Anda di halaman 1dari 13

SECOND LANGUAGE ACQUISITION

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh manusia untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Bahasa
merupakan hal yang amat penting yang harus di kuasai oleh seorang anak sejak ia masih balita. Anak
akan terus menerus meniru kata demi kata yang ibu atau ayahnya ucapkan. Bahkan seorang anak bisa
lambat dalam proses penguasaan bahasanya karena lingkungan tempat dia tinggal tidak memberikan
stimulus yang baik kepada anaknya dalam hal bahasa.

Menurut Pateda (2004:80) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses belajar bahasa yakni
konteks sosial yang biasanya berhubungan dengan faktor-faktor ekonomi, budaya, dan bahasa yang
akan dipelajari juga mempengaruhi proses belajar bahasa. Faktor yang berikutnya adalah hal-hal yang
berhunguan dengan karakteristik yang meliputi hal-hal seperti umur peserta didik itu sendiri,
karakteristik kognitif, karakteristik afektif, dan karakteristik kepribadian. Variabel ketiga yang
mempengaruhi proses belajar bahasa yakni model belajar dan kondidi belajar siswa. Variabel keempat
yang dapat mempengaruhi proses belajar bahasa adalah proses belajar yang dilakukan oleh perserta
didik itu sendiri. Menurut Pateda hasil belajar juga dapat mempengaruhi proses belajar bahasa itu
sendiri. Hasil belajar tersebut menyakut hal-hal yang berhubungan dengan variabel seperti kompotensi
dan performansi dari peserta didik.

Oleh karena itu anak harus diberikan kesempatan untuk melakukan percobaan, pengamatan sendiri,
menghadiri sesuatu, membedakan, meniru, mengingat, melatih berbagai keterampilan, mengambil
kesimpulan, menduga, membandingkan, membentuk hipotesis, memeriksa, membuat penilaian, dan
membuat perencanaan sendiri. Tentu saja guru harus memberikan dorongan berupa bimbingan yang
bersifat membangun. Kesalahan yang dilakukan oleh perserta didik harus mendapat feed back dari
pengajar agar segera mendapat perbaikan untuk selanjutnya. Apalagi setiap orang termasuk perserta
didik yang menginginkan agar keinginannya dapat dihargai. Dengan demikian kesalahan harus diperbaiki
dengan bijaksana.

Hal-hal diatas dikaitkan dengan proses belajar bahasa pertama pada anak. Pada umumnya peserta didik
akan menguasi dua bahasa. Hal ini dibuktikan dengan peserta yang menguasai bahasa daerah atau
bahasa ibu mereka dan mereka juga menguasai bahasa indonesia yang mereka gunakan untuk
berkomunikasi dalam lingkup resmi. Di mana bahasa daerah atau bahasa ibu tersebut digunakan untuk
berkomunikasi dengan di rumah atau dengan penutur asli bahasa daerah tersebut. Dan bahasa
indonesia tersebut digunakan untuk berkomunikasi di sekolah, atau digunakan untuk berkomunikasi
dengan pengguna bahasa yang berbeda dengan bahasa daerah penutur, dengan kata lain bahasa
indonesia tersebut digunakan di lingkungan yang penuturnya dapat menggunakan bahasa indonesia.
Namun ada beberapa peserta didik yang menguasai lebih dari dua bahasa.

Dalam pemerolehan bahasa kedua biasanya ada beberapa anak yang mengalami kesuliatan karena
kurangnya stimulus dari luar maupun motivasi diri yang kurang dari peserta didik itu sendiri. Namun
bukan hanya faktor dari luar diri sang peserta didik yang mengakibatkan lambatnya proses pemerolehan
bahasa kedua namun faktor tersebut dapat datang dari luar diri peserta didik itu sendiri. Jadi dalam
makalah yang berjudul “pemerolehan bahasa kedua” ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua pada anak atau peserta didik.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalahan mengenai pemerolehan bahasa kedua yaitu
sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan belajar bahasa kedua?

2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi seorang pembelajar ketika belajar bahasa kedua.

3. Bagaimana cara agar proses belajar bahasa kedua dapat berhasil?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian pengertian belajar bahasa kedua.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi seorang pembelajar dalam
belajar bahasa kedua.

3. Untuk mengetahui cara agar proses belajar bahasa kedua dapat berhasil.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 pengertian pemerolehan bahasa kedua


Dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua dan mungkin juga
bahasa ketiga. Bahkan kedua ini bisa bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, bahasa resmi
kedaeahan, tau juga bahasa asing. Di indonesia pada umumnya bahasa indonesia adalah bahasa kedua
(yang secara politis juga berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan). Di india
selain bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan ada juga bahasa resmi kedaerahan, yaitu suatu
bahasa daerah yang di beri status sebagai bahasa daerah yang boleh digunakan dalam situasi-situasi
resmi didaerah tertentu. Bahasa resmi kedaerahan ini terdapat juga di negeria dan kogno. sedangkan
bahasa asing adalah bahasa yang bukan asli milik penduduk suatu negara, tetapi kehadirannya
diperlukan dengan status tertentu (chaer, 2010:215).

Untuk masalah ini para pakar yang menyebutkan dengan istilah pembelajaran bahasa (language
learning) dan ada pula yang menyebutnya dengan pemerolehan bahasa (language acquisition) kedua.
Digunakannya istilah pemerolehan bahasa karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai dengan
hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan
bahasa pertama atau bahasa ibu yang diperoleh secara ilmiah, secara tidak sadar di dalam lingkungan
keluarga pengasuh anak-anak. bagi mereka yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa kedua
(ketiga dan seterusnya) beranggapan bahwa bahwa kedua itu juga merupakan sesuatu yang dapat di
peroleh, baik secara formal dalam pendidikan formal, maupun informal dalam lingkungan kehudupan.

Bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh seseorang setelah dia memperoleh bahasa pertama (atau
bahasa ibu). Sedangkan belajar bahasa kedua menurut Depdikbud (Pateda, 2004:89) yaitu proses yang
mempersyaratkan seseorang mengakuisisi sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu menguasai sampai
batas tetrtentu bahasa pertamanya. Kesimpulan yang dapat di ambil dari pendapat diatas adalah belajar
bahasa kedua merupakan suatu proses yang haarus dilakukan oleh seorang peserta didik untuk
menguasai sebiuah bahasa yang baru selain bahasa ibunya dengan syarat ia telah harus menguasai
bahasa ibu tersebut dengan baik.

Jika dikaitkan dengan pengajaran bahasa, di inggris misalnya ada TESL (teaching of english as a
second language) yang dibedakan dari pengajaran bahasa inggris sebagai bahasa asing (teaching of
english as a foreign language) atau TEFL. Tujuan pengajaran bahasa asing kadang-kadang berbeda
dengan pengajaran bahasa kedua. Bahasa kedua biasanya merupakan bahasa resmi dinegara tertentu.
Oleh sebab itu bahasa kedua sangat diperlukan untuk kepentingan politik, ekonomi, dan pendidikan.

Proses mengakuisisi bahasa yang disinggung pada batasan di atas meliputi perkembangan
kemampuan peserta didik untuk: memahami lingkungannya, dan menyampaikan pikirannya. Belajar
bahasa kedua tentu sangat berbeda dengan belajar bahasa kedua. Misalkan motivasi ketika proses
pembelajaran bahasa pertama sangat kuat namun motivasi peserta didik untuk mempelajari bahasa
kedua tidak sekuat mempelajari bahasa pertama. Bahkan waktu yang digunakan pada saat proses
belajar bahasa akan berbeda, jangka waktu belajar bahasa pertama cenderung lebih lama jika
dibandingkan dengan proses belajar bahasa kedua.

Menurut Ellis (1986) Pemerolehan bahasa kedua ini, terjadi dalam dua setting yang berbeda, yaitu
secara naturalistik (naturalistic SLA) dan dalam lingkungan kelas (classroom SLA). Pemerolehan secara
naturalistik adalah pemerolehan yang terjadi secara alamiah dan tanpa disadari sebagaimana terjadi
dalam pemerolehan bahasa pertama, sedangkan pemerolehan dalam lingkungan kelas berlangsung
secara formal di dalam ruang kelas dan keformalannya ditandai dengan adanya pengajar, pembelajar,
kurikulum, silabus, materi dan tujuan serta evaluasi.

Contoh pemerolehan secara naturalistik dapat diilustrasikan berikut ini. Seorang anak yang lahir dan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga berbahasa Sunda akan memperoleh Bahasa Sunda sebagai
bahasa pertamanya, tapi karena dia tinggal di lingkungan sekitar yang tidak menggunakan Bahasa
Sunda, misalnya Bahasa Jawa, maka lambat laun dia juga akan memperoleh Bahasa Jawa sebagai bahasa
keduanya. Disini pemerolehan bahasa kedua terjadi hampir secara bersamaan dengan bahasa pertama.
Contoh lain, seorang dewasa yang berasal dari lingkungan Bahasa Jawa dan telah menguasai Bahasa
Jawa dengan baik berpindah domisili ke lingkungan yang menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa
komunikasi sehari-hari. Dalam interaksinya dengan penduduk setempat, lambat laun orang ini akan
memperoleh Bahasa Sunda sebagai bahasa keduannya. Di sini pemerolehan bahasa kedua terjadi dalam
jeda waktu yang cukup panjang setelah pemerolehan bahasa pertama. Sementara itu, contoh classroom
SLA dapat dijumpai pada para imigran yang datang ke Australia kemudian ditampung dan belajar Bahasa
Inggris di dalam ruang kelas.

Ellis (1986) menggunakan istilah acquisition dan learning untuk membedakan apakah seseorang
memiliki kemampuan berbahasa melalui pemerolehan atau pembelajaran. Acquisition mengacu pada
pemerolehan bahasa secara tak sadar, sedangkan learning mengacu pada pemerolehan bahasa secara
sadar. Contoh-contoh pada naturalistic SLA di atas merupakan pemerolehan bahasa kedua melalui
acquisition karena bahasa kedua itu diperoleh tidak dari lingkungan kelas dan diperoleh secara tak
sadar. Sementara itu, learning mengacu pada pemerolehan bahasa kedua secara sadar dan tidak terjadi
secara alamiah. Contoh pada classroom SLA di atas merupakan contoh pemerolehan bahasa kedua
melalui learning.

2.2 faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar bahasa kedua

Banyak faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua (PBK). Menurut Brown (1987),
ada faktor yang tergolong dalam ranah kognititif (cognitive domain ) dan ada pula yang tergolong dalam
ranah afektif (affective domain). Faktor dalam ranah kognitif adalah faktor yang berkaitan dengan cara
manusia belajar dan variasi lain dalam pembelajaran bahasa, sedangkan faktor dalam ranah afektif
adalah faktor yang berkaitan dengan faktor pribadi pembelajar (personal factors) dan faktor
sosiokultural (sociocultural factors). Senada dengan Brown, Ellis (1986) membedakan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua menjadi faktor pribadi (personal factor) dan faktor umum
(general factor).

Pada umumnya pengajaran bahasa kedua di indonesia secara formal dimulai ketika anak
memasuki pendidikan dasar (kira-kira usia 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki
pendidikan menengah (kira-kira berusia 13 tahun) untuk bahasa asing (dalam hal ini bahasa inggris).
Menurut pei (chaer, 2010:216) anak-anak usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya,
betapa punpola bahasa itu sangat susah bagi orang asing. Dengan demikian ketika anak indonesia (yang
bahasa pertamanya bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa indonesia mereka sudah terbiasa dengan
pola-pola bahasa pertamanya.

Menurut pateda (2004:93), bahasa pertama sangat berpengaruh pada proses belajar bahasa
kedua. Krashen (pateda, 2004:93) menyebutkan tiga macam pengaruh yang disebutkan berikut ini:

1. Pengaruh pada ukuran kata dan karena proses menerjemahkan. Hal ini dapat dirasakan
ketikauntuk pertama kali kita membuat sebuah kalimat dalam bahasa inggri. Kalimat bahasa inggris kita
urutkan seperti urutan bahasa indonesia, sehingga kalimat tadi menjadi kalimat yang ke indonesia-
indonesiaan. Bukti tentang hal ini dapat dilaporkan oleh para peneliti, misalnya, Duskova (1969) yang
mengadakan penelitian tentang kesalahan menulis pada mahasiswa pasca sarjana cekoslowakia, dan
LoCoco (1975) yang mengadakan penelitian tentang mahasiswa amerika yang mempelajari bahasa
spanyol dan jerman Krashen (Pateda, 2004:93).

2. Pengaruh pada Forfem terikat.

Duskova dalam Krashen (Pateda, 2004:93) diatas, melaporkan bahwa terdapat pengaruh pada morfem
terikat pada bahasa yang dipelajari. Pengaruh ini, misalnyapengilangan penanda jamak pada bentuk
jamak, penghilangan kecocokan subjek-kata kerja dan kecocokan antara kata benda-kata sifat, misalnya
5 books, ditulis 5 book, he writes ditulis he write.

3. Bahasa pertama rasanya berpengaruh pada lingkungan akuisisi yang lemah.

Kebiasaan dengan pola bahasa pertama ini akan akan menjadi kendala kalau mereka belajar bahasa
indonesia (bahasa kedua). Pola-pola dan unsur bahasa pertamanya, yang selama ini selalu digunakan
diluar rumah, akan terbawa masuk ketika mereka berbahasa indonesia sebagai bahasa kedua mereka,
sebagai suatu peristiwa sosiolinguitik yang disebut interferensi (chaer, 2010:216).

Jika pemerolehan bahasa kedua saja sudah banyak mengalami kesulitan akibat pengaruh bahasa
pertama, bagaimana pula dengna proses penguasaan bahasa ketiga, misalnya penguasaan bahasa
inggris atau bahasa lainnya lagi. Bahasa inggris sebagai bahasa asing pertama, secara formal baru di
ajakan disekolah mengah. Jadi setelah seorang anak indonesia setidaknya telah menguasai dua bahasa,
yaitu bahasa ibunya dan bahasa indonesia. Kesulitan mungkin akan bertambah, sebab pada diri si anak
telah bertanam dua buah pola bahasa (bahasa ibu dan bahasa indonesia) lalu kini harus mempelajari
bahasa ketiga yang mungkin memiliki pula perbedaan pola pada semua tatarannya. Tetapi bisa juga
kesulitan itu tidak terlalu besar apabila si anak dalam hidup kesehariaanya tetap lebih banyak
menggunakan bahasa ibu dari pada bahasa indonesia. Kesulitan yang terjadi tetap bersumber pada
perbedaan pola bahasa ibu dengan bahasa asing (bahasa inggris) yang dipelajari (chaer, 2010:219).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar bahasa kedua. Seperti yang Theresia Rettob
(dalam Nurhadi, 1990) meringkas faktor-faktor itu sebagai berikut:

Faktor Internal:

1. Pandangan seseorang tentang bahasa yang sedang dipelajari. Jika pembelajar berpandangan
positif terhadap bahasa yang dipelajari maka ia akan memiliki motivasi yang positif. Dalam kaitannya
dengan hal ini, penulis melihat semakin banyak orang yang tertarik belajar Bahasa Jepang, Bahasa Korea
dan Bahasa Mandarin karena adanya pandangan bahwa ketiga bahasa ini semakin banyak digunakan
dalam dunia usaha. Hal ini didukung dengan semakin banyaknya ekspatriat yang berasal dari ketiga latar
belakang bahasa tersebut.

2. Sikap seseorang terhadap bahasa yang dipelajari. Sikap dan motivasi sangat berkaitan dan
mengacu pada keterarahan tingkah laku.

Faktor Eksternal:

1. Faktor orang tua yang digolongkan pada peran aktif dan pasif terhadap anaknya yang belajar
bahasa kedua. Orang tua yang berperan aktif akan bersikap mendorong anaknya untuk belajar dengan
baik.

2. Lingkungan sosial tempat pembelajar itu berada.

3. Faktor sosial psikologis lingkungan pembelajar bahasa.

Disisi lain ada beberpa perbedaan yang dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar bahasa kedua yang
dituliskan oleh samsunuwiyati (2011:94-95)

a. Masalah waktu yang digunakan

Waktu anak yang digunakan anak untuk belajar bahasa ibu sebagai bahasa pertamanya jauh lebih
banyak daripada waktu yang disediakan untuk belajar bahasa keduanya.

b. Masalah peranan guru

Orang tua akan mengajarkan bahasa pada anak, jarang ada yang berfungsi sebagai guru yang
sebanarnya karena mereka tidak dengan sadar menstimulasi atau membetulkan kalimat. Orang tua juga
biasanya tidak menerangkan seperti guru menerangkan peajaran bahasa. Kalau orang tua mengadakan
koraksi biasanya hanya mengenai aspek semantiknya dan bukan sintaksisnya. Sedangkan seorang guru
akan mengajar bahasa kedua dengan sadar memberikan stimulasi, koreksi dan penjelasan- penjelasan.

c. Masalah materi dan metode pengajaran

Guru dikelas menggunakan metode dan buku pegangan dalam mengajar bahasa kedua kepada siswa-
siswanya, sedangkan orang tua hampir dapat dipastikan tidak pernah berbuat demikian.
d. Masalah motivasi

Motivasi untuk belajar bahasa pertama lebih besar dari pada untuk belajar bahasa kedua.

e. Masalah fungsi kognitif

Pada seorang anak yang belajar bahasa pertama, terjadi kesejajaran antara perkembangan conceptual
system dengan struktur kalimatnya. Sedangkan pada orang dewasa yang belajar bahasa kedua tidak
demikian. Pada orang dewasa terdapat suatu kesenjangan (gap) antara tingkat perkembangan
conceptual system dengan struktur kalimat yang masih sederhana (karena baru belajar) dalam bahasa
kedua (bahasa asing).

f. Masalah keurutan perolehan

Pada waktu belajar bahasa pertama, keterampilan sauditif berjalan bersama dengan keterampilan
visual.

g. Masalah kepercayaan diri

Perasaan tidak percaya diri lebih sering muncul pada waktu belajar bahasa kedua, karena takut berbuat
kesalahan. Perasaan ini tidak dirasakan pada waktu belajar bahasa pertama.

h. Masalah interferensi bahasa

Pada waktu belajar bahasa kedua (bahasa asing) lebih mudah terjadi interferensi, karena sering kita
memakai struktur bahasa pertama untuk bahasa kedua. Anak yang belajar bahasa pertama tidak
mengalami masalah ini.

i. Masalah usia

Masalah usia sangat penting peranannya dalam belajar bahasa kedua (bahasa asing).

Selain beberapa faktor diatas, Chaer (2003:251-262) menyebutkan beberapa perbedaan faktor
penentu dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Namun terdapat beberapa persamaan dalam
pendapat Chaer dengan pendapat diatas. Perbedaan faktor penentu tersebut adalah sebagai berikut:

a. Faktor penyajian formal

Maksud dari penyajian formal ini adalah pembelajaran bahasa kedua dilakukan didalam kelas dengan
perencanaan pembelajaran yang dilengkapi dengan seperangkat bahan-bahan pelajaran yang telah akan
disampaikan oleh tenaga pengajar yang terlatih.

Dengan kondisi yang lingkungan kelas yang khas dalam pembelajaran bahasa kedua, maka tentunya ada
pengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran bahasa kedua yang dapat diperinci dalam hal sebagai
berikut:

· Pengaruh terhadap kompetensi


Lingkungan formal di kelas cenderung berfokus pada penguasaan kaidah-kaidah dan bentuk-bentuk
bahasa secara sadar, misalnya dalam pembelajaran bahasa inggris siswa diajak menguasai bagaimana
penggunaan artikel a dan an, bagaimana penggunaan preposisi at, in, on, atau bagaimana menggunakan
kata some dan any, dan sebagainya. Namun penguasaan kompotensi ini sangat dipengaruhi oleh peran
yang dimainkan oleh pembelajar dalam lingkuang formal pembelajaran itu. Maksudanya dalam proses
pembelajaran pembelajar harus berperan aktif dalam menggunakan bahasa yang dipelajarinya baik
dalam proses pembelajara itu sendiri maupun setelah proses pembelajaran itu selesai sehingga akan
memberikan hasil dalam penguasan bahasa yang dipelajarinya.

· Pengaruh terhadap kualitas performasi

Seperti sudah disebutkan bahwa performasi merupakan realisasi kompetensi kebahasan yang dimiliki
seseorang (ellis, 1986) yang dikutip Chaer (2003:255). Pembelajaran bahasa secara formal di dalam kelas
dapat menjamin kualitas input yang diterima pembelajar ellis (1986) (Chear, 2003: 255). Lalu apabila
input Yng diterima itu bekualitas tinggi, maka menurut satu hipotesis, keluaran (performasi) yang
dihasilkan juga menpunyai kualitas tinggi, meskipun diakui adanya variasi individual.

· Pengaruh terhadap urutan pemerolehan

Yang dimaksud dengan urutan pemerolehan disini adalah pemerolehan merfem gramatikan. Dari hasi
penelitian beberappa pakar menyebutkan bahwa pembelajaran secara formal akan mengakibatkan hasi
yang berbeda dengan proses belajar secara naturalisti.

· Pengaruh terhadap kecepatan pemerolehan

Kecepatan pemerolehan adalah kecepatan menangkap masukan dan menjadikan masukan itu sebagai
perbendaharaan kebahasaannya. Kecepatan pemerolehan ini sebenarnya bersifat relatif, dan banyak
tergantung pada faktor lain seperti inteligensi, sikap, bakat, motivasi, dan faktor internal lainnya, ellis
(1986) (Chear, 2003:225).

b. Faktor bahasa pertama

Pada penelitian bahasa kedua ini, bahasa pertama dianggap sebagai pengganggu pada proses
pemerolehan bahasa kedua, karena dalam hal ini seorang pembelajar bahasa kedua secara sadar dan
tidak melakukan transfer unsur-unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa keduanya.
Akibatnya, terjadilah yang disebut dengan interferensi, alih kode, campur kode, atau juga kesalahan. Hal
ini mungkin saja dapat dikurangi dengan beberapa hipotesis yang ada dalam melakukan peningkatan
pembelajaran bahasa kedua mungkin hal ini dapat dijelaskan (Chear, 2003:256-257).

Penjelasan pertama dapat dilihat dari teori stimulus-respons yang dikemukakan oleh kaum
behaviorisme, bahasa adalah hasil dari perilaku stimulus-respons. Maka apabila seorang pembelajar
ingin memperbanyak penggunaan ujaran, dia harus memperbanyak penerimaan stimulus. Selain itu
kaum behaviorisme juga berpendapat bahwa proses pemerolehan bahasa adalah proses pembiasaan.
Itulah sebabnya, semakin seorang pembelajar terbiasa merespons stimulus yang datang padanya,
semakin memperbesar kemungkinan aktivitas perolehan bahasanya, abdul hamid (1987) (Chear,
2003:256).

Jadi, pengaruh bahasa pertama dalam bentuk transfer ketika berbahasa kedua akan besar sekali apabila
si pembelajar tidak terus menerusdiberikan stimulus bahasa kedua. Secra teoritis pengaruh ini memang
tidak bisa dihilangkan karena bahasa pertama sudah merupakan intake atau sudah “dinuranikan” dalam
diri sipembelajar. Namun, dengan pembiasaan-pembiasaan dan pemberian stimulus terus menerus
dalam bahasa kedua, pengaruh itu bisa dikurangi (Chear, 2003:257).

Selanjutnya dapat dijelaskan melalui teori kontrastif. Teori ini menyatakan bahwa keberhasilan belajar
bahasa kedua ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya oleh si
pembelajar, klein (1986) (Chear, 2003:257).

Melalui analisis ini akan diketahui kesamaan dan perbedaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua.
Lalu kita dapat menentukan strategi pembelajaran yang paling tepat untuk digunakan, Dulay, 1982
(Chear, 2003:257). Dari analisis kontratif dapat diketahui bahwa bahasa pertama memiliki pengaruh
terhadap proses penguasaan bahasa kedua. Mengetahui keadaan linguitik bahasa pertama sangat
penting bagi usaha menentukan strategi pembelajaran bahasa kedua, sebab belajar bahasa kedua tidak
lain dari pada mentrasfer bahasa baru diatas bahasa yang sudah ada, Banathy (1969) (Chear, 2003:257).

c. Faktor lingkungan

Dulay (Chear, 2003:257-258) menjelaskan bahwa kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi
seorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam mempelajari bahasa kedua. Yang dimaksud dengan
lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar sehubungan dengan
bahasa kedua yang sedang ia pelajari, Tjohjono (1990) (Chear, 2003:258). Lingkungan berbahasa
dibedakan menjadi dua yaitu lingkungan formal dan lingkungan informal.

Lingkungan formal biasanya berlangsung dalam lingkungan belajar mengajar di dalam kelas, dan
lingkungan formal bahasa memiliki ciri-ciri seperti besifat artifisial, merupakan lingkungan keseluruhan
pengajaran bahasa yang dilakukan dilingkungan sekolah dan di kelas yang mengarhkan si pembelajar
untuk menguasai kaidah-kaidah bahasa yang telah dipelajarinya.

Sebenarnya lingkungan fomal bahasa tidaklah terbatas hanya didalam kelas, karena yang penting dalam
lingkungan formal ini para pembelajar dapat secara sadar mengetahui kaidah-kaidah bahasa kedua yang
dipelajari baik dari guru di dalam kelas, dari buku-buku, maupun dari orang lain diluar kelas. Yang
penting lingkungan tersebut menekankan pada penguasaan kaidah bahasa pada pembelajaran secara
sadar.

Sedangkan lingkungan informal biasanya bersifat alami atau natural, tidak dibuat-buat, yang termasuk
dalam lingkungan informal ini antara lain bahasa yang digunakan kawan-kawan sebaya, bahasa
pengasuh atau orang tua, bahasa yang digunakan anggota kelompok etnis pembelajar, yang digunakan
media masa, bahasa para guru, baik dikelas maupun diluar kelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa
lingkungan ini memberikan pengaruh dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Hal ini dapat
dibuktikan dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, seperti penelitian yang dilakukan
oleh milon dan plann (1977) menunjukkan bahwa penaruh bahasa teman sebaya lebih besar
pengaruhnya pada bahasa guru. Dan masih banyak lagi penelitian yang membuktikan bahwa lingkungan
informal juga memberikan pengaruh terhadap pembelajaran bahasa kedua.

Dalam pembicaraan mengenai pembelajaran bahasa kedua di atas belum disinggung adanya perbedaan
antara yang berlangsung dalm lingkungan formal dan yang berlangsung di lingkungan informal. Dalam
lingkungan formal kemampuan yang diharapkan adalah penguasaan ragam bahasa formal atau bahasa
baku, untuk digunakan dalam situasi dan keperluan formal. Sedangkan dalam informal yang diharapkan
adalah kemampuan atau penguasaan akan ragam bahasa informal. Kalau dalam kenyataannya
kemampuan berbahasa informal lebih dikuasai dari kemampuan berbahasa formal, hal tersebut
dikarenakan oleh kesempatan untuk berbahasa ragam informal jauh lebih luas daripada kesempatan
untuk berbahasa formal.

Beberapa faktor di atas, akan bepengaruh kuat jika si pembelajar sendiri tidak melakukan perbaikan
pada bahasa kedua yang mereka pelajari, dalam proses pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang datangnya dari luar dan dari dalam diri si pembelajar bahasa tersebut. Hasil dalam
penguasaan bahasa kedua tergantung pada diri pembelajar itu sendiri.

2.3 Cara Peningkatan agar Proses Belajar Bahasa Kedua dapat Berhasil

Dalam melakukan pembelajaran bahasa dapat dilakukan beberapa pendekatan. Seperti yang ditulis oleh
hakuta dan cancino (1977) yang dikutip oleh hamied (1987:28) (dalam Pateda, 2004:96) membedakan 4
pendekatan agar proses belajar bahasa kedua berhasil. Pendekatan yang di maksud adalah sebagai
berikut:

a. Analisis konstratif

Analisis konstratif dilaksanakan dengan cara membandingkan secara sistematis ciri-ciri lingiustik yang
spesifik pada dua bahasa atau lebih. Penedkatan analisis kontraktif membandingkan persamaan dan
perbedaan yang terdapat diantara dua bahasa atau lebih yang dikontraskan. Berdasarkan perbandingan
itu ditemukan unsur yang susah dipelajari oleh si pendidik. Unsur-unsur yang susah di pelajari
dikemudiankan dalam proses belajar mengajar. Analisi ini muncul karena adanya kenyataan peserta
didik yang mempelajari bahasa yang bukan bukan bahasa ibunya. Para penganut analisis kontrastif
mengasumsikan bahassa ibu mempengaruhi peserta didik ketia iamempelajari bahasa kedua wilkins
(1972) (Pateda, 2004:96-97).

b. Analisis kesalahan (error analysis)

Analisis kesalahan memusatkan perhatian pada proses belajar bahasa kedua. Padawaktu peserta didik
mempelajari bahasa kedua, terjadi banyak penyimpangan. Penyimpangan ini dianalisis baik yang
berhubungan dengan penyebabnya, daerah linguistik mana yang menyimpang, dan sifat
penyimangannya. Dengan kata lain analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasika,
mengklasifikasikan dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh
peserta didik yang sedang belajar bahasaasing atau bahasa kedua dengan menggunakan teori-teori dan
proses-proses berdasarkan linguistik, Ruru dan Ruru (1985) (Pateda, 2004:97).

c. Analisis performasi

Analaisis performasi memusatkan perhatian pada tingkah laku belajar bahasa kedua secara keseluruhan.
Pendekatannya bersifat prosedural dengan menajukan pertanyaan, misalnya apa yang boleh dan yang
tidak boleh diperbuat oleh peserta didik yang belajar bahasa kedua. Pada analisis performansi ini, bukan
penyimpangan atau kesalahan peserta didik yang diperhatikan, tetapi tingkah laku berbahasanya. Tentu
saja performasi terjadi penyimpangan-penyimpangan karena performasi bergantung juga pada
kompetensi dan faktor lingkungan. Kadang-kadang peserta didik tidak merasa menyimpang dalam
performasinya karena apa yang ia gunakan, digunakan pula oleh orang-orang terdekat yang bisa kita
sebut anutan masyarakat. Contoh yang jelas penggunaan kata daripada. Peserta didik yang mengatakan
“pendapatan dari pada petani meningkat”, tidak merasa bahwa penggunaan kata daripada pada konteks
ini salah. Mengapa? Ia tidak merasa bersalah karena umum sudah biasa menggunakan kontruksi seperti
itu.

d. Analisis wacana

Analisis wacana berpusat perhatian pada ditujukan pada penggunaan bahasa dalam percakapan. Dalam
percakapan, bukan kalimat yang dianggap sebagai satuan tertinggi, tetapi wacana, yakni satuan-satuan
berupa kalimat yang secara koherensi berisi suatu pesan inti dan beberapa pesan periperal. Dalil dasar
analisis wacana adalah study bahasa dalam konteks akan memberikan wawasan yang lebih dalam
terhadap bagaimana makna itu dikaitkan dengan tuturan.

Dari keempat pendekatan diatas dapat didimpulkan bahwa analisis konstratif menjadikan peserta didik
mengetahui perbedaan dan persamaan bahasa yang sedang dipelajarinya dengan bahasa yang telah
dikuasainya. Unsur yang sama dipelajari terlebih dahulu, sedangkan unsur yang berbeda dikemudiankan.
Unsur yang sama dipelajari lebih dulu karena unsur tersebut lebih mudah. Analisis kesalahan membuat
peserta didik mengetahui kesalahan yang dibuatnya. Berdasarkan pengenalan itu peserta didik
diharapkan tidak akan mengulangi kesalahannya. Analisis performasi mengharuskan peserta didik untuk
memilih mana bentuk yang gramatikal dan mana bentuk yang tidak gramatikal. Tingkah laku peserta
didik akan berubah kalau ia mengetahui bahwa bentuk yang digunakannya tidak gramatikal. Akhirnya
analisis wacana mengisyaratkan agar peserta didik memperhatikan wacana yang ia gunakan. Dalam
kaitan ini situasi turut menentukan. Peserta didik belajar dari wacana, apa yang harus dan yang tidak
harus dalam percakapannya.

Selain dari empat pendekatan diatas, terdapat peranan penting dari guru agar dapat meningkatkan
proses pembelajaran bahasa kedua seperti yang di tuliskan oleh Pateda (1995:252) ada beberapa upaya
guru yang harus dilakukan selama proses pembelajaran bahasa kedua yaitu sebagai beriku:

1. Guru harus membuat persiapan mengajar yang tepat.

2. Guru memerlukan pengorbanan dalam pembelian media pembelajaran bahasa kedua yang
diperlukan.

3. Jangan menghina ketika peserta didik melakukan kesalahan.

4. Memulai kelas dengan melatih penguasaan beberapa kosa kata baru.

5. Amati peserta didik pada waktu istirahat.

6. Mengadakan pelajaran tamabahan seperti remedi.

Namun dari semua upaya guru yang telah disebutkan diatas, yang terpenting adalah melakukan evaluasi
terhadap hasil performasi siswa dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Karena umumnya bahasa
kedua yang peserta didik pelajari berlangsung di sebuah instansi pendidikan seperti sekolah. Evaluasi ini
bertujuan agar siswa dapat mengetahui batas dari kemampuan mereka. Sehingga melalui feedback yang
guru berikan kepada peserta didik, peserta didik akan lebih termotivasi untuk meningkatkan
kemampuan mereka dalam menguasai bahasa kedua atau bahkan bahasa ketiga meraka.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar bahasa kedua merupakan suatu proses
yang dilakukan oleh seorang pembelajar untuk menguasai bahasa baru (bahasa kedua atau bahakan
bahasa ketiga) dengan syarat ia telah mengasai bahasa bahasa pertamanya dengan lancar.

Dalam belajar bahasa kedua terdapat beberapa faktor yang menpengaruhi keberhasilan tersebut, faktor
tersebut antara lain: faktor lingkungan, faktor usia, faktor faaktor bahasa pertama, faktor motivasi.
Semua faktor tesebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor yang datang dari dalam diri si
pembelajar dan faktor yang datang dari luar diri si pembelajar bahasa kedua.

Untuk meningkatkan keberhasilan proses pembelajaran bahasa kedua dapat dilakukan beberapa analisis
dalam proses pembelajarannya bahasa tersebut. analisis yang pertama adalah kontrastif, analisis
kesalahan, analisis performasi dan yang terakhir yaitu analisis wacana. Semua analisis tersebut dilakukan
untuk melihat, mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi, kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar
bahasa kedua tersebut.

Namun keberhasilan pembelajaran bahasa kedua sangat bergantung pada diri si pembelajar itu seniri.
Bagaimana usaha si pembelajar dalam belajar bahasa tersebut, apakah ia hanya menunggu stimulus
yang diberikan oleh orang disekitarnya, atau mencari informasi tambahan tentang bahasa yang ia
pelajari dari berbagai sumber lainnya seperti buku yang menyangkut bahasa yang ia pelajari.

Anda mungkin juga menyukai