Anda di halaman 1dari 21

PRESUPOSISI, IMPLIKATUR,

DAN ENTAILMEN

Dosen Pengampu
Noibe Halawa, M,Pd

Disusun Oleh: Kelompok 3


NAMA : Eka Darmansyah Bu‘ulolo (1921224017)
Idaman Sejahtera Tafonae (192124029)
Norma Desta L. Waruwu (192124055)
KELAS/SEMESTER : B/IV
MATA KULIAH : PRAGMATIK BAHASA INDONESIA

INSTITUT KEGURUAN ILMU PENGETAHUAN IKIP GUNUNGSITOLI


FAKULTAS PENDIDIKAN SENI DAN SASTRA (FPBS)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan terimakasih kepada Tuhan yang maha esa, atas segala kasih,
rahmat dan pertolongannya yang tidak bisa kita balaskan. Sehingga dalam penyusunan
makalah kami, yang berjudul ”Presuposisi, Implikatur, dan Entailmen”, ini dapat kami
selesaikan dengan waktu yang sudah ditentukan.

Dengan makalah kami ini, semoga pembaca dapat mengerti dan memahami isi dari
makalah yang telah kami buat. Dan segala kekurangan dalam penyusunannya makalah
kami ini dapat dimaklumi, karna adanya banyak kekurangan, ketidak sempurnaan, serta
kelemahan yang masih jauh dari apa yang diharapkan. Karna itu apabila pembaca
berkenan memberikan saran perbaikan atas penulisan makalah kami, dan untuk itu kami
ucapkan Terimakasih yang sedalam–dalamnya.

Gunungsitoli,19 Maret 2021

Kelompok 3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .....................................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................................2

B. Rumusan Masalah................................................................................................2

C. Tujuan..................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3

A. Pengertian Presuposisi, Semantik Presuposisi.....................................................3

B. Teori Implikatur Dan Hubungan Implikatur Dan Struktur Bahasa....................10

C. Pengertian Entailmen Dan Implikasinya...........................................................15

BAB III PENUTUP.........................................................................................................17

A. Kesimpulan........................................................................................................17

B. Saran..................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini
walaupun kira-kira dua dasawarsa silam ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut
oleh para ahli bahasa (Wijana dan Rohmadi, 2011:6). Pragmatik adalah language in use,
studi terhadap makna ujaran dalam situasi tertentu. Sifat-sifat bahasa dapat dimengerti
melalui pragmatik, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi (Djajasudarma,
2012:71). Leech (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:5-6) pragmatik sebagai cabang ilmu
bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi dengan tatabahasa yang terdiri atas
fonologi, morfologi,sintaksis, dan semantik.

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal,
yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi (Wijana dan
Rohmadi, 2011:4). Yule (2006:4) terdapat empat ruang lingkup yang tercakup dalam
pragmatik, di antaranya adalah: a. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. b.
Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. c. Pragmatik adalah studi tentang
bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. d. Pragmatik
adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Jadi, pragmatik itu menarik karena melibatkan bagaimana orang saling memahami satu
sama lain secara linguistik, tetapi pragmatik dapat juga merupakan ruang lingkup studi yang
mematahkan semangat karena studi ini mengharuskan kita untuk memahami orang lain dan
apa yang ada dalam pikiran mereka.
B. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian dari presuposisi, semantik presuposisi?

b. Apa saja teori implikatur dan hubungan implikatur dan struktur bahasa?

c. Apa pengertian dari entailmen dana aplikasinya?

C. Tujuan

a. Untuk mengetahui lebih jelas pengertian dari presuposisi, semantik presuposisi.

b. Untuk mengetahui apa saja toeri dari implikatur dan hubungan implikatur dan struktur
bahasa.

c. Untuk mengetahui pengertian dari entailmen dan aplikasinya.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Presuposisi (Praanggapan)

Menurut Stalnaker dalam Brown dan Yule (1996:29) Praanggapan adalah apa yang
digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan. Presuposisi adalah
anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang
ditentukan batas-batasnya berdasarkan pengetahuan kita tentang dunia.

Nababan (1987:46) memberikan pengertian bahwa praanggapan sebagai dasar atau


penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang
membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau
penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk
bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.

Louise Cummings (1999:42) menyatakan bahwa praanggapan adalah ansumsi- ansumsi


atau inferensi- inferensi yang tersirat dalam ungkapan- ungkapan linguistik tertentu.

Jadi, praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan
tuturan bahwa apa yang disampaikannya dapat dipahami oleh mitra tuturnya.

a. Jenis-Jenis Praanggapan

Menurut Yule (2006) mengungkapkan dalam analisis tentang bagaimana asumsi-


asumsi penutur diungkapkan secara khusus, Presuposisi sudah diasosiasikan dengan
pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur. Yule menganggap bentuk-bentuk
linguistik ini sebagai petunjuk-petunjuk presuposisi potensial, yang hanya akan menjadi
presuposisi yang sebenarnya dalam konteks dengan penutur.
Presuposisi potensial (potential presupposition) adalah suatu asumsi yang secara
khusus dikaitkan dengan penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan, misalnya penggunaan
kata “menyesal” dalam kalimat “Sofyan menyesal telah melakukan itu” yang mengandung
asumsi bahwa Sofyan sebenarnya melakukan itu.

Presuposisi potensial terbagi menjadi enam jenis yaitu:

1)    Praanggapan Eksistensial

Presuposisi eksistensial (existential presupposition) merupakan presupposisi


yang ada tidak hanya diasumsikan terdapat dalam susunan possesif, tetapi juga lebih
umum atau lebih luas lagi ke dalam frasa nomina tertentu. Praanggapan ini
menunjukkan kepemilikan, tetapi lebih luas lagi keberadaan atau eksistensi dari
pernyataan dalam tuturan tersebut.

Praanggapan eksistensial menunjukkan bagaimana keberadaan atas suatu hal


dapat disampaikan lewat praanggapan. Misalnya pada contoh tuturan berikut.

 Ayah saya memiliki mobil sedan keluaran terbaru.

Praanggapan dalam tuturan tersebut menyatakan kepemilikan, yaitu Ayah saya


memiliki mobil. Apabila ayah saya memang benar memiliki mobil sedan keluaran
terbaru, maka tuturan tersebut dapat dinyatakan keberadaannya.

2)   Praanggapan Faktual

Presuposisi faktual (factive presupposition) muncul dari informasi yang ingin


disampaikan dinyatakan dengan kata-kata yang menunjukkan suatu fakta atau berita yang
diyakini kebenarannya. Kata-kata yang bisa menyatakan fakta dalam tuturan adalah kata
sifat yang dapat memberikan makna pasti dalam tuturan tersebut. Misalnya pada contoh
tuturam berikut.
 Ayu  tidak menyadari bahwa dirinya sakit demam.

Dalam tuturan di atas, praanggapannya adalah Eka sedang sakit. Pernyataan itu
menjadi faktual karena telah disebutkan dalam tuturan. Penggunaan kata “sakit” dari
tuturan “Eka tidak menyadari bahwa dirinya sakit demam” merupakan „kata sifat‟ yang
dapat diyakini kebenarannya.

3)   Praanggapan Non-faktual
Non berarti sesuatu yang bersifat negatif atau bertentangan. Nonfaktual berarti tidak
faktual. Berarti nonfaktual ialah sesuatu yang tidak sesuai kenyataan, atau sesuatu yang
tidak mengandung kebenaran.

Menurut Yule Presuposisi nonfaktual (non-factive presupposition) merupakan suatu


pressuposisi yang diasumsikan tidak benar. Praanggapan ini masih memungkinkan
adanya pemahaman yang salah karena penggunaan kata-kata yang tidak pasti dan masih
ambigu. Misalnya pada contoh tuturan berikut.

 Dia bermimpi bahwa dirinya menang kuis.


Praanggapan yang muncul dari tuturan tersebut adalah dia tidak menang kuis.
Penggunaan tuturan “Dia bermimpi bahwa dirinya menang kuis” bisa memunculkan
praanggapan nonfaktual, karena kalimat tersebut memunculkan praanggapan mengenai
keadaan yang tidak sesuai dengan kenyataannya yaitu memenangkan kuis.

Tuturan tersebut jika dibuat kalimat lain bisa menjadi “andai saja dia menang kuis”
dan kata “andai” merupakan bentuk dari pressupusisi nonfaktual. Selain itu, praanggapan
nonfaktual bisa diasumsikan melalui tuturan yang kebenarannya masih diragukan dengan
fakta yang disampaikan.

4)  Praanggapan Leksikal

Makna leksikal merupakan makna dasar sebuah kata yang sesuai dengan kamus.
Makna dasar ini melekat pada kata dasar sebuah kata. Yule (2006:47) menjelaskan, pada
umumnya di dalam presuposisi leksikal (lexical presupposition), pemakaian suatu bentuk
dengan makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan pressuposisi
bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami. Praanggapan ini merupakan
praanggapan yang didapat melalui tuturan yang diinterpretasikan melalui penegasan
dalam tuturan.

Bedanya dengan presuposisi faktual, tuturan yang merupakan presuposisi leksikal


dinyatakan dengan cara tersirat sehingga penegasan atas praanggapan tuturan tersebut
bisa didapat setelah pernyataan dari tuturan tersebut. Misalnya pada contoh tuturan
berikut.

 Pak Sugeng berhenti kerja.

Praanggapan dari tuturan di atas adalah dulu Pak Sugeng pernah bekerja.
Praanggapan tersebut muncul dengan adanya penggunaan kata “berhenti” dari tuturan
“Pak Sugeng berhenti kerja” yang menyatakan bahwa dulu Pak Sugeng pernah bekerja,
namun sekarang sudah tidak lagi.

5)   Praanggapan Struktural

Presuposisi struktural (struktural presupposition) merupakan struktur kalimat-


kalimat tertentu yang telah dianalisis sebagai pressuposisi secara tetap dan konvensional
bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya (Yule, 2006:49).

Praanggapan struktural merupakan praanggapan yang dinyatakan melalui tuturan


yang strukturnya jelas dan langsung dipahami tanpa melihat kata-kata yang digunakan.
Misalnya pada contoh tuturan berikut.

 Silakan mencoba produk kecantikan tersebut!

Tuturan di atas menunjukkan praanggapan, yaitu ada produk kecantikan.


Praanggapan yang menyatakan „produk kecantikan‟ sebagai obyek yang dibicarakan
dapat dipahami oleh penutur melalui struktur kalimat bertanda seru (di akhir tuturan)
yang menyatakan „ajakan‟. Selain itu terdapat makna „mengapa‟ dalam tuturan “Silakan
mencoba produk kecantikan tersebut” yang bisa saja mengandung makna bahwa jika
mencoba produk kecantikan tersebut kulit akan menjadi cantik, putih, dan lain
sebagainya.

6)  Praanggapan Konterfaktual

Presuposisi konterfaktual (counterfactual presupposition) adalah praanggapan yang


menghasilkan pemahaman yang berkebalikan dari pernyataannya atau kontradiktif.
Misalnya pada contoh tuturan berikut.

 Andaikan aku kaya, pasti akan membeli rumah yang besar.

Dari contoh tuturan di atas, dapat dilihat praanggapan yang muncul adalah sekarang
saya miskin. Praanggapan tersebut muncul dari kontradiksi kalimat dengan adanya
penggunaan tuturan “Andaikan aku kaya”. Penggunaan kata „andaikan‟ membuat
praanggapan yang kontradiktif dari tuturan yang disampaikan.

b.  Bentuk Praanggapan

Praanggapan terdiri dari 2 bentuk yaitu :

1.  Praanggapan Semantik

Praanggapan semantik adalah praanggapan yang dapat ditarik dari pernyataan atau
kalimat melalui leksikon atau kosakatanya.

Contoh :

Bu Lusi tidak jadi berangkat kuliah. Anak bungsunya demam.


Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik praanggapan sebagai berikut:

a.  Bu Lusi seharusnya berangkat kuliah

b.  Bu Lusi mempunyai beberapa anak.

2.  Praanggapan Pragmatik

Praanggapan pragmatik adalah anggapan yang ditarik berdasarkan konteks suatu


kalimat atau pernyataan itu diucapkan. Konteks disini dapat berupa situasi, pembicara,
lokasi dan lain-lain.

Contoh:

“Harganya murah sekali”, sebagai jawaban pertanyaan, ”Berapa harganya?”

Praanggapan tak dapat kita berikan kalau konteksnya tidak kita ketahui karena
mungkin kata “murah” itu berarti “mahal sekali”. Praanggapan adalah sesuatu yang
dijadikan oleh pembicara sebagai dasar pembicaraan.

Untuk melihat perbedaan antara praanggapan semantik dengan praanggapan


pragmatik, dapat dilihat dalam contoh berikut ini.

Suatu hari pak Izhar bertamu ke rumah pak Muntazir. Keduanya bercakap-cakap
sambil merokok dan minum kopi. Ketika sudah habis sebatang rokok, pak Izhar
memegang kotak tempat rokok pak Muntazir dan sambil mengamati kotak kayu yang
sudah kosong itu berkata. Pak Izhar :“ Alangkah bagus kotak rokok ini, dimana pak
Muntazir beli?“ Sambil mencabut dompet yang kempes dari kantongnya, pak Mutazirr
berkata. Pak Munir :“ Kotak itu kubeli bersama dompet ini tempo hari.“ Pak
Izhar :“Oooh“.
Praanggapan semantik kalimat pak Izhar itu adalah: Pak Muntazir telah membeli
sebuah kotak rokok yang bagus. Namun secara pragmatik praanggapan itu tidaklah
demikian. Praanggapan yang telah ditentukan oleh konteks itu adalah sebagai berikut:

1.  Sebenarnya, pak Izhar ingin merokok lagi, tetapi rokok sudah habis terlihat kotak
rokok sudah kosong.

2.  Sebenarnya pak Izhar ingin minta rokok.

Jadi praanggapannya adalah:

a.  Pak Izhar meminta sesuatu.

b.  Pak Izhar mengatakan sesuatu.

Pak Muntazir yang paham akan kalimat pak Izhar, tidak menjawab di mana kotak
rokok itu dibelinya, tetapi menunjukkan isi dompetnya yang lagi kempes, yang berarti
lagi tidak punya uang.

Jadi praanggapannya adalah: Pak Muntazir mengatakan tentang uang. Dari uraian
contoh tersebut jelas bahwa sangat berbeda antara praanggapan semantik dengan
praanggapan pragmatik.

B. Teori Implikatur Dan Hubungan Implikatur Dan Truktur Bahasa

Implikatur merupakan salah satu aspek kajian yang penting atau mungkin yang paling
penting dalam studi kebahasaan yang berbau pragmatik (Wijana dan Rohmadi, 2011:120).
Yule (2006:62) mengemukakan bahwa implikatur adalah contoh utama dari banyaknya
informasi yang disampaikan dari pada yang dikatakan. Djajasudarma (2012:77) implikatur
adalah makna tambahan yang tersirat, yang harus dipertahankan bila prinsip kerja sama.
Berdasarkan beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur adalah
penafsiran yang tidak langsung atau dengan kata lain makna tuturan yang sering
disembunyikan agar hal yang diimplikasikan tidak nampak terlalu mencolok.
Grice (dalam Rohmadi, 2010:60) menyatakan implikatur dibedakan menjadi dua, yaitu
implikatur konvensional dan nonkonvensional.

a. Implikatur Konvensional

Implikatur konvensional adalah makna suatu ujaran yang secara konvensional atau
secara umum diterima oleh masyarakat.

Contohnya:

(1) Sebagai orang Jawa tentunya ia akan bertindak dengan sopan, penuh pengertian,
dan tidak suka menonjolkan diri.

Implikatur konvensional pada contoh (1) di atas sering disebut dengan prinsip kerja
sama, dan pada prakteknya prinsip ini berpegang pada empat maksim yang dikemukakan
Grace, yaitu maksim kualitas, kuantitas, relevansi, dan pelaksanaan atau cara.

b. Implikatur Nonkonvensional

Implikatur nonkonvensional adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang


berbeda dengan yang sebenarnya. Sebagai contoh, seorang ibu yang menyuruh anak
gadisnya untuk membuatkan minum ayahnya cukup diimplikasikan sebagai berikut:

(2) + Yul, air yang direbus di dapur sudah mendidih.

- Ya bu, Bapak kopi atau susu?

Dari ilustrasi contoh (2) di atas informasi yang diberikan ibu kepada anaknya
sekaligus menyiratkan perintah untuk membuatkan minum ayahnya, dan sang anak dapat
mengerti implikasi yang diberikan oleh ibunya. Menurut Levinson (dalam Mulyana,
2005:13) keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan
antara lain untuk:

1) Memberi penjelasan fungsional atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau


oleh teori-teori linguistik struktural.

2) Menjembatani proses komunikasi antar penutur.

3) Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan


pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara
lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud.

4) Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa,


meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama.

5) Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara
lahiriah tidak berkaitan.

 Implikatur Percakapan

Implikatur percakapan hakikatnya merupakan konsep yang sangat penting dalam


pragmatik. Implikatur percakapan menunjuk pada maksud dari suatu ucapan. Rohmadi
(2010:9) menyatakan bahwa implikatur percakapan dapat dibedakan atas apa yang
diucapkan dan apa yang diimplikasikan oleh ucapan tersebut.

Levinson (1997:119) menyatakan empat ciri utama dari suatu implik atur
percakapan, yakni: (1) cancellability, maksudnya sebuah kesimpulan yang tidak mungkin
bisa ditarik jika ada kemungkinan untuk menggagalkannya dengan cara menambah
beberapa premis/alasan tambahan pada premis-premis asli; (2) non-detachability, adalah
implikatur dilekatkan pada isi semantic dari apa yang dituturkan, tidak pada bentuk
linguistik, maka implikatur tidak dapat dipisahkan dari suatu tuturan; (3) calculability,
dimaksudkan untuk setiap implikatur yang diduga harus memungkinkan untuk menyusun
suatu argumen yang menunjukkan bahwa makna harfiah suatu tuturan dipadu dengan
prinsip kerja sama dan maksim-maksimnya; (4) non-conventionality, artinya untuk
mengetahui makna harfiah, dapat diduga implikaturnya dalam suatu konteks, implikatur
tidak dapat sebagai bagian dari makna.

Menurut Grice (Mudjiono, 1996:32-33) ada tiga jenis implikatur percakapan yakni:
implikatur konvensional, praanggapan, dan implikatur nonkonvensional. Implikatur
konvensional lebih mengacu pada makna kata secara konvensional, makna percakapan
ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang digunakan. Implikatur praanggapan,
lebih mengacu pada suatu pengetahuan bersama antarapenutur dan mitra tutur.
Implikatur nonkonvensional, merupakan suatu implikatur yang lebih mendasarkan
maknanya pada suatu konteks yang melingkupi suatu percakapan.

Ada beberapa hal hubungan implikatur dan struktur bahasa dalam pragmatik yaitu:

1. Ungkapan “Inggih”

Masyarakat tutur Jawa mengenal adanya tingkat tutur dalam berbahasa Jawa. Unggah-
ungguh atau tingkatan tutur dalam bahasa Jawa ialah ngoko, krama, madya, krama inggil,
dan krama andhap (Poedjasoedharmo dalam Rohmadi dan Hartono, 2011:86). Salah satu
kosakata yang termasuk golongan krama adalah “inggih”. Basa krama sebagai istilah
dalam bahasa Jawa yang dapat disejajarkan dengan tingkat tutur krama.

Basa krama yaitu bahasa yang dipergunakan untuk bercakapcakap dengan orang lain,
dengan menggunakan pertimbangan agar orang yang diajak berbicara merasa enak.
Pernyataan “untuk bercakap-cakap dengan orang lain” mengisyaratkan adanya fungsi
komunikatif.
Pernyataan “agar orang yang diajak berbicara merasa enak” mengisyaratkan adanya
sebuah tujuan. Bentuk krama merupakan wujud kebahasaan yang mencerminkan rasa
hormat antara penutur dengan mitra tuturnya (Dwiraharjo, 2001:153). Pencerminan “rasa
hormat” ini dapat dipandang sebagai fungsi utama bentuk krama.
2. Tindak Tutur

Chaer (dalam Rohmadi, 2010:32) tindak tutur (speech act) adalah gejala individual
yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si
penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Menurut Austin (dalam Chaer, 2010:27)
tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif dirumuskan sebagai tiga
buah tindakan yang berbeda, yaitu:

a. Tindak Lokusi Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu
sebagaimana adanya atau The act of Saying Something tindakan untuk
mengatakansesuatu.

b. Tindak Tutur Ilokusi Tindak tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga
menyatakan tindakan melakukan sesuatu. Oleh karena itu tindak tutur ilokusi ini
disebut The Act of Doing Something (tindakan melakukan sesuatu).

c. Tindak Tutur Perlokusi Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang
mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar
tuturan itu.

Apabila ada hubungan langsung antara struktur dengan fungsi, maka terdapat suatu
tindak tutur langsung. Dan apabila ada hubungan tidak langsung antara struktur dengan
fungsi, maka terdapat satu tindak tutur tidak langsung.

Jadi bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan disebut tindak
tutur langsung, sedangkan bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu
permohonan disebut tindak tutur tidak langsung (Yule, 2006:95-96).
3. Kesatuan

Brown dan Levinson (dalam Chaer, 2010:49) teori kesantunan berbahasa itu berkisar
atas nosi muka (face). Semua orang yang rasional punya muka (dalam arti kiasan
tentunya); dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan
dalam bahasa Indonesia seperti kehilangan muka, menyelamatkan muka, dan mukanya
jatuh, mungkin lebih bisa menjelaskan konsep muka dalam kesantunan berbahasa. Muka
ini harus dijaga, tidak boleh direndahkan orang lain.

Fraser (dalam Chaer, 2010:47) kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan
tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak
melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya.
Penghormatan adalah bagian dari aktivitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk
menyatakan penghargaan secara regular.

Jadi, berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kesantunan adalah
suatu tindakan untuk menghormati mitra tutur dengan cara tidak melampaui hak-hak dan
tidak mengingkari pemenuhan kewajiban.

4. Prinsip Sopan Santun

Allan (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:43) di dalam berbicara, penutur dan lawan
tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya,
penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terdapat tindakan dan ucapan lawan
tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggungjawab terhadap tindakan dan
penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu.

Sebelum membicarakan lebih jauh keenam maksim sopan santun ada baiknya terlebih
dahulu diterangkan mengenai bentuk-bentuk ujaran yang digunakan dalam
mengekspresikan maksim-maksim tersebut. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk
ujaran impositif, komisitif, ekspresif, dan asertif.
Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji
atau penawaran. Ujaran imposif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah
atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap
psikologis pembicara terhadap suatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim
digunakan untuk menyatakan kebenaran proporsisi yang diungkap (dalam Wijana dan
Rohmadi, 2011:54).

C. Pengertian Entailmen Dan Aplikasinya

Tujuan utama berbahasa baik lisan maupun tertulis adalah untuk menyampaikan
pesan. Penyampaian terserbut dikemas dalam bentuk bahasa yang terdiri dari kata, kata-
kata, sampai dengan kalimat. Kalimatnya bisa satu atau lebih. Jika lebih dari satu maka
makna yang dikandung di dalamnya tentu saling berkaitan.

Dalam semantik makna yang saling berkaitan tersebut dikaji dalam bidang entailment.
Dengan kata lain entailment adalah hubungan makna antarkalimat. Dalam pragmatic
entailment merupakan hubungan dua kalimat yang kebenaran kalimat pertama dipengaruhi
oleh kebenaran kalimat kedua. Jika pernyataan kalimat  A, benar B harus benar juga.

Berbeda dengan implikatur yang menunjukkan bahwa hubungan antara tuturan dan
maksudnya tidak bersifat mutlak, misalnya seperti tercermin dalam relasi tuturan lawan
tutur dan penutur dalam kalimat,tersebut, pertalian antara penutur dan lawan tutur dalam
kalimat berikut ternyata bersifat mutlak. Hubungan antara tuturan dan maksudnya yang
bersifat mutlak ini disebut entailment.

Parto : Badu menggoreng ikan.


Eko : Badu memasak ikan.

Tuturan Eko dalam kalimat merupakan bagian atau konsekuensi mutlak (necessary
sequence) dari tuturan Parto, karena menggoreng secara mutlak berarti memasak.
Sehubungan dengan kalimat itu, maka kalimat berikut tidak dapat diterima.
(1) Walaupun Badu menggoreng ikan, tetapi ia tidak memasaknya.

Yang benar adalah jika Badu menggoreng ikan tentu ia harus memasak ikan itu,
karena menggoreng adalah salah satu cara memasak ikan. Contoh lainnya dapat dilihat
dalam kalimat berikut.
Dewi : Desi Ratnasari seorang janda.
Ani : Desi Ratnasari pernah memiliki suami.
Dewi : Anaknya seorang sarjana.
Ani : Anaknya pernah kuliah di perguruan tinggi.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
kajian pragmatik juga merupakan bagian penting dalam mempelajari ilmu linguistik,
karena dalam berkomunikasi dengan orang lain, setiap orang harus memperhatikan ucapan
atau tuturannya sehingga tuturan tersebut tidak menyakiti perasaan orang lain. Selain itu,
ketika berkomunikasi dengan orang lain, ada hal-hal yang harus diperhatikan. Seperti,
situasi dan hubungan yang ada antara penutur dan mitra tutur.
Dari setiap strategi yang digunakan oleh penutur dapat membuat mitra tutur mengerti
bahwa mitra tutur harus melakukan setiap yang disuruhkan kepadanya. Dari strategi yang
digunakan oleh penutur, penutur berhasil membuat mitra tuturnya mengerti bahwa penutur
ingin mitra tutur melakukan sesuatu untuknya.
B. Saran
Banyak hal-hal yang menarik ketika mempelajari ilmu pragmatik karena banyak aspek-
aspek yang mempengaruhi sebuah tuturan. Dalam ilmu pragmatik, bukan hanya tindak tutur
menyuruh saja yang dapat dianalisis, namun masih banyak bentuk lain seperti memohon,
melarang, meminta maaf, mengajak, dan menyarankan.
Dalam kesemuanya itu harus dihubungkan kembali dengan strategi kesantunan dan
faktor penentu tingkat kesantunan tuturan dalam Bahasa Jepang. Selain itu, pemilihan
korpus data juga berpengaruh pada hasil analisis. Korpus data yang digunakan penulis ialah
anime bergenre detektif sehingga hasil dari analisis menunjukkan lebih banyak strategi bald
on record yang digunakan penutur ketika menyuruh mitra tutur.
DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud: 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahardi, Kunjana: 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:


Penerbit Erlangga

Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia, Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif.


Yogyakarta: CV Karyono.

Tarigan, Henry Guntur. 1982. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Percetakan Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai