Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

IMPLIKASI REKONSTRUKSI

Dosen Pengampu
Dra. Ngudining Rahayu, M.Hum.

Disusun Oleh:
Dika Zakiyah (A1A016015)
Indah Permatasari (A1A016009)
Rahmat Wahyudi ( A1A016043)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga makalah
“Implikasi Rekonstruksi” ini dapat diselesaikan. Makalah ini berisi tentang “kajian mengenai
inplikasi rekonstruksi”. Makalah ini dibuat untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa
guna mengetahui bentuk implikasi rekonstruksi.
Terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Dra. Ngudining Rahayu, M.Humi. Selaku
Dosen Pengampuh Mata Kuliah Perbandingan Bahasa Nusantara dan teman-teman yang
telah ikut berkontribusi dalam penyusunan serta semua pihak yang telah ikut membantu
dalam penyelesaian makalah ini. Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam makalah
ini untuk itu kritik dan saran terhadap makalah ini sangat diharapkan. Semoga makalah ini
dapat memberi manfaat bagi mahasiswa, dan khususnya bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Bengkulu, Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2

2.1 Tipe-tipe Perubahan Fonetis ............................................................................................ 2

2.2 Macam-macam Perubahan Bunyi .................................................................................... 6

2.3 Perubahan Morfemis ...................................................................................................... 13

2.4 Usia Unsur Bahasa ......................................................................................................... 15

2.5 Status Bentuk Rekonstruksi ........................................................................................... 17

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 18

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 18

3.2 Saran .............................................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam bab V hanya dibicarakan metode-metode perbandingan untuk menemukan
hubungan-hubungan kekerabatan antara bahasa-bahasa yang diturunkan dari satu bahasa
proto yang sama, sedangkan dalam Bab V dikemukakan mctode-metode untuk menemukan
bentuk bahasa -proto tersebut. Hubungan-hubungan antar bahasa kerabat maupun usaha
menemukan bentuk protonya dapat dilihat dalam bidang fonologi dan morfologi, serta ada
juga usaha untuk melihat hubungan sintaksis, walaupun tidak memuaskan. Kedua tataran
pertama membawa hasil yang jauh lebih memuaskan, walaupun tidak mencakup seluruh
unsur kedua tataran tersebut.
Di samping hasil-hasil langsung sebagai yang telah dikemukakan 'dalam kedua bab
tersebut, dari hasil korespondensi yang dikemukakan di atas, masih dapat diturunkan
sejumlah kesimpulan teoretis. yang dapat memberi gambaran yang lebih jelas mengenai
peristiwa perkembangan bahasa-bahasa itu pada masa lampau. Kesimpulan tersebut
menyangkut persoalan: apakah ada pola-pola perubahan fonetis yang dapat disimpulkan
secara universal, perubahan-perubahan fonetis mana yang terjadi dalam perkembangan
bahasa-bahasa,perubahan-perubahan morfologis yang mana yang dapat dicatat, apakah ada
tendensi runtunan waktu dalam korespondensi fonemis dan bagaimana status bentuk-bentuk
rekonstruksi untuk menjelaskan bermacam-macam peristiwa bahasa dewasa ini.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tipe-tipe Perubahan Fonetis
Pada waktu mengadakan rekonstruksi fonem-fonem proto, tampak bahwa perubahan
sebuah fonem proto ke dalam fonem-fonem bahasa kerabat sekarang ini berlangsung dalam
beberapa macam tipe. Pola-pola pewarisan yang terpenting adalah sebagai berikut:

a. Pewarisan Linear
Pewarisan linear adalah pewarisan sebuah fonemk pproto dalam bahasa sekarang
dengan tetap mempertahankan ciri-ciri fonetis fonem protonya. Misalnya fonem proto */p/
menurunkan fonem /p/ dalam bahasa A, fonem */d/ menurunkan fonem /d/, dan sebagainya,
Fonem-fonem Austronesia Purba dalam kata */ikan/ diturunkan secara linear dalam kata
/ikan/ pada bahasa Melayu sekarang, fonem-fonem proto dalam kata */rakit/ Austronesia
purba diturunkan secara linear dalam kata Melayu /rakit/, dan sebagainya. Fonem */e/ dalam
bahasa Austronesia Purba seperti terdapat dalam kata */taka/ 'datang' dipantulkan secara
linear menjadi fonem /ə/ dalam kata llaka/ bahasa Lamalera; fonem */a/ Austronesia Purba
diturunkan secara linear menjadi fonem /a/ seperti tampak dalam kata */apuy/ Austronesia
Purba menjadi lapuy/ dalam bahasa Bisaya.

b. Pewarisan dengan Perubahan


Pewarisan dengan perubahan terjadi bila suatu fonem proto mengalami perubahan
dalam bahasa sekarang. Misalnya fonem proto Austronesia Purba */i/ dalam kata I"/ikur/
’ekor’ berubah menjadi fonem /e/ dalam kata /ekor/ bahasa Melayu. Fonem /l/ Austronesia
Purba dalam kata */Iamuk/ menjadi /ǹ/ dalam kata /namuk/ bahasa Melayu sekarang. Fonem
/ə/ Austronesia Purba menjadi /a/ dalam bahasa Melayu sekarang, seperti tampak pada kata
/ənəm/ Austronesia Purba menjadi /ənam/ bahasa Melayu.

c. Pewarisan dengan Penghilangan


Pcwarisan dengan penghilangan adalah suatu tipe perubahan. fonem di mana fonem
proto menghilang dalam bahasa sekarang. Misalnya fonem */a/ dalam suatu bahasa proto
berubah menjadi fonem zero /ɵ/ dalam bahasa sekarang. Dalam bahasa Austronesia Purba ada
kata */hubi/ ’ubi’ dalam bahasa Melayu menjadi kata /ubi/. Kata /turut/ dalam bahasa jawa
Kuno menjadi /tut/ dalam bahasaJawa sekarang yang memperlihatkan hilangnya fonem /r/;

2
kata /tasik/ dalam bahasa Lamalera Kuno menjadi /tȃi/ dalam bahasa Lamalera sekarang yang
memperlihatkan menghilangnya fonem /s/ dan_fonem /k/.
Dalam bahasa-bahasa Barat kita memperoleh contoh-contoh seperti Latin sentire
'merasa' menjadi sentir dalam bahasa Prancis; kata lampas ”lampu” Latin menjadi lamp
dalam bahasa Barat Moderen. Bahasa Austronesia Purba */datar/ ‘datar’ menjadi "'/lata/
dalam bahasa polinesia purba; demikian selanjutnya kata-kata */ənəm/ ‘enam’, */gilaղ/
‘mengkilap’ dalam bahasa austronesia purba menjadi */ono/ dan */kila/ dalam bahasa
polinesia purba. . Contoh-contoh tersebut memperlihatkan menghilangnya fonem-fonem
dalam bahasa Polinesia purba.

d. Pewarisan dengan Penambahan


Yang dimaksud dengan pewarisan dengan penambahan adalah suatu proses perubahan
berupa munculnya suatu fonem baru dalam bahasa sekarang, sedangkan dalam bahasa proto
tidak terdapat fonem . semacam itu dalam sebuah segmen tertentu. Dalam beberapa bahasa .
proses semacam itu dikenal dengan istilah vokalisasi yaitu penambahan suatu vokal pada
suku kata akhir yang tertutup; atau ada proses lain yang disebut nasalisasi omorgan yaitu
penambahan sengau homorgan sebelum sebuah konsonan.
Penambahan vokal pada suku kata terakhir misalnya terdapat dalam bahasa Malagasi
Kata Austronesia Purba */urat/ dalam bahasa Malagasi menjadi /uzatrA/; Austronesia Purba
*/bəsar/ ‘besar’ menjadi /maBesatrɅ/, dan sebagainya. Contoh lain yang dapat dikemukakan
dalam bahasa Austronesia Purba adalah kata “"/luh/ ‘air mata’ dalam bahasa Polinesia Purba
menjadi */lo/, dalam bahasa Lamaiera Kuno menjadi /losuk/ dan dalam bahasa Lamalera
sekarang menjadi /lou/. Sedangkan proses nasalisasi homorgan dapat dilihat pula dalam
contoh-contoh berikut: Austronesia Purba "/pat/ ’empat’ menjadi /əmpat/ dalam bahasa
Melayu, */pəgu/ menjadi /əmpədu/ dalam bahasa Melayu, */tubuh/ Austronesia Purba
menjadi /tumbuh/ . dalam bahasa Melayu, */tipan/ ‘timpang’ menjadi /timpan/ dalam bahasa
Melayu; */buni/ Austronesia Purba menjadi /sambuni/ dalam bahasa Melayu, dan sebagainya.
Tipe perubahan ini dapat saja dimasukkan dalam tipe pembelahan (split) yang
dikondisikan oleh lingkungannya. Dalam bahasa Inggris Kuno kata /'pymle/ menjadi
/thimble/ dalam bahasa inggris Moderen. -Daiam bahasa-bahasa Barat stop homorgan sering
muncul dalam perubahan kata-kata, misalnya likuida dan nasal yang timbul bersama akan
diikuti oleh /s/ atau konson'an lain: misalnya: Sr-> str, ms --> mps, nl--> ndl, mr-> mbr, ns --
> nts, seperti terdapat pada kata: tremulous -' tremble, humility -humble, memory (re)-
member, dan sebagainya.
3
e. Penanggalan Parsial
Yang dimaksud dengan penanggalan parsial atau penghilangan sebagian adalah suatu
proses pggamsan-di mana sebagian dari fonem proto menghilang dalam bahasa kerabat
sedangkan sebagian lain dari ciri fonem proto bertahan dalam bahasa kerabat tersebjit. Proses
ini masih jelas terlihat dalam bahasa Inggris, misalnya fonem /k/ dalam bahasa Inggris Kuno
ada yang. bertahan tetapi ada juga yang menghilang. Dalam kata acknowledgement . l'oncm
/k/ bertahan sedangkan dalam kata knowledge fonem /k/ menghilang, walaupun; secara
ortografis dipertahankan. Begitu pula fonem /k/ menghilang dalam kata-kata lain seperti:
knife, know, knee, knapsack, kneel, knickers, knock, knob, knight, dan sebagainya, tetapi
fonem itu bcrtahan dalam kata-kata lain: king, kind, kill, keep, kit, kid, dan sebagainya.
Demikian juga fonem /h/ dalam bahasa Inggris Kuno menghilang dalam bahasa
Inggris Moderen seperti tampak dalam kata-kata: hring -> ring, hnappian -> nap, hlud-> loud,
tetapi bertahan pada kata-kata: hælp; -> health, hælan --> heal.

f. Perpaduan (Merger)
Perpaduan atau merger adalah suatu proses perubahan bunyi di mana dua fonem proto
atau lebih berpadu menjadi satu fonem baru dalam bahasa sekarang. Perpaduan dapatjuga
berujud penggabungan antara satu fonem purba dengan satu ciri fonetis dari fonem lainnya.
Proses perpaduan dua fonem misalnya dapat dilihat dalam bahasa Inggris Tengahan
/Ɛ/ dan /æ/ yang bersama-sama menjadi /iy/ dalam bahasa Inggris sekarang: bahasa Inggris
Tengahan /d Ɛ:d/ dan /gæ:s/ menjadi /diyd/ dan/giys/ dalam bahasa Inggris Moderenmasing-
masing untuk kata 'deed' dan ‘geesee’. Demikian pula Inggris Tengahan /bit/ ‘bcct’ dan /bét/
‘beat’ kcduanya diucapkan /biyt/ sekarang ini. Bahasa Austronesia Purba */hatay/ 'hati',
*/apuy/ ‘api’, */bəray/ ‘beri’, */binay/ "bini” fonem */ay/ dan */uv/ menjadi /i/ dalam bahasa
Melayu /hati/, /api/, /bəri/, dan /bini/. Bahasa Austronesia Purba /dawən/ menjadi /daun/
dalam bahasa Melayu, menjadi /ron/ dalam bahasa jawa, dan /lo-lo/ dalam bahasa Lamalera;
kata Austronesia Purba */lawəd/ ‘laut’ , ‘air pasang’, menjadi /laut/ dalam bahasa Melayu.
Kata */darum/ dalam bahasa Austronesia Purba menjadi /dom/ dalam bahasa Jawa,, dan kata
Austronesia Purba */dahat/ 'jahat' menjadi /dat(a)/ dalam bahasa Lamalera yang berarti ‘ahat’
atau ‘kikir’.
Jenis merger yang kedua disebut merger parsial atau dapat disebut juga split parsial (
pembelahan sebagian). Peristiwa perubahan itu disebut demikian karena sebagian dari fonem
proto bergabung dengan fonem lain yang diturunkan oleh sebuah fonem proto yang lain; atau
4
disebut split parsial karena fonem proto tadi memang membelah sebagian menurunkan
sebuah fonem baru, dan sebagian lagi bergabung dengan fonem lain tadi. Dalam bahasa Latin
.Kuno terdapat fonem /s/ dan /r/. dalam bahasa Latin Klasik ada fonem /s/ yang diturunkan
dari /s/ dan ada fonem /r/ yang diturunkan dari fonem /r/ Latin; tetapi ada juga fonem /r/ yang
diturunkan dari 'fonem /s/. Kata-kata ‘flos’'kembang',’ustus’‘terbakar’, dan ‘es ia’ ada ada
yang tctap berbentuk /s/ tetapi ada yang berubah bentuk menjadi /r/ misalnya: floris bentuk
gcnitif, uri bentuk infinitivepasif, erit bcntuk futur orang kedua tunggal. Sedangkan kata
mirror ‘cermin selalu memiliki /r/ inter-vokalik seperti bentuk genitif miroris.

g. Pembelahan (Split)
Pembelahan atau split adalah suatu proses perubahan fonem di mana suatu fonem
proto membelah diri menjadi dua fonem baru atau lebih, atau suatu fonem proto
memantulkan sejumlah fonem yang berlainan dalam bahasa kerabat atau dalam bahasa yang
lebih muda. Pembelahan ini dapatjuga berujud suatu fonem proto membelah diri sebagian
menjadi fonem yang baru, sedangkan sebagian yang lain dari ciri-cirifonetisnya bergabung
dengan sebuah fonem yang lain (= merger parsial).
Dalam bahasa Latin fonem /k/ menurunkan tiga fonem yang berbeda dalam bahasa
Prancis yaitu fonem /k/, /s/, dan /ś/. Misalnya fonem /k/ dalam kata-kata: cor 'hati’, clarus
‘terang’ dan ‘quando’ ‘bilamana’ memantulkan /k/ dalam bahasa Prancis seperti tampak
dalam kata turunannya coeur ‘hati’, clair ‘terang', dan quand ’bilamana’. Di samping itu
fonem /k/ Latin menurunkan juga fonem /s/ dalam bahasa Prancis seperti terlihat dalam kata-
kata berikut: Lat. centum ‘seratus’ Prancis cent, Lat. cervus ‘rusa’ Prancis cerf, Lat. cinis
‘abu’ Prancis cendre; dan pembelahan yang lain adalah fonem /k/ menjadi / ś / dalam bahasa
Prancis sekarang seperti tampak dalam kata-kata: Lat. Cantare ‘menyanyi’, Prancis chanter,
Lat. carbo ‘arang’- Prancis charbon, Lat. causa ‘sebab’ - Prancis ’chose’.
Dalam bahasa Austronesia juga dapat diperoleh split yang lebih dari dua fonem
pantulan seperti y ang dirumuskan oleh van der Tuuk dalam hukum RDL dan RGH. Hukum
ini dapat dijclaskan sebagai berikut: Suatu fonem Austronesia Purba */r/ akan menurunkan
tiga fonem baru dalam bahasa-bahasa Austronesia sekarang yaitu /r/, /d/, /l/ yaitu Semuanya
merupakan fonem yang daerah artikulasinya berdekatan yaitu di sckitar alveolum. Dcmikian
pula suatu fonem Austronesia Purba */R/ (trill uvular) menurunkan fonem-fonem
pantulannya berupa /R/, /g/, /h/ dalam bahasa-bahasa Austronesia yang sekarang, yaitu
semuanya merupakan fonem-fonem yang daerah artikulasinya berdekatan sekitar velum. Dari
kedua ’hukum’ van dcr Tuuk tersebut dapat dilihat dua hal sekaligus yaitu adanya proses
5
pembelahan, dan adanya proses perpaduan yang dapat digambarkan sebagai berikut.

2.2 Macam-macam Perubahan Bunyi


Macam macam perubahan bunyi dalam uraian ini dibedakan dari tipe perubahan
bunyi. Tipe perubahan bunyi lebih meneropong pcruhahan bunyi sccara individual ,yaitu
scmata-mata mempersoalkan bunyi proto itu tanpa mengaitkannya dengan foncmiomm lain
dalam lingkungan yang dimasukinya. Sebaliknya macam-macam perubahan bunyi didasarkan
pada hubungan bunyi tertentu dengan fonem-foncm lainnya dalam sebuah segmen, atau
dalam lingkungan yang lebih luas. Pcrubahan-pcrubahan seperti yang dimaksud dalam bagian
ini adalah antara lain: asimilasi, disimilasi, mctatesis, dan sebagainya.

6
a. Asimilasi
Asimilasi merupakan suatu proses perubahan bunyi di mana dua fonem yang berbeda
dalam bahasa proto mengalami perubahan dalam bahasa sekarang menjadi fonem yang sama.
Pcnyamaan kedua fonem itu dapat berujud fonem yang mendahului disamakan dengan fonem
yang menyusulnya, atau fonem kcdua disamakan dengan fonem yang mendahuluinya. Bila
fonem yang mengalami perubahan itu tcrlctak sebelum fonem yang mempengaruhinya maka
perubahan itu disebut asimilasi regmif Asimilasi rcgrcsif dalam bahasa Latin terdapat pada
kata yang diturunkan kc dalam bahasa Italia seperti somnus ‘tidur’, octo ”delapan”, ruplum
”pecah”, ’rusak’ menjadi sonno, alto, dan, rotlo dalam bahasa Italia. Bila fonem berikutnya
yang berubah dan disesuaikan dengan fonem sebelumnya maka asimilasi scmacam itu
disebut asimilasi progresif. Asimilasi progresif dijumpai dalam kata Latin collis 'bukit' yang
diturunkan dari Pra-Latin colnis; kata Inggris hill ’bukit’ dari kata Pra-Gcrman hiln; kata
Indo-Eropa Purba /pl:’nos/ ’penuh’ menjadi /pu:rnah/ dalam bahasa Sanskerta, Lithaunia
/pilnas/ diasimilasikan daiam German Kuno /follasz/, Gotik /fulls/, Inggris Kuno /full/. Kata
lndo-Eropa Purba /wi:na/ ‘bulu domba’ menjadi /u:rna/ Sanskerta, Lithaunia /vilna/
diasimilasikan menjadi German Kuno /wollo:/, Gotik /wulla/, dan Inggris Kuno /wull/.
Melihat sifat penyamaan yang terjadi, maka asimilasi dapat dibedakan pula atas
asimilasi total dan asimilasi parsial. Asimilasi total tcrjadi bila kcdua bunyi disamakan secara
identik seperti diperlihatm ole conto -contoh yang telah disebut di atas: sonno, collis, rotto, di
samping itu kata-kata berikut juga memperlihatkan proses asimilasi total: ad-neclere Lat.
’mcngikat’ menghasilkan annex, ad-lemptare ’mcncoba‘ menurunkan kata attempt dalam
bahasa Inggris. Sebaliknya bila hanya sebagian ciri artikuiatoris atau fonetis yang disamakan,
maka akan diperoleh asimilasi parsial misalnya: in-possible menjadi im-possible, con plete
menjadi com-plete.
Asimilasi bisa juga bersifat langsung maupun tak langsung. Asimilasi langsung terjadi
antara dua fonem yang berdekatan seperti contoh-contoh yang dikemukakan diatas.
Sebaliknya asimilasi tak langsung terjadi apabila fonem yang diasimilasikan dan fonem yang
mengasimilasikan itu letaknya berjauhan. Misalnya kata /orangutan/ dalam bahasa inggris
merupakan pinjaman dari bahasa melayu /oraղ + utan/ dimana /ղ/ mengasimilasi /n/ pada
utan sehingga berubah menjadi /ղ/.
Perpanjangan pegimbang (compensatory lengthening) merupakan suatu jenis
asimilasi dimana dengan menghilangnya sebuah fonem konsonan menyebakan vokal yang
mendahuluinya mengalami perpanjangan.
Dilihat dari sudut lain, ada asimilasi yang disebut dengan istilah harmoni vokal
7
(vowel harmony) seperti sering dijumpai dalam bahasa finn, Hungar dan Turki. Dalam bahasa
finn fonem /e/ dipakai untuk menyatakan kasus ilatif seperti masih terdapat dalam kata sii-
hen ‘kedalamnya’. Tetapi dalam hal-hal lain vokal sebelumnya mempengaruhi /e/ dalam
segmen /hen/ sehingga terjadilah asimilasi yang disebut harmoni vokal itu misalnya: paa-han,
‘kepala’, pai-hin ‘keepala-kepala’, puu-hun ‘pohon’, maa-han ‘tanah’, suo-hon ‘tanah
berlumpur’, kyy-hyn ‘ular berbisa’, yo-hon ‘malam’, tie-hen ‘jalan’ dan sebagainya.
Melihat arah penyesuaian foenm-fonem itu, maka asimilasi dapat dibedakan atas
palatalisasi, labialisasi, dan faringealisasi.
Palatalisasi adalah suatu proses perubahan yang terjadi atas konsonen /k/ yang
berubah menjadi konsonan palatal karena pengaruh vokal depan, atau sebuah fonem dental
menjadi fonem palatal karena sebuah vokal belakang. Pra-inggris /geldan/ -> inggris kuno
/jeldan/ -> inggris modern yield; pra-inggris /kƐ:si/-> inggris kuno /ki:ese/---inggris modern
yarn dan sebagainya.bahasa latin catenam-> inggris chain, latin cantare, cathedram, cameram
menjadi prancis kuno chanter, inggris chant, chair dan chamber. Bahasa sanskerta catam
‘seratus’ dan lain sebagainya.
Dalam bahasa-bahasa austronesia kita jumpai contoh-contoh palatalisasi dalam kata-
kata: Austronesia purba /d’avuh/ ‘jauh’ -> melayu /jauh/, Austronesia Purba /d’arum/ ‘jarum’
-> Melayu /jarum/, austronesia purba /d’alan/ ‘jalan’—melayu /jalan/, dan austronesia purba
/pedem/ menjadi /pejam/ ‘memejamkan mata’ dalam bahasa melayu.
Labialisasi merupakan suatu proses yang terjadi pada vokal. Disebut demikian karena
proses ini terjadi dengan peranan yang penting dari bibir yang menentukan ciri-ciri fonem
yang mengalami perubahan itu. Dalam proses labialisasi vokal-vokal berubah menjadi vokal
bundar.
Dalam bahasa-bahasa semit dikenal pu;a suatu proses yang disebut proses
faringelisasi yaitu semacam asimilasi yang dalam tata bahasa tersebut dinamakan emfasis.
Bentuk-bentuk yang diturunkan dari akar dengan emfasis, akan mengalami proses
faringealisasi dalam konsonan maupun vokalnya. Misalnya kata ?ab ‘ayah’ dalam bahasa
arab-mesir akan mengalami proses faringealisasi bila mendapat sufiks dualis atau pluralis,
sebaliknya kata ?um ‘ibu’ tidak mengalami faringealisasi (Lehmann, 1964: hal. 166).
Asimilasi dapat juga terjadi dalam pengucapan vokal. Bila ada sekelompok vokal
yang berdampingan dengan konsonan-konsonan tertentu seperti /y/ dalam suatu bahasa, maka
vokal-vokal di dekatnya akan berubah pengucapannya sesuai atau mendekati pengucapan
vokal-vokal tadi. Misalnya fonem proto indo-eropa */e/ yang terletak sebelum /y/ dalam
bahasa german akan diucapkan lebih tinggi; dengan demikian proto indo-eropa */ey/ akan
8
menjadi proto german /i:/, seperti tampak dalam inggris kuno stigan, jerman tinggi kuno
stigan ‘memanjat’, bandingkan dengan yunani steikho ‘datang’, kata kerabat dalam bahasa
inggris adalah sty dan stile.
Dalam bahasa proto german vokal /e/ juga diasimilasikan menjadi /i/ dalam suku kata
berikutnya, seperti tampak dalam kata /mijis/ gotik, inggris kuno /midd/ ‘tengah’, latin
medois. Asimilasi jenis ini yang jauh jangkauannya (tak langsung) dalam bahasa jerman
terjadi dalam masa-masa awal terjadinya dialek-dialek, dan umumnya dikenal dengan istilah
umlaut atau mutasi. Fonem pra-inggris kuno /a-o-u/ panjang entah pendek, yang terletak
didepan /y/ atau di depan /i/ panjang atau pendek, dari suku kata berikutnya akan menjadi y,
lalu i. Sala satu contoh, kata gotik satyan menjadi inggris kuno settan ‘menempatkan’ (to
set). Proses inilah yang dapat menjelaskan bentuk-bentuk jamak dalam bahasa inggris dan
jerman seperti: mouse-mice-lice, goose,doom-deem,man-men dan sebagainya (Lehmann,
1964: hal. 165-166).

b. Disimilasi
disimilasi adalah suatu proses perubahan bunyi yang merupakan kebalikan dari
asimilasi. Proses ini berwujud perubahan serangkaian fonem yang sama menjadi fonem-
fonem yang berbeda. Bila asimilasi terjadi karena usaha penyederhanaan, maka sebaliknya
disimilasi terjadi karena rasa kelegaan. Dalam bahasa Ngaju Dayak suatu urutan fonem /s...s/
akan didisimilasikan menjadi /t...s/. hal ini disimpulkan dengan mempergunakan bahasa
melayu sebagai bahan perbandingan untuk memperoleh bentuk protonya.
Melayu : sisik -susu ‘sisik, ‘susu’
Ngaju : tisik -tuso
Tagalog : sisid -suksok ‘menyelam’, ‘menusuk’
Ngaju : teser -tusok
Atau seperti terlihat dalam kata-kata austronesia purba berikut yang berubah dengan proses
disimilasi untuk menurunkan kata lerabat dalam bahasa melayu.
Austronesia purba : *t’ambut, *tulit, *tudur, *tatik, *tanit, **ratut yang
menurunkan kata-kata melayu: sambut, sakit tulis, tidur, tasik, tanis dan ratus.
Karena prinsip kelegaan, maka sering urutan nasal dan likuida memperoleh pengaruh timbal-
balik sedemikian rupa sehingga likuida dapat diganti dengan nasal atau sebaliknya. Misalnya
bahasa finn: ralssi ‘pembebasan pajak’-> ransi; kumppani-> kumpali’ perserikatan dalam
bahasa italia venenu-> veleno ‘racun’; bahasa hittit *naman-. Laman ‘nama. Urutan likuida
yang sama dapat dideferensiasikan dengan menggantikan salah satunya dengan fonem lain,
9
yaitu dengan sebuah trill atau lateral. Misalnya: latin peregrinus ‘musafir’ -> pilegrim dalam
bahasa inggris, bahasa Cheremis lolpo sejenis tanaman -> lorpo.nysi->lysi/lyde ‘gagang’.
Disimilasi juga merupakan suatu kecendrungan untuk menyederhanakan bentuk-
bentuk yang ada sehingga efeknya terjadi bunyi-bunyi yang tidak sama. Misalnya bunyi-
bunyi yang dirasakan agak kompleks dalam contoh-contoh berikut akan mengalami
penyederhanaaan: lat. Turtur ‘tekukur-> inggris turtle, lat. Peregrinus ‘batu pualam’.
Walaupun sangat jarang disimilasi tak langsung terjadi juga pada stop, misalnya jerman
kartoffel ‘kentang’ dimana /k/ awal merupakan hasil disimilasi dari fonem /t/ dalam abad
XVII; kata yang lama berbentukTartufflen, yang merupakan pinjaman dari italia Tartufelli.
Disimilasi juga mencakup proses menghilangnya sebuah segmen dalam sebuah
bentuk. Penghilangan terjadi karena dua segmen yang sama, yang berurutan dalam sebuah
kontruksi disusutkan sehingga hanya stu kali muncul. Peristiwa ini disebut juga dengan nama
hapologi. Kata latin nutri – trix berubah menjadi nutrix ‘perawat’, stipi-pendium lat. Menjadi
stipendum ‘pajak’, ‘upah’, jerman superintendant menjadi superindent. Kata inggris hapology
juga sering mengalami hapologi menjadi haplogy. Istilah morphophoneme yang dikenal di
amerika, oleh orang di eropa disebut morphoneme.
Dalam bahasa inggris peristiwa ketatabahasaan untuk membentuk adverbium dengan
ly pada kata yang berakhir le juga mengalami hapologi: gentle + Iy menjadi gently, simple +
Iy menjadi simply. Kata England juga merupakan hapologi dari kata Engla Lond ‘negeri
orang Angel’.
Dalam bahasa Indonesia juga terdapat gejala-gejala semacam ini seperti pada kata
kotrek dari Belanda kurketrekker walaupun hal ini bukan menyangkut masalah warisan
langsung. Tetapi kita mendapati juga contoh-contoh lain untuk peristiwa semacam ini;
kelalawar menjadi Jawa merupakan haplologi dari nama susundoro; kata begini dan begitu
merupakan haplologi dari kata bagai+ini dan bagai+itu.
Jadi haplologi adalah semacam disimilasi yang mencakup hilangnya suatu segmen.
Sebagai suatu proses perubahan haplologi tidak terlalu sering terjadi.

c. Perubahan Berdasarkan Tempat


perubahan bunyi yang bersifat asimilatif dan disimilatif dilihat dari sudut perubahan
kualitas bunyi. Di samping kualitas bunyi ada juga perubahan lain yang semata-mata. Dilihat
dari tempat terjadinya perubahan bunyi pada sebuah bentuk. Berdasarkan tempatnya dapat
diperoleh eberapa macam perubahan bunyi: metatesis, aferesis (apheresis), sinkop (syncop),
apokop (apocope), protesis, epentesis dan paragog.
10
Metatesis merupakan suatu proses perubahan bunyi yang berujud pertukaran tempat
dua fonem. Dalam bahasa austronesia purba terdapat kata *t’ilak dalam bahasa Melayu
menjadi kilat, Austronesia purba *kikil dalam bahasa Lamalera menjadi kelik’ketiak’,
Austronesia purba ketip menjadi petik dalam bahasa Melayu. Malahan proses metatesis ini
juga masih bekerja terus dalam bahasa yang sama sehingga dihasilkan bentuk ganda untuk
suatu pengertian yang sama atau mirip seperti dalam kata-kata Indonesia atau Melayu
berikut: rontal-lontar,peluk-pekul,beting-tebing,apus-usap-sapu,lulut-telut-berantas-
banteras,kelikir-kerikil,resap-serap,tebal-lebat, dan sebagainya.
Dalam bahasa Sakson: axian, dox, flaxe, waxan menjadi kata Inggris: ask, dusk, flask,
wash. dalam hal-hal tertentu dapat juga terjadi metatesis antara konsonan dan vokal,
misalnya: Inggris kuno: hros->hors, bandingkan Jerman Ross ‘kuda’.inggris kuno: Qirda dari
kata Qridda ‘ketiga’ bandingkan dengan jerman dritte dan inggris modern three. Dalam
bahasa latin periculum ‘bahaya’ kaarena proses metatesis berubah menjadi peligro dalam
bahasa spanyol. Juga dapat dicatat bahwa metatesis sering terjadi dengan likuida seperti
inggris tengahan brid-> brid inggris moderen; inggris kuno wyrtha-> wright ‘pekerja’; inggris
kuno be(o)rht Inggris Modern bright.
Metatesis sering memperlihatkan gejala yang teratur yang mempengaruhi suatu urutan
tertentu dalam fonoktatktik suatu bahasa. Jika likuida (r/I) dinyatakan dengan /R/, sedangkan
vokal dengan V dapat dinyatakan dengan suatu kaidah (K) VRK -> (K) RVK. Bandingkan
kata inggris robot (dari bahasa Tjeko) dengan kata orphan (dari Latin Akhir) dan jerman
arbeit ‘kerja’, di mana kedua kata terakhir memperlihatkan tempat asli dari /r/. Kata *gordu
menjadi slavia kuno gradu ‘kota’, melti menjadi slavia kuno gereja mleti ‘menggerinda’.
Dalam bahasa spanyol kuno urutan /dl/ dari bahasa latin berubah menjadi /Id/ seperti tampak
dalam kata litulum->tilde, modulum->molde ‘membentuk’, capitulum->cabildo ‘bab’.
Dengan mempergunakan korespodensi dalam bahasa Tagalog dapat terlihat pula
metatesis dalam bahasa Ilocano antara /t...s/ dan /s...t/. misalnya tagalog tubus ‘tebus’, tangis
‘menangis’, tigis ‘menuangkan’, tamis, gatos ‘triliun’, tastas ‘sobek’ akan menjadi: subbot,
sa-ngit, si.git, samqit, gasut ‘seratus’ dalam bahasa Ilocano.
Aferesis adalah suatu proses perubahan bunyi antara bahasa kerabat berupa
penghilangan sebuah fonem pada awal sebuah kata. Antara bahasa Austronesia Purba dan
Polinesia purba bisa terjadi peristiwa kebahasaan ini: dukut->ukut ‘menyelam’, *rabi->*afi
‘malam’, *rebah ‘rebah’->*ofa ‘binasakan’, *hatay-> *ate ‘hati’, *halul->*atu ‘teratur’,
*higun-> *isu ‘hidung’, *hubi->*ufi ‘ubi’, *hudan->*ua ‘hujan’, *henay->*one ‘pasir’.
Begitu juga antra austronesia purba dan bahasa melayu terjadi aferesis dalam bahasa melayu
11
seperti tampak pada kata-kata *hubi->ubi, *hudan-> udang, *hatul->atur.
Bila perubahan bunyi itu berwujud penghilangan sebuah fonem di tengah kata, maka
disebut sinkop. Seperti hal nya dengan aferesis, maka dalam bahasa Austronesia Purba
terdapat sejumlah kata yang akan mengalami perubahan dalam bahasa polinesia purba,
misalnya: *urat->*ua ‘urat’, *ira->*mea (ma-ira) ‘merah’, *iya-> *ia ‘dia’, *piya ‘kesukaan’-
>*fia ‘kehendak’, *taru->*tau ‘manusia’, *niyur-> *niu ‘nyiur’, *luwang-> *lua ‘lubang’,
*luntuh-> *lutu ‘jatuh’, ‘runtuh’, *nawu->*nao ‘menangkap ikan’,*tirəm,-> *tio ‘tirəm,
*tiyau-> *tia ‘perut’, dan *tuha-> *tua ‘tua’.
Apokop (apocope) merupakan perubahan bunyi berupa menghilangnya sebuah fonem
pada akhir kata. Dalam bahasa inggris kuno bentuk orang pertama tunggal pada kata kerja
berakhir pada /e/ misalnya helpe ‘menolong’. Dalam bahasa inggris tengahan akhiran itu
menghilang. Begitu juga (ic) singe ‘saya menyanyi’ berubah menjadi (I) sing.
Kata-kata polinesia purba yang mempunyai padanan dalam austronesia purba yang
mengalami perubahan pada akhir kata seperti:
*bilit->*fili ‘belit’, *bubung->*fufu ‘bubung’, *buwang->*fua ‘kosongkan’, *bubuk ‘serbuk’
->*fufu ‘hancur’, *daləm->*lalo ‘dalam’, *datar->*lata ‘datar’, *kəbar->kopa ‘kembar’,
*kəbut-> kofu ‘dibungkus’, *kəlut-> *kolu ‘kerut’.
Protesis adalah suatu proses perubahan kata berupa penambahan sebuah foenm pada
awal kata. Dalam bahasa melayu dan indonesia kata-kata: əlang, əmas, əmpat, əmpedu
merupakan hasil protesis atas kata: lang, mas, pat, dan pedu. Begitu pula dari kata
Austronesia Purba əmbut diturunkan kata melayu həmbus.
Antara bahasa austronesia purba dan polinesia purba juga terdapat sejumlah kata yang
memperlihatkan bahwa telah terjadi protesis pada kata-kata polinesia purba seperti tampak
pada kata-kata berikut: *ilang-> *mila ‘merah’, *ina->*t’ina ‘ibu’, *inak ‘menyenangkan’-
>*mina ‘menghendaki, *ipən->nifo-> ‘gigi;, *kaka->tu’aka ‘kakak’, *nitu->*hanitu ‘arwah’.
Bahasa latin schola ‘sekolah’ mengalami protesis dalam bahasa prancis kuno menjadi
escola, spanyol escuela, portygis escola. Latin scutella ‘mangkuk’-> prancis escuelle, latin
scribere ‘menulis’ ->prancis ecrire.
Epentesis atau mesogo adalah proses perubahan kata berupa penambahan sebuah
fonem di tengah kata. Dalam bahasa melayu penambahan sengau homorgan pada sebuah
konsonan merupakan gejala yang umum. Misalnya kata-kata austronesia purba berikut:
Bahasa melayu: *kapak-> kampak, *kapung->kampung, *padan->pandan, *tipang->timpang,
*tubuh->tumbuh, *tuduk->tunjuk, *matah->mentah. Dalam bahasa inggris kuno terdapat kata
æcer yang mengandung epentesis bila dibandingkan dengan eslandia kuno akr, inggris
12
modern acre; inggris kuno ofen->eslandia kuno ofn ‘oven’; inggris kuno bræmbel di samping
bremel ‘sejenis tanaman’.
Bila sebuah kata mengalami perubahan berupa penambahan fonem pada akhir kata,
maka peristiwa ini disebut paragog. Antara austronesia purba dan polinesia purba terdapat
juga proses perubahan ini: *bun-> *funa ‘tutup’, *but->*futi ‘menyentak’, *kəm ‘genggam’-
>komi ‘menekan’, *tulak 20 *tulaki ‘menolak’.

d. Perubahan-perubahan lain
Monoftongisasi adalah suatu proses merger terjadi atas dua vokal proto dan
mengubah kedua vokal itu menjadi sebuah vokal tunggal. Sebaliknya bila suatu fonem proto
(dalam hal ini vokal) berubah sehingga menghasilkan dua vokal maka proses itu disebut
diftongisasi. Proses terakhir ini boleh saja disebut pembelahan (split) tetapi harus diingat
pembelahan ini terjadi pada sebuah bentuk yang sama atau pada kata yang sama.
Contoh proses monoftongisasi terdapat pada bahasa Austronesia Purba dan bahasa
Polinesia Purba seperti; */hatay/ menjadi */ate/ ‘hati’, */binay/ menjadi */fa-fine/’bini’,
*/h∂nay/ menjadi */one/’pasir’, */p∂lay/ menjadi */fole/’melemahkan’. Sementara contoh
proses diftongisasi terjadi dalam kata-kata berikut bila kita menganggap kata /kuto/ dalam
bahasa Ma’anyan berubah menjadi /kutau/ dalam bahasa Campa, kata /babi/ dalam bahasa
Melayu berubah menjadi /bawuy/ dalam bahasa Ma’anyan atau /bawoi/ dalam bahasa Ngaju-
Dayak.
Sebuah proses lain yang mengubah bentuk kata adalah anaptiksis atau suara bakti
yaitu proses penambahan suatu bunyi pada sebuah kata untuk melancarkan ucapan.
Sedangkan peristiwa perubahan yang mirip dengan anaptiksis adalah samprasarana. Istilah
ini dipergunakan untuk menyebut suatu peristiwa perubahan fonem yang bersifat non-silabis
tetapi karena sonoritasnya yang paling tinggi bila dibandingkan dengan konsonan-konsonan
lain yang ada disekitarnya berubah menjadi silabis.

2.3 Perubahan Morfemis


Perubahan yang terjadi pada sebuah kata atau sebuah morfem sejauh hanya perubahan
bunyi tidak merupakan objek perubahan morfemis. Tetapi bila perubahan-perubahan itu
terjadi berdasarkan percontohan bentuk-bentuk morfem yang lain, maka perubahan itu
dimasukkan dalam perubahan morfemis.
Sejak zaman Yunani Kuno sudah dikenal suatu proses perubahan morfemis yang
sangat penting yaitu analogi atau keteraturan dengan lawannya anomali atau ketak-teraturan.
Analogi merupakan suatu proses yang mengubah morf-morf atau kombinasi morf-morf atau

13
pola-pola linguistik berdasarkan bentuk-bentuk yang sudah ada, atau menciptakan morfem-
morfem baru berdasarkan morfem-morfem yang sudah ada. Contohnya kata Inggris brother
berdasarkan perkembangan sejarahnya berasal dari kata proto Indo-Eropa */brather/.
Suatu peristiwa perubahan lain yang terjadi karena analogi adalah perubahan bentuk
yang terjadi karena percampuran antara dua bentuk yang berlainan yang memiliki bidang
semantik yang berbeda. Peristiwa ini disebut kontaminasi atau perancuan. Contohnya; kata
Inggris /femelle/ ‘wanita’ berubah menjadi /female/ karena pengaruh kata /male/ ‘laki-laki.
Sedangkan dalam bahasa Finn kontaminasi terjadi karena pengaruh sinonimnya. Contohnya;
kata viipale ‘irisan’, ‘potongan’ berubah menjadi siipale karena pengaruh kata siivu yang juga
berati ‘potongan’. Suatu bentuk analogi yang lain adalah hiperkorek, yaitu suatu proses yang
dimaksudkan untuk memperbaiki suatu bentuk yang sebenarnya sudah betul, tetapi diadakan
perubahan sehingga salah.
Kurylowics mengajukan sejumlah kaidah berdasarkan prinsip linguistik umum dan
hubungan antar bentuk-bentuk untuk menjelaskan terjadinya analogi dalam bahasa. Mengenai
timbulnya analogi itu ia mengajukan dalil-dalil sebagi berikut :
1. Penanda-penanda morfologis ganda cenderung menggantikan yang tunggal.
2. Analogi bergerak dari bentuk dasar ke bentuk-bentuk turunan : sputnik-sputniks,
sebalinya bentuk pease-pea bertentangan dengan kaidah ini.
3. Sebuah konstruksi yang terdiri dari sebuah bentuk tetap dan sebuah variabel dipakai
sebagai sebuah pola bagi sebuah bentuk isolasi dengan fungsi yang sama.
4. Sebuah bentuk analogi yang baru mengambil alih fungsi utama sebuah konstruksi,
sementara bentuk yang digantikannya itu dipakai untuk fungsi sekunder.

Sebaliknya Manczak mengajukan kaidah-kaidah berikut :


1. Kata-kata yang panjang, kecuali paradigma sering dibentuk kembali menurut kata-
kata yang pendek bukan kebalikannya.
2. Alternasi akar-akar lebih sering diabaikan daripada dimanfaatkan.
3. Bentuk infleksi yang panjang sering kali dibentuk kembali menurut bentuk yang
pendek.
4. Akhiran zero sering diganti dengan akhiran penuh.

14
2.4 Usia Unsur Bahasa
Hubungan antara sebuah bahasa proto dengan bahasa-bahasa kerabat secara
metodologis bermanfaat untuk suatu tujuan lain yaitu menetapkan usia unsur-unsur bahasa.
Hubungan antara bahasa proto dan bahasa-bahasa pantulannya itu merupaka hasil observasi
empiris yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan :
1. Bahasa – bahasa berubah secar teratur , sekurang-kurangnya sejauh menyangkut
sistem fonologinya.
2. Perubahan semacam itu dalam sebuah bahasa terjadi dalam jangka waktu tertentu.
3. Perubahan dalam jangka waktu tertentu itu dapat dirumuskan dalam kaidah-kaidah
yang berlaku bagi tiap segmen dengan tidak memandang soal makna,frekuensi, dan
status gramatikal dari kata atau morfem tempat terdapatnya fonem tadi.

a. Bahasa – bahasa Eropa


Dalam sejarah bahasa Belanda dan Jerman di satu pihak dan bahasa Inggris di pihak
lain, terdapat korespondensi fonemis antara /a/ dan /ↄ/ kesimpulan ini dibuktikan oleh
rekurensi berikut :
Gloss Belanda Jerman Inggris
Minuman xədraɳ gədrank Ɵrↄɳ
Panggang bradən bratən brↄƟ

Menurut catatan sejarah, korespondensi ini terjadi pada suatu waktu tidak lama
sesudah suku-suku Anglo-Sakson memisahkan diri dari Frisia dan Saksen darat pada abad
XII-XIII. Selain itu, kata-kata yang baru masuk ini membentuk suatu korespondensi baru
berupa /a/ dan /æ/, seperti tampak pada kata-kata (berlangsung sesudah abad XVII) :
Gloss Belanda Inggris
Garasi garadz gaeridz
Tangan hant haent

Disamping kedua korespondensi tersebut terdapat pula sebuah korespondensi yang


lain yaitu antara /a/ dan /a/ seperti terdapat dalam kata vader, vater, dan father.

b. Bahasa – bahasa Austronesia Barat


Dalam bahasa Jawa,Bali dan Lamalera fonem /r/ menghilang secara bertahap . ada
bentuk-bentuk yang menunjukkan bahwa fonem /r/ mula-mula diganti dengan /h/ kemudian

15
fonem /h/ menghilang tetapi kedua vokal masih dipertahankan dan akhirnya menjadi vokal
pendek karena mengalami sandi dalam. Contoh yang memperlihatkan peristiwa itu adalah :
Jawa : maɳhuri → *maɳhuhi →maɳwi
Turut → *tuhut →tuut →tūt →tut
Rarah → *rahah →raah →rāh →rah

Beberapa contoh dapat dikemukakan lagi mengenai usaha penetapan usia relatif unsur-unsur
bahasa dalam bahasa-bahasa Austronesia Barat tersebut. Dalam bahasa Melayu misalnya
tidak terdapat suatu kata yang mengandung fonem /ə/ pada akhir kata, sebaliknya dalam
bahasa Jawa dan Bali suku kata akhir dapat mengandung fonem itu. Contohnya sebagai
berikut :
Jawa/Bali : senəɳ - pələɳ; lintaɳ - bintaɳ
Melayu : sənaɳ - pəlaɳ; lintaɳ - bintaɳ

Terdapat pula korespondensi fonemis lain dalam bahasa Melayu dan Jawa yang dapat
mengungkapkan usia relatif dari unsur-unsur bahasa tersebut, misalnya :
Melayu : ular – lapar – sandar – ipar
Jawa : ulↄ - lↄpↄ - sənde - ipe

Dari kedua korespoondensi diatas yaitu antara /ar/ dan /ↄ/, dan antara /ar/ dan /e/ dapat
diturunkan suatu hipotesa bahwa ada dua masa korespondensi, yaitu :
1. Masa hilangnya fonem /r/ dalam segmen /-ar/ didampingi oleh fonem /ↄ/ dan
2. Masa fonem /r/ didampingi hilangnya fonem /x/ menjadi fonem /e/.

Untuk mengadakan perhitungan usia unsur-unsur bahasa seperti dikemukakan di atas,


sangat diperlukan catatan-catatan deskriptif yang mungkin akan sangat berguna untuk
menjelaskan bermacam-macam peristiwa historis yang belum terungkapkan. Misalnya dalam
bahasa Melayu dan dialek Jakarta :
Melayu : buah – payah – kata - gila
Jakarta : buƐ – payƐ – katƐ - gilƐ

Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :


1. Berdasarkan korespondensi fonemis kita dapat menentukan secara relatif usia dari
unsur-unsur tertentu dalam suatu bahasa.
16
2. Dalam menetapkan korespondensi fonemis untuk menentukan usia unsur-unsur
bahasa,kita harus mempergunakan bahan-bahan dari linguistik deskriptif.

2.5 Status Bentuk Rekonstruksi


Bagi setiap keluarga bahasa, bahasa proto dapat dianggap sebagai suatu bahasa induk
yang khusus sedangkan bentuk-bentuk rekonstruksi dapat diperlakukan sebagai mewakili
bahan dokumentasi dari zaman sejarah. Hal ini mengingat bahwa keadaan sebenarnya
barangkali berlainan dengan bentuk rekonstruksi. Bukti relasi genetis dari bahasa terletak
dalam morfologi perbandingan, misalnya :

Sanskerta Yu n a n i L a t i n Lithaunia Gotik Hittit Rekonstruksi


A s m i e i m i S u m e s m i I m e s m i * e s m i
A s i E s s i E s E s i I s - * e s ( s ) i
A s t i E s t i E s t E s t i I s t E s z i * e s - t i
S a n t i E n t i S u n t - S i n d Asanzi * s - e n t i

Rekonstruksi bagi kata ‘ada’ seperti dinyatakan oleh bentuk-bentuk di atas,


memperlihatkan pada kita bahwa untuk bentuk tunggal rekonstruksi akar katanya adalah *es,
sedangkan untuk bentuk jamak adalah *s. Dalam hal ini sebuah alomorf akar untuk bentuk
tunggal presens lebih banyak mengandung vokal sedangkan alomorf akar untuk bentuk jamak
presens dan perfek kurang vokalnya berdasarkan prinsip ablaut.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Implikasi rekonstruksi mengemukakan metode-metode untuk menenmukan bentuk
bahasa proto. Hubungan-hubungan antar bahasa kerabat maupun usaha menemukan bentuk
protonya dapat dilihat dalam bidang fonologi dan morfologi, serta ada juga usaha untuk
melihat hubungan sintaksis, walaupun tidak memuaskan. Kedua tatarn pertama membawa
hasil yang jauh lebih memuaskan. Walaupun tidak mencakup seluruh unsur kedua tataran
tersebut.
Pola-pola pewarisan yang terpenting adalah pewarisan linear, pewarisan dengan
perubahan, pewarisan dengan penghilangan, pewarisan dengan penambahan, penanggalan
parsial, perpaduan, pembelahan. Sedangkan macam-macam perubahan bunyi ada empat
yaitu; asimilasi, dismilasi, perubahan berdasarkan tempat, dan perubahn-perubahan lain.
Perubahan morfemis yang terjadi pada sebuah kata atau sebuah morfem sejauh hanya
perubahan bunyi tidak merupakan objek perubahan morfemis. Tetapi bila perubahan-
perubahan itu terjadi berdasarkan percontohan bentuk-bentuk morfem yang lain, maka
perubahan itu dimasukkan dalam perubahan morfemis.
Status Bentuk Rekonstruksi, bagi setiap keluarga bahasa, bahasa proto dapat dianggap
sebagai suatu bahasa induk yang khusus sedangkan bentuk-bentuk rekonstruksi dapat
diperlakukan sebagai mewakili bahan dokumentasi dari zaman sejarah. Hal ini mengingat
bahwa keadaan sebenarnya barangkali berlainan dengan bentuk rekonstruksi.

3.2 Saran
Dalam menyusun makalah materi implikasi rekonstruksi disarankan untuk mencari
banyak referensi dari sumber yang lain supaya dapat memahami materi dengan baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Keraf,Gorys.1984.Linguistik Bandingan Historis. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

19

Anda mungkin juga menyukai