Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar belakang Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang utama. Dengan bahasa kita dapat berkomunikasi dengan sesama dengan cara yang hamper tanpa batas. Kita dapat mengutarakan keinginan kepada orang lain sehingga orang lain itu dapat mengetahui keinginan kita. Kita dapat menjelaskan ide, gagasan, pikiran kepada orang lain sehingga orang lain itu memahami penjelasan kita. Demikianlah kita dapat saling mencurahkan perasaan, dapat saling memahami Peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi pada kebahasaan sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang ada di dalam sosiolinguistik disebut bingualisme, seperti masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lainnya, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhungan dengan masyarakat lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan akan tetep akan menjadi masyarakat tutur yang monolingual. Sebaliknya masyarakat tutur yang terbuka, tentu akan mengalami apa yang disebut dengan kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya.Dan kita akan melihat pemahaman ini yang akan dibahas melalui sosiolinguistik yang terdapat pada subnya yaitu Bilingualisme.

B. Rumusan Masalah Pengertian bilingualism Masalah bahasa dalam Bilingualisme Pembagian kedwibahasaan berdasarkan Tipologi

C. Tujuan Masalah Agar masiswa FKIP jurusan bahasa dan sastra indonesaia dapat mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan BILINGUALISME.bagaimana kedudukan bilingialisme,kapan digunakannya bilingulisme,serta bagaimana pengaruh bilingualisme tersebut.

BAB II BILINGUALISME

1. Pengertian Bilingualisme
Istilah bilingulisme (inggris; bilingualism) dalam babasa Indonesia disebut juga kedwibasahaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang di maksud dengan bilingualism itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bajasa pertamanya (disingkat B 1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan untuk menggunakan kedua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia di sebut juga kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebihi dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich, ia menyebutkan kedwibahasaan sebagai The practice of alternately using two language, yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut. Hal di atas tidak sejalan dengan pengertian bilingualisme menurut Bloomfield (Chaer, 2004:85) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jika melihat batasan bilingualisme yang dipaparkan oleh Bloomfield, seseorang dapat disebut sebagai bilingual apabila mampu menggunakan B1 (bahasa pertama atau bahasa ibu) dan B2 (bahasa kedua) dengan sama baiknya. Namun, permasalahannya bagaimana cara mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap penguasaan kedua bahasa yang digunakannya? Selanjutnya, yang menjadi permasalahan adalah mungkinkah seseorang dapat menggunakan B2-nya dengan kualitas yang sama baik dengan B1-nya. Apabila ditemui penutur yang mampu menguasai B2-nya sama baik dengan B1-nya, maka penutur tersebut tentunya mempunyai kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menggunakan kedua bahasa tersebut.

Selain kedua pengertian menurut dua ahli di atas, ada juga Diebold (Chaer, 2004:86) yang menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat awal (incipient bilingualism). Menurut Diebold, bilingualisme tingkat awal ini yaitu bilingualisme yang dialami oleh orangorang, terutama oleh anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih sederhana dan dalam tingkat rendah. digunakan oleh orangorang adalah kedwibahasaan atau bilingualisme pada tingkat awal. Dalam kegiatan sehari-hari tentunya kita pun tanpa disadari hampir selalu melaksanakan bilingualisme pada tingkat awal ini. Namun, kebanyakan orang pada masa sekarang cenderung tidak menguasai kedua bahasa yang digunakannya dengan tepat. Selain itu, Chaer (2004:86) mengutip pendapat Lado bahwasanya bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya. Pendapat Lado tersebut rasanya mendukung pernyataan Diebold tentang incipient bilingualisme, karena Lado tidak menyebutkan sebagaimana Bloomfiled bahwa penguasaan seseorang yang menganut bilingualisme terhadap bahasa keduanya harus sama dengan bahasa pertama yang digunakan. Jika melihat pernyataan Diebold, benar kiranya apabila kedwibahasaan yang banyak Terlepas dari ada atau tidaknya pengetahuan seseorang mengenai sistem kedua bahasa yang digunakan, setidaknya penutur telah mengenal bahasa atau istilah-istilah bahasa yang digunakannya. Hal itu senada dengan Chaer (2004:84) yang mengemukakan, Untuk dapat menguasai dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Selanjutnya, Mackey dan Fishman (Chaer, 2004:87), menyatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Menurut Mackey dan Fishman, dalam membicarakan kedwibahasan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode, percampuran/campur kode, interferensi, dan integrasi. Pengertian bilingualisme menurut Mackey dan Fishman inilah yang dirasa sangat relevan. Bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam berbahasa atau berkomunikasi dengan orang lain.

2. Masalah-Masalah yang dibahas dalam Bilingualisme


Konsepumum bahwa bilingualism adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang biasa di bahas kalau orang mebicarakan bilingualism. Masalah-masalah itu adalah (lihat juga Dittmar 1976 : 170) : 1. Sejauhmana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik ) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualism ini? Apakah bahasa dalam

pengertian langue , atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek. 3. Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya?kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya? 4. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya. 5. Apakah bilingulisme itu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?

Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, sejauh mana penguasaan seseorang terhadap B2 (B1 tentunya dapat dikuasai denagn baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang bilingual, kita simak terlebih dahulu batasan-batasan mengenai bilingualisme yang di berikan oleh beberapa orang pakar. Bloomfield dalam bukunya yang terkenal language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Berkanaan dengan konsep bilingualisme dalam kaitannya dengan menggunakan B2, Diebold (1968 : 10) menyebutkan dadnya bilingualism pada tingkat awal (incipient bilingualism), yaitu bilingualism yang dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualism masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat diabaikan karna pada tahap inilah terletak dasar bilingualism selanjutnya. Dari pembicaraan diatas dapat di simpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan

dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Pertanyaan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingulisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana? Untuk menjawab pertanyaan kedua itu, baiklah terlebih dahulu kita telusuri pendapat para pakar. Di atas kita sudah mengutip pendapat Bloomfield mengenai bilingualisme, yaitu kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua buah bahasa secara sana baiknya. Untuk penggunakan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Dari pembicaraan diatas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa didalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue, Bloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah kode. Jadi yang dimaksud bahasa adalah kode, berarti bukan language tetapi parole yang berarti berbagai ragam atau dialek. Mackey (1962: 12) mengatakan bahwa bilingualisme adalah penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dengan penguasaan dalam tingkat yang sama. Jadi yang dimaksud bahasa adalah language. Weinrich (1968: 1) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Haugen (1968: 10) memasukkan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme. Rene Appel (1976: 176) mengatakan dua bahasa dalam bilingualisme ialah termasuk juga dua variasi bahasa. Jadi, yang dimaksud bahasa dalam bilingualisme itu sangat luas. Jika bahasa dalam pengertian language, seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan dialek Surabaya. Jika bahasa dalam pengertian dialek, maka hampir keseluruhan warga Indonesia adalah bilingual, kecuali masyarakat tutur yang anggotanya sedikit, letaknya terpencil dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa yang sama. Pertanyaan ketiga, mempermasalahkan kapan seorang penutur bilingual menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian; kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan puladia secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1 atau B2-nya. Pertanyaan mengenai kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1-nya atau B2-nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu didalam masyarakat tutrnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut.B1 pertama-tama dan terutama dapat

digunakan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur.jika B1 si penutur adalah bahasa Sunda, maka dia akan dan dapat menggunakan bahasa Sunda, tentunya untuk keadaan dan situasi yang memang dapat dilakukan dengan bahasa Sunda itu, seperti dalam percakapan sehari-hari didalam keluarga dan untuk topic pembicaraan yang biasa. Dengan kata lain, B1 digunakan dalam berinteraksi dengan masyarakat yang sama bahasanya dengan penutur tentunya dalam keadaan dan situasi tertentu, seperti dalam percakapan sehari-hari dan dalam topik pembicaraan biasa. Tapi dalam pembelajaran di sekolah-sekolah digunakan bahasa Indonesia yang merupakan B2. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan dan situasi sosial pembicaraan. Dalam hal ini hanya bahasa Indonesialah yang dapat digunakan, sebab bahasa Indonesia, yang juga menjadi B2 bagi guru dan murid-nurid itu, adalah bahasa yang diberi fungsi untuk digunakan dalam situasi resmi kenegaraan, seperti dalam proses belajar mengajar itu. Bagi seorang penutur bilingual yang B2-nya adalah bahasa Indonesia adalah agak beruntung sebab dia dapat menggunakan B2-nya itu, secara teoritis, kepada semua orang Indonesia. Tetepi bagi penutur bilingual yang B1-nya bahasa Sunda dan B2-nya bahasa Jawa hanya dapat menggunakan B2-nya itu kepada anggota masyarakat tutur bahasa Jawa. Dalam catatan sosiolungistik hanya didapati satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada. Masyrakat tutur di monteral merupakan msyarakat tutur bilingual dengan dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Prancis, yang dapat digunakan secara bebas, sebab tampaknya dalam masyarakat monteral itu tidak ada pembedaan fungsi kapan digunakan bahasa Inggris dan kapan pula digunakan bahasa Prancis. Oleh karena itu, dapat dikatakan masyarakat tutur bilingual di monteral itu dapat secara bebas menggunakan kedua bahasa tersebut. Bangsa Belgia yang mengakui adanya dua bahasa negara, yaitu bahasa Prancis dan bahasa Belanda ( dialek Vlam ) tidak dapat menggunakan kedua bahasa itu secara bebas seperti di Monteral, sebab kedua bahasa itu digunakan diwilayah yang berbeda : bahasa Prancis diwilayah Belgia selatan, sedangkan belanda diwilayah Belgia utara. Bahasa singapura yang mengakui mempunyai empat buah bahasa negara ( Melayu, Mandarin, Hindu, dan Inggris ) juga tidak menggunakan ke empat bahasa itu secara bebas, sebab masing-masing bahasa tersebut merupakan B1 bagi etnis tertentu. Maka dalam prakteknya bahasa Inggris lebih umum digunakan sebagai lingua franca antar etnis yang terdapat dinegara kecil itu. Denagn kata lian, penggunaan B1 dan B2 secara bebas itu hanya berlaku pada masyarakat tertentu tanpa harus memperhatikan lawan bicara, topik pembicaraan dan situasi sosial pembicaraan. Seperti di Montreal, Kanada yang merupakan masyarakat tutur bilingual dengan dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Perancis yang dapat digunakan secara bebas. Masalah keempat yang dipertanyakan diatas menyangkut masalah, sejauh mana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2nya, atau sebaliknya, B2nya dapat mempengaruhi B1nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahsa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya.sebelum ini, kita berasumsi bahwa penguasaan terhadap B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2 sebab B1 adalah

bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga; sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari, yakni setelah menguasai B1. Seberapa jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah tergantung kepada tingkat penguasaaannya terhadap B2. Penutur bilingual Sunda ( B1 ) Indonesia ( B2 ) yang kurang menguasai sistem fonologi bahasa Indonesia akan mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia/ kemana/, /kata/, dan /berapa/ menjadi/kemana/atau/kemana?/, /kata?/, dan? /berapa/. Kekurang fasihan seorang penutur bilingual terhadap B2, sehingga B2nya sering dipengaruhi oleh B1nya lazim terjadi pada para penutur yang sedang mempelajari B2 itu ( Nababan 1984:32 ). Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual mempengaruhi B1nya ? kemungkina itu aka nada kalau sipenutur bilingual itu dalan jangka waktu yang cukup lama lama tidak menggunakan B1nya, tetapi terus menerus menggunakan B2nya. Umpanya seorang penutur bilingual Indonesia ( B1 ) Inggris ( B2 ) untuk jangka waktu yang cukup lama tinggal dalam masyarakat tutur monolingual bahasa Inggris, dan tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan B1nya. Pada suatu waktu bila ia punya kesempatan untuk menggunakan B1nya, pasti B1nya akan sudah tercampur dengan B2nya, bahasa Inggris. Sejauh mana pengaruh bahasa Inggris ( B2 ) terhadap bahasa Indonesia ( B1 ) nya tergantung dari sisa kefasihannya dalam berbahasa Indonesia. Kalau dalam masyrakat Indonesia dewasa ini banyak penutur Indonesia dalam berbahasa Indonesia menelipkan kosakata bahasa Inggris, bukanlah karena penguasannya akan bahasa Inggris lebih baik, tetapi mungkin karena sebab kebutuhan, karena sebab sikap bahasa, atau karena sebab ingin bergengsi. Masalah kelima yang dipertanyakan diatas adalah apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan ataukah pada sekelompok atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur ? pertanyaan ini menyangkut bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya didalam masyrakat tutur bilingual. Mackey ( 1968:554-555 ) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Bilingualisme bukan cirri kode, melainkan cirri eksfresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari Langue, melainkan bagian dari parole, Mackey juga mengatakan kalau bahasa itu milik kelompok atau milik bersama masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda, misalkan masyarakat tutur B1 dan masyarakat tutur B2. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyrakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompak orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas : mungkin juga meliputi satu negara. Umpanya dinegara Belgia, seperti sudah disebutkan dimuka, digunakan dua bahasa, Belanda dan Prancis, sebagai bahasa resmi negara. Begitu juga Firlandia, dimana digunakan bahasa Find dan bahasa Swedia secara berdampingan dan bergantian dalam kehidupan dinegara itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Belgia dan Firlandia adalah dua buah negara yang bilingual.

Hanya masalahnya seperti dikatakan Wolf ( 1974:5 ), salah satu cirri bilingalisme digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan didalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus digunakan tergantung pada kemampuan sipembicara dan lawan bicaranya. Contohnya : yang diberikan Wolf adalah seperti terdapat di Monteral, Kanada. Disana bahasa Inggris dan Bahasa Prancis dugunakan secara berdampingan dan sejajar, dan hamper semua anggota masyarakat didaerah itu menguasai kedua bahasa itu dengan baik. Bilingualisme yang sungguh murni seperti yang tedapat di Monteral itu jarang ditemukan ditempat lain. Yang lazim adalah adanya perbedaan peranan untuk setiap bahasa. Artinya, setiap bahasa didalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsi masing-masing. Contohnya : Di Indonesia penutur bilingual bahasa Sunda ( B1 )- bahasa Indonesia ( B2 ), hanya bisa menggunakan bahasa Sundanya untuk percakapan dan bersifat kekeluargaan, dan tidak dapat menggunakannya untuk berbicara dalam siding DPR. Keadaan ini dalam masyarakat dimana adanya perbedaan penggunaan bahasa berdasarkan fungsi atau peranannya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan Diglosia. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bilingualisme adalah penggunaan, penguasaan atau pemahaman seorang penutur tentang dua bahasa sebagaimana pendapat masing-masing para ahli.

3. Pembagian kedwibahasanan berdasarkan tipologi kedwibahasawanan, sebagai berikut:


1. Kedwibahasaan Majemuk (compound

bilingualism)

Kedwibahasawaan majemuk yaitu kemampuan berbahasa yang mana penguasaan terhadap bahasa satunya lebih baik dari pada yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan dan kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri. 2. Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar yaitu penggunaan dan penguasaan dua bahasa sama-sama baik. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa. 3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks) Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks) yaitu dalam penggunaan B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Kelompok B1

Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilanganB1-nya. Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kedwibahasaan antara lain, sebagai berikut: 1. Baeten Beardsmore (1985:22) Baeten Beardsmore (1985:22) menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2. 2. Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5) Tipologi bahasa yang mana lebih didasarkan pada status bahasa yang berlaku dalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga bagian, yaitu: Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)

Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism) yaitu situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya. Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)

Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism) yaitu pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)

Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu. 3. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985) Berdasarkan tipologi bahasa kedwibahasaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu penggunaan dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism) yaitu penggunaan dua bahasa dalam aspek mendengar dan berbicara saja.

BAB III KESEMPULAN


Bilingualisme adalah digunakannnya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran atau alih kode, percampuan atau campur kode, interferensi, dan integrasi. Masalah tingkat ini adalah masalah yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap bahasa yang dipakainya. Masalah fungsi ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa. Pertukaran atau alih kode biasanya selalu berkaitan dengan percampuran atau campur kode. Campur kode biasanya terjadi dalam situasi-situasi yang santai atau nonformal. Dalam situasi berbahasa yang formal jarang terjadi campur kode, kalaupun terjadi campur kode itu hanya sebagai akibat tidak adanya padanan yang tepat dalam bahasa yang sedang digunakan. Interferensi dan integrasi merupakan bagian dari sosiolinguistik yang terjadi akibat adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual. Interferensi dan integrasi timbul sebagai akibat kontak bahasa, yakni pemakaian satu bahasa di dalam bahasa sasaran atau kebalikannya yang terjadi pada seorang penutur bilingual. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena berkaitan erat dengan alih kode dan campur kode. Dalam peristiwa interferensi digunakan unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu kesalahan dalam penggunaan bahasa tulis maupun lisan yang terjadi pada suatu masyarakat bahasa, karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain. Sedangkan integrasi dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan jika tidak ada padanan kata dalam bahasa sasaran sehingga akhirnya menjadi perbendaharaan kata baru yang telah disesuaikan ejaan dan pelafalannya dengan bahasa sasarannya dan dianggap sebagai perbendaharaan kata baru. Kedudukan bahasa dengan language dalam bilingualismeBloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah kode. Jadi yang dimaksud bahasa adalah kode, berarti bukan language tetapi parole yang berarti berbagai ragam atau dialek.Mackey (1962: 12) mengatakan bahwa bilingualisme adalah penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dengan penguasaan dalam tingkat yang sama. Jadi yang dimaksud bahasa adalah language.Weinrich (1968: 1) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama.Haugen (1968: 10) memasukkan

penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme.Rene Appel (1976: 176) mengatakan dua bahasa dalam bilingualisme ialah termasuk juga dua variasi bahasa.Jadi, yang dimaksud bahasa dalam bilingualisme itu sangat luas. Jika bahasa dalam pengertian language, seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan dialek Surabaya. Jika bahasa dalam pengertian dialek, maka hampir keseluruhan warga Indonesia adalah bilingual, kecuali masyarakat tutur yang anggotanya sedikit, letaknya terpencil dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasanya. 1. Penggunaan B1 dan B2 secara bergantian dan penggunaan keduanya secara bebas B1 digunakan dalam berinteraksi dengan masyarakat yang sama bahasanya dengan penutur tentunya dalam keadaan dan situasi tertentu, seperti dalam percakapan sehari-hari dan dalam topik pembicaraan biasa. Tapi dalam pembelajaran di sekolah-sekolah digunakan bahasa Indonesia yang merupakan B2. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan dan situasi sosial pembicaraan.Sedangkan penggunaan B1 dan B2 secara bebas itu hanya berlaku pada masyarakat tertentu tanpa harus memperhatikan lawan bicara, topik pembicaraan dan situasi sosial pembicaraan. Seperti di Montreal, Kanada yang merupakan masyarakat tutur bilingual dengan dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Perancis yang dapat digunakan secara bebas. 2. Pengaruh B1 terhadap B2, atau sebaliknya Hal ini berkaitan dengan kefasihan dalam kefasihan dan kesempatan dalam penggunaan kedua bahasa itu.Asumsi awal bahwa penguasaan B1 seorang bilingual lebih baik dari pada B2 karena B1 merupakan bahasa ibu yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga. sedangkan B2 merupakan bahasa yang baru dipelajari setelah menguasai B1 maka kemungkinan B1 mempengaruhi B2 nya. Seperti orang Indonesia akan lebih menguasai bahasa Indonesia (B1) dari pada bahasa Inggris (B2). Sedangkan B2 akan mempengaruhi B1 nya jika B1 tidak digunakan dalam waktu yang cukup lama tapi terus menerus menggunakan B2 nya, contoh orang Indonesia yang pindah ke Inggris dan telah lama tidak menggunakan bahasa Indonesia (B1) tapi bahasa Inggris (B2) dalam berkomunikasi maka orang tersebut akan lebih fasih dalam menggunakan B2-nya yaitu bahasa Inggris. 3. Pemberlakuan bilingualisme pada perseorangan dan kelompok masyarakat tutur Mackey mengatakan jika bahasa itu milik kelompok atau bersama, maka bilingualisme milik individu-individu penutur, sebab penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda, misalnya masyarakat tutur B1 dan B2.Oksaar (1972: 478) mengatakan bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu tapi juga milik kelompok, sebab penggunaannya tidak terbatas antara individu-individu saja melainkan sebagai alat komunikasi antarkelompok. Malah bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi saja tapi juga sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok (Chaer 1994). dan kelompok di sini tidak dibatasi dalam kelompok orang saja tapi juga berlaku dalam kelompok yang lebih luas seperti negara, seperti di Belgia digunakan dua bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa resmi negara.

DARTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta 2010: Rineka Cipta http://sungaibatinku.wordpress.com/2009/03/20/kedwibahasaan-dan-diglosia/15April 2012.

TUGAS SOSIOLINGUISTIK BILINGUALISME


D I S U S U N OLEH KELOMPOK II: HARI SETIAWAN 1002040373 MIRANDA WULAN SAHPUTRI 1002040002 SITI DAHLIA TANJUNG 1002040090 JUMINAH 1002040008 FERYANINGTIAS 1002040083 MEPTA LYA SAHFITRI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN BAHASA DAN SASRTA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA (UMSU) MEDAN 2012

Anda mungkin juga menyukai