Anda di halaman 1dari 8

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Dosen : Dr. Drs. Muhtadin, MA

Disusun Oleh : Shifa Amandhita Hardoyo


NIM : 202241108
Fakultas : Ilmu Komunikasi
Kelas : G (Siang)

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA) JAKARTA 2022


Agama, Religi dan al-Din
Agama
Agama yang dalam bahasa Sangsekerta berarti tidak kacau (a = tidak dan gama =
kacau) dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dalam kerangka
kepatuhan terhadap aturan untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera, damai, selamat
dan tentram. Dengan demikiran prinsip dan misi agama pada hakekatnya adalah berusaha
mewujudkan kehidupan yang tidak kacau. Walaupun demikian, konsep kedamaian dan
kesejahteraan boleh jadi hanya bersifat sementara dan duniawiyah saja, sedangkan prinsip
kesejahteraan yang abadi boleh jadi tidak menjadi prioritas keberagamaan.
Dalam memberlakukan agama sebagai instrument mewujudkan kesejahteraan dan
kedamaian hidup, munculah tafsiran-tafsiran agama yang berbeda-beda yang cenderung
menjadi sebuah pergulatan pemikiran tersendiri dalam kajian ilmu agama terutama
dipandang dari sisi kebenaran keimanan dan kepercayaan serta aktualisasi peribadatan
mereka dan keterkaitannya dengan hasil akhir yang didapat, misalnya balasan amal di akhirat
(Surga dan Neraka menurut agama Islam atau Nirwana dan Hukum Karma menurut agama
Hindu).

Aplikasi hubungan dengan eksistensi yang transendent melahirkan berbagai konsep agama
dan aktualisasinya. Di Indonesia berkembang pemikiran bahwa setiap sesuatu me-miliki
“roh” yang didalamnya tersimpan kekuatan magic dan mistik yang luar biasa. Konsep
animisme menjadi wujud adanya hubungan antara manusia dengan eksistensi yang
transendent dan sudah barang tentu sangat abstrak dan cenderung tidak dapat dijelaskan
realitasnya baik dari segi dogmatik maupun dari segi nalar – kemudian berkembang menjadi
dinamisme.

Prinsip-prinsip Dinamisme nampak lebih aplikatif dan kongkrit, karena ia mampu


menjelaskan wujud eksistensi yang transendent dalam beberapa eksistensi yang profan
(tidak suci dan bersifat kebendaan). Ia menganggap bahwa semua benda atau benda
tertentu memiliki kekuatan supra natural (mana/magic/tuah) yang ditunjukkan lewat
kehebatan yang diluar kelaziman. Kekuatan eksistensi yang transendent tersebut ternyata
tidak hanya masuk pada benda tertentu, melainkan masuk juga pada binatang atau hewan
tertentu yang kemudian dikenal dengan “Totemisme”, misalnya sapi, ular dan kucing.

Religi
Agama memliki istilah : Religion (Inggris) atau Religie (Belanda), dan Din (Arab).
Religion (Inggris) dan Religie (Belanda) Berasal dari bahasa Latin Religere, Artinya
mengumpulkan, membaca cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Menurut Sidi Gazalba, Religi
berarti: Kepercayaan dan hubungan antara manusia dengan yang Qudus, dihayati sebagai
hakikat yang gaib, hubungan untuk menyatakan diri dalam bentuk serta system kultus dan
sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.

Pada terminologi lain ditemukan kata-kata “Religion” untuk menggambarkan hal yang sama
dengan agama. Dalam An English Reader’s Dictionary terdapat tiga kemungkinan kata yang
berkait dengan Religion, yaitu Religi, Religion dan Religious atau Releigiusitas.
1. Religi dalam tinjauan antropologi sering dikaitkan dengan ritual (upacara agama/
ibadah) untuk menundukkan kekuatan gaib terutama pada masyarakat primitif.
Perwujudan dari konsep Religi tersebut adalah ritus dan peribadatan dalam agama,
pengusiran dan penundukkan kekuatan gaib berupa praktek mistik dan magic dan
masih banyak lagi – baik dalam tataran tingkat modern maupun tingkat tradisional.
Artinya sesekali pada masyarakat modern masih dijumpai ritus-ritus tertentu dan
untuk kepentingan tertentu – misalnya ritus yang didasarkan pada ramalan
perbintangan (astrologi-horoscope).
2. Religion digambarkan sebagai sebuah konsep atau aturan yang mendasari pri-laku
Religi atau ritus-ritus tersebut. Dengan demikian Religi atau ritus dalam agama
tertentu tidak akan mungkin ada jika konsep atau aturan agamanya tidak ada. Dalam
An English Reader’s Dictionary karangan A.S. Homby dan E.C Pamwell, disebutkan
bahwa “Religion is a system of faith and worship based on such belief” (sistem
kepercayaan dan penyembahan yang dibangun berdasarkan keyakinan tertentu).
Maka Religion dalam pandangan seperti ini hanya memuat dua unsur yaitu :
a. Faith (kepercayaan – artinya adanya persepsi yang sadar tentang eksistensi
kekuatan diluar manusia yang memperngaruhi kelangsungan hidup mereka).

b. Worship (peribadatan/penyembahan – perlu adanya perwujudan ritus yang


kongkrit sebagai penghambaan dan ketertundukkan manusia terhadap kekuatan
tersebut, misalnya dalam bentuk sesaji, kurban dll.).

Dalam pemikiran yang cukup sederhana – ternyata untuk membuat sesuatu itu
menjadi agama hanya diperlukan dua komponen yaitu komponen kepercayaan
(faith) dan penyem-bahan (worship). Prinsip minimal pembentukan agama tersebut
menyisakan permasalahan yang cukup rumit yaitu mampukah agama tersebut
mewujudkan pribadi yang sejahtera, damai dan selamat terutama untuk untuk
kehidupan akhirat yang justru menjadi tujuan utama beragama. Sebab tidak jarang
kita menemukan sekte atau aliran yang hampir menjadi sebuah agama, tetapi
mereka justru menyesatkan dan mencelakakan pemeluknya.

Oleh sebab itu dalam agama yang dibentuk berdasarkan prinsip mini-malis tersebut
perlu diwaspadai, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Nurcholis Madjid –
“Kepercayaan yang benar akan melahirkan kedamaian, kesejahteraan dunia dan
akhirat, sedangkan kepercayaan yang salah akan menyesatkan hidup, merusak dan
membahayakan bagi pertumbuhan kebudayaan dan manusia serta anti terhadap
keselamatan hidup.
3. Religious (Religiousitas) adalah sebuah sikap yang Nampak dalam prilaku sese-orang
yang terinternalisasi oleh nilai-nilai atau ajaran-ajaran agama. Sikap tersebut menjadi
parameter terhadap asumsi seberapa tinggi tingkat penghayatan dan peng-amalan
mereka terhadap nilai atau ajaran agama tersebut. Semakin sejahtera, damai dan
tentram, maka menunjukkan semakin tinggi pula penghayatan dan pengamalan
terhadap ajaran agama – demikian juga semakin keras, kasar, tidak adanya toleransi
dan jaminan keselamatan dan kesejahteraan, maka semakin gersang dan tidak
nampak prilaku keagamaan dalam hidup mereka, boleh jadi sampai pada satu asumsi
bahwa agama tidak dibutuhkan oleh mereka.

Al - Din
“Ad Dien”. Kata Ad Dien dengan mudah dapat kita temukan di dalam al Qur’an,
karena kata tersebut adalah kesatuan tentang ajaran agama Islam. Dalam kajian ilmu
keislaman pada masa salaf, semua jenis ilmu agama yang bersumber pada al Qur’an dan
Hadits dinamakan dengan “Tafaqquh fid-Dien” – baik itu menyangkut kepercayaan (aqoid),
peribadatan dan hukum-hukumnya (ubudiyah dan syari’ah) dan konsep-konsep keagamaan
lainnya/Muamalah siyasiyah) sebagaimana disebutkan dalam QS. At Taubah :122.

Apabila Kata “Din” dirangkaikan dengan al-islam atau al-Haqq atau Allah (diinul islam, diinul
Haqq, diinullah) maka artinya sangat berbeda dari arti dasarnya, sebab “Din” akan mencakup
segala aspek kehidupan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dan makhluk lain. Pengertian
“agama” inilah “Din al-islam” yang merupakan satu satunya agama yang benar dan diterima
disisi Allah SWT.
Belakangan rumpun Ad Dien dikembangkan berdasarkan spesifikasi kajian, sehingga menjadi
disiplin ilmu yang bermacam-macam dengan sistematika dan metodologi yang berbeda,
sedangkan ad Dien itu sendiri menjadi rumah besar bagi rujukan dan keabsah-an keilmuan
Islam. Didalam al Qur’an kita menemukan banyak sekali kata-kata ad Dien, namun kalau
diklasifikasikan hanya memiliki tiga arti yaitu :
a. Aturan-aturan agama (Qs Asy Syuura : 13 dan 21 dan Qs. Al Haj : 78).

b. Ketaatan, kepatuhan dan keihlasan sebagaimana tersebut dalam Qs. Az Zumar : 3 dan
11, Al Bayyinah : 5).

c. Hari kiamat atau hari Agama atau hari pembalasan (Al Fatihah : 4, Ash Shoffaat : 20, Ash
Shod : 78; Adz Dzaariat : 13; al Waaqiah : 56; al Mudatsir : 46; Al Ma’arij : 26; al Infithar :
9, 10 dan 17 dan Al Muthoffifin : 11).

Ketiga unsur pengertian tersebut memilki keterkaitan yang sangat erat, Allah dengan sifat
rahman dan rahim-Nya menurunkan aturan-aturan agama untuk dijadikan pedoman
mengarungi kehidupan dunia. Pedoman tersebut memerlukan ketaatan dan kepatuhan
serta keihlasan yang maksimal dari manusia itu sendiri agar terwujud sisi ideal moral yang
diinginkan oleh setiap aturan. Sebetulnya Allah tidak membutuhkan ketaatan atau
kepatuhan dari manusia, sebab Allah sudah memberikan kebebasan memilih bagi manusia –
apakah manusia mau beriman atau tidak (Qs. Al Kahfi : 29), juga tidak ada paksaan dalam
agama, karena telah nyata perbedaan antara jalan kebenaran dan kesesatan (Qs. Al
Baqoroh : 256). Kepatuhan dan ketaatan tersebut dibutuhkan untuk mewujudkan hasil yang
maksimal dari aktifitas dan pengamalan terhadap ketentuan tersebut. Setiap hukum dan
peraturan memerlukan kesadaran dan keihlasan dari pelaku untuk menghasilkan atau
mewujudkan maksud diadakannya hukum tersebut yaitu keselamatan, ketentraman,
keteraturan dan kebenaran.
Aturan agama dapat dijalankan secara lahiriyah dan batiniyah, maka disinilah pengertian Ad
dien yang ketiga berfungsi – Allah akan menen-tukan dengan sebenar-benarnya siapa
hamba-Nya yang ikhlas dan patuh pada saat hari pembalasan amal yaitu pada hari kiamat
nanti.

Menurut Ulama fiqih; Ad Dien didefinisikan sebagai

ً ْ َّ َ ْ ْ َ َّ
‫الصال ِح ِ يف ال َح ِال َوالفال ِح ِ يف ال َما ِل‬
َ ْ ‫له َسائ ٌق ل َذوي ْا ُلع ُق ْول ب‬
‫اح ِت َي ِار ِه ْم ِا يل‬ ٌّ َ ‫الد ْي ُن ُه َو َو ْض ٌع ِا‬
ِّ
ِ ِ ِ ِ ِ ‫ي‬

(“Agama adalah ketentuan-ketentuan Allah yang diberikan kepada manusia yang berakal
untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat”)

Dari pengertian tersebut terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Bahwa Ad Dien itu adalah aturan-aturan Allah – artinya segala bentuk hukum dari agama
itu bersumber dari Allah, Nabi Muhammad SAW hanya menyampaikan risalah tersebut
kepada manusia tanpa dikurangi atau ditambahi sedikitpun.

b. Diberikan kepada manusia yang berakal. Memahami konsep manusia yang berakal dapat
dibedakan menjadi 2 bagian yaitu berakal dalam konteks syar’iyah dan berakal dalam
konstek kesadaran berfikir.

1. Akil-Baligh dalam konsteks syar’iyah adalah situasi dimana hukum-hukum tentang


kewajiban dan larangan agama dibebankan kepada manusia. Indikatornya adalah
ketika manusia mampu memberikan alternatif dan solusi terhadap permasalahan
hidup dengan sadar (kemampuan akliyah) dan Baligh berarti telah sampai pada masa
kematangan reproduksi nya yaitu dengan keluar sperma bagi kaum laki-laki dan
menstruasi bagi kaum wanita. Terhadap orang yang hilang kesa-darannya baik
karena gila, tidur atau lupa, maka hukum-hukum taklifi tidak berlaku atasnya –
artinya tidak berhak atas dosa atau hukuman, jika ia melakukan kesalahan.

2. berakal dalam konteks kesadaran berfikir dapat dibedakan menjadi


dua; Pertama yaitu kemampuan mengurai setiap permasalahan dalam kerangka
analitis sistematis; misalnya dalam tinjauan sebab, akibat dan solusinya dengan
dasar ilmu yang realible – dus kemampuan tersebut lebih mengarah pada aspek
intelektualitas sese-orang. Kedua; yaitu kesadaran hati (berfikir dengan hati nurani)
terkadang seseorang memiliki kepandaian intelektual, tetapi ia tidak memiliki
kepandaian “Hati Nurani/Qolb”. Ia mengingkari hukum, melakukan zina, mencuri
atau perbuatan melanggar hukum agama lainnya. Secara akal dia tahu bahwa zina
itu haram karena sejelek-jeleknya perbuatan dan jalan kehidupan, tetapi akalnya
tidak mampu menjelaskan hal tersebut didepan gelora Hati dan nafsu syetannya –
maka ketika itu ia tidak berakal sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al A’raf : 178.

c. Jika ia mampu menggunakan akal secara benar untuk memahami dan menjalankan
aturan Allah tersebut, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan
keselamatan hidup di akhirat. Artinya bahwa akal yang benar akan membawa pada
pilihan yang benar terhadap apa yang diberikan oleh Allah – dan hal tersebut menjadi
modal untuk memperoleh kebahagiaan.

Kebahagiaan hidup di dunia berdimensi sangat luas dan abstrak. Standar keba-hagiaan
tidak dapat diukur dengan seberapa banyak ia mempunyai harta benda melain-kan lebih
mengarah kepada kenyamanan, ketentraman dan kemampuan mengendalikan diri.
Rasulullah mengatakan :”bukanlah kaya itu karena ia memiliki harta benda, melain kan
adanya kelapangan hati”. Oleh sebab itu, agama tidak menjanjikan langsung melim-
pahnya harta kekayaan melainkan kemantapan bathin yang berujung pada komit-men
dan keuletan berusaha. Bagi mereka dunia adalah tempat persinggahan sementara dan
permainan yang melenakan (Qs. Ali Imron : 185, Al An’am : 32 dan Hadid : 20), oleh
sebab itu kekayaan yang paling sempurna adalah ketenangan dalam menjalankan agama
itu sendiri (Qs. Al Maidah : 3).

Sedangkan keselamatan hidup di akhirat adalah keberhasilan seseorang dalam


mempertanggung jawabkan semua aktifitas pelaksanaan amanat hidup sebagai hamba
Allah (Qs. Adz Dzariat : 56) dan sebagai Kholifah (Qs. Al Baqoroh : 30) yang sesuai
dengan yang diperintahkan oleh Allah. Pada masa tersebut, manusia tidak dapat mohon
bantuan kepada sesamanya, sebab pada hari itu semua dihisab amal-nya dengan seadil-
adilnya. Harta benda dan anak istrinya yang dulu dibanggakan, sudah tidak dapat
dibanggakan lagi – yang ada hanya “Rahman dan Rahimnya” dzat yang Maha Kuasa (Qs.
Al Baqoroh : 48, 123 dan 281).

PERBANDINGAN ANTARA AGAMA, RELIGI DAN AL-DIN

A. Persamaan

Agama, Religion atau Ad Dien memiliki kesamaan pandangan dalam 3 hal walaupun
pada titik tertentu, aplikasi dan realitas spiritualnya berbeda. Ketiga hal tersebut adalah :

1. Pengakuan adanya yang Maha Kuat – yang berada diluar jangkauan manusia
(immaterial atau transendent) dalam bahasa Islam disebut dengan Allah (Tuhan).

2. Adanya kehidupan sebagai tempat pembalasan amal manusia, baik itu langsung
maupun tidak langsung, misalnya Surga dan Neraka (Islam) atau Nirwana dan Hukum
Karma (Hindu-Budha).

3. adanya peribadan atau ritual yang merupakan perwujudan hubungan antara


manusia dengan yang Maha Kuat – tentu dengan berbagai bentuk dan tata caranya.

B. Perbedaan

1. Tata nilai yang dikembangkan oleh Ad Dien (agama samawi) berasal dari Wahyu
Allah, sedangkan Agama dan Religion berasal dari refleksi manusia terhadap
peristiwa yang terjadi dilingkungannya.

2. Kebenaran yang dibawa oleh Ad Dien bersifat mutlak/absolut – karena ia datang dari
Allah (Qs. Al Baqoroh : 147 dan Ali Imron : 60) , sedangkan Agama dan Religion
bersifat Dzanny (spekulatif/sementara) – karena ia datang dari manusia yang lemah,
tak berilmu dan hanya persangkaan saja ( Qs. Al Baqoroh : 78-79).
3. Ad Dien menjamin bagi pengikutnya dengan “keselamatan dan kebahagiaan” (Qs. Ali
Imron : 85), sedangkan Agama dan Religion tidak menjaminnya bahkan di antaranya
ada yang berujung dengan kebodohan, kesengsaraan bathin dan kesesatan hidup
(Qs. Al Baqoroh : 170 dan Al Anbiya’ : 52-54).

4. Ad Dien mengajak pada pemeluknya untuk menghambakan kepada Pencipta


sekalian, sedangkan agama dan Religion terkadang mendorong pada penghambaan
kepada sesama makhluq dan belenggu-belenggu Thogut lainnya.

Secara Etimologis, Ketiga istilah itu (Agama, Religi, dan Din) mempunyai arti sendiri-sendiri,
namun secara terminology mempunyai arti yang sama, yakni adanya konsep
kebaktian(Kultus), pemisahan antara yang sarcal dengan yang profane, kepercayaan terhadap
Tuhan atau Dewa, dan jiwa untuk menerima wahyu yang supranatural dan keselamatan.
DAFTAR PUSAKA

Drs. Ihsan, M.Pd.I (2013, Mei 9). AGAMA, DIEN dan RELIGION. Diakses Pada 21 Oktober 2022 melalui

https://rusmanhaji.wordpress.com/2013/05/09/agama-dien-dan-religion/

Dr. Drs. Muhtadin, MA & Nur Rizqiyah Al Karimah, M.Pd (2019). PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA

PERGURUAN TINGGI. Jakarta: Qail Qita.

Anda mungkin juga menyukai