Anda di halaman 1dari 10

DIMENSI PEMEROLEHAN BAHASA

Edi Puryanto, M.Pd

Dalam penjelasan Tarigan (1988:164) terdapat enam dimensi pemerolehan


bahasa, yaitu propensity (kecenderungan), language faculty (kemampuan
berbahasa), acces (jalan masuk), sructure (struktur), tempo (kecepatan), dan end
state (keadaan akhir atau tujuan akhir). Berikut ini penjelasan dimensi
pemerolehan bahasa.

(disarikan dari Klein, 1986 : 35-46)

Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa, yaitu


propensity (“kecenderungan”), language faculty (“kemampuan berbahasa”), dan
acces (“jalan masuk”) ke bahasa. Dan terdapat tiga pula kategori yang memberi
ciri kepada proses tersebut, yaitu struktur, tempo, dan end state (“keadaan
akhir”).

1. Propensity (Kecenderungan)
Dimensi kecenderungan dapat mempengaruhi pelajar bahasa dalam
memperoleh sesuatu bahasa, dan itu merupakan hasil interaksi mereka yang
menentukan kecenderungan aktual pelajar bahasa. Ada dua alasan dimesi
kecenderungan mempengaruhi pemerolehan bahasa. Pertama, selama mereka
tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama,
maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses
pemerolehan dalam suatu cara yang umum (sebenarnya, hanya unsur-unsur
kecenderungan yang khusus sajalah yang dapat dikembangkan secara sensibel
dengan aspek-aspek khusus proses itu); kedua, elemen-elemen kompenen
kecenderungan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (misalnya,
pengajaran) sampai pada taraf-taraf tertentu. Empat komponen kecenderungan
menurut Tarigan digambarkan sebagai berikut:

(disarikan dari Klein : 35 - 48)

Berdasarkan diagram di atas ada empat komponen kecenderungan, yaitu


integrasi sosial, sikap, kebutuhan komunikatif, dan pendidikan. Dalam
pemerolehan bahasa pertama (PB1) integrasi sosial seakan-akan merupakan
sesuatu yang dominan, karena akan membentuk suatu identitas sosial yang
mempengaruhi personal sang anak. Kebutuhan komunikatif harus dibedakan
dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial, karena kebutuhan komunikatif
lebih menitikberatkan kepada suatu pemahaman dalam masyarakat dengan
ucapan – ucapan atau bahasa yang berbeda. Sedang sikap merupakan karakter
yang beranekaragam yang timbul atas bahasa yang dipelajari serta terhadap
orang yang berbicara dengan bahasa tersebut, pada umumnya dianggap
sebagai suatu faktor penting belajar bahasa, karena anak dapat juga tumbuh di
dalam lingkungan bahasa yang berbeda saat memperoleh bahasa dari kedua
orang tuanya.
Yang terakhir, komponen pendidikan, dapat dijelaskan bahwa bahasa kedua
dapat dipelajari dengan cara yang sama seperti perangkat teori atau biologi,
hanya karena bahasa itu termasuk organisasi pendidikan suatu masyarakat
tertentu. Misalnya seseorang yang telah berpendidikan dapat menelaah bahasa
latin atau beberapa bahasa modern lainnya.

2. Language Faculty (Kemampuan Berbahasa)


Manusia diberkahi dengan kapasitas alamiah dalam pemrosesan bahasa, baik
sebagai pembicara, maupun sebagai penyimak. Dalam melatih kecakapan atau
kemampuan berbahasa, mereka mempergunakan sistem bernorma sosial yang
mengacu pada bahasa alamiah (natural language), karenanya kemampuan
berbahasa terdiri dari kemampuan menyesuaikan kapasitas pemrosesan bahasa
pada suatu sistem sosial. Yang diatur oleh pemroses bahasa pada bagian otak
manusia, sistem motor, serta perangkat konseptual yang telah disistem untuk
memperoleh bahasa, di samping untuk pemahaman dan menghasilkan bahasa,
serta juga mengatur produksi dan pemahaman bahasa pada materi linguistik
yang bersifat lebih khusus.
Fungsi pemrosesan bahasa itu tergantung pada dua hal, yaitu:
a) Determinan – determinan biologis tertentu
Determinan biologis merupakan komponen biologis berupa organ periferal
seperti alat ucap mulai dari tenggorokan sampai bibir, alat dengar, serta
sistem yang menangani persepsi, memori dan fungsi kognitif lainnya.
b) Pengetahuan yang tersedia
Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui pengetahuan sadar yang diperoleh
dari orang lain, sekolah, serta buku. Selain itu, pengetahuan juga dapat
diperoleh secara tidak sadar, yang diperoleh secara diam-diam, yang secara
normal tidak dapat diucapkan namun merupakan dasar dalam pemerolehan
keterampilan lisan. Dalam penggunaan bahasa kita, kita tidak harus
menyandarkan diri hanya pada pengetahuan linguistik, tetapi juga
kemampuan bahasa yang bersifat nonverbal.

Pemahaman ini merupakan pemahaman konseptual yang membedakan antara


produksi ucapan dan pengetahuan ucapan, yang terletak pada tergantung
pengetahuan nonlinguistik penyimak serta pengetahuan nonlinguistik pelajar.
Pengetahuan pelajar secara konstan berubah – ubah terus, paling sedikit
berkenaan dengan pengetahuan nonlinguistik. Namun pelajar bahasa kedua
paling sedikit telah menguasai bahasa pertamanya.

3. Access (Jalan Masuk) ke Bahasa


Pemrosesan bahasa tidak dapat beroperasi tanpa jalan masuk menuju bahan
mentah, atau bahan kasarnya. Pada dasarnya mencakup dua komponen yang
berbeda, yaitu :
1) jumlah masukan yang tersedia
2) jarak kesempatan – kesempatan komunikasi.
Anak yang belajar B2 harus dapat membedakan variasi-variasi tekanan, suara,
nada, intonasi dari bahasa lain. Kosakata anak seringkali didapat karena
melibatkan pemahamannya tentang siapa berbicara dengan siapa, di mana,
kapan, sambil mengamat, gerak tubuh para tokoh dan reaksinya.
Walaupun masukan dalam pemerolehan bahasa bersifat spontan, tetapi pada
umumnya terdiri dalam fonologi, kosakata, morfologi, sintaksis dan dalam
komunikasi  pada umumnya. Dengan bertindak demikian pembicara dapat
berbuat kesalahan dalam dua hal, yaitu :
1) Modifikasi. Modifikasi-modifikasinya dapat menghalangi pemahaman
kalau sang pelajar semakin maju dalam bahasa itu
2) Pelajar mungkin menginterpretasikannya sebagai suatu tanda jarak sosial
dan rasa rendah diri, dan merasa terhina dengan terlihat berbicara dalam
logat khusus seperti ini.

Pemerolehan bahasa spontan mencakup belajar di dalam dan melalui interaksi


sosial. Pelajar bahasa diharuskan mempergunakan sebaik-baiknya segala
pengetahuan yang tersedia padanya agar dapat memahami apa yang dikatakan
orang lain dan menghasilkan ucapan-ucapannya sendiri. Hal ini ditunjang
observasi pertama, pelajar disajikan dengan lebih banyak masukan linguistik
dengan frekuensi yang meningkat dan dalam jangkauan yang lebih luas; kedua
mendapat lebih banyak kesempatan menguji produksi ujaranya sendiri yang
berasal dari lingkungannya untuk membuktikan hipotesis-hipotesisnya mengenai
stuktur bahasa sasaran.

4. Dimensi Struktur Proses

Dalam dimensi struktur proses ada dua hal yang dibicarakan, yaitu sinkronasi
dan variabilitias.
a. Sinkronasi
Penguasaan suatu bahasa mencakup pemerolehan terhadap segala jenis
pengetahuan linguistik. Mengetahui suatu bahasa, sang pembicara harus
mampu membuat penggunaan yang pantas terhadap tipe-tipe informasi
berikut ini:
1) Pengetahuan Fonologis
Bahasa Inggris, bahkan terlebih-lebih bahasa Jerman, membedakan antara
vokal pendek dan vokal panjang: live – leave, kin – keen, atau Mitte – Miete
dalam kontras misalnya dengan bahasa Spanyol. Berbeda dengan bahasa
Inggris, bahasa Jerman justru memperlihatkan perbedaan-perbedaan antara
plosif akhir yang bersuara dan yang tidak bersuara (hat – had).
2) Pengetahuan Morfologis
Verba-verba bahasa Inggris mempunyai infleksi yang sangat terbatas (-ed
buat waktu, -s untuk orang ketiga tunggal), dengan variasi-variasi tertentu
bagi verba yang tidak reguler, sedangkan bahasa-bahasa Eropa lainnya lebih
rumut dari itu.
3) Pengetahuan Sintaksis
Adjektiva atributif ditempatkan di muka nomina dalam bahasa Inggris dan
bahasa Jerman, sedangkan susuanan itu justru sebaliknya dalam bahasa
Perancis.
4) Pengetahuan Leksikal
Setiap bahasa mengasosiasikan pola-pola bunyi tertentu dengan makna-
makna tertentu, yaitu mempunyai kosakata (atau leksikon) yang terdiri dari
kata tugas (di, ke ,dari, pada) dan kata penuh (nasi, rumah, saya, besok,
kucing); sebagai tambahan juga mempunyai idiomatik dan gaya bahasa.
Kebanyakan bahasa mengenal gabungan-gabungan kata (pemerolehan
bahasa kedua; second language acquisition); sedangkan bahasa Jerman
memperlakukannya sebagai kata-kata tunggal (Zweitspracherwerb).
Pengetahuan bahasa merupakan suatu keseluruhan fungsional, yang
tersusun dari berbagai unsur tetapi tetap merupakan keterpaduan elemen-
elemen. Kesalingtergantungan fungsional menjadi masalah bagi pelajar
bahasa. Setiap tahap pemerolehan memerlukan hubungan keseimbangan
yang baik antara berbagai aspek pengetahuan linguistik.

b. Variabilitas
Proses pemerolehan bahasa terjadi berbagai variasi pada diri para pelajar
bahasa. Faktor-faktor penyebabnya tentu banyak, di antaranya adalah
komponen-komponen kecakapan yang berbeda-beda, perangkat biologis
pelajar bahasa, pengetahuannya, ketersediaan masukan linguistik tertentu;
semua ini membentuk suatu konsistensi dan tidak akan pernah sama pada
setiap pelajar bahasa. Walaupun terdapat variabilitas itu, namun
pemerolehan bahasa jelas merupakan subjek bagi regulitas-regulitas
tertentu. Dengan ini dapat dikatakan bahwa pemerolehan bahasa
dikendalikan oleh hukum-hukum deterministik seperti halnya proses-proses
biologis atau fisik.

5. Dimensi Tempo
Dimensi tempo pemerolehan bahasa berkaitan dengan waktu, kesempatan, dan
kondisi pembelajar saat memperoleh bahasa. Kebutuhan-kebutuhan komunikatif
yang sifatnnya mendesak akan mempercepat kemajuan pemerolehan bahasa
bagi pelajar bahasa, sedangkan jalan masuk yang terbatas bagi bahan linguistik
atau kesempatan-kesempatan berkomunikasi yang terbatas akan memperlambat
kemajuan pemerolehan bahasa. Tempo pemerolehan bahasa juga tidak lepas
dari pengaruh faktor lain. Misalnya, ingatan yang kurang baik dapat menjadi
rintangan atau kendala yang serius. Sama masuk akalnya dengan ide bahwa
ada orang yang mempelajari bahasa ke-41 akan memperoleh waktu dan
kesempatan yang lebih mudah daripada seseorang yang bergumul dengan
bahasa keduanya. Tapi hal ini merupakan kasus-kasus yang luar biasa ekstrim
6. Dimensi Keadaan Akhir/Tujuan Akhir (End State)

Secara ideal, tujuan akhir menggambarkan suatu target yang sempurna


mengenai pemerolehan bahasa. Istilah “bahasa” hendaknya tidak mengaburkan
atau menyembunyikan fakta, bahwa setiap bahasa terdiri dari berbagai ragam
varian seperti: dialek, register, sosiolek, dan sebagainya. Tidak mungkin seorang
pembicara yang dapat menguasai seluruh varian ini. Sesungguhnya para pelajar
bahasa kedua dapat berbahasa layaknya pembicara pribumi dalam penguasaan
bahasa, paling tidak dalam bidang-bidang tertentu, seperti kosakata atau
sintaksis. Akan tetapi, sebagai kaidah, proses pemerolehan bahasa akan
berhenti pada titik lama sebelum penguasaan bahasa yanga sebenarnya dapat
dikuasai secara sempurna menjadi ‘fosilisasi’. Ada dua aspek “fosilisasi”, yaitu:

a. Selektivitas dalam Fosilisasi

Fosilisasi dapat mempengaruhi komponen-komponen pengetahuan bahasa


tertentu (dalam pengertian kecakapan) dalam berbagai butir dalam hal waktu:
dia bersifat selektif. Ada berbagai alasan, diantaranya:

 Seorang pelajar bahasa hanya merasa tidak perlu meningkatkan mutu


ucapannya lebih jauh dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan
komunikatifnya
 Dia mungkin merasakan kebutuhan atau perlunya membuat suatu jarak
dari lingkungan sosialnya, yaitu memelihara paling sedikit sebagian dari
identitas sosialnya sebelumnya
 Pemroses bahasa itu sendiri mungkin saja telah melalui perubahan-
perubahan fisiologis dengan usia (alam sistem syaraf pusat) yang
mencegah pelajar dari memperoleh ucapan asli bahasa sasaran
 Pelajar bahasa mungkin tidak memperhatikan lebih lama perbedaan
antara produksinya sendiri dan yang dari lingkungannya, dan lagi
kegagalan ini mungkin mempunyai alasan yang agak berbeda. Meskipun
demikian, para pelajar pada prinsipnya mampu menguasai fonologi suatu
bahasa asing sampai tingkat yang mencegah para pembicara asli dari
mengenal mereka sebagai yang non-asli atau non-pribumi.
b. Kembali mengerjakan kebiasaan lama yang ‘tercela’ (backsliding)
terhadap varietas bahasa terdahulu.

Pada saat tertentu, seorang pelajar mungkin tiba-tiba mundur kembali ke tahap
pemerolehan terdahulu, di tengah perjalanan atau di tengah-tengah pertukaran
penggunaan bahasa. Ini mungkin berlangsung pada beberapa kalimat saja, pada
saat pelajar bahasa mengabaikan hal-hal penting mengenai nomina, verba
infleksi, dan sebagainya. Secara relatif pembicara yang lancar berbahasa kedua
kerapkali mencatat bahwa kelelahan setelah waktu percakapan yang
diperpanjang mengakibatkan timbulnya sejumlah kesalahan dan rasa
kegelisahan yang umum dalam bahasa tersebut. Ini mungkin merupakan suatu
tanda kehadiran varietas-varietas bahasa terdahulu yang terpendam. Yang
belakangan itu tidak akan hilang tanpa jejak, tetapi agaknya dikesampingkan
oleh varietas-varietas baru, sehingga yang terakhir itu merupakan keadaan akhir.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Anas. Mohamad Januar. 2015. Dasar-dasar Psikolinguistik. Jakarta:


Prestasi Pustaka Publisher.

Alamsyah, Teuku. 1997. Pemerolehan Bahasa Kedua (Second Language


Acqusition). Diktat Kuliah Program S-2. Banda Aceh: Universitas Syiah
Kuala.

Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP.

Brown,Gillian.1996. Analisis Wacana.(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

Campbel, dkk. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple


Intelligences. Depok: Intuisi Press.

Chaer,Abdul dan Leoni A. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal(Jakarta:


Rineka Cipta).

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer Abdul. 2003. Psikolinguistik, Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.

Djajasudarma,Fatimah. 1994.Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur.


(Bandung: Refika Aditama,).

Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa


Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.

Djoko Kentjono (ed). 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas


Sastra UI.

Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition. New York: Oxford
University Press.

Ellis, Rod. 1990. Instructed Second Language Acquisition.New York:Oxford


University Press.

Fromkin Victoria dan Robert Rodman. 1993. An Introduction to Language.


Florida: Harcourt Brace Jovanovich Collage.

Ghazali, H. A. Syukur. 2000. Pemerolehan dan Pengajaran Bahasa


Kedua.Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah IBRD Loan No.
3979, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional.

Kushartanti,dkk. 2005. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami


Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Krasen, Stephan D. 1981. Second Language Acquisition and Second Language
Learning. Oxford: Pergamon Press.

Mahmud, Saifuddin dan Sa’adiah. 1997. Teori Pembelajaran Bahasa: Materi


Kuliah Program Setara D-3. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Mahsun, M.S.2014. Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia kurikulum


2013.  Jakarta: Rajawali Pers.

Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT


Refika Aditama.

Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Jogjakarta: Nusa Indah.

Santoso, Budi, Eva Magfiroh dan Indah Wahyu L. W. 2006.Pemerolehan Bahasa


Anak usia 3 Tahundalam Lingkungan Keluarga Jilid 7. Jurnal Penyelidikan
IPBL.

Santrock, John W. 2011. Life-Span Development. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai