Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS STILISTIKA PADA CERPEN PENABUH THETHEK

KARYA SANTI ALMUFAROH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah Stilistika

Dosen Pengampu : Leli Nisfi Setiana, S.Pd., M.Pd.

Oleh

Dika Redana

NIM 34101400174

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya karya sastra adalah wujud permainan kata-kata pengarang dalam
karya fiksi yang berisi maksud tertentu yang akan disampaikan kepada penikmat sastra.
Dalam hal ini pengarang memiliki cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya
untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya. Kehidupan sosial sangat
berpengaruh terhadap karya sastra yang telah dihasilkan. Pemahaman karya sastra tidak
bisa mengesampingkan apa yang menjadi dasar bagi pengarang untuk melakukan proses
krativitas tersebut, hingga mampu menciptakan karya sastra. Hal ini senada dengan
pendapat sangidu (2004) yang memandang sastra sebagai suatu gejala sosial. Selain itu,
Darmono (2003) berpendapat bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-
lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, serta peradaban yang telah
menghasilkan.
Kehadiran sastra ditengah-tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak. Bahkan,
kehadiran karya sastra tersebut diterima sebagai suatu realitas social budaya. Hingga saat
ini, sastra tidak saja dinilai sebagai karya seni yang memiliki imajinasi, budi, dan emosi,
tetapi telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan untuk konsumsi
intelektual.
Cerpen atau cerita pendek sebagai suatu karya seni berfungsi sebagai notulen
kehidupan. Pengarang dengan daya imajinasi yang dimilikinya tidak akan bisa tertidur
dengan nyaman sebelum semua peristiwa itu ditulis, yang akhirnya dapat dibaca,
dipahami, dan direntangkan oleh siapa saja. Dengan demikian apabila seorang membaca
cerpen diharapkan dapat mengetahui seluk beluk peristiwa kehidupan, tanpa merasa
digurui. Diantara peristiwa kehidupan itu adalah kebahagiaan, keindahan alam, kemajuan
teknologi, kesenjangan sosial, kegelisahan batin pada orang-orang yang tertindas,
harapan, kekecewaan, keadilan, kekejaman, kemiskinan yang teramat parah atau
kekayaan yang berlimpah ruah, kehancuran di masa lalu atau harapan yang menggebu-
gebu untuk masa depan, dan lain-lain. Sebagai dokumentasi, cerpen bagaikan cermin
yang memperlihatkan peristiwa tersebut.
Menurut Soeharianto (1982) cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya
halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam
cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin
disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat
digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi
persyaratan sebagai cerpen.
Media yang digunakan oleh cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah
bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang
ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di
dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan
menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa
dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga
hal yaitu displacing of meaning (pengganitan arti), dan creating of meaning (perusakan
atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).
Penggunaan bahasa dalam karya fiksi (cerpen) berbeda dengan penggunaan bahasa
dalam wacana lain, misalnya penggunaan bahasa dalam pidato-pidato, karya-karya
ilmiah, dan perundang-undangan. Bahasa dalam karya fiksi (cerpen) mengandung
imajinasi yang tinggi sehingga akan terjadi penyimpangan arti oleh pembaca. Maka
diperlukan telaah atau kajian linguistik atas karya sastra tersebut. Dalam linguistik kajian
yang bertujuan meneliti aspek khusus pemakaian bahasa dalam karya sastra adalah
stilistika. Secara menyeluruh kajian stilistika berperan untuk membantu menganalisis dan
memberikan gambaran secara lengkap bagaimana nilai sebuah karya sastra.
Pengkajian stilistika juga menyadarkan kita akan kiat pengarang dalam
memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana
pengungkapannya (Sudjiman, 1993: viii). Stilistika adalah ilmu bagian linguistik yang
memusatkan diri pada variasi-variasi penggunaan bahasa, yang paling sadar dan
kompleks dalam kesusastraan. Stilistika berarti studi tentang gaya bahasa, mensugestikan
sebuah ilmu, paling sedikit sebuah studi yang metodis (Turner. G.W dalam Pradopo,
1997: 254).
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika
adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji
karena mengandung banyak majas (gaya bahasa), diksi, dan pemanfaatan bahasa yang
digunakan oleh pengarang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan pemaran diatas, dapat ditentukan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana diksi dan unsur gaya bahasa yang terkandung pada cerpen penabuh
thethek karya Santi Almufaroh?
b. Bagaimana pengaruh penggunaan bahasa oleh pengarang dari segi penggunaan
bahasa daerah, asing dan sinonim sinonim pada cerpen penabuh thethek karya Santi
Almufaroh?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Untuk mengetahui diksi yang terkandung pada cerpen penabuh thethek karya Santi
Almufaroh.
b. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahasa oleh pengarang dari segi
penggunaan bahasa daerah, asing dan sinonim sinonim pada cerpen penabuh thethek
karya Santi Almufaroh.

1.4 Manfaat
a. Pembaca dapat mengetahui diksi yang terkandung pada cerpen penabuh thethek
karya Santi Almufaroh.
b. Pembaca dapat mengetahui pengaruh penggunaan bahasa oleh pengarang dari segi
penggunaan bahasa daerah, asing dan sinonim pada cerpen penabuh thethek karya
Santi Almufaroh.
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Definisi Stilistika


Secara definitif stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa.
Namun pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Jadi, dalam pengertian
yang lebih luas, stilistika adalah gaya bahasa yang digunakan seseorang dalam
mengekspresikan gagasan lewat tulisan (Musthafa, 2008: 51). Gaya menyangkut masalah
penggunahaan bahasa, karya sastra dianggap sebagai sumber data utama dan pada
perkembangan terakhir sastra menunjukan bahwa gaya dibatasi dalam analisis puisi,
karena puisi memiliki penggunanaan bahasa yang khas. Hal ini sesuai dengan pendapat
Endraswara (2003: 72) bahwa penelitian stilistika berdasarkan asumsi bahwa bahasa
sastra mempunyai tugas mulia. Bahasa sastra memilika pesan keindahan dan sekaligus
mebawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar.
Secara teoretis, telah banyak pakar sastra yang memberikan definisi tentang
stilistika. Beberapa di antaranya seperti diuraikan berikut ini. Verdonk (2002: 4)
memandang stilistika, atau studi tentang gaya, sebagai analisis ekspresi yang khas dalam
bahasa untuk mendeskripsikan tujuan dan efek tertentu. Bahasa dalam karya sastra
adalah bahasa yang khas sehingga berbeda dari bahasa dalam karya-karya nonsastra.
Untuk itulah, analisis terhadap bahasa sastra pun membutuhkan analisis yang khusus.
Dalam hal ini dibutuhkan stilistika sebagai teori yang secara khusus menganalisis bahasa
teks sastra (Mills, 1995: 3).
Stilistika (stylistic) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa
di dalam karya sastra (Sudjiman, 1990: 75). Stilistika sangat penting bagi studi linguistik
maupun studi kesusastraan. Stilistika dapat memberikan sumbangan penelitian gaya
bahasa untuk merupakan unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk pemaknaan karya
sastra, dikarenakan karya sastra tidak lepas dari penggunaan gaya bahasa yang
keindahan.
Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra berlawanan dengan pengunaan bahasa
pada karya ilmiah. Penggunaan bahasa pada karya ilmiah pastinya menggunakan bahasa
yang baik dan benar, pemilihan kata yang tepat, kalimatnya jelas, ini harus diperhatikan
sekali agar tidak menimbulkan makna ambigu/ganda. Sedangkan pemakaian bahasa
dalam karya sastra lebih memiliki kebebasan yang berasal dari kreatifitas pengarang,
karena dimaksudkan agar dapat memiliki kekayaan makna.
Pengertian stilistika yang cukup komprehensif dan representatif seperti
dikemukakan oleh Tuloli (2000: 6), stilistika atau ilmu gaya bahasa pada umumnya
membicarakan pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas
seorang penulis, aliran sastra, atau pula penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari
bahasa yang normal atau baku, dan sebagainya. Dengan demikian, secara sederhana
dapat disimpulkan bahwa stilistika (stylistics) adalah ilmu yang secara spesifik
mengungkap penggunaan gaya bahasa yang khas dalam karya sastra.
Secara umum lapangan kajian stilistika adalah pemakaian bahasa, sehingga dapat
dilihat bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra. Dari beberapa pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang gaya
bahasa, pilihan kata, dan penggunaan bahasa.
Bahasa hampir selalu memiliki variasi yang disebabkan oleh lingkungan tertentu.
Linguistik merupakan ilmu yang berupaya memberikan bahasa dan menunjukkan
bagaimana cara kerjanya, sedangkan stilistik merupakan bagian dari linguistik yang
memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, yang walaupun tidak secara
eksklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra (Turner G.W. dalam Pranawa, 2005:
20).

2.2. Sejarah Stilistika


A. Sejarah Perkembangan Stilistika Di Dunia Barat
Sastra adalah karya yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Hasil
kemasannya akan tergantung bagaimana cara mengemasnya. Apabila bahasa dikemas
dengan penekanan pada aspek bunyi atau musik huruf, maka hasilnya dinamai puisi.
Apabila bahasa dikemas dengan penekanan pada aspek dialog, maka hasilnya dinamai
teater. Sedangkan apabila bahasa dikemas dengan penekanan pada aspek uraian atau
deskripsi, maka hasilnya dinamai kisah, hikayat, novel atau semacamnya.
Pada dasarnya, karya sastra bukanlah semata-mata pengungkapan kata-kata,
melainkan juga merupakan hasil pemikiran serta media penyampaian misi
kemanusiaan, nasionalisme, seni dan sikap dalam menghadapi tingkah laku dalam
kondisi tertentu. Disamping itu karya sastra juga lahir dari sosok pribadi tertentu yang
memiliki kecakapan tertentu Dan dalam kondisi yang tertentu pula. Semuanya itu
berperan pada pembuatan suatu karya sastra.
Banyak faktor pembentuk sebuah karya sastra membuat kritik sastra di Barat
pada abad ke-19 dan ke-20 berada dikesimpangan, tarik menarik antara berbagai
kecenderungan. Pada masa tersebut pembaca cenderung melakukan analisis sastra
berdasarkan pengarangnya atau biografi sastrawan, kejiwaan sastrawannya atau
psikologi sastra, sastra dari kaitannya dengan masyarakat atau sosiologi sastra, dan
beberapa aspek lainnya, seperti nasionalisme, politik, teologi, filsafat dan lain-lain.
Kecenderungan tersebut membuat para kritikus terlena. Mereka lebih memperhatikan
teori-teori di atas daripada teori sastranya. Kejadian-kejadian ini mendorong para
peneliti dan kritikus sastra lainnya untuk kembali kepada kritik sastra yang berfokus
pada aspek bahasa sastra itu sendiri sehingga bisa diketahui nilai suatu sastra. menurut
Corak analisis dan kritik sastra yang berfokus pada aspek kebahasaan terus
berlangsung di dunia kritik di belahan Eropa dengan nama kritik bahasa, analisis
struktual, dan stilistika.
Revolusi terhadap paradigma analisis sastra klasik dilakukan oleh Charles
Bally dengan teori stilistika deskriptif ekspresif-nya. Ia merupakan murid Ferdinand
De Saussure. De Saussure dikenal dengan peletak linguistik modern, sedangkan Bally
adalah peletak stilistika moderan.
Ferdinand De Saussure (1857-1913) membagi bahasa menjadi dua: language
dan parole. Yamg pertama menitikberatkan pada kaidah-kaidah dasar kebahasaan,
sedangkan yang kedua menitikberatkan pada bagaimana bahasa itu dalam
penggunaanya. Dan, yang terakhir ini merupakan objek analisis stilistika. Parole yang
merupakan analisis stilistika dibagi menjadi dua: tuturan biasa dan tuturan sastra atau
seni. Tuturan biasa bersifat spontan, rasional. Adapun tuturan sastra bersumber dari
penutur yang megarahkan tuturannya pada indera perasaan pendengaranya atau
pembacanya dengan menggunakan kata-kata dan makna pilihan yang terkadang bisa
dipahami secara mudah dan terkadang dibutuhkan pemikiran secara mendalam.
Dalam stilistika desktiptif terdapat dua aliran. Dalam hal-hal yang bersifat
rinci, keduanya banyak perbedaan. Namun, dalam hal-hal yang prinsip keduanya ada
persamaan: sama-sama berfokus pada karya sastra berdasarkan analisis tuturan itu
sendiri. Aliran pertama dinamai structural deskriptif. Aliran ini memandang tuturan
atau karya sastra sebagai kesatuan dari unsur-unsurnya yang saling berhubungan
tanpa bisa dipisah-pisahkan. Jika ada unsur yang rusak, rusaklah stuktur karya sastra
secara keseluruhan. Kesatuan unsur-unsur ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi
didasarkan pada analisis dan aturan-aturan. Aliran kedua dinamai formalisme. Muncul
di Rusia pada tahun 1917, aliran ini dipelopori oleh Roman Jacobson. Diantara
pendapatnya, bahwa studi sastra adalah analisis terhadap faktor-faktor yang
menjadikan karya ini mempunyai nilai sastra. Dengan kata lain, mereka memfokuskan
pada tuturannya saja dan mengabaikan aspek-aspek lain seperti aspek psikologi dan
sosial kemasyarakatan.
Berdasarkan atas pemikiran De Saussure, Charles Bally mengembangkan
pemikiran stilistika ekspresif. Menurutnya, nilai-nilai stilistika tidak bisa ditampung
dalam “nilai-nilai statis”. Pendapat ini bersebrangan dengan pendapat para ahli sastra
sebelumnya ( pra De Saussure ), yang mengatakan bahwa nilai-nilai stilistika terletak
pada kerangka nuansa atau rasa bahasaa, yang menurut mereka berpusat pada soal
metapora. Menurut Bally, nilai-nilai stilistika lebih dari itu. Kadang ungkapan-
ungkapan sederhana pun terdapat nilai-nilai keindahan. Dengan kata lain, ungkapan-
ungkapan seperti itu termasuk kedalam kerangka nuansa atau rasa bahasa. Dengan
demikian, ranah analisis stilistika semakin meluas karena termasuk juga bahasa
tuturan yang tidak bisa lepas dari konteks.
Berdasarkan penjelasan diatas, stilistika deskriptifnya Charles Ball merangkum dalam
tiga prinsip berikut ini :
1) Ranah analisis stilistika deskriptif tidak terbatas pada kaidah-kaidah sastra
tradisional saja.
2) Bahasa tuturan dimasukan kedalam ranah analisis stilistika.
3) Stilistika menggunakan metode deskriptif.
Konsep ini merupakan salah satu fragmen stilistika di dunia barat dari sekian banyak
fragmen yang ada.

B. Sejarah Perkembangan Stilistika Di Indonesia


Di Indonesia, stilistika juga mengalami sejarah dan perkembangan. Pada tahun
1956, Slamet Mulyana menerbitkan buku Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Budaya,
penerbit Ganaco, Bandung. Buku ini berisi sekalar pemandangan tentang Poesi juga
biasa disebut Puitika. Slamet Mulyana mendefinisikan stilistika adalah pengetahuan
tentang kata yang berjiwa.
Istilah stilistika kemudian dikembangkan oleh Jassin. Ia menguraikan bahwa
ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya biasa
orang menyebut gaya bahasa apa yang disebut Stijl dalam bahasa Belanda, Style
dalam bahasa Ingggris dan Perancis, Stil dalam bahasa Jerman. Jassin selanjutnya
mengemukakan bahwa kata gaya bahasa bermakna cara menggunakan bahasa. Di
dalamnya tercakup gaya bercerita.. Seorang stilistikus atau ahli gaya bahasa
menjawab pertanyaan mengapa seorang pembicara atau pengarang menyatakan
pikiran dan perasaan seperti yang dilakukan dan tidak dalam bentuk lain, atau
bagaimana keharmonisan gabungan isi dan bentuk.
Pada 1982, Sudjiman membuat Diktat Mata Kuliah Stilistika, Program S1.
Universitas Indonesia. Kemudian Ia menerbitkan buku Bunga Rampai Stilistika.
Grafiti, Jakarta 1993. Istilah stilistika sejak 1980-an ini mulai dikenal di dunia
Pengetahuan Tinggi sebab telah menjadi satu disiplin ilmu. Hal ini dilatarbelakangi
oleh kenyataan selama ini bahwa dalam usaha memahami karya sastra para kritikus
sastra menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrisik, bahkan ada yang
menggunakan beberapa pendekatan sekaligus. Semua itu ada hukum untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang menciptakan karya
tertulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara
penyampaiannya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang terkandung dalam
karya sastra serta menikmati keindahannya. Karena medium yang digunakan oleh
pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan hal-hal yang
membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau bagian-bagiannya untuk
selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini disebut pengkajian
stilistika. Dalam pengkajian ini tampak relevansi linguistik atau ilmu bahasa terhadap
studi sastra. Dengan stilistika, dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan
makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra.
Pada tahun 1986, Natawidjaja menerbitkan buku Apresiasi Stilistika,
Intermasa, Yogyakarta. Dalam buku ini diuraikan penggunaan bahasa suatu karya
sastra melalui aspek bahasa, misalnya peribahasa, ungkapan, dan gaya bahasa dalam
karya sastra. Buku ini sangat bermanfaat bagi siswa SMA dan mahasiswa yang ingin
meningkatkan pemahaman mengenai stilistika bahasa Indonesia.
Pada 1995, Aminuddin menerbitkan bukunya Stilistika Pengantar Memahami
Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang Press, Semarang. Kajian stilistika dalam
buku ini terdiri dari enam bab. Bab 1 mengenai Pengertian Gaya dalam Perspektif
Kesejarahan; Bab 2 mengenai Studi Stilistika dalam Konteks Kajian Sastra; Bab 3
Bentuk Ekspresi sebagai Pangkal Kajian Stilistika; Bab 4 Aspek Bunyi dalam Teks
Sastra; Bab 5 Bentuk Simbolik dalam Karya Sastra; dan Bab 6 Bentuk Bahasa Kias
dalam Karya Sastra. Pada 2003, Tirto Suwondo membahas cerpen dengan pandangan
stilistika, judul makalahnya ”Cerpen Dinding Waktu, karya Danarto, Studi Stilistika”
dimuat dalam bukunya Studi Sastra Beberapa Alternatif, Hanindita, Yogyakarta,
2003. Suwondo berkesimpulan bahwa cerpen dinding waktu karya Danarto kaya akan
gaya bahasa, baik gaya bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun
berdasarkan langsung atau tidaknya makna. Dengan demikian, hingga saat sekarang
ini, stilistika sudah berkembang dengan pesat.
2.3. Kajian Stilistika Dalam Karya Sastra
Gaya diartikan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi
penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan makna, baik
penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif
tertentu bagi pembacanya (Aminnudin, 1995: v).
Dalam aplikasinya, pemanfaatan gaya bahasa dalam karya sastra sangat bergantung
kepada individuasi sastrawan yang dipengaruhi oleh latar sosiohistoris masing-masing.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gaya bahasa itu bersifat pribadi
atau yang mencerminkan orangnya.
Style ‘gaya bahasa’ menurut Sudjiman (1996: 13) mencakup diksi (pilihan kata /
leksikal), struktur kalimat, majas, dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang
sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra.

2.4. Aspek-aspek Stilitiska dalam Kajian Karya Sastra


1. Gaya Bunyi (Fonem)
Fonem atau bunyi bahasa merupakan unsur lingual terkecil dalam satuan
bahasa yang dapat menimbulkan dan/atau membedakan arti tertentu. Fonem terbagi
menjadi vokal dan konsonan. Dalam karya sastra genre puisi, fonem merupakan
aspek yang memegang peran penting dalam penciptaan efek estetik.
Timbulnya irama indah yang tercipta dalam puisi, misalnya karena adanya
asonansi dan aliterasi itu akan menimbulkan orkestrasi bunyi yang menciptakan
nada dan suasana tertentu.
2. Gaya Kata (Diksi)
Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang
dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Kata merupakan unsur
bahasa yang paling esensial dalam karya sastra. Karena itu, dalam pemilihannya
para sastrawan berusaha agar kata-kata yang digunakannya mengandung kepadatan
dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis lainnya.
Diksi adalah penentuan kata-kata seseorang untuk mengungkapkan
gagasannya. Diksi yang baik adalah yang sesuai dengan tuntutan cerita, keadaan
atau diksi peristiwa, dan pembacanya (Yusuf, 1995: 68 ). Dengan demikian diksi
dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan
gagasaya guna mencapai efek trtentu dalam sastranya. Orang yang luas kosa
katanya, demikian Keraf ( 1991: 24 ), akan memiliki kemampuan yang tinggi.
Kata adalah satuan bahasa yang paling kecil yang merupakan lambang atau
tanda bahasa yang bersifat mandiri secara bentuk dan makna. Kata-kata yang dipilih
pengarang merupakan kata-kata yang dianggap paling tepat dalam konteks karya
sastra tersebut. Pengubahan kata-kata dalam baris-baris dalam sebuah karya sastra
dengan kata-kata yang lain dapat mengubah kesan total yang dibentuk karya sastra
tersebut. Kata mempunyai fungsi sebagai simbol yang mewakili sesuatu. Pendapat
lain dikemukakan oleh Subroto ( 1996: 1 dan 11), bahwa kata berfungsi untuk
menunjuk atau menyebut ( to refer, to denote ) sesuatu ( benda, peristiwa, hal
sifat,atau keaaan, jumlah) yang bersifat luar bahasa, terutama untuk kata di luar
bahasa ( extra linguistic world dan non-linguistic world ).
Menurut Sumarno (2003 : 196) kata memiliki konotasi yang berbeda
bergantung pada beberapa faktor. Pada dasarnya sastrawan ingin mengekspresikan
pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Kata konotatif sangat dominan dalam
karya sastra. Arti konotatif merupakan nilai komunikatif suatu ungkapan menurut
apa yang diacu, melebihi di atas isinya yang murni konseptual ( Leech ( 2003: 23 ).
Makna kata bergantung pada penuturnya. Demikian pula, pemanfaatan diksi
dalam karya sastra merupakan simbol yang mewakili gagasan tertentu, terutama
dalam mendukung gagasan yang ingin diekspresikan pengarang dalam karya
sastranya. Sastrawan dituntut cermat dalam memilih kata-kata karena kata-kata yang
ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisinya dalam kalimat dan wacana,
kedudukan kata tersebut di tengah kata lain, dan kedudukan kata dalam keseluruhan
karya sastra.
Kata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam berbagai variasi
mampu menggambarkan bermacam-macam ide, angan, dan perasaan. Dalam karya
sastra, terdapat banyak diksi antara lain kata konotatif, konkret, kata sapaan khas dan
nama diri, kata serapan, kata asing, kata vulgar, kata dengan objek realitas alam, dan
kosa kata dari bahasa daerah Jawa, Sunda, Batak, dan sebagainya.
Kata konotatif adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang
terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan atau pikiran
pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu yang dibahasakan. Kata konkret
mengandung makna yang merujuk pada pengertian langsung atau memiliki makna
harfiah, sesuai dengan konvensi tertentu. Nama diri atau sapaan, nama dapat
diartikan sebagai kata yang berfungsi sebagai sebutan untuk menunjukkan orang
atau sebagai penanda identitas seseorang. Nama diri atau sapaan selain berfungsi
sebagi penanda identitas, juga dapat merupakan simbol.
Kata serapan adalah kata yang diambil atau dipungut dari bahasa lain, baik
bahasa asing maupun bahasa daerah, baik mengalami adaptasi struktur, tulisan, dan
lafal, maupun tidak dan sudah dikategorikan sebagai kosa kata bahasa Indonesia.
Kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradap, dipandang
tidak etis, dan melanggar sopan santun atau etika sosial yang berlaku dalam
masyarakat intelek atau terpelajar. Kata dengan objek realitas alam adalah kata yang
memanfaatkan realitas alam sebagai bentukan kata tertentu yang memiliki arti.
3. Gaya Kalimat (Sintaksis)
Kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu,
misalnya infers, gaya kalimat tanya, perintah, dan elips. Sebuah gagasan atau pesan
(struktur batin) dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat (struktur lahir)
yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Karena dalam sastra pengarang
memiliki kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa (licentia poetica) guna
mencapai efek tertentu, adanya bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk
penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar. Penyiasatan struktur
kalimat itu dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan,
pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan sebagainya.
4. Gaya Wacana
Menurut Kridaklaksana (1988: 179), wacana ialah satuan bahasa terlengkap,
yang memiliki hierarki tertinggi dalam gramatika. Gaya wacana ialah gaya bahasa
dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam prosa
maupun puisi. Gaya wacana dapat berupa paragraf (dalam prosa atau fiksi), bait
(dalam puisi atau sajak), keseluruhan karya sastra baik prosa seperti novel dan
cerpen, maupun keseluruhan puisi.
Gaya wacana dalam sastra adalah gaya wacana dengan pemanfaatan sarana
retorika seperti repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan hiperbola serta gaya
wacana campur kode dan alih kode. Gaya campur kode adalah penggunaan bahasa
asing dalam bahasa sendiri atau bahasa campuran dalam karya sastra. Wacana alih
kode adalah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan pesan
atau situasi lain atau adanya partisipan lain.
5. Bahasa Figuratif (Figurative Language)
Bahasa figuratif merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa
figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh
efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna
literal (literal meaning). Bahasa figuratif dalam penelitian stilistika karya sastra dapat
mencakup majas, idiom, dan peribahasa. Ketiga bentuk bahasa figuratif itu diduga
cukup banyak dimanfaatkan oleh para sastrawan dalam karyanya.
a. Majas
Majas terbagi menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought: tuturan
figuratif yangt terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2)
rethorical figure: tuturan figuratif yang terkait dengan penataan dan pengurutan
kata-kata dalam kontruksi kalimat (Aminudin, 1995: 249). Pemajasan (figure of
thought) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggaya-bahasaan,
yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang
mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat.
Pemajasan menurut Scott (1980: 107) mencakup:
1) Metafora
Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata-kata
pembanding seperti bagai, sebagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Salah satu
wujud kreatif bahasa dalam penerapan makna disebut metafora.
Klasifikasi metafora ditinjau dari aspek budaya metafora dapat dibagi menjadi
dua yaitu Metafora Universal dan Metafora Terikat Budaya.
a) Metafora Universal
Metafora universal adalah metafora yang memiliki medan semantik yang
sama bagi sebagian besar budaya di dunia, baik lambang kias maupun
makna yang dimaksudkan. Untuk menggambarkan medan semantik yang
sifatnya universal yang terdapat dalam metafora (bahasa) Jawa, kita dapat
mengacu pada sistematika yang telah diusulkan oleh Micael C. Haley
(dalam Ching et.al. (Ed.), 1980: 139-154).
b) Metafora Terikat Budaya
Metafora terikat oleh budaya maksudnya ialah metafora yang medan
semantik untuk lambang dan maknanya terbatas pada satu budaya saja,
dalam hal ini budaya Jawa misalnya. Dengan demikian, cerita yang dipakai
untuk menentukan metafora yang terikat oleh budaya itu juga terbatas pada
lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dimiliki oleh penutur
asli bahasa Jawa saja.
2) Simile (Perbandingan)
Simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan
menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti, semisal,
seumpama, laksana, ibarat, bak, dan kata-kata pembanding lainnya (Pradopo,
2000: 62).
3) Personifikasi
Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat
dapat berbuat, berfikir, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti manusia.
4) Metonimia
Metonimia atau majas pengganti nama adalah penggunaan sebuah atribut
sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan
dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
5) Sinekdoki (Synecdoche)
Majas yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu hal atau benda itu
sendiri disebut sinekdoki (Altebernd dan Lewis, 1970: 21).
b. Idiom
Konstruksi unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai
makna yang ada hanya karena bersama yang lain disebut idiom. Yusuf (1995:
118), mengartikan idiom sebagai kelompok kata yang mempunyai makna khas
dan tidak sama dengan makna kata per kata. Jadi, idiom mempunyai kekhasan
bentuk dan makna di dalam kebahasaan yang tidak dapat diterjemahkan secara
harfiah.
c. Peribahasa (Saying, Proverb)
Peribahasa ialah kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk,
makna, dan fungsinya dalam masyarakat, bersifat turun temurun, dipergunakan
untuk menghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi
nasihat, pengajaran atau pedoman hidup. Peribahasa dalam bahasa Indonesia
kedudukan dan peran yang penting karena memiliki makna yang dalam. Bentuk
peribahasa itu merupakan penuturan yang sering diucapkan sehari-hari, tetapi
memiliki nilai estetik yang tinggi. Peribahasa menurut Kridalaksana (1988: 131),
mencakup pepatah, ibarat (simile), bidal, perumpamaan dan pemeo.
d. Citraan (Imagery)
Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan
pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat
membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Menurut Sayuti (2000: 174),
citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk
gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu. Dalam fiksi
citraan dibedakan menjadi citraan literal dan citraan figuratif.
1) Citraan literal tidak menyebabkan perubahan atau perluasan arti kata-kata
sedangkan citraan figuratif (majas) merupakan citraan yang harus dipahami
dalam beberapa arti. Citraan dalam karya sastra dapat mencerminkan
kekhasan individual pengarangnya. Salah satu bentuk penciptaan kerangka
seni adalah pemakaian bahasa yang khas melalui citraan. Citraan kata banyak
digunakan dalam karya sastra, baik puisi, fiksi, maupun drama karena dapat
menjadi daya tarik bagi indera melalui kata-kata.
2) Citraan kata dalam karya sastra merupakan daya penarik indera melalui kata-
kata yang mampu mengobarkan emosi dan intelektual pembaca. Adapun
fungsi citraan adalah untuk membuat atau lebih hidup gambaran dalam
penginderaan dan pikiran, menarik perhatian, dan membangkitkan
intelektualitas dan emosi pembaca dengan cepat Burton (1984: 97).
Citraan kata dapat dibagi menjadi tujuh jenis yakni:
1) Citraan Penglihatan (Visual Imagery)
Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan. Citraan
penglihatan ini juga sangat produktif dipakai oleh pengarang untuk
melukiskan keadaan, tempat, pemandangan, atau bangunan.
2) Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)
Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran.
Citraan pendengaran juga produktif dipakai dalam karya sastra.
3) Citraan Gerakan (Movement Imagery/Kinaesthetic)
Citraan gerakan melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi
dilukiskan sebagai dapat bergerak ataupun gambaran gerak pada umumnya.
Citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa hidup dan terasa menjadi
dinamis.
4) Citraan Perabaan (Tactile/Thermal Imagery)
Citraan yang ditimbulkan melalui perabaan disebut citraan perabaan. Berbeda
dengan citraan penglihatan dan pendengaran yang produktif, citraan perabaan
agak sedikit dipakai oleh pengarang dalam karya sastra.
5) Citraan Penciuman (Smell Imagery)
Jenis citraan penciuman jarang digunakan dibanding citraan gerak, visual atau
pendengaran. Citraan penciuman memiliki fungsi penting dalam
menghidupkan imajinasi pembaca khususnya indera penciuman.
6) Citraan Pencecapan (Taste Imagery)
Citraan ini adalah pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman
indera pencecapan dalam hal ini lidah. Jenis citraan pencecapan dalam karya
sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi pembaca dalam hal-hal
yang berkaitan dengan rasa atau membangkitkan selera makan.
7) Citraan Intelektual (Intellectual Imagery)
Citraan yang dihasilkan melalui asosiasi-asosiasi intelektual disebut citraan
intelektual. Dengan jenis citraan ini pengarang dapat membangkitkan
imajinasi pembaca melalui asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis deskripsi
kualitatif yang artinya data terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar bukan
dalam bentuk angka-angka. Metode deskripsi ini menggambarkan data secara kualitatif
yaitu kedalam penghayatan terhadap interaksi dalam konsep yang sedang dikaji secara
empiris dan menggunakan kata-kata. Penggunaan kutipan dalam cerpen juga diikut
sertakan untuk mempermudah deskripsi data (Semi, 1993:24). Lagkah-langkah yang
dilakukan penelitian untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Membaca cerpen dengan cermat dan teliti secara berulang – ulang untuk memahami
isi teks dan unsur – unsur pembangun cerita dalam cerpen.
b. Menafsirkan isi teks sesuai dengan pemahaman penelitian berdasarkan pendekatan
dan kerangka teori yang di gunakan.
c. Melakukan pencatatan terhadap aspek – aspek yang akan di teliti.
d. Mendata hal – hal penting cerpen dan mewakili apa yang di teliti kemudian di catat
dalam kartu data.
e. Data yang telah terkumpul di dokumentasikan untuk di pergunakan sebagai sumber
informasi dalam kerja penelitian

3.2. Teknik Pengumpulan Data


Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan. Data didapat dalam
bentuk tulisan, maka harus dibaca, disimak, hal-hal yang penting dicatat, kemudian juga
mengumpulkan dan mempelajari sumber tulisan yang dapat dijadikan acuan dalam
hubungannya dengan obyek yang akan diteliti.
Hasil pemahaman yang berupa cuplikan-cuplikan dalam cerpen Penabuh Thethek
yang relevan dan diklasifikasikan sesuai dengan fungsinya. Untuk mengumpulkan data
perlu menggunakan tehnik-tehnik yang tepat dengan data yang hendak dicari atau
dikumpulkan dalam penulisan.
Adapun tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah non interaktif, yaitu
catatan dokumen yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mencari sumber data dan mengumpulkan sumber data yang dapat digunakan sebagai
pendukung penulisan.
2. Membaca dengan cermat dan teliti terhadap sumber data yang primer dan mencatat
yang penting berdasarkan kelompok kelas kata.
3. Mengumpulkan data-data sekunder dari buku-buku referensi, antologi cerpen maupun
artikel ilmiah.
4. Merangkai teori dengan catatan sehingga menjadi perangkat yang harmonis yang siap
sebagai landasan penulisan.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Biografi Pengarang


Penabuh Thethek merupakan cerpen yang ditulis oleh Santi Almufaroh. Ia Lahir di
Jepara, 11 Mei 1991. Beralamat di Ds Kancilan Rt 04 Rw 01 Kembang, Jepara.
Perempuan yang mengagumi pramoedya Ananta Toer ini gemar menullis sejak di
bangku SMP.
Santi mengenyam pendidikan dari SD sampai SMA di kota kelahiran. Kemudian pada
tahun 2009, ia melanjutkan pendidikan di Pendidikan Bahasa Inggris IKIP PGRI
Semarang (sekarang UPGRIS). Pada saat kuliah inilah ia mendalami kegemaran
menulisnya di Unit Kegiatan Mahasiswa Kajian Ilmu Apresia Sastra (KIAS). Dari
beberapa penulis perempuan di Indonesia (khususnya di Jawa Tengah) saat ini, nama
Santi Almufaroh sangat menonjol. Ia kerap menjuarai lomba penulisan sastra.
Prestasi yang pernah ia raih diantaranya adalah juara favorit LMCR 2010 Tingkat
Nasional Kategori Mahasiswa dan Umum 2010, Jakarta, juara 1 Tulis Opini LPM
VOKAL IKIP PGRI Semarang, Juara 2 lomba puisi Lomba Tulis Puisi Spesial Ulang
Tahun Buletin Keris, Juara 1 Tulis Puisi BEM FPBS IKIP PGRI Semarang, Juara 1
Lomba Tulis Resensi UPT Perpus IKIP PGRI Semarang, Juara 1 Lomba Penulisan
Karya Sastra Cerpen PEKSIMIDA (Pekan Seni Mahasiswa Daerah) oleh BPSMI (Badan
Pembina Seni Mahasiswa Indonesia) di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012,
juara harapan 1 penulisan cerpen pada PEKSIMINAS (Pekan Seni Mahasiswa Nasional)
di Mataram, Lombok.
Beberapa tulisan pernah dimuat di Buletin Keris; Buletin Potret; Sekar Kampoeng,
Tabloid Cempaka, Suara Kampus IKIP PGRI Semarang; Majalah Gradasi; Bilik
Literasi, Majalah Papirus, Pawon, Republika, Suara Merdeka, Jateng Pos,
dan tergabung dalam Antologi Cerpen Teater Semut dalam Gelar Budaya Tingkat Jawa
Tengah “Tanda???”, Kendal, Antologi Cerpen “Perempuan Bersayap Di Kota Seba”
IKIP PGRI Semarang, Antologi Cerpen “Dari Jendela yang Terbuka” IAIN Walisongo
Semarang, Antologi Cerpen Taman Budaya Jawa Tengah “Tatapan Mata Boneka”, Solo,
Antologi Puisi-Cerpen “Jejak Hujan” UKM KIAS IKIP PGRI Semarang, Antologi
Puisi ”Adalah Debu” UKM KIAS IKIP PGRI Semarang, Antologi Puisi “UKORO
GENI” Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Anotologi Puisi “Dari Sragen Memandang
Indonesia”, Sragen, Anotologi Puisi “Indonesia dalam Titik 13”, Pekalongan, Antologi
Esai Wacana 1 “Aksara”, Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Antologi Esai “Mengingat
Guru” UKM KIAS IKIP PGRI Semarang, Antologi Puisi “Merawat Ingatan Tragedi
‘98”, Balai Soedjatmoko, Solo.
Selama masa kuliah Santi juga aktif berorganisasi, ia pernah menjadi koordinator UKM
KIAS 2011, Bendahara umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI)
Komisariat IKIP PGRI Semarang 2011, Pengurus Lembaga Keuangan Mahasiswa IKIP
PGRI Semarang 2012, serta pengelola komunitas lembah kelelawar.

4.2. Gaya Kata Dalam Cerpen Penabuh Thethek


1. Penggunaan Bahasa Asing
Penggunaan bahasa asing yang ada pada cerpen penabuh thethek yakni
penggunaan bahasa asing arab. Seorang pengarang mampu menyesuaikan
penggunaan bahasa dengan karakteristik seorang tokoh dalam cerpen tersebut.
Disesuaikan lagi dengan latarbelakang budaya dan agama yang ada pada seorang
pengarang, yakni agama Islam. Sehingga seorang pengarang menggunakan bahsa
arab dalam cerpennya. Untuk memperjelas terdapat dalam sebuah kutipan:
“Allahu akbal allahu akbal
Asyhadualaaillahaillah
Asyhaduannamuhammad
Allosulullah
Khayya’alasholaa
Khayya’alalfalaa
Allahu akbal
Laailaahaillallah ….”
Dari kutipan tersebut tokoh budi, seorang anak ideot sedang belajar adzan.
menggunakan bahasa arab, karena pada dasarnya lafaz adzan menggunakan bahasa
arab.
2. Penggunaan Bahasa Daerah
Pemilihan kata dari kosakata bahasa daerah yang digunakan penamaan tokoh
dapat mempertegas tokoh yang berasal dari daerah tertentu atau mempertegas latar
tempat. Ini artinya bahwa penggunaan penggunaan kosakata bahasa daerah dapat
diggunakan sebagai sarana penokohan dan sarana pelataran.
Dalam cerpen penabuh thethek dapat ditemukan tentang penggunaan bahasa
daerah. Seorang pengarang tentunya sudah mengetahui dengan jelas penggunaan
bahasa daerah yang digunakan. Karena seoarang pengarang itu sendiri
menyesuaikan tempat terjadinya suatu peristiwa yang terdapat dalam cerpen yang
dibuat. Penggunaan bahasa yang terdapat pada cerpen aku datang bersama lautan
yakni:
“Lelaki itu tampak kecapaian. Ia beristirahat di amben di ruang depan.
Sejenak. Sebentar lagi imsak. Tadi ia mendapat sebungkus nasi dan sepotong
ayam dari salah satu rumah yang ia lewati. Kebetulan habis ada kenduri
katanya. Alhamdulillah, ia tidak usah liwet untuk makan sahur.
Dari kutipan tersebut. dapat ditentukan bahawa bahasa daerah yang di gunakan
adalah bahasa daerah Jawa. Kerena kata “amben” merupakan sebuah sebutan untuk
tempat tidur, sedangkan “liwet” itu sendiri merupakan suatu kata yang berarti
memasak.
3. Pemanfaatan Sinonim
Pemanfaatan sinonim digunakan untuk menyebutkan persona pertama, kedua,
dan ketiga. Pemanfaatan sinonim dipilih ketertarikan dengan sifat bahasa yang
mengenal adanya tataran, yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa hormat,
keakraban, dan menjauhkan.
Sejumlah kata dalam bahasa dapat digunakan secara lugas, akan tetapi seorang
pengarang lebih condong terhadap objek sasaran. Termasuk dalam cerpen penabuh
thethek, seorang pengarang memanfaatkan bentuk sinonim dalam sebuah cerpennya.
Pemanfaatan yang di gunakan yakni:
Saya & -ku (persona pertama tunggal)
Seorang pengarang telah memanfaatkan dalam bentuk sinonim “Aku dan -ku
persona tunggal” di lihat dari sebuah kutipan aku dan –ku yakni:

“Apa anak manis?” ia mendekati saya. Menghentikan tabuhannya.

“Kau kugendong saja, takut tangan dan kakimu terluka, bagaimana?”.

Kau, -mu, Persona (persona kedua tunggal)


Pemanfaatan sinonim yang dilakaukan oleh pengarang yakni:
“Kau, dan -mu Persona kedua tungal” dilihat dari sebuah kutipan yakni:

“Nanti kuajari mengaji juga shalat. Sekarang kau tidur dulu, bapak mau ke kebun.”

“Namamu siapa, Nak?” tanyanya ramah.


4. Pemanfaatan Bentuk Ulang
Pemanfaatan dalam bentuk ulang merupakan Gabungan kata yang berupa
pengulangan kata dapat memberikan efek penyangatan atau melebih-lebihkan
(Pradopo, 1993: 108). hal ini tampak dalam kutipan berikut yakni:
“Lelaki bermata teduh itu masih menabuh thethek. Langkahnya patah patah.”

Maksud pengarang dalam pemanfaatan kata patah-patah yakni


menggambarkan seorang tua dalam berjalan kaki tidak gesit atau lambat.
5. Pemendekan Kata
Pemendekan kata bisa dilakukan dengan cara menghilangkan iimbuhan.
Penghilangan imbuhan ini banyak dilakukan pengarang untuk kelancaran ucapan
atau menurut Pradopo (1993:101) digunakan untuk memperoleh irama yang
menyebabkan liris. Pendapat ini akan cocok jika di terapkan dalam bentuk puisi
supaya memperoleh intensitas.
Pemendekan kata dalam cerpen maupun novel seringkali digunakan untuk
kelancaran ucapan sehingga cendrung memanfaatkan pada dialog antar tokoh
sehingga terkesan singkat. Akibatnya cerita menjadi lancar.

Pemendekan kata juga di lakukan oleh seorang pengarang dalam cerpenya


penabuh thethek. Tujuan pengarang dalam pemendekan kata yakni menyesuaikan
dengan suasana yang ada pada saat percakapan diantara kedua tokoh. Pemendekan
kata yakni:
Ia : dia
Tak : tidak
Kadang : terkadang
Kata tersebut dapat dilihat dari kuipan yakni:

“Ia hanya mengenakan kaus oblong lusuh dan celana kolor hitam.”

“Tapi tak apa, ia senang melakoninya.”

Kata dia menjadi ia, dan tidak menjadi tak pada kutipan di atas di maksudkan
untuk memperoleh efek bunyi sehingga serasi dengan kata-kata di belakangnya.
Dimikian pula dengan kata yang menghilangkan imbuhan dalam kata terkadang
menjadi kadang justru menghidupkan suasana. Seperti kutipan di bawah ini :

“Kadang membentak-bentak. Entahlah, saya juga tidak tahu idiot itu apa.”

6. Penyimpangan Bentuk Dasar


Penyimpangan betuk dasar seringkali bertujuan untuk memenuhi fungsi puitik,
yaitu efek estetis. Sebagai mana diungkapkan oleh jakobson dalam teuw, (1984:76),
fungsi puitik memproyeksi prinsip ekuivalensi dari proses seleksi praktis atau
pradigmatik ke proses kombinasi ( sintaksis ). Deretan sinonim yang tersedia secara
prataksis adalah proses prataksis, yang terkandung unsur ekuivalen dan segi
semantik.
Penyimpanngan bahasa jg terjadi pada cerpen Penabuh Thethek. Penyimpangan
tersebut yakni:
Lamban : lambat
Berombongan : rombongan
Penyimpang tersebut dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:

“Langkahnya kian lamban. Telah setengah kampung ia kelilingi.”

Penyimpangan kata tersebut digunakan oleh pengarang dengan maksud penyesuaian


dengan kata sebelumnya yaitu kian sehingga terdapat suatu nilai estetik dalam kata
yang digunakan. Apbila digunakan kata lambat maka penyebutan yang dilakukan
oleh tokoh akan terasa berat dalam penyebutannya. Penyimpangan juga terjadi pada
kata berombongan.

“Dari anak kecil sampai orang tua sekali pun berombongan untuk berthethek.”

Penyipangan yang dilakukan pengarang merupakan sebuah penyesuaian dengan


keadaan yang terjadi pada saat itu. Kegiatan berthethek dulunya banyak digemari
warga nampung bahkan sampai terlihat berombongan, namun kegiatan itu kini
sangat jarang dilakukan orang-orang.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkarkan uraian diatas, pada cerpen Penabuh Thethek karya Santi
Almufaroh terdapat penggunaan bahasa asing, bahasa daerah, pemanfaatan sinonim,
pemanfaatan bentuk ulang, pemendekan kata, serta penyimpangan bentuk dasar
4.2 Saran
Sebaiknya pembaca jangan puas terhadap makalah ini saja, namun pembaca juga
harus menambah pengetahuannya lagi tentang materi Analisis Stilistika dalam cerpen
Penabuh Thethek karya Santi Almufaroh dengan mencari buku-buku bacaan lain, atau
informasi dari internet. Sehingga wawasan pembaca tentang materi ini akan semakin
bertambah.
Dari beberapa penjelasan dan isi makalah sederhana ini yang membahas tentang
analisis stilistika yang terdapat cerpen Penabuh Thethek karya Santi Almufaroh tidak
terlepas dari rangkaian kalimat dan ejaan penulisnya. Saya menyadari bahwa masih jauh
dari kesempurnaan seperti yang diiharapkan oleh pembaca dan pada khususnya dosen
pengampu mata kuiah ini. Oleh karena itu saya selaku penyusun mengharapkan kepada
para pembaca atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat
konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Suminto Sayuti. 2000. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta; Gama Media.

Aminuddin. 1991. Pengantar Aprsiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru.

. 1995, Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang :


IKIP Semarang Press.

Burton, S. H. (1984. The Criticsim of Peotry. England: Longman Grup Ltd.


Darmono, S. D. 2003. Kita Dan Sastra Dunia. Dalam htpp://www.mizan.com diakses pada
tanggal 23 Oktober 2017.

Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

De Saussure, Ferdinand. (terjemahan Rahayu. S. Hidayat). 1993. Pengantar Linguistik


Umum. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Jassin, H. B. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.

Keraf, Gorys. 1991 Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa


Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Leech, Geoffrey. 2003. Semantik. Yogyakart: Pustaka Pelajar.

Mills, Sara. 1995. Feminist Stylistics. London and New York: Routledge.

Musthafa, Bachrudin. 2008. Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran.
Bandung: UPI.

Natawidjaja, P. Suparman. 1986. Apresiasi Stilistika. Yogyakarta: Intermasa.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press

Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. “Stilistika”. Makalah Penataran Sastra di Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa.

Pranawa, Erry. 2005. Analisis Stilistika Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B.
Mangunwijaya (Tesis). Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistik : Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Yogyakarta : Pustaka Belajar.

Sangidu. 2004. Penelitian Sastra Pendekatan Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta :
unit Penerbitan Asia Barat.
Subroto, Edi. 1996. Konsep Leksem dan Upaya Pembaharuan Penyusunan Kamus dalam
bahasa Indonesia dalam PIBSI XI. Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah.

Mulyana, Slamet. 1956. Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Budaya. Bandung: Ganaco.

Scott, A.F. 1980. Curent Literary Terms. A Consise Dictionary. London: The Macmillan
Press Ltd.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest. 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.

Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif Yogyakarta: PT. Hanindita Graha
Widya.

Tuloli, Nani. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo: Nurul Jannah.

Verdonk, Peter. 2002. Stylistics. New York: Oxford University Press.

Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Yusuf, Suhendra. 1995. Leksikon Sastra. Bandung: CV. Mandar Jaya.

Zulfahnur, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.

Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.

Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional.
Lampiran Cerpen Penabuh Thekthek karya Santi Almufaroh

EMBUN meluruh riuh. Lelaki bermata teduh itu masih menabuh thethek. Langkahnya patah
patah. Kampungnya, Ngethuk, seperti mati. Tidak ada tetabuhan thethek yang saling
menyahut. Apalagi, suara orang mengaji. Tabuhannya semakin ia perkeras. Suaranya serak,
tapi cukup bising untuk membangunkan orang-orang di setiap rumah yang ia lewati.

Ia hanya mengenakan kaus oblong lusuh dan celana kolor hitam. Sarung ia serampangkan di
leher untuk mengurangi dingin. Udaranya begitu beda. Dinginnya keterlaluan. Angin
menyisir hidungnya, memaksanya untuk setiap saat bersin.

Langkahnya kian lamban. Telah setengah kampung ia kelilingi. Belum ada lampu rumah
yang menyala. Tiga tahun silam listrik memasuki kampungnya. Kini, ia tidak perlu kerepotan
lagi. Menabuh thethek dengan memegang obor. Suasana seperti siang. Begitu terang. Karena
listrik.

Dulu, thethek menjadi kegiatan favorit di kampungnya. Dari anak kecil sampai orang tua
sekali pun berombongan untuk berthethek. Tidak jarang satu rombongan bertemu rombongan
yang lain. Mereka berteriak riang untuk membangunkan warga. Saling memantikkan obor.
Menabuh drum, kentungan, atau apa saja yang bisa menimbulkan suara keras. Tapi, itu dulu.

Lelaki itu berwajah surya. Teduh hati saya memandangnya. Saya sering mengintipnya di
balik jendela rumah. Telah tiga Ramadhan ini saya mengaguminya. Saya mengandaikan
untuk ikut berkeliling. Menabuh thethek. Kedinginan dan kecapaian. Saya yakin, suatu saat
nanti saya bisa ikut lelaki itu.

Dulu, waktu ibu masih muda, lelaki itu pernah menjadi kepala kampung. Tapi, ia
menyudahinya karena usianya menua. Ia memilih tinggal di pojok kampung tepat di belakang
surau. Istrinya meninggal terbacok lima belas tahun silam. Saat ada penggarongan di rumah
kepala kampung yang baru, ia sendirian. Beberapa kambing Jawa menemani di gubuknya.
Peninggalan istri tercinta.

Lelaki itu tampak kecapaian. Ia beristirahat di amben di ruang depan. Sejenak. Sebentar lagi
imsak. Tadi ia mendapat sebungkus nasi dan sepotong ayam dari salah satu rumah yang ia
lewati. Kebetulan habis ada kenduri katanya. Alhamdulillah, ia tidak usah liwet untuk makan
sahur.

Tembakau yang barusan dilinting, ia hisap pelan-pelan. Tampak begitu nikmat. Seakan
seluruh nikmat ada di tembakau itu. Karena tembakau itu memang hasilnya. Hasil payahnya
bertahun-tahun berkebun. Bangga dia.

Seperti biasa, hanya ia yang shalat di surau depan rumahnya. Ia tidak tahu, apa orang-orang
kampung shalat di masjid megah yang baru selesai dibangun di depan rumah kepala kampung
atau shalat di rumah masing-masing, atau bahkan tidak shalat. Ia yakin suara azannya masih
bisa didengar orang seluruh kampung walau dengan suara serak dan toa lapuk. Tapi tak apa,
ia senang melakoninya.

***

Saya mau ikut lelaki itu berkeliling kampung menabuh thethek. Membangunkan orang sahur.
Tapi, saya juga takut kalau ia marah. Terlebih dengan penampilan saya. Saya juga sebal
dengan ibu. Ia selalu menjepitkan serbet makan dengan peniti di baju saya. Katanya untuk
mengelap liur saya jika menetes.

Ah, ibu, memangnya saya masih seperti anak kecil apa? Saya sudah besar kok. Ibu selalu
menyuapi saya. Melarang saya merangkak keluar kamar. Karena di kamar saya telah ada
benda, kotak ajaib warna. Ada ikan, ayam, kupu-kupu, bahkan orang sebesar ibu pun bisa
masuk ke dalam kotak ajaib itu. Ia disuruh ibu menemani saya. Mungkin agar saya semakin
betah dengan kamar saya yang apek.

Tapi, saya nekat. Harus ikut lelaki itu. Saya suka memandanginya. Dengan merangkak-
rangkak saya keluar kamar. Saya tahu caranya membuka kunci pintu. Telah saya pelajari
diam-diam saat ibu mengunci pintu kamar saya. Saya merangkak pelan-pelan, takut ketahuan
ibu. Liur saya menetes di lantai. Saya tidak sempat mengelapnya.

Suara thetheknya terdengar. Sebentar lagi sampai di sini. Saya merangkak ke jalan. Sakit
rasanya telapak tangan dan lutut saya terkena jalan yang baru diaspal. Tak apalah saya tunggu
dia di sini.

“A’a… au… iuu….”

“Apa anak manis?” ia mendekati saya. Menghentikan tabuhannya.

“Au iuuu….” tangan saya kibas-kibaskan agar ia mengerti.

“Mau ikut maksudnya?”

Saya mengangguk malu. Dan, ia juga mengangguk.

“Kau kugendong saja, takut tangan dan kakimu terluka, bagaimana?”

Saya mengangguk lagi. Meringis menahan sakit, yang penting bisa ikut dia. Mungkin ia agak
susah, menggendong sambil menabuh. Mungkin saya terlalu berat untuknya. Ia tidak tega
jika membiarkan saya merangkak-rangkak mengikutinya.
Saya diajak ke gubuknya. Ia makan sahur, saya juga ikut. Dengan lalap daun lima jari seluas
telapak tangan dan sambal yang baunya mirip bau ayah. Pedas. Tidak pernah saya temukan
makanan seperti itu di rumah.

Lalu ia ke surau. Baru kali ini saya melihat surau. Ia berazan dan shalat. Ia juga mengaji
lama. Lelaki tua itu memang teduh. Saya takjub. Ah, saya sebal. Liur saya menetes lagi.
Mengganggu.

“Namamu siapa, Nak?” tanyanya ramah.

“U… hi….”

“Dudi?”

Saya menggeleng.

“Rudi?”

Saya menggeleng lagi. Memang bukan itu nama saya.

“Lalu siapa? Budi?”

Saya mengangguk riang. Ibu selalu memanggil saya Budi, anakku sayang. Tapi, ayah tidak
pernah memanggil saya Budi. Ia selalu memanggil saya Idiot. Kadang membentak-bentak.
Entahlah, saya juga tidak tahu idiot itu apa.

“Kamu boleh memanggil saya Bapak.”

“A-ak?”

“Ya ya, boleh seperti itu. Apa kau bisa mengaji.”

Saya menggeleng entah yang ke berapa kali.

“Nanti kuajari mengaji juga shalat. Sekarang kau tidur dulu, bapak mau ke kebun.”

Ia menyelimuti saya dengan jarik kumal. Bukan dengan selimut tebal seperti di rumah. Ibu
sedang apa ya, dia mencari saya apa tidak? Biarlah, daripada di rumah saya dibentak-bentak
ayah, lebih baik saya di sini.

***

Lelaki tua yang bermata teduh itu membiarkan saya tinggal di gubuknya. Sekarang saya
memanggilnya bapak. Ia senang ada kawan untuknya. Saya diajari mengaji alif ba ta. Melihat
tulisan-tulisan yang melengkung lucu. Namanya huruf hijaiyah. Saya belum lancar
membacanya.

Ia juga mengajari saya tentang shalat, di mana arah kiblat, juga azan. Saya sering-sering
salah, tapi bapak tua tidak pernah membentak seperti ayah. Ia hanya tersenyum dan mengelus
kepala saya. Saya menyukai senyumnya.
Saya tidak bisa berdiri. Kaki saya terlampau kecil. Saya hanya bisa duduk dan merangkak.
Bapak tua masih tetap menggendong saya untuk berkeliling menabuh thethek.
Membangunkan orang-orang sahur. Kadang saya yang menabuhnya. Bapak tua juga ikut
senang jika melihat saya tertawa, yang mengakibatkan liur saya semakin deras. Kadang
menetes di bajunya. Ia tidak juga marah, hanya tersenyum dan mengelapnya.

Setiap melewati rumah saya, saya selalu berteriak memanggil ibu. Tapi, tidak ada sahutan
dari dalam. Saya rindu ibu. Di gubuk tidak ada ibu, juga tidak ada kotak warna ajaib. Ibu
tidak mencari saya.

***

Bapak tua menyuruh saya latihan azan lagi. Walaupun sudah bisa sedikit-sedikit, suara saya
masih cadel. Liur saya menyisir lantai.

Allahu akbal allahu akbal

Asyhadualaaillahaillah

Asyhaduannamuhammad

Allosulullah

Khayya’alasholaa

Khayya’alalfalaa

Allahu akbal

Laailaahaillallah ….

Bapak tua menangis dan memeluk saya. Saya takut. Setiap ayah membentak pasti ibu
menangis dan memeluk saya. Saya tidak berani melihat wajah bapak tua. Saya tidak ingin
jika wajah bapak tua seperti wajah ayah saya. Mata ayah saya merah dan melotot. Seperti
beruk yang ada di kotak warna ajaib saya. Saya benar-benar takut.

Ia tersenyum teduh. Saya menangis.

***

Saya dilatih mengucapkan kalimat syahadat. Kata bapak tua, kalimat syahadat diucapkan
untuk masuk agama Islam. Saya memang sudah Islam sejak lahir karena ayah dan ibu saya
Islam (saya pernah melihat ibu shalat). Tapi, baru sekarang saya mengucapkan kalimat
syahadat.

Kata bapak tua, saya tidak idiot. Saya anak pintar. Anaknya yang pintar. Bapak tua bangga
punya anak seperti saya. Saya juga bangga punya bapak, bapak tua.

Malam ini kami tidak menabuh thethek lagi. Ini malam takbiran, malam Lebaran. Besok
Lebaran. Listrik di gubuk bapak matikan. Kami menyalakan obor sebagai gantinya. Bapak
tua memasangnya di pojok-pojok gubuk. Bapak tua membelikan saya baju, celana, dan serbet
baru. Saya gembira.

Kami bertakbir di surau. Hanya ada kami berdua. Kampung kami sepi. Orang-orang
kampung pergi ke alun-alun kota kecamatan. Katanya bertakbir di sana, sambil menyalakan
kembang api. Saya juga ingin melihat kembang api. Katanya bagus. Bapak tua tidak
membelikan saya kembang api. Uangnya kurang.

Bapak tua mengizinkan saya bertakbir memakai toa surau. Kegembiraan saya bertambah.
Saya bertakbir riang. Bapak tua juga senang. Ia tertidur sambil bersedekap menghadap kiblat.
Ia tersenyum. Wajahnya masih tetap teduh dan saya merasa damai memandangnya. Harum
tubuhnya menguar ke udara. Menyisir seluruh ruangan hingga menggantung di hidung saya.
(*)

Pandean Lamper, 070811

Anda mungkin juga menyukai