PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerolehan bahasa kedua tidak sama dengan pemerolehan bahasa pertama.
Pada pemerolehan bahasa pertama siswa berawal dari awal (saat kanak-kanak
belum menguasai bahasa apa pun) dan perkembangan pemerolehan bahasa ini
seiring dengan perkembangan fisik dan psikhisnya. Pada pemerolehan bahasa
kedua, siswa sudah me-nguasai bahasa pertama dengan baik dan per-
kembangan pemerolehan bahasa kedua tidak seiring dengan perkembangan
fisik dan psikhisnya. Selain itu pemerolehan bahasa pertama dilakukan secara
informal dengan motivasi yang sangat tinggi (siswa memerlukan bahasa
pertama ini untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di
sekelilingnya), sedangkan pemerolehan bahasa kedua dilakukan secara formal
dan motivasi siswa pada umumnya tidak terlalu tinggi karena bahasa kedua
tersebut tidak dipakai untuk berkomunikasi sehari-hari di lingkungan
masyarakat siswa tersebut.
Pemerolehan bahasa adalah proses manusia mendapatkan kemampuan
untuk menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk pemahaman
dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan seperti
sintaksis, fonetik dan kosakata yang luas. Pemerolehan bahasa (language
acquisition) atau akuisisi bahasa menurut Maksan (1993:20) adalah suatu proses
penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar, implisit,
dan informal. Lyons (1981:252) menyatakan suatu bahasa yang digunakan
tanpa kualifikasi untuk proses yang menghasilkan pengetahuan bahasa pada
penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa. Artinya, seorang penutur bahasa
yang dipakainya tanpa terlebih dahulu mempelajari bahasa tersebut.
Dardjowidjodjo (2003:225) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah
proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural waktu dia
belajar bahasa ibunya.
1
Pemerolehan bahasa dan perkembangan bahasa anak mendasari
kemampuan mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa di sekolah
dasar terutama siswa di kelas rendah. Karakteristik setiap anak tidak sama
sehingga dengan mempelajari pemerolehan dan perkembangan bahasa anak
guru dapat mengatasi perbedaan perkembangan bahasa pada siswanya.
Pemerolehan mengacu pada kemampuan linguistik yang telah
diinternalisasikan secara alami, yaitu tanpa disadari dan memusatkan pada
bentuk-bentuk linguistik (baca: kata-kata). Pembelajaran, sebaliknya, dilakukan
dengan sadar dan merupakan hasil situasi belajar formal. Konteks pemerolehan
bersifat alami, sedangkan pembelajaran mengacu pada kondisi formal dan
konteks terprogram. Seseorang belajar bahasa karena motivasi prestasi tetapi
memperoleh bahasa karena motivasi komunikasi. Belajar bahasa dapat diukur
pemerolehan sebaliknya. Kondisi pembelajaran tetap sebagai penutur tidak asli,
dan pemerolehan dapat menyerupai penutur asli. Belajar bahasa ditekankan
untuk menguasai kaidah dan pemerolehan untuk menguasai keterampilan
berkomunikasi (lisan dan tertulis).
Pemerolehan bahasa atau akuisisi adalah proses yang berlangsung di dalam
otak seorang kanak-kanak atau remaja ketika dia memperoleh bahasa
pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari
pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa biasanya
berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang kanakkanak
mempelajari bahasa kedua setelah ia mempelajari bahasa pertamanya. Jadi,
pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan
pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Namun, banyak juga
yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua (Chaer,
2005: 167). Pemerolehan bahasa setiap anak memiliki suatu kekhasan, yaitu
sesuai dengan perkembangannya. Perkembangan merupakan sederetan
perubahan fungsi organ tubuh yang bersifat progresif, teratur, dan saling
berkaitan. Perkembangan merupakan interaksi kematangan susunan saraf pusat
dengan organ yang dipengaruhinya, antara lain meliputi perkembangan sistem
otak (kecerdasan), bicara, emosi, dan sosial.
2
Semua fungsi tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia yang
utuh. Jika dilihat dari aspek-aspek perkembangannya, setiap anak memiliki
ragam yang berbeda-beda. Meskipun demikian, secara umum para ahli sepakat
bahwa ada pola-pola perkembangan yang cenderung sama dan berlaku bagi
sebagian besar manusia. Jika ada aspek perkembangan anak yang berjalan di
luar pola umum tersebut, mereka dapat dikategorikan mengalami perbedaan
atau kelainan perkembangan. Perbedaan itu ada yang sifatnya lebih lamban atau
lebih cepat dari kebanyakan anak lain yang sebaya, maka dalam perolehan
bahasa kedua sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja dalam
berinteraksi sosial.
Latar belakang interaksi yang dilakukan siswa di sekolah pada umumnya
berlatar belakang dwibahasa bahkan multi bahasa, sehingga dengan
mempelajari materi pemerolehan dan perkembangan bahasa anak, guru dapat
benar-benar memahami konteks sosial budaya lingkungan anak didiknya dan
menghargai keragaman budaya tersebut.
Dengan menyadari gejala-gejala atau kenyataan tersebut diatas, maka dalam
penelitian ini penuliis mengambil judul “Pemerolehan Bahasa Kedua pada
Anak Jenjang SMA serta Faktor yang Mempengaruhinya”.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan
permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pemerolehan bahasa kedua pada anak jenjang SMA?
2. Mengetahui seberapan banyak bahasa kedua yang dipeoleh oleh siswa
SMA?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi perolehan bahasa kedua pada anak
jenjang SMA?
4. Seberapa pentingnya pengguasaan bahasa kedua dalam pengajaran bahasa
dan satra Indonesia di SMA?
5. Seberapa besar pemerolehan bahasa kedua yang dialami siswa selama
belajar pada jenjang SMA?
3
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat dalam pendidikan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapa bermanfaat yaitu:
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu bahasa
yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua pada siswa.
b. Memberikan sumbangan ilmiah dalam ilmu Pendidikan bahasa, yaitu
mengetahui pengetahuan siswa dalam memeroleh bahasa keduanya di
masyarakat.
c. Sebagai pijakan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan berbahasa serta
menjadi bahan kajian lebih lanjut.
2. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Bagi penulis
Dapat menambah wawasan dan pengalaman langsung tentang proses
pemerolehan bahasa kedua yang dialami pada siswa tingkatan SMA.
b. Bagi pendidik dan calon pendidik
4
Dapat menambah pengetahuan dan sumbangan pemikiran tentang cara
mengembangkan kemampuan berbahasa dengan mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua.
c. Bagi anak didik
Anak didik sebagai subyek penelitian, diharapkan dapat memperoleh
pengalaman langsung mengenai bagaimana cara agar menguasai bahasa
kedua dengan baik dan benar secara aktif, kreatif dan menyenangkan.
Dan anak dapat tertarik mempelajari bahasa sehingga perkembangan
kemampuan pemerolehan bahasa kedua siswa dapat meningkat.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
6
bagaimana suatu hal itu bisa terjadi. Pada umumnya teor bermula dari rasa ingin
tahu yang memunculkan upaya pemikiran terhadap hal yang dipertanyakan.
Teori merupakan suatu penjelasan yang dikembangkan secara ilmiah. Teori
pembelajaran berfungsi untuk membantu para praktisi untuk memahami
bagaimana sejatinya manusia belajar.
Berikut ini merupakan teori pemerolehan bahasa kedua, Ellis (1987) Telah
mengklasifikasikannya menjadi tujuh teori PB2‖ (Tarigan, 1988:182).
1. Teori/Model Alkulturasi
Brown (1980:129) membatasi akulturasi‖ sebagai proses penyesuaian
diri terhadap kebudayaan baru. Itu dipandang sebagai suatu aspek penting
PB2, karena bahasa merupakan salah satu ekspresi budaya yang paling
nyata yang dapat diamati dan bahwa proses pemerolehan baru akan terlihat
dari cara saling memandang antara masyarakat B1 dan masyarakat B2
(Tarigan, 1988:183).
Teori ini menjelaskan bahwa proses pemerolehan B2 telah dimulai
ketika anak mulai dapat menyesuaikan dirinya terhadap kebudayaan B2,
seperti penggunakan kata sapaan, nada suara, pilihan kata, dan aturan-aturan
yang lain. Dalam teori ini, jarak sosial dan jarak psikologis anak sangat
menentukan keberhasilan pemerolehan (Ghazali, 2000:83-91).
2. Teori Akomodasi
Teori akomodasi ini diturunkan oleh Giles bersama rekan-rekannya. Ia
menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan B2 dalam berinteraksi
sangat menentukan pemerolehan B2. Kalau Schumann terlihat
memperlakukan jarak sosial dan jarak psikologis sebagai fenomena yang
menentukan tingkat interaksi antara pelajar dan para pembicara
pribumi, maka Giles melihat hubungan antar kelompok sebagai subjek bagi
perundingan yang konstan selam interaksi berlangsung. Jadi, kalau
Schumann menganggapnya statis, maka bagi Giles itu dinamis (Tarigan,
1988: 189-190).
Kekuatan Teori Akomodasi ialah bahwa dia mencakup pemerolehan
bahasa dan pemakaian bahasa di dalam satu kerangka kerja tunggal. Juga,
teori ini menghubungkan pemerolehan dialek atau aksen baru pada
7
pemerolehan bahasa kedua. Karena keduanya telihat sebagai refleksi
presepsi (Tarigan, 1988: 190). Misalnya orang B1 berdialek Ngapak,
orang B2 berdialek Sunda maka tidak menutup kemungkin B2 akan
diperoleh atau berefleksi.
3. Teori Wacana
Teori ini beranjak dari penggunaan bahasa, dimana komunikasi
diperlukan sebagai matriks pengetahuan linguistik, bahwa perkembangan
bahasa harus dilihat dari segi bagaimana caranya sang pelajar menemukan
makna potensial bahasa dengan jalan ikut serta berpartisipasi dalam
komunikasi (Tarigan, 1988: 193).
Seperti kedua teori terdahulu, maka teori wacana tidak tertuju pada
hakihat strategistrategi sang pelajar yang bertanggung jawab pada PB2.
Hatch selanjutnya menyatakan bahwa sementara interaksi sosial dapat
memberikan data terbaik yang dapat diolah oleh sang pelajar, maka otak
selanjutnya harus menyusun suatu model masukan yang layak dan relevan
(1983: 186).
Mengutip pernyataan Soejono dalam bukunya Psikolinguistik
mengatakan bahwa percakapan anak dapat berjalan lancar dan pada
umumnya memberikan dukungan kalimatkalimat penyambung (Habis itu,
ke mana si kanci?l) namun kalimat tersebut terdengar aneh bila digunakan
pada percakapn orang dewasa (Soejono, 2014: 267). Hal tersebut adalah
salah satu bukti komunikasi menjadi ukuran perkembangan pemerolehan
B2.
4. Teori/Model Monitor
Model Monitor ini dikemukakan oleh Stephen D. Kharsen. Teori ini
memandang pemerolehan bahasa sebagai proses konstruktif kreatif.
Monitor adalah alat yang digunakan anak untuk menyunting performansi
(penampilan verbal) berbahasanya. Monitor ini bekerja menggunakan
kompetensi yang‖dipelajari (Ghazali, 2000: 65-67).
Kharsen (1976) berpendapat bahwa ada dua sistem pengetahuan yang
mendasari perfomansi kemampuan bahasa kedua. Pertama dan yang paling
penting adalah sistem yang diperoleh. Kedua, sistem pengetahuan yang
8
menurut Kharsen tidak begitu penting, adalah pengetahuan yang didapat
karena pembelajar menerima pelajaran tata bahasa itu secara
formal. Kharsen juga menjelaskan bahwa pengetahuan jenis pertama ini
diperoleh juga ketika seorang membaca. Oleh karena itu, kita dapat lebih
cepat membaca daripada berbicara. Maka bahasa tulis merupakan sumber
yang lebih baik dari pemerolehan bahasa daripada bahasa lisan (Ghazali,
2000:67).
5. Teori Kompetensi Variabel
Teori ini melihat bahwa pemerolehan B2 dapat direfleksikan dan
bagaimana bahasa itu digunakan. Teori ini menyatakan bahwa cara
seseorang mempelajari bahasa akan mencerminkan cara orang itu
menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Produk bahasa terdiri atas produk
terencana (seperti menirukan cerita atau dialog) dan tidak terencana (seperti
percakapan sehari-hari) (Tarigan, 1988:197).
Model kompetensi variabel mengemukakan prinsip-prinsip sebagai
berikut.
a. Anak memiliki alat penyimpanan yang berisi bahasantara. Penyimpanan
ini akan aktif jika diekploitasi untuk berlatih;
b. Anak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa, yang
berbentuk proses wacana primer (penyederhanaan semantik: dhahar =
makan), wacana sekunder (penyuntingan performansi bahasa), proses
kognitif (penyusunan, perbandingan, dan pengurangan\ unsur).
c. Tampilan berbahasa anak adalah proses primer dalam perkembangan
wacana yang tidak terencana atau proses sekunder dari wacana
terencana.
d. Perkembangan pemerolehan adalah akibat pemerolehan kaidah baru dan
pengaktifan kaidah-kaidah itu. (Tarigan, 1988:198-199).
6. Hipotesis Universal
Secara singkat dapat dikatakan bahwa hipotesis universal menyatakan
bahwa terdapat kesemestaan linguistik yang menentukan jalannya PB2.
Hipotesis universal menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah
bahasa dengan bentuk gramatika universal, yakni gramatika inti. Hipotesis
9
ini menyajikan suatu pertimbangan yang menarik mengenai bagaimana
caranya sarana-sarana linguistic bahasa sasaran dan bahasa pertama sang
pelajar (Tarigan, 1988:201).
Berikut ini kesemestaan bahasa yang menentukan proses pemerolehan
B2.
a. Kesemestaan bahasa membantu mengatasi hambatan yang berpotensi
muncul dalambahasa antara (interlangue)
b. Pembelajar akan merasa lebih mudah memperoleh pola-pola yang
sesuai dengan kesemestaan bahasa daripada yang tidak sesuatu
c. Apabila B1 menerapkan kesemestaan bahasa maka B1 cenderung akan
membantu perkembangan penguasaan bahasa antara melalui transfer
(Tarigan, 1988:202).
7. Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi
syaraf. Pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan sistem syaraf, terutama
area Broca (area ekspresif verbal) dan Wernicke (area komprehensi).
Meskipun demikian, area asosiasi, visualisasi, dan nada tuturan juga
berperan. Dua daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan dan belahan
otak kiri, menentukan pemerolehan B2. Pemerolehan B2 dapat diterangkan
menurut fungsi syaraf dengan memperhatikan dua hal. Pertama, fungsi
syaraf yang mana yang digunakan untuk berkomunukasi. Kedua, tingatan
mana dalam system syaraf tersebut yang dilibatkan (Tarigan, 1988:203-
204).
Teori ini lebih dikenal dengan nama Lamandella’s Neurofuctional
Theory. Lamandella (1979) membedakan dua tipe dasar pemerolehan
bahasa: (1) pemerolehan bahasa primer, dan (2) pemerolehan bahasa
sekunder. Pertama, berlaku pada anak usia 2-5 dalam pemerolehan satu atau
lebih bahasa sebagai bahasa pertamanya. Yang kedua, terbagi dua bagian,
yaitu: (a) belajar secara formal bahasa asing/bahasa kedua, dan (b)
pemerolehan bahasa kedua yang terjadi secara alamiah setelah anak berusia
di atas lima tahun. Kedua macam pemerolehan bahasa itu mempunyai
sistem neurofungsional yang berbeda, dan masing-masing mempunyai
10
fungsi hirarkis. Lamandella menunjukkan fungsi-fungsi hirarkis itu sebagai
berikut.
a. Hirarkis komunikasi: bertanggung jawab menyimpan bahasa dan
simbol-simbol lain melalui komunikasi interpersonal.
b. Hirarkis kognitif: berfungsi mengontrol penggunaan bahasa dan
kegiatan pemrosesan informasi kognitif. Pola latihan-latihan praktis
dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah bagian dari
hirarki kognitif. (Tarigan, 1988:205).
11
mengetahui kaidah-kaidah, menyadari kaidah-kaidah dan mampu berbicara
mengenai kaidah-kaidah itu yang oleh umum dikenal dengan tata bahasa.
12
berkomunikasi secara natural/alami, tidak terfokus kepada aturanaturan
kebahasaan “not consciously aware of the rules”.
Sedangkan pengkoreksiannya/evaluasinya juga terjadi secara alami
sesuai dengan konteksnya.46 Selanjutnya, kemampuan pendapatan bahasa
ini tidak akan musnah dengan bertambahnya usia atau pada masa pubertas,
“…the ability to pick up the language does not disappear at puberity”
walaupun sudah berusia dewasa, pemerolehan masih sangat mungkin
dilakukan dan terjadi. Malahan Krashen menganggap bahwa proses pem-
erolehan akan sangat kuat bila diterapkan sewaktu dewasa.
Berbeda dengan sebelumnya, sistem yang dipelajarai (pembelajaran)
mengandung maksud kebalikannya, yaitu bahasa dikuasai melalui proses
sadar, hal ini diamini oleh Krashen, ia berpendapat bahwa istilah belajar
merujuk kepada pengetahuan secara sadar “…. The term (learning)
henceforth to refer to conscious knowledge of second language”. Dengan
kata lain bahasa dikuasai melalui proses dan pengkondisian yang terjadi
secara formal, seperti belajar di kelas, kursus dll dengan mengetahui aturan
kebahasaan, sinonom kata, dan belajar secara kontekstual. Adapun pengo-
reksiannya terjadi dengan melakukan latihan-latihan dan pembiasaan.
Halhal yang telah tersebut tadi, akan berguna pada pelajar sebagai sensor
ucapan-ucapan mereka sebelum memproduksi kata.
Tapi sekali lagi, Krashen memihak proses pemerolehan sebagai
proses belajar bahasa yang meyakinkan, sebab menurutnya maksud inti dari
mempelajari bahasa adalah kebisaan pelajar dalam berkomunikasi bahasa
target, dan pemerolehan menghasilkan komunikasi yang sangat baik
2. Hipotesis Urutan Ilmiah
Dalam hipotesis ini Krashen menyatakan bahwa struktur bahasa
diperoleh dengan urutan ilmiah yang dapat diperkirakan, beberapa struktur
tertentu cenderung muncul lebih awal dari struktur yang lain dalam
pemerolehan bahasa. Contohnya ada pada struktur fonologi, dalam struktur
fonologi anak cenderung memperoleh vokal-vokal seperti (a) sebelum
akhirnya menyentuh vokal (i) dan (u). Konsonan depan lebih dahulu
dikuasai oleh anak daripada konsonan belakang. Urutan alamiah seperti ini
13
tidak saja terjadi pada masa kanak-kanak tapi juga terjadi pada masa
dewasa.
3. Hipotesis Monitor
Hipotesis monitor mengemukakan serta menjelaskan bahwa
pemerolehan dan belajar dipakai dengan cara yang khas. Biasanya,
pemerolehan “memprakarsai” ucapan-ucapan kita dalam bahasa kedua dan
juga bertanggungjawab atas kelancaran kita, kefasihan kita. Belajar hanya
mempunyai satu fungsi, yaitu sebagai monitor atau editor sebagai pemantau
atau penyunting. Belajar hanya berperan membuat perubahan-perubahan
dalam bentuk ujaran kita, setelah dihasilkan oleh sistem yang diperoleh
yang diinginkan.
Riset menyarankan bahwa para penampil bahasa kedua dapat
menggunakan kaidah-kaidah sadar hanya apabila memenuhi tiga kondisi
yaitu:
1. Waktu
2. Fokus pada bentuk
3. Mengetahui kaidah
Agar kita dapat berfikir mengenai dan menggunakan kaidah-kaidah
kesadaran secara efektif, penampil bahasa kedua perlu memiliki cukup
waktu. Bagi kebanyakan orang, percakapan normal tidak menyediakan
cukup waktu untuk berfikir mengenai kaidah-kaidah beserta pengunaannya.
Penggunaan kaidah yang berlebih-lebihan dalam percakapan dapat
membawa orang pada kesulitan, misalnya suatu gaya berbicara yang ragu-
ragu dan tidak adanya perhatian terhadap apa yang dikatakan oleh teman
bicara. Menggunakan monitor secara efektif, tidak cukup dengan sarana
waktu saja. Sang penampil harus juga memusatkan perhatian pada”bentuk”
atau berfikir mengenai kebenaran atau ketepatan. Bahkan walaupun kita
mempunyai cukup waktu, kita mungkin saja begitu terlibat pada “apa” yang
dikatakan yang tidak kita arahkan pada “bagaimana” kita menyatakannya.
Perlu diketahui bahwa dalam penggunaan monitor, terdapat variasi
individual.
14
Beberapa variasi individual dapat kita lihat pada pemerolehan
bahasa kedua dan performasi dapat dipertanggungjawabkan dengan bantuan
monitor sadar yang berbeda. Tampaknya, ada dua penyebab utama bagi
penggunaan tata bahasa secara berlebihan yakni :
1. Penggunaan yang berlebihan mungkin menurun dari sejarah
penyingkapan sang pelaku terhadap bahasa kedua. Banyak orang,
korban tipe pengajaran tata bahasa hampir tidak mempunyai pilihan
lain kecuali tergantung pada belajar.
2. Tipe lain mungkin berkaitan dengan personalitas atau pribadi. Para
pemakai yang berlebihan ini memang mempunyai kesempatan
untuk memperoleh jumlah bahasa kedua. Hanya mereka tidak
percaya pada kompetensi yang diperoleh ini dan hanya merasa
terjamin kalau mereka mengacu kepada monitor mereka yang satu-
satunya mereka yakini.
Para pemakai monitor yang kurang adalah para pemakai yang tidak
belajar. Secara khusus, para pemakai kurang ini tidak terpengaruh oleh
perbaikan kesalahan, dapat mengoreksi diri sendiri hanya dengan
menggunakan perasaan saja bagi ketepatan atau kebenaran, dan seluruhnya
menyandarkan diri pada sistem yang diperoleh.
4. Hipotesis Masukan
Ada dua hal yang menarik mengenai hipotesis masukan ini, yaitu:
a. Banyak dari bahan ini relatif baru, sedangkan hipotesis-hipotesis
lainnya telah diberikan dan didiskusikan dalam beberapa buku dan
makalah.
15
b. Hipotesis ini penting baik secara teoritis dan praktis.
16
5. Hipotesis Saringan Afektif
Dalam hipotesis ini Stephen Krashen menjelaskan bahwa
setiap manusia memiliki saringan efektif atau yang biasa disebut
dengan (Effective Filter). Saringan inilah yang memberikan rasa
takut, malu pada seorang pelajar. Seorang pelajar bahasa yang
memiliki motivasi tinggi, kepercayaan tinggi, dan kecemasan lebih
rendah, akan lebih mungkin untuk berhasil dalam pemerolehan
bahasa, tapi sebaliknya jika pelajar bahasa tidak memiliki beberapa
hal yang telah tersebut diatas dalam dirinya maka terwujudlah
sebuah variabel emosional yang positif.
Selanjutnya, menurut Krashen, saringan/filter ini akan menghambat
siswa menerima/ mereproduksi bahasa. Contohnya jika ada seorang
pelajar tidak suka dengan belajar bahasa Arab, maka saringan/filter pada
pelajar tersebut akan semakin menyempit, begitu pula jika benci ter-
hadap pengajar, diolok-olok, jika pelajar melakukan kesalahan dalam
berbahasa. Hal ini nantinya akan menjadi problem pelajar, sebab
perkembangan psikologisnya yang semakin peka terhadap ling-
kungannya.
17
ketidakwajaran dalam penyajian materi terpimpinm ini, misalnya
penghafalan pola-pola kalimat tanpa pemberian latihan-latihan
bagaimana penerapan itu dalam komunikasi.
2. Pemerolehan Bahasa Kedua Secara Alamiah
Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau secara spontan adalah
pemeroleh bahasa kedua yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas
dari pengajaran atau pimpinan guru. Pemerolehan bahasa seperti ini tidak
ada keseragaman karena setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan
caranya sendiri. Yang paling penting dalam cara ini adalah interaksi dan
komunikasi yang mendorong pemerolehan bahasa kedua. Ciri-ciri
pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah (1) yang terjadi dalam
komunikasi sehari-hari, (2) bebas dari pimpinan sistematis yang disenggaja.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Sugiyono dalam bukunya metode kuantitatif kualitatif dan R & D,
menyatakan bahwa penelitian merupakan metode penelitian yang digunakan
untuk mengembangkan atau memvaliditasi produk-produk yang digunakan
dalam pendidikan dan pembelajaran. yang dikutip oleh. (Sugiyono, 2010: 9)
Metode berasal dari bahasa inggris method yang artinya cara, yaitu cara untuk
mecapai tujuan. Menurut Wardi Bachtiar seperti dikutip Adon Nasrullah J.
Metode penelitian berarti prosedur pencarian data, meliputi penentuan populasi,
sampling penjelasan konsep dan pengukurannya, cara-cara pengumpulan data
dan teknik analisisnya (Jamaludin, 2011: 54). Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
(sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument
kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan
snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data
bersipat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna dari pada generalisasi (Sugiyono 2010: 15).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Selain itu, metode penelitian kualitatif juga memposisikan peneliti
sebagai instrument inti. Dalam hal ini, peneliti banyak menghabiskan waktu di
daerah penelitian untuk mengamati dan memahami masalah secara mendalam.
Metode ini bersifat deskriptif, sehingga data yang dikumpulkan lebih
banyak berupa kata-kata yang sebelumnya telah di persiapkan dan analisi
mengenai bagaimana perkembangan pemerolehan bahasa kedua pada anak
tinggkatan SMA. Daripada data dalam bentuk angka-angka yang lebih
menekankan proses dari pada produk. Metode ini cenderung menganalisis data
secara induktif. Peneliti mengumpulkan data atau bukti-bukti bukan untuk
19
membuktikan hipotesis yang telah peneliti miliki sebelum melaksanakan
penelitian. Melainkan untuk mengembangkan teori-teori berdasarkan hal-hal
khusus yang berhasil ditemukan dan dikumpulkan dari lapangan. Selain itu,
penelitian ini lebih menekankan proses daripada produk, sehingga lebih banyak
mempertanyakan bagaimana mengapa dari pada apa ( Zamroni, 1992:81-82).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa metode penelitian ini bersifat
deskriptif. Dalam hal ini, penulis mendeskripsikan masalah-masalah yang
ditemukan dengan apa adanya. Penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan
untuk memberikan gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua
gejala atau lebih ( Irawan Soeharto, 2008: 35).
20
sebagai subjek penelitian yang dianggap mampu mewakili stakeholder yang
terlibat dalam permasalahan yang diteliti. Penelitian memilih informan
diantaranya Siswa, Remaja dan Pemuda desa, dan. Selain informan-
informan yang telah disebutkan itu,terdapat informan-informan lain yang
berada di luar yang sedikitnya tahu mengenai masalah yang hendak diteliti.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber informasi yang diambil dari
dokumentasi yang berkaitan dengan objek penelitian. Seperti: photo-photo
kegiatan, lampiran pengujian pemerolehan bahasa kedua dan monografi
desa atau sekolah. Hal ini dilakukan adalah untuk mempermudah penulis
dalam melakukan penelitian, serta untuk mengetahui kebenarana nara-
sumber dalam memberikan keterangan tentang berbagai hal yang berkaitan
dengan objek penelitian.
21
kunjungan langsung ke lapangan, melihat tingkah laku objek, gejala-gejala
yang tampak di tempat penelitian serta melihat kondisi yang relevan
di lingkungan dan mengamati berbagai kemungkinan sebagai tambahan
dimensidimensi baru dalam konteks memahami fenomena yang diteliti
tersebut atau pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada setiap penelitian,
dengan jalan mengumpulkan dan melalui pengamatan dan pencatatan dan
pelaksanaan langsung pada tempat dimana peristiwa atau keadaan itu
sedang terjadi.
Observasi yang dilakukan bisa bersifat formal maupun kurang formal
Observasi formal dilakukan untuk mengukur peristiwa tipe perilaku tertentu
dalam periode waktu tertentu di lapangan. Sedangkan observasi kurang
formal dilakukan selama melangsungkan kunjungan lapangan, termasuk
kesempatan-kesempatan selama pengumpulan bukti yang lain wawancara
dan dokumentasi).
2. Wawancara
Wawancara adalah pengumpulan data dengan cara mengajukan
pertanyaan secara langsung. Teknik pengumpulan data dengan cara meng-
adakan pertanyaan, percakapan dan Tanya jawab secara lisan dan langsung
dengan tatap muka pada informan dengan menggunakan interview guide
(pedoman wawancara) tujuannya untuk mengetahui mengenai masalah
yang ada tidak dapat diobservasi, kemudian jawaban-jawaban responden
dicatat atau direkam dengan alat perekam (Moleong, 2006: 67).
Dalam penelitian ini, sampel sumber data dipilih secara purposive dan
bersifat snowball sampling. Sampel sumber data pada tahap awal memasuki
lapangan dipilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial
atau objek yang diteliti, sehingga mampu :membuka pintu” kemana saja
peneliti melakukan pengumpulan data (sugiyono, 2010: 400). Dalam
penelitian ini peneliti mencari beberapa orang yang menjadi tokoh kunci
dari objek penelitian yang berhubungan dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
22
Hasil wawancara akan digunakan untuk sumber penunjang dalam proses
penganalisaan data secara deskriptif. Hal ini untuk mengetahui pandangan,
pendapat, keterangan atau pernyataan-pernyataan yang dilihat dan dialami
oleh responden dan informan. Wawancara dapat dilakukan secara langsung
(tatap muka) maupun tidak secara langsung (telepon). Kemudian jawaban-
jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam. Wawancara
yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan wawancara tidak
terstruktur, sesuai dengan urutan wawancara, dan tidak memakai sistem
angket atau kuesioner. Penelitian ini menggunakan dua tipe wawancara,
yaitu wawancara yang bertipe open-ended dan wawancara terfokus.
Wawancara open ended dilakukan dengan bertanya secara langsung
kepada informan kunci tentang pemerolehan bahasa kedua dan faktor yang
mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua atau pendapat mereka tentang
pemerolehan bahasa kedua terhadap siswanaya, seperti hasil wawancara
guru SMAN 1 Sumberrejo, masyarakat,ataupun tentang masyarakat Desa
Sumberrejo.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang berupa
bahan-bahan tertulis, catatan, surat-surat penting dan lain-lain untuk
melengkapi data yang diperoleh dari hasil wawancara maupun untuk
kepentingan yang berhubungan dengan penelitian. Dalam penelitian ini
dokumentasi adalah berupa foto-foto, tulisan, arsip dan lain-lain.
D. Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah informasi atau data yang telah
didapat, baik yang didapat dari wawancara, pengamatan, ataupun dari studi
terhadap dokumen-dokumen. Keseluruhan data yang didapat tersebut
dirangkum dan dikategorisasikan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian.
Selanjutnya, kategori-kategori yang telah diklasifikasikan tersebut dikon-
truksikan dengan pendekatan kualitatif ke dalam sebuah deskriptif untuk
kemudian dianalisis sehingga memungkinkan diambil kesimpulan yang utuh.
23
Untuk mendeskripsikan penelitian ini penulis menempuh langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Mempersiapkan instrumen data
Sebelum penelitian terjun untuk melakukan penelitian ke lapangan
terlebih dahulu peneliti mempersiapkan beberapa pertanyaan untuk
memudahkan pengumpulan data.
2. Pengumpulan data
Selama penelitian di lapangan pertama yang dilakukan adalah
pengumpulan data yang berhubungan dengan siswa SMAN 1
Sumberrejo untuk pendataan.
3. Klasifikasi data
Setelah melakukan penelitian langkah selanjutnya adalah
pengklasifikasian data untuk memilih data yang berhubungan dengan
permasalahan kemudian di kelompokan menjadi satu, untuk ditarik
kesimpulan.
4. Analisis data
Setelah data terkumpul maka akan dilakukan analisis data dengan
pendekatan analogis logika yaitu dengan cara menjelaskan dan menarik
kesimpulan dengan bertitik tolak kepada hal-hal yang di pertanyakan
dan tujuan penelitian.
5. Penarikan kesimpulan
Setelah pengumpulan data kemudian ditarik kesimpulan serta
menyantumkan saran-saran
24
Proposal : Maret-April 2019
Perijinan :
Pengumpulan Data : April 2019
Analisis Data : April 2019
Penulisan Laporan :
3. Subyek Penelitian
Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas X1
SMAN 1 Sumberrejo Tahun Ajaran 2019/2020 yang berkaitan dengan
pemerolehan bahasa kedua.
25