Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS WACANA

Proses Penafsiran Makna dengan pendekatan pragmatic

(Implikatur, Praanggapan, Referensi, Inferensi)

A. Pengantar
Proses penafsiran makna berkaitan dengan analisis wacana, yaitu 1) Implikatur; 2)
Praanggapan; 3) referensi; dan 4) inferensi.

1) Implikatur
Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh
yang tersurat (eksplikatur). Menggunakan implikatur dalam percakapan, berarti
menyatakan sesuatu secara tidak langsung (Yuniseffrendi, 2007: 58). Menurut Grace dalam
buku Yunisffrendi, menjelaskan bahwa implikatur mencangkup beberapa pengembang
teori hubungan antara ekspresi, makna, makna penutur, dan implikasi suatu tuturan.
Grice (dalam Soesono, 1993:30) mengemukakan bahwa implikatur ialah ujaran yang
menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang
berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit.
Dengan kata lain, implikaturadalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang
tersembunyi.

Contoh (Yuniseffrendi, 2007: 59): Suami “Malam ini dingin sekali”

Ujaran suami tersebut dapat ditafsirkan bermacam-macam, antara lain:

1. Permintaan kepada istrinya untuk mengambil baju hangat, jaket, atau selimut, atau
minuman hangat untuk menghangatkan tubuhnya.
2. Permintaan pada istrinya untuk menutup jendela agar angin tidak masuk ke dalam kamar
sehingga udara kamar terasa hangat.
3. Pemberitahuan kepada istrinya secara tidak langsung, bahwa kesehatan dirinya
terganggu.
4. Permintaan kepada istrinya agar ia dihangati dengan tubuhnya.

Keempat penafsiran diatas disebut makna implikatur, sedang makna implikaturnya adalah
“informasi bahwa keadaan (malam mini) sangat dingin”.

Grice dalam Mulyana (2005: 12) menyatakan bahwa ada 2 macam implikatur, yaitu
(1) conventional implicature (implikatur konvensional), dan (2) conversation implicature
(implikatur percakapan).
a. Implikatur Konversional: implikatur yang diperoleh dari makna kata, bukan dari
pelanggaran prinsip percakapan. Contoh: “Liang Gie keturunan Cina, karena itu dia pintar
berdagang”. Implikasi tuturan tersebut adalah bahwa kepintaran berdagang Liaang Gie
merupakan kosekuensi karena dia keturunan Cina. Apabila Liang Gie bukan keturunan
Cina, maka tuturan tersebut tidak berimplikasi bahwa kepintaran berdagang Liang Gie
karena ia keturunan Cina.
Implikatur konvensional bersifat nontemporer artinya makna atau pengertian
tentang sesuatu beresifat lebih tahan lama. Suatu leksem yang terdapat dalam suatu
bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya “yang tahan lama” dan
sudah diketahui secara umum. Namun, jernis implikatur ini nampaknya tidak banyak
dikaji dan dikembangkan oleh para peneliti wacana, karena dianggap kurang menarik
(lihat Levinson, 1991:128; Brown dan Yule, 1984:31; Samsuri, 1987:3).

b. Implikatur nonkonversional: Implikatur yang diperoleh oleh fungsi pragmatis yang tersirat
dalam suatu percakapan. Contoh: “dia sekarang sudah mapan”, Implikatur
nonkontroversionalnya adalah sebelumnya hidupnya tidak menentu, baik penghasilan,
perumahan, pekerjaan dan sejenisnya.
Menurut levinson dalam mulyana (2005: 13) implikatur percakapan memiliki
makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pasalnya pemahaman terhadap hal “yang
dimaksudkan” sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Implikatur
percakapan hanya muncul dalam suatu tindak percakapan (speech act). Oleh karenanya,
implikatur tersebut bersifat temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan),
dan nonkonvensional (sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung
dengan tuturan yang diucapkan

2) Praanggapan/presuposisi
Istilah presuposisi addalah turunan dari bahasa Inggris presupposition, yang
berarti ‘perkiraan, persangkaan ‘ (PWJ Nababan, 1987: 47). Konsep ini muncul bermula
dari perdebatan panjang tentang ‘hakikat rujukan’ (yaitu apa-apa, sesuatu, benda,
keadaan, dan sebagainya) yang ditunjuk oleh kata, frasa , kalimat, atau ungkapan
lainnya. Gottlob Frege (dalam PWJ Nababan, 1987:48) mengemukakan bahwa semua
pernyataan memiliki praanggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujuykan inilah
yang menyebabkan suatu ungkapan wacana dapat diterima atau dimengerti oleh
pasangan bicara, yang pada gilirannya komunikasi tersebut akan dapat berlangsung
dengan lancar. (Mulyana 2005: 14)
“Rujukan“ itulah yang dimaksud sebagai “praanggapan“, yaitu anggapan dasar
atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk
bahasa menjadi bermakna bagi pendengar atau pembaca. Praanggapan membantu
pembicara menemukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat) untuk mengungkapkan makna
atau pesan yang ingin dimaksudkan. Jadi, semua pernyataan atau ungkapan kalimat,
baik yang bersifat positif maupun negatif, tetap mengandung anggapan dasar sebagai isi
dan substansi dari kalimat tersebut
Teori praanggapan pragmatik biasanya menggunakan dua konsep dasar, yaitu
kewajaran dan pengetahuan bersama. Menurut stalnaker (Yuniseffrendi, 2007: 61)
Praanggapan adalah sesuatu yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para
peserta percakapan. Yang dimaksud dasar bersama adalah “praanggapan yang
seharusnya dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur”. Penutur dan mitra tutur
memerlukan kesamaan pemahaman tentang sesuatu hal yang menjadi pangkal tolak
komunikasi. Contoh:

“Kuliah Analisis Wacana diberikan di Semester II”

Praanggapannya adalah:

 Ada kuliah Analisis Wacana


 Ada semester II

Jika kalimat dinegasikan:

“Kuliah analisis wacana tidak diberikan di semester II

Praanggapannya tetap:

 Ada kuliah Anlsisi Wacana


 Ada semester II

3) Referensi
a. Pengertian Referensi
Secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda (orang,
tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku
pembicara/penulis. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah pihak
pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal yang
diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya. Pendengar atau pembaca hanya
dapat menerka hal yang dimaksud (direferensikan) oleh pembicara dalam ujarannya
itu. Terkaan itu bersifat relatif, bisa benar, bisa pula salah.
Dengan kata lain, tugas pendengar atau pembaca dalam memahami ujaran
adalah mengidentifikasikan sesuatu atau seseorang yang ditunjuk atau dimaksud
dalam ujaran tersebut. Kemampuan mengidentifikasi atau menerka rujukan itu
seringkali berbeda dengan yang dimaksud pembicara. Perbedaan terkaan itu
disebabkan oleh perbedaan representasi atau pemahaman dunia antara pembicara
dan pendengar (kartomihardjo, 1993: 35). Karena itu, dalam memahami atau
menganalisis wacana referensial, diperlukan pengetahuan dan pengalaman tentang
dunia (knowlage of world), setidaknya, pengetahuan tentang ‘dunia’ atau isi yang
terdapat dalam wacana tersebut.
Menurut Halliday dan Hasan (Yuniseffrendi, 2007: 63) referensi atau pengacauan
adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang
mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului atau yang mengikutinya. Istilah
refensi dalam analisis wacana adalah ungkapan kebahasaan yang dipakai seorang
pembicara untuk mengacu pada suatu hal yang dibicarakan, baik dalam konteks
linguistic maupun dalam konteks nonlinguistik. Dalam komunikasi, referensi
diciptakan oleh pengirim pesan (penutur). Mitra tutur harus menafsirkan referensi
seperti apa yang dipikirkan oleh pengirim pesan.

Contoh: Bulan depan penyanyi kondang yang tak henti melancarkan kritik sosial,
Iwan Fals, akan manggung di Stadion Sriwedari Solo bersama penyanyi kondang
Sawong Jabo dan dan Kyai Zainul M.Z. Pokoknya, tanggal 21 April itu masyarakat solo
khususnya kaula mudanya menunggu hari tersebut.

Ungkapan 21 April dan hari tersebut pada contoh di atas merujuk pada bulan
depan, sedangkan penyanyi kondang yang tak berhenti melancarkan kritik sosial
merujuk pada Iwan Fals.

b. Macam-macam Referensi

Menurut Halliday dan Hasan (Yuniseffrendi, 2007: 564) referensi dibagi menjadi dua
macam, yaitu referensi exophora (eksofora) yaitu bila acuan (satuan lingual yang diacu)
terletak diluar teks wacana yaitu pada konteks situasi. Dan referensi Endofora (terdiri atas
anafora dan katafora) yakni apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) terletak di teks
wacana sendiri. Referensi anaphora yaitu apabila satuan lingual (pemarkah/penanda) yang
diacu mengacu balik pada bagian yang telah disebutkan, sedangkan katafora adalah bila
satuan lingual yang diacu mengacu kebagian yang akan disebutkan.

a) Contoh eksofora (hal 64):

Lihat Itu Mengacu pada matahari, tetapi kata matahari tidak muncul dalam teks.

b) Contoh Endofora

Lihat Matahari itu? referensi Matahari ada didalam teks.


c) Contoh Anafora

Mark membeli buku. Dia membacanya tadi.

Kata Dia mengacu pada bagian yang telah disebutkan yaitu Mark.

d) Contoh Katafora

Ada enam macam rubrik dalam Koran ini, yaitu rubik berita terkini, berita internasional,
berita daerah, sastra dan iklan.

Kata ini dan yaitu mengacu ke hal atau informasi yang akan disampaikan.

c. Tipe Referensi

Menurut Halliday dan Hasan (Yuniseffrendi, 2007: 65) referensi dibagi menjadi tiga
tipe, yaitu (1) persona (kata ganti orang), (2) demonstratif (kata penunjuk), (3) komparatif
(satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsure satu dengan unsure yang
lainnya).

(1) Referensi Persona

Refensi mencangkup tiga kelas kata ganti , yaitu kata ganti diri orang I, kata ganti orang
II, kata ganti orang ke III termasuk singularis dan pluralisnya.

Tunggal: aku,saya,hamba, gua, ana,terikat leka kiriku/kananku

Jamak: Kami, kami semua, kita

PERSONA Tunggal:Kamu,anda,anta,terikat lekat kiri:kau,terikat kanan:mu

Jamak: Kamu semua, kalian, dan kalian semua

Tunggal: ia, dia beliau, terikat lekat kiri-di, lekat kanan-nya

Jamak: mereka, mereka semua

Contoh: Jackson berkata “saya mencintai Eno”

Bambam, kemarilah, Kamu harus mengerjakan PR (pekerjaan rumah)

Saudara-saudara, kita berangkat pukul 08:00.

Pada contoh (1), (2), dan (3) diatas, kita lihat bahwa saya pada kalimat
(1), kamu pada kalimat (2) dan kita pada kalimat (3) adalah kata ganti diri yang pada
kalimat-kalimat tersebut menjadi personal reference, menunjuk kepada jackson pada
kalimat (1), Bambam pada kalimat (2), dan Saudara-saudara pada kalimat (3).

Semua referensi ini bersifat anafora.

Contoh-contoh katafora itu adalah sebagai berikut:

1. Kamu semua harus berangkat sekarang. Si A, si B, si C.


2. Kami sedang giat-giatnya belajar. Adik, kakak, dan saya.
3. Bawa mereka ke dalam. Tamu-tamu itu.

Pada kalimat 1 yang ditunjuk oleh kamu itu adalah si A, si B, dan si C. Pada kalimat 2
yang ditunjuk oleh kata kami adalah adik, kakak, dan saya. Sedangkan mereka pada
kalimat 3 menunjuk kepada tamu-tamu, oleh sebab itu hubungan itu disebut
hubungan katafora.

(2) Referensi Demonstratif

Referensi demonstratif (penunjukan) terdiri atas waktu dan tempat.

Kini: kini, sekarang, saat ini

waktu lampau: Kemarin, dulu, yang lalu

y.a.d: besok, depan, yang akan datang

netral:pagi, siang, sore, pulul 12:00


Demonstratif
dekat dengan penutur: sini, ini

agak dekat dengan penutur: situ, itu


tempat
jauh dengan penutur: sana

menunjuk secara eksplisit: solo, jogja

Contoh: 1. sekarang saya dimalang

2. kemarin saya pulang dari Purwerkerto

3. Besok kita ke Joglo Dau

4. Pagi ini kita mengikuti kuliah Analisis Wacana.

Seperti contoh diatas, kata ganti ini dapat digunakan sebagai anafora dan
katafora referensi.
Sekarang, kemarin dan besok pada kalimat (1), (2), dan (3) adalah sebagai
referensi katafora sedangkan ini pada kalimat (4) adalah sebagai referensi anafora.
Sekarang pada kalimat (1) adalah referensi dari di malang, kemarin pada kalimat (2)
referensi dari pulang, besok pada kalimat (3) referensi dari joglo dau dan ini pada
klimat (4) referensi dari pagi.

Seperti pada referensi personal maka referensi demonstratif ini pun selalu
benar kita jumpai dalam bahasa indonesia.

(3) Referensi Kompratif

Referensi komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis pengacuan yang bersifat
membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi
bentuk/wujud, sifat, sikap, watak, perilaku dsb. Kata-kata yang dapat digunakan untuk
membandingkan, misalnya: seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda
dengan, persis seperti, dan persis sama dengan dll.

Contoh: a. Tidak berbeda dengan ibunya, Rose itu cantik, ramah, dan lemah lembut.

Tidak berbeda dengan dalah referensi dari cantik, ramah, dan lemah lembut.
Kalimat ini merupakan katafora.

d. Pergeseran acuan/referensi

Ada dua macam pergeseran acuan, yaitu (a) ungkapan sama tapi acuannya berbeda,
dan (b) ungkapan berbeda tapi acuan sama.

Contoh pertama:

(a) Pukul 2:00 Yugyeom baru pulang.(b) Dengan berjingkat-jingkat dia memasuki kamarnya.
(c)tentu saja dia berharap ibunya tidak terbangun. (d) namun memang dasar sial Bu Lisa
terbangun juga. (e) dia bangkit dari ranjangnya dan dengan mata yang masih setengah
tertutup menyalakan lampu.

Dari (a) sampai (c) dia dan –nya mengacu ke Yugyeom. Pada kalimat (d) muncul acuan
lain yaitu Bu Lisa. Ini terjadi karena ada penyisipan konsep baru pada wacana tersebut.

Contoh kedua:

(b) Dhian duduk termenung diserambi muka, wajahnya sayu dan matanya tergenang oleh air
mata kepedihan. Kata terakhir dari mas Jimin telah menyobek-nyobek kepingan hatinya
yang makin hari makin menipis.
Pada wacana diatas, di temukan dua orang pelaku perbuatan “Dhian yang duduk
termenung, dan Jimin yang telah menyobek-nyobek hati Dhian” . walaupun demikian,
acuan dari-nya pada wajahnya, matanya, dan hatinya adalah Wati meskipun –nya yang
terakhir diletakkan setelah Jimin. Penafsiran yang terakhir disebabkan oleh kenyataan
bahwa Jimin adalah pelaku yang menyobek-nyobek hati orang, dan orang dalam wacana
itu adalah Dhian.

4) Inferensi
Inferensi atau inference secara leksikal berarti kesimpulan (Echols dan Hassand,
1987: 320). Dalam bidang wacana, istilah itu berarti sebagi proses yang harus dilakukan
pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana
yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis (Anton M. Moeliono, ed.,1988: 358).
Pembaca harus dapat mengambil pengertian, pemahaman, atau penafsiran suatu
makna tertentu. Dengan kata lain pembaca harus mampu mengambil kesimpulan
sendiri, meskipun makna itu tidak terungkap secara eksplisit.
Dalam wacana lisan yang bersifat dialogis (percakapan), makna-makna ujaran
tidak hanya ditentukan oleh aspek-aspek formal bahasa (kalimat), melainkan juga oleh
konteks situasional. Gumperz (dalam Hamid Hasan Lubis, 1993:68) mengemukakan
masalah tersbeut, sebagaimana dikutip berikut ini.
“conversation inference, as i use the term is the situated or context bound prices
interpretation, by means of which participants in an exchange asses other’s
intention, and on which they base responses”
Bagi Gumperz, inferensi percakapan adalah proses interpretasi yang ditentukan
oleh situasi dan konteks. Dengan cara itu, pendengar menduga maksud fari pembicara.
Dan dengan itu pula pendengar dapat memberikan responnya. Di samping aspek
konteks situasional, aspek sosio-kultural juga menjadi faktor penting dalam memahami
wacana inferen.
Inferensi berarti proses atau upaya yang harus dilakukan oleh penerima (mitra
tutur) dalam membuat simpulan berasarkan ungkapan, situasi, konteks, sikap penutur
yang disampaikan secara tidak langsung dengan menggunakan waktu yang lebih lama
untuk menyimpulkan gagasan penutur.
1. Proses penentuan Inferensi:

Ada empat macam proses penentuan Inferensi, diantaranya adalah:

a. Penentuan kesimpulan-kesimpulan yang akan dibuat.


Kesimpulan yang akan dibuat adalah penyimpulan yang harus ditempuh oleh
mitra tutur untuk menyimpulkan arti harfiah tentang apa yang dibuat oleh penutur
sehingga sampai pada apa yang dimaksudkan. Misalnya, pandangan umum tentang
tafsiran ujaran seperti yang dipakai untuk menyampaikan permintaan secara tidak
langsung. Pendengar harus bekerja keras menyimpulkan dari arti harfiah sampai ke arti
yang dimaksudkan penutur melalui roses penyimppulan yang dibuat.
Contoh :
“Tanggal tua seperti ini repot sekali, Pak. Gaji bulan lalu sudah habis, beasiswa belum
turun, istri tidak bekerja, anak yang pertama akan KKN, anak kedua tahun ini harus
masuk kuliah. Yang bungsu besok Study Tour ke Bali, Pak. Badan saya menjadi panas
dingin seperti ini. saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat.”

Contoh wacana di atas jelas tidak ada pertanyaan bahwa orang itu mau
meminjam uang. Namun, sebagai mitra tutur kita dapat mengambil inferensi apa yang
dimaksudkan. Hal ini merupaka bukti bahwa ada sesuatu yang tidak disampaikan secara
langsung kepada pembaca atau mitra penutur.

b. Kesimpulan sebagai mata rantai yang hilang.


Seperti yang telah dikatakan Prince (Yuniseffrendi, 2007: 72) bahwa memang ada
banyak contoh dalam bacaan-bacaan mengenai deskripsi yang mungkin dapat
dibicarakan berdasarkan fenomenamata rantai yang hilang. Pembaca berusaha
menemukan mata rantai yang hilang itu sebagai salah satu upaya penyimpulannya.

Contoh:
1. Majid bermain ketapel
2. Kaca jendela Jullya pecah
3. Jullya marah kepada Majid

Jika ketiga kalimat pada contoh ditata secara berurutan, maka akan terasa ada proposisi
(informasi) yang hilang. Mengapa Jullya memarahi Majid? Tentunya, kita dapat
membuat proposisi jawaban pertanyaan ini. kita menduga, karena ketapel yang
dimainkan Majid mengenai kaca jendela Jullya. Proses menncari proposisi yang hilang
termasuk penyimpulan inferensi dengan menggunakan mata rantai yang hilang.

c. Kesimpulan sebagai hubungan nonotomatis.


Sanford dan Garrod (Yuniseffrendi, 2007: 73) menyatakan bahwa hubungan otomatis
yang dibuat antara unsur-unsur dalam teks melali pengetahuan yang sudah ada. Hal itu
dapat dijadikan dasar untuk menentukan mata rantai mana yang mungkin menjadi
kesimpulan dan mana yang tidak mungkin menjadi kesim pulan. Jadi semua pertanyaan
atau ujaran merupakan hubungan-hubungan otomatis, sedangkan ‘hubungan antara’
adalah hubungan nonotomatis yang seharusnya dianggap sebagai kesimpulan.
Contoh:
Majid sedang asyik bermain komputer. Ketika dia berkonsentrasi pada tampilan gambar
di layar komputer, Izur menyelusup ke kolong meja komputer Majid dan mengikat
kedua tali sepatunya. Ketika Majid bangkit dari tempat duduk, dan melangkahkan
kakinya, Majid tersandung dan jatuh.

d. Kesimpulan sebagai pengisi celah atau tempat yang lowong dalam tafsiran.
Werren, dkk. Dalam buku (Yuniseffrendi, 2007: 73)menyatakan bahwa dalam
memahami teks, kita perlu terus menerus mengetahui jawaban seperangkat pertanyaan
who, what, where, dan when. Dengan pemunculan pertanyaan ini, kita akan berhasil
mengetahui inferensi-inferensi.
Brown dan Yule (Yuniseffrendi, 2007: 73) menyatakan bahwa jika untuk
menjawab beberapa pertanyaan itu ternyata melibatkan ‘kerja’ tambahan pada pihak
pembaca, seperti mengisi celah-celah atau tempat-tempat yang lowong dalam
tafsirannya maka mungkin kita temukan dasar untuk meramalkan kesimpulan-
kesimpulan macam apa yang akan diperlukan. Jika kita coba lebih dahulu menjawab
pertanyaan-pertanyaan who, what, where, dan when yang diajukan oleh Warren dkk.
Kita akan sampai pada realisasi sebagian dari apa yang kita pahami tentang orang-orang
dan peristiwa-peristiwa yang dideskripsikan dalam teks.
Contoh:
(Seorang suami mengatakan kepada istrinya yang sedang berada di sampingnya)
Suami : Ah, dingin sekali!
Istri : Bapak mau jaket?
Suami : Tidak
Istri : Bapak mau minum kopi?
Suami : Tidak
Istri : Ke dokter?
Suami : Tidak. Badanku sehat.

B. Simpulan

Dalam menganalisis wacana untuk menafsirkan maksud atau isi wacana dapat melalui
proses Implikatur, praanggapan, referensi dan inferensi. Implikatur mencoba menyampaikan
maksud secara tidak langsung atas dasar tersurat (eksplikatur. Praanggapan disajikan sebagai
dasar bersama antara penutur dengan mitra tutur untuk menciptakan komunikasi yang
lancar. Komunikasi memberikan acuan yang jelas dan resepresentatif, baik referensi pelaku,
benda sasaran, atau sisipan konsep yang di ungkapkan. Dalam pengambilan kesimpulan
secara keseluruhan diperlukan inferensi untuk memperoleh pemahaman secara utuh.
Daftar Pustaka

Ghufron, Syamsul. 2010. Analisis Wacana Sebuah Pengantar .Surabaya: UD Indra Sari Surabaya
Lubis, hamid Hasan. 1994. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung. Angkasa.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana (teori, metode & aplikasi prinsip-prinsip analisis wacana).
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Anda mungkin juga menyukai