Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,

sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah menyatu dengan

pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek dan

kegiatan manusia. Tidak ada satu kegiatan manusia pun yang tidak disertai dengan kehadiran

bahasa. Oleh karena itu, jika orang bertanya apakah bahasa itu, maka jawabanya daat

bermacam-macam sejalan dengan bidang kegiatan tempat bahasa itu digunakan. Jawaban

seperti, bahasa adalah alat untuk menyampaikan isi pikiran, bahasa adalah alat untuk

berinteraksi, bahasa adalah alat untuk mengekspresikan diri, dan bahasa adalah untuk

menamung hasil kebudayaan, semuanya dapat diterima.

Berbahasa itu adalah proses menyampaikan makna oleh penutur kepada pendengar

melalui satu atau serangkaian ujaran. Satu proses berbahasa dikatakan berjalan dengan baik

apabila makna yang dikirimkan penutur dapat diresepsi oleh pendengar persis seperti yang

dimaksudkan oleh si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan tidak berjalan

dengan baik apabila makna yang dikirim penutur diresepsi atau dipahami pendengar tidak

sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Ketidaksesuaian ini bisa disebabkan oleh faktor

penutur yang kurang pandai dalam memproduksi ujaran, bisa juga disebabkan oleh faktor

pendengar yang kurang mampu meresepsi ujaran itu, atau bisa juga akibat faktor lingkungan

sewaktu ujaran itu ditransfer dari mulut penutur ke dalam telinga pendengar.1

1
Abdul Chaer. Psikoliguistik, Kajiaan Teoritik. Hal 267

1
Bagaimanakah proses persepsi terhadap ujaran berlangsung? Dan faktor apa sajakah yang

mempengaruhinya? Berikut ini akan dibahas pada poin pembahasan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. PERSEPSI UJARAN

Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara. Jadi ujaran itu

adalah sesuatu baik berupa kata, kalimat, gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang

mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini maka akan muncullah makna sintaksis, semantik,

dan pragmatik.2 Persesi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan

kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. 3 Persepsi

terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara dikelompokkan menjadi dua, yakni :

1. Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktual, yaitu vocal dan konsonan.

2. Persepsi terhadap bunyi yang merupakan cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan

nada.4

Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia karena

ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ad batas waktuyang jelas antara

satu kat dengan kata yang lain.5 Perhatikan tiga ujaran berikut: (a) BukanAngka, (b) Buka

Nangka, (c) Bukan Nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbed maknanya satu dari yang lain,

dalam pengucaannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama.[bukanangka]

Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu

muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan dimana bunyi itu

berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan bunyi [b] pada kata

2
http://afrizaldaonk.blogspot.com/2011/01/persepsi-ujaran.html
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Persepsi
4
Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa.: Langkah Awal Memahami Linguistik, (Gramedia Pustaka Umum: Jakarta)
2005, Hal 43
5
Soenjono Dardjowidjojo. Psikoliguistik. Hal 48

3
biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang mengikutinya sehingga sedikit

banyak ada unsur pembundaran bibir dalam pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang

sama ini akan diucapkan dengan bibir yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/

merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar.6

Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan

baik. Tentu saja persepsi seperti ini ilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya ada

tiga tahap dalam pemprosesan persepsi bunyi (Clark & Clark 1977):

1) Tahap auditori: Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong.

Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti

titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT7 sangat bermanfaat di sini

karena ihwal seperti inilah yang meemisahkan satu bunyi dari bunyi yang lain.

Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam memori auditori kita.

2) Tahap fonetik: bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi dalam proses mental kita,

kita lihat, misalnya, apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal], dst.

Begitu pula lingkungan bunyi itu: aakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau konsonan.

Kalau oleh vokal, vokal macam apa – vokal depan, vokal belakang, vokal tinggi,

vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah Bukan nangka, maka mental kita

menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan menentukan bunyi apa yang kita dengar

itu dengan memperhatikan hal-hal seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur

distingtifnya. Kemudian VOT-nya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan

menentukan kapan getaran pada pita suara itu terjadi.

3) Tahap fonologis: Pada taha ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada

deretan bunyi yang kita dengar untuk menentukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah

6
Ibid, Hal 49
7
VOT adalah Voice Onset Time, waktu antara lepasnya udara untuk pengucapan suatu konsonan dengan
getaran pita suara untuk bunyi vokal yang mengikutinya. (Soenjono Dardjowidjojo. Psikoliguistik. Hal 46)

4
mengikuti aturan fonotaktik yang ada pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris, bunyi

/n/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris pasti tidak

akan menggabungkannya dengan suatu vokal. Seandainya ada urutan bunyi ini

dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan menempatkan bunyi ini dengan bunyi

di mukanta, bukan dibelakangnya. Dengan demikian deretan bunyi /b/, /e/, /n/, /i/,

dan /s/ pasti akan dipersepsi sebagai beng dan is, tidak mungkin be dan ngis.

2. PERSEPSI UJARAN DALAM KONTEKS

Diatas telah digambarkan bagaimana manusia memproses ujaran yang kita dengar

secara satu per satu. Akan tetapi, dalam kenyataannya bunyi itu tidak diujarkan secara

terlepas dari bunyi yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain

sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi yang diujarkan secara

berurutan dengan bunyi yang lain tidak samaa dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara

sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /i/ (serti ada kata pikir) akan berbeda

dengan bunyi /p/ yang diujarkan sbelum bunyi /u/ (seperti pada kata pukat). Pada rentetan

yang pertama, bunyi /p/ ini akan terpengaruhi oleh bunyi /i/ sehingga ucapan untuk /p/ sedikit

banyak sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni, kedua bibir sudah mulai melebar pada saat bunyi

/p/ diucapkan. Sebaliknya, bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir dibundarkan,

bukan dilebarkan seperti pada/pi/.

Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa kedua

bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda merupakan satu bunyi yang secara fonemik sama.

Karena itulah maka betapa pun berbedanya lafal suatu bunyi, pendengar akan tetap

menganggapnya sama bila perbedaan itu merupakan akibat dari adanya bunyi lain yang

mempengaruhinya. Dengan kata lain, alofon-alofon suatu bunyi akan tetap dianggap sebagai

satu fenom yang sama. Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula

5
dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang

lain secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai endengar kita

tetap saja dapat memilah-milahnya dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan kita sebagai

penutur bahasa membantu kita dalam proses persepsi. Faktor lain yang membantu kita dalam

mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan kita dengan sintaksis maupun semantik bahasa

kita. Suatu bunyi yang terucap dengan tidak jelas dapat terkait dari wujud kalimat di mana

bunyi itu terdapat. Bila dalam mengucapkan kalimat Dia sedang sakit kita terbatuk persis

pada saat kita akan mengucapkan kata sakit, sehingga kata ini kedengaran seperti /keakit/,

pendengar kita akan dapat menerka bahwa kata yang terbatukkan itu adalah sakit dari konteks

di mana kata itu dipakai atau dari perkiraan makna yang dimaksud oleh pembicara. Dari

gambaran ini dapatlah dikatakan bahwa pengaruh konteks dalam persepsi ujaran sangatlah

besar. Dari sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala progresif, dan adjektiva

adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat pula kecocokan antara ketiga kata ini.

Dari konteksnya ketiga kata ini memberikan makna yang layak.8

3. MODEL – MODEL UNTUK PERSEPSI

Dalam rangka memahami bagaimana manusia mempersepsi bunyi sehingga akhirnya

nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli psikoliguistik mengemukakan model-model

teoritis yang diharapkan dapat menerangkan bagaimana proses persepsi itu terjadi. Sampai

saat ini ada emat model teoritis yang telah diajukan:

a. Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran.

Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai

Motor Theory of Speech Perception, menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi

dengan memakai acuan seperti pada saat di memproduksi bunyi itu (Liberman dkk 1967

8
Ibid,Hal 57-58

6
dalam Gleason dan Ratner, 1998). Seperti dinyatakan sebelumnya, bagaimana suatu bunyi

diucapkan dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lain di sekitarnya. Namun demikian, bunyi itu

akan tetap merupakan fenom yang sama, meskipun wujud fenotiknya berbeda.

Persamaaan ini disebabkan oleh arti kulasinya yang sama pada waktu mengucapkan

bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi /b/ pada kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama

dalam pengucapannya, kedua bunyi ini tetap sajaa dibuat dengan titik dan cara artikulasi

yang sama. Dengan demikian, seorang penutur akan menganggap kedua bunyi ini sebagai

dua alofon dari satu fenom yang sama, yakni, fonem /b/. dengan kata lain, meskipun

kedua bunyi itu secara fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi sebagai satu

bunyi yang sama. Penentuan suatu bunyi itu bunyi apa persepsi si pendengar yang seolah-

olah membayangkan bagaimana bunyi itu dibuat, seandainya dia sendiri yang

mengujarkannya.

b. Model Analisis dengan Sintaksis

Manuasi bervariasi dalaam ujaran mereka, tergantung pada berbagai faktor seperti

keadaan kesehatan, keaaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat ujaran (sedang

merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya menggantungkan pada fitur

akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki banyak bentuk yang berbeda-beda.

Karena itu, diajukanlah suatu model yang dinamakan Model Analisis dengan Sintaksis

(Analysis-by-Synthesis).

Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang

dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada adanya (Stevens 1960,

dan Stevens dan Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998). Waktu dia mendengar

suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis terhadap bunyi-bunyi itu dari

segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu. Hasil dari analisis ini dapat

7
dipakai untuk memunculkan atau meensintesiskan suatu ujaran yang kemudian dibanding

kan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara ujaran yang dipersepsi dengan ujaran

yang disintesiskan itu cocok maka terbentuklah persepsi yang benar. Bila tidak, maka

dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran lain untuk akhirrnya ditemukan ujaran yang cocok.

Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi /ola/ maka mula-

mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya – dimulai dengan /p/ yang berfitur

[+konssonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini berlanjut untuk bunyi /o/, dan

seterusnya. Setelah semuanya selesai, disintesiskanlah ujaran itu untuk memunculkan

bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk itu seperti kata /mula/, kemudian /pula/,

lalu/kola/, /bola/…sampai akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni, /pola/.

Baru pada saat itulah deretan tadi telah dipersepsi dengan benar.

c. Fuzzy Logical Model

Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) peersepsi ujaran terdiri dari tiga proses:

evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesipulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe, yakni,

bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur

distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi, dintegrasi, dan kemudian

dicocokkan engan deskripsi dari prototipe yang ada pada meemori kita. Setelah

dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok dengan yang terdapat

pada prototipe. Sebagai misal, bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka kita

mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk suku ini, yakni, semua fitur yang ada pada

konsonan /b/ maupun pada vokal /a/. Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan masing-

masing fitur dari suku yang kita dengar dengan masing-masing fitur dari prototipe kita.

Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil kesimpulan bahwa suku kata

/ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku kata dari prototipe kita.

8
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita dengar

tidak mungkin persis 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang mengunyah

sesuatu sambil mengatakan /bar(ran)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/ yang sama

diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa. Begitu pula orang yang

sedang kena flu pasti akan menambah bunyi sengau pada suku ini: akan tetapi, suku kata

/ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap saja kita anggap sama dengan prototipe

kita.9

d. Model Cohort

Model untuk mengenak kata ini (Marslen-Wilson dan Welsh, 1978 dan Marslen-

Wilson, 1987 dalam Gleason dan Ratner, 1998: lihat juga Dominic W. Massaro 1994)

terdiri dari dua tahap. Pertama, tahap dimana informasi mengenai fonetik dan akustik

bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan kita untuk memunculkan

kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka

semua kata yang mulai deengan /p/ akan teraktifkan: pahala, ujaan, priyayi, prakata,

dsb.kata-kata yang termuncul inilah yang disebut sebagai cohort. Pada tahap kedua,

terjadilah proses eliminasi secara bertahap. Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/

maka kata pahala dan pujaanakan tersingkirkan karena bunyi kedua pada kedua kata ini

bukanlah /r/ seperti pada kata targetnya.

Kata priyayi dan prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki

bunyi /r/ setelah /p/. pada proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan karena

kata prakata memiliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan tetapi, pada

proses selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan karena pada kata targetnya bunyi yang

ke-empat adalah /h/ sedangkan pada priyayi adalah /y/. Dengan demikian maka akhirnya

9
Op.cit, Hal 56

9
hanya ada satu kata yang persis cocok dengan masukan yang diterima oleh pendengar,

yakni, kata prihatin. Secara diagramatik model untuk mempersepsi kata prihatin adalah

sebagai berikut:

Pahala

Pujaan

Piranti Priyayi

Prihatin Priyayi Priyayi

Prakata Prakata

Prihatin Prihatin Prihatin

dst Prihatin

e. Model Trace

Model ini mula-mulanya adalah model untuk persepsi huruf tetapi kemudian

dikembangkan untuk mempersepsi bunyi (McClelland dan Rumelhart 1981; Elman dan

McClelland 1984; 1986). Model Trace berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan

mengikuti proses top-down.artinya, konteks leksikal daat membantu secara langsung

pemprosesan secara persetual dan secara akustik. Begitu pula informasi di tataran

dibawahnya. Proses ini terdiri dari tiga tahap : tahap fitur, tahap fonem, dan tahap kata.

Pada masing-masing tahap ada node-node yang mewakili fitur distingtif, fonem, dan kata.

Masing-masing node mempunyai tingkatan yang dinamakan resting, threshold, dan

action.10

10
Ibid, Hal 56

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Persepsi ujaran ternyata tidaklah sederhana yang kita pikirkan, didalamnya terdapat

proses atau tahapan bagaimana suatu persepsi terhada suatu ujaran itu terjadi. Melalui

tahapan-tahapan tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan bunyi yang diujarkan oleh

penutur dan memahaminya secara tepat dan sesuai dengan maksud si penutur. Persepsi ujaran

juga mempunyai beberapa model dimana pada masing-masing model terdapat faktor-faktor

yang mempengaruhi bagaimana sebuah persepsi ujaran itu terbentuk, seperti keadaan

lingkungan, keadaan psikologis si penutur, dan juga kemampuan bahasa si pendengar atau

yang memberikan persepsi.

Adapun model – model untuk persepsi ada lima yaitu :

1. Model teori motor untuk persepsi ujaran

2. Model analisis dengan sintesis

3. Fuzzy logical model

4. Model cohort

5. Model trace

11
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikoliguistik, Kajian Teoritik. Rineka Cipta : Jakarta

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikoliguistik. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa. Gramedia Pustaka Umum: Jakarta

12

Anda mungkin juga menyukai