Anda di halaman 1dari 8

STRATA NORMA ROMAN INGARDEN

DALAM ANALISIS SASTRA KONTEMPORER

Togi Lestari Manurung


Haries Pribady

Abstrak. Bentuk analisis puisi semakin berkembang akibat pemikiran para


ilmuwan-ilmuwan kesusastraan yang mengombinasikan berbagai kenyataan
sosial dengan bentuk karya sastra. Banyak pendekatan teknik analisis yang
dapat dipakai dalam menganalisis karya sastra, khususnya puisi. Di dalam
penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan semiotik yang
berfokus pada strata norma Roman Ingarden. Objek penelitian yang digunakan
adalah seluruh puisi yang terdapat pada kumpulan puisi Empat Kumpulan Sajak
karya WS Rendra. Dalam antolongi tersebut terdapat empat bab atau yang
disebut WS Rendra sebagai “sajak”. Secara keseluran terdapat 89 judul puisi
dalam buku Empat Kumpulan Sajak karya WS Rendra. Bagian-bagian yang
termasuk ke dalam analisis strata norma tersebut, yaitu lapis bunyi, lapis arti,
lapis objek, lapis dunia, dan lapis metafisis. Penelitian dilakukan menggunakan
motede deskriptif-kualitatif.

Kata kunci: puisi, Rendra, dan strata norma.

PENDAHULUAN

Puisi memperkenalkan suatu bentuk karya sastra yang menggunakan simbol


(semiotik) dalam upaya penyampaian suatu makna bahasa yang diinginkan oleh
penciptanya. Walaupun setiap karya sastra menggunakan berbagai simbol di
dalamnya, namun pada puisi simbol yang digunakan dapat memiliki banyak makna
sehingga dibutuhkan analisis untuk memeroleh pemaknaan optimal. Riffaterre (dalam
Pradopo, 1990: 12) menyatakan bahwa ada satu hal yang tetap dalam puisi, puisi itu
menyatakan sesuatu secara tidak langsung, yaitu menyatakan suatu hal dan berarti
yang lain. Pernyataan ini memperkuat bahwa simbol bahasa dalam puisi memiliki
perbedaan dengan karya sastra lainnya. Puisi itu simbol, artinya puisi tidak serta
merta menyampaikan maksud substansial melalui kalimat maupun kata yang
denotatif (bermakna sebenarnya), namun menggunakan bahasa yang konotatif
(bermakna tersirat) atau melalui berbagai kiasan sebagai lambang rasa. Hal inilah
yang menjadi landasan pemikiran para penikmat sastra bahwa puisi memiliki
kekhususan dan keunikan.
Sebagai karya sastra yang unik dan 1memiliki kekhususan, puisi terbentuk dari
berbagai bahasa yang kompleks, maka perlu dianalisis untuk memahaminya secara
penuh (Pradopo, 1990: 13). Jika demikian, perlu ada suatu standar khusus atau bentuk
analisis tertentu dalam melakukan pendalaman makna puisi. Beberapa bentuk analisis
puisi, yaitu struktural, semiotik, sosiologi, psikologi, feminis, studi sejarah, strata
norma, dan lain-lain. Bentuk analisis yang dipilih disesuaikan dengan tujuan
penganalisisan dan fokus analisis.
. Satu di antaranya adalah teknik analisis data strata (lapis) norma ala Roman
Ingarden atau sering disebut dengan pendekatan fenomenologis. Cara kerja teknik
analisis dimulai dari (1) lapis bunyi; (2) lapis arti; (3) lapis objek; (4) lapis dunia; dan
(5) lapis metafisis (Pradopo, 1990: 15). Dalam menganalisis puisi, analisis yang
bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberi
gambaran yang nyata dan tidak memuaskan (Wellek dan Warren, dalam Pradopo,
1990: 14). Kata dichotomis tidak ditemukan pada kosakata bahasa apa pun. Peneliti
mengintegrasikan arti dichotomis yang dimaksud oleh Pradopo ketika mengutip
pernyataan Wellek dan Warren dengan kata dichotomous yang artinya divided or
dividing into two sharply distinguished parts or classification (dibagi atau membagi
menjadi dua pokok bagian yang berbeda atau pengklasifikasian).
Hal ini memperjelas bahwa dalam melakukan analisis terhadap puisi tidak
hanya memerlukan penyataan bentuk dan isi puisi tersebut, melainkan perlu adanya
pendalaman pemaknaan dalam melakukan analisis. Analisis struktural perlu
didampingi oleh analisis lainnya, dalam hal ini adalah strata norma. Analisis strata
norma Roman Ingarden merupakan bentuk analisis puisi yang memperdalam
suatu makna karya sastra puisi berdasarkan norma-norma yang tercipta dari berbagai
pengalaman sosial. Dalam menganalisis puisi, suatu norma harus dipahami sebagai
norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan
bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan (Pradopo,
1990: 14).

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif dengan pendekatan strata norma Roman Ingarden. Pendekatan ini
membahas karya WS. Rendra berdasarkan lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis
dunia, dan lapis metafisis. Walaupun demikian, pendekatan lain akan diperlukan
dalam penelitian ini, yaitu pendekatan semiotik. Tujuannya adalah utnuk optimalisasi
makna puisi secara keseluruhan.

HASIL PENELITIAN
Data dalam penelitian ini adalah kata, baris, dan bait dalam setiap puisi Empat
Kumpulan Sajak yang mengandung pendeskripsian mengenai bunyi, arti, objek,
dunia, dan metafisis.Analisis dilakukan terhadap empat sajak, yaitu Sajak I Kakawin
Kawin, Sajak II Malam Stanza, Sajak III Nyanyian dari Jalanan, dan Sajak IV Sajak-
Sajak Dua Belas Perak. Sajak I terdiri dari dua subbab, yaitu Romansa (11 puisi) dan
Ke Altar dan Sesudahnya (9 puisi). Sajak II terdapat 29 puisi. Sajak III terdiri dari
lima subbab, yaitu Jakarta (4 puisi), Bunda (1 puisi), Lelaki (7 puisi), Nyanyian
Murni (5 puisi), dan Wanita (3 puisi). Sajak IV terdapat 20 puisi. Dengan demikian,
jumlah puisi yang dianalisis adalah 89 puisi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil analisis, strata norma dalam antologi puisi Empat
Kumpulan Sajak karya WS Rendra dibangun berdasarkan hal berikut.
1) Lapis Bunyi
Dalam puisi, ada beberapa bentuk bunyi yang tercakup. Bunyi-bunyi tersebut
yaitu eufoni, kakofoni, aliterasi, asonansi, onomatope, kiasan suara, lambang rasa,
sajak, metrum, dan ritme. Oleh sebab itu,
“Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar itu ialah rangkaian bunyi
yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Tetapi, suara itu bukan
hanya suara tak berarti. Suara yang sesuai dengan konvensi bahasa, disusun
sedemikian rupa hingga menimbulkan arti.” (Pradopo, 1990: 15)
Lebih tegasnya, “Bunyi-bunyi yang terdapat di dalam puisi tersusun
sedemikian rupa dengan mempertimbangkan kesesuaian makna yang dituju dengan
bunyi yang dipilih. Berbagai unsur bunyi yang terdapat pada puisi dibentuk menjadi
pola bunyi yang bersifat ‘istimewa’ dan ‘khusus’” (Pradopo, 1990: 16). Di lain pihak,
dalam sajak puisi terdapat berbagai suara suku kata, kata, dan kemudian terangkai
menjadi suara frasa dan suara kalimat.
Setiap pengarang (penyair) saat menciptakan suatu puisi, penyair tersebut
memerlukan kepiawaian dalam menentukan keindahan bunyi-bunyi, baik secara
disengaja maupun berdasarkan kemampuan mengolah bunyi yang indah secara
spontanitas. Sebab dengan bunyi-bunyi yang dilahirkan atau terdapat dalam puisi-
yang disebut efek puitis, akan memudahkan pembaca untuk memahami puisi, puisi
merupakan suatu luapan spontan dari perasaan-perasaan yang kuat (Wordswoth
dalam Budianta dkk, 2006: 40).
Namun yang perlu dicatat bahwa di dalam keteraturan terdapat
ketidakteraturan bunyi. Hal-hal yang dikatakan tidak teratur atau dipertentangkan
merupakan daya dalam meningkatkan keistimewaan tersendiri pada suatu karya
sastra. Sugihatuti (2009: 15) berpendapat bahwa “Keistimewaan-keistimewaan isi
adalah bukti dari sebuah karya sastra karena menjadi bukti dari apa yang dimaksud
pengarang”. Bunyi dalam suatu puisi juga merupakan suatu keistimewaan. Bunyi bisa
saja berubah pada bagian-bagian tertentu di dalam tubuh puisi. Akan tetapi,
perubahan karakter tersebut membentuk cerita atau perubahan emosional. Tiap-tiap
bunyi yang terbentuk menjadi puisi bergerak secara bebas, namun akan membentuk
pola bunyi yang bernilai seni dan memiliki keistimewaan. Horatius (dalam Budianta,
2006: 39) mensyaratkan dua hal bagi puisi, yaitu puisi harus indah dan menghibur
(dulce), namun pada saat yang sama puisi juga harus berguna dan mengajarkan
sesuatu (utile).
Vokal dan konsonan yang mendominasi puisi-puisi dalam Empat Kumpulan
Sajak, yaitu /a/, /e/, /h/, /i/, /k/, /m/, /n/, /o/, /p/, /r/, /s/, /t/, /u/, /y/, /ng/, dan /ny/.
Terdapat 20 puisi didominasi oleh bunyi eufoni, 64 puisi didominasi oleh bunyi
kakafoni, dan 5 puisi tidak didominasi oleh bunyi eufoni ataupun kakafoni. Perasaan
yang ditimbulkan dari adanya bunyi tersebut, yaitu (1) eufoni: halus, bahagia, mesra,
lembut, hikmat, kedamaian, ketenangan, manis, cinta kasih, kemerduan, keindahan,
kegirangan, dan kepercayadirian; (2) kakafoni: sedih, marah, tegang, berantakan,
tajam, sakit, sinis, kacau, perih, memilukan, sendu, haru, suram, gundah, gelisah, liar,
dan teriakan; (3) tambahan: ringan, tegas, berat, kekuatan, hasrat, yakin, emosional,
lancar, lantang, teratur, hentakan, bertenaga, dan penekanan. Empat Kumpulan Sajak
didominasi oleh bunyi kakafoni dengan perasaan sedih.
2) Lapis Makna

Hal lain yang juga akan dijadikan sebagai cara dalam proses interpretasi karya
sastra dalam hal strata norma lapis makna adalah adanya kepiawaian pembaca dalam
menghayati suatu karya sastra berdasarkan hal-hal yang pernah terlihat, terdengar,
terasa, dan ternilai. Berdasarkan hal tersebut, pembaca dapat menemukan makna
yang dimaksud oleh pengarang dalam suatu karya sastra. Perlu ada pengalaman
secara personal terhadap sejarah, latar belakang, lingkungan, dan ilmu tertentu dalam
menghayati makna puisi secara optimal. Seperti yang juga diungkapkan oleh
Budiman (2007:15) bahwa yang paling penting bukanlah benar atau tidaknya
pengalaman kita melainkan intens atau tidaknya penghayatan kita. Bukan
keseragaman yang kita cari tapi keotentikan pengalaman masing-masing.
Dapat dipahami bahwa dalam memaknai suatu karya sastra tidaklah hanya
memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang tinggi dan banyak, namun tingkat
penghayatan yang intens adalah faktor utama dalam mencapai pemaknaan yang
optimal tersebut. Pernyataan tersebut juga selaras dengan Hirsch yang mengatakan
bahwa “Kami mendapatkan tipe-tipe dari makna yang kami harapkan, karena hal
yang didapatkan adalah sesuatu yang sangat kuat terpengaruh oleh hal yang
diharapkan sebelumnya.” (“We found the types of meanings we expected to find,
because what we found was in fact powerfully influence by what we expected”)
(1966:76). Pernyataan Hirsch ini merupakan horizon pembaca dalam memberikan
makna terhadap karya sastra, puisi.
Pada lapis kedua ini, proses analisis dilakukan berdasarkan pemahaman kata-
kata yang terdapat di dalam pusi secara integratif. Proses analisis tidak bisa
berpatok ada suatu kata secara berurutan, namun dapat dilakukan bentuk-bentuk
analisis secara bersambung dan keseluruhan terhadap karya sastra. Namun kelemahan
analisis lapis makna ini (units of meaning) masih belum mengakomodasi proses
pendalaman pemahaman mengenai tanda-tanda bahasa yang terdapat di dalam puisi,
masih terbatas pada pengertian dan penghayatan pembaca secara leksikal dan empiris
umum. Oleh sebab itu, untuk mempertajam pemaknaan puisi perlu ada pendekatan
tambahan, pendekatan yang dimaksud adalah semiotik. Pendekatan semiotik akan
dipaparkan pada subbab lainnya.
Untuk menentukan makna puisi, tentu kata, frasa, dan kalimat adalah hal yang
utama. Namun, untuk mempermudah peneliti memahami puisi, peranan bunyi tidak
dapat diabaikan begitu saja. Betapa pentingnya peranan bunyi untuk menentukan
makna puisi. Mukarovsky (1977:18) menyampaikan bahwa “Komponen-komponen
bunyi bukanlah hanya sebuah sarana yang tampak melalui panca indera dari suatu
makna tapi juga memiliki arti kata secara natural dari kata-kata itu sendiri.”
(“’Sound’ components are not only a sensorily perceptible vehicle of meaning but
also have a semantic nature themselves”). Dalam mengetahui arti dari setiap unsur
bahasa yang terdapat pada puisi, perlu adanya pemahaman secara linguistik
maupun nonlinguistik yang sesuai dengan unsur bahasa yang diacu. “Konteks
linguistik atau nonlinguistik relevan untuk menetapkan arti ucapan dalam percakapan
biasa atau di dalam sebuah karya sastra hanya sepanjang konteks merupakan bukti
dari arti ucapan yang dimaksudkan pengarang” (Sugihatuti, 2009:16).
Pada bagian lapis makna, setiap hal yang dipilih dalam bahasa suatu puisi juga
memiliki nilai estetis. Nilai-nilai estetis itu merupakan satu unsur pembangun yang
sama demi tercapainya pemaknaan mendalam dalam puisi. Karena itulah “Efek
estetis sebagai sasaran dari ekspresi bahasa yang puitis” (Aesthetic effect is the goal
of poetic expression) (Mukarovsky, 1977: 4).Pada Empat Kumpulan Sajak terdapat
bahasa denotasi dan konotasi, bahasa kiasan, pencitraan, gaya bahasa dan sarana
retorika, dan faktor ketatabahasaan. Hal yang mendominasi, yaitu (1) kosakata
bertema alam; (2) diksi bersifat padat dan intens; (3) bahasa kiasan metafora; (4)
citraan penglihatan; (5) bahasa retorik paralelisme; dan (6) penyimpangan struktur
sintaksis. Perasaan yang mendominasi Empat Kumpulan Sajak adalah kesedihan.
3) Lapis Objek
Lapis ketiga ini ingin menerangkan bahwa di dalam puisi terdapat dunia yang
diciptakan sendiri oleh pengarang berdasarkan hal yang tentunya pernah terjadi atau
merupakan gambaran kehidupan manusia (mimesis). Setiap objek-objek dalam puisi
dijalin menjadi kesatuan cerita dan makna. Biasanya di dalam puisi ada alur yang
dibentuk sedemikian rupa untuk menunjukkan proses kejadian yang dimaksud
pengarang, namun tetap dengan ciri khas bahasa puisi. “Dalam karya sastra, yang
menjadi pusat perhatian adalah relasi antar tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan
objek yang ada di sekitarnya” (Faruk, 2005:17).
Di dalam puisi bisa saja ditemukan objek-objek yang disampaikan berulang
dan melebar. Hal tersebut dikarenakan tujuan tertentu pengarang yang menginginkan
penekanan pada objek tertentu di dalam puisi. Contohnya pada kutipan puisi, aku
akan masuk ke dalam hutan/ lari ke dalam hutan/ menangis ke dalam hutan
(Serenada Hitam, dalam Empat Kumpulan Sajak, hlm 15). Puisi tersebut sangat jelas
mengungkapkan adanya objek hutan dan Rendra melakukan pengulangan dalam
penyampaian latar tempat tersebut, walaupun hutan dimaknai sebagai suatu tanda dan
memiliki makna tertentu.
Objek dalam hal ini adalah istilah yang mewakili latar, pelaku, alur, dan dunia
pengarang. Latar yang dimaksud, yaitu tempat, waktu, dan suasana. Selain itu, pelaku
yang dimaksud adalah jenis kelamin dan status tertentu. Objek pembangun puisi
lainnya yaitu alur yang terdiri dari alur maju, mundur, dan campuran yang berkaitan
dengan cerita dalam puisi tertentu. Sedangkan dunia pengarang yang dimaksud
adalah kondisi pengarang saat itu ataupun pengalaman secara emosional dan pribadi
yang diamali oleh pengarang.Objek-objek yang terdapat pada Empat Kumpulan
Sajak, yaitu pelaku, latar, objek lain, dan dunia eksplisit. Hal yang ditemukan, yaitu
(1) WS Rendra sebagai pelaku utama; (2) latar yang sering muncul adalah kali, tubuh,
rumah, malam, dan langit; (3) objek tambahan yang sering muncul adalah daun,
mentari, pusaran, rumputan, tanah, dan arah; (4) dunia yang tersampaikan bersifat
padat dan intens.
4) Lapis Dunia
Dalam lapis dunia, proses penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi
berbagai fenomena kehidupan yang tersampaikan melalui seluruh unsur puisi.
Fenomena-fenomena kehidupan dalam puisi tersebut akan membentuk dunia yang
merupakan cerminan dari kehidupan nyata. Namun karya sastra tidaklah seperti
memindahkan suatu kehidupan nyata ke dalam karya sastra, cermin (mimesis) yang
dimaksud adalah fakta-fakta kehidupan yang dirasakan oleh setiap manusia
dituangkan ke dalam suatu karya sastra dengan melakukan penambahan imaji-imaji,
unsur-unsur keindahan, dan berbagai olahan bahasa lainnya. “Memang sastrawan
mengekspresikan pengalaman dan pahamnya yang menyeluruh tentang kehidupan,
tetapi jelas keliru kalau ia dianggap mengekspresikan kehidupan selengkap-
lengkapnya” (Damono, 1978:9).
Dunia yang secara implisit tersampaikan pada Empat Kumpulan Sajak, yaitu
(1) Kakawin Kawin: masa berpacaran WS Rendra dan Narti, masa lamaran, dan masa
pernikahan; (2) Malam Stanza: masa pernikahan, masa konflik pernikahan, masa
kejatuhan WS Rendra dalam hal percintaan; (3) Nyanyian dari Jalanan: masa
perenungan, masa kehidupan WS Rendra dan lingkungan sekitarnya, dan (4) Sajak-
Sajak Dua Belas Perak: penghargaan terhadap para sahabat WS Rendra dan masa
upaya memperbaiki hubungan pernikahannya.
5) Lapis Metafisis
Metafisis atau metafisika adalah “ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan”. Hal-hal yang tidak terlihat dan
berkaitan dengan suatu hal yang bersifat nonfisik tersebutlah yang kemudian
menciptakan memikiran yang timbul akibat pemahaman secara menyeluruh suatu
puisi terhadap pembaca. Pemikiran dalam hal ini adalah kontemplasi atau
perenungan.
“Sastra diciptakan untuk dinikmati, difahami, dan dimanfaatkan oleh
masyarakat” (Damono, 1978:1). Proses penikmatan, pemahaman, dan pemanfaatan
tersebut sama halnya dengan proses perenungan ketika membaca puisi. Pembaca
pada awalnya menikmati suatu puisi yang terdapat di dalam bahasa-bahasa yang
estetik kemudian dipahami berdasarkan makna-makna dan objek yang terdapat di
dalamnya. Setelah pemahaman tersebut diperoleh, pembaca akan mulai
mengintegrasikan dunia yang didapati dalam suatu puisi ke dalam dunia yang
dihadapi oleh pembaca secara nyata. Pemahaman sampai tahap ini membentuk
kontemplasi bahwa karya sastra (dalam hal ini adalah puisi) mengajarkan
pembacanya untuk memahami konsep kehidupan dan karya sastra bermanfaat untuk
menjalani dilematika di dalam kehidupan tersebut. Manusia juga memiliki
kemampuan perenungan yang dapat digunakan untuk secara estetis membedakan
yang bagus dari yang sekedar berfaedah saja. Indera estetis manusia menyebabkan ia
dapat menikmati karya sastra utama demi kenikmatan itu sendiri (Damono, 1978:27).
Untuk memperoleh tahap perenungan, pengarang terlebih dahulu harus
mampu menciptakan suatu puisi yang mampu meningkatkan emosional pembaca
melalui bahasa-bahasa yang diciptakan. Karya sastra pengarang besar melukiskan
kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia; oleh karena itu barangkali ia merupakan
suatu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia
terhadap kekuatan-kekuatan sosial (Damono, 1978:13). Lukcas (dalam Damono,
1978:30) juga mengungkapkan pendapatnya tentang pencapaian sastra bahwa
pujangga besar adalah “Yang mampu menciptakan tipe-tipe manusia yang abadi,
yang merupakan kriteria sesungguhnya dari pencapaian sastra”. Tema perenungan
yang tersampaikan dari Empat Kumpulan Sajak, yaitu alam, percintaan, ketuhanan,
kepribadian, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap ibu. Tema yang mendominasi
lapis metafisis pada Empat Kumpulan Sajak adalah percintaan.

KESIMPULAN
Berdasarkan alur bunyinya, Empat Kumpulan Sajak dimulai dengan bunyi-
bunyi indah. Pada saat penyampaian bunyi-bunyi indah tersebut, tetap terasa adanya
penurunan kebahagiaan, namun cukup sedikit. Kemudian, terjadi kemunculan bunyi
kakafoni secara signifikan dan terus menerus hingga akhir. WS Rendra sering
menggunakan simbol yang sama beberapa kali pada puisi-puisi Empat Kumpulan
Sajak ini. Simbol yang sering digunakan adalah malam, hujan, bulan, warna, dan ibu.
Meskipun berada pada puisi yang berbeda, makna dari simbol-simbol tersebut saling
berhubungan. Hal inilah yang menjadi alasan sehingga perlu melakukan pembacaan
dan penganalisisan pada setiap puisi di dalam Empat Kumpulan Sajak. Hal ini
diperlukan karena dengan membaca setiap puisi, hasil analisis akan dipermudah
karena unsur yang terdapat di dalamnya saling bersambung.

Bibliography

Budianta, Melani et al. 2006. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.

Budiman, Arief. 2007. Chairil Anwar Sebuah Pertemuani. Jakarta: Wacana Bangsa.

Damono, Sapardi Djoko dkk (editor). 2009. Meneer Perlentee Antologi Puisi Periode
Awal. Jakarta: Pusat Bahasa.
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mukarovsky, Jan. 1977. The Word and Verbal Art. London: Yale University Press.

Mukarovsky, Jan. 1978. Structure, Sign, and Function. London: Yale University
Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Pradopo, Rachmad Djoko et al. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yosyakarta: PT.
Hanindita Graha Widya.

Pribady, H. (2006). Peran Lagu Daerah Terhadap Pemertahanan Bahasa Melayu


Dialek Sambas. SNBI IX Universitas Udayana Bali.

Pribady, H. (2017). Local Literature Revitalization In Order To Malay Language


Endurance. ADRI International Journal Of Language, Literature and Culture,
1(1).

Rendra, WS. 2004. Empat Kumpulan Sajak Rendra. Jakarta: Surya Multi Grafika.

Sugihastuti. 2009. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai