Dosen Pengampu:
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok M, Msi.
Dibuat oleh :
FAKULTAS USHULUDDIN
Kerumitan meletakan agama sebagai sebuah studi bukan karena jumlahnya yang sedikit,
justru karena jumlah keberadaan agama yang sangat besar.Hampir di setiap sisi belahan dunia
lahir agama-agama mandiri yang secara konsisten dipertahankan oleh setiap generasinya.Ketika
setiap agama mencetak juru dakwah atau missioner untuk kemudian ditugaskan menyebarkan
agamanya ke wilayah tertentu, bukan karena pada wilayah dimaksud tidak ada agama.Karenanya
kemudian setiap pemeluk agama berusaha sekuat tenaga dan pikiran saling mempertahankan
keyakinannya masing-masing agar selalu tegar dan konsiten dalam ajaran keselamatan masing-
masing agama.
Sebagai pengetahuan, kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala
manusia dan bukan suatu gejala (yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia). Sebagai
satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma yang berisikan
larangan-larangan untuk melakukan suatu tindakan dalam menghadapi suatu lingkungan sosial,
kebudayaan, dan alam, serta berisi serangkaian konsep-konsep dan model-model pengetahuan
mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya
dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam. Jadi nilai-nilai tersebut dalam
penggunaannya adalah selektif sesuai dengan lingkungan yang dihadapi oleh pendukungnya.
Pembahasan
A. Agama
Banyak ahli telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan agama. Durkheim
menyatakan agama (religion) ...is a unfied system of beliefs and practices relative to
sacred things, that is to say, things set apart and forbidden – beliefs ang practices which
unite into one single moral community called a church, all those to adhare to them
(agama adalah kesatuan kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang
sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang – kepercayaan dan praktek-praktek
yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut ke dalam
satu komunitas moral yang disebut gereja).1Defenisi ini boleh dikatakan dilihat hanya
dari sisi satu kelompok penganut agama tertentu saja.Namun defenisi ini telah
memberikan beberapa poin penting dari sebuah agama berupa praktek atau aktivitas
sakral atau dianggap suci yang tentu saja dengan keyakinan tertentu serta dilakukan di
dalam kelompok.
Untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai agama, penjelasan dari
ciri-cirinya seperti yang pernah diberikan oleh Durkheim yang kemudian juga dipakai
oleh Koentjaraningrat dikutip di sini sebagai berikut.Dalam penjelasan ini agama terdiri
dari empat komponen, sebagai berikut.
Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari
hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus yang
mendiami alam gaib;
Penjelasan ciri-ciri agama tersebut di dalam tulisan ini masih perlu ditambahkan
satu lagi ciri dari agama yaitu; setiap agama pada umumnya mengajarkan kebenaran yang
suci, karena dengan kebenaran yang suci inimelahirkan keyakinan yang kuat dari
1
Durkhiem, The Elementary Forms of the Religious Life. 2011.Hal.80.
2
Koentjaraningrat.1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Hal. 145.
kesatuan sosial/ ummat/ masyarakat/ jamaah/ jemaat/ pengikut dari suatu agama
tersebut.Dengan keyakinan inilah suatu agama bisa bertahan karena diyakini kebenaran
yang diajarkan di dalam agama tersebut kepada pengikutnya.Keyakinan kepada
kebenaran yang diajarkan inilah yang kemudian menjadi dogma yang kuat dan bertahan
lama atau pervasif seperti dinyatakan oleh Geertz.
Seringkali diperdebatkan, apakah agama sebagai bagian atau suatu pranata dari
kebudayaan tertentu atau justru kebudayaanlah yang ditentukan oleh agama.Dari sudut
pandang sebagai seorang yang beragama dan dengan keyakinan agamanya maka pastilah
agama yang menentukan, karena manusia hidup di dunia dianjurkan untuk berusaha dan
Tuhanlah yang menentukan.Pendapat ini tidaklah salah sebagai seorang yang
beragama.Antropologi agama atau antropologi religi sebagai sebuah spesialisasi yang
berkembang di dalam antropologi yang mempelajari mengenai bagaimana agama
diyakini, dijalankan atau dipraktekkan di dalam masyarakat.Umumnya antropolog
menyatakan bahwa agama (religion) merupakan sebuah pranata seperti banyak pranata
lainnya di dalam sebuah kebudayaan atau suatu masyarakat.Bagaimana hal ini dapat
dijelaskan, berikut ini penjelasannya.
Agama sebagai pranata tidaklah sama dengan agama sebagai sebuah keyakinan
yang menjadi milik anggota masyarakat. Pranata merupakan suatu aturan yang digunakan
untuk mengatur manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan khusus tertentu.Kebutuhan
manusia dibagi menjadi tiga oleh Malinowski, yaitu kebutuhan biologis, psikologis dan
adap-integratif.Agama atau religi sebagai pranata adalah dalam rangka untuk pemenuhan
kebutuhan psikologis, terhadap ketenangan jiwa dan untuk menjelaskan segala sesuatu
dengan keyakinan, yang tidak dapat dijelaskan secara rasional atau oleh akal
manusia.3Agama yang dipelajari di dalam antropologi adalah fenomena religius yang ada
di tengah-tengah masyarakat.Fenomena religius yang mana? Jawaban pertanyaan ini
mengacu kepada semua fenomena atau aktivitas religius yang terdapat di dalam
3
Dalam hal ini, teori keterbatasan akal manusia dari Frazer menjadi relevan untuk menjelaskan agama sebagai
pranata.
masyarakat, apakah yang berasal di dari fenomena agama tradisional yang dilakukan
untuk kepentingan tertentu seperti santet, voodoo, penyembahan kepada arwah leluhur,
agama tradisional seperti arat sabulungan di Mentawai ataupun fenomena religius yang
dilakukan oleh ummat Islam, Katolik maupun Hindu yang khas di daerah tertentu.
Agama sebagai pranata adalah agama yang diyakini, diajarkan, dijalankan atau
dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat.Ini berbeda dengan agama di dalam teks
sucinya atau alkitab seperti Al Qur’an, Injil, Taurat, Zabur atau kitab Weda, Tripitaka
yang sudah dituliskan di dalam agama-agama tradisi besar di dunia.Teks-teks suci ini
diyakini oleh penganut agama tersebut sebagai sebuah kebenaran yang tidak bisa
dibantah, yang berasal dari Tuhan.Kitab-kitab ini bukanlah produk kebudayaan, bukan
pranata. Agama menjadi pranta adalah agama yang diyakini, dijalankan atau
dipraktekkan itu yang bisa berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya
walaupun masing-masing sama menganut agama yang sama. Artinya orang Betawi di
Jawa bisa mempraktekkan atau menjalankan agama Islam secara berbeda dengan orang
Minangkabau yang juga Islam.Bahkan, di daerah tertentu di Sumatera Barat saja, praktek
agama Islam bisa berbeda-beda. Keyakinan keagamaan mereka ternyata ada yang
berbeda, padahal sama-sama mempunyai kitab suci yang sama. Mengapa hal ini terjadi?
4
Suparlan.“Kebudayaan, Masyarakat dan Agama, Agama sebagai Sasaran Penelitian Antropologi,” makalah yang
disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian Agama Departemen Agama RI, di IAIN Ciputat,
14 September 1981.
sucinya – tetapi di dalam masyarakat penganut agama tersebut bisa saja terjadi
perbedaan-perbedaan di dalam agama yang bersangkutan.Mengapa ini terjadi?
Jawabannya adalah karena telah terjadi proses penafsiran atau interpretasi yang berbeda
dari teks suci yang sama, baik oleh para tokoh agama atau oleh anggota masyarakatnya.
Inilah yang disebut dengan agama melalui proses sosial budaya atau transmisi
kebudayaan. Proses ini kemudian melahirkan banyak sekte atau disebut aliran agama di
dalam masyarakat. Sekte-sekta keaagamaan ini lahir di dalam setiap agama tradisi besar,
karena proses sosial budaya yang panjang berlangsung dan pemberian penafsiran dari
teks suci yang sama secara berbeda, yang melahirkan keyakinan dan praktek keagamaan
yang berbeda pula.
Sebagai contoh kasus, pelaksanaan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha yang
diketahui secara umum dilakukan dua rakaat dengan tujuh takbir setelah takbirartul
ikhram di rakaat pertama dan lima takbir setelah takbir bangkit dari sujud, tetapi di
sebuah kelurahan di Depok di antara orang Betawi yang pernah penulis ikuti malah
terjadi sembilan takbir di rakaat pertama dan tujuh takbir di rakaat kedua. Contoh lainnya
juga di dalam masyarakat Betawi di Depok, di dalam menghadapi kematian seorang
perempuan muda yang belum menikah disediakan dua karung besar beras di masjid untuk
diserahkan kepada yang berhak menerima.Dua karung beras tersebut adalah sebagai
pengganti sholat dan puasa almarhum sewaktu hidup yang tidak bisa dilakukannya baik
karena terhalang oleh menstruasi atau oleh sebab lainnya, sehingga diganti pada waktu
jenazah belum dikuburkan. Ini diucapkan oleh seorang tokoh masyarakat di hadapan
orang banyak pada saat dua karung beras tersebut akan diserahkan. Padahal di dalam
ajaran Islam dinyatakan bahwa terputuslah hubungan seorang yang meninggal dengan
orang yang masih hidup kecuali tiga amalan yang dilakukan seperti ilmu yang bermanfaat
yang telah diajarkan, sedekah jariah dan doa dari anak yang saleh dari almarhum, tentu
saja bagi mereka yang sudah punya anak. Dua contoh di atas menunjukkan telah terjadi
perbedaan interpretasi dari agama yang sama sehingga dijalankan secara berbeda. Bentuk
keyakinan dan praktek keagamaan bisa saja berbeda dari kesamaan kitab suci yang
dimiliki inilah yang dimaksudkan dengan agama sebagai pranata.Di samping itu aktivitas
keagamaan yang sudah terpola atau sudah lama dan tetap dijalankan di dalam masyarakat
seperti ritual perdukunan juga merupakan bagian dari aktivitas atau pranata keagamaan
tradisional.Agama sebagai pranata inilah yang menjadi lapangan studi antropologi
agama/ religi, yang disebut Geertz dengan agama sebagai sistem budaya.
Levi-Strauss (dalam Jamaludin, 2015) menjelaskan bahwa paling sedikit ada tiga sebab
seseorang bisa disebut kerabat, yaitu kerabat karenahubungan darah, kerabat karenahubungan
perkawinan, dan kerabat karena hubungan keturunan.Kerabat karena hubungan darah, yaitu
kerabat karena adanya hubungan antara individu dan saudara sekandungnya yang berupa
hubungan darah.Hubungan kerabat karena perkawinan adalah hubungan individu dengan
pasangannya yang berupa hubungan karena perkawinan, yang menghubungkan kelompok
saudara sekandungnya sendiri dengan saudara sekandung pasangannya.Sedangkan hubungan
kekerabatan karena keturunan adalah hubungan individu dengan anak-anak mereka, yang berupa
hubungan keturunan.
5
On Kinship and Gods in Ancient Egypt: An Interview with Marcelo Campagno Damqatum 2 (2007)
Sistem kekerabatan parental
Kekuasaan merupakan salah satu penomena sosial-politik yang senantiasa hadir di dalam
setiap hubungan-hubungan sosial pada kehidupan masyarakat, baik dalam unitnya yang terkecil
(keluarga, komuniti) maupun dalam bentuknya yang lebih besar, seperti Negara. Intensitas
kehadirannya yang seperti itu menjadi alasan bahwa kekuasaan memang adalah merupakan salah
satu tema utama dalam kajian politik yang hampir tidak pernah selesai diperbincangkan.
Dipelopori oleh Machiavelli sejarawan pemikir pollitik modern yang pernah mengulas
persoalan-persoalan tentang kekuasaan yang mengakar dari unit-unit kehidupan masyarakat
terkecil sampai kepada bentuk kesatuan masyarakat bernegara terus berkembang hingga saat ini.
Hal itu tercermin dari pemikir-pemikir generasi berikutnya, seperti di antaranya: Michael
Foucault, Habermas, Steven Lukes, dan lain-lain (Machiavelli: dalam Budiardjo, 1986:4-5).
Walaupun tidak ditemukan adanya pemikiran tunggal tentang kekuasaan dari para
pemikir tersebut, namun nampaknya ada suatu alur pemikiran yang setara, bahwa kekuasaan
senantiasa menjelaskan hubungan seseorang atau sekelompok orang dengan dengan orang atau
kelompok orang lain. Sifat dasar dari kekuasaan, dengan demikian menjadi ambivalen. Artinya,
kekuasaan itu memang amat penting dalam sistem pengaturan sosial, tetapi di sisi lain kekuasaan
juga sekaligus dapat diperankan sebagai mekanisme penindasan yang dapat saja
menyengsarakan. Penjelasan untuk sifat kekuasaan terakhir sesungguhnya sederhana jika
dikaitkan dengan tesis Lord Acton dan juga Foucault yang menyatakan bahwa kekuasaan
memang cendrung berperangai ‘busuk’; dan oleh karenanya cendrung menindas dan atau
menyengsarakan. Menurut Acton, itu adalah sisi opresif (oppressive) dari kekuasaan yang bisa
disebut sebagai akibat yang unintentional (tak disengaja) dari sudut kekuasaan politik (Lord
Acton, dalam: Windhu, 1992:32). Sedangkan menurut Foucault (1980:59) melihat bahwa
kekuasaan itu sifatnya halus dan ada di mana-mana; dan oleh karena berbentuk micro power
yang menyebar di dalam berbagai ‘tubuh’ dan ‘institusi’ sehingga dapat menyelinap dalam
hampir semua lini kehidupan.
Masalah yang sering mengemuka dalam tatanan Negara yang menganut paham
kebangsaan (integralistik yang berlandaskan SARA yang komplek) seperti Indonesia utamanya
adalah terjadinya disparitas hubungan antara mereka yang diberi mandat oleh rakyat (konsituen)
dalam kekuasaan dengan heteroginitas kepentingan rakyat yang beraneka ragam. Di dalam
wilayah kehidupan bernegara semacam ini seringkali formasi sosial-budaya kekuasaan politik
menjadi artifisial. Artinya, keadilan sebagai tuntutan dari prasarat adanya keseimbangan
kekuasaan politik menjadi sangat relatif, yakni tergantung dari ‘siapa dan kelompok yang
mana’secara lebih dominan menguasai pusat-pusat (institusi) kekuasaan itu.
1. Saluran Militer
Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat sehingga
mereka tunduk pada kemauan penguasa. Untuk itu dalam organisasi militernya sering
dibentuk pasukan khusus, dinas rahasia dan satuan pengamanan kerusuhan. Apabila
pengaruh militer ditujukan ke Negara lain, tujuannya adalah menciptakan rasa aman
(security) agar penguasa dicintai warganya.
2. Saluran Ekonomi
3. Saluran Politik
Penguasa sengaja membuat berbagai peraturan yang harus ditaati masyarakat agar
berbagai perintahnya berjalan lancar. Untuk itu sengaja diangkat pejabat yang loyal.
4. Saluran Tradisi
Penguasa mempelajari dan memanfaatkan tradisi yang berlaku dalam masyarakat ,
guna kelancaran pemerintahan.
5. Saluran Ideologi
Kekuasaan dapat dilihat pada interaksi sosial antar manusia maupun antar kelompok yang
mempunyai beberapa unsur pokok, yaitu :
1. Rasa Takut
2. Rasa Cinta
Rasa cinta menghasilkan perbuatan yang pada umumnya bersifat posesif, apabila ada
suatu reaksi positif dari masyarakat yang dikuasai maka sistem kekuasaan akan dapat
berjalan dengan baik dan teratur.
3. Kepercayaan
Kepercayaan bisa timbul sebagai hasil hubungan langsung antara dua orang atau lebih
yang bersifat asosiatif. Soal kepercayaan sangat penting demi kelanggengan
kekuasaan.
4. Pemujaan
Sistem kepercayaan mungkin dapat disangkal oleh orang lain, tetapi sistem pemujaan
membawa seseorang dan kelompok untuk membenarkan segala sesuatu yang dating
dari penguasa tersebut.
Cara mengetahui siapa atau siapa saja yang berkuasa dalam suatu system politik atau
dalam suatu masyarakat, dapat dikemukakan tiga analisis sebagai berikut6:
Pertama, dengan analisis posisi, ialah suatu analisis untuk mengetahui siapa yang
berkuasa atau mempunyai pengaruh yang besar dalam pembuatan keputusan politik
dengan melihat posisinya dalam lembaga pemerintahan. Hak ini, sebenarnya didasarkan
pada suatu asumsi bahwa pejabat-pejabat yang menduduki posisi-posisi yang tinggi
dalam lembaga pemerintahan cenderung secara politis mempunyai kekuasaan yang besar
pula. Untuk mengetahui siapa yang menduduki posisi yang tinggi itu tidaklah sukar,
6
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi : Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori,
Aplikasi dan Pemecahannya, Kencana, Jakarta, 2011, hal.455-457
karena pada umumnya telah diarsipkan dalam dokumen yang lengkap, akan
tetapi,kelemahan analisis ada dua, yaitu memasukkan ke dalam kategori pembuat
keputusan tokoh-tokoh boneka tetapi tidak mempunyai kekuasaan apa-apa karena orang
lain yang memutuskan untuknya, hanya sekedar mengesahkan keputusan yang telah
dibuat orang lain. Lainnya bahwa mungkin dapat dimasukkan orang- orang yang secara
informasi mempunyai pengaruh pada kelompok- kelpompok pembuat keputusan. Analisis
posisi ini cenderung membesar-besarkan pengaruh `semua` dan meremehkan pengaruh
tidak langsung.
Kedua, analisis reputasi, yaitu analisis untuk mengidentifikasikan pihak berkuasa yang
tidak didasarkan pada bagian organisasi resmi akan tetapi pada reputasi kekuasaan
mereka secara informal. Hal ini dapat diketahui dengan menanyai informan-informan
yang mengetahui mekanisme politik dari dekat. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa
partisipan dalam suatu sistem mengetahui siapa yang ikut dalam pengambilan keputusan
atau siapa yang berpengaruh kuat dan siapa yang tidak terpengaruh. Dengan cara ini,
akan termasuk dalam kategori yang berkuasa aktor-aktor yang tidak menduduki jabatan
resmi tetapi memiliki kekuasaan tidak langsung. Analisis reputasi ini juga mempunyai
kelemahan yaitu subjektifitas informan dalam memberikan informasi, artinya informan
mungkin hanya menunjuk pada okoh-tokoh yang disukainya sebagai orang-orang yang
berpengaruh dan menutupi /tidak menunjuk tokohtokoh lain yang berpengaruh tetapi tak
disukainya. Selain itu, yang diketahui informan mungkin hanya tokoh-tokoh hanya dalam
bidang-bidang tertentu saja, tidak untuk bidang lain. Oleh karena itu, analisis pertama dan
kedua ini seringkali digunakan bersama-sama, yaitu analisis posisi digunakan sebagai
pelengkap analisis reputasi, artinya menghubungi orang-orang yang menduduki posisi
penting untuk menanyai siapa-siapa yang ikut dalam pembuatan keputusan.
Analisis yang ketiga adalah analisi keputusan yakni analisis untuk mengetahui siapa-siapa
yang berkuasa dengan cara mengamati dan meneliti siapa-siapa yang ikut mengambil
keputusan melalui beberapa kasus pengambilan keputusan yang dianggap cukup
representative. Dapat diasumsikan bahwa yang memnpunyai kekuasaan dalam
pengambilan keputusan itu bias terdiri atas orang- orang yang mempunyai pengaruh
langsung dan tidak langsung dalam proses pengambilan keputusan, maka kiranya analisis
keputusan inilah yang paling tepat dan efektif dalam memperoleh gambaran tentang
hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat, karena dengan analisis ini, maka akan
dapat diikuti proses pengambilan keputusan sejak awal sampai akhir, sehingga tokoh-
tokoh yang terlibat didalamnya akan dengan mudah diketahui.
Sosiologi tidak memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang baik atau yang buruk,
namun sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur penting dalam kehidupan suatu
masyarakat. Kekuasaan ada dalam setiap bentuk masyarakat, baik yang bersahaja maupun
masyarakat yang kompleks.7 Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang
berkuasa dengan yang dikuasai, atau dengan kata lain, antara pihak yang memiliki
kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu,
dengan rela atau karena terpaksa, sehingga apabila kekuasaan itu diterjemahkan pada diri
seseorang, biasanya orang itu dinamakan pemimpin, dan mereka yang menerima
pengaruh-pengaruhnya adalah pengikut-pengikutnya.
7
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.230
Daftar Pustaka
http://sosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI
%20RELIGI.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_kekerabatan
http://ainurrohmahwalisongo.blogspot.com/2016/12/sistem-kekerabatan-dalam-antropologi.html
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi : Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial : Teori, Aplikasi dan Pemecahannya, Kencana, Jakarta, 2011