Anda di halaman 1dari 20

CODES

(DIGLOSSIA BILINGUALISM AND MULTILINGUALISM CODE-


SWITCHING)

Dosen Pengampu:
Drs. H. Djoko Susanto, M.Ed. Ph.D.

Oleh:
Raudlatul Jannah (16721021)
Adibatul Untsi (16721054)

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah swt. yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
dengan lancar.
Kami sebagai penyusun makalah dalam mata kuliah Sosiolinguistik dengan
tema Codes mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, khususnya pembaca.
Tentunya, dalam pembuatan makalah ini, masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna. Maka, kami penyusun makalah ini mengharap kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sehingga penyusun mampu membuat makalah dengan
lebih baik lagi.

Malang, 18 maret 2017

Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar------------------------------------------------------------------------------2
Daftar Isi --------------------------------------------------------------------------------------3
Bab I Pendahuluan--------------------------------------------------------------------------4
A.----------------------------------------------------------------------Latar Belakang- 4
B.-------------------------------------------------------------------Rumusan Masalah- 5
C.--------------------------------------------------------------------------------Tujuan- 5
Bab II Pembahasan-------------------------------------------------------------------------6
1.Bilingualisme-----------------------------------------------------------------------6
2.Multilingualisme-------------------------------------------------------------------9
3.Diglosia----------------------------------------------------------------------------11
4.Alih kode--------------------------------------------------------------------------20
Bab III Penutup------------------------------------------------------------------------------22
Kesimpulan-----------------------------------------------------------------------------------22
Daftar Pustaka-------------------------------------------------------------------------------23

X
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki alat untuk dapat saling
berinteraksi dengan sesama bangsa dan bangsa asing, banyak hal yang dapat
membawa manusia untuk saling berjumpa dengan orang-orang yang berbeda
daerah, bangsa, agama bahkan negara. Dari mereka yang berdagang, bekerja
di negara asing, menyelesaikan pendidikan, atau sekedar berwisata.
Pertemuan antar orang yang beragam itu memunculkan keragaman
dalam berbahasa pula, dari orang Indonesia penduduknya mempunyai bahasa
daerah masing-masing, orang Madura hidup di pulau Kalimantan, dari Papua
melanjutkan pendidikan di Jawa, hingga masuknya bangsa negara China atau
Negara Arab hingga mengenalkan bahasa mereka kepada masyarakat
Indonesia. Sampai detik ini pun masing-masing daerah memiliki banyak jenis
masyarakat dari bangsa yang berbeda. Namun hal itu tidak menjadi suatu
perdebatan atau pemilikan wilayah.
Realita itu membawa kita untuk memahami bahasa tidak hanya untuk
identitas daerah melainkan membawa kita untuk saling mengenal satu sama
lain, mempelajari keragaman bahasa yang ada, serta menumbuhkan jiwa
toleransi sebagai makhluk sosial yang baik.
Oleh karena itu, keragaman bahasa yang digunakan suatu kelompok
masyarakat dari dua bahasa disebut bilingualisme dan jika menggunakan lebih
dari dua bahasa disebut Multilingualisme, sedangkan adanya situasi yang
menjadikan dua atau lebih bahasa, ragam, dan dialek disebut diglosia,
kelanjutan dari munculnya diglosia dan perubahan keadaan dari diglosia itu
disebut alih kode. Sekilas inti dari pembahasan dalam makalah ini, selanjutnya
dibahas lebih jelas dalam bab pembahasan.

X
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah variasi kode bahasa?
2. Bagaimana terbentuknya variasi kode bahasa (Bilingualisme dan
Multilingualisme, Diglosia, dan Alih Kode)?
C. Tujuan
1. Menunjukkan dan menjelaskan variasi kode bahasa dari bilingualisme-
multilingualisme, diglosia, dan alih kode.
2. Mengetahui faktor terbentuknya variasi kode bahasa dari
bilingualisme- multilingualisme, diglosia, dan alih kode.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Bilingualisme dan Multilingualisme


1. Bilingualisme (Dwi bahasa)
a. Definisi
Dalam bahasa Indonesia, istilah bilingualism disebut dengan
kedwibahasaan. Secara harfiah, bilingualisme merupakan penggunaan dua
bahasa atau dua kode bahasa. Sedangkan dalam kajian sosiolinguistik,
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language mengatakan bahwa
bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua
bahasa dengan sama baiknya (Chaer dan Agustina, 2004:87). Dalam hal ini,
X
dapat dikatakan bahwa seseorang disebut bilingual apabila dapat
menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya. Namun
konsep Bloomfield mengenai bilingualisme ini masih menimbulkan banyak
pertanyaan di kalangan para ahli bahasa, diantaranya, pertama, bagaimana
mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap dua buah
bahasa yang yang digunakannya, sama baik dengan B1-nya, kedua, jika
seseorang mampu menguasai B1 dan B2 sama baiknya, maka orang
tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk mempelajari dan
menggunakan kedua bahasa tersebut, padahal kesempatan untuk
menggunakan B1 lebih terbuka daripada kesempatan untuk menggunakan
B2, atau sebaliknya.
Konsep Bloomfield ini kemudian dimodifikasi oleh Robert Lado dan
Haugen yang mengatakan bahwa penguasaan terhadap dua bahasa itu tidak
perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Selanjutnya konsep bilingualisme
dikembangkan oleh Diebold yang menyebutkan adanya bilingualisme pada
tingkat awal (Incipent Bilingualism), yaitu bilingualisme yang dialami oleh
seseorang terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada
tahap permulaan.
Berdasarkan perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh para ahli
bahasa diatas mengenai konsep bilingualisme, dapat disimpulkan bahwa
bilingualisme merupakan rentangan berjenjang yang dimulai dari menguasi
bahasa ibu (B1) ditambah sedikit pengetahuan tentang B2, dilanjutkan
dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai pada tingkatan
menguasai B2 sama baiknya dengan penguasaan B1.
Seorang bilingual yang mampu menggunakan B2 sama baiknya
dengan B1 oleh Halliday (Chaer dan Agustina, 2004:87) disebut
ambilingual. Oleh Oksaar disebut ekuilingual, dan oleh Diebold disebut
koordinat bilingual.
Pada buku kajian bahasa (George Yule, 2015:367) disebutkan bahwa
di banyak negara, ragam daerah bukan hanya sekedar tentang dua atau lebih
dialek dari satu bahasa tunggal, tetapi melibatkan dua atau lebih bahasa
yang agak berbeda. Kanada misalnya, secara resmi merupakan negara
bilingual, dengan bahasa Inggris dan Prancis sebagai bahasa resmi mereka.
Berikut ini merupakan ilustrasi yang memberikan gambaran
masyarakat bilingualisme/ dwibahasawan; Budi adalah anak yang
X
dilahirkan dari latar belakang orang tua bersuku Jawa. Dalam
kesehariannya, bahasa Jawa digunakannya untuk berinteraksi dengan orang
tua dan tetangga. Dengan demikian, ia berbahasa ibu bahasa Jawa. Ketika
bersekolah ia mulai mengenal bahasa Indonesia dan sejak itu ia mulai mahir
berbahasa Indonesia. Selain ilustrasi tersebut, berikut beberapa contoh
tentang bilingualisme yang bisa kita analisis:
1) Besok akan diadakan meeting di kantor pada jam 08:00
2) Loh... limadza?
3) Tahun depan, saya akan go international
4) Maka, antara IQ, SQ, dan EQ itu harus Balance
dari beberapa contoh diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang
bilingual akan memakai dua bahasa ketika berbicara, baik percampuran
antara bahasa Indonesia bahasa Inggris, bahasa Indonesia bahasa Arab,
atau bahkan bahasa Indonesia bahasa Jawa.
b. Tipe
Menurut Chaer dan Agustina (2004:170) ada beberapa jenis
pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu
sebagai berikut:
1) Kedwibahasaan Majemuk (Compound Bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa
salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa
yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1
dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai
oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.
2) Kedwibahasaan Koordinatif/Sejajar
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa
sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang
dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama
mahirnya dalam dua bahasa.
3) Kedwibahasaan Subordinatif (Kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat
memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan
ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1, adalah sekelompok
kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa
yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat
kehilangan B1-nya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi
kedwibahasaan di antaranya adalah: (Paul, 2004:235)
X
1) Baeten Beardsmore
Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal
(Inception Bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimiliki oleh
seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
2) Pohl
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada
didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi
tiga tipe, diantaranya:
a) Kedwibahasaan Horizontal (Horizontal Bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi
masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam
situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga
dari kelompok pemakainya.
b) Kedwibahasaan Vertikal (Vertical Bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan
dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh
seorang penutur.
c) Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara
bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara
genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
Menurut Arsenan tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa,
maka ia mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
1) Kedwibahasaan produktif (Productive Bilingualism) atau
kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (Symmetrical
Bilingualism)
yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap
seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis).
2) Kedwibahasaan reseptif (Receptive Bilingualism) atau
kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (Asymetrical
Bilingualism).
2. Multilingualisme (Aneka bahasa)
Selain istilah bilingualisme, ada juga istilah multilingualisme.
Multilingualisme yaitu keadaan digunakanannya lebih dari dua bahasa oleh
seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Chaer dan
Agustina, 2004:85). Negara yang biasanya menggunakan multilingualisme

X
adalah negara China, yaitu menggunakan bahasa Mandarin, Teochew, dan
Hokkian.
Sedangkan definisi multilingual menurut Sumarsono adalah masyarakat
yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena
beberapa etnik ikut membentuk masyrakat sehingga dari segi etnik bisa
dikatakan sebagai masyarakat majemuk. (Sumarsono dan Paina Partana, 2002:
76).
Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi
bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan oleh beberapa
faktor. Mulai dari faktor perkembangan teknologi komunikasi, adanya
globalisasi, pesatnya dunia pendidikan yang menyebabkan kebutuhan
masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran, sampai pada kemajuan
jaman yang secara tidak langsung membaurkan antar bahasa.
Dalam sejarah terbentuknya multilingualisme kita melihat setidak
tidaknya ada 4 pola, diantaranya:
a. Migrasi
Migrasi atau perpindahan penduduk yang menimbulkan masalah
kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama
adalah sekelompok besar penduduk yang merantau ke wilayah lain
yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Jenis kedua terjadi
jika sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah
dibawah kontrol nasional lainnya.
b. Penjajahan
Dalam proses penjajahan, kontrol dipegang oleh sejumlah orang
yang relatif sedikit dari nasionalitas pengontrol di wilayah baru
tersebut.
c. Federasi
Federasi adalah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas dibawah
kontrol politik satu negara.
d. Keanekabahasaan di wilayah perbatasan
Keanekabahasaan bisa terjadi di wilayah perbatasan, akibatnya di
wilayah tersebut bisa jadi ada sebuah penduduk yang
berwarganegara A tapi secara sosiokultural menjadi warganegara B.
Komplikasi wilayah perbatasan biasanya dihubungkan dengan
perang. Bangsa yang kalah dipaksa untuk menyerahkan sebagian
wilayahnya kepada yang menang.

X
B. Diglosia (Diglossia)
1. Definisi
Bahasa yang digunakan alat komunikasi antar manusia menjadi
beragam pula karena social masyarkat yang berbeda pula. Setelah membahas
tentang bilingualism dilanjutkan pula pembahasan keragaman bahasa, dimana
terjadinya situasi yang menjadikan dua ragam bahasa baku digunakan oleh
suatu masyarkat dan diakui masing-masing kebakuannya, situasi seperti ini
disebut Diglosia.
Diserap dari bahasa Yunani yakni diglossie yang disebut
dalam bahasa Indonesia diglosia, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Diglosia ialah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi
bahasa atau bahasa yang ada di masyarakat. Berdasarkan Oxford Dictionary
Diglossie is A situation in which two languages (or two varieties of the same
language) are used under different conditions within a community, often by
the same speakers. The term is usually applied to languages with distinct
high and low (colloquial) varieties.
secara istilah Diglosia yaitu ditemukannya dalam sebuah bahasa ada
dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati, hanya saja fungsi dan
pemakaiannya berbeda (Sumarsono, 2007:36) dan dalam buku Ronald
Wardaough yang berjudul an introduction Sociolinguistics
Diglosia is a relatively stable language situation in which, in
additional primary dialects of the language (which may include a
standard or regional standards), there is a very divergent, highly
codified superposed variety, the vehicle of a large and respected body
of written literature, either of an earlier period or in another speech
community, which is learned largely by formal education and is used
for most written and formal spoken purposes but is not used by any
sector the community for ordinary conversation.
Menurut Ferguson adalah sebagai berikut: Diglosia adalah suatu situasi
kebahasaan yang relatif stabil, yang di samping adanya dialek-dialek utama
dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat), juga

X
mengenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat berbeda, yang
terkodifikasikan secara rapi (dan yang tatabahasanya lebih rumit), yang
berasal dari waktu yang lampau atau yang berasal dari masyarakat bahasa
lain, yang dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai
untuk keperluan formal lisan dan tertulis tetapi tidak dipakai di sektor apa
pun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-hari. Pengertian
tentang diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman. Istilah diglosia tidak
hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama akan
tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Yang
menjadi tekanannya adalah perbedaan fungsi kedua bahasa tau ragam bahasa
yang bersangkutan.
Menilik dari dua sudut pandang diatas, diglosia merupakan
keadaan/situasi yang menjadikan dua ragam bahasa digunakan dan difahami
oleh masyarakat, secara bergantian atau sekaligus. Penggunaan dua bahasa
tersebut disesuaikan dengan fungsi dan tingkatannya.
Seperti halnya di daerah Pulau Jawa, masing-masing penduduknya
menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa keseharian, dalam bahasa jawa
terdapat tingkatan penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan lawan
bicaranya. Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua maka menggunakan
bahasa krama inggil berfungsi membawa rasa kesopanan yang tinggi atau
krama andhap berfungsi membawa rasa kesopanan yang sedang, ketika
berbicara dengan orang yang lebih muda menggunakan bahasa krama
berfungsi membawa rasa kesopanan yang rendah, sedangkan ketika berbicara
dengan sejawat menggunakan bahasa ngoko berfungsi membawa rasa
kedekatan yang erat (Rahardi, 2001:55).

Krama Bahasa
Ngoko Krama Krama Inggil
Andhap Indonesia
Aku Kulo Kawulo Dalem Saya
Kowe Sampean Panjenengan Panjenengan Anda
Endhas Sirah Mustaka Mustaka Kepala
Berikut ini merupakan ilustrasi terjadinya diglosia beserta analisisnya
di kelas MPBA C:

X
[di kelas MPBA C mata kuliah Sosiolinguistik, pada pembahasan
pidgin dan creol terjadi sebuah percakapan singkat antara pengajar dengan
mahasiswa
Pak Djoko: kalian ada yang tahu sebutan lain dari krupuk? Kamu,
rumahmu mana? (tunjuk ke salah seorang murid)
Mahasiswa: saya dari Madura pak. Tetep kerupuk/kropok (dengan logat
Madura) pak
Pak Djoko: wah masak, kalo jambi mana rek, seng teko jambi itu loh.
(salah satu murid mengangkat tangan) Apa mbak kalo
dirumahmu ?
Mahasiswi: kerupuk juga pak, sama
Pak Djoko: kok sama ya, di daerah trenggalek itu wong-wong daerah
rumah mertua saya, sebutan krupuk iku Opak].
Berdasarkan ilustrasi diatas dapat diketahui bahwa terdapat dua ragam
bahasa yang digunakan, bahasa jawa (rek, seng teko, wong-wong, iku) dan
bahasa Indonesia. Sebagai fungsi diglosia bahasa jawa menjadi rendah
tingkatannya, yang dalam hal ini disebut low variety of language (L)
sedangkan bahasa Indonesia menjadi tinggi tingkagtannya, yang disebut high
variety of language (H). keduanya mutlak dipakai dan situasi dialek H
digunakan untuk formal dan resmi sedangkan situasi dialek L digunakan
untuk informal, santai, dan kekeluargaan (Sumarsono, 2007:191). Dalam
masyarakat, khususnya kelas MPBA C diatas, sikap penutur menganggap
bahwa dialek H dianggap lebih tinggi, lebih superior dan bahasa yang logis,
sedangkan dialek L dianggap lebih rendah, lebih inferior, dan ada yang
menolak keberadaannya dikarenakan bahasa jawa bukan bahasa daerah juga
bukan bahasa keduanya.
2. Karakteristik Diglosia
Hampir semua sumber mengemukakan pendapat dari Ferguson
mengenai karakteristik diglosia yang telah ia ambil sampel dari 4 bahasa -
Arab, Jerman, Swiss, Haiti, Yunan - sehingga terbagi menjadi 8 karakteristik,
yaitu; fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas,
leksikon, dan fonologi. Berikut pembahasan karakteristik diglosia
berdasarkan fakta diatas:
a. Fungsi
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut
Ferguson, dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu

X
bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dengan dialek
T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat R
atau ragam R). Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal adanya bahasa
Jawa. Dalam bahasa Jawa tersebut, dialek T-nya bahasa Jawa halus
atau kromo inggil) sedangkan ragam R-nya adalah bahasa Jawa kasar.
Begitu pun pada bahasa Palembang. Dapat pula ditemukan dua varian
dari bahasa Palembang, dialek T-nya bahasa Palembang Halus dan
dialek R-nya bahasa Palembang Kasar.
Distribusi fungsional dialek T dan R dari masing-masing bahasa
mempunyai arti bahwa terdapat situasi dimana hanya dialek T yang
sesuai untuk digunakan dan dalam situasi lain, hanya dialek R yang
digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan
fungsi R hanya pada situasi informal dan santai. Penggunaan dialek T
yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa
disoroti, mungkin menimbulkan ejekan, cemoohan, atau tertawaan
orang lain.
b. Prestise
Dalam masyarakat diglosis, para penutur menganggap dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang
logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak
keberadaannya. Menurut Ferguson, banyak orang Arab dan haiti
terpelajar menganjurkan agar dialek R tidak perlu dipergunakan
meskipun dalam percakapan sehari-hari mereka menggunakan dialek
R. Itu anjuran golongan terpelajar Arab dan haiti. Itu tentu saja
merupakan kekeliruan sebab dialek T dan dialek R mempunyai fungsi
masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Dalam masyarakat
Indonesia pun ragam bahasa Indonesia baku dianggap lebih bergengsi
daripada bahasa Indonesia non-baku. Dalam masyarakat
Melayu/Indonesia, beberapa puluh tahun yang lalu, juga ada
pembedaan bahasa Melayu T dan R. Dimana yang pertama menjadi
bahasa sekolah dan yang kedua menjadi bahasa pasar.
c. Warisan sastra
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh,
terdapat kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati
oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra
X
kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai
kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam
T. Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya
dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu menjadi
asing dari masyarakat umum. Namun, kesusastraan itu tetap berakar,
baik di negara-negara berbahasa Arab, bahasa Yunani di Yunani, bahasa
Perancis di Haiti, dan bahasa Jerman di Swiss yang berbahasa Jerman.
d. Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal,
sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan
teman-teman sepergaulan.
e. Standarisasi
Menanggapi ragam T yang dipandang sebagai ragam bergengsi, maka
tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T
tersebut melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal,
dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk
ragam T. Sebaliknya ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan.
f. Stabilitas
Kestabilan masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama
dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya
dalam masyarakat. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan R
dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya
perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri-ciri
ragam T dan R. Peminjaman unsur leksikal ragam T kedalam ragam R
bersifat biasa, tetapi penggunaan unsur leksikal ragam R dalam ragam
T kurang begitu biasa, sebab baru digunakan kalau sangat terpaksa.
g. Leksikon
Sebagian besar kosa kata pada ragam T dan R adalah sama. Namun,
ada kosa kata pada ragam T yang tidak ada pasanganya pada ragam R
atau sebaliknya, ada kosa kata pada ragam R yang tidak ada
pasanganya pada ragam T. Ciri yang paling menonjol pada diglosia
adalah adanya kosa kata yang berpasangan, satu untuk ragam T dan
satu untuk ragam R, yang biasanya untuk konsep-konsep yang sangat
umum. Umpamanya dalam bahasa Indonesia kita dapat mendaftarkan
sejumlah kosa kata yang berpasangan sebagai baku dan tidak baku.
Antara lain, uang dan duit, buruk dan jelek.
X
h. Fonologi
Sistem bunyi T dan R itu membentuk struktur fonologi tunggal,
fonologi R merupakan sistem dasar dan unsur-unsur sebaran fonologi T
merupakan subsistem (sistem bawahan) atau parasistem (sistem
atasan). Tetapi tidak bisa disebut terdapat dua struktur yang berbeda.
3. Konsep Diglosia
Melihat banyaknya karakter dari diglosia, Fasold mengembangkan konsep
diglosia menjadi 2 konsep (Chaer dan Agustina, 2004: 98), yaitu:
a. Broad Diglossia
Disebut juga diglosia luas yakni adanya perbedaan dalam situasi
diglosia tidak hanya diantara dua bahasa, dua ragam, atau dua dialek
secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa, dua ragam, atau dua
dialek.
b. Diglosia Ganda
Dengan adanya diglosia luas, demikian termasuk pula keadaan
masyarakat yang didalamnya diperbedakan tingkatan fungsi
kebahasaan maka hal itu disebut Diglosia ganda yang meliputi:
1) Double Overlapping Diglossia
Adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara
berganda. Misalnya saja dalam masyarakat Indonesia, pada
suatu situasi, bahasa Indonesia adalah bahasa T (tinggi), dan
yang menjadi bahasa R-nya (rendah) adalah bahasa daerah.
Pada situasi lain bahasa Indonesia menjadi bahasa R, dan
bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi, bahasa Indonesia
mempunyai status ganda.
2) Double Nested Diglossia
Keadaan dalam masyarakat multilingual, di mana terdapat dua
bahasa yang diperbedakan, satu sebagai bahasa T, dan yang lain
sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa R maupun T masing-
masing mempunyai ragam atau dialek yang juga diberi status R
atau T. Contohnya, bahasa Jawa dianggap sebagai bahasa R dan
bahasa T-nya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Jawa sebagai
rumpun bahasa mempunyai ragam bahasa seperti basa krama
yang diberi status ragam T dan basa ngoko yang berstatus R.
Dalam bahasa Indonesia juga seperti itu, ragam baku dianggap
T, dan ragam non-baku dianggap ragam R.
3) Linear Polyglosia

X
Situasi kebahasaan yang pembedaan kederajatannya tidak
menggunakan model biner, tetapi berdasarkan sikap penutur.
Misalnya saja, masyarakat Cina di Indonesia. Berdasarkan sikap
orang Cina yang terdidik, bahasa Indonesia dianggap bahasa T,
bahasa Mandarin dianggap bahasa DH (dummy high) yang
berarti walaupun termasuk ragam T, tetapi penggunaanya
terbatas, dan bahasa Daerah termasuk ragam R.
4. Hubungan Bilingualisme dan Diglosia
Fenomena bilingualisme adalah fenomena pemilihan bahasa di antara
dua bahasa atau lebih. Sedangkan fenomena diglosia adalah fenomena
pemilihan bahasa tinggi dan rendah atau ragam bahasa tinggi dan ragam
bahasa rendah. Hubungan antara bilingualisme dan diglosia dapat dilihat
dilihat dari tabel dibawah ini:

Diglosia Diglosia
Bilingualisme
+ -
Diglosia dan Bilingualisme tanpa
+ Bilingualisme Diglosia

Diglosia tanpa Tanpa diglosia


- Bilingualisme Tanpa bilingualisme

Dari tabel di atas ada empat hubungan antara bilingualisme dan


diglosia, yaitu:
a. Tipe diglosia dan bilingualisme
Pada tipe ini dua penggunaan bahasa terjadi. Ada kebiasaan
menggunakan dua bahasa atau lebih dan ada kebiasaan menggunakan
bahasa tinggi dan bahasa rendah.
Contoh: Sabar, pertanyaan panjenengan pasti terjawab semua
Kalimat diatas, menunjukkan bagaimana seseorang menguasai
dua bahasa yaitu bahasa Indonesia sekaligus bahasa Jawa, maka
orang tersebut bisa disebut sebagai seorang bilingual. Adapun
diglosia dapat kita temukan pada kata panjenengan yang
X
merupakan ragam Jawa T (krama inggil) dan digunakan untuk
menghormati orang yang lebih tua maupun yang lebih tinggi
kedudukannya. Diglosia pada kalimat ini termasuk pada tipe
double nested diglossia. Ragam jawa T disini dianggap sebagai
bahasa R dan bahasa Indonesia sebagai bahasa T.
b. Tipe bilingualisme tanpa diglosia
Pada tipe ini masyarakat bilingual, tetapi mereka tidak membatasi fungsi
tertentu bagi bahasa dan varian yang dikuasainya. Tipe kedua ini
menampakkan kenyataan bilingualisme adalah karateristik kemampuan
penggunaan bahasa yang individual, sedangkan diglosia adalah
krakteristik alokasi fungsi pada bahasa-bahasa atau varian-varian yang
berbeda.
Contoh: jangan banter-banter to mbak kalau bicara (bahasa Indonesia
disisipi bahasa Jawa.
c. Tipe diglosia tanpa bilingualisme
Di dalam tipe ini terdapat dua kelompok penutur yaitu kelompok yang
biasanya lebih kecil atau disebut dengan ruling group hanya berbahasa
dalam dialek tinggi, dan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan
dalam masyarakat hanya berbicara dialek rendah. Bayangkan ada
masyarakat bahasa yang menggunakan dua bahasa atau lebih, tetapi
mereka tidak berinteraksi dengan bahasa tertentu pilihan bersama.
Mereka dipersatukan secara politis, religious, dan secara ekonomis.
Contoh: kok mahal sekali pak, biasanya cuman tiga ribu
Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa orang tersebut hanya
menggunakan satu bahasa saja yaitu bahasa Indonesia, tetapu
ditemukan fenomena diglosia yaitu pada kata kok dan cuman
yang keduanya merupakan bahasa Indonesia ragam tidak baku
yang dianggap ragam R dan bahasa Indonesia baku dianggap
ragam T. Diglosia ini termasuk pada tipe diglosia double nested
diglossia.
d. Tipe tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme
Tipe ini masyarakat yang tanpa diglosia dan tidak bilingualisme tentunya
hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk
segala macam tujuan. Keadaan ini hanya mungkin terdapat dalam
masyarakat primitif atau terpencil, yang pada saat ini sukar ditemukan.

X
Contoh: Budi sedang belajar di kamar dan Budi ora seneng sinau
(hanya menggunakan bahasa Indonesia ragam baku saja atau
bahasa Jawa hanya pada satu tingkat, misalnya tingkat ngoko
saja.

C. Alih Kode (Code-Switching)


Sebelum memberi penjelasan tentang alih kode, perlu kiranya memahami
ilustrasi berikut ini:
Disuatu pagi, datang dua sahabat di kelas MPBA C, percakapan singkat pun
terjadi antara Fudhaili dan Fausi, keduanya membahas materi mata kuliah yang
akan berlangsung hari ini dengan berbahasa Madura. Terlihat dari ujung lorong,
Zaky melambaikan tangan dan menyapa hangat mereka berdua. Seketika Zaky
nimbrung dalam pembahasan mereka dengan bahasa jawa, tak lama kemudian
Adi datang dengan segudang kekhawatirannya yang akan presentasi Studi Quran
dengan berbahasa Indonesia. Tanpa terkomando mereka saling bercakap
menggunakan bahasa Indonesia non formal. Sesampainya dikelas, sudah banyak
dari mahasiswa yang lain menempati posisi masing-masing dan saling bercakap
dengan topik dan bahasa yang berbeda. Ada yang berbahasa jambi dengan sesama
orang jambi, berbahasa jawa ngoko dengan mereka yang sudah mengerti bahasa
jawa, banyak pula yang memakai bahasa Indonesia non formal. Ditengah
asyiknya mereka bercakap ria, datanglah Dr. Faisol Mahmud memasuki kelas
sebagai tanda dimulainya perkuliahan, sejenak para mahasiswa berhenti bicara
dan membenarkan posisi masing-masing dan suasana berubah hening hingga pak
Faisol membuka pembelajaran dengan berbahasa Arab
Dari kejadian diatas, dapat kita lihat bahwa bahasa Madura digunakan
oleh Fudhaili dan Fausi (berlatar belakang sama dan bahasa ibu yang sama),
setelah Zaky datang dengan bahasa jawa bahasa ibunya- tidak terjadi
percakapan karena Fudhaili tidak mengerti bahasa jawa dan Zaky tidak mengerti
bahasa madura. Hingga Adi bahasa ibunya Lampung- menanggapi dengan
bahasa Indonesia, saat itulah semua memahami bahasa Indonesia. Kemudian
X
disusul teman-temannya yang lainnya yang menggunakan bahasa berbeda sesuai
lawan bicaranya, dan semua berubah berbahasa arab stelah pak Faisol memasuki
kelas, karena beliau berasal dari sudan dan tidak mampu berbahasa Indonesia,
melainkan sangat sedikit.
Setiap perubahan dari bahasa satu ke bahasa yang lain, atau dari ragam
satu ke ragam yang lain, itulah yang disebut alih kode. Appel dalam buku
Sosiolinguistik (Chaer dan Agustina, 2004:107) mendefinisikan alih kode sebagai
gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi Dalam hal ini
perubahan dari bahasa Madura ke jawa, jawa ke Indonesia, dan Indonesia ke
bahasa arab. Peristiwa itulah disebut alih kode. Perubahan bahasa yang terjadi
dalam ilustrasi diatas dikarenakan keadaan social yang masing-masing dari
mereka berbeda latar belakang dan memiliki bahasa ibu yag tidak sama, seingga
untuk menjaga komunikasi dan ineraksi dapat berjalan dengan baik, maka
mereka menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh semua kalangan, yaitu
bahasa Indonesia. Berbeda dengan pendapat Hymes (2004:108) menyatakan Alih
kode bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antara raga-ragam
atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatubahasaa, seperti dar ilustrasi diatas
setelah dosen datang, semua percakapan berubah dari bahasa Indoneisa menjadi
bahasa Arab.
Sebab-sebab terjadinya Alih kode menurut Fishman dalam buku yang
sama menyebutkan siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,
kapan, dan dengan tujuan apa. Oleh karena itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pembicara / Penutur
2. Pendengar / lawan tutur
3. Perubahan situasi dengan hadirnya lawan ketiga
4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
5. Perubahan topik pembicaraan
Setelah mengetahui sebab terjadinya alih kode, Soewito (2004:114)
membedakan alih kode menjadi dua macam:
1. Alih kode Intern, yakni alih kode yang berlangsung antar
bahasa itu sendiri, seperti dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, atau
sebaliknya.
2. Alih kode Ekstern, yakni alih kode yang terjadi antara bahasa
sendiri (satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir
masyarakat) dengan bahasa asing. Misalnya dari bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia berganti menjadi bahasa Arab.

X
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bilingualisme adalah kebiasaan penggunaan dua bahasa atau lebih dalam
masyarakat bahasa. Berdasarkan kemampuan penuturnya bilingualisme dapat
dibagi atas dua kategori yakni: Bilingualisme setara (coordinate bilingualism)
adalah bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan secara
relatif sama. Dalam bilingualisme demikian, ada proses berpikir yang
konstan(tidak mengalami kerancuan) pada bahasa yang dikuasi dan sedang
digunakan. Dan bilingualisme majemuk (compound bilingualism) adalah
bilingualisme yang terjadi pada penutur yang mengalami proses berpikir pada
seorang bilingual yang bersifat rancu atau kacau dan menggunakan bahasa yang
tidak sama.
Diglosia adalah fenomena penggunaan bahasa yang dipertimbangkan pada
fungsinya. Diglosia terjadi baik pada masyarakat monolingual maupun bilingual.
Pada masyarakat monolingual diglosia adalah penggunaan ragam bahasa sesuai
dengan pertimbangan fungsi setiap ragam.Sedangkan diglosia dalam masyarakat
bilinguall adalah penggunaan tidak hanya pada penggunaan ragam, tetapi juga
penggunaan bahasa sesuai dengan fungsinya.
Hubungan antara bilingualisme dan diglosia terletak pada titik temu dan
titik pisah. Hubungan titik temu berupa beradanya atau tidak beradanya
bilingualisme dan diglosia. Sedangkan hubungan titik pisah berdasarkan
beradanya salah satu fenomena atau tidak adanya salah satu fenomena. Ada
empat tipe hubungan bilingualisme dan diglosia yaitu : (1) diglosia dan
bilingualisme, (2) tipe bilingualisme tanpa diglosia, (3) tipe diglosia tanpa
bilingualisme, dan (4) tipe tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme.

DAFTAR PUSTAKA

X
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolongistik Perkenalan Awal. Cet. II.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Cet. I. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Cet. III. Yogyakarta: SABDA.
Wardaugh, Ronald. 2002. an Introduction to Sociolinguistics. Edc. IV. Massachussets:
Blackwell Publisher Inc.
Yule, George. 2015. Kajian Bahasa. Terj. The study of Language. Edc. V. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai