Anda di halaman 1dari 18

GAYA BAHASA, DEFAMILIARISASI, DEVIASI,

DAN PARALELISME PADA FOREGROUNDING

Disusun oleh : 1. Tiara Briliant Pear (2113041002)

: 2. Uswatun Nurdiniyah (2113041042)

: 3. Christina Natalia Setyawati (2113041060)

: 4. Revina Azzahra (2113041052)

Mata Kuliah : Stilistika

Dosen Pengampu : 1. Drs. Kahfie Nazaruddin, M. Hum.

2. Heru Prasetyo, S. Hum., M.Pd.

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT. karena atas rahmat dan karunia-
Nya makalah yang berjudul “Gaya Bahasa, Defamiliarisasi, Deviasi dan Paralelisme
pada Foregrounding” dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun sebagai
pemenuhan tugas salah satu mata kuliah yaitu stilistika yang diampu oleh Bapak Drs.
Kahfie Nazaruddin, M.Hum. dan Bapak Heru Prasetyo, S. Hum., M.Pd..

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan, baik
yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun pengetikan. Namun, makalah ini
merupakan hasil dari usaha penyusun yang sudah maksimal.

Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan ilmu tambahan bagi para
pembaca. Kami menyadari bahwa pengetahuan kami masih sangat terbatas, sehingga
kami mengharapkan masukan, kritik, serta saran untuk membuat makalah selanjutnya
agar menjadi lebih baik.

Bandarlampung, 5 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................1
1.3 Tujuan ...................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
2.1 Pengertian Gaya Bahasa .......................................................................................3
2.1.1 Jenis Gaya Bahasa .........................................................................................3
2.2 Pengertian Defamiliarisasi .................................................................................5
2.3 Pengertian Deviasi .............................................................................................7
2.4 Pengertian Pararelisme..................................................................................... 11
2.5 Pengertian Foregrounding ............................................................................... 11
2.5.1 Contoh Foregrounding ................................................................................. 12
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 13
3.2 Saran ................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stilistika mengkaji gaya bahasa dalam suatu karya sastra. Gaya bahasa menjadi ciri
khas keberadaan teks sastra karena dapat membedakan teks sastra dengan teks lain. Gaya
bahasa memanfaatkan ragam bahasa yang ada dengan mempertimbangkan unsur estetika
khas sastra, gaya bahasa mampu menarik pembaca untuk menikmati karya sastra,
menyelami pikiran penulis dan menganalisis makna yang terkandung dalam karya itu.

Gaya bahasa digunakan penulis dengan cara menggunakan variasi bahasa yang
sesuai dan tepat untuk menggambarkan gagasan dan perasaan penulis. Gaya bahasa
bersifat subjektif. Oleh karena itu, gaya bahasa antara satu penulis dengan penulis lain
berbeda. Sebabnya, masing-masing penulis memiliki perbedaan maksud yang ingin
disampaikan dalam karya sastranya, tujuan menciptakan karya pun berbeda.

Masing-masing penulis melahirkan gaya bahasa baru di setiap karyanya, untuk itu
sangat diperlukan kajian mendalam mengenai stilistika terhadap karya-karya sastra yang
tersebar luas dewasa ini. Gaya bahasa dapat ditemukan di latar depan suatu karya sastra
atau dapat langsung terlihat dalam wajah karya sastra itu. Maka, dikenal konsep
foregrounding dan defamiliarisasi (berkaitan dengan Formalisme Rusia) yang menjadi
nilai khusus dalam karya sastra. Makalah ini akan mengulas secara mendalam kajian
stilistika mengenai gaya bahasa, bagaimana bentuknya dalam konsep foregrounding, dan
bagaimana mengkaji bentuk-bentuk tersebut dalam karya sastra.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa?
2. Apa yang dimaksud dengan defamiliarisasi?
3. Apa yang dimaksud dengan deviasi?
4. Apa yang dimaksud dengan paralelisme?
5. Apa yang dimaksud dengan foregrounding?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami gaya bahasa
2. Mengetahui dan memahami defamiliarisasi
3. Mengetahui dan memahami deviasi

1
4. Mengetahui dan memahami paralelisme
5. Mengetahui dan memahami foregrounding
6. Mampu menganalisis gaya bahasa, defamiliarisasi, deviasi, dan paralelisme dalam
foregrounding

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gaya Bahasa


Gaya bahasa adalah kemampuan menyampaikan ide seseorang sangat
memengaruhi penggunaan kata, struktur kalimat, atau estetika frasa. Gaya bicara secara
pribadi itu bisa disebut gaya bahasa. Jadi, gaya otobiografi bahasa pribadi berkaitan erat
dengan kepribadiannya.

Pembagian gaya bahasa menurut para ahli ada kesamaan antara satu linguis dengan
yang lain-lainnya. Keraf (2010: 115) membedakan antara gaya bahasa nonverbal dan
secara linguistik. Linguistik nonverbal bisa dibagi menjadi tujuh, yaitu (1) berbasis
pengaruh; (2) volume; (3) media; (4) tema; (5) posisi; (6) hadirin; dan (7) tujuan. Dilihat
dari sudut sudut pandang linguistik, kemungkinan gaya bahasa dibedakan menurut titik
awal faktor bahasa yang digunakan, yaitu gaya bahasa, pilihan kata, nada isi esai, struktur
kalimat, dan makna langsung atau tidak langsung.

2.1.1 Jenis Gaya Bahasa


Ada banyak jenis bahasa lahir dari skema struktural idiom. Salah satu gaya bahasa
banyak digunakan adalah bentuk pengulangan, baik dalam bentuk pengulangan kata,
pembentukan kata, kalimat, kalimat atau bentuk lainnya. Misalnya, pola pengulangan
paralel, anafora, polisindenton dan gaya asindeton, sedangkan bentuk lain, misalnya
antitesis, kiasan, klimaks, inversi, dan pertanyaan retoris.

Seleksi berdasarkan seberapa sering gaya linguistik muncul di objek penelitian


adalah kumpulan cerita pendek.

a) Personifikasi

Menurut Ratna (2014: 446), personifikasi diwujudkan sebagai gaya bahasa yang
menganggap benda mati seperti makhluk hidup. Dengan kata lain, sifat benda mati
menjelma seolah-olah menjadi makhluk hidup. Kosasih (2008: 61) mengemukakan
bahwa personifikasi adalah gambaran ujaran membandingkan sesuatu animasi seolah-
olah di alam seperti manusia. Dalam gaya tertentu bahasa ini untuk membuat properti
benda mati hidup kembali.

3
b) Metafora

Kosasih (2008: 42) menyatakan metafora adalah gambaran komparatif dari pidato
ekspresi singkat dan penyumbatan. Gaya bahasa ini menjelaskan persamaan maknanya
ringkas dan jelas. Selanjutnya, Ratna (2014: 445) berpendapat bahwa metafora adalah
membandingkan suatu objek dengan hal yang berbeda.

c. Hiperbola

Kosasih (2008: 30) mengatakan bahwa gaya bahasa hiperbola adalah gambaran
ucapan mengandung berlebihan penggemar meningkatkan kesan dan pengaruh.
Pernyataan itu menjelaskan gaya itu bahasa ini mengungkapkan sesuatu dilebih-lebihkan
meskipun keadaan objektif tidak berlebihan. Berbeda dengan, Ratna (2014: 445) klaim
yang dilebih-lebihkan adalah gaya bahasa yang melampaui alam dan kebenaran yang
hakiki. Di atas pada dasarnya bahasa yang dilebih-lebihkan semacam ini menggambarkan
sesuatu terlalu banyak dalam mengungkapkan ide.

d) Litotes

Kosasih (2008:37) mendeskripsikan litotes. Ini adalah idiom yang bertujuan


mengurangi atau mengurangi makna sebenarnya. Tujuan lain, yakni untuk merendahkan
diri. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mengurangi esensi makna diungkapkan secara
konkret. Setuju dengan pernyataan ini, Ratna (2014:445) menjelaskan gaya bahasa ini
digambarkan dengan cara merendahkan diri, yaitu pemaknaan tidak benar-benar
mengatakan secara langsung.

e) Simile

Deskripsi Aminuddin (1995:308), alegori sebagai bentuk gambar perbandingan


atau perumpamaan penggunaan secara langsung. Perumpamaan itu menggunakan kata-
kata berikut: seperti, seperti, Misalnya. Pernyataan ini menjelaskan bahwa gaya bahasa
ini adalah gaya bahasa perbandingan.

Tarigan (2009:4) gaya bahasa penggunaan bentuk retorika, misalnya kata-kata


dalam berbicara dan menulis ingin meyakinkan mempengaruhi pembaca. Gaya bahasa
berfungsi sebagai alat membuat pembaca terkesan atau percaya pada karya sastra.

4
2.2 Pengertian Defamiliarisasi
Defamilairisasi adalah konsep sastra yang merupakan bentuk pengecualian kepada
kata-kata yang biasa pada umumnya. Defamiliarisasi merupakan lawan dari keakraban,
berarti hal-hal yang asing. Bahasa pada sastra juga merupakan hasil kontruksi
defamiliarisasi dari pengarangnya. Pada awalnya, konsep defamiliarisasi digunakan oleh
kaum formalis untuk mempertentangkan karya sastra dengan kehidupan atau kenyataan
sehari-hari. Kecenderungan tersebut awalnya hanya digunakan dalam puisi saja, namun di
kemudian hari mereka berupaya untuk memadukan unsur defamiliarisasi ke dalam bentuk
karya sastra yang lain. Dalam kerutinan ajaran sehari-hari, persepsi kita dan respon kita
akan realitas menjadi basi dan membosankan.

Menurut kaum formalis, sifat kesastraan muncul sebagai akibat penyusunan dan
pengubahan bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang menyulap teks-teks
dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. Dengan begitu sastra
merupakan teks yang berbeda dengan yang biasanya. Ada faktor yang menjadikan sastra
bermakna dan lebih dibanding teks biasanya.

Proses defamiliarisasi hampir menyusup di segala bidang pada sastra. Dari mulai
novel, roman, prosa, dan segala jenis teks di bidang sastra. Puisi adalah salah satu karya
sastra yang didalamnya menerapkan defamiliarisasi. Sebagai sastra tertua, puisi memiliki
kelebihan dibidang permainan bahasa, tapi bukan sekedar mempermainkan melainkan
untuk memperoleh makna baru. Sebagai contoh, mari simak puisi yang di ambil dari
kumpulan puisi Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta.

Di Sebuah Ruang Tunggu

Mungkin, kau sekedar bunga plastik

Bagiku. Tanpa akar tapi menumbuhkan

Pokok kecemasan di langit-langit impian

Aku merasa kemarau oleh keinginan

Yang kau ciptakan. Hingga kupikir kamu

Tak paham filosofi sebab setiap kali kutunggu

Tak selembar pun daun jatuh. Dan tanah

Di ujung kakiku seperti gelisah. Sepertiku

Dewadaru, 2002

5
Terlihat jelas deotomatisasi dalam puisi karya Hasta Indriyana. Jika dilihat dari
strukturnya pun berbeda dengan teks pada umumnya. Kalimat tanpa akar tetapi
menumbuhkan kecemasan di langit-langit impian. Kalimat tersebut terasa aneh terdengar
dibanding teks pada umumnya. Jika subjeknya bunga plastik, mana mungkin punya akar
akan tetapi ada sesuatu yang tumbuh. Kalimat ini merupakan alternatif untuk memperoleh
makna dan sifat artistik. Di sini pembaca akan berfikir tentang kalimat yang asing
terdengar. Proses ini akan memakan persepsi para pembaca dan juga proses pemaknaan.
Dengan teknik penyingkapan rahasia, pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-
sarana (bahasa) yang dipergunakan pengarang. Teknik-teknik itu misalnya menunda,
menyisipi, memperlambat, memperpanjang, atau mengulur-ulur suatu kisah sehingga
menarik perhatian karena tidak dapat ditanggapi secara otomatis.

Sajak Sebelum Ibu meninggal

Kita tak usah bermimpi menjadi pelangi

Yang berlam-lama melengkungi

Langit mimpi-mimpi kita sore hari

Gerimis juga seleret matahari sebentar

Langit langsir. Pamit meniggalkan

Taman-taman puisi

Angin di udara, lelawa yang berkebar

Lalu hati kita ditimbun petang. Diam cemara

Dan manding di pematang kita catat

Di pinggir kecemasan yang mengahampar

Sementara kisah nawangwulan entah

Kapan sampai pada anak cucu

Karangmalang, 2002

Lalu hati kita di timbun petang, sebuah kalimat yang asing untuk kita dengar.
Permajasan yang begitu melekat pada puisi. Suminto A Sayuti (2008) menjelaskan sarana
defamiliarisasi berperan untuk menarik perhatian kepada bentuk itu sendiri. Artinya,
sarana itu memaksa pembaca untuk mengabaikan ramifikasi sosial dengan mengarahkan
perhatian pada proses defamiliarisasi sebagai elemen seni. Jika diterapkan pada puisi

6
diatas terlihat jelas kata-kata yang rancu dan memaksa pembaca untuk sekilas melupakan
sesuatu yang real. Gaya bahasa yang menonjol atau menyimpang dari yang biasa,
menggunakan teknik cerita yang baru, membuat sesuatu yang umum menjadi aneh atau
asing inilah yang akan membuat karya sastra itu menjadi lebih indah dan berseni itulah
defamiliarisasi.

2.3 Pengertian Deviasi


Deviasi adalah penyimpangan linguistik atau penyimpangan kaidah bahasa yang
lazim digunakan. Konsep ini dipopulerkan oleh kaum formalisme Rusia. Konsep deviasi
sering dijumpai penggunaannya di karya sastra puisi. Keberadaan konsep deviasi
menunjukkan adanya gagasan unik mengenai keberadaan bahasa sastra yang berbeda dari
bahasa ilmiah atau bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Deviasi menjadi
penyimpangan yang “normal” terjadi dalam karya sastra yang membedakannya dengan
bentuk karya tulis lain atau karya sastra lain.

Terdapat beberapa aspek deviatif, di antaranya deviasi leksikal, deviasi semantis,


deviasi fonologis, deviasi morfologis, deviasi sintaksis, deviasi dialek, deviasi dialek,
deviasi register, deviasi historis, dan deviasi grafologis (Sayuti dan Nurgiyantoro. 51-52)

1) Deviasi Leksikal
Deviasi leksikal mencakup penyimpangan makna secara leksis ditandai oleh
adanya proses morfologi yang masih problematis, neologisme, bentuk tanpa makna (tidak
seperti dalam kamus yang maknanya mutlak).

Tentang Tuan Eksil


(Deddy Arsya)

Hanya seorang pialang
Yang terlilit hutang

O, dagang celaka
Di kamar kelas tiga

Amukbala!

Kata amukbala dalam puisi tersebut tidak memiliki kejelasan makna yang pasti.
Kemungkinan bentuk normalnya adalah amuk bala (tidak diserangkaikan) karena kata
amuk bukan merupakan komponen terikat atau partikel yang harus diserangkaikan

7
dengan kata yang mengikutinya. Amuk memiliki makna kerusuhan, kekerasan, perang.
Sedangkan bala memiliki makna pasukan, malapetaka, kemalangan atau cobaan.

2) Deviasi Semantis
Deviasi semantis meliputi penyimpangan bentuk linguistik berupa frasa, kalimat,
atau ungkapan yang tidak menunjuk pada makna denotatif (makna sebenarnya),
melainkan pada makna konotatif (makna kias atau makna tambahan).

Surat Mimpi
(Isbedy Stiawan ZS)

surat yang kutulis di lembar biru


kau baca sebelum akhirnya bertemu
kau lompati malam untuk malam yang lain
pasang surut gelombang, mendorong
pantai jauh sekali ke sana. aku ingin
menangkapmu yang kini menjelma perahu
kecil di mataku. digoyang oleh mimpiku.

Puisi di atas menggambarkan sebuah hubungan berjarak dengan latar laut atau
pantai. Sang kekasih digambarkan seperti perahu kecil yang tidak bermakna denotatif
bahwa ia berubah menjadi perahu, melainkan bahwa kekasihnya itu berada begitu jauh
darinya. Melompati malam untuk malam yang lain memiliki makna bahwa sang kekasih
telah melewati masa penantian panjang dari pertemuan yang diinginkan. Puisi di atas
menggambarkan bagaimana bahasa puisi memanfaatkan makna konotatis untuk
menyampaikan pesan dan perasaan penyair yang akan ditafsirkan oleh pembaca.

3) Deviasi Fonologis
Deviasi fonologis merupakan penyimpangan pada bunyi-bunyi bahasa yang tidak
memiliki makna konvensional dalam sebuah kata.

4) Deviasi Morfologis
Deviasi morfologis adalah penyimpangan kata-kata yang pembentukannya masih
problematis, menyalahi aturan-aturan secara konvensional, dan juga kata-kata berupa
bentukan baru (neologisme).

8
Contoh:
Kenangan Musim Hujan
(Deddy Arsya)

Jika ia mendera turun


Bersiderap di atas atap
Aku menyurukkan kepala
Ke balik bantal lembab
Ibu memberiku selimut
Musim hujan yang lembut
Ayah melepas cerita
Tentang naga dan beruang mabuk

Dalam penggalan puisi di atas, bentuk morfologis yang seharusnya dari kata
bersiderap adalah berderap (berbunyi seperti bunyi kaki orang berjalan).

5) Deviasi Sintaksis
Deviasi sintaksis adalah penyimpangan kalimat yang bentuknya menyimpang dari
kaidah-kaidah konvensional dan normatif.

6) Deviasi Dialek
Deviasi dialek merupakan bentuk penyimpangan dari dialek, slang, baik bersifat
regional, sosial, usia dan sebagainya, yang pemakaiannya dalam bahasa Indonesia
dianggap bersifat nonstandar.

7) Deviasi Register
Deviasi register merupakan bentuk penyimpangan yang terjadi akibat pemakaian
ragam bahasa lain dalam satu sajak. Misalnya ragam bahasa keagamaan, ilmiah, kolokial,
dan lain-lain.

8) Deviasi Historis
Deviasi historis merupakan kata-kata arkais (berhubungan dengan masa dahulu,
berciri kuno, tua) yang biasanya digunakan dalam sastra lama. Kata-kata ini menjadi
sebuah penyimpangan karena penggunaannya tidak umum lagi dalam karya sastra
Indonesia modern.

9
9) Deviasi Grafologis
Deviasi grafologis berkaitan dengan penyimpangan penulisan bentuk atau struktur
linguistik. Misalnya, penulisan huruf, kata, kelompok, kata, frasa, kalimat dan pungtuasi
(tanda baca) yang tidak sesuai dengan aturan Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan.
Malam
(Toni Lesmana)

“malam belum berakhir, dayang


sumbi!” sangkuriang sendirian
mengitari telaga. api membakar
sisa kayu, jejak perahu di pasir
langit masih sengit, udara masih
dingin. riuh telah luruh

Dari puisi ini, tampak jelas bahwa nama tokoh tidak ditulis sesuai dengan ejaan
bahasa Indonesia yang benar.

Sembilan aspek yang dipaparkan di atas, dapat dikelompokkan lagi menjadi dua
jenis deviasi, yaitu deviasi eksternal dan deviasi internal. Deviasi eksternal merupakan
penyimpangan yang meliputi makna, latar belakang karya, dan lain sebagainya.
Sementara deviasi internal meliputi struktur di dalam karya sastra, seperti penulisan yang
secara langsung dapat dengan mudah ditemukan, struktur linguistik seperti fonologi,
morfologi, dan lain-lain.

pepatah buron

berhari-hari – ratusan jam – ratusan kilometer – puluhan kota – bus – colt – truk –
angkutan – asap rokok – uap sampah – tengik wc – knalpot terminal – embun subuh –
baca koran – omongan penguasa – nonton tivi – omongan penipu – presiden marah-marah
– jenderal-jenderal marah-marah – intelektual bayaran ikut-ikutan – sekretariat organisasi
aktivis diobrak-abrik – penculikan – penggrebekan – pengejarah – pembenaran dibikin
kemudian – semua benar karena semua diam

~ Wiji Thukul

Dalam puisi ini, Wiji Thukul berusaha meluapkan emosinya mengenai kondisi
yang terjadi di zamannya, ketika penguasa tak bisa dipercaya janjinya, kebenaran
dipalsukan dan semua yang dirasa memuakkan. Beliau menggunakan penulisan tanpa

10
huruf kapital, dengan bentuk puisi yang tidak seperti puisi biasanya, dan tanda pisah
untuk merangkai setiap ide kata-katanya.

2.4 Pengertian Pararelisme


Jika penyimpangan adalah ketidakteraturan yang tidak terduga dalam bahasa, maka
paralelisme adalah keteraturan yang tidak diharapkan (Jeffries dan Mclntyre. 2010).
Paralelisme adalah cara lain untuk menciptakan efek latar depan (foregrounding) dalam
teks sastra. Struktur paralelisme terjadi pada tingkat struktur linguistik. Menurut Leech
dalam Jeffries dan Mcintyre, paralelisme menetapkan hubungan kesetaraan antara dua
atau lebih elemen: elemen yang dipilih oleh pola sebagai paralel. Artinya, struktur paralel
menggambarkan suatu hubungan, keterkaitan atau pola-pola dalam karya sastra.

Berikut adalah contoh pola paralelisme dalam salah satu puisi karya Joko Pinurbo,
berjudul “Hati Jogja”.

Hati Jogja

Dalam secangkir teh

ada hati Jogja yang lembut meleleh.

Dalam secangkir kopi

ada hati Jogja yang alon-alon waton hepi.

Dalam secangkir senja

ada hati Jogja yang hangat dan berbahaya

(Joko Pinurbo, 2016)

Dalam puisi di atas, tampak jelas bahwa Joko Pinurbo menggunakan majas
paralelisme atau pola berulang dalam puisinya.

2.5 Pengertian Foregrounding


Foregrounding dalam bahasa pertama kali diidentifikasi oleh Mukaÿrovsky pada
1964 mengacu pada fitur teks yang dalam arti tertentu 'menonjol' dari lingkungan mereka.
Istilah itu sendiri merupakan perluasan metaforis dari konsep landasan dalam seni visual
(misalnya lukisan dan fotografi). Pada dasarnya, teori landasan pendahuluan
menunjukkan bahwa dalam teks apa pun beberapa suara, kata, frasa, dan/atau klausa
mungkin sangat berbeda dari apa yang mengelilinginya, atau dari beberapa 'norma' yang
dirasakan dalam bahasa secara umum, sehingga mereka dibuat lega oleh perbedaan ini.
dan dibuat lebih menonjol sebagai hasilnya. Lebih jauh lagi, fitur-fitur latar depan dari

11
sebuah teks sering dianggap mudah diingat dan sangat mudah diinterpretasikan.
Foregrounding dicapai dengan baik penyimpangan linguistik atau paralelisme linguistik.

2.5.1 Contoh Foregrounding


Contoh foregrounding wujud foregrounding banyak dimunculkan lewat bentuk-
bentuk paralelisme dan repetisi, terutama repetisi di awal larik yang berwujud anafora.
Pengulangan leksikal di awal larik jelas untuk menekankan pentingnya makna kata yang
bersangkutan. Bait pertama puisi Emha Ainun Nadjib yang berjudul "Kapak Ibrahim
Hamba".

KAPAK IBRAHIM HAMBA

Dimana kapak Ibrahim hamba


Dimana tongkat Musa hamba
Dimana wajah Yusuf hamba
Dimana dzikir Zakaria hamba
Dimana hilang Isa hamba
Dimana cahaya Muhammad hamba
Takut, kekasih, hamba takut!

Pengulangan kata dimana di awal larik-larik puisi itu yang biasa disebut anafora
yang tampak dominan sehingga mau tidak mau itu pasti menarik perhatian pembaca dan
sekaligus mempertanyakan mengapanya karena diungkapkan dengan cara yang tidak
lazim. Larik- larik itu masih lebih ditekankan lagi lewat pendayaan gaya paralelisme
sehingga selain memperindah penuturan juga mengindikasikan bahwa makna tiap larik
itu sejajar.

Semua berupa pencarian aku (hamba) lirik tentang teladan- teladan atau mukjizat
yang dimiliki oleh para rosul agar juga menjadi miliknya. Jika kehilangan itu semua, aku
lirik jelas ketakutan, takut akan murka tuhan. Lewat pemformagroundingan bentuk-
bentuk foregrounding itu tidak harus berwujud deviasi bahasa.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gaya bahasa adalah cara penulis mengungkapkan maksud, tujuan atau makna suatu
karya sastra dengan kekhasan pribadi yang mengakibatkan suatu nilai estetika yang
terkandung dalam karya sastranya.

Terdapat banyak jenis gaya bahasa yang biasanya menjadi pola-pola khusus pada
teks sastra. Sedikitnya ada gaya bahasa personifikasi, hiperbola, metafora, litotes, simile,
dan lain sebagainya. Gaya bahasa penulis dapat diwujudkan dengan konsep
defamiliarisasi, yang merupakan bentuk tidak biasa dalam struktur kalimat, kata-kata atau
tipografi yang unik dalam karya sastra.

Deviasi merupakan penyimpangan dalam kaidah bahasa yang lazim digunakan,


yang menjadikan karya sastra bernilai baik dari segi estetika maupun makna. Paralelisme
merupakan sebuah pola untuk menciptakan latar depan yang tidak biasa dalam karya
sastra.

Sementara foregrounding merupakan fitur teks sastra yang dianggap paling


menonjol dari lingkungan mereka. defamiliriasi berkaitan dengan foregrounding karena
foregrounding sendiri didirikan sejak awal oleh para pionir dalam penerapan linguistik
pada analisis sastra sebagai mekanisme terjadinya defamiliarisasi.

3.2 Saran
Terdapat banyak ragam gaya bahasa sastra yang dapat dijumpai pada teks-teks
sastra, pembaca dapat mencari referensi lain untuk melengkapi pengetahuan seputar gaya
bahasa yang akan diselami dalam kajian stilistika.

13
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.


IKIP Semarang Press: Semarang.

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model


Teori, dan Aplikasi. CAPS (Center for Academic Publishing Service):
Yogyakarta.

Keraf, Gorys. 2010. Gaya Bahasa dan Diksi. PT. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.

Jeffries, Lesley and Dan Mclntyre. 2010. Stylistics. Cambridge University Press:
United Kingdom.

Sayuti, Suminto A. dan Burhan Nurgiyantoro. “Aspek Deviatif dalam Sajak


Indonesia Mutakhir”. Jurnal Cakrawala Pendidikan. 46-62.

Thukul, Wiji. 2014. Nyanyian Akar Rumput Kumpulan Lengkap Puisi. PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Pinurbo, Joko. 2019. Buku Latihan Tidur. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Arsya, Deddy. 2017. Penyair Revolusioner. PT. Gramedia Pustaka Utama:


Jakarta.

Lesmana, Toni. 2020. Peta dalam Rumah. Penerbit Basabasi: Yogyakarta.

ZS, Isbedy Stiawan. 2021. Buku Tipis untuk Kematian. Penerbit Basabasi:
Yogyakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai