Oleh
Dika Redana
NIM 34101400174
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
a. Pembaca dapat mengetahui diksi yang terkandung pada cerpen penabuh thethek
karya Santi Almufaroh.
b. Pembaca dapat mengetahui pengaruh penggunaan bahasa oleh pengarang dari segi
penggunaan bahasa daerah, asing dan sinonim pada cerpen penabuh thethek karya
Santi Almufaroh.
BAB II
KAJIAN TEORI
BAB IV
PEMBAHASAN
“Nanti kuajari mengaji juga shalat. Sekarang kau tidur dulu, bapak mau ke kebun.”
“Ia hanya mengenakan kaus oblong lusuh dan celana kolor hitam.”
Kata dia menjadi ia, dan tidak menjadi tak pada kutipan di atas di maksudkan
untuk memperoleh efek bunyi sehingga serasi dengan kata-kata di belakangnya.
Dimikian pula dengan kata yang menghilangkan imbuhan dalam kata terkadang
menjadi kadang justru menghidupkan suasana. Seperti kutipan di bawah ini :
“Kadang membentak-bentak. Entahlah, saya juga tidak tahu idiot itu apa.”
“Dari anak kecil sampai orang tua sekali pun berombongan untuk berthethek.”
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkarkan uraian diatas, pada cerpen Penabuh Thethek karya Santi
Almufaroh terdapat penggunaan bahasa asing, bahasa daerah, pemanfaatan sinonim,
pemanfaatan bentuk ulang, pemendekan kata, serta penyimpangan bentuk dasar
4.2 Saran
Sebaiknya pembaca jangan puas terhadap makalah ini saja, namun pembaca juga
harus menambah pengetahuannya lagi tentang materi Analisis Stilistika dalam cerpen
Penabuh Thethek karya Santi Almufaroh dengan mencari buku-buku bacaan lain, atau
informasi dari internet. Sehingga wawasan pembaca tentang materi ini akan semakin
bertambah.
Dari beberapa penjelasan dan isi makalah sederhana ini yang membahas tentang
analisis stilistika yang terdapat cerpen Penabuh Thethek karya Santi Almufaroh tidak
terlepas dari rangkaian kalimat dan ejaan penulisnya. Saya menyadari bahwa masih jauh
dari kesempurnaan seperti yang diiharapkan oleh pembaca dan pada khususnya dosen
pengampu mata kuiah ini. Oleh karena itu saya selaku penyusun mengharapkan kepada
para pembaca atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat
konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Suminto Sayuti. 2000. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta; Gama Media.
Keraf, Gorys. 1991 Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Mills, Sara. 1995. Feminist Stylistics. London and New York: Routledge.
Musthafa, Bachrudin. 2008. Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran.
Bandung: UPI.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press
Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. “Stilistika”. Makalah Penataran Sastra di Pusat Pembinaan
Pranawa, Erry. 2005. Analisis Stilistika Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B.
Mangunwijaya (Tesis). Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistik : Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra Pendekatan Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta :
unit Penerbitan Asia Barat.
Subroto, Edi. 1996. Konsep Leksem dan Upaya Pembaharuan Penyusunan Kamus dalam
bahasa Indonesia dalam PIBSI XI. Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah.
Mulyana, Slamet. 1956. Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Budaya. Bandung: Ganaco.
Scott, A.F. 1980. Curent Literary Terms. A Consise Dictionary. London: The Macmillan
Press Ltd.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest. 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif Yogyakarta: PT. Hanindita Graha
Widya.
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional.
Lampiran Cerpen Penabuh Thekthek karya Santi Almufaroh
EMBUN meluruh riuh. Lelaki bermata teduh itu masih menabuh thethek. Langkahnya patah
patah. Kampungnya, Ngethuk, seperti mati. Tidak ada tetabuhan thethek yang saling
menyahut. Apalagi, suara orang mengaji. Tabuhannya semakin ia perkeras. Suaranya serak,
tapi cukup bising untuk membangunkan orang-orang di setiap rumah yang ia lewati.
Ia hanya mengenakan kaus oblong lusuh dan celana kolor hitam. Sarung ia serampangkan di
leher untuk mengurangi dingin. Udaranya begitu beda. Dinginnya keterlaluan. Angin
menyisir hidungnya, memaksanya untuk setiap saat bersin.
Langkahnya kian lamban. Telah setengah kampung ia kelilingi. Belum ada lampu rumah
yang menyala. Tiga tahun silam listrik memasuki kampungnya. Kini, ia tidak perlu kerepotan
lagi. Menabuh thethek dengan memegang obor. Suasana seperti siang. Begitu terang. Karena
listrik.
Dulu, thethek menjadi kegiatan favorit di kampungnya. Dari anak kecil sampai orang tua
sekali pun berombongan untuk berthethek. Tidak jarang satu rombongan bertemu rombongan
yang lain. Mereka berteriak riang untuk membangunkan warga. Saling memantikkan obor.
Menabuh drum, kentungan, atau apa saja yang bisa menimbulkan suara keras. Tapi, itu dulu.
Lelaki itu berwajah surya. Teduh hati saya memandangnya. Saya sering mengintipnya di
balik jendela rumah. Telah tiga Ramadhan ini saya mengaguminya. Saya mengandaikan
untuk ikut berkeliling. Menabuh thethek. Kedinginan dan kecapaian. Saya yakin, suatu saat
nanti saya bisa ikut lelaki itu.
Dulu, waktu ibu masih muda, lelaki itu pernah menjadi kepala kampung. Tapi, ia
menyudahinya karena usianya menua. Ia memilih tinggal di pojok kampung tepat di belakang
surau. Istrinya meninggal terbacok lima belas tahun silam. Saat ada penggarongan di rumah
kepala kampung yang baru, ia sendirian. Beberapa kambing Jawa menemani di gubuknya.
Peninggalan istri tercinta.
Lelaki itu tampak kecapaian. Ia beristirahat di amben di ruang depan. Sejenak. Sebentar lagi
imsak. Tadi ia mendapat sebungkus nasi dan sepotong ayam dari salah satu rumah yang ia
lewati. Kebetulan habis ada kenduri katanya. Alhamdulillah, ia tidak usah liwet untuk makan
sahur.
Tembakau yang barusan dilinting, ia hisap pelan-pelan. Tampak begitu nikmat. Seakan
seluruh nikmat ada di tembakau itu. Karena tembakau itu memang hasilnya. Hasil payahnya
bertahun-tahun berkebun. Bangga dia.
Seperti biasa, hanya ia yang shalat di surau depan rumahnya. Ia tidak tahu, apa orang-orang
kampung shalat di masjid megah yang baru selesai dibangun di depan rumah kepala kampung
atau shalat di rumah masing-masing, atau bahkan tidak shalat. Ia yakin suara azannya masih
bisa didengar orang seluruh kampung walau dengan suara serak dan toa lapuk. Tapi tak apa,
ia senang melakoninya.
***
Saya mau ikut lelaki itu berkeliling kampung menabuh thethek. Membangunkan orang sahur.
Tapi, saya juga takut kalau ia marah. Terlebih dengan penampilan saya. Saya juga sebal
dengan ibu. Ia selalu menjepitkan serbet makan dengan peniti di baju saya. Katanya untuk
mengelap liur saya jika menetes.
Ah, ibu, memangnya saya masih seperti anak kecil apa? Saya sudah besar kok. Ibu selalu
menyuapi saya. Melarang saya merangkak keluar kamar. Karena di kamar saya telah ada
benda, kotak ajaib warna. Ada ikan, ayam, kupu-kupu, bahkan orang sebesar ibu pun bisa
masuk ke dalam kotak ajaib itu. Ia disuruh ibu menemani saya. Mungkin agar saya semakin
betah dengan kamar saya yang apek.
Tapi, saya nekat. Harus ikut lelaki itu. Saya suka memandanginya. Dengan merangkak-
rangkak saya keluar kamar. Saya tahu caranya membuka kunci pintu. Telah saya pelajari
diam-diam saat ibu mengunci pintu kamar saya. Saya merangkak pelan-pelan, takut ketahuan
ibu. Liur saya menetes di lantai. Saya tidak sempat mengelapnya.
Suara thetheknya terdengar. Sebentar lagi sampai di sini. Saya merangkak ke jalan. Sakit
rasanya telapak tangan dan lutut saya terkena jalan yang baru diaspal. Tak apalah saya tunggu
dia di sini.
Saya mengangguk lagi. Meringis menahan sakit, yang penting bisa ikut dia. Mungkin ia agak
susah, menggendong sambil menabuh. Mungkin saya terlalu berat untuknya. Ia tidak tega
jika membiarkan saya merangkak-rangkak mengikutinya.
Saya diajak ke gubuknya. Ia makan sahur, saya juga ikut. Dengan lalap daun lima jari seluas
telapak tangan dan sambal yang baunya mirip bau ayah. Pedas. Tidak pernah saya temukan
makanan seperti itu di rumah.
Lalu ia ke surau. Baru kali ini saya melihat surau. Ia berazan dan shalat. Ia juga mengaji
lama. Lelaki tua itu memang teduh. Saya takjub. Ah, saya sebal. Liur saya menetes lagi.
Mengganggu.
“U… hi….”
“Dudi?”
Saya menggeleng.
“Rudi?”
Saya mengangguk riang. Ibu selalu memanggil saya Budi, anakku sayang. Tapi, ayah tidak
pernah memanggil saya Budi. Ia selalu memanggil saya Idiot. Kadang membentak-bentak.
Entahlah, saya juga tidak tahu idiot itu apa.
“A-ak?”
“Nanti kuajari mengaji juga shalat. Sekarang kau tidur dulu, bapak mau ke kebun.”
Ia menyelimuti saya dengan jarik kumal. Bukan dengan selimut tebal seperti di rumah. Ibu
sedang apa ya, dia mencari saya apa tidak? Biarlah, daripada di rumah saya dibentak-bentak
ayah, lebih baik saya di sini.
***
Lelaki tua yang bermata teduh itu membiarkan saya tinggal di gubuknya. Sekarang saya
memanggilnya bapak. Ia senang ada kawan untuknya. Saya diajari mengaji alif ba ta. Melihat
tulisan-tulisan yang melengkung lucu. Namanya huruf hijaiyah. Saya belum lancar
membacanya.
Ia juga mengajari saya tentang shalat, di mana arah kiblat, juga azan. Saya sering-sering
salah, tapi bapak tua tidak pernah membentak seperti ayah. Ia hanya tersenyum dan mengelus
kepala saya. Saya menyukai senyumnya.
Saya tidak bisa berdiri. Kaki saya terlampau kecil. Saya hanya bisa duduk dan merangkak.
Bapak tua masih tetap menggendong saya untuk berkeliling menabuh thethek.
Membangunkan orang-orang sahur. Kadang saya yang menabuhnya. Bapak tua juga ikut
senang jika melihat saya tertawa, yang mengakibatkan liur saya semakin deras. Kadang
menetes di bajunya. Ia tidak juga marah, hanya tersenyum dan mengelapnya.
Setiap melewati rumah saya, saya selalu berteriak memanggil ibu. Tapi, tidak ada sahutan
dari dalam. Saya rindu ibu. Di gubuk tidak ada ibu, juga tidak ada kotak warna ajaib. Ibu
tidak mencari saya.
***
Bapak tua menyuruh saya latihan azan lagi. Walaupun sudah bisa sedikit-sedikit, suara saya
masih cadel. Liur saya menyisir lantai.
Asyhadualaaillahaillah
Asyhaduannamuhammad
Allosulullah
Khayya’alasholaa
Khayya’alalfalaa
Allahu akbal
Laailaahaillallah ….
Bapak tua menangis dan memeluk saya. Saya takut. Setiap ayah membentak pasti ibu
menangis dan memeluk saya. Saya tidak berani melihat wajah bapak tua. Saya tidak ingin
jika wajah bapak tua seperti wajah ayah saya. Mata ayah saya merah dan melotot. Seperti
beruk yang ada di kotak warna ajaib saya. Saya benar-benar takut.
***
Saya dilatih mengucapkan kalimat syahadat. Kata bapak tua, kalimat syahadat diucapkan
untuk masuk agama Islam. Saya memang sudah Islam sejak lahir karena ayah dan ibu saya
Islam (saya pernah melihat ibu shalat). Tapi, baru sekarang saya mengucapkan kalimat
syahadat.
Kata bapak tua, saya tidak idiot. Saya anak pintar. Anaknya yang pintar. Bapak tua bangga
punya anak seperti saya. Saya juga bangga punya bapak, bapak tua.
Malam ini kami tidak menabuh thethek lagi. Ini malam takbiran, malam Lebaran. Besok
Lebaran. Listrik di gubuk bapak matikan. Kami menyalakan obor sebagai gantinya. Bapak
tua memasangnya di pojok-pojok gubuk. Bapak tua membelikan saya baju, celana, dan serbet
baru. Saya gembira.
Kami bertakbir di surau. Hanya ada kami berdua. Kampung kami sepi. Orang-orang
kampung pergi ke alun-alun kota kecamatan. Katanya bertakbir di sana, sambil menyalakan
kembang api. Saya juga ingin melihat kembang api. Katanya bagus. Bapak tua tidak
membelikan saya kembang api. Uangnya kurang.
Bapak tua mengizinkan saya bertakbir memakai toa surau. Kegembiraan saya bertambah.
Saya bertakbir riang. Bapak tua juga senang. Ia tertidur sambil bersedekap menghadap kiblat.
Ia tersenyum. Wajahnya masih tetap teduh dan saya merasa damai memandangnya. Harum
tubuhnya menguar ke udara. Menyisir seluruh ruangan hingga menggantung di hidung saya.
(*)