Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Seperangkat Postulat

Pada prisipnya tata bahasa dengan pragmatik memiliki persamaan dan perbedaan. Tata
bahasa (sistem bahasa formal dan abstrak) dan pragmatik ( Prinsip-prinsip penggunaan bahasa)
merupakan dua ranah yang komplementer, saling melengkapi di dalam linguistik. Kita tidak
dapat memahami hakikat bahasa dengan baik tanpa menelaah kedua ranah tersebut beserta
interaksi antara keduanya.

Geoffrey N. Leech, mengemukakan beberapa postulat atau patokan mengenai tata bahasa
pragmatik sebagai berikut :

A. Representasi Semantik dan Interpretasi Pragmatik

Patokan Pertama (P1) : Representasi Semantik (bentuk logis) suatu kalimat berbeda dari
Interpretasi Pragmatiknya.

Pertama-tama, mari kita perhatikan suatu contoh penjelasan yang tidak masuk akal. Kaum
SEMANTIK berusaha untuk memasukkan fenomena pragmatik ke dalam semantic dan pada
awal tahun 1970- an aliran semantik generatif mengajukan hipotesis PERFORMATIF, hipotesis ini
mengatakan bahwa setiap kalimat K dalam bahasa memiliki struktur batin/struktur semantik
berupa kalimat performatif yang kurang lebih berbentuk saya menyatakan/
mengumumkan/meminta/ dan sebagainya k. dengan cara inilah mereka menempatkan daya
ilokusi suatu ujaran dalam rpresentasi semantik (representasi semantik ini sama dengan
representasi sintaktiknya, karena aliran semantik dan representasi sintaktiknya). Manisfasi
ancangan ini dalam bentuknya yang paling tidak masuk akal saya jumpai pada pendapat S.R
Levin yang menyatakan bahwa struktur batin setiap sajak (misalnya, struktur batin setiap sonata
shakeesppeare yang berjumlah 154 itu )mesti mulai dengan suatu performatif yang bunyinya
sebagai berikut: saya membeyangkan diri di suatu dunia dan saya mengundang anda
membayangkan dunia tersebut sebagai tempat……(1976). Namun tanpa contoh-contoh yang
seekstrim ini pun sudah cukup jelas bahwa hipotesis performatif sulit sekali diterima, khususnya
karena hipotesis tersebut akan membawa konsekuensi seperti yang berikut ini : struktur batin
setiap kalimat dalam tulisan eksposisi (misalnya, artikel dalam ensiklopedia), akan diawali oleh
sebuah performatif seperti saya menyatakan bahwa…. yang kemudian mengalami pelesapan;
dengan demikian, bila artikel itu ter diri dari 100 kalimat, maka performatif berupa klausa awal
tersebut akan diulangi 100 kali. Yang lebih aneh lagi, klausa itu selalu mengacu pada
sipenulis(saya), juga dalam jenis eksposisi formal tertentu yang gaya bahasanya menghindari
penggunaan kata pesona pertama. Tampaknya hipotesis performatif merupakan usaha yang
gegabah untuk mentatabahasakan fenomena pragmatik (misalnya daya ilokusi), dan hanya
dapat dihargai oleh mereka yang berpendapat bahwa paradigm gramatikal milik aliran tata
bahasa generatif sudah sangat memadai. Hal inilah, agaknya, penyebab satu-satunya mengapa
mereka mengabaikan yang sudah jelas didepan mata: yaitu, bahwa bahasa berlangsung dalam
stuasi. (hipotesi perfomatif akan saya uaraikan lebih lanjut ).

Di pihak lain, terdapat juga usaha-usaha yang cenderung menjelaskan segala sesuatu tentang
makna, dan juga tentang bahasa pada umumnya, dari sudut pandang tindak ujar dan situasi
ujar. Usaha ini juga kurang masuk akal, dab bentuk ekstremnya terdapat pada pendapat Alston
yang mengusulkan agar definisi makna kata mengacu pada sumbangan sebuah kata pada daya
ilokusi:

Makna K1 adalah K2= Dalam kebanyakan kalimat yang mengandung K1,K2 dapat
menggantikannya tanpa mengubah potensi tindak ilokusi kalimat.

Menurut Alston kesinoniman kata-kata(K1, K2, dan sebagainya ) sama dengan masalah adanya
potensi tindak ilokusi yang sama pada kalmia-kalimat yang mengandung kata-kata tersebut.
Tetapi karena kata-kata dalam isolasi biasanya tidak membentuk tindak ilokusi alston tidak
dapat menjelaskan mengapa diluar konteks kalimat kata bisa mempunyai maknaynya sendiri.
Bagi Alston, makna kata sapi, misalnya, bukanlah definisi sapi sebgai hewan memamah biak
yang menghasilkan susu, tetapi adalah fungsi semua tindak ilokusi yang dapat dilakukan bila
menggunakan kata sapi.

Teori tindak-ujar Searle (1969) merupakan contoh yang lebih terkenal pragmatigsisme. Ia
berpendapat bahwa teri bahasa merupakan bagian dariteori tindakan ('a theory of languge is
pat of a theory of action') (1969). Disamping tindak ilokusi, Searle juga melihat adanya berbagai
jenis tindak gramatikal; dengan kata lain, secara abstrak ia menerjemahkan sistem gramatikal
kedalam performasi berbagai tindak ujar

……untuk tujuan-tujuan tertentu apa yang saya sebut tindak ujar dapat dipecah-pecah menjadi
tindak fonetik, tindak fonemik, tindak ujar femik, dan sebagainya. Tentunya, untuk kebanyakan
tujuan didalam ilmu lingustik, tindak tidak perlu dibicarakan sama sekali. Kita, misalnya, cukup
membahas fonem morfem kalimat saja).

Kata-kata ‘’tentunya’’….. dan seterusnya menunjukkan bahwa Searle seakan-akan meremehkan


teorinya sendiri dan mengakui keterbatasan paradigm bahasa=tindak . namuun dalam
membahas makna, Searle tetap menggunakan paradigmanya ini. Sebetulnya, paradigm tersebut
detengah benar: memang ada hal-hal tertentu yang dapat dilakukan dengan bahasa, namun ini
tidak berarti bahwa bahasa adalah tindak semata –mata.
B. Kaidah dan Prinsip

Patokan kedua (P2) : Semantik bersifat tunduk pada Kaidah (Gramatikal), sedangakan
Pragmatik bersifat diatur oleh Prinsip (Retoris).

Dalam logika propsional, kaidah modus ponens berbunyi dari A dan A } B turunkan B. Untuk
kaidah-kaidah gramatikal seperti ini hanya terdapat dua kemungkinan: berlaku atau tidak
berlaku. Tidak mungkin kaidah-kaidah ini hanya berlaku sebagian atau sampai taraf tertentu saja
bila hanya terkena pengaruh faktor-faktor konteks yang berbeda-beda; juga tidak mungkin
kaidah-kaidah itu saling bertentangan atau saling menolak,dan sebagainya. Pandangan ini, yakni
bahwa tata bahasa dikuasai oleh kaidah, mengandung beberapa masalah yang tidak asing lagi,
dan karena itu akan diteliti dengan lebih saksama.namun di pihak lain, sebagaimana diasumsikan
oleh semua penulis tata bahasa, saya pun berasumsi bahwa pandangan ini pada dasarnya benar.

Pembagian kerja antara kaidah kerja dan prinsip dapat diilustrikan dengan kontruksi pasif
Dallam bahasa inggris. Kaidahlah yang mengubah konstruksi aktif menjadi pasif dankaiidah ini
bersifat konstitutif, artinya bila kaidah tersebut diterapkan dengan salah, hasilnya ialah suatu
kalimat yang tidak gramatikal.kaidah terssebut menetapkan seperangkat perubahan-perubahan
pada klausa transitif; bila perubahan-perubahan ini dilakukan, hasinya ialah sebuah klausa
lainyang ggramatikal dan yang maknanya sama deengan klausa yang diubah:

Martha killed the fly ~ the fly was killed by Martha (Martha membunuh lalat itu ~ lalat itu
dibunuh oleh martha)

Bila satu bagian dari kaidah ini tidak diterapkan (misalnya tidak membubuhkan by dimuka
pelaku/agent), hasilnya ialah suatu kalimat yang tidak gramatikal, kalimaat yang tidak
merupakan bagian lagi dari bahasa inggris: * the fly was killed Martha. Sebaliknya, prinsip dan
maksim, yang mengendalikan retorik tekstual misalnya, tidak bersifat konstitutif. Tetapi
regulative atau mengatur. Salah satudiantaranya ialah maksim fokus-akhir, maksim ini
menganjurkan agar, bila di izinkan oleh kaidah gramatikalnya: bagian klausa yang mengandung
informasi baru diletakkan pada akhir kalimat.

The fly was killed by MARTHA

Dengan demikian tata bahasa dan pragmatik, kedua-duanya bekerja sama dalam memberikan
penjelasan mengenai konstruksi pasif: yang pertama menerangkan bagaimana fasif dibentuk, dan
yang kedua mengemukakan kondisi-kondisi yang menentukan pilihan antara pengunaan
konstruksi pasif dengan konstruksi aktif.

Menurut Searle (1969), sebuah ilokusi dapat disebut peringatan bila mengikuti kaidah-kaidah
berikut ini:

Isi proposional: kejadian atau keadaan yang akan datang E


Persiapan : (1) t (sic) mempunyai alasan untuk yakin bahwa E akan terjadi dan bahwa E tidak
akan mengguntungkan t

(2) tidak jelas bagi n maupun t apakah E akan terjadi.

Ketulusan: n percaya bahwa E tidak akan menguntungkan t.

Esensial : merupakan tindakan yang mengandung arti bahwa E tidak akan menguntungkan t.

Ambivalensi dan tidak pastinya sebuah tuturan juga memungkinkan faktor-faktor Pragmatis,
ditawar oleh si pendengar artinya, bila pragmatik sebuah tuturan tidak pasti/tidak jelas, n
memberi kesempatan pada t untuk memilih antara dua daya pragmatik, sehingga dengan
demikian t sebagaian bertanggungjawab atas makna tuturan, misalnya:

If l were you, l'd leave town straight away

(seandainya saya jadi kamu, saya akan meninggalkan kota)

Bagaimana Dapat ditafsirkan sebagai nasehat, peringatan, atau ancaman. Di sini t karena
mengetahui maksud-maksud n, menafsirkan tuturan tersebut sebagai ancaman, dan bertindak
sesuai dengan tafsirannya. Tetapi n selalu dapat menyangkal tafsiran yang demikian dan dapat
mengatakan bahwa ia bermaksud baik dan bahwa tuturannya merupakan nasihat. Dengan cara
ini retorika percakapan memungkinkan n memperoleh keuntungan dari situasi tanpa kerugian
apapun.

C. Konvensi dan Motivasi

Patokan ketiga (P3) : Kaidah-kaidah Tata Bahasa pada dasarnya bersifat Konvensional
sedangakan Prinsip-prinsip Pragmatik Umum pada dasarnya bersifat Nonkonvensional, yaitu
dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan.

Searle mengatakan bahwa kaidah-kaidah untuk melaksanakan dan menafsirkan tindak


bersifat konvensional, konvensilah yang menentukan apakah dalam kondisi-kondisi tertentu
mengucapkan sebuah tuturan dapat 'dianggap membuat janji'. Jadi bila ditanya mengapa
kalimat l'll pay you back tomorrow (Saya akan mengembalikan uangnya besok) yang diucapkan
oleh seorang yang baru meminjam uang dapat dianggap sebagai swbuah janji, sesuai dengan
pandangan Searle jawabannya hanyalah : 'karena kaidah mengatakan demikian'. Namun
kenyataannya ialah kita dapat memberikan alasan-alasan lain : berdasarkan tujuan wacana. Kita
dapat menjawab mengapa proposiai yang mengandung perbuatan yang akan dilakukan n
(penutur) menyakinkan t (petutur) bahwa perbuatan tersebut akan dilakukannya : dengan kata
lain, sebagai cara n mengikat dirinya untuk melaksanakan apa yang direncakannya. Menurut
Geoffrey Leech sebuah janji dapat diidentifikasi janji bukan dengan menggunakan kaidah-
kaidah (kecuali bila untuk menentukan sebuah makna, kaidah-kaidah memang dibutuhkan),
melainkan dengan mengetahui maksud n, baru kaidah-kaidah Searle akan berperan dalam
spesifikasi kondisi-kondisi yang biasanya mengikuti identifikasi tersebut.

Jadi, yang bersifat konvensional bukanlah fakta pragmatik, melainkan fakta semantik misalnya
fakta semantik yang menyatakan bahwa kalimat dengan bentuk sintaktik L'll pay you back
tomorrow mengandung proposisi yang memberikan sebuah perbuatan penutur dimasa yang
akan datang, dengan kata lain makna kalimat bersifat konvensional bila Makna tersebut dapat
disimpulkan dari kaidah tata bahasa (termasuk juga definisi-definiai leksikal). Sebaliknya daya
ilokusi tidak dapat disimpulkan dari kaidah kaidah tata bahasa tetapi melalui prinsip-prinsip
motivasi seperti PK. PK menyiratkan bahwa di masa yang akan datang dan pasti akan
melaksanakan yang diucapkannya, kalau n tidak melakukannya ia melanggar maksim kualitas.
PK juga menyiratkan bahwa pernyataan n untuk mengembalikan uang ada hubungannya dengan
situasi ujar ketika uang tersebut dipinjam bila hubungan itu tidak ada n melanggar maksim
hubungan. jadi, bila seseorang

mengetahui makna suatu tuturan,

mengetahui prinsip-prinsip percakapan yang mengatur tuturan tersebut,

mengetahui konteks tuturan tersebut,

dapat menggunakan akal sehat dalam (a), (b), dan (c)

Maka dapat disimpulkan bahwa l'll pay you back tomorrow dimaksudkan sebagai janji, tampak
jelas pembagian kerja antara konvensi dengan motivasi. Pendapat Saussure yang mengakatan
bahwa tanda linguistik bersifat manasuka. Merupakan salah satu perkembangan yang sangat
penting dalam linguistik modern dan pada umumnya para linguis menerima begitu saja bahwa
kategori-kategori dan kaidah-kaidah linguistik bersifat manasuka artinya, katagori dan kaidah
linguistik tidak dapat diramalkan ataupun disimpulkan dari realita realita ekstralinguistik. Kaidah
kaidah tata bahasa suatu bahasa tertentu memang manasuka, namun pada tingkat
'metatatabahasa' kaidah kaidah tata bahasa boleh dipertanyakan asalnya, dan bahwa kita harus
berusaha mencari penjelasannya, penjelasan itu mungkin erat kaitannya dengan motivasi
pragmatik. Misalnya saja, banyak bahasa termasuk bahasa Inggris menghilangkan subjek
kalimat perintah : (You) come here! ((kau) ke sini!). Penyimpangan ini tentu disebabkan oleh
suatu motivasi praktik, dan biasanya dapat diramalkan bahwa you (kau) merupakan subjek yang
sudah diketahui oleh t, karena kalimat perintah mempunyai fungsi menyuruh. Oleh sebab itu
menghilangkan you (kau) tidak mengurangi pemahaman.

terdapat dua jenis kekonvensional, yang pertama ialah ke konvensional yang mutlak, dalam
bahasa Inggris, misalnya manusia berkelamin laki-laki adalah man yang harus
diucapkan /maen/. Tidak ada penjelasan mengapa demikian atau apa motivasinya, dan dalam
belajar bahasa Inggris ( baik sebagai bahasa pertama maupun sebagai bahasa) kaidah itu harus
dipelajari sebagai fakta. Kedua selain ke konvensional yang mutlak, pada sebuah kaidah juga
terdapat ke konvensional yang bermotivasi yaitu, ke konvensional yang juga menunjukkan
adanya sedikit motivasi. Artinya, jika suatu pihak kaidah mengandung motivasi, namun di pihak
lain kaidah itu memberi batasan mana suka kepada perilaku linguistik yang bisa diramalkan dari
motivasi tersebut titik dalam keadaan seperti ini dibutuhkan dua pernyataan: yang pertama
merumuskan sebuah kaidah yang mana suka, yang kedua memberikan penjelasan
ekstralinguistik mengenai perlunya eksistensi kaidah manasuka tersebut. Salah satu contoh ke
konvensional yang bermotivasi ialah sebagai berikut:

[1] Good luck! = 'l wish you good luck'

(Saya doakan kamu berhasil)

[2] Bad luck! = 'l regret your bad luck'

(sayang kamu tidak berhasil)

Walaupun [1] dan [2] mempunyai sintaksis yang sama, [1] tidak mungkin berarti 'l regret your
good luck' (Sayang kamu berhasil) dan [2] tidak mungkin berarti 'l wish you bad luck' (Saya
doakan kamu gagal), karena makna tuturan tersebut dikendalikan oleh PS. Khusus untuk
penerapannya pada bahasa PS menyatakan bahwa manusia pada umumnya lebih senang
mengungkapkan pendapat pendapat yang sopan daripada pendapat-pendapat yang tidak
sopan. Namun pada saat yang sama pada contoh ini juga berlaku kaidah konvensional yang
menyatakan bahwa Good luck! Merupakan tuturan yang mengungkapkan sebuah harapan, yang
tidak dapat diganti begitu saja dengan kata-kata lain yang sama artinya. Demikian juga untuk
menyatakan keprihatinan, ungkapan Bad luck! tidk dapat diganti Misfortune!. Prinsip-prinsip
pragmatik dapat membatasi kemungkinan-kemungkinan gramatikal:

[3] Can you post these letters? Yes, l can.

(Dapatkah kamu mengeposkan surat-surat ini? Ya, saya dapat [melakukannya])

Will she post these letters? Yes, she wil

(Apakah dia akan mengposkan surat-surat ini? Ya, [dia akan melakukannya])

Shall l post these letters? Yes, you shall

(Bolehkah saya mengeposkan surat-surat ini? Ya [kamu boleh])

Dalam kalimat tersebut Shall l berarti 'apakah anda ingin saya...? dan merupakan sebuah
pertanyaan yang sopan, biasanya digunakan untuk menawarkan jasa. Namun jawabannya, you
shall (kamu boleh atau saya ingin), tidak sopan, karena you shall tidak sopan dan bernada
memerintah. Dalam tata bahasa diperlukan 2 tingkatan penjelasan: tingkat konvensional dan
tingkat nonkonvensional. Penjelasan-penjelasan dasar mengenai kaidah kaidah tata bahasa
bersifat konvensional, sedangkan penjelasan-penjelasan Meta gramatikal bersifat non
konvensional. Sebaliknya dalam pragmatik Konvensi hanyalah ciri-ciri yang sekunder, walaupun
ada sedangkan motivasi merupakan Ciri-ciri utama kendala-kendalanya. Misalnya, sebagian
esensi PK Grice ialah, dari segi tujuan tujuan sosial PK mengandung motivasi ekstralinguistik titik
dalam menjelaskan implikatur percakapan, Grice berasumsi bahwa sumbangan penutur pada
sebuah percakapan biasanya sebanyak yang dituntut oleh tujuan dan arah percakapan itu. Ia
menjelaskan bahwa maksim-maksimnya berlaku untuk perilaku nonlinguistik.

Jadi, sopan santun dapat ditunjukkan tidak hanya dalam tuturan, tetapi juga dalam tindakan,
misalnya membukakan pintu bagi seseorang jauh lebih sopan daripada membanting pintu di
hadapan seseorang. Tata bahasa dapat dikatakan juga mengandung motivasi dan motivasi ini
paling tidak sebagian bertolak dari pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Misalnya, tata
bahasa sedikit banyak juga harus disesuaikan pada kebutuhan-kebutuhan tindak ilokusi dan
sekaligus juga harus menaati PK dan PS. Karena itu tidak akan mengherankan bila pada suatu
saat penjelasan mengenai tata bahasa akan lebih banyak lagi didasarkan pada kegunaannya.

Pada ujung skala yang nonkonvensional terdapat ilokusi permohonan tidak langsung misalnya
[4] Sanggupkah kamu memperbaiki arjoli ini?

Dalam konteks yang tepat kalimat dapat ditafsirkan secara pragmatis sebagai suatu
permohonan [Aku ingin tahu apakah kamu mampu memperbaiki arjoli ini, dan kalau memang
dapat aku ingin kamu memperbaikinya]. Namun dari segi tata bahasa kalimat ini tidak
dikhususkan untuk tujuan permohonan. Contoh permohonan yang konvensional sebagai
berikut:

[6] Can you repair this watch? [Dapatkah kamu memperbaiki arjoli ini?

Dilihat dari segi tata bahasa kalimat ini dapat disebut permohonan (dan bukan pertanyaan)
karena dapat dikaitkan dengan unsur-unsur dan struktur struktur yang lebih menyerupai
permohonan dan imperatif dari pada pertanyaan.

[6a] Can you please repair this watch?

(bandingkan Please repair this watch)

[6b] Repair this watch, can you?

(bandingkan Can you repair this watch?)


Pada ujung segala yang paling konvensional terdapat antara lain bentuk-bentuk tata bahasa
seperti misalnya sumpah tegur- sapa (How do you do? [Apa kabar? ], dan kata Please itu sendiri,
yang sekarang sudah tidak dapat dianalisis secara gramatikal lagi dan hanya diperlakukan
sebagai partikel sopan-santun.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas bahwa, dalam seperangkat postulat Representasi semantik


dan interpretasi pragmatik (P1) Representasi semantik berdasarkan logika, sedangkan pragmatik
yaitu berdasarkan interpretasi (penafsiran), kemudian pada kaidah dan prinsip (P2), semantik
diatur oleh kaidah tata kebahasan sedangkan pragmatik umum dikendalikan oleh prinsip
(retoris) yaitu pemilihan kata yang baik oleh si penutur berdasarkan situasi ujar, dan Perbedaan
konvensi dan motivasi pada patokan (P3) Kaidah-kaidah tata bahasa pada dasarnya bersifat
konvensional, prinsip-prinsip pragmatik umum pada dasarnya bersifat nonkonvensional, yaitu
dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan, artinya bahwa tata bahasa pertama-tama bersifat
konvensional, baru kemudian dimotivasi oleh tujuan percakapan : sedangkan pragmatik
pertama-tama dimotivasi oleh tujuan percakapan baru kemudian bersifat konvensional.
3.2 Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan yaitu bahwasanya perlu adanya pemahan
mengenai seperangkat postulat ini berdasarkan pendapat Geoffrey Leech, pada Patokan (P1, P2,
dan P3), karena materi memberikan pemahaman yang luas, memiliki manfaat yang besar
terhadap kehidupan kita sehari-hari, dan bagaimana seharusnya kita berbicara yang sesuai
dengan situasi dan kondisi.

DAFTAR PUSTAKA

Leech, Geoffrey N. 2015. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta:Universitas Indonesia (UI-Press)

Guntur Tarigan, Henry. 2015. Pengajaran Pragmatik. Bandung:Angkasa

Anda mungkin juga menyukai