KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1...................................................................................................LATAR BELAKANG
.................................................................................................................... 2
1.2.................................................................................................RUMUSAN MASALAH
.................................................................................................................... 2
1.3..............................................................................................................TUJUAN 2-3
3.1........................................................................................................KESIMPULAN
.................................................................................................................... 11
3.2 SARAN...................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 12
1
BAB I
PENDAHULUAN
Satu-satunya alat komunikasi yang paling sering digunakan manusia ialah bahasa. Bahasa
merupakan alat penghubung ketika manusia akan berkomunikasi. Selama ini patut kita sadari,
bahasa tidak akan dapat lepas dari ruang gerak manusia dan segala aktifitasnya. Dalam
kehidupan masyarakat, manusia dan bahasa merupakan suatu kesatuan yang utuh, keduanya
tidak dapat dipisahkan, sebab manusia tidak akan dapat berinteraksi tanpa menggunakan bahasa.
Bahasa memiliki arti suatu alat komunikasi yang menghubungkan ujaran dari para pengujar,
sedangkan manusia merupakan makhluk sosial, berakal, saling membutuhkan dan memiliki
tujuan hidup. Dari penyatuan kedua unsur ini, maka lahirlah suatu masyarakat bahasa.
Dalam makalah ini pemakalah mencoba menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan
masyarakat tutur atau masyarakat bahasa, diantaranya adalah Pengertian Masyarakat Tutur,
Batasan Masyarakat Tutur, Penutur Berkompeten dan Penutur Partisipatif, Bahasa dan Tingkatan
Sosial Masyarakat.
2
1.2. RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang dimaksud dengan Masyarakat Tutur?
b. Apa yang dimaksud dengan Verbal Repetoir?
c. Bagaimana batasan masyarakat tutur?
d. Bagaimana Bahasa dan tingkat sosial masyarakat?
1.3. TUJUAN
a. Untuk memberikan informasi tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat tutur.
b. Untuk memberikan informasi tentang apa yang dimaksud dengan Verbal Repetoir.
c. Untuk memberikan informasi tentang bagaimana batasan masyarakt tutur.
d. Untuk memberikan informasi tentang bagaimana bahasa dan tingkat sosial masyarakat.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Secara harfiah masyarakat bahasa memiliki arti sekelompok orang dalam jumlah relatif banyak,
yang merasa sebangsa, sewilayah tempat tinggal, memiliki kepentingan sosial dan merasa
menggunakan bahasa yang sama. Sedangkan bahasa memiliki arti suatu alat komunikasi yang
menghubungkan ujaran dari para pengujar, sedangkan manusia merupakan makhluk sosial,
berakal, saling membutuhkan dan memiliki tujuan hidup. Dari penyatuan kedua unsur ini, maka
lahirlah suatu masyarakat bahasa. Dalam ilmu linguistik, masyarakat bahasa juga bisa disebut
masyarakat tutur.
Menurut Chaer dan Agustina mendefinisikan masyarakat tutur sebagai suatu kelompok orang
atau masyarakat yang memiliki verbal repetoir yang relatif sama serta mereka mempunyai
penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam
masyarakat itu. Maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah
sebuah masyarakat tutur. Satu hal lagi yang perlu dicatat, untuk dapat disebut satu masyarakat
tutur adalah adanya perasaan di antara penuturnya , bahwa mereka merasa menggunakan tutur
yang sama.
Fishman " masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya
mengenal satu variasi bahasa dan norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya" ;
4
William Labov mengatakan bahwa masyarakat tutur tidaklah ditentukan oleh kesepakatan yang
jelas dalam penggunaan unsur-unsur bahasa, melainkan lebih banyak oleh partisipasi penutur
dalam seperangkat norma bersama mengenai bahasa;
Berdasarkan pendapat para ahli bahasa dan sosiolinguistik diatas dapat disimpulkan bahwa
masyarakat tutur ialah sekelompok orang atau individu yang memiliki kesamaan atau
menggunakan sistem kebahasaan yang sama, serta mempunyai penilaian yang sama terhadap
norma-norma pemakaian bahasa itu.
Pada pokoknya masyarakat tutur itu terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual
intelligibility), terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik secara terinci
dalam aspek-aspeknya, yaitu sistem bunyi, sintaksis dan semantik.Dalam saling pengertian itu
ternyata ada dimensi sosialpisikologi yang subyektif. Dalam setiap populasi ada terdapat
banyak speech community dengan demikian sudah barang tentu, adanya tumpang tindih
keanggotaan dan sistem kebahasaan. Ada tiga macam masyarakat ujaran (speech community)
yaitu:
Dengan catatan bahwa mereka yang saling tidak mengerti tapi sebahasa, adalah sangat mungkin
tadinya ‘sebahasa’. Kemudian yang berbeda bahasa tapi saling mengerti, bisa kita anggap sebagi
satu speech community karena meraka mempunyai mutual intelligibility yang dalam sosialisasi
merupakan jaminan bagi terciptanya speech community dan komunikasi. Kalau mereka saling
mengerti walaupun berbeda bahasa itu adalah interaksi. Dua bahasa yang berbeda ini bisa
dianggap sebagai dua dialek atau varian (ragam bahasa) bahasa yang sama.
5
Verbal repertoir ialah semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang
penutur. Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoir sebuah masyarakat tutur dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Verbal repertoir yang menjadi milik masyarakat tutur secara keseluruhan, menunjukan
keseluruhan alat-alat verbal yang ada dalam masyarakat tutur serta norma-norma untuk
menentukan pilihan variasi sesuai dengan fungsi dan situasinya.
2. Verbal repertoire yang dimiliki setiap penutur secara individual, menunjukan keseluruhan
alat-alat verbal yang dikuasai oleh setiap penutur, pemilihan bentuk dan norma-norma
bahasa sesuai dengan fuungsi dan situasinya.
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai
sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif
(communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang
dimiliki oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan fungsi
dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya. Kedua jenis masyarakat tutur ini
terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat besar
dan modern. Hanya seperti yang dikatakan Fishman dan juga Gumperz, masyarakat modern
mempunyai kecendrungan memiliki masyarakat tutur yang terbuka dan cendrung menggunakan
berbagai variasi dalam bahasa yang sama; sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih
tertutup dan cendrung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan . Penyebab
kecendrungan itu adalah faktor sosial dan faktor kultural. Sedangkan berdasarkan verbal
repertoir yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu:
Masyarakat monolingual artinya suatu masyarakat bahasa yang hanya dapat berkomunikasi
dengan satu bahasa. Masyarakat monolingual ini sudah mulai jarang ditemukan pada zaman
sekarang. Masyarakat monolingual biasanya terdapat di daerah terisolasi. Masyarakat bilingual
lebih maju jika dibandingkan dengan masyarakat monolingual. Hal ini karena masyarakat
bilingual telah dapat berkomunikasi dengan dua bahasa. Artinya , masyarakat bilingual lebih
6
bersifat komunikatif dibandingkan masyarakat monolingual, terlebih masyarakat multilingual.
Kelompok masyarakat bahasa multilingual memiliki kemampuan menggunakan lebih dari dua
bahasa.
Batasan masyarakat tutur yang diajukan oleh Chomsky yang menganggap satuan sosial dan
budaya tidak penting dan tidak memenuhi syarat untuk penelitian empiris deskriptif-
sosiolinguistik, yakni masyarakat tutur berada pada Konsep masyarakat tutur homogen
(completely homogenous speech community) jelas-jelas mengingkari fakta bahwa masyarakat
tutur tersusun atas anggota-anggota yang memiliki ciri fisik, kepribadian, status sosial, ekonomi,
tingkat pendidikan, asal kedaerahan yang hakikatnya berbeda-beda. Dalam masyarakat yang
sebenarnya, anggota-anggotanya memiliki ciri fisik yang berupa organ bicara (organ of speech)
yang pada gilirannya nanti menghasilkan idiolek yang berbeda. Mungkin juga menimbulkan
wujud cara berbahasa yang berlainan. Sementara itu, status ekonomi yang berbeda akan
menghasilkan sosiolek yang berbeda. Akhirnya, asal kedaerahan yang berbeda akan melahirkan
bermacam-macam variasi regional yang lazim disebut dialek.
Faktor-faktor sosial dan individual yang lain, seperti umur, jenis kelamin, tingkat keakraban,
latar belakang keagamaan, dan sebagainya tentu menambah komplek wujud bahasa yang
terdapat dalam sebuah masyarakat tutur, sehingga tidak mustahil bahwa dalam sebuah
masyarakat tutur terdapat sejumlah masyarakat tutur lain dalam skope yang lebih kecil. Dalam
sebuah masyarakat tutur, terdiri atas dua jenis penutur menurut Wijaya dan Muhammad yakni :
Penutur berkompeten ialah penutur yang benar-benar mampu menggunakan bahasa dalam
berbagai pengetahuan tentang kosa kata dan struktur bahasa yang bersangkutan, tetapi juga
mempunyai kemampuan untuk mengkomunikasikannya secara pragmatis. Seorang penutur yang
berkompeten harus memiliki empat pengetahuan yakni :
7
(2) pengetahuan mengenai kaidah-kaidah berbahasa (rules of speaking), misalnya, pengetahuan
bagaimana memulai sebuah pembicaraan,
(3) pengetahuan tentang bagaimana menggunakan dan merespon tipe-tipe tindak tutur yang
berbeda-beda, seperti perintah, permohonan atau ucapan terima kasih,
Penutur partisipatif ialah penutur yang tidak atau menguasai bahasa dalam berbagai tindak tutur
atau komunikasi. Seorang penutur partipatif biasanya ialah seorang pendatang dalam sebuah
masyarakat tutur dan ia mengalami sebuah culture shock atau gegar budaya. Wijaya dan
Muhammad (2006 : 51) memberikan contoh sebagai berikut : Seorang penutur asli bahasa Bali
pindah ke kota Semarang. Ia mendengar seorang tetangganya yang penutur bahasa Jawa
mengatakan:
Orang Bali tersebut tidak memahami makna sebenarnya kalimat tersebut sebab ia hanya
memahami kalimatnya secara harfiah, padahal, kalimat tersebut bermakna
Bagaimanakah bentuk hubungan antara bahasa dengan masyarakat? Bentuk hubungan bahasa
dengan masyarakat adalah adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut
variasi ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu didalam
masyarakat.Sebagai contoh di dalam kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam baku, untuk
kegiatan yang sifatnya santai kita menggunakan bahasa yang tidak baku, di dalam kegiatan
berkarya seni kita menggunakan ragam sastra dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan
8
menggunakan bahasa yang benar, yaitu penggunaan bahasa pada situasi yang tepat atau sesuai
konteks di mana kita menggunakan bahasa itu untuk aktivitas komunikasi.
Pertanyaan kita sekarang adalah: adakah hubungan antara bahasa dengan tingkatan sosial di
dalam masyarakat?
1. wong cilik,
2. wong saudagar,
3. priyayi dan
4. ndara (menurut pendapat Kuntjaraningrat).
Dari penggolongan itu jelas adanya pebedaan tingkat dalam masayarakat tutur bahasa jawa.
Sedangkan Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tingkat:
1. priyay
2. bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota
3. petani dan orang kota yang tidak berpendidikan.
Berdasarkan penggolongan, maka di dalam masyarakat jawa memiliki berbagai variasi bahasa
yang di gunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Ragam bahasa yang di gunakan oleh
kalangan wong cilik berbeda dengan ragam bahasa yang di gunakan oleh para priayi. Variasi
9
bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek
social; lazim juga disebut sosiolek .
Tingkat sosial yang berbeda juga menyebabkan perbedaan variasi yang berbeda. Sebagi contoh
apabila wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara atau petani yang tidak berpendidikan
berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing – masing menggunakan variasi bahasa
jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa
yang lebih tinggi yaitu krama, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat
bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Variasi bahasa seperti ini di dalam bahasa jawa
disebut undak usuk. Penggunakan tingkatan bahasa yang disebut undak usuk ini
mempertimbangkan kedudukan tingkat sosial yang dimiliki. Adanya tingkat – tingkat bahasa ini
menyebabkan penutur dari masyarakat jawa tersebut untuk mengetahui lebih dulu kedudukan
tingkat sosialnya terhadap lawan bicaranya. Ada kalanya mudah, tetapi seringkali tidak mudah.
Lebih-lebih lagi kalau terjadi si penutur lebih tinggi kedudukan sosialnya tetapi usianya lebih
muda. Atau sebaliknya, kedudukan sosialnya lebih rendah, tetapi usianya lebih tua dari lawan
bicarnya. Kesulitan ini di tambah pula dengan semacam kode etik, bahwa seorang penutur tidak
boleh menyebut dirinya dengan tingkat bahasa yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dilihat
betapa rumitnya pemilihan variasi bahasa untuk berbicara bahasa jawa. Pembagian jenis kata
pada rendah (ngoko), menengah (madyo) dan atas (inggil) mengacu pada adanya strata sosial
masyarakat dalam budaya Jawa.
10
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
a. Masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang
berinteraksi dengan bahasa tertentu. Berdasarkan pendapat para ahli bahasa dan
sosiolinguistik dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompok orang atau
individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem kebahasaan yang sama, serta
mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu.
b. Batasan Masyarakat Tutur, Konsep masyarakat tutur homogen ( homogenous speech
kommunity) yang diajukan Chomsky jelas-jelas mengingkari fakta yyang ada bahwa
masyarakat tutur tersusun atas, anggota yang memiliki ciri fisik, kepribadian, status
sosial, ekonomi, tingkat pendidikan, asal kedaeraan yang memakainya berbeda-beda.
Faktor lainya seperti umur jenis kelamin, tingkat keakraban, latar belakang keagamaan.
3.2. SARAN
Saran yang dapat diberikan tim penulis untuk pembac adalah menambah referensi bacaan tentang
materi yang telah dipaparkan diatas sebab, materi ini hanya sebatas perkenalan terhdapa apa
yang kita bahas.
11
DAFTAR PUSTAKA
Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
12