Anda di halaman 1dari 15

46

BAHAN KAJIAN : AGAMA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI


Minggu ke : 14

Learning Outcome ( Capaian Pembelajaran ) :


1. Mahasiswa dapat menjelaskan agama atau religi dalam perspektif antropologi.

MATERI

AGAMA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Pengertian Agama
Agama secara mendasar merupakan seperangkat aturan yang mengatur kehidupan
manusia di dunia. Aturan untuk mengatur kehidupan di dunia itu diyakini sebagai aturan yang
suci atau sakral dan menjadi keyakinan yang sulit untuk dibantah. Dengan adanya aturan
sekaligus berisikan sanksi apabila penganutnya melakukan pelanggaran. Agama selalu
berhubungan dengan alam gaib atau supernatural dan memberikan penjelasan mengenai
segala sesuatu setelah kematian. Aturan mengenai kehidupan di dunia ini merupakan aturan
suci yang diyakini penganutnya berasal dari wahyu atau titah Tuhan yang diturunkan melalui
malaikat dan nabinya atau juga bisa berasal dari orang-orang yang juga diyakini orang banyak
memiliki kelebihan secara spiritual atau kesucian yang kemudian menyebarkan ke individu-
individu berpengaruh dan kemudian menyebar ke tengah-tengah masyarakat. Dalam
pernyataan lain dapat dikatakan agama juga bisa berasal dari sesuatu yang dianggap gaib yang
diterima seseorang Mahasiswa dapat menjelaskan agama atau religi dalam perspektif
antropologi 2 dan kemudian disebarkan ke orang lain sehingga menjadi keyakinan dan
dipraktekkan oleh banyak orang. Mengenai asal usul agama ini yang kemudian oleh banyak
ahli bisa menjadi pembeda antara satu agama dengan agama lainnya, yang akan diulas pada
bagian selanjutnya dari hand out ini.
47

Banyak ahli telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan agama. Durkheim menyatakan
agama (religion) ...is a unfied system of beliefs and practices relative to sacred things, that is
to say, things set apart and forbidden – beliefs ang practices which unite into one single moral
community called a church, all those to adhare to them (agama adalah kesatuan kepercayaan
dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan
terlarang – kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang yang menganut
dan meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja).1 Defenisi
ini boleh dikatakan dilihat hanya dari sisi satu kelompok penganut agama tertentu saja.
Namun defenisi ini telah memberikan beberapa poin penting dari sebuah agama berupa
praktek atau aktivitas sakral atau dianggap suci yang tentu saja dengan keyakinan tertentu
serta dilakukan di dalam kelompok.
Geertz menyatakan agama adalah..(1) a system of symbols which acts to (2) establish
powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating
conceptions of a general order of existence and (4) clothing this conceptions wiuth such an
aura of factuality that (5) the moods and motivations seen uniquely realistic2 [(1) sebuah
sistem simbol-simbol yang (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat,
yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-
konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini
dengan semacam pencaharian faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasimotivasi itu
tampak khas realistis]. Defenisi ini menjelaskan agama dari perlakuan manusia melalui
seperangkat simbol yang merupakan ekspresi dari motivasi dan suasana hati.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa agama merupakan
seperangkat aturan yang dijalankan untuk mengatur kehidupan manusia sebagai individu dan
anggota masyarakat, yang menjadi petunjuk mengenai kehidupan manusia dan penjelasan
akan sesuatu yang dianggap sakral. Oleh karena adanya petunjuk yang sakral maka juga
terdapat pantangan dan larangan yang diberikan kepada manusia. Di dalam banyak
masyarakat agama memberikan argumentasi religius mengenai asal usul manusia, bagaimana
dan untuk apa hidup di dunia, masa depan yang akan dihadapi dan kemana manusia setelah
kematiannya. Penjelasan-penjelasan inilah yang berupa aturan atau petunjuk dan sekaligus
sebagai larangan yang tidak bisa dibantah.
48

Untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai agama, penjelasan dari ciri-
cirinya seperti yang pernah diberikan oleh Durkheim yang kemudian juga dipakai oleh
Koentjaraningrat dikutip di sini sebagai berikut. Dalam penjelasan ini agama terdiri dari
empat komponen, sebagai berikut. 1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu
bersikap religieus; 2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural); serta segala
nilai, norma serta ajaran dari religi yang bersangkutan. 3. Sistem ritus dan upacara yang
merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau
makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib; 4. Umat atau kesatuan sosial yang
menganut sistem keyakinan tersebut dalam sub 2, dan yang melaksanakan sistem ritus dan
upacara tersebut di dalam sub 3.3 Penjelasan ciri-ciri agama tersebut di dalam tulisan ini
masih perlu ditambahkan satu lagi ciri dari agama yaitu; setiap agama pada umumnya
mengajarkan kebenaran yang suci, karena dengan kebenaran yang suci ini melahirkan
keyakinan yang kuat dari kesatuan sosial/ ummat/ masyarakat/ jamaah/ jemaat/ pengikut dari
suatu agama tersebut. Dengan keyakinan inilah suatu agama bisa bertahan karena diyakini
kebenaran yang diajarkan di dalam agama tersebut kepada pengikutnya. Keyakinan kepada
kebenaran yang diajarkan inilah yang kemudian menjadi dogma yang kuat dan bertahan lama
atau pervasif seperti dinyatakan oleh Geertz.
Agama, Perspektif Antropologis
Seringkali diperdebatkan, apakah agama sebagai bagian atau suatu pranata dari
kebudayaan tertentu atau justru kebudayaanlah yang ditentukan oleh agama. Dari sudut
pandang sebagai seorang yang beragama dan dengan keyakinan agamanya maka pastilah
agama yang menentukan, karena manusia hidup di dunia dianjurkan untuk berusaha dan
Tuhanlah yang menentukan. Pendapat ini tidaklah salah sebagai seorang yang beragama.
Antropologi agama atau antropologi religi sebagai sebuah spesialisasi yang berkembang di
dalam antropologi yang mempelajari mengenai bagaimana agama diyakini, dijalankan atau
dipraktekkan di dalam masyarakat. Umumnya antropolog menyatakan bahwa agama
(religion) merupakan sebuah pranata seperti banyak pranata lainnya di dalam sebuah
kebudayaan atau suatu masyarakat. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan, berikut ini
penjelasannya.
49

Agama sebagai pranata tidaklah sama dengan agama sebagai sebuah keyakinan yang
menjadi milik anggota masyarakat. Pranata merupakan suatu aturan yang digunakan untuk
mengatur manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan khusus tertentu. Kebutuhan manusia
dibagi menjadi tiga oleh Malinowski, yaitu kebutuhan biologis, psikologis dan adap-integratif.
Agama atau religi sebagai pranata adalah dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan
psikologis, terhadap ketenangan jiwa dan untuk menjelaskan segala sesuatu dengan
keyakinan, yang tidak dapat dijelaskan secara rasional atau oleh akal manusia.4 Agama yang
dipelajari di dalam antropologi adalah fenomena religius yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Fenomena religius yang mana? Jawaban pertanyaan ini mengacu kepada semua
fenomena atau aktivitas religius yang terdapat di dalam masyarakat, apakah yang berasal di
dari fenomena agama tradisional yang dilakukan untuk kepentingan tertentu seperti santet,
voodoo, penyembahan kepada arwah leluhur, agama tradisional seperti arat sabulungan di
Mentawai ataupun fenomena religius yang dilakukan oleh ummat Islam, Katolik maupun
Hindu yang khas di daerah tertentu.
Agama sebagai pranata adalah agama yang diyakini, diajarkan, dijalankan atau
dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat. Ini berbeda dengan agama di dalam teks sucinya
atau alkitab seperti Al Qur’an, Injil, Taurat, Zabur atau kitab Weda, Tripitaka yang sudah
dituliskan di dalam agama-agama tradisi besar di dunia. Teks-teks suci ini diyakini oleh
penganut agama tersebut sebagai sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah, yang berasal
dari Tuhan. Kitab-kitab ini bukanlah produk kebudayaan, bukan pranata. Agama menjadi
pranta adalah agama yang diyakini, dijalankan atau dipraktekkan itu yang bisa berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya walaupun masing-masing sama menganut agama
yang sama. Artinya orang Betawi di Jawa bisa mempraktekkan atau menjalankan agama
Islam secara berbeda dengan orang Minangkabau yang juga Islam. Bahkan, di daerah tertentu
di Sumatera Barat saja, praktek agama Islam bisa berbeda-beda. Keyakinan keagamaan
mereka ternyata ada yang berbeda, padahal sama-sama mempunyai kitab suci yang sama.
Mengapa hal ini terjadi ?
Proses turunnya dan tersebarnya agama sehingga menjadi keyakinan sampai ke tengah-
tengah masyarakat adalah melalui proses-proses sosial budaya yang panjang. Suparlan
menyatakan bahwa “kita menjadi umat beragama (manusia pada umumnya) adalah melalui
proses transmisi kebudayaan, yaitu dengan melalui (1) pengalaman dan (2) belajar secara
50

instruksional dalam kehidupan sosial kita.“ 5Agama-agama tradisi besar yang diyakini berasal
dari wahyu diturunkan Tuhan melalui malaikatnya, lalu disampaikan kepada Nabi atau
Rasullullah. Dari Nabi kepada anggota keluarganya, kepada sahabat-sahabatnya, dan dari para
sahabat ini diteruskan kepada kepada anggota keluarganya kerabatnya dan seterusnya. Proses
ini berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun melalui banyak masyarakat dengan kebudayaan
yang berbeda. Walaupun kitab suci itu diyakini tidak berubah – walaupun di dalam agama
tertentu ada beberapa versi kitab sucinya – tetapi di dalam masyarakat penganut agama
tersebut bisa saja terjadi perbedaan-perbedaan di dalam agama yang bersangkutan. Mengapa
ini terjadi? Jawabannya adalah karena telah terjadi proses penafsiran atau interpretasi yang
berbeda dari teks suci yang sama, baik oleh para tokoh agama atau oleh anggota
masyarakatnya. Inilah yang disebut dengan agama melalui proses sosial budaya atau transmisi
kebudayaan. Proses ini kemudian melahirkan banyak sekte atau disebut aliran agama di dalam
masyarakat. Sekte-sekta keaagamaan ini lahir di dalam setiap agama tradisi besar, karena
proses sosial budaya yang panjang berlangsung dan pemberian penafsiran dari teks suci yang
sama secara berbeda, yang melahirkan keyakinan dan praktek keagamaan yang berbeda pula.
Sebagai contoh kasus, pelaksanaan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha yang diketahui
secara umum dilakukan dua rakaat dengan tujuh takbir setelah takbirartul ikhram di rakaat
pertama dan lima takbir setelah takbir bangkit dari sujud, tetapi di sebuah kelurahan di Depok
di antara orang Betawi yang pernah penulis ikuti malah terjadi sembilan takbir di rakaat
pertama dan tujuh takbir di rakaat kedua. Contoh lainnya juga di dalam masyarakat Betawi di
Depok, di dalam menghadapi kematian seorang perempuan muda yang belum menikah
disediakan dua karung besar beras di masjid untuk diserahkan kepada yang berhak menerima.
Dua karung beras tersebut adalah sebagai pengganti sholat dan puasa almarhum sewaktu
hidup yang tidak bisa dilakukannya baik karena terhalang oleh menstruasi atau oleh sebab
lainnya, sehingga diganti pada waktu jenazah belum dikuburkan. Ini diucapkan oleh seorang
tokoh masyarakat di hadapan orang banyak pada saat dua karung beras tersebut akan
diserahkan. Padahal di dalam ajaran Islam dinyatakan bahwa terputuslah hubungan seorang
yang meninggal dengan orang yang masih hidup kecuali tiga amalan yang dilakukan seperti
ilmu yang bermanfaat yang telah diajarkan, sedekah jariah dan doa dari anak yang saleh dari
almarhum, tentu saja bagi mereka yang sudah punya anak. Dua contoh di atas menunjukkan
telah terjadi perbedaan interpretasi dari agama yang sama sehingga dijalankan secara berbeda.
51

Bentuk keyakinan dan praktek keagamaan bisa saja berbeda dari kesamaan kitab suci yang
dimiliki inilah yang dimaksudkan dengan agama sebagai pranata. Di samping itu aktivitas
keagamaan yang sudah terpola atau sudah lama dan tetap dijalankan di dalam masyarakat
seperti ritual perdukunan juga merupakan bagian dari aktivitas atau pranata keagamaan
tradisional. Agama sebagai pranata inilah yang menjadi lapangan studi antropologi agama/
religi, yang disebut Geertz dengan agama sebagai sistem budaya.
52

Bahan kajian : KEBUDAYAAN, MASYARAKAT DAN AGAMA


Minggu ke : 15

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):


1. Mahasiswa dapat menjelaskan persamaan dan perbedaan agama dengan kebudayaan.

MATERI
KEBUDAYAAN, MASYARAKAT DAN AGAMA
Kebudayaan

Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia dengan kebudayaannya.


Studi kebudayaan ini menjadi perkembangan yang pesat dari antropologi di dunia.
Antropologi agama atau religi tidak bisa lepas dari kebudayaan, karena sebagaimana telah
dijelaskan pada bagian pertama bahwa secara antropologi agama merupakan sebuah pranata
di dalam masyarakat. Apa yang dimaksudkan dengan kebudayaan itu haruslah jelas, karena
sangat banyak defenisi yang bisa saja saling bertolak belakang.
Dari banyak ahli antropologi mendefenisikan kebudayaan dari berbagai sudut pandang
yang berbeda. Perbedaan sudut pandang ini bahkan melahirkan perbedaan aliran di
antropologi budaya. Secara sederhana perbedaan defenisi kebudayaan yang sangat banyak itu
dapat dikelompokkan menjadi tujuh. Pertama, kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, ide-
ide, resep-resep, tata kelakuan yang bersifat abstrak, atau pola bagi yang terdapat di dalam
sistem pengetahuan individu-individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan inilah yang menjadi landasan dari munculnya tindakan atau kelakuan
yang menghasilkan pola-pola yang dapat diamati dan dasar dari kemampuan manusia untuk
menghasilkan sesuatu. Contoh defenisi kebudayaan pada level ini seperti dari Spradley yang
menyatakan kebudayaan merupakan serangkaian aturan, petunjuk, resep, rencana dan strategi,
yang terdiri dari serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia
yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya.6 Keesing dan Keesing
menyatakan kebudayaan adalah pola-pola bagi kelakuan manusia. Kuper mendefenisikan
kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia
53

dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok. Havilland
menyatakan kebudayaan sebagai seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh
para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan
perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua anggota masyarakat. Parsudi
Suparlan seorang antropolog Indonesia menyatakan kebudayaan sebagai keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan
menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi landasan bagi tingkah
lakunya.
Kedua, kebudayaan sebagai aktivitas, kelakuan, tindakan atau adat istiadat yang
nampak dari setiap sukubangsa. Defenisi kebudayaan pada level ini hanya memahami
kebudayaan pada tahap perilaku atau tingkah laku yang dapat diobservasi dan direkam.
Contoh kebudayaan pada bagian ini adalah dari Kluckhohn yang mengatakan bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang
diperoleh dan diturunkan melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang
khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.
Ketiga, defenisi kebudayaan pada level benda atau hasil karya manusia. Dalam hal ini
kebudayaan dipahami hanya sebagai benda-benda. Defenisi pada bagian ini sebagai contoh
adalah dari Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi yang menyatakan kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. defenisi ini sangat umum di Indonesia, karena
diajarkan berulangulang di SLTP atau SLTA karena tercatat di buku paket sosiologi atau
antropologi.
Defenisi yang kedua dan ketiga ini merupakan defenisi kebudayaan yang tangible,
yaitu defenisi kebudayaan yang dapat dilihat atau dirasakan. Sedangkan defenisi yang pertama
merupakan defenisi kebudayaan yang tidak dapat dilihat, karena berada di dalam sistem
pengetahuan. Koentjaraningrat sebagai antropolog Indonesia pernah memberi defenisi yang
justru mencakup kepada ketiga kelompok defenisi, yang material dan non material tersebut.
Oleh karena itu defenisi Koentjaraningrat dapat dikategorikan sebagai kelompok atau kategori
keempat dari banyaknya defenisi kebudayaan tersebut. Di samping itu defenisi kelompok
kelima adalah defenisi kebudayaan yang pengertiannya termasuk dapat dikelompokkan baik
pada tataran ide maupun pada tataran tindakan. Sebagai contoh defenisi dari Robert H. Lowie
yang menyatakan Sebagai contoh defenisi dari seorang antropologi Amerika Robert H. Lowie
54

yang menyatakan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang diperoleh individu dari
masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan,
keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa
lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal. Selanjutnya, keenam adalah
defenisi yang menggabungkan pada tataran tindakan dan benda seperti oleh Ralp Linton yang
menyatakan kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan hasil tingkah laku, yang
unsur-unsur pembentukannya didukung oleh anggota masyarakat tertentu. Ketujuh, adalah
defenisi yang menggabungkan tataran ide dan benda.
Banyaknya defenisi kebudayaan ini tidaklah menjadi persoalan, tergantung kepada
para ahli memahaminya. Dalam antropologi agama kebudayaan dipahami berada pada tataran
ide atau tata kelakuan, bukan pada kelakuan atau pada benda, karena kelakuan dan benda
yang dihasilkan manusia pada dasarnya merupakan hasil pemikiran manusia itu. Tidak ada
tindakan atau kelakuan dan benda sebelum dipikirkan oleh manusia yang melakukan atau
yang membuatnya. Aktivitas keagamaan sebagai salah satu ciri agama merupakan perwujudan
atau perilaku keagamaan yang dihasilkan dari pemikiran masyarakat atau kelompok
keagamaan tersebut.
Setiap kebudayaan berisi aturan dan sanksi, status dan peran, hak dan kewajiban serta
world view atau pandangan hidup. Isi kebudayaan berupa aturan dan sanksi inilah yang
menentukan dan menetapkan segala sesuatu bagi pendukung kebudayaan tersebut. Aturan dan
sanksi menentukan bagaimana seseorang berperilaku atau bertindak di tengah-tengah
masyarakatnya. Jika dia dinilai oleh masyarakatnya berbuat salah maka diberikan sanksi
kepada sesuai dengan aturan yang sudah disepakati di dalam masyarakat tersebut. Keteraturan
di dalam masyarakat justru terjadi karena adanya aturan, yang secara tradisional sudah ada di
dalam setiap kebudayaan sukubangsa. Dengan status seseorang menjalankan perannya di
tengah-tengah masyarakat, juga sekaligus menjalankan aturan yang sudah ditetapkan sesuai
dengan statusnya tersebut. Isi kebudayaan sebagai pandangan hidup atau world view adalah
“berupa nilai-nilai dan ide-ide tentang prinsip-prinsip hidup dan kehidupan itu sendiri.
Kebudayaan itu pada hakekatnya ada pada dan dipunyai oleh individu-individu atau oleh para
anggota masyarakat; dan bukannya oleh masyarakat tanpa memperhatikan individunya, yang
sebenarnya menjadi pemilik dan yang menggunakan kebudayaan tersebut dalam
kehidupannya.”
55

Melalui isi kebudayaan yang dipahami oleh masing-masing anggota masyarakat ini
kemudian menjadi pedoman di dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Inilah yang
dikatakan kebudayaan sebagai petunjuk, atau resep-resep. Pengetahuan kebudayaan yang
dimiliki menjadi pedoman dan pegangan bagi pemahaman dari model-model pengetahuan
yang dikembangkan di dalam menghadapi lingkungan, termasuk bagaimana individu di dalam
masyarakat menerima pengetahuan keagamaan yang kemudian diyakininya.
Masyarakat
Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, artinya setiap individu selalu menjadi bagian
dari kelompok sosial yang melingkupinya dan dia menjadi bagian dari kelompok sosial itu.
Tidak ada seorangpun yang mampu hidup bertahan lama tanpa bantuan orang lain, walupun
pada kasus-kasus tertentu seseorang bisa saja hidup dalam jangka waktu tertentu dengan
bantuan binatang. Dengan menjadi bagian dari masyarakat individu dapat menunjukkan
eksistensinya, memainkan peran sesuai dengan statusnya. Sebagai makhluk sosial manusia
membentuk kelompok yang terbesar di antaranya adalah masyarakat.
Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu satuan kehidupan sosial manusia yang
menempati suatu wilayah tertentu; yang keteraturan dalam kehidupan sosial tersebut telah
dimungkinkan karena adanya seperangkat pranatapranata sosial yang telah menjadi tradisi dan
kebudayaan yang mereka miliki bersama.9 Sedangkan pranata dapat diartikan sebagai
seperangkat aturan yang mengatur manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup
tertentu. Di dalam masyarakat terdapat banyak pranata sesuai dengan perkembangan
masyarakat tersebut, karena semakin maju sebuah masyarakat maka semakin meningkat
jumlah kebutuhannya. Maka pranata-pranata baru akan muncul dengan sendirinya untuk
mengatur dan menciptakan keteraturan di tengah-tengah masyarakat tersebut. Apabila pranata
ada maka sekaligus tumbuh lembaga baru sebagai wadah dari pranata tersebut.
Telah umum diketahui bahwa tujuh unsur kebudayaan universal ada setiap masyarakat,
tetapi dari tujuh unsur kebudayaan tersebut berkembang dan melahirkan banyak pranata baru
karena kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sebagai contoh, keluarga merupakan
pranata sekaligus lembaga untuk memperoleh kasih sayang, prokreasi, dan mendidik anak.
Suami yang bekerja di luar rumah tangga menyebabkan anak-anak diasuh oleh ibu atau isteri
di rumah.
56

Sekarang suami isteri bekerja di areal publik, sehingga muncullah pranata baru berupa
pranata pengasuhan dan mendidik anak terutama balita, yang tidak dapat dilakukan seorang
ibu sewaktu sedang bekerja. Maka muncullah apa tempat penitipan anak dan balita selama ibu
bekerja, sebagai sebuah lembaga baru. Bahkan di Jakarta bahkan telah lahir pekerjaan baru
sehubungan dengan penitipan anak ini, yaitu petugas yang menjemput dan mengantarkan air
susu ibu untuk bayi yang dititipkan di lembaga penitipan anak. Sehubungan dengan itu
beberapa kantor perusahaan swasta telah menyediakan satu ruangan khusus di kantornya
khusus untuk karyawan ibu-ibu yang sudah melahirkan untuk dapat mengambil air susu ibu,
dan ruangan itupun telah disediakan lemari pendingin untuk menyimpan susu ibu. Petugas
yang akan mengantarkan air susu ibu inipun memiliki wadah penyimpanan yang menjamin air
susu ibu tetap segar dan dapat dihangatkan sampai di tempat penitipan anak.
Agama
Agama dapat diartikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur
hubungan manusia dengan lingkungannya. Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan
sistem-sistem nilai, karena pada dasarnya aturan-aturan tersebut bersumber pada etos dan
pandangan hidup. Karena itu juga, aturan-aturan dan peraturan-peraturan yang ada dalam
agama lebih menekankan kepada hal-hal yang normatif atau yang seharusnya dan sebaiknya
dilakukan, bukannya berisikan petunjuk-petunjuk yang sifatnya praktis dan tehnis dalam hal
manusia menghadapi lingkungannya dan sesamanya.
Sebagai seperangkat aturan maka agama merupakan salah satu pranata di dalam
masyarakat. Agama merupakan pranata atau unsur kebudayaan yang penting dan paling sulit
mengalami perubahan, bahkan bisa dikatakan tidak mengalami perubahan, karena agama
berisikan aturan yang diyakini oleh penganutnya. Apabila terjadi perubahan di dalam
keyakinan agama oleh kelompok tertentu, sepanjang tidak berhubungan dengan keyakinan
yang paling prinsip maka kelompok yang melakukann pembaharuan tersebut dikatakan
sebagai munculnya aliran atau sekte baru di dalam agama tersebut. Aturan keagamaan itu
bahkan diakui dan diyakini berasal dari Tuhan atau dari kekuatan gaib. Oleh karena itulah di
dalam keyakinan keagamaan sulit terjadi perubahan, karena sentimen keagamaan sudah
menentukan rasa bertuhan atau beragama secara batiniah atau beragama di dalam diri
manusia.
57

Agama sebagai pranata inilah yang menjadi studi di dalam antropologi sebagaimana
telah dinyatakan di bagian awal dari rangkaian tulisan ini. Lantas jika agama sebagai pranata
yang berisi aturan dalam rangka mengatur hubungan sesama manusia dan hubungan dengan
Tuhannya atau alam gaib, jika dibandingkan dengan aturan kebudayaan (pranata) lainnya
maka agama sesungguhnya memiliki aturan yang lebih memperkuat terhadap kebudayaan.
Hal ini disebabkan karena aturan di dalam agama diyakini berasal dari Tuhan atau kekuatan
gaib dan malah sanksinya terhadap manusia diyakini pula diperoleh nanti setelah mati.

Bahan kajian : AGAMA TRADISI BESAR DAN AGAMA TRADISI LOKAL


Minggu ke : 16
58

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):


1. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan agama tradisi besar dengan agama tradisi lokal

MATERI
AGAMA TRADISI BESAR DAN AGAMA TRADISI LOKAL
Fenomena religius yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dapat dipelajari secara
antropologi. Antropologi agama/ religi mempelajari pranata dan fenomena religius terutama
yang sudah terpola, baik yang berasal dari keyakinan keagamaan tradisional atau tradisi lokal
maupun yang berasal dari agama-agama tradisi besar. Di antropologi agama/ religi, agama
dibedakan ke dalam dua kelompok, agama tradisi besar (great tradition) dan agama tradisi lokal/
tradisi kecil (little tradition). Kedua konsep ini diambil dari konsep yang sama dari antropolog
Robert Redfield, yang membedakan masyarakat petani sebagai masyarakat folk atau masyarakat
terbelah/ half society dengan masyarakat industri sebagai masyarakat dengan tradisi besar (great
tradition) dan masyarakat tribal sebagai bentuk masyarakat dengan tradisi kecil (little tradition).
Pembedaan (agama) ini dilakukan dengan memperhatikan perbedaanperbedaan di antara
agama-agama yang ada di dunia. Dalam hal ini ciri-ciri sebuah agama mengacu kepada empat
ciri-ciri yang sudah diberikan oleh Durkheim dan ditambahkan satu ciri lainnya seperti yang
dinyatakan di dalam bagian awal dari hand out ini sehingga menjadi lima ciri agama atau religi.
Agama yang di dalam bahasa Inggrisnya disebut religion pada dasarnya sama atau tidak
dibedakan, selama memiliki ciri-ciri yang sama. Koentjaraningrat membedakan antara agama
dengan religi, tetapi pada bagian lain dinyatakannya agama Islam adalah religi bagi orang Islam.
Ini artinya agama sama saja dengan religi. Koentjaraningrat menyatakan agama adalah religi
yang diakui oleh negara, sedangkan religi adalah agama yang tidak diakui oleh negara.11 Diduga
pernyataan akademis Koentjaraningrat masih terikat kepada kepentingan politik, atau tidak mau
dicap berseberangan dengan pemerintah orde baru yang sangat dominan pada waktu itu. Apalagi
pemerintah orde baru tidak mengakui dan memaksa banyak sukubangsa di Indonesia untuk
memeluk agama yang sudah diakui secara resmi di Indonesia, sehingga agama-agama lokal yang
terdapat di dalam suku bangsa tertentu seperti arat sabulungan pada orang Mentawai dipaksa
untuk dihilangkan dan harus memilih satu agama yang sudah diakui negara. Di samping itu
59

penulis tidak menggunakan konsep kepercayaan, sebagaimana ditulis di dalam judul tulisan
Koentjaraningrat. Di dalam beragama yang ada adalah keyakinan (believe) bukan kepercayaan
(trust). Seseorang yakin kepada sesuatu yang gaib sehingga dia patuh dan menjalankan ajaran
yang diyakininya tersebut. Kalimat sebelum ini lebih tepat jika dibandingkan dengan...seseorang
percaya kepada sesuatu yang gaib sehingga dia patuh dan menjalankan ajaran yang
dipercayainya tersebut. Percaya kepada seseorang bukan berarti kita meyakininya. Konsep yakin
lebih dalam maknanya secara religius jika dibandingkan dengan konsep percaya.
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa agama dibedakan menjadi dua, agama tradisi
besar dan agama tradisi lokal. Konsep lain yang bisa diberikan adalah agama universal dan
agama lokal. Universal dimaksudkan di sini sebagai lintas batas kebudayaan dan/ lintas batas
bangsa, bahkan lintas batas benua. Sedangkan lokal dalam pengertian pada masyarakat atau
kebudayaan lokal atau setempat. Pembedaan agama ke dalam dua kelompok ini adalah
berdasarkan ciri - cirinya, sebagai berikut.
Sebuah agama dikatakan sebagai agama tradisi besar apabila memiliki ciri-ciri:
1. Adanya keyakinan kepada Pencipta yang Maha Besar.
2. Bercorak universal
3. Penganut agama tersebut mempunyai keyakinan yang isinya adalah penyerahan diri
terhadap pencipta secara mutlak.
4. Semua agama tradisi besar berbicara mengenai kehidupan setelah mati, dengan
konsekuensi sorga atau neraka.
5. Cenderung atau selalu mengorganisasikan diri.
6. Melampaui batas-batas suku bangsa, negara dan geografis yang luas.
Dari ciri-ciri tersebut dapat diketahui bahwa beberapa agama di dunia bisa dikatakan
sebagai agama tradisi besar, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Yahudi dan
Konghuchu. Agama-agama tersebut dikatakan sebagai agama tradisi besar karena memiliki
keyakinan dan penyerahan diri kepada sang pencipta atau Tuhan yang Maha Besar, sudah
bersifat universal atau melampaui batas-batas sukubangsa, negara dan bahkan benua, dan semua
agama tersebut meyakini konsekuensi kepatuhan dan kesalahan selama hidup di dunia kepada
sorga atau negara serta selalu cenderung untuk mengorganisasikan diri. Organisasi keagamaan
ini didirikan untuk selalu memperbesar dan menyebarkan agama tersebut ke seluruh masyarakat
di dunia.
60

Selanjutnya apa yang disebut dengan agama tradisi lokal atau kecil adalah pertama,
sepanjang Tuhan atau dewa agama lokal tersebut masih dapat dimanipulasi atau disuap dengan
pemberian sesajen. Kedua, orang yang sudah meninggal diyakini arwahnya bisa menjadi dewa,
tuhan atau setan, sesuai dengan perilakunya di dunia. Ketiga, agama tersebut hanya diyakini oleh
satu kelompok sukubangsa atau tidak/ belum mampu melampaui batas-batas kesukubangsaan,
bangsa dan benua.
Ciri ketiga dari agama tradisi lokal tersebut merupakan ciri yang utama, karena agama-
agama tradisi besar yang ada di dunia sekarang pada awalnya adalah agama tradisi lokal, tetapi
karena tokoh-tokoh dan pengikut agama tersebut mampu mengembangkan/ menyebarkan
sehingga melampaui batas-batas kesukubangsaan sehingga menjadi agama tradisi besar, karena
sudah diyakini oleh masyarakat dari sukubangsa atau kebudayaan yang berbeda.
Pertanyaan selanjutnya apakah agama tradisi lokal yang masih ada sekarang mampu
menjadi agama tradisi besar dan apakah agama tradisi besar yang ada sekarang bisa menjadi
agama tradisi lokal? Dua pertanyaan ini menarik untuk dijawab. Jawaban pertanyaan pertama
tetap kepada sepanjang agama tradisi lokal tersebut telah diyakini dan dijadikan sebagai agama
dari masyarakat sukubangsa yang berbeda. Sebagai contoh, agama Konghuchu dahulu
merupakan agama tradisi lokal yang diyakini oleh orang Tionghoa di negeri Cina, tetapi
sekarang agama ini telah menjadi agama tradisi besar, karena diyakini dan dijalankan juga oleh
orang Indonesia.
Agama tradisi besar bisa menjadi agama tradisi lokal apabila agama tradisi besar tersebut
teks-teks sucinya diinterpretasikan secara lokal oleh masyarakat di daerah tertentu atau
sukubangsa tertentu sehingga agama tradisi besar tersebut nampak berbeda dengan yang diyakini
dan dipraktekkan oleh masyarakat atau sukubangsa lainnya. Agama tradisi besar dengan
interpretasi lokal inilah yang kemudian mampu melahirkan banyak sekte atau aliran di dalam
agama-agama tradisi besar di dunia, dan dalam realitasnya inilah yang terjadi pada banyak
agama di dunia. Agama tradisi besar dengan interpretasi lokal yang berbeda ini yang
menyebabkan agama tradisi besar bida menjadi agama tradisi lokal, karena sudah berbeda
dengan agama tradisi besar di daerah yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai