Anda di halaman 1dari 15

Dimensi Pemerolehan Bahasa Kedua, Teori Pemerolehan Bahasa

Kedua, dan Peranan Bahasa Pertama pada Pemerolehan Bahasa


Kedua

Disusun Oleh :

Nama : Elrika Melisawati .H


Nim / Kelas : 2016112043 / 5B
Mata Kuliah : Pemerolehan Bahasa
Dosen Pengajar : Dr. Achmad Wahidy, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2018
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penguasaan terhadap bahasa kedua sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini
berkaitan dengan kebutuhan berinteraksi dengan manusia lainnya yang memiliki bahasa
yang berbeda. Anggota sosial masyarakat yang satu tentu saja akan mempelajari bahasa
dari masyarakat yang lain agar dapat berinteraksi dengan baik. Adapun bahasa kedua ini
perlu untuk dikuasai oleh manusia tidak hanya untuk kepentingan berinteraksi dengan
manusia lainnya, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti mempelajari
ilmu. Tujuan inilah yang kemudian memicu adanya lembaga-lembaga pendidikan yang
menyajikan pembelajaran bahasa kedua.
Pemerolehan bahasa kedua mengacu pada bahasa yang diperoleh seseorang (B2)
setelah seseorang memperoleh bahasa pertama. Digunakan istilah pemerolehan bahasa
kedua karena bahasa kedua diyakini sebagai sesuatu yang dapat diperoleh baik secara
formal dalam pendidikan formal, maupun informal dalam lingkungan kehidupan.
Pemerolehan bahasa kedua ini dapat terjadi pada lingkungan masyarakat bilingual atau
multilingual.
Khusus bagi kondisi Indonesia, secara umum bahasa kedua dapat diartikan sebagai
bahasa Indonesia atau bahasa asing. Sedangkan bahasa pertama lebih diartikan sebagai
bahasa ibu atau bahasa utama yang dapat berupa bahasa daerah.
Beberapa ahli menggunaakan istilah “pembelajaran” untuk merujuk pada bahasa
kedua. Beberapa ahli yang menggunakan istilah pembelajaran bahasa kedua didasari
pemikiran bahwa bahasa kedua dapat diperoleh dengan cara belajar, dalam keadaaan
sadar, dan disengaja. Namun, tidak dipungkiri juga bahwa penggunaan istilah
pemerolehan bahasa kedua dapat dibenarkan, sebab bahasa kedua juga merupakan
sesuatu yang dapat diperoleh.
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Pemerolehan bahasa
mengacu pada kemampuan linguistik yang telah diinternalisasikan secara alami tanpa
disadari dan berpusat pada struktur linguistik maupun makna fungsionalnya.
Pembelajaran bahasa dilakukan dengan sadar dan merupakan hasil situasi belajar formal.
Pemerolehan bahasa memiliki konteks yang bersifat alami, sedangkan pembelajaran
bahasa mengacu pada kondisi formal dan konteks yang terprogram. Pada umumnya,
seseorang yang belajar bahasa dipengaruhi oleh motivasi prestasi, sedangkan orang yang
memperoleh bahasa dipengaruhi oleh motivasi komunikasi. Kondisi pembelajaran
bahasa dianggap sebagai penutur tidak asli, sedangkan pemerolehan bahasa dapat
menyerupai penutur asli. Pembelajaran bahasa lebih menekankan penguasaan kaidah,
sedangkan pemerolehan bahasa menekankan penguasaan keterampilan berkomunikasi.
Dalam konteks ini, pemerolehan bahasa kedua sekaligus dapat dikemas sebagaimana
pembelajaran bahasa kedua sehingga integrasi antara internalisasi struktur dan makna
dalam suatu bahasa sangat ditonjolkan

B. Masalah
1. Apa sajakah dimensi pemerolehan bahasa kedua?
2. Apa sajakah teori pemerolehan bahas kedua ?
3. Bagaimanakah peranan bahasa pertama pada pemerolehan bahasa kedua ?

C. Tujuan
1. Memberikan pemaparan mengenai dimensi pemerolehan bahasa kedua.
2. Memberikan pemaparan mengenai teori pemerolehan bahas kedua.
3. Memberikan pemaparan tentang peranan bahasa pertama pada pemerolehan bahasa
kedua.
PEMBAHASAN
A. DIMENSI PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
Tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa, yaitu propensity
(kecenderungan), language faculty (kemampuan berbahasa) , dan acces (jalan masuk) ke
bahasa. Terdapat juga kategori yang memberi ciri kepada proses tersebut, yaitu struktur,
tempo, dan end state (keadaan akhir). Keenam butir ini merupakan enam dimensi dasar
pemerolehan bahasa kedua :
1) Propensity (kecenderungan)
Istilah propensity mencakup seluruh faktor yang bermanfaat, merusakkan, dan
yang menyebabkan para pelaiar menerapkan kemampuan berbahasa untuk
memperoleh sesuatu bahasa. Hal itu merupakan basil interaksi mereka yang
menentukan kecenderungan aktual pelaiar. Empat komponen kecenderungan tersebut
sebagai berikut, yakni :
1. Social Integration “Integrasi Sosial”
Integrasi sosial itu merupakan sang anak secara tidak sadar mengikuti
maksim atau peribahasa “perolehan identitas sosial, dan identittas nasional dalam
kerangkanya”. Integrasi sosial mempunyai sedikit signifikansi sebagai faktor
penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua pada tingkat perguruan
tinggi atau universitas, terutama dalam kasus ekstrim belajar bahasa klasik Latin
dan Greek, ketika integrasi sosial merupakan sesuatu yang tidak mungkin ada.
Dalam hal-hal tertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan
pengaruh negatif. Sebagai contoh, kalau seorang pekeria migran telah berimegrasi
baik dan memiliki suatu identitas sosial di dalam masyarakat aslinya, dia dapat
saja pulang kembali daripada berintegrasi ke dalam suatu masyarakat bahasa baru
karena takut kehilangan identitas sosial, walaupun kesadaran ada untuk
memperoleh keuntungan yang sesuai dengan kemampuannya dari integrasi baru.
Ini mungkin merupakan penyebab “fosiliasi” dini (Selinker, 1972) dalam
keterampilan berbahasa kedua pada banyak migran dewasa (Schumann, 1978).
2. Attidude “Sikap”
Anak-anak seakan-akan tidak mempunyai sikap khusus terhadap bahasa pertama
mereka, dan tidak juga pasti apakah evaluasi mereka terhadap ayah dan ibu
mempunyai suatu efek terhadap pemerolehan bahasa. Sangat alamiah bahwa
seorang pelajar yang menganggap suatu bahasa tertentu sebagai sesuatu yang
membual saja dan yang tidak dapat menempatkan seseorang pembicara bahasa
tersebut akan membuktikan kurang berhasilnya dalam mempelajarinya daripada
seseorang pelajar dengan sikap yang positif.
3. Communicative Need “Kebutuhan Komunikasi”
Kosakata yang diperoleh oleh seorang pembicara bagi maksud-maksud
komunikatif agaknya termasuk ke dalam yang berhubungan dengan
kebutuhannya. Ini sama benarnya dengan pemerolehan bahasa kedua yang
spontan (pembantu orang Jawa di Tanah Karo) seperti pada belaiar terpimpin
(buat maksud-maksud perdagangan, atau buat membaca seperangkat naskah pada
tingkat universitas); kosakata yang dikembangkan untuk maksud-maksud tertentu
selalu lebih bersifat berat sebelah daripada kosakata yang diperlukan untuk
mencapai integritas sosial. Terlebih lagi, jika interaksi biasa di dalam setiap
masyarakat didominasi oleh pola-pola konversasi ritual, misalnya oleh frasa-frasa
baku, ekspresi-ekspresi rutin gaya bahasa, tetapi juga oleh keseimbangan lembut
antara keeksplisitan dan keimplisitan, tindak ujar yang langsung dan tidak
langsung, dan sebagainya. Penguasaan seseorang terhadap bentuk-bentuk
linguistik ini menghukum (sebelum memeriksa) integrasinya ke dalam masyaratat
tertentu; komunikasi terus menerus tidak dapat dilakukan tanpa itu. Kebutuhan-
kebutuhan komunikatif yang telah dibicarakan, sangat jauh itu tanpa spesifikasi
yang lebih laniut, tetapi hendaknya dijelaskan bahwa terdapat berbagai ragam
jenis kebutuhan-kebutuhan seperti itu dan pengaruhnya kepada pemerolehan
bahasa pun tentu berbagai macam pula.
4. Education “Pendidikan”
Faktor pendidikan, suatu bahasa kedua dapat dipelaiari dengan cara yang
sama seperti seperangkat teori atau biologi hanya karena bahasa itu termasuk
pada organisasi pendidikan suatu masyarakat tertentu. Di negara-negara Eropa
Barat, misalnya, seseorang yang berpendidikan adalah orang yang telah
mempelaiari, menelaah, antara lain bahasa Latin dan satu atau dua bahasa
modem. Dalam pengaiaran bahasa asing di sekolah-sekolah, hal ini merupakan
pertimbangan yang telah dikesampingkan, tidak memegang peranan lagi, bahkan
tidak merupakan satu-satunya pertimbangan. Pada saat yang sama, idaman
pendidikan ini adalah yang paling lemah di antara segala faktor yang menunjang
kecenderungan dengan sendirinya hal itu dapat mendorong proses belajar bahasa
hanya hal-hal tertentu atau pada kasus-kasus luar biasa saja.
2) Language Faculty (kemampuan berbahasa)
Umat manusia diberkahi dengan kapasitas alamiah bagi pemprosesan bahasa,
baik sebagai pembicara dan penyimak, atau menggunakan istilah Saussure (l916)
dengan “faculte’du langange" dalam melatih kecakapan atau kemampuan ini, mereka
telah menggunakan salah satu sistem bernorma sosial yang mengacu pada “bahasa-
bahasa alamiah” atau “natural languages” (istilah Saussure: “langue”). Kemampuan
bahasa terdiri atas kemampuan menyesuaikan kapasitas-kapasitas pemprosesan
bahasa pada suatu sistem sosial, seperti mempelajari bahasa tertentu. Dengan
perkataan lain, pemprosesan bahasa, yaitu bagian-bagian otak manusia, sistem motor,
dan aparat-aparat perseptual yang sistem untuk memproses bahasa dan sanggup tidak
hanya menghasilkan bahasa dan memahaminya, tetapi juga mengatur produksi dan
pemahaman bahasanya pada materi linguistik khusus.
Apa yang tercakup atau terlibat dalam PB2 adalah kapasitas untuk
mereorganisasi pemproses bahasa untuk menanggulangi bahasa lain, suatu kapasitas
yang dapat dilatih menyediakan suatu keinginan kuat yang memadai atau cukup.
Perbedaan-perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan
bahasa kedua dapat ditunjukkan dengan tepat dalam kaitanya dengan berikut ini :
a. Pelajar bahasa kedua adalah lebih tua, jadi pada mereka mungkin terdapat
perubahan-perubahan dalam beberapa determinan biologis yang penekanan
utamanya diletakkan pada pemprosesan bahasa. Hal ini tentu saia mungkin
diterapkan pada komponen-komponen periferal seperti mendengar. Akan tetapi,
itu juga merupakan masalah terbuka mengenai apakah perubahan-pcrubahan
perifetal dan perubahan-perubahan yang mungkin dalam sistem syaraf pusat
(ingatan) ini dapat mendesak atau menggunakan pengaruh yang dapat diamati
terhadap pemprosesan bahasa.
b. Pengetahuan pelajar secara konstan berubah-ubah terus, paling sedikit sejauh
yang berkenaan dengan pengetahuan nonlinguistik. Tetapi pelajar bahasa kedua
itu paling sedikit telah berkuasa terhadap bahasa penamanya, dan hal itu
merupakan sandaran alamiah yang sempuma, secara sadar atau tidak sadar,
terhadap pengetahuannya mengenai bahasa tersebut. Ini merupakan wadah bahasa
pertama dapat menggunakan atau mendesakkan pcngaruh terhadap bahasa kedua,
yang menghasilkan fcnomena seperti transfer atau pemindahan, interferensi, dan
sebagainya.
3) Acces (Jalan masuk)
Harus disadari benar-benar bahwa pemproses bahasa tidak dapat beroperasi
tanpa jalan masuk menuju bahan mentah. Kita telah mengetahui bahwa pemerolehan
bahasa spontan mencakup belajar di dalam dan melalui interaksi sosial. Sang pelajar
diharuskan mempergunakan sebaik-baiknya segala pengetahuan yang tersedia
padanya agar dapat memahami apa yang dikatakan orang lain dan menghasilkan
ucapan-ucapannya sendiri. Dia dapat diharapkan cepat maju dalam proses
pemerolehan bahasa kalau kebutuhan bagi komunikasi menjadi bertambah
meningkat dan kesempatan-kesempatan semakin scring didapat frasa "dapat
diharapkan" dipakai untuk menekankan bahwa itu merupakan suatu gagasan.
Di sini, seseorang akan mengharapkan suatu acuan bagi gagasan yang sangat
sugestif bahwa anak-anak merupakan pelajar-pelajar yang lebih cepat daripada orang
dewasa, sedangkan penelitian ilmiah seringkali hanya memperkuat pandangan-
pandangan biasa atau yang terjadi sehari-hari belaka; fakta-fakta aktual di sini ialah
bahwa anak menjadi pelajar-pelajar yang lebih efisien dengan bertambahnya usia
(lihat : Buehlcr, 1972; Snow & Hoefnagel-Hohle, 1978; Chun, 1981; dan
McLaughlin, 1978).

4) Struktur
Berikut ini struktur-struktur proese pemerolehan bahasa kedua, yaitu :
A. Sinkronisasi
Penguasaan sesuatu bahasa mencakup pemerolehan terhadap segala jenis
pengetahuan linguistik. Dengan kata lain, bagaimana dia sebaiknya
mengusahakan pemahaman pengetahuan fonologis, morfologis, sintaksis,
leksikal, dan morfem-morfem. Dalam bahasa Indonesia, kita kenal pemakaian
morfem me- :
Rawat - merawat
Sayat - menyayat
Bawa - membawa
Pukul - memukul
B. Variabilitas
Struktur proses pemerolehan berbagai ragam pada para pelajar. Proses
pemerolehan, dalam pandangan variabilitasnya, sebenarnya dapat dipengaruhi
oleh suatu pengawasan yang cermat terhadap berbagai faktor yang sedang
beraksi, tetapi untuk menyelesaikan serta menyempurnakan ini perlu
memerhatikan benar - benar mekanisme - mekanisme yang mendasarinya, untuk
mengetahui "hukum-hukum" atau “kaidah-kaidah” yang mengatur proses
tersebut.

5) Tempo atau kecepatan pemerolehan


Tekanan kebutuhan-kebutuhan komunikatif hanyalah mempercepat kemajuan
sang pelajar, sedangkan jalan masuk yang terbatas bagi bahan linguistik atau
kesempatan-kesempatan berkomunikasi yang terbatas hanyalah memperlambat
kemajuan saja.
Ketentuan-ketentuan komunikatif sang pelajar dapat dipenuhi lebih baik apabila
kecakapan atau kemampuannya meningkat; sebagai akibatnya, pengaruh faktor ini
berkurang atau merosot.

6) End State (keadaan akhir)


Pada saat-saat tertentu, seorang pelajar mungkin saja tiba-tiba mundur kembali
ke tahap pemerolehan terdahulu, di tengah perjalanan atau di tengah-tengah
pertukaran itu. Ini mungkin berlangsung pada beberapa kalimat saia, pada saat sang
pelajar mengabaikan hal-hal panting mengenai nomina, verba infleksi, dan
sebagainya. Secara relatif, pembicara yang lancar berbahasa kedua seringkali
mencatat bahwa kelelahan setelah waktu percakapan yang diperpanjang
mengakibatkan timbulnya sejumlah kasalahan dan rasa kegelisahan yang umum
dalam bahasa tersebut. Ini mungkin merupakan suatu tanda kehadiran varietas-
varietas bahasa terdahulu yang terpendam. Yang belakangan itu tidak akan hilang
tanpa jejak, tetapi tampaknya dikesampingkan oleh varietas-varietas baru, sehingga
yang terakhir itu merupakan keadaan akhir.

B. TEORI PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA


Telah banyak dilakukan penelitian tentang pemeolehan bahasa kedua.
Ellis(1986) telah mengidentifikasi tujuh teori pemerolehan B2 telah mengidentifikasi
tujuh teori pemerolehan bahasa kedua, yang terdiri dari beberapa model, yaitu :
1. Model Akulturasi
Akulturasi adalah proses adaptasi atau penyesuaian dengan kebudayaan baru.
Akulturasi ditentukan oleh jarak sosial dan jarak psikologis antara pembelajar (B1)
dengan budaya bahasa sasaran (B2). Faktor-faktor yang menentukan jarak sosial
antara kelompok B1 dan B2 adalah :
a. Kesamaan derajat sosial
b. Timbulnuya keinginan asimilasi
c. Saling terlibatnya antar dua kelompok
d. Kelompok belajar B2 kecil dan kohesif
e. Kesesuaian budaya
f. Saling memiliki sikap positif
g. Lama tidaknya berasimilasi antara kelompok B1 danB2

2. Teori Akomodasi
Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan B2 dalam
berinteraksi sangat menentukan pemerolehan B2. Faktor-faktor berikut akan
mempermudah dan mempengaruhi keberhasilan pembelajar dalam mempelajari B2,
yakni :
a. Anggapan pembelajar B2 nahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat
B2.
b. Tidak memandang rendah masyarakat B2.
c. Persepsi pembelajar tentang pentingnya etnolinguistik.
d. Terbuka dan ketat dalam mempersepsikan batas kelompok B1 dengan B2.
e. Pembelajar B1 mengidentifikasi diri sama kuat dan memuaskannya dengan
kelompok sosial lainnya.

3. Teori Wacana
Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukan makna
bahasa melalui keterlibatannya dalam berkomunikasi.
Teori wacana mempunyai sejumlah prinsip utama berikut ini :
a. Pemerolehan B2 mengikuti urutan alamiah dalam perkembangan sintaksis.
b. Penutur asli akan menyesuaikan tuturannya untuk mencapai makna yang
disepakati bersama penutur nonasli.
c. Strategi percakapan yang ditempuh untuk mencapai makna yang disepakati dan
masukan mempengaruhi kecepatan dn urutan pemerolehan data terbaik bagi
pembelajar
4. Model Monitor
Teori ini menyatakan bahwa tampilan berbahasa pembelajar(B2) ditentukan
oleh cara mereka menggunakan monitor. Penggunaan bahasa yang berlebihanakan
menghambat penguasaan bahasa pembelajar.

5. Model Kompetensi Variable


Teori ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa akan
mencerminkan cara orang itu menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Produk
penggunaan bahasa terdiri atas berbagai macam produk bahasa (wacana) dari yang
tidak terencana (seperti percakapan sehari-hari) sampai yang terencana (seperti
menirukan cerita atau dialog).

6. Hipotesis Universal
Hipotesis universal menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah bahasa
dengan bentuk gramatika universal, yakni gramatika inti.
Hipotesis ini menyatakan bahwa terdapat kesemestaan bahasa yang menentukan
proses pemerolehan B2 seperti berikut ini, yaitu :
a. Kesemestaan bahasa membantu mengatasi hambatan yang berpotensi muncul
dalam bahasa antara (inter langue).
b. Pembelajar akan merasa lebih mudah memperoleh pola-pola yang sesuai dengan
kesemestaan bahasa daripada yang tidak sesuai.
c. Apabila B1 menerapkan kesemestaan bahasa maka B1 cenderung akan
membantu perkembangan penguasaan bahasa antara melalui transfer.

7. Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi syaraf.
Dua daerah otak, dua daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak
kiri, menentukan pemerolehan B2.
Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan memperhatikan
dua hal. Pertama, fungsi syaraf yang mana yang digunakan untuk berkomunukasi.
Kedua, tingatan mana dalam system syaraf tersebut yang dilibatkan.

C. PERANAN BAHASA PERTAMA PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA


Selama tahun lima puluhan dan enam puluhan "hipotesis analitis kontrastif"
merupakan penjelasan yang paling umum diberikan bagi kesalahan-kesalahan yang
terdapat dalam belajar B2, yang diduga datangnya dari "interferensi" itu. Telaah-telaah
yang dilakukan selama satu setengah decade yang lalu itu telah menunjukkan dengan
jelas bahwa B1 mempunyai pengaruh positif yang sangat besar terhadap B2 (seperti
telaah Cummins) yang agak bertentangan dengan pengaruh negatif yang terkandung
dalam istilah "interferensi itu". Mayoritas besar dari kesalahan-kesalahan tersebut lebih
banyak dalam susunan kata daripada dalam morfologi (Dulay (et al) 1982 : 102 ). Satu-
satunya bidang yang sangat kuat dipengaruhi B1 adalah ucapan atau "pro-nunciation".
Anak-anak memproses sistem bunyi baru melalui pola-pola fonologis B1 pada tahap-
tahap awal pemerolehan B2, tetapi berangsur-angsur mereka bersandar pada sistem B2
dan aksen atau tekanan atau logat mereka pun menghilang. Sebaliknya, banyak pelajar
dewasa memproses sistem bunyi B2 melalui sistem B1 mereka dan memelihara serta
mempertahankan logat mereka seumur hidup.
Juga sudah umum diketahui bahwa pengaruh B1 kian bertambah pada B2 apabila
pelajar diharapkan menghasilkan B2 sebelum dia mempunyai pembukuan atau eksposure
yang cukup memadai bagi bahasa baru. Dalam hal ini, sang pelajar menggantungkan diri
pada struktur-struktur B1 dalam upaya untuk berkomunikasi. Kegiatan lain yang dapat
menyebabkan ketergantungan yang eksesif pada struktur-struktur B1 adalah terjemahan
atau "translation", kebanyakan metode pengajaran bahasa dewasa ini menghindari tugas-
tugas terjemahan, terkecuali bagi butir-butir kosakata tertentu. Pengaruh B1 juga
merupakan fakta dalam interaksi yang terjadi antara pribadi dari bahasawan bahasa
pertama dan bahasa kedua. Peminjaman linguistik dan pengalihan sandi merupakan dua
fenomena yang terjadi secara alamiah dalam setiap situasi ketika dua bahasa saling
kontak dalam masyarakat atau wilayah multilingual atau berbagai bahasa (Ovando &
Colliver, 1995 : 65).
Selama beberapa tahun telah menjadi dugaan para ahli bahwa satu-satunya sumber
utama kesalahan-kesalahan sintaksis dalam performansi bahasa kedua orang dewasa
adalah bahasa pertama sang pelaku atau performer's first language (Lado, 1957) dan
sebagian terbesar persiapan bahan-bahan dibuat dengan berdasarkan asumsi ini (Banathy,
Trager, and Waddle : 1966). Akan tetapi, telaah-telaah empiris berikutnya mengenai
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para pelajar bahasa kedua justru membimbing kea
rah penemuan bahwa banyak kesalahan bukan bersumber pada struktur bahasa pertama,
tetapi justru umumnya pada latar belakang linguistic yang berbeda-beda dari bahasa
kedua para pelaku misalnya, Richards, 1971 : Buteau, 1970).
Suatu hal yang perlu kita ketahui ialah bahwa temuan-temuan mengenai pengaruh
bahasa pertama terhadap performansi bahasa kedua cukup konsisten dengan temuan-
temuan dan hipotesis-hipotesis dari bidang-bidang lain yang jelas tidak berhubungan,
dan bahwa semua itu menunjang bagi gambaran teoritis yang jelas mengenai performansi
dan pemerolehan bahasa kedua. Beberapa penemuan penelitian yang penting mengenai
hal ini adalah seperti berikut :
1. Pengaruh bahasa pertama terlihat paling kuat dalam susunan kata kompleks dan
dalam terjemahan frasa-frasa kata demi kata .
La Coco (1975), dalam suatu telaah mengenai para mahasiswa di Amerika yang
belajar bahasa Spanyol dan bahasa Jerman di Amerika Serikat, melaporkan bahwa
"timbulnya kesalahan-kesalahan antarbahasa (interferensi B1) dalam bahasa Jerman
berkaitan dengan kesalahan-kesalahan susunan kata" (p.101). Contoh-contoh khusus
mengenai hal ini adalah sebagai berikut :

Hoffentlich du bist gesund


"Hopefully you are healthy"
Yang benar adalah :
Hoffentlich bist du gesund
Ich bin glucklich sein hier
"I am happy to be here"
Yang benar adalah :
Ich bin glucklich hier zu sein

2. Pengaruh bahasa pertama lebih lemah dalam morfologi terikat.


Duskova (1969) mencatat bahwa kesalahan-kesalahan dalam morfologi terikat
(misalnya : penghilangan jamak pada nomina, tiadanya kecocokan subjek-verb,
adjektiva-nomina) tidak berkaitan dengan pengaruh bahasa pada mahasiswa
Cekoslovakia "verb finit sesuai dengan subjeknya dalam persona dan jumlah.
Tampaknya kesalahan-kesalahan tersebut merupakan "interferensi antara term-term
laindalam subsistem bahasa Inggris yang dipermasalahkan itu" (p.21). Dan
kesalahan morfologis, hanyalah 19 yang dianggap berkaitan dengan interferensi
bahasa Cekoslovakia dan yang menarik hati lagi ialah bahwa dari yang 19 itu,
beberapa di antaranya merupakan morfem-morfem bebas pula.
3. Pengaruh bahasa pertama seakan-akan paling kuat aau besar dalam lingkungan-
lingkungan "pemerolehan rendah" atau "accuisition-poor"
Dulay & Burt (1974) dan Gillis & Weber (1976) telah mendemonstrasikan
bahwa pengaruh bahasa pertama cukup jarang pada pemerolehan bahasa kedua sang
anak. Sebaliknya pada pihak lain, telaah-telaah yang melaporkan jumlah yang besar
bahasa pertama, seperti yang telah kita singgung di atas tadi, kebanyakan merupakan
telaah-telaah bahasa asing bukan merupakan bahasa kedua, yang situasi-situasinya
bersifat alamiah memang langka dan latihan-latihan terjemahan memang sering
dilakukan. Kesalahan-kesalahan karena pengaruh bahasa pertama disini juga
terdapat dalam bidang susunan kata (Selinkert, Swaim, & Dumas : Plann Et
Ramirez, 1976).

Dari pembicaraan diatas dapat menyimpulkan bahwa B1 merupakan pengganti bagi


B2 yang telah diperoleh sebagai suatu inisiator atau pemprakarsa ucapan apabila sang
penyaji harus menghasilkannya dalam bahasa sasaran, tetapi tidak cukup bahasa kedua
yang telah diperoleh untuk melakukan hal ini. Sebenarnya dapat di permasalahkan bawah
ranah dalam performansi B2 sama saja kaidah-kaidahnya seperti yang terdapat pada
kebanyakan kecenderungan pengaruh B1, sedangkan aspek-aspek bahasa sasaran yang
mungkin di pelajari (yamng diperoleh terakhir, mudah dikonseptualisasikan, misalnya :
morfologi terikat) itu secara relatif bebas dari pengaruh B1. Oleh karena itu, pengaruh B1
mungkin merupakan indikasi bagi pemerolehan yang rendah. Pengaruh bahasa pertama
jadinya dapat dianggap sebagai yang tidak alamiah. Secara teoritis seseorang dapat saja
menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua tanpa sesuatu pemerolehan struktur
permukaan bahasa pertama dapat digunakan atau dipakai dengan leksikon yang
disisipkan pada isi bahasa kedua.
KESIMPULAN

Tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa, yaitu propensity


(kecenderungan), language faculty (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan masuk) ke
bahasa. Terdapat juga kategori yang memberi ciri kepada proses tersebut, yaitu struktur,
tempo, dan end state (keadaan akhir). Keenam butir ini merupakan enam dimensi dasar
pemerolehan bahasa kedua.

Tujuh teori pemerolehan bahasa kedua, yang terdiri dari beberapa model, yaitu :
1. Model Akulturasi
2. Teori Akomodasi
3. Teori Wacana
4. Model Monitor
5. Model Kompetensi Variable
6. Hipotesis Universal
7. Teori Neurofungsional

Selanjutnya ialah peranan bahasa pertama pada pemerolehan bahasa kedua. Apabila
dalam proses awal menunjukkan pemahaman dan penghasilan yang baik dari keluarga dan
lingkungan bahasa yang diperolehnya, proses pemerolehan bahasa selanjutnya akan
mendapatkan kemudahan. Beberapa penemuan penelitian yang penting mengenai hal ini
adalah seperti berikut :
1. Pengaruh bahasa pertama terlihat paling kuat dalam susunan kata kompleks dan
dalam terjemahan frasa-frasa kata demi kata.
2. Pengaruh bahasa pertama lebih lemah dalam morfologi terikat.
3. Pengaruh bahasa pertama seakan-akan paling kuat aau besar dalam lingkungan-
lingkungan "pemerolehan rendah" atau "accuisition-poor.
DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, Henry Guntur. 2011. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa

Anda mungkin juga menyukai