Tarigan (1987: 27) mengungkapkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang
terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan
koherensi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang
nyata disampaikan secara lisan maupun tertulis. Menurut Crystal (dalam Nunan,
1993: 5), wacana adalah kesatuan bahasa yang lebih besar dari kalimat dan
membentuk unit yang koheren, misalnya ceramah, pendapat, lelucon, atau narasi.
Wacana merupakan unit bahasa yang terkait oleh satu kesatuan. Kesatuan dalam
wacana menurut Halliday (dalam Purwati, 2003: 16) bersifat semantis. Wacana
tidak selalu harus direalisasikan dalam bentuk rangkaian kalimat. Wacana adalah
satuan bahasa yang komunikatif, yaitu yang sedang menjalankan fungsinya. Ini
berarti wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan dengan dukungan situasi
komunikasinya, bersifat otonom, dan dapat berdiri sendiri. Dengan demikian,
pemahaman wacana haruslah memperhitungkan konteks situasinya, karena hal itu
akan memengaruhi makna wacana.
Menurut Darjowidjojo (dalam Hartono, 2000: 142), dalam komunikasi verbal, baik
yang monolog maupun yang dialog, salah satu syarat penting yang harus
diperhatikan adalah kesinambungan porposisi yang diajukan. Kodrat
kesinambungan dalam monolog berbeda dengan kodrat yang ada pada dialog
karena dalam monolog si pembicara atau penulis tidak perlu memperhatikan
tanggapan verbal yang dinyatakan oleh pembicara atau lawan bicaranya.
Kesinambungan ini kadang-kadang mempunyai manifestasi fonetis yang eksplisit,
tetapi kadang-kadang juga hanya terwujudkan dalam suatu implikatur yang
sifatnya circumstansial.
Menurut Longacre (dalam Hartono, 2000: 143) sebuah perpaduan menyangkut dua
lokus. Pertama, dalam struktur batin (nosional deep structure) haruslah terdapat
keserasian antara satu nosi di satu kalimat dan nosi di kalimat yang lain. Kedua,
perpaduan dan pertalian nosi-nosi harus mempunyai manifestasi fonetis pada
struktur lahir (surface structure).
Menurut Beaugrande (1981: 3), suatu wacana mempunyai ciri-ciri berupa
koherensi, kohesi, maksud pengirim, keberterimaan, memberikan informasi, situasi
pengujaran, dan intertekstualitas. Dalam bidang makna, setiap kalimat dalam
paragraf menyampaikan suatu informasi. Informasi pada kalimat satu berhubungan
dengan kalimat lain sehingga paragraf membentuk kesatuan informasi yang padu
(Ramlan, 1993: 41). Sedangkan bentuk pertalian antarinformasi yang dinyatakan
pada kalimat satu dengan informasi kalimat yang lainnya adalah penjumlahan,
perturutan, perlawanan atau pertentangan, lebih, sebab akibat, waktu, syarat, cara,
kegunaan, dan penjelasan.
Penutup
Kesimpulan
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian
kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat
transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat
dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa,
sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari
pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana
disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang
meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam
bentuk tulis maupun lisan. Sedangkan yang dimaksud dengan kohesi dn koherensi
adalah
Istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang
ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan
salah satu unsur pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks
koherensi lebih penting.Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam
wacana. Kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Cara lain
adalah menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan
hipotaksis (parataxis and hypotaxis). Hubungan parataksis itu dapat diciptakan
dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar (coordinative) dan
subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara beruntun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah wacana berasal dari kata Sansekerta yang bermakna ucapan atau
tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya hak
asasi manusia, demokrasi, dan lingkungan hidup. Oleh karena banyaknya kata
yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa
pengertian dari kata tersebut.
Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari
kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan. Pembahasan wacana
berkitan erat dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan
berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Wacana berkaitan
dengan unsur intralinguistik (internal bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang
berkaitan dengan proses komunikasi.
1.3 Tujuan
1) Menjelaskan pengertian dari wacana.
2) Menjelaskan syarat kewacanaan suatu teks wacana.
3) Menjelaskan peranan konteks situasi dalam interpretasi wacana.
4) Menjelaskan topik dan representasi dalam isi wacana.
5) Menjelaskan kekohesian dan koherensi dalam wacana.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wacana
Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna “ucapan atau
tuturan”. Wacana dipadankan dengan istilah discourse dalam bahasa Inggris dan le
discours dalam bahasa Prancis. Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani discursus
yang bermakna “berlari ke sana ke mari” (Sudaryat, 2009 : 110).
Wacana yaitu suatu konstruksi yang terdiri atas kalimat yang satu diikuti oleh
kalimat yang lain, yang merupakan suatu keutuhan konstruksi dan makna
(Samsuri, 1986 dalam Pranowo).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa wacana adalah
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar berupa pernyataan atau rangkaian
pernyataan baik lisan maupun tulisan, yang memiliki keutuhan makna, pesan, atau
amanat.
Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun
belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisisannya
hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa
memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana (Lubis, 1993 : 12). Di
Indonesia, ilmu tentang analisis wacana baru berkembang pada pertengahan 1980-
an, khususnya berkenaan dengan menggejalanya analisis di bidang antropologi,
sosiologi, dan ilmu politik.
Topik dalam suatu wacana tidak sama dengan topik dalam suatu kalimat.
Orang itu bagus sekali rumahnya. Frasa orang itu adalah topik (subyek) sedang
bagus sekali rumahnya adalah coment/keterangan. Dalam analisis wacana kalimat
diatas tidak akan disikapi demikian, karena topik yang dimaksud adalah topiknya
pembicara.
Percakapan orang tentang sesuatu bisa saja tentang topik yang sama:
A : Sudah lama tidak hujan, sekarang sudah mulai hujan.
B : Iya, rupanya sudah mulai musim hujan lagi ya?
A : Mungkin! Baru hujan sekali saja udaranya kelihatan bersih dan terasa segar.
Percakapan antara A dan B tentang topik yang sama, yaitu hujan, B sebagai
lawan bicara memberi tanggapan yang sepadan dengan maksud yang dibicarakan
oleh si A.
Pertalian mata rantai (proposisi) satu dengan yang lain dalam suatu wacana
ada beberapa jenis yaitu: dengan kata penghubung, dan tanpa kata penghubung.
Hasil pertaliannya juga bisa terjadi dalam beberapa bentuk yaitu kohesif sekaligus
koheren, kohesif tidak koheren, dan tidak kohesif tetapi koheren.
Jenis pertalian pertama yang hasilnya bisa kohesif sekaligus koheren dan
jenis pertalian kedua, kohesif tetapi tidak koheren dapat diambil contoh sebagai
berikut:
a. Ia duduk termenung karena (ia) sedih.
b. Saya terpaksa berangkat ke Malang juga, meskipun anak dan istri di rumah
kurang sehat.
c. Ia menengadah ke langit maka pesawat itu jatuh.
d. Pak Gunadi mengetik soal maka saya sakit.
Pertama, mata rantai “ia sedih” dihubungkan dengan “ia termenung” memakai
kata sambung karena. “ia sedih” merupakan sebab terjadinya suatu peristiwa “ia
duduk termenung”. Kedua, “ia terpaksa berangkat ke Malang juga” berhubungan
dengan mata rantai “anak dan istri di rumah kurang sehat” oleh kata sambung
meskipun. “anak dan istri di rumah kurang sehat” menjadi sebab terjadinya
peristiwa, dan peristiwa yang terjadi itu dalam keterbatasan yaitu terpaksa. Kalimat
tersebut disamping memiliki pertalian bentuk (kohesi) juga memiliki pertalian isi
(koherensi).
Cara lain untuk memahami isi informasi dan melihat tingkat kekoherensian
suatu wacana yaitu: 1) prinsip analogi (the principles of analogy) 2) interpretasi
lokal (local interpretation) 3) ciri umum konteks (general features of context) 4)
keteraturan kerangka struktur wacana (reguralities of discourse structure out-
lined) dan 5) ciri-ciri tetap suatu organisasi struktur informasi (regular feature of
information structure organisation).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Wacana adalah satuan gramatikal tertinggi dan terbesar berupa pernyataan atau
rangkaian pernyataan baik lisan maupun tulisan, yang memiliki keutuhan makna,
pesan, atau amanat.
2) Ada tujuh syarat kewacanaan suatu teks yaitu: (a) kohesi (b) koherensi (c)
intensionalitas (d) akseptabilitas (e) informativitas (f) situasionalitas dan (g)
keinterwacanaan.
3) yang perlu diperhatikan dalam peranan konteks situasi dalam interpretasi wacana
adalah referensi (reference), pra-anggapan (prasupposition), implikatur
(implicature), inferensi (inference), konteks situasi (the contects of situation), ko-
teks (co-text), dan interpretasi lokal (local interpretation).
4) Topik dalam suatu wacana tidak sama dengan topik dalam suatu kalimat. Didalam
analisis wacana, bila kita menghadapi percakapan dua orang atau lebih yang harus
diperhatikan adalah saat terjadinya perubahan dari topik pembicaraan ditandai
dengan paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan pola
informasi).
5) Kohesi adalah hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata
gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu. Cara lain untuk memahami isi
informasi dan melihat tingkat kekoherensian suatu wacana yaitu: 1) prinsip analogi
(the principles of analogy) 2) interpretasi lokal (local interpretation) 3) ciri umum
konteks (general features of context) 4) keteraturan kerangka struktur wacana
(reguralities of discourse structure out-lined) dan 5) ciri-ciri tetap suatu organisasi
struktur informasi (regular feature of information structure organisation).
3.2 Saran