Anda di halaman 1dari 10

Teknik Menulis Puisi (1)

Polisindeton: termasuk dalam gaya bahasa retoris, yaitu beberapa kata, frasa, klausa berurutan
dihubungkan satu sama lain oleh konjungsi. Secara sekilas, mirip dengan repetisi jika kebetulan
konjungsi yg digunakan sama. Lihat contoh berikut.
Jembatan telah mengantar orang bukit
Menuju pasar menuju sawah menuju
Sekolah menuju jawaban yang ditanyakan
Seperti halnya air dan pasir yang mengalir
Dari hulu ke hilir melewati kota melewati
Nama-nama desa melewati seribu
Penyeberangan melewati ingatan
Menuju muara
Teknik Menulis Puisi (2)
Impresi: sesuai dengan namanya, impresi menekankan pada efek kesan, atau pengaruh yang
dalam terhadap pikiran dan perasaan. Kesan atas efek yg diciptakan ini dipengaruhi oleh kerja
indera. Selanjutnya, pikiran dan perasaan (pembaca) mengolahnya sesuai dengan konteks yang
dimaksudkan. Sebagai contoh, indera visual: penyair menggambarkan imaji penglihatan atas
benda atau peristiwa yang dilihatnya. Deskripsi atau narasi yang ditulisnya dibentuk sedemikian
rupa (biasanya dengan bahasa sederhana-lugas), dan sekaligus diniatkan untuk mencapai maksud
dan makna lain (tersirat). Lihat contoh puisi Sapardi Djoko Damono (Seekor Ulat) berikut.
Seekor ulat akhirnya mencapai sekuntum bunga lalu
berhenti di sana. Ia telah memakan beberapa lembar daun
muda di ranting itu, dan kini ia berada di atas sekuntum
bunga: ia pun diam
Kata kunci bait pertama puisi tersebut (untuk menikmati/atau bahkan untuk memaknainya)
adalah: sekuntum bunga; memakan beberapa lembar daun; ia pun diam. Sajak-sajak Sapardi
sarat dengan teknik ini. Salah satu yang sangat saya sukai adalah Berjalan ke Barat di Pagi
Hari dan Peristiwa Pagi Tadi.
Teknik Menuli Puisi (3)
Alusi: majas perbandingan yang merunjuk secara tidak langsung seorang tokoh atau peristiwa;
kilatan. Tokoh atau peristiwa yang diacu diambil secara parsial, atau bahkan secara sekilas.
Baiklah, untuk memahaminya, saya tunjukkan contoh puisi yang sangat terkenal, Dongeng
Sebelum Tidur, karya Goenawan Mohamad. Agar pembaca bisa menikmatinya, maka
sebelumnya pembaca harus faham seluk beluk kisah Anglingdarma. Tanpa memahami kisah
tersebut, puisi menjadi sebuah karya yang setengah gagal dinikmati, atau bahkan gagal sama
sekali. Puisi lain yang serupa, misalnya Malam Tamansari, karya Suminto A. Sayuti, Celana
Ibu, karya Joko Pinurbo, dll.

Dongeng Sebelum Tidur


Cicak itu, cintaku, bercerita tentang kita.
Yaitu nonsens.
Itulah yang dikatakan baginda kepada permaisurinya, pada malam
itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi
dan sprei.
Mengapa tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari
pagi.
Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan kembali kain
ke dadanya dengan nafas yang dingin, meskipun ia mengecup
rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.
Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan
diri dengan pertolongan dewa-dewa entah dari mana untuk tidak
setia.
Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa
harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya
dan sebagainya?
1971
Teknik Menulis Puisi (4)
Dramatis: teknik penulisan puisi yang di dalamnya diciptakan sebuah cerita yang melibatkan
konflik atau emosi. Dalam teknik ini elemen yang ada antara lain: tokoh, cerita/alur, konflik,
dialog. Opening dan ending sangat berpengaruh terhadap efek yang diinginkan. Sifat-sifat teknik
dramatis ini adalah mengesankan, meneror, mengejutkan, dan membuat penasaran (suspensif).
Bacalah opening puisi Zagreb karya Goenawan Mohamad berikut, yang meneror dan
menegangkan.
Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan, datang jauh dari Zagreb.
Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan, berisi sepotong kepala,
dan berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya: Ini anakku.
Untuk ending, mari kita baca puisi Dengan Kata Lain, karya Joko Pinurbo berikut ini.
Dengan Kata Lain
Tiba di stasiun kereta, aku langsung cari ojek.

Entah nasib baik, entah nasib buruk, aku mendapat


tukang ojek yang, astaga, guru Sejarah-ku dulu.
Wah, juragan dari Jakarta pulang kampung.
beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah.
Bapak tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?
Nyaman sekali rasanya diantar pulang Pak Guru
sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah.
Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan.
Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet, beliau
sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja.
Di teras rumah Ayah sedang tekun membaca koran.
Koran tampak capek dibaca Ayah sampai huruf-hurufnya
berguguran ke lantai, berhamburan ke halaman.
Tak ada angin tak ada hujan, Ayah tiba-tiba
bangkit berdiri dan berseru padaku: Dengan kata lain,
kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu.
(2004)
Teknik Menulis Puisi (5)
Anadiplosis: repetisi dengan mengulang kata atau frasa terakhir suatu klausa atau kalimat
menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Dua bait pertama puisi
Puake karya Sutardji Calzoum Bachri di bawah adalah contohnya.
puan jadi celah
celah jadi sungai
sungai jadi muare
muare jadi perahu
perahu jadi buaye
buaye jadi puake
puake jadi pukau
pukau jadi mau
Teknik Menulis Puisi (6)
Analogi (filosofi): teknik ini menganalogikan hal-hal atau peristiwa puitik dengan hal-hal atau
peristiwa yang lebih mudah dipamahi. Tujuannya untuk memudahkan pemahaman. Disebut juga
filosofi karena biasanya mengandung nilai-nilai filsafat. Dua cara teknik ini adalah dengan
pengandaian dan mempertanyakan hakikat.

Kita diam. Siapa pun yang bersemayam


Di petilasan ini, mengingatkan betapa
Nama cukup dikenang dalam sebuah nisan
Betapa hidup membentangkan berjuta
Cara pandang tentang hidup dan kematian
Kata kunci cuplikan puisi tersebut adalah: betapa/ Nama cukup dikenang dalam sebuah nisan/.
Contoh puisi lain adalah cuplikan Sajak Seorang Tua untuk Istrinya, karya W.S. Rendra di
bawah ini.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup,
bekerja membalik tanah,
memasuki rahasia langit dan samodra

Apabila ingin menyimak lebih lanjut sajak-sajak dengan teknik ini, Anda bisa membaca karya karya Iman Budhi Santosa. Di dalam sajak-sajaknya sarat akan teknik ini. Berikut adalah salah
satu contoh sajak utuhnya, Di Depan Jam Mati Jalan Malioboro Pagi Hari.
Sekali lagi ia berhenti. Lelah berputar
memakan angka-angka tanpa merasa lapar.
Sekali lagi ia mengunci, detik tak berbalik
waktu tak beranjak maju
Masihkah perlu? ia bertanya pada tugu
ketika burung gereja menebar kotorannya
pada kaca, seperti kecewa (ingin memaki,
tapi tak bisa). Masihkah harus aku menjaga
waktu yang terus dilanggar siapa saja?
Sekali lagi tak ada jawaban. Kota tak mendengar
telinga penuh suara pasar
kaki lima bicara sendiri
jalanan tak ambil peduli
Dengan tatapan kosong, padaku
ia mengangguk santun, seperti mengajak
berpantun: -kota mati, jam mati
kota tua, kota kaki lima
kita bernyanyi sampai pagi
biar kiri-kanan menutup mata
jangan puisi dibuang
jika tak ada yang membaca
2002

Teknik Menulis Puisi (7)


Membandingkan secara langsung sebuah peristiwa (aktual) dengan peristiwa masa lalu (yang
dikenal publik). Peristiwa pokok adalah peristiwa aktual, diletakkan di depan peristiwa acuan
(seperti foregrounding). Secara sekilas, teknik ini hampir mirip dengan alusi, tapi berbeda. Saya
tidak tahu nama teknik ini. Barangkali ada di antara kawan-kawan ada yang mengetahuinya?
Mohon share. Sebagai contoh, berikut ini cuplikan puisi F. Rahardi berjudul Bulan Oktober di
Sebuah Desa di Timor Timur untuk memahaminya.

di sebuah kuburan
gundukan tanah yang masih baru
sebuah salib kayu sederhana
taburan mawar dan pacar cina
ibu itu berdoa
kepalanya menunduk
tangannya mendekap dada
dibawah gundukan tanah ini
anak laki-lakinya
yang masih sangat muda
telah berdarah dan terbujur kaku
luka-luka
tapi ibu itu tak lagi menangis
tak ada yang perlu disesalkan
tak ada yang mesti diratapi
ibu itu menyeka keringat
dengan ujung selendangnya
dulu, 2000 tahun yang lalu
Maria, ibu Jesus
pasti jauh lebih berduka
pasti jauh lebih terhina
dari pada dirinya
ketika menyaksikan
anak laki satu-satunya
luka-luka
berdarah
lalu terbujur kaku
di pangkuannya
Teknik Menulis Puisi (8)
Aliterasi: termasuk gaya bahasa, yaitu perulangan konsonan yang sama. Salah satu cara teknik
ini adalah dengan menggabungkan bunyi suku kata yang sama dari dua kata atau lebih dalam
satu baris atau bait. Misalnya: 1) gudang-gudang gedung berwarna gading; 2) rumah merah yang
murah. Di contoh pertama bunyi gd diulang empat kali dalam satu larik, sedangkan contoh

kedua, bunyi rmh diulang tiga kali. Cuplikan puisi Petir, karya Aan M. Mansyur berikut,
marilah kita simak.
Apakah kau dengar petir
Dari balik bilik
Dadaku bergetar getir?

Atau cuplikan puisi TS Pinang berjudul Rindang berikut.


kami mengeramas rambut kami biar subur dan rindang.
memang, kadang-kadang kepala kami gundul dan gersang,
tapi kami tetap memupuknya dengan sampo rempah dan
rimpang, agar akar rambut kami tetap kuat dan tunjang. kami
ingin rambut kami subur dan rindang, agar kepala kami teduh
dan tenang. dan seperti Sidharta yang mencapai Buddha,
begitulah kami ingin kepala kami menjadi seterang siang.
Teknik Menulis Puisi (9)
Asonansi: gaya bahasa dengan mengulang bunyi vokal yang sama. Di dalam pelajaran bahasa
Indonesia di sekolah, dikenal sebagai rima (guru lagu). Letaknya tidak mesti di akhir baris sajak.
Salah satu daya nikmat membaca puisi adalah dengan adanya asonansi ini (simak lirik lagu-lagu
rap, mantra, puisi-puisi lama). Contohnya adalah puisi Magetan di bawah berikut.
Pagi berkabut
Hatiku terpaut
Pedagang sayur turun dari Lawu
Matanya masih sayu
Jalan menanjak, telaga Sarangan kutuju
Di sini aku keluar dari sarang rindu
Dari timur, cahaya matahari membentur
Dinding gunung. Aku melaju ke barat
Ke ujung
Di sana, kita ketemu di telaga puisi
Kita berenang dan menyelam
Dalam kalimat sunyi
2009
Teknik Menulis Puisi (10)

Paradoks: gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta. Teknik
ini banyak dipakai oleh penyair yang berpihak, yaitu pada kemanusiaan (menunjukkan sikap
terhadap kehidupan). Sifatnya yang mempertentangkan ini bermaksud sebagai penegasan atas
keadaan. Cuplikan dua bait terakhir puisi berjudul Puisi karya Dodong Djiwapradja berikut
adalah contohnya.
puisi adalah manisan
yang terbuat dari butir-butir kepahitan
puisi adalah gedung yang megah
yang terbuat dari butir hati yang gelisah
Pilihan kata manisan dan kepahitan dijadikan satu dalam adonan puisi, begitu pula
megah dan gelisah. Hal-hal yang kontradiktif disejajarkan untuk mencapai efek
memperjelas; mengejutkan. Simak pula cuplikan Nyanyian Angsa karya WS. Rendra berikut.
Watak manusia (suci) digambarkan penyair secara paradoksal untuk menekankan keadaan yang
tak manusiawi sebagaimana seharusnya.
Jam satu siang.
Matahari masih di puncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karena kawatir akan pencuri.
Ia menuju pastori dan menekan bel pintu.
Koster keluar dan berkata:
Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.
Maaf. Saya sakit. Ini perlu.
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
Ia nyalakan cerutu, lalu berkata:
Kamu perlu apa?
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.

Teknik Menulis Puisi (11)


Asindeton: majas yang berupa acuan yang padat dan mampat. Beberapa kata, frasa, atau klausa
tidak dihubungkan dengan kata sambung (kebalikan dari polisindeton). Contoh di bawah ini
menunjukkan bahwa acuan dicomot dari jargon lembaga Tentara Nasional Indonesia-Angkatan
Laut. Acuan lain yang bisa dipergunakan misalnya cogito ergo sum, vini-vidi-vici, homo homini
lupus, dll.
Dan aku selalu mengingat kata-katamu
Bahwa di atas lautan kita berjaya,
Di atas ombak zaman siapa bisa mengira
Jalesveva jayamahe, bisikmu perlahan
Sepelan angin malam
Teknik Menulis Puisi (12)
Memeristiwakan Benda agar Hidup Bebas. Tulislah sebuah benda, bebas. Perlakukan benda
tersebut melakukan kegiatan sebagaimana manusia. Dalam menulis puisi dengan teknik ini,
intuisi dominan bekerja. Percayakan bahwa benda tersebut memiliki keinginan melakukan
apapun. Kerja dalam teknik ini adalah imajinasi. Salah ciri satu imajinasi yaitu melanggar
kode-kode yang disepakati. Ciri lain adalah, bahasa yang lancar mengalir. Oiya, teknik ini,
sekilas mirip dengan personifikasi, tetapi berbeda. Perbedaannya adalah, teknik ini berusaha
memeristiwakan benda-benda dalam puisi. Contohnya adalah puisi berikut. Yang dimaksud
"memeristiwakan" adalah bait II baris III: /...Barangkali kalau aku/ boleh mengandaikan,.../ dst.
sampai akhir puisi. Selamat mencobanya, Mas dan Mis, Bro dan Bri, jika tertarik.
INFUS
Dalam sebotol infus, ibu, bahasa manusia adalah
Memaknai tubuh satu-persatu
Diurai sambil mengingat doa-doa masa kecil
Kupikir yang menetes itu bukan air mata
Dari matamu, bukan keringat malaikat, atau
Darah keturunan-keturunan. Barangkali kalau aku
Boleh mengandaikan, semacam tetes gerimis
Di genteng yang dulu pernah
Kutampung dalam baskom lalu kubawa masuk
Ke kamar dan sebuah perahu kertas yang
Lama kusiapkan keletakkan di atasnya
Ibu, lalu kita berperahu
Di sela tetes-tetes gerimis, Lihatlah ibu,
Daratan jauh itu, kita bakal ke sana menjauhi
Pulau sakit ini!

Ah, di antara mekar teratai, bunyi rintik-rintik itu,


Akan kita lewati hilir dan muara yang sempit
Mungkin menyakitkan
Tapi dokter bukan tuhan. Ia baru
Berjalan ke ruang ini sambil menjinjing
Perahu, dua batang dayung bersama perawat-perawat
Cantik mirip peri yang semalam kuimpikan
RSUD Wonosari, 2003

Teknik Menulis Puisi (13)


Hipalase: termasuk gaya bahasa, yaitu kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah
kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Contohnya adalah puisi berikut.
Barangkali sebagaimana perahu
Nelayan yang laju itu, tanpa jangkar tanpa
Boat mesin, cuma angin cuma ruwet jaring
Yang menjala kesepian kita
Kata kunci bait puisi di atas adalah / cuma ruwet jaring// Yang menjala kesepian kita//. Frasa
kesepian kita (lirik) menerangkan sepinya tangkapan ikan. Atau, dengan kata lain, yang
mengalami kesepian adalah nelayan yang bekerja, di mana jaring alat tangkapannya menjala
sepi, alias tak ada satu ikan pun didapat.
Teknik Menulis Puisi (14)
Imaji Benda: menulis benda, tokoh, peristiwa dalam sebuah bait/paragraf yang tidak padu secara
gramatika. Benda, tokoh, peristiwa ditempel-tempel sebagaimana karya instalasi dalam seni
rupa. Meskipun secara gramatika tidak padu, namun per kalimat bahasanya lancar. Dalam teknik
ini ada banyak gaya bahasa yang memungkinkan untuk dipakai di dalamnya, misalnya
foregrounding, metafora, ironi, paradoks, antropomorfisme, dll. Sekedar catatan, secara teknik,
cara ini bisa diterapkan, tetapi secara semantik saya belum begitu memahaminya.
Nilai penting dari puisi semacam ini adalah sensitivitas material yang dicomot berkaitan dengan
nilai sosial, budaya, politik, yang mengacu pada kemaknaan puisi. Menikmati puisi jenis ini
adalah kerja menikmati "bahasa", yaitu bahasa yang "liar dan usil". Beberapa penyair Indonesia
yang memakai teknik ini, baik sebagian atau mencampurnya dengan teknik lain, antara lain Dina
Octaviani, Shinta Febriyanti, Ahda Imran. Sebagai contoh adalah puisi Korek Api di Atas
Bayanganmu, karya Afrizal Malna berikut.
Korek Api di Atas Bayanganmu

Ada masa kanak-kanak yang masih mengenalmu, datang di suatu sore, dan menuliskan sesuatu
di atas bayang-bayangmu. Sebuah korek api bekas membersihkan gigi. Masa kanak-kanak itu
menulismu, rasanya perih.
Seperti belahan pada telur asin.
Sore itu, aku masih memeluk lehermu: Sebuah kota di masa liburan sekolah. Anak-anak belajar
memelihara orang tua, memandikannya, memberinya makan, dan menguburkannya bila mati aku
menulisnya.
Anak-anak belajar membeli beras dan minyak goreng, dan menjadi orang tua dengan bayangan
yang terbuat
dari korek api.
Anak-anak melahirkan, aku menulisnya sore itu ketika ombak datang membasahi lehermu.
Anak-anak dari bayangan korek api.
Anak-anak sekolah, sekolah dari bayangan korek api.
Anak-anak mencari kerja, lapangan pekerjaan dari bayangan korek api.
Lehermu kemudian mengeras, seperti masa liburan sekolah yang telah berakhir. Seperti
kemarahan korek api terhadap kotamu.
Seperti perjalanan korek api kembali ke hutan, kembali ke batang-batang pinus, tempat api
melahirkan ibumu. Tempat api melahirkan sebuah sore. Dan aku menulis
bayanganmu dengan tangan-tangan api.

Anda mungkin juga menyukai