnya. Frasa orang itu adalah topik (subyek) sedang
bagus sekali rumahnya adalah coment/keterangan. Dalam analisis wacana kalimat
diatas tidak akan disikapi demikian, karena topik yang dimaksud adalah topiknya
pembicara.

Percakapan orang tentang sesuatu bisa saja tentang topik yang sama:
A : Sudah lama tidak hujan, sekarang sudah mulai hujan.
B : Iya, rupanya sudah mulai musim hujan lagi ya?
A : Mungkin! Baru hujan sekali saja udaranya kelihatan bersih dan terasa segar.
  
       Percakapan antara A dan B tentang topik yang sama, yaitu hujan, B sebagai
lawan bicara memberi tanggapan yang sepadan dengan maksud yang dibicarakan
oleh si A.

Memang kadang-kadang topik yang dibicarakan masih berhubungan, tetapi


pembicara sering mengangkat permasalahan pembicara sendiri-sendiri. Hal
semacam ini disebut on a topic. Didalam analisis wacana, bila kita menghadapi
percakapan dua orang atau lebih yang harus diperhatikan adalah saat terjadinya
perubahan dari topik pembicaraan ditandai dengan paragraf sedang dalam
percakapan dinamakan paraton (perubahan pola informasi).

Dalam bahasa lisan yang terpenting adalah memperhatikan pemarkah-


pemarkah paraton tersebut. Biasanya berupa kata-kata, intonasi yang melemah dan
sebagainya. Misalnya ......O, iya, omong-omong suamimu itu..., saya kok lupa....

2.5  Kohesian dan Koherensi Dalam Wacana

Kohesi adalah hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana, baik dalam


strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky dalam Tarigan,
2009 : 93). James mengatakan bahwa suatu teks atau wacana benar-benar bersifat
kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa terhadap konteks.
Dengan kata lain, ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan juga dengan
konteks, akan menghasilkan teks yang tidak kohesif (James dalam Tarigan, 2009 :
93).

Kohesi dapat juga terdapat dalam satu kalimat/sepotong ujaran. Misalnya:


mangga dan apel buah kesukaan saya, tetapi sayang keduanya masih mahal
harganya. Pemarkah hubungannya yaitu kata keduanya kata ini mengacu pada kata
mangga dan apel (disebut anafora). Acuan kekohesifan dapat juga bukan ke depan,
tetapi kebelakang (disebut catafora). Sedangkan hubungan kekohesifan suatu
ujaran yang masih berada dalam suatu teks dinamakan endofora.

Pertalian mata rantai (proposisi) satu dengan yang lain dalam suatu wacana
ada beberapa jenis yaitu: dengan kata penghubung, dan tanpa kata penghubung.
Hasil pertaliannya juga bisa terjadi dalam beberapa bentuk yaitu kohesif sekaligus
koheren, kohesif tidak koheren, dan tidak kohesif tetapi koheren.

Jenis pertalian pertama yang hasilnya bisa kohesif sekaligus koheren dan
jenis pertalian kedua, kohesif tetapi tidak koheren dapat diambil contoh sebagai
berikut:
     a.       Ia duduk termenung karena (ia) sedih.
     b.      Saya terpaksa berangkat ke Malang juga, meskipun anak dan istri di rumah
kurang sehat.
     c.       Ia menengadah ke langit maka pesawat itu jatuh.
     d.      Pak Gunadi mengetik soal maka saya sakit.

Pertama, mata rantai “ia sedih” dihubungkan dengan “ia termenung” memakai
kata sambung karena. “ia sedih” merupakan sebab terjadinya suatu peristiwa “ia
duduk termenung”. Kedua, “ia terpaksa berangkat ke Malang juga” berhubungan
dengan mata rantai “anak dan istri di rumah kurang sehat” oleh kata sambung
meskipun. “anak dan istri di rumah kurang sehat” menjadi sebab terjadinya
peristiwa, dan peristiwa yang terjadi itu dalam keterbatasan yaitu terpaksa. Kalimat
tersebut disamping memiliki pertalian bentuk (kohesi) juga memiliki pertalian isi
(koherensi).

Contoh ketiga, “ia menengadah ke langit” sebagai mata rantai pertama


merupakan sebab terjadinya peristiwa “pesawat terbang jatuh” karena ada kata
sambung maka. Begitu juga kalimat keempat mata rantai “Pak Gunardi mengetik
soal” merupakan sebab terjadinya peristiwa pada mata rantai kedua yaitu “saya
jatuh sakit” karena ada kata sambung maka juga. Namun dari segi isi hubungan
mata rantai tidak logis sehingga meskipun pertaliannya sangat kohesif tetapi tidak
memiliki koherensi. 

Cara lain untuk memahami isi informasi dan melihat tingkat kekoherensian
suatu wacana yaitu: 1) prinsip analogi (the principles of analogy) 2) interpretasi
lokal (local interpretation) 3) ciri umum konteks (general features of context) 4)
keteraturan kerangka struktur wacana (reguralities of discourse structure out-
lined) dan 5) ciri-ciri tetap suatu organisasi struktur informasi (regular feature of
information structure organisation).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1) Wacana adalah satuan gramatikal tertinggi dan terbesar berupa pernyataan atau
rangkaian pernyataan baik lisan maupun tulisan, yang memiliki keutuhan makna,
pesan, atau amanat.

2) Ada tujuh syarat kewacanaan suatu teks yaitu: (a) kohesi (b) koherensi (c)
intensionalitas (d) akseptabilitas (e) informativitas (f) situasionalitas dan (g)
keinterwacanaan.

3) yang perlu diperhatikan dalam peranan konteks situasi dalam interpretasi wacana
adalah referensi (reference), pra-anggapan (prasupposition), implikatur
(implicature), inferensi (inference), konteks situasi (the contects of situation), ko-
teks (co-text), dan interpretasi lokal (local interpretation).  

4) Topik dalam suatu wacana tidak sama dengan topik dalam suatu kalimat. Didalam
analisis wacana, bila kita menghadapi percakapan dua orang atau lebih yang harus
diperhatikan adalah saat terjadinya perubahan dari topik pembicaraan ditandai
dengan paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan pola
informasi).

5) Kohesi adalah hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata
gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu. Cara lain untuk memahami isi
informasi dan melihat tingkat kekoherensian suatu wacana yaitu: 1) prinsip analogi
(the principles of analogy) 2) interpretasi lokal (local interpretation) 3) ciri umum
konteks (general features of context) 4) keteraturan kerangka struktur wacana
(reguralities of discourse structure out-lined) dan 5) ciri-ciri tetap suatu organisasi
struktur informasi (regular feature of information structure organisation).

3.2 Saran

1)      Bagi Pengajar


Para pengajar harus tahu dan mememahami analisis wacana. Supaya ketika
saat ada siswa yang bertanya ataupun kurang mengerti tentang menganalisis
wacana para pengajar bisa menjawab dengan tepat sesuai dengan pedoman yang
berlaku.

2)      Bagi Mahasiswa atau Calon Guru


Bagi calon pengajar atau mahasiswa sama halnya dengan para pengajar harus
mengetahui dan memahami analisis wacana. Yang mana dapat dilakukan dengan
belajar di kampus ataupun membaca beberapa literatur. Dikarenakan nantinya bisa
digunakan sebagai suatu pegangan atau pedoman yang mana digunakan sebagai
mendidik peserta didik.

3)      Bagi Peserta Didik


Bagi peserta didik harus mengetahui analisis wacana, agar saat pembelajaran
dilaksanakan maka peserta didik mudah untuk memahami. Dan mengetahui cara
menganalisis wacana dengan tepat.

Anda mungkin juga menyukai