Anda di halaman 1dari 16

KONSEP DASAR PRAGMATIK

Disusun oleh : Ayu Indriani (2113041088)

: Anis Maysaroh (2113041050)

: Al Azhar (2113041082)

: Olivia Ananda Salsabila (2113041020)

: Alya Kinasih Herawati (2113041012)

Mata Kuliah : Pragmatik

Dosen Pengampu : Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd.

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapakan kepada Allah SWT, atas rahmat serta karunia-
Nya sehingga makalah ini yang berjudul “KONSEP DASAR PRAGMATIK”
dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas
salah satu mata kuliah Pragmatik yang diampu oleh Bapak Dr. Nurlaksana Eko
Rusminto, M.Pd.

Dalam penyusunan makalah ini, kami telah menyadari masih banyak


kekurangan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun pengetikan.
Namun, makalah ini merupakan hasil dari usaha penyusun yang sudah maksimal.

Semoga dengan adanya makalah ini dapat meberikan ilmu tambahan bagi
para pembaca. Kami menyadari bahwa pengetahuan kami kami masih sangat
terbatas, sehingga kami mengharapkan masukan, kritik, serta saran untuk
membuat makalahselanjutnya agar lebih baik.

Bandar Lampung, 30 Agustus 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................... ii

DAFTAR ISI......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian pragmatik.........................................................................2

2.2 Cakupan kajian pragmatik.................................................................4

2.3 Manfaat kajian pragmatik..................................................................6

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan............................................................................................10

3.2 Saran..................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pragmatik adalah sebuah telaah tindak tutur dalam situasi khusus dan
terutama memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah
aneka konteks sosial, performasi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau
interpretasi. Pragmatik selalu mengalami perkembangan setiap waktunya, hal ini
dapat dilihat berdasarkan sumbangan atas ilmu yang diberikan oleh para pakar
linguistik. Pragmatik secara modern pertama kali diperkenalkan oleh Morris, yang
menggunakan istilah itu dalam pengertian yang luas untuk mengacu pada
pengkajian tentang hubungan pertanda dengan apa yang akan ditafsirkannya. Di
dalam pragmatik sendiri memiliki beberapa objek kajian yang banyak diteliti
yakni fenomena deiksis, fenomena implikatur, dan fenomena kesantunan
berbahasa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja pengertian pragmatik?
2. Apa saja cakupan kajian pragmatik?
3. Apa manfaat kajian pragmatik?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mengetahui apa saja pengertian pragmatik
2. Mengetahui dan memahami apa saja cakupan kajian pragmatik
3. Mengetahui manfaat kajian pragmatik

iv
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pragmatik

Pragmatik selalu mengalami perkembangan hal ini dapat dilihat


berdasarkan sumbangan atas ilmu yang diberikan oleh para pakar linguistik.
Morris (1938) adalah seorang ilmuwan yang mengawali adanya pemikiran
mengenai kajian pragmatik yang mana beliau membagi ilmu semiotik menjadi 3
bidang kajian diantaranya sintaksis, semantik dan pragmatik. Pandangan beliau
berdasarkan pada ilmu semotik, maka dalam pengembangannya berisikan
mengenai pragmatik yang melihat bahasa sebagai tanda. Hal ini sesuai dengan
apa yang diungkapkan oleh Morris (dalam Trosborg, 1995:1) bahwa yang
menggunakan istilah pragmatik sebagai studi tentang hubungan tanda-tanda
dengan penafsiran. Pragmatik secara modern pertama kali diperkenalkan oleh
Morris, yang menggunakan istilah itu dalam pengertian yang luas untuk mengacu
pada pengkajian tentang hubungan pertanda dengan apa yang akan ditafsirkannya.

Bukan hanya para linguis pendahulu yang memberikan pengertian


mengenai hal ini selanjutnya ada beberapa pendapat linguis modern yang
menjelaskan mengenai pengertian pragmatik diantaranya: Gadzar (1979);
Heathertrington (1993); Yule (1991), Leech (1983); Mey (1993); Kreidler (1998);
dan Verschueren (1999).

Gadzar (1979:2) mengungkapkan bahwa pragmatics has as its topic those


aspect of the meaning of utterances with cannot be accounted for by straight
forward reference to the truth conditions of the sentences uttered.

Pragmatik, topiknya merupakan aspek makna tuturan yang tidak dapat


diterapkan dengan referensi secara langsung ke kondisi-kondisi nyata dalam
kalimat yang dituturkan. Maksudnya adalah arti yang dituturkan oleh penutur
diterima oleh mitra kultur tergantung pada konteks. Misalnya kalau ada tuturan
"gula habis", yang dikaji pragmatik bukan makna berdasarkan referensi "habisnya
gula", tapi berdasarkan pada makna ketika kalimat itu dituturkan, tergantung pada
siapa penuturnya, siapa mitra, kapan dan di mana tuturan itu berlangsung atau

v
dapat dikatakan tergantung pada konteks. Sehingga "gulanya habis" dapat
diartikan bahwa penuntunnya minta gula, karena minumannya tidak manis. Edi
pragmatik merupakan studi tentang arti tuturan dalam interaksi para peserta tutur.
Interaksi antar penutur dan minta tutur selalu melibatkan konteks di antara mereka
dan sekaligus situasi, kondisi, dan tempat ketika mereka melakukan percakapan
atau menggunakan bahasa. Diantara peserta tutur berarti status antara penutur dan
minta tutur, jarak pragmatik antara penutur dan minta tutur topik yang dibicarakan
peserta tutur. Itu semua akan mewarnai tindak tutur yang disampaikan mereka
dalam berinteraksi.

Menurut Milla dalam Heathertrington (1980: 155) mengungkapkan bahwa


pragmatik adalah sebuah telaah tindak tutur dalam situasi khusus dan terutama
memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka
konteks sosial, performasi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi.
Yang dimaksud manusia di sini tidak hanya pengaruh-pengaruh fonem
suprasegmental, dialek, register, tapi juga keragaman konvensi sosial.

Konteks dalam kerangka penafsiran tindak tutur tidak hanya berfokus pada
konteks situasi dan konteks budaya tetapi juga faktor-faktor segmental dialek dan
registrasi pengguna bahasa dalam suatu percakapan adalah penutur dan mitra
tutur. Dia akan mencoba saling menafsirkan makna tuturan masing-masing agar
terjadi kesepahaman.

Leech (1983: 6) mengungkapkan ulang pengertian pragmatik dari


beberapa pendapat yang diungkapkan oleh linguis di atas yaitu: redefines
pragmatics for "the purpose of linguistik as the study of meaning in relation to
speech situation," m hitles with utterance meaning", rather than sentence
meaning. Video mendefinisikan ulang pragmatik demi tujuan diusi sebagai studi
tentang makna dalam hubungan dengan aneka situasi tuturan dan lebih berkaitan
dengan makna tuturan daripada dengan makna kalimat. Pengertian yang
diucapkan oleh Leech tersebut di atas tokoh utamanya adalah bahwa arti tuturan
ditentukan oleh situasi tutur dan bukan oleh arti dalam struktur kalimat. Arti
dalam struktur kalimat termasuk dalam bidang kajian semantik, sedangkan arti
yang berhubungan dengan situasi tutur atau konteks tuturan termasuk bidang

vi
pragmatik jadi pragmatik merupakan studi tentang makna tuturan dalam konteks
situasi tuturan.

Sedangkan menurut And. Syukur Ibrahim (1993:12) beranggapan bahwa


pertama hubungan dengan penggunaan bahasa dalam komunikasi.Kedua, dalam
penggunaan bahasa tergantung pada konteks. Bahasa dalam komunikasi
melibatkan penutur dan mitra tutur.

Penutur dalam menyampaikan suatu sama dengan menghendaki maksud


supaya metato turun menyikapi tuturan tertentu sebagai alasan untuk percaya
bahwa penutur mempunyai sikap.

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli yang telah diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa pak Mardi mempunyai 4 ciri-ciri atau karakteristik pragmatik,
yaitu

1. Berkaitan dengan penggunaan bahasa yang dipakai secara nyata di


masyarakat
2. Berkaitan dengan siapa penutur dan mikra tutur
3. Berkaitan dengan latar budaya penggunaan bahasa
4. Wujud penggunaan bahasa secara nyata dalam kelompok masyarakat, oleh
masyarakat itu sehingga dikenal ini betul latar dari kelompok itu.

Jadi, berdasarkan ciri-ciri yang telah didefinisikan di atas dapat kita tarik garis
kesimpulan bahwa pragmatik adalah bentuk penggunaan bahasa oleh penutur
yang ditunjukkan kepada metode dalam konteks atau situasi tertentu dan mitra
tutur yang mencoba untuk menangkap maksud tuturan yang disampaikan penutur.

2.2 Cakupan Kajian Pragmatik

2.2.1 Ruang Lingkup Kajian Pragmatik

Parker dalam Rahardi (2003: 15) mengatakan bahwa pragmatik


merupakan cabang ilmu bahasa yang menelaah satuan lingual, hanya saja
semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik

vii
mempelajari makna eksternal, yaitu mempelajari penggunaan bahasa
dalam berkomunikasi.

Ada beberapa objek kajian pragmatik yang sudah banyak diteliti


diantaranya fenomena deiksis, fenomena implikatur, dan fenomena
kesantunan berbahasa.

Menurut Chaer dan Leonie (2004: 57) deiksis adalah hubungan


antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata itu
yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Menurut Yule (2006:
13) deiksis adalah teknis untuk satu hal mendasar yang kita lakukan
dengan tuturan. Deiksis secara sederhana merujuk kepada sesuatu, sebuah
fungsi yang bersifat diluar kebahasaan. Karena hal itulah deiksis
dikategorikan sebagai fenomena pragmatik. Deiksis secara pragmatik
hanya dapat diperhitungkan maksudnya jika hal tersebut dikaitkan dengan
aspek-aspek konteks ekstralingual, yang dalam istilah Alwi dkk. dapat
‘disebut sebagai ‘situasi pembicaraan’ (Alwi dkk., 2013). Contohnya, kata
‘besok’ sebagai deiksis akan berbeda dengan kata ‘besok’ pada umumnya
sebagai keterangan waktu. Jika sebagai keterangan waktu kata ‘besok’
berjenis adverbia bertali-temali dengan pada saat terjadi sebuah peristiwa.
Namun, pada deiksis kata ‘besok’ mengandung makna yang lebih luas dan
kompleks dari hanya keterangan waktu. Bentuk dari kebahasaan itu bisa
saja bermakna ‘pada suatu saat nanti’ hal tersebutlah yang dimaksud
dengan deiksis waktu.

Fenomena implikatur jika di dalam semantik memiliki makna


tersurat dan makna tersirat dengan tanpa melibatkan konteks untuk
menginterpretasinya, dalam pragmatik terdapat tuturan yang
menhimplikasikan makna lain di luar makna yang terdapat dalam wujud
kebahasaannya. Dalam implikatur percakapan, dimensi kultural tidak
banyak menjadi faktor penentu, akan tetapi dimensi-dimensi situasional
berperan besar dalam menentukan maksud implikatur.

Fenomena pragmatik selanjutnya yaitu kesantunan dalam


berbahasa. Dalam kesantunan terdapat dimensi-dimensi budaya yang

viii
bersifat khas dan adiluhung. Masyarakat yang masih tradisonal dan masih
mengikuti gaya adat dengan latar belakang budaya memiliki bahasa yang
santun. Kesantunan berbahasa diabagi menjadi dua, yakni kesantunan
berbahasa berdasarkan dengan kajiannya pada konsep ‘muka’ dan
kesantunan berbahasa yang konsep kajiannya terdapat pada implikatur
percakapan.

Selanjutnya, fenomena ketidaksantunan dalam pragmatik. Dalam


pragmatik ketidaksantunan berbahasa memiliki prinsip yang dapat
digunakan sebagai norma untuk menentukan apakah tuturan tersebut
sebagai tuturan tidak santun. Ketidaksantunan berbahasa dibedakan
menjadi lima, yakni kesembronoan, memain-mainkan muka, melecehkan
muka, mengancam muka dan menghilangkan muka.

Selanjutnya, objek kajian pragmatik yang penting dilakukan adalah


riset tentang kefatisan berbahasa. Konsep kefatisan berbahasa dimulai dari
pandangan Malinowski pada tahun 1923 yang meneliti kebiasaan hidup
masyarakat di Kepulauan Trobrian, Lautan Pasifik. Malinowski menjadi
orang pertama kali yang melahirkan konsep kefatisan, yang disebut
sebagai ‘phatic communion’.

Dalam pandangannya, kefatisan memiliki manfaat untuk menjaga


kerja sama antara penutur dalam masyarakat tertentu. Dengan begitu dapat
dikatakan bahwa kefatisan berbahasa menurut perspektifnya cenderung
sebagai ungkapan tidak bermakna, ungkapan yang tidak memiliki makna
khusus, dan berfungsi sebagai penjalin hubungan kerja sama anatara
penutur dan mitra tuturnya.

Leech juga berpendapat bahwa ia tidak melihat adanya makna atau


maksud khusus di dalam kefatisan berbahasa. Kegiatan memecah
keheningan diperlukan, contohnya terdapat dua orang atau beberapa orang
yang sedang berkumpul bersama namun diantara mereka tidak ada yang
memulai percakapan atau membicarakan sesuatu.

ix
2.2.2 Fenomena-fenomena konvensional pragmatik

Fenomena-fenomena kebahasaan yang dipelajari dalam pragmatik


terus berkembang dari waktu ke waktu. Fenomena pragmatik secara
konvensional, yakni implikatur, deiksis, pranggapan, ikutan dan
kesantunan berbahasa.

Pertama, fenomena implikatur. Konsep pertama implikatur


dikemukakan oleh Grice (1975) pada artikelnya yang berjudul ‘logic and
conversation’. Itu merupakan salah satu pemikiran Grice tentang
implikatur yang akhirnya memunculkan padangan kesantuanan berbahasa
yang didasarkan pada maksud yang diimplikasikan. Hubungan antara
tuturan yang mengimplikasikan dan sesuatu yang diimplikasikan bukan
merupakan konsekuensi mutlak. Jadi, dikatakan bahwa implikatur
bukanlah merupakan bagian dari tuturan yang sedang mengimplikasikan
maksud tersebut.

Kedua, praanggapan atau presuposisi. Praanggapan mendasari


pernyataan sehingga dapat menjadi syarat bagi benar atau tidaknya suatu
ujaran. Praanggapan merupakan dugaan, keyakinan ataupun anggapan
tentang orang lain atau sesuatu hal yang dimiliki penutur sebelum
mengutarakan suatu ucapan.

Ketiga, fenomena deiksis. Menurut Kridalaksana (1993)


mendefiniskan bahwa deiksis adalah hal atau fungsi yang menunjuk
sesuatu di luar bahasa. Menurut Alwi dkk. (2003) menejelaskan bahwa
deiksi merupakan gejala semantis yang terdapat pada kata atau kontruksi
yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi
pembicaraan. Deiksi tidak hanya menjelaskan tentang waktu tetapi juga
bisa berhubungan dengan tempat. Selain deiksi waktu dan tempat ada juga
deiksi persona.

Keempat, fenomena basa-basi. Fenomena basa-basi bersifat


universal. Artinya, dalam setiap bahasa akan terdapat fenomena

x
kebahasaan tersebut. Tujuan utama orang melakukan basa-basi adalah agar
tercipta dan terjaganya relasi dalam berkomunikasi.

Kelima, fenomena kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa


dibagi menjadi dua, yakni kesantunan yang konsepnya muka dan
kesantunan dengan konsep implikatur. Konsep pertama dipelopori oleh
Erving Goffman yang selanjutnya dikembangkan menjadi ‘Goffmanian
View of Politeness’ dan konsep kedua dipelopori oleh Grice menggunakan
konsep implikaturnya, yang kemudian melahirkan ‘Gricean View of
Politess’.

2.3 Manfaan Kajian Pragmatik

Manfaat pragmatik berbeda dengan manfaat linguistik, khususnya bahwa


didalam manfaat pragmatik keberadaan konteks berkontribusi sangat besar
terhadap kehadiran manfaat penutur (speaker’s meaning). Kalau manfaat
linguisitik atau manfaat semantik itu bersifat konvensional, dan manfaat
‘terkodifikasi’ di dalam entitas bahasanya itu sendiri, di dalam manfaat pragmatik
manfaat itu harus diinterpretasi berdasarkan konteksnya.

Selain didasarkan pada konteksnya, pemanfaatan di dalam pragmatik juga


harus mempertimbangkan pengetahuan linguistik dari penutur dan mitra tutur,
pemahaman sebelumnya (pre-existing knowledge) terhadap identitas penutur dan
mitra tutur, maksud yang terselubung (inferred intent) dari penutur dan mitra
tutur, dan semacamnya. Jadi demikian luas aspek-aspek yang harus
dipertimbangkan dan diperhitungkan dalam pemanfaatan secara pragmatik itu.
Orang seringkali menyimplifikasi, bahwa manfaat pragmatik atau maksud penutur
itu semata-mata ditentukan oleh konteks eksternal. Akan tetapi sesungguhnya
tidaklah cukup demikian itu. Konteks eksternal bahasa memang menjadi salah
satu penentu manfaat pragmatik yang utama, tetapi entitas itu bukanlah satu-
satunya.

Pertama perlu dijelaskan bahwa manfaat pragmatik dalam studi linguistik-


pragmatik disebut juga maksud, dan sumber tertentu menyebutnya sebagai

xi
manfaat penutur (speaker’s meaning). Manfaat pragmatik sangat terikat dengan
konteks, khususnya konteks yang bersifat ekstralinguistik. Oleh karena itulah,
manfaat pragmatik sering disebut juga manfaat kontekstual, yakni manfaat yang
penentunya adalah konteks. Pelepasan atau penelanjangan konteks tidak
melahirkan manfaat pragmatik, tetapi manfaat yang murni bersifat internal bahasa.
Sebagai contoh ketika orang mengatakan bentuk ‘Nakal, kamu!’ dalam konteks
yang berbeda-beda, maka arti pragmatiknya pasti tidak akan hadir secara sama.

Bentuk ‘Aku haus!’ yang disampaikan oleh seorang tukang pukul dalam sebuah
gang anak muda, dengan bentuk ‘Aku haus!’ yang disampaikan oleh seseorang
yang sedang terbaring di rumah sakit, tentu memiliki manfaat yang tidak sama.
Jadi, memberi arti kepada sebuah tuturan itu harus tidak melepaskan konteksnya.
Pelepasan konteks akan dapat menghadirkan kesalahpahaman dalam berbagai
bidang kehidupan, bisa kehidupan sosial, kehidupan politik, dan bisa pula pada
bidang-bidang yang lainnya. Cabang linguistik yang terbaru yang disebut dengan
pragmatik, menaruh perhatian yang intens pada manfaat pragmatik, manfaat yang
hadir karena orang melibatkan konteks tuturannya.

Konteks tuturan itu bisa bermacam-macam, ada yang bersifat sosial dan
disebut sebagai konteks sosial, ada yang bersifat sosietal dan dinamai konteks
sosietal, dan ada pula yang bersifat kultural dan disebut sebagai konteks kultural.
Jacob L. Mey telah banyak menguraikan konteks sosial dan konteks sosietal.
Konteks sosial berdimensi horizontal, sedangkan konteks sosietal berdimensi
vertikal. Berdimensi horizontal maksudnya berkaitan dengan hubungan yang
sifatnya mendatar dalam sebuah sistem kemasyarakatan. Sebagai contoh
hubungan antarpetani di dalam sebuah perdesaan atau perkampungan di
Yogyakarta, pasti di dalamnya terkandung relasi yang sifatnya mendatar.
Hubungan antarpedagang di sebuah pasar, mereka merasa solider, merasa sejajar,
dan menjadi teman sejawat antara yang satu dengan yang lainnya.

Hubungan kesejajaran dan/atau hubungan kesejawatan yang mendatar


demikian inilah yang menjadi penciri dari konteks sosial. Faktor penentu dari
kesejawatan, sehingga masing-masing dapat menunjukkan hubungan yang
mendatar, dapat berwujud aneka macam faktor. Faktor usia bisa juga menjadi

xii
faktor yang berpengaruh, demikian pula faktor jenis kelamin sangat sering
menjadi faktor penentu kesejawatan. Sesama wanita yang sedang berkumpul di
sebuah tempat dapat kentara sekali menunjukkan kesejawatannya, mereka
bercanda bersama, bergurau bersama, berjoget bersama, dan juga ‘ngerumpi’
bersama.

Semua itu adalah penanda kesejawatan, yang menunjukkan hubungan


horizontal antarsesama. Coba perhatikan pula, bagaimana kehadiran berbagai club
yang bermacam-macam di sebuah kota besar, katakan saja club motor tertentu,
club mobil tertentu, atau club-club yang lainnya. Mereka dapat bertahan muncul
dan hidup karena terdapat nilai-nilai kesejawatan atau kesejajaran ini. Jadi,
pragmatik sangat memerhatikan hal ini. Manfaat pragmatik juga sama sekali tidak
dapat lepas dari hal ini. Selanjutnya, manfaat pragmatik juga tidak lepas dari
konteks sosietal. Konteks sosietal masih belum banyak dibahas dalam berbagai
buku pragmatik maupun sosiopragmatik.

Konteks sosietal sebagai penentu manfaat pragmatik hadir berbeda dengan


konteks sosial. Kalau konteks sosial berdimensi sejawat atau sejajar, konteks
sosial berdimensi status. Maka dari itu, konteks sosial tidak dapat lepas dari status
sosial dan jenjang sosial dalam sebuah masyarakat. Sebagai contoh, seorang
pembantu rumah tangga dalam keluarga kaya, tidak akan pernah menggunakan
bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan oleh tuan rumah keluarga kaya
tersebut karena memang kedua pihak tersebut berbeda status sosial.

Perbedaannya bukan mendatar tetapi vertikal, bukan sejawat tetapi


bertingkat. Demikian pula seorang mahasiswa dengan rektor perguruan tinggi,
jelas sekali memiliki status sosial yang tidak sama. Jadi, tidak mungkin
mahasiswa tersebut menggunakan bahasa yang sama dengan rektornya. Dengan
demikian jelas bahwa pertimbangan-pertimbangan vertikal demikian itu sangat
penting diperhitungkan untuk memanfaati tuturan secara pragmatik. Bilamana
tuturan yang diinterpretasi tersebut tidak memperhatikan konteks vertikal, hampir
pasti ditemukan kejanggalan dan ketidakberesan dalam berkomunikasi. Dengan
perkataan lain, konteks sosietal harus benar-benar dilibatkan dalam memanfaati
sebuah tuturan.

xiii
Manfaat pragmatik sama sekali tidak dapat dilepaskan dari konteks yang
sifatnya sosial seperti telah dipaparkan pada bagian terdahulu. Selanjutnya, perlu
disampaikan pula bahwa manfaat pragmatik sebuah tuturan juga sangat
terpengaruh oleh konteks kultural. Konteks kultural sesungguhnya satu keping
uang logam dengan konteks sosial sosietal. Masalahnya, masyarakat dan budaya
tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mendukung dan menjadikan yang satu
ada di sisi yang satunya. Jadi, entitas bahasa akan hadir karena budaya juga hadir,
demikian pula budaya akan muncul karena masyarakat juga muncul.

Dimensi konteks kultur setidaknya ada tiga, yakni dimensi etika, dimensi
estetika, dan dimensi hati nurani. Dimensi etika berdekatan, misalnya saja dengan
tata krama, sopan santun, dan kearifan-kearifan lain dalam bersikap dan
berperilaku. Dimensi estetika berpautan dengan dimensi keindahan, norma yang
terkaitan baik dan buruknya penampilan, dan semacamnya. Adapun hati nurani
berpautan dengan dimensi rasa. Orang berbicara atau bertutur rasa tidak dapat
lepas dari dimensi rasa. Maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya berbicara
atau bertutur sapa dikatakan ‘adu rasa’, maksudnya rasa yang dimiliki oleh
penutur digayutkan dengan rasa yang dimiliki oleh mitra tutur.

Bertutur dengan tidak memperhatikan pemahaman identitas openutur dan


mitra tutur yang dimiliki sebelumnya hampir dipastikan akan banyak
menimbulkan kesalahpahaman dalam bertutur. Sebaliknya, pemahaman yang baik
tentang hal-hal yang terkait dengan pengetahuan-pengetahuan dari para pelibat
tutur itu akan menjadikan komunikasi yang berjalan berlangsung dengan sukses.

Dari pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa manfaat dalam


mengkaji pragmatik adalah pragmatik membantu kita dalam mengkaji
penggunaan bahasa yang berhubungan dengan konteks tuturan dan lebih
menekankan pada fungsi bahasa untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-
hari.

xiv
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut Heathertrington (1980: 155) Mila mengungkapkan bahwa
pragmatik adalah sebuah telaah tindak tutur dalam situasi khusus dan terutama
memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka
konteks sosial, performasi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau
interpretasi. Pak Mardi mempunyai 4 ciri-ciri atau karakteristik pragmatik,
yaitu Berkaitan dengan penggunaan bahasa yang dipakai secara nyata di
masyarakat, Berkaitan dengan siapa penutur dan mikra tutur, Berkaitan
dengan latar budaya penggunaan Bahasa, Wujud penggunaan bahasa secara
nyata dalam kelompok masyarakat, oleh masyarakat itu sehingga dikenal ini
betul latar dari kelompok itu.
Objek kajian pragmatik yang sudah banyak diteliti diantaranya fenomena
deiksis, fenomena implikatur, dan fenomena kesantunan berbahasa.
Fenomena-fenomena kebahasaan yang dipelajari dalam pragmatik terus
berkembang dari waktu ke waktu. Fenomena pragmatik secara konvensional,
yakni implikatur, deiksis, pranggapan, ikutan dan kesantunan berbahasa.
Manfaat pragmatik berbeda dengan manfaat linguistik, khususnya bahwa
didalam manfaat pragmatik keberadaan konteks berkontribusi sangat besar
terhadap kehadiran manfaat penutur (speaker’s meaning). Kalau manfaat
linguisitik atau manfaat semantik itu bersifat konvensional, dan manfaat
‘terkodifikasi’ di dalam entitas bahasanya itu sendiri, di dalam manfaat
pragmatik manfaat itu harus diinterpretasi berdasarkan konteksnya.

3.2 Saran
Demikianlah makalah kami yang membahas tentang “Konsep Dasar
Pragmatik” tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan
makalah di atas masih banyak terdapat kesalahan serta jauh dari kata sempurna.

xv
Adapun nantinya kritik serta saran yang bersifat membangun akan kami terima
dengan tangan terbuka demi kesempurnaan dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1985. ‘Komponen Tutur’, di dalam Soenjono
Dardjowidjojo, Perkembangan Linguistik di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Arcan.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa.


Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

__________________. 2006. Pragmatik. Jakarta: Penerbit Erlangga

Rahardi, Kunjana. 2019. Pragmatik Konteks Intralinguistik dan Konteks


Ekstralinguistik. Yogyakarta. Penerbit Amara Books.

Dr. Agus Yuliantoro, M.Hum. (2020). Analisis Pragmatik. Unwindha Press.


Surakarta.

Dr. Suhartono, M.Pd. (2020). Pragmatik Konteks Indonesia. Graniti. Gresik.

Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. (Agustus 2019). Pragmatik: Konteks


Intralinguistik dan Konteks Ekstralinguistik. Amara Books. Yogyakarta.

xvi

Anda mungkin juga menyukai