Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Waktu kita mendengarkan orang lain berbicara, kita rasanya
dengan begitu saja dapat memahami apa yang dia katakan. Kita
tidak menyadari bahwa ujaran yang diwujudkan dalam bentuk bunyi
– bunyi yang melewati udara itu sebenarnya merupakan hal yang
sangat komplek hal ini kita rasakan apabila kita mendengar orang
berbicara dengan bahasa asing. Kecuali bila bahasa asing kita telah
sangat baik, biasanya kita benar – benar menyimak tiap kata yang
dia keluarkan untuk dapat memahami. Bahkan yang sering terjadi
iyalah bahawa belum lagi kiata menangkap dan memahami suatau
deretan kata yang diucapkan, pembicara tadi telah berlanjut dengan
kata – kata yang lain sehingga akhirnya kita ketinggalan. Hasilnya
adalah bahwa kita tidak data memahami, atau tidak memahami
dengan baik, apa yang dia katakan.
Masalah yang diahadapi oleh pendengar adalah bahwa dia
harus dapat meramu bunyi – bunyi yang dia dengar dengan
sedemikian rupa sehingga bunyi – bunyi itu membentuk kata yang
tidak hanya bermakan tetapi juga cocok dalam kontek dimana kata
– kata itu dipakai. Bagi penutur asli, atau penutur yang sudah fasih
yang berbahasa tersebut, kasus seperti ini tidak terasakan dan
dating begitu saja secara naluri. Akan tetapi, bagi penutur asing
proses ini sanagat rumit. pengalaman menulis waktu mengajar
bahasa Indonesia di universitas hawai membuktikan hal ini. Pada
waktu itu para mahasiswa diminta untuk mendengarkan rekaman
suatu percakapan. Dalam percakapan itu ada kalimat yang berbunyi
nanti malam akan nada pesta. Jadi dalam makalah ini kami akan
membahas tentang bagaimana presepsi dan produksi ujar yang
akan dirangkum dan di kupas sedemikian rupa.

B. Rumusan Masalah
2

Dalam pembahasan makalah ini kami akan memfokuskan pada


beberapa masalah di bawah ini :
1. Apa defenisi persepsi dan produksi ujar?
2. Bagaimanakah proses persepsi terhadap ujaran berlangsung?
3. faktor apa sajakah yang mempengaruhinya?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mendeskripsikan apa defenisi persepsi dan produksi ujar.
2. Mengetahui Bagaimanakah proses persepsi terhadap ujaran
berlangsung
3. Mengetahui faktor apa sajakah yang mempengaruhi persepsi
ujaran
4. Memenuhi tugas pada mata kuliah Psikolingusitik Lanjut yang
disampaikan oleh Drs. A. Murtadlo, M.Pd

D. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari penelitian ini, adalah
sebagai berikut:
1. Manfaat praktis
Agar informasi yang didapat bermanfaat bagi siapapun yang
membaca makalah ini serta dapat menjadi referensi bagi
pembaca yang mempelajari psikolinguistik atau yang
membutuhkan.
2. Manfaat teoristes
a. Bagi mahasiswa
Makalah ini diharapkan dapat memberikan data informasi
terhadap mata kuliah psikolinguistik dan agar mahasiswa lebih
memahami tentang persepsi dan produksi ujaran.
b. Bagi lembaga
Makalah ini diharapkan untuk Memberikan sumbangan pikiran
dalam usaha pengkajian yang menggambarkan sejumlah persepsi
dan produksi ujaran.
3

c. Bagi dosen
Makalah ini diharapkan mampu memenuhi kriteria yang
diinginkan dosen agar dosen dapat mengetahui seberapa dalam
pengetahuan dan ilmu yang telah di ajarkannya kepada
mahasiswa khususnya dalam mata kuliah psikolinguistik.

BAB II
PEMBAHASAN

1. PERSEPSI TERHADAP UJARAN


Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok
yang berbicara.Jadi ujaran itu adalah sesuatu baik berupa
kata,kalimat,gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang
mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini maka akan muncullah
makna sintaksis,semantik,dan pragmatik.
Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna
memberikan arti bagi lingkungan mereka.
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah
dilakukan oleh manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas
verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu
kata dengan kata yang lain. Ketika seseorang berbicara atau
bernyanyi, indera pendengaran kita mampu membedakan ciri bunyi
yang satu dengan yang lainnya. Indera pendengaran mampu
menangkap dan memahami rangkaian bunyi vokal dan konsonan
yang membentuk sebuah tuturan, cepat-lambat tuturan, dan nada
tuturan yang dihasilkan oleh seorang penutur. Seorang penguji coba
dalam sebuah media elektronik dituntut memiliki kepekaan dalam
persepsi terhadap bunyi bahasa yang yang dihasilkan oleh calon
pembawa acara. Ia harus mampu menangkap ketepatan bunyi vokal
dan konsonan. Selain itu, ia harus mampu menangkap cepat-
lambat, tekanan, serta nada bicara si calon pembawa acara
4

tersebut. Seorang komentator dalam acara kompetisi menyanyi


yang populer di televisi dituntut mampu menangkap ketepatan nada
yang dihasilkan oleh si penyanyi[5].
Berdasarkan uraian diatas, persepsi terhadap bunyi bahasa yang
dihasilkan oleh alat bicara dikelompokan menjadi dua, yakni:

Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu


vokal dan konsonan
Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan,
tekanan, dan nada.

Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita


dengar disebut bunyi segmental. Bunyi bhasa yang berupa cepat-
lambat, kelantangan, tekanan, dan nada disebut bunyio
suprasegmental atau prosodi.
Perhatikan tiga ujaran berikut : a) Bukan angka, b) Buka nangka c)
Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu
dari yang lain , dalam pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa
sama [bukanahka].
Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama
tiap kali bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan
dipengaruhi oleh lingkungan di mana bunyi itu berada. Bunyi [b]
pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan bunyi [b] pada
kata biru . Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang
mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir
dalam pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan
diucapkan dengan bibir yang melebar pada kata biru karena
bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar.
Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-
bunyi bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini
dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga
tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clack & Clark, 1977) :
5

Tahap auditori: Pada tahap ini manusia menerima ujaran


sepotong demi sepotong. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi
fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti titik artikulasi, cara
artikulasi, fitur distingtif, dan VOT[8] sangat bermanfaat di sini
karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi
yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam memori
auditori kita.
Tahap fonetik : Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam
proses mental kita,kita lihat, misalnya apakah bunyi tersebut
[+konsonantal], [+vois], [+nasal], dst. Begitu pula lingkungan bunyi
itu : apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau oleh konsonan. Kalau
oleh vokal, vokal macam apa – vokal depan, vokal belakang, vokal
tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah Bukan
nangka , maka mental kita menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu
dan menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan
memperhatikan hal-hal seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan
fitur distingtifnya. Kemudian VOTnya juga diperhatikan karena VOT
inilah yang akan menetukan kapan getaran pada pita suara itu
terjadi.
Segmen-segmen bunyi ini kemudian kita simpan di memori
fonetik. Perbedaan antara memori auditori dengan memori fonetik
adalah bahwa pada memori auditori semua variasi alofonik yang
ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori fonetik
hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita
mendengar bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada
memori auditori bukan fonem /b/ dan bukan hanya titik artikulasi,
cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja tetapi juga pengaruh
bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian maka [b] ini ssedikit
banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip – rounding) . Pada memori
fonetik, hal-hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu
kita tangkap bunyi itu sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak
signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu diikuti oleh bundaran bibir
atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/.
6

Analisis mental yang lain adalah untuk melihat bagaimana bunyi-


bunyi itu diurutkan karena urutan bunyi inilah yang nantinya
menentukan kata itu kata apa. Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa
membentuk kata yang berbeda bila urutannya berbeda. Bila /k/
didengar terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan
terdengarlah bunyi /kan/; bila /n/ yang lebih dahulu, maka
terdengarlah bunyi /nak/.[9]

Tahap fonologis : Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan


fonologis pada deretan bunyi yang kita dengar untuk menetukan
apakah bunyi-bunyi tadi sudah mengikuti aturan fonotaktik yang
pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris, bunyi /h/ tidak mungkin
memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris pasti tidak
akan menggabungkannya dengan vokal. Seandainya ada urutan
bunyi ini dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan
menempatkan bunyi ini dengan bunyi di mukanya, bukan di
belakangnya. Dengan demikian deretan bunyi /b/, /Ə/, /h/, /i/, dan /s/
pasti akan dipersepsi sebagai beng dan is , tidak mungkin be dan
ngis.

Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/


tidak mustahil akan mempersepsikannya sebagai /mb/ karena
fonotaktik dalam bahasa kita memungkinkan urutan seperti ini
seperti pada kata mbak dan mbok meskipun kedua-duanya
pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur Inggris pasti akan
memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku yang berbeda.
Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan fonotaktik
bahasa tersebut pastilah akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/
tidak mungkin memulai suatu suku sehingga kalau terdapat deretan
bunyi /anaktuhgal/ tidak mungkin akan dipersepsi sebagai /ana/ dan
/ktuhgal/ secara mental dengan melalui proses yang sama.
Kemudian bunyi /k/, dst. Sehingga akhirnya semua bunyi dalam
ujaran itu teranalisis. Yang akan membedakan antara bukan nangka,
7

bukan angka, dan buka nangka adalah jeda (juncture) yang terdapat
antara satu kata dengan kata lainnya.

2. MODEL-MODEL UNTUK PERSEPSI


Dalam rangka memahami bagaimana manusia mempersepsi bunyi
sehingga akhirnya nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli
psikolinguistik mengemukakan model-model teoritis yang
diharapkan dapat menerangkan bagaimana proses persepsi itu
terjadi. Sampai saat ini ada empat model teoritis yang telah
diajukan:
a. Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran
Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa
Inggris disebut sebagai Motor Theory of Speech Perception,
menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan memakai
acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman dkk
1967 dalam Gleason dan Ratner, 1998). Seperti dinyatakan
sebelumnya, bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh
bunyi-bunyi lain di sekitarnya. Namun demikian, bunyi itu akan
tetap merupakan fonem yang sama, meskipun wujud fonetiknya
berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh artikulasinya yang sama
pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi /b/
pada kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama dalam
pengucapannya, kedua bunyi ini tetap saja dibuat dengan titik dan
cara artikulasi yang sama. Dengan demikian, seorang penutur akan
menganggap kedua bunyi ini sebagai dua alofon dari satu fonem
yang sama, yakni, fonem /b/. Dengan kata lain, meskipun kedua
bunyi itu secara fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi
sebagai satu bunyi yang sama.
Penentuan suatu bunyi itu bunyi apa didasarkan pada persepsi si
pendengar yang seolah-olah membayangkan bagaimana bunyi itu
dibuat, seandainya dia sendiri yang mengujarkannya.
b. Model Analisis dengan Sintesis
8

Manusia bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada berbagai


faktor seperti keadaan kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau
sedih), dan keadaan alat ujuran (sedang merokok atau tidak).
Dengan demikian, kalau kita hanya menggantungkan pada fitur
akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki banyak
bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model
yang dinamakan Model Analisis dengan Sintesis (Analysis-by-
Synthesis).
Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem
produksi yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan
mekanisme yang ada padanya (Stevens 1960, dan Stevens dan
Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998). Waktu dia mendengar
suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis terhadap
bunyi-bunyi itu dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-
masing bunyi itu. Hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan
atau mensintesiskan suatu ujaran yang kemudian dibandingkan
dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara ujaran yang
dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka
terbentuklah persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih
lanjut ujaran-ujaran lain untuk akhirnya ditemukan ujaran yang
cocok.
Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan
bunyi /pola/ maka mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur
distingtifnya – dimulai dengan /p/ yang berfitur [+konsonantal], [-
kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini berlanjut untuk bunyi /o/, dan
seterusnya. Setelah semuanya selesai, disintesiskanlah ujaran itu
untuk memunculkan bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk itu
seperti kata /mula/, kemudian /pula/, lalu /kola/, /bola/ ... sampai
akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni, /pola/. Baru
pada saat itulah deretan tadi telah dipersepsi dengan benar.
c. Fuzzy Logical Model
Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari
tiga proses : evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam
9

model ini ada bentuk prototipe, yakni, bentuk yang memiliki semua
nilai ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur
distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi,
diintegrasi, dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari
prototipe yang ada pada memori kita. Setelah dicocokkan lalu
diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok dengan yang
terdapat pada prototipe.
Sebagai misal, bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka
kita mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk suku ini, yakni,
semua fitur yang ada pada konsonan /b/ maupun pada vokal /a/.
Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan masing-masing fitur dari
suku yang kita dengar dengan masing-masing fitur dari prototipe
kita. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil
kesimpulan bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar itu sama (atau
tidak sama) dengan suku kata dari prototipe kita.
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau
kata yang kita dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan
prototipe kita. Orang yang sedang mengunyah sesuatu sambil
mengatakan /ba(rah)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/ yang
sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah
apa-apa. Begitu pula orang yang sedang kena flu pasti akan
menambahkan bunyi sengau pada suku ini; akan tetapi, suku kata
/ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap saja kita anggap
sama denga prototipe kita.[12]

d. Model Cohort
Model untuk mengenal kata ini terdiri dari dua tahap:

 Pertama, tahap di mana informasi mengenai fonetik dan akustik


bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan
kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata
tadi. Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang
mulai dengan /p/ maka teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi,
10

prakata, dsb. Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut


sebagai cohort.
 Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi secara bertahap.
Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala
dan pujaan akan tersingkirkan karena bunyi kedua pada kata
kedua ini bukanlah /r/ seperti pada kata targetnya. Kata priyayi
dan prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata ini
memiliki bunyi /r/ setelah /p/. Pada proses berikutnya, hanya
priyayi yang masih bertahan karena kata prakata memliki bunyi
/a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan tetapi, pada proses
selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan karena pada kata
tergetnya bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada
priyayi adalah /y/. Dengan demikian maka akhirnya hanya ada
satu kata yang persis cocok dengan masukan yang diterima
oleh pendengar, yakni, kata prihatin. Secara diagramatik model
untuk mempersepsi kata prihatin adalah sebagai berikut:

Pahala
Pujaan
Prianti
Prihatin Priyayi pryayi priyayi
Prakata prakata
Prihatin prihatin prihatin prihatin
Dst

e. Model Trace
Model ini mula-mulanya adalah model untuk mempersepsi
huruf tetapi kemudian dikembangkan untuk mempersepsi bunyi.
Model TRACE berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan
mengikuti proses top-down. Artinya konteks leksikal dapat
membantu secara langsung pemrosesan secara perseptual dan
secara akustik. Begitu pula informasi di tataran kata dapat juga
mempengaruhi pemprosesan pada tataran di bawahnya.
11

Proses ini terdiri dari tiga tahap: tahap fitur, tahap fonem, dan tahap
kata. Pada masing-masing tahap ada node-node yang mewakili fitur
distingtif, fonem, dan kata. Masing-masing node mempunyai tingkat
yang dinamakan resting, threshold, dan activation. Bila kita
mendengar suatu bunyi,maka bunyi ini akan mengaktifkan fitur-fitur
distingtif tertentu dan ‘’mengistirahtkan’’ fitur-fitur distingtif lain
yang tidak relevan. Jadi, seandainya kita mendengar bunyi /ba/,
maka bunyi /b/ akan mengaktifkan fitur-fitur distingtif
[+konsonantal], [+anterior], [+vois] dan beberapa fitur yang lain,
tetapi fitur-fitur seperti [+vokalik], [+nasal], dan [+koronal] akan
‘’diistirahatkan.’’ Dengan kata lain, fitur-fitur yang relevan itu tadi
muncul pada tingkat threshold.
Node-node ini saling berkaitan sehingga munculnya fitur-fitur
tertentu pada tingkat threshold bisa pula memunculkan node-node
yang lain. Karena perbedaan antara /b/ dan /p/ hanyalah pada soal
vois maka waktu /b/ muncul, /p/ bisa pula ikut muncul untuk
dikontraskan – meskipun kemudian disingkirkan. Begitu pula ada
jaringan interkoneksi antara satu tingkat dengan tingkat yang lain.
Munculnya /k/ dan /o/ utuk kata Inggris coat bisa memunculkan kata
code, boat, dan road pada tataran kata.
Melalui proses eliminasi pada masing-masing tahap akhirnya
ditemukan kata yang memang kita dengar

3. PERSEPSI UJARAN DALAM KONTEKS


Di atas telah digambarkan bagaimana manusia memproses
ujaran yang kita dengar secara satu per satu. Akan tetapi, dalam
kenyataannya bunyi itu tidak diujarkan secra terlepas dari bunyi
yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi
yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan
bunyi. Lafal bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi
yang lain tidak sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara
sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti
kata pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang diujarkan sebelum
12

bunyi /u/ ( seperti pada kata pukat). Pada rentetan yang pertama,
bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh bunyi /i/ sehngga ucapan
untuk /p/ sedikit banyak sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni, kedua
bibir sudah mulai melebar pada saat bunyi /p/ diucapkan.
Sebaliknya, bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir
bundarkan, bukan dilebarkan seperti pada /pi/.
Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat
menentukan bahwa kedua bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda
merupakan satu bunyi yang secara fonemik sama. Karena itulah
maka betapa pun berbedanya lafal suatu bunyi, pendengar akan
tetap menganggapnya sama apabila perbedaan itu merupakan
akibat dari adanya bunyi lain yang mempengaruhinya. Dengan kata
lain, alofon-alofon suatu bunyi akan tetap dianggap sebagai satu
fonem yang sama.
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula
dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan
dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak
berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar kita tetap saja
dapat memilah-milihnya dan akhirnya menentukannya.
Pengetahuan kita sebagai penutur bahasa membantu kita dalam
proses persepsi.
Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran
adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik
bahasa kita. Suatu bunyi yang terucap dengan tidak jelas dapat
diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu terdapat. Bila dalam
mengucapkan kalimat Dia sedang sakit kita terbatuk persis pada
saat kita akan mengucapkan kata sakit, sehingga kata ini
kedengaran seperti /keakit/, pendengar kita akan dapat menerka
bahwa kata yang terbatukkan itu adalah sakit dari konteks di mana
kata itu dipakai atau dari perkiraan makna yang dimaksud oleh
pembicara.
Dari gambaran ini dapatlah dikatakan bahwa pengaruh
konteks dalam persepsi ujaran sangatlah besar. Dari sintaksisnya
13

kita tahu bahwa urutan pronomina, kala progsesif, dan adjektiva


adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat pula
kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini
mmemberikan makna yang layak

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Persepsi ujaran ternyata tidaklah sesederhana yang kita
pikirkan, di dalamnya terdapat proses atau tahapan bagaimana
suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu terjadi. Melalui tahapan-
tahapan tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan bunyi
yang diujarkan oleh penutur dan memahaminya secara tepat dan
sesuai dengan maksud si penutur.
Persepsi ujaran juga mempunyai beberapa model dimana pada
masing-masing model terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
14

bagaimana sebuah persepsi ujaran itu terbentuk, seperti keadaan


lingkungan, keadaan psikologis si penutur, dan juga kemampuan
bahasa si pendengar atau yang memberikan persepsi.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoritik.Rineka Cipta :


Jakarta

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik. Yayasan Obor


Indonesia:Jakarta
15

Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa.Gramedia Pustaka Umum :


Jakarta

Shanin Shum, Psikolinguistik: Persepsi Ujaran


http://shanindisini.blogspot.co.id/2012/10/psikolinguistik-persepsi-
ujaran.html
diakses tanggal 20 Desember 2017.

Anda mungkin juga menyukai