Anda di halaman 1dari 7

FEMINISME DALAM CERITA DEWI RENGGANIS

DOSEN PEMBIMBING

Prof. Dr. Haris Supratno

Disusun oleh :

1. Nina Nur A.A (19020074025)


2. Dewi Setyowati (19020074027)
3. Erlinda Marta P (19020074028)
4. Rani Nilasari (19020074033)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

TAHUN AJARAN 2019/2020


A. Pendahuluan

Salah satu karya sastra dalam bentuk mitos yang terkenal adalah cerita mitos “Dewi
Rengganis” , mitos yang berasal dari daerah Lombok ini bercerita tentang seorang perempuan
nan cantik, sederhana, berbudi luhur, dan berperaaan halus, anak dari seorang Raja yakni
Datu Pandita yang hidup di Gunung Mas. Sosok Rengganis di dalam karya sastra ini
memiliki bau harum semerbak yang wangi akibat memakan sari bunga, karena kecantikan
dan wangi harum bak parfum bunga, Rengganis banyak disukai oleh para lelaki, salah
satunya yang akhirnya tersihir oleh kecantikannya adalah Raden Repatmaja yakni anak
seorang Raja Jayengrana.

Kecantikan yang dihasilkan dari paras wajah Rengganis ini menyebabkan konflik
yang tak berkesudahan, mulai dari hilangnya Raden Repatmaja, pernikahan yang terjadi
karena inginnya menjadi pengantin baru, sampai terjadi peperangan antar kerajaan. Dalam
karya sastra ini juga disuguhkan beberapa sifat-sifat feminis yang ditunjukkan oleh sosok
Rengganis ini. Feminis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah mengenai,
menyerupai wanita, bersifat kewanitaan. Apalagi di era industri ini masih ada pertentangan
atau masalah tentang emansipasi wanita ( Purwadarminto, 2017: 555).

Maka dari itu dalam makalah ini akan dikaji tentang sifat-sifat feminis dalam sosok
Rengganis, yang diharapkan bisa menambah wawasan serta pengetahuan sifat-sifat feminis
dalam karya sastra sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai contoh
atau panutan yang baik, apalagi untuk setiap perempuan. Cerita mitos ini sangatlah menarik
bagi pembaca, selain sifat feminis yang dimiliki sang tokoh, cerita ini juga menganut nilai-
nilai moral serta nilai-nilai estetika yang dapat diambil untuk penerapan dalam kehidupan
nyata.
B. Kajian Teori

Menurut Humin (2001: 222) feminisme merupakan sebuah ideologi pembebasan


perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa
perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin.

Sejalan dengan pendapat di atas, Fakih (2019: 333) berpendapat bahwa feminisme ialah
gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya
adalah ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi
tersebut.

Feminisme memiliki arti sekumpulan gagasan yang selalu berubah-ubah, gagasan ini
merupakan tanggapan yang digerakkan oleh ketidakadilan dalam diri perempuan yang
tersinggung karena memprioritaskan hak-hak tertentu untuk kaum laki-laki (Slamet, 2019:
444).

Di sisi lain Hannam (2007: 22) juga mengemukakan gagasannya feminism merupakan
pengakuan tentang ketidakseimbangan kekuatan antar dua jenis kelamin, dengan peranan
wanita berada dibawah pria.

Marry Wallstonecraffdalam bukunya The Right of Woman pada tahun 1972 mengartikan
feminisme adalah suatu gerakan emansipasi wanita, gerakan dengan lantang menyuarakan
tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan
wanita.

Daripada itu menurut Geofe (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005:61) feminism dapat
diartikan kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan,
jika perempuan memiliki hak yang sederajat dengan laki-laki, berarti perempuan bebas
menentukan dirinya sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki selama ini.

Irhomi juga berpendapat (dalam Sugihastuti dan Suharto, 20065:61) pengertian


feminisme adalah gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan
menentukan dirinya sendiri.

Jadi dapat disimpulkan bahwasannya feminisme (feminis untuk orangnya) yakni sebuah
gagasan atau ideologi dalam diri perempuan yang dilandasi oleh ketidakadilan jenis kelamin,
ditindas, dan dieksploitasi karena memprioritaskan hak-hak tertentu untuk kaum lawan
jenisnya (laki-laki), untuk menentukan dirinya sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh laki-
laki.

C. Pembahasan
Dalam sub bab ini akan dibicarakan masalah feminisme yang ada dalam cerita Dewi
Rengganis, yang mencakup (1) sifat/watak, (2) perilaku, dan (3) sikap. Ketiga aspek
tersebut dijelaskan satu per satu sebagai berikut:
1. Sifat/Watak
Feminisme dalam cerita Rengganis ini ditunjukkan pada karakter Rengganis yang
sifatnya sederhana, berbudi luhur, dan berperasaan halus. Selain itu Dewi Rengganis
sebagai seorang putri raja Datu Pandita yang hidup di Gunung Mas berparas cantik dan
sakti. Sebagai pertapa yang hidup di gunung, ia setiap harinya hanya makan dari sari
bunga, tidak pernah makan nasi sehingga baunya sangat harum bagaikan minyak wangi.
Gambaran tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut:

Amaq Amet : " Mengapa kamu harum sekali seperti minyak wangi?"
Dewi Rengganis : " Saya tidak memakai apa-apa!"
Amaq Amet : " Mengapa kamu harum sekali?"
Dewi Rengganis : " Selama hidup saya tidak pernah makan, selain sari bunga"
(Supratno, 2010: 839-840).
Berdasarkan data tersebut Dewi Rengganis mempunyai watak yang baik, halus
budinya, tutur bahasanya baik, dan baunya harum bagaikan minyak wangi.
2. Perilaku
Dewi Rengganis, di samping parasnya yang cantik, ia juga suka menolong orang lain.
Ia juga suka mengutamakan orang lain di atas kepentingan pribadinya. Hal tersebut
terbukti pada saat Dewi Rengganis berkunjung kesahabatnya yang bernama Dewi
Kadarmanik, putra Prabu Nursirwan. Dewi Rengganis mengetahui sahabatnya Dewi
Kadarmanik yang sedang sedih karena akan dikawinkankan dengan Raden Irman. Akan
tetapi Dewi Kadarmanik tidak mau dikawinkan dengan Raden Irman. Hal tersebut
tampak pada data sebagai berikut:

Dewi Rengganis : " ...Kalau kamu sudah kumpul tadi , sekarang kamu suami
istri dengan Repatmaja, saya sanggup jadi madumu!"
Dewi Kadarmanik : " Kakak bohong, kalau begitu rasanya orang jadi pengantin
baru, saya mau jadi istrinya Repatmaja, saya sanggup bermadu dengan Paduka!"
(Supratno, 2010: 844-855).
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa perilaku Dewi Rengganis suka
menolong orang lain dan mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan
pribadinya. Hal tersebut tampak pada saat Dewi Rengganis menolong Dewi Kadarmanik
yang sedang sedih karena akan dikawinkan dengan Raden Irman.
3. Sikap
Sebagai seorang perempuan Dewi Rengganis tetap menjaga kesuciannya. Meskipun
Dewi Rengganis berpacaran dengan Raden Repatmadja, tetapi ia belim pernah
tersentuh sedikit pun. Ia tetap mencintai Raden Repatmadja, namun tetap tidak mau
disentuh dengan Repatmadja karena bukan mukhrimnya. Dewi Rengganis mau
disentuh Raden Repatmaja, jika sudah mempunyai madu atau maru empat puluh empat.
Madu empat puluh empat merupakan simbolik dari sifat Tuhan, yaitu sifat wajib dua
puluh, sifat mustahil dua puluh, dan sifat wajib Nabi Muhammad empat yaitu, sidiq,
tabligh, amanah, dan fatonah. Raden Repatmaja seagai manusia tidak mungkin bisa
memiliki sifat wajib dan mustahil Allah dan sifat wajib rasul. Oleh sebab itu, samapai
akhir cerita Dewi engganis tetap belum tersentuh oleh Raden Repatmaja sehingga ia
tetap suci. Hal tesebu tampak pada data sebagai berikut:

Amaq Keseq : " Kapan dia kawin dengan Rengganis?"


Raden Repatmaja : " Bukan Rengganis saja panakawan, Kadarmanik,
Sulasikin, aku masih mencari lagi empat puluh satu orang!"
Amaq keseq : " Jadi, mau cari lagi empat puluh satu orang, supaya
cukup empat puluh empat orang!"
Raden Repatmaja : " Bener!"
Amaq keseq : " Apa sebab?"
Raden Repatmaja : " Begitulah syaratnya aku boleh sentuh jiwa raga
dengan Rengganis!" (Supratno, 2010: 873).
Berdasarkan data di atas dapat diketahui sikap Dewi Rengganis yang selalu menjaga
kesuciannya dan tidak mau disentuh oleh Raden Repatmaja sebelum mempunyai madu
atau maru empat puluh empat. Sehingga sampai akhir cerita Dewi Rengganis dapat
menjaga kesuciannya.

4. Perilaku
Dewi Rengganis juga memperjuangkan kesetaraan serta hak-hak antara wanita
dengan laki-laki. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku Rengganis yang ikut perang
melawan ketiga putri Cina yang bernama Widaningsih, Widaninggar, dan Widaningrum
untuk membela Repatmaja dan ayah Jayengrana. Karena selama ini dalam pikiran orang
yang pantas berperang adalah seorang laki-laki, tetapi tidak dengan Dewi Rengganis.
Meskipun ia seorang wanita, ia juga mempunyai hak seperti laki-laki untuk berperang
dalam membantu orang lain.

Paparan tersebut tampak pada kutipan berikut:

Dewi Rengganis : " Aku akan pulang ke Gunung Mas ke ayah pendeta, aku sakit,
menangis karena kalah perang!"

Dewi Kuraisin : " Perang lawan siapa?"

Dewi Rengganis : " Aku perang tanding membela kakak Repatmaja dan ayah
Jayengrana” (Supratno, 2010: 889).

KESIMPULAN

Feminisme adalah sebuah gagasan atau ideologi yang ada diri perempuan dilandasi
oleh ketidakadilan jenis kelamin demi hak-hak teretentu untuk kaum laki-laki. Dalam cerita
mitos ini sosok Rengganis memiliki karakteristik yang sederhana, berperasaan halus, dan
berbudi luhur sehingga hal tersebut tentu tidak bertentangan dengan teori feminisme yang
telah dipaparkan diatas. Hal ini menunjukkan bahwasannya setiap perempuan pada dasarnya
harus memiliki sifat feminis yang dimiliki oleh Rengganis, bukan hanya itu saja setiap
perempuan juga harus meiliki tutur bahasa yang halus. Perempuan juga kerap dianggap
sebagai makhluk yang lemah tapi sosok Rengganis mematahkan pernyataan tersebut dengan
ditunjukkan perilaku Rengganis saat melawan tiga putri cina, hal ini menunjukkan bahwa
yang bisa berperang bukan hanya kaum laki-laki atau kaum adam saja, tetapi kaum hawa atau
perempuan juga bisa akan hal tersebut. Banyak hal atau sifat feminis yang dapat diambil dari
cerita mitos “Dewi Rengganis” ini, setiap perempuan ada masanya bisa melakukan banyak
hal melebihi yang dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga tergantung dengan situasi serta
kondisi yang ada. Sehingga dapat disimpulkan setiap perempuan berhak atas apa yang
dilakukannya, tidak memandang jenis kelamin atau apapun itu, jika tidak melanggar norma
atau peraturan yang berlaku kenapa tidak dilakukan, yang terpenting adalah tujuannya untuk
kebaikan, tidak merugikan orang lain, serta bermanfaat bagi orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
digilib.uinsby.ac.id

https://pakarkomunikasi.com/teori-feminisme-menurut-para-ahli

Anda mungkin juga menyukai