Anda di halaman 1dari 8

Hakikat Wacana dan Analisis Wacana

A. Pengertian
1. Wacana
Wacana adalah salah satu bagian dari strata kebahasan yang menduduki posisi
tertinggi. Berdasarkan pernyataan itu, dapat dikatakan bahwa wacana merupakan
satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar.
Kata wacana berasal dari kosa kata Sansekerta vacana yang artinya ‘bacaan’. Kata
vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru menjadi
wacana yang berarti bicara, kata, atau ucapan (Baryadi, 2002). Kata wacana dalam
bahasa Jawa Baru itu diserap ke dalam bahasa Indonesia wacana yang berarti ucapan,
percakapan, kuliah (Poerwadarminta, 2003). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Diknas, 2008) pengertian itu ditegaskan kembali, yakni bahwa wacana tidaklah lain
dari komunikasi verbal atau percakapan; atau pertukaran ide secara verbal. Di situ juga
dicatat bahwa wacana adalah keseluruhan peristiwa tutur yang merupakan satu
kesatuan bahasa.
Wacana dalam bahasa Inggris disebut dengan “discourse” merupakan tulisan atau
ucapan yang merupakan wujud penyampaian pikiran secara formal dan teratur. Dalam
realisasinya wacana diwujudkan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri
ensiklopedi, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang
lengkap. Wacana yang diwujudkan dalam bentuk karangan akan ditandai oleh satu
judul karangan. Wacana yang diwujudkan dalam bentuk karangan (karangan yang
dituliskan) akan ditandai oleh satu judul karangan. jika karanagan itu dilisankan, maka
wacana tersebut akan ditandai oleh adanya permulaan salam pembuka dan adanya
penyelesaian dengan salam penutup. Berikut pengertian wacana dari para ahli:
1. Edmondson dalam Tarigan (1981:4) menjelaskan bahwa wacana adalah suatu
peristiwa berstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku linguistik (yang
lainnya), sedangkan teks adalah suatu urutan ekspresi-ekspresi linguistik terstruktur
yang membentuk suatu keseluruhan yang padu uniter.
2. Stubbs dalam Tarigan (1983:10) menjelaskan bahwa wacana adalah organisasi
bahasa di atas kalimat atau di atas klausa, dengan kata lain unit-unit linguistik yang
lebih besar dari kalimat atau klausa, seperti percakapan atau teks-teks tertulis.
Secara singkat apa yang disebut teks bagi wacana adalah kalimat bagi ujaran atau
utterance.
3. Deese dalam Tarigan (1984:72) menjelaskan bahwa wacana adalah seperangkat
proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa
kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus muncul
dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh penyimak
atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan atau pengutaraan wacana itu.
4. Kridalaksana dalam Tarigan (1984:208) menjelaskan bahwa wacana (discourse)
adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk wacana
yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.) paragraf, kalimat atau kata yang
membawa amanat yang lengkap.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan
bahasa yang terstruktur secara lengkap yang disajikan secara teratur dan membentuk
suatu makna yang disampaikan secara tertulis maupun lisan. Wacana dapat pula
dikatakan sebagai rekaman mengenai kebahasaan yang utuh tentang peristiwa
komunikasi, dapat berupa bahasa lisan dan dapat pula berupa tulisan. Dalam wacana
lisan dibutuhkan adanya pembicara dan pendengar, sedangkan dalam wacana tulis
dibutuhkan adanya penulis dan pembaca serta dalam wacana tulis harus ada hasil dari
pengungkapan ide/gagasan penulis. Wacana mempelajari bahasa dalam pemakaian,
jadi sangatlah bersifat pragmatik. Pragmatik adalah study yang dihubungkan dengan
semua bahasa dan konteks yang digramatikalisaskan atau ditandai dala struktur bahasa.
Pragmatik merupakan makna yang tidak dapat dijangkau melalui acuan secara
langsung, tetapi melalui kondisi kebenaran kalimat yang dilafalkan atau dituliskan.

Banyak ahli telah membuat klasifikasi wacana sesuai dengan sudut pandangnya,
atau dari mana sebuah wacana dilihatnya. Namun demikian, pada umumnya wacana
dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu:
a. Berkenaan dengan sarananya, wacana dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu (1)
wacana lisan, dan (2) wacana tulis.
b. Dilihat dari penggunaan, pemaparan, dan tujuannya, wacana dapat diklasifikasi
menjadi dua, yaitu (1) wacana prosa, dan (2) wacana puisi. Wacana prosa
selanjutnya diklasifikasi menjadi lima, yakni: a. Wacana narasi, yaitu wacana yang
menceritakan sesuatu hal. b. Wacana deskripsi, yaitu wacana yang melukiskan atau
menggambarkan hal, orang, atau tempat tertentu. c. Wacana eksposisi, yaitu wacana
yang memaparkan sesuatu hal. d. Wacana persuasi, yaitu wacana yang mengajak,
menganjurkan, atau malah melarang pembaca untuk melakukan sesuatu hal. e.
Wacana argumentasi, yaitu wacana yang memberikan argumen atau alasan terhadap
sesuatu hal.

2. Analisis Wacana
Pengertian analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan atau bahasa
dalam konteks sosial pemakaian bahasa. Analisis wacana merujuk pada upaya
mengkaji pengaturan bahasa di atas klausa dan kalimat, dan karenanya juga mengkaji
satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas. Seperti pertukaran percakapan atau bahasa
tulis. Konsekuensinya, analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu
digunakan dalam konteks sosial, khususnya interaksi antar penutur.
Analisis wacana menggunakan aturan-aturan atau batasan-batasan bahasa. Aturan-
aturan itu termasuk sintaksis atau tata kalimat dan harus memperhatikan fenomena dari
wacana. Senada dengan yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown seperti yang dikutip
ulang oleh Sarwiji (2008: 146) bahwa komunikasi sulit kita laksanakan tanpa adanya
hubungan-hubungan wacana yang merupakan hubungan antarkalimat dan suprakalimat
(suprasentensial) dan tanpa adanya konteks. Sarwiji Suwandi ( 2008: 145)
mengemukakan bahwa analisis wacana pada hakikatnya merupakan kajian tentang
fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi.
Kajian analisis wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan
prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah prinsip interpretasi berdasarkan
konteks, baik konteks linguistik atau koteks maupun konteks nonlinguistik. Konteks
nonlinguistik yang merupakan konteks lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga
dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan. Prinsip interpretasi
analogi adalah prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu
yang sama atau yang sesuai. Menurut Stubbs (1983) analisis wacana merujuk pada
upaya mengkaji penggunaan bahasa di atas kalimat atau klausa; dan oleh karenanya,
analisis wacana mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas seperti percakapan
(wacana lisan) atau teks tulis.
Berdasarkan beberapa pengertian analisis wacana tersebut, pengertian analisis
wacana membahas bagaimana pemakai bahasa mencerna apa yang ditulis oleh para
penulis dalam buku-buku teks, memahami apa yang disampaikan penyapa secara lisan
dalam percakapan, dan dengan mengemukakan pula konteks yang menyertai teks.
Dengan demikian analisis wacana berupa upaya menafsirkan suatu wacana yang tidak
terjangkau oleh semantik tertentu maupun sintaksis.

B. Kedudukan Wacana
Satuan bahasa dalam tata bahasa deskriptif akan dilihat dari dua tataran, yaitu tataran
bunyi dan tataran gramatikal. Kajian tataran bunyi adalah fonologi, sedangkan tataran
gramatikal mencakup morfologi, sintaksis, dan wacana. Para tata bahasawan struktural
lazim memandang satuan bahasa yang paling tinggi adalah kalimat. Namun, kenyataan
menunjukkan bahwa hasil kajian linguistik menunjukkan ada satuan di atas kalimat yang
masih dipandang sebagai satuan gramatikal, yaitu paragraf dan wacana. Dalam hubungan
itu, Kridalaksana (1990:32) menjabarkan satuan gramatikal menjadi sembilan level dan
menempatkan wacana sebagai satuan gramatikal yang tertinggi. Susunan satuan gramatikal
yang dimaksud dapat dilihat di bawah ini. Wacana Dialog Monolog paragraf Kalimat
Klausa Frasa Kata Morfem Susunan hierarki linguistik di atas menggambarkan bahwa
satuan gramatikal terkecil adalah morfem dan satuan tertinggi dan terbesar adalah wacana.
Susunan itu membuktikan bahwa kajian wacana akan mengaitkan satuan gramatikal di
bawahnya, yaitu dialog, monolog, paragraf, kalimat, klausa, frasa, dan kata.

C. Kedudukan Analisis Wacana dengan Ilmu Bahasa lainnya


1. Analisis “Wacana” dengan “Fonologi”
Abdul Chaer (2007:102) menjelaskan bahwa fonologi adalah bidang linguistik yang
mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Wacana
adalah kajian yang meneliti dan mengkaji bahasa yang digunakan secara alamiah, baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan. Hubungan antara fonologi dan wacana adalah
sebagai berikut:
a. Fonologi maupun wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek
kajiannya, hanya saja perbedaannya adalah fonologi mengkaji struktur bahasa
(khususnya bunyi bahasa) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di luar
struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Fonologi merupakan tataran terkecil dalam
Wacana. Dalam mengkaji wacana, teori tentang bunyi-bunyi bahasa sangat
diperlukan sebab Fonologi merupakan dasar dari ilmu bahasa lainnya.
b. Fonologi dan Wacana sama-sama mengkaji bahasa dalam bentuk lisan, hanya saja
yang membedakan adalah fonologi tidak mengkaji bahasa dalam bentuk tulisan
sebab yang menjadi objeknya hanyalah bunyi-bunyi bahasa yang dikeluarkan oleh
alat ucap manusia, sedangkan wacana mengkaji naskah-naskah yang berbentuk
tulisan.
2. Analisis “Wacana” dengan “Morfologi”
Wijana (2007:1) menjelaskan bahwa morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari seluk-beluk morfem dan penggabungannya untuk membentuk satuan
lingual yang disebut kata polimorfemik. Hubungan Morfologi dengan Wacana adalah
sebagai berikut:
a. Morfologi dan Wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya.
Hanya saja, sama dengan Fonologi, morfologi juga mengkaji struktur bahasa
(khususnya pembentukan kata) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di luar
struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Morfologi merupakan tataran terkecil
kedua dalam Wacana. Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan kata
sangat dibutuhkan sebab Wacana yang berbentuk naskah itu terbentuk dari susunan
kata demi kata yang memiliki makna.
b. Morfologi yang mempelajari seluk beluk pembentukan kata sangat berhubungan
dengan Wacana karena dalam Wacana harus tepat dalam memilih kata-kata sesuai
dengan maksud yang ingin disampaikan oleh Wacana tersebut.
3. Analisis “Wacana” dengan “Sintaksis”
Ramlan (1996:21) menjelaskan bahwa sintaksis adalah cabang dari ilmu bahasa
yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa. Sedangkan
Kridalaksana dalam Tarigan (1984:208) menjelaskan bahwa wacana (discourse) adalah
satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk wacana yang utuh
(novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.) paragraf, kalimat atau kata yang membawa
amanat yang lengkap. Hubungan antara Sintaksis dengan Wacana adalah sebagai
berikut:
a. Sintaksis dan Wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya.
Hanya saja, sama dengan Fonologi dan morfologi, Sintaksis juga mengkaji struktur
bahasa (khususnya pembentukan kalimat) sedangkan analisis wacana mengkaji
bahasa di luar struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Sintaksis merupakan tataran
terkecil ketiga dalam Wacana.
b. Sintaksis yang mempelajari seluk beluk pembentukan kalimat sangat berhubungan
dengan Wacana karena Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan
kalimat sangat dibutuhkan. Sebuah Wacana dapat dikatakan baik apabila hubungan
antara kalimat-kalimatnya kohesi dan koheren.
4. Analisis “Wacana” dengan “Semantik”
George dalam Tarigan (1964:1), secara singkat dan populer menjelaskan bahwa
semantik adalah telaah mengenai makna. Hubungannya dengan Wacana adalah baik
Semantik maupun Wacana sama-sama mengkaji makna bahasa sebagai objek
kajiannya. Hanya saja perbedaannya adalah Semantik mengkaji makna leksikal bahasa
(makna lingistik), sedangkan Wacana mengkaji makna kontekstual atau implikatur dari
ujaran-ujaran atau teks-teks.
5. Analisis “Wacana” dengan “Pragmatik”
Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa
batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain
mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang
mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami
pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian
bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa
pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan
kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Hubungan antara “Pragmatik” dan “Wacana” adalah sama-sama mengkaji makna
bahasa yang ditimbulkan oleh konteks.
6. Analisis “Wacana” dengan “Filologi”
Filologi adalah bahasa, kebudayaan, dan sejarah bangsa yang terekam dalam bahan
tertulis seperti peninggalan naskah kuno linguistik, sejarah dan kebudayaan. Hubungan
Wacana dengan Filologi adalah: Filologi dan wacana sama-sama mengkaji bahasa
dalam bentuk teks atau naskah. Perbedaan keduanya terletak pada tema atau topik teks
atau naskah tersebut. Filologi mengangkat topik yang khusus membahas tentang
sejarah sedangkan Wacana mengangkat topik yang lebih umum dari segala aspek sosial
kehidupan bermasyarakat.
7. Analisis “Wacana” dengan “Semiotika”
Semiotika adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna bahasa yang
ditimbulkan dari tanda-tanda bahasa. Hubungannya dengan wacana adalah, baik
wacana maupun semiotika sama-sama mengkaji tentang makna bahasa. Hanya saja,
semiotika mengkaji makna bahasa berdasarkan ikon, symbol ataupun indeks sedangkan
wacana mengkaji makna tuturan maupun ujaran-ujaran yang dihasilkan oleh
masyarakat tutur.
8. Analisis Wacana dengan Psikolinguistik
Psikolinguistik adalah suatu studi mengenai bagaimana penggunaan bahasa dan
perolehan bahasa oleh manusia (levelt, 1975). Dari defenisi ini, terlihat ada dua aspek
yang berbeda, yaitu pertama perolehan yang menyangkut bagaimana seseorang,
terutama anak-anak belajar bahasa dan kedua adalah penggunaan yang artinya
penggunaan bahasa oleh orang tua normal. Hubungannya dengan Wacana adalah dalam
penyususnan wacana, topik atau tema yang diangkat ataupun ujaran-ujaran yang
dihasilkan berdasarkan kondisi Psikis manusia. Kondisi Psikis ini merupakan salah satu
konteks yang dapat mendukung peneliti dalam memaknai suatu ujaran.
9. Analisis Wacana dengan Sosiolinguistik
Wijana (2006:7) menjelasklan bahwa sosiolinguistik sebagai cabang linguistik
memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan
pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia
tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Hubungannya
dengan wacana adalah baik wacana maupun sosiolinguistik sama-sama menitiberatkan
bahasa dalam sebuah konteks. Perbedaannya adalah wacana mengkaji ujaran (bahasa)
yang dihasilkan oleh masyarakat sedangkan sosiolinguistik menitiberatkan pada
masyarakat pengguna bahasa
D. Syarat Wacana
Persyaratan terbentuknya wacana
1. Topik
Sebuah wacana mengungkapkan satu bahasan atau gagasan. Gagasan tersebut akan
diurai, membentuk serangkaian penjelasan tetapi tetap merujuk pada satu topik.
Sehingga topik yang diangkat atau yang dimaksud memberikan suatu tujuan.
2. Kohesi dan Koherensi
Sebuah wacana biasanya ditata secara serasi dan ada kepaduan antara unsur yang
satu dengan yang lain dalam wacana (kohesi), sehingga tercipta pengertian yang baik
(koherensi).
3. Proporsional
Prosorsional yang dimaksud ialah keseimbangan dalam makna yang ingin
dijabarkan dalam wacana, atau makna yang terdapat dalam wacana, ialah seimbang.
4. Tuturan
Tuturan yang dimaksud adalah pengungkapan suatu topik yang ada dalam wacana.
Baik tutur tulis atau tutur lisan. tuturan kaitannya menjelaskan suatu topik yang terdapat
dalam wacana dengan tetap adanya kohesi dan koherensi yang proporsional di
dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai